You are on page 1of 31

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)


Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret
dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang
timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah
(World Health Organization 2004; Helmi 2005; Chole & Nason 2009).
OMSK dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe benigna dan tipe bahaya.
OMSK tipe bahaya adalah OMSK yang mengandung kolesteatoma,
disebut tipe bahaya karena sering menimbulkan komplikasi berbahaya
(Helmi 2005; Chole & Nason 2009).
Insidens OMSK tinggi di negara berkembang, karena lingkungan yang
padat, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, higiene yang buruk, dan
infeksi saluran pernafasan atas yang rekuren, nutrisi yang kurang dan
polusi (World Health Organization 2004; Chole & Nason 2009).
OMSK tipe bahaya disebut juga tipe atikoantral. Komplikasi umumnya
disebabkan jaringan granulasi dan kolesteatoma yang menyebabkan erosi
dan nekrosis yang mengenai struktur penting seperti nervus fasialis,
telinga dalam dan komponen intrakranial. Dapat terjadi erosi tulang
pendengaran dan menyebabkan ketulian (Browning et al. 2008; Rout et
al. 2012).

2.1.1. Etiologi OMSK


Faktor risiko pada otitis media adalah disfungsi tuba Eustachius
(misalnya rinosinusitis, hipertrofi adenoid, atau karsinoma nasofaring),
imunodefisiensi (primer atau didapat), gangguan fungsi silia, anomali
midfasial kongenital (cleft palate atau Down syndrome), dan refluks
gastroesofageal. Faktor risiko yang menonjol pada OMSK adalah infeksi
otitis media yang berulang dan orang tua dengan riwayat otitis media

Universitas Sumatera Utara


kronis dengan perawatan yang tidak baik (World Health Organization
2004; Ramakrishnan et al. 2005; Bhat et al. 2009; Chole & Nason 2009).
Kuman yang terdapat di telinga tengah dapat masuk dari liang telinga
luar melalui perforasi membran timpani ataupun melalui nasofaring.
Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri yang terbanyak dijumpai
pada otitis media akut. Pada isolasi dari otitis media kronis, kuman aerobik
dan anaerobik juga terlibat pada sebagian kasus. Kuman aerob yang
sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
aureus, basil gram negatif seperti Escherichia coli, Proteus species, dan
Klebsiella species. Kuman anaerob yang paling sering dijumpai adalah
Bacteroides spp. dan Fusobacterium spp. (World Health Organization
2004; Chole & Sudhoff 2005; Wright & Valentine 2008; Chole & Nason
2009).
Jamur dapat pula dijumpai pada otitis media kronis khususnya
Aspergillus spp. dan Candida spp. Jamur mungkin dapat tumbuh
berlebihan setelah pemakaian obat tetes antibiotika (Chole & Nason
2009).

2.1.2. Patogenesis OMSK


Ada dua mekanisme perforasi kronis yang dapat menyebabkan infeksi
telinga tengah yang berlanjut atau berulang: (1) Bakteri dapat
mengkontaminasi telinga tengah secara langsung dari telinga luar karena
efek proteksi barier fisikal membran timpani telah hilang. (2) Membran
timpani yang utuh secara normal menghasilkan bantalan gas, yang
menolong untuk mencegah refluks sekresi nasofaring ke dalam telinga
tengah melalui tuba Eustachius. Hilangnya mekanisme protektif ini
menyebabkan terpaparnya telinga tengah terhadap bakteri patogen dari
nasofaring (Yates & Anari 2008).

Universitas Sumatera Utara


Disfungsi
tuba Resolusi
Eustachius:
-Mekanikal
-Fungsional Peningkatan
permeabilitas
Pelepasan Inflamasi
vaskular
Mediator dan efusi Sekuele
inflamasi telinga
Aktifitas
Infeksi : tengah
sekretori
-Bakteri
epitel
-Virus
-Lainnya
Komplikasi

Gambar 2.1. Patogenesis Otitis Media (Juhn et al. 2008)

OMSK ditandai dengan keadaan patologis yaitu inflamasi yang


ireversibel di telinga tengah dan mastoid. Disfungsi tuba Eustachius
memegang peranan penting pada otitis media akut dan otitis media kronis.
Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba Eustachius membuka
selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu, mengalirkan
sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari nasofaring
refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga
tengah dengan lingkungan luar (Chole & Nason 2009).
Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek
membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini
diikuti oleh pelepasan mediator inflamasi ke dalam ruang telinga tengah.
Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase inflamasi
akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mediator selular
mononuklear (makrofag, sel plasma dan limfosit), edema persisten dan
jaringan granulasi. Selanjutnya dapat terjadi metaplasia epitel telinga
tengah, dimana terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi epitel kolumnar
pseudostratified yang mampu meningkatkan sekret mukoid. Jaringan
granulasi menjadi lebih fibrotik, kadang-kadang membentuk adhesi
terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini akan mengganggu

Universitas Sumatera Utara


aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara osikel dan
mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis
menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole
& Nason 2009).

2.1.3. Diagnosis OMSK


Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik. Gejala klinis meliputi tuli, otorea, otalgia, obstruksi
hidung, tinitus dan vertigo. Tuli dan otorea merupakan gejala yang paling
umum terjadi (Chole & Nason 2009).
OMSK ditandai oleh otorea yang banyak dan intermiten, bila disertai
dengan kolesteatoma yang terinfeksi maka menimbulkan bau busuk. Nyeri
dapat terjadi sebagai tanda komplikasi intrakranial dari kolesteatoma.
Gejala lainnya adalah otorea yang berdarah, vertigo akibat fistula labirin,
paralisis nervus fasialis atau gejala neurologis akibat penyebaran
intrakranial. Jaringan granulasi sering yang sering dijumpai pada otitis
media kronis disebabkan oleh reaksi inflamasi (Yates & Anari 2008;
Chole & Nason 2009).
Diagnosis OMSK dan kolesteatoma telinga biasanya dilakukan dengan
pemeriksaan otomikroskopik. Perlu juga untuk mengevaluasi nasofaring
karena disfungsi tuba Eustachius sering menyebabkan OMSK pada
beberapa kasus. Pemeriksaan dengan mikroskop akan membantu untuk
mengidentifikasi perforasi membran timpani, retraction pockets,
kolesteatoma, dan jaringan granulasi. Primary acquired kolesteatoma
akan terlihat pada daerah posterosuperior membran timpani yang tampak
seperti defek mutiara putih yang mengandung debris keratin, sementara
secondary acquired kolesteatoma dapat dilihat di belakang membran
timpani (Yates & Anari 2008; Chole & Nason 2009).
Pemeriksaan pencitraan mastoid perlu untuk melihat perluasan
penyakit dan untuk mengidentifikasi kolesteatoma. Walaupun Computed
Tomography (CT) dianggap merupakan gold standard untuk

Universitas Sumatera Utara


mendiagnosis kolesteatoma, namun spesifitasnya kurang untuk
membedakan kolesteatoma dengan jaringan granulasi atau edema. Pada
CT, kolesteatoma terlihat sebagai lesi yang halus dan berbatas tajam,
umumnya CT dilakukan tanpa kontras (Wright & Valentine 2008; Chole &
Nason 2009).
Pada pemeriksaan dengan magnetic resonance imaging (MRI)
kolesteatoma terlihat sebagai low signal pada T1-weighted images dan
high signal pada T2-weighted images. MRI dengan gadolinium sangat
berguna bila disangkakan terjadi komplikasi intrakranial karena
keunggulannya dalam visualisasi densitas jaringan lunak. MRI juga efektif
untuk mendiagnosis penyakit yang menyebar ke apeks petrosa (Wright &
Valentine 2008; Chole & Nason 2009).

2.1.4. Penatalaksanaan OMSK


Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala
dan meminimalisir risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satu-
satunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan
inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural
toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright &
Valentine 2008).
Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani
kolesteatoma, yang secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal
wall down) dan closed cavity (intact canal wall) mastoidektomi (Wright &
Valentine 2008).
a. Canal wall down procedures
Prosedur ini mengeluarkan dan mengangkat semua kolesteatoma,
termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga kavum mastoid
berhubungan langsung dengan liang telinga luar (Helmi 2005; Merchant,
Rosowski & Shelton 2009; Dhingra 2010).

Universitas Sumatera Utara


b. Intact Canal Wall Procedures
Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal
dinding posterior liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang
dan merekonstruksi skutum.
Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary acquired
cholesteatoma bila kolesteatoma terdapat di atik dan antrum. Dilakukan
complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid dapat dilihat.
Diseksi matriks kolesteatoma harus dilakukan dengan hati-hati. Rekurensi
dapat terjadi bila fragmen kecil dari epitel berkeratinisasi tertinggal. Sering
diperlukan second look operation setelah 6-12 bulan kemudian
disebabkan rekurensi kolesteatoma (Wright & Valentine 2008; Chole &
Nason 2009).

2.2. Kolesteatoma

2.2.1. Definisi
Kolesteatoma adalah suatu kista epitel yang dilapisi oleh stratified
squamosa epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang
terperangkap dalam rongga timpanomastoid, tetapi dapat juga
terperangkap di bagian manapun dari tulang temporal yang
berpneumatisasi (Levine & Souza 2003; Meyer, Strunk & Lambert 2006).

2.2.2. Sejarah kolesteatoma


Istilah kolesteatoma pertama sekali dikemukakan oleh Johannes Mller
pada tahun 1838 untuk menjelaskan apa yang kita sebut sebagai kista
epidermal pada tulang temporal yang berpneumatisasi (Chole & Nason
2009).
Friedmann pada tahun 1959 mendefinisikan kolesteatoma sebagai
suatu struktur kistik yang dilapisi oleh stratified squamous cell epithelium,
terletak di atas stroma fibrous dengan ketebalan yang bervariasi, yang

Universitas Sumatera Utara


dapat mengandung beberapa elemen dari mukosa asalnya (Dornelles et
al. 2005).
Schuknecht (1974) seperti yang dikutip oleh Dornelles et al. (2005)
mendefinisikan kolesteatoma sebagai akumulasi eksfoliasi keratin di
dalam telinga tengah atau pada area pneumatisasi tulang temporal, yang
berasal dari keratinized squamous epithelium. Secara informal
kolesteatoma dapat dikarakteristikkan sebagai kulit di tempat yang salah
Kolesteatoma telinga tengah yang acquired (didapat) pertama sekali
diterangkan oleh Curveilhier (1829) dimana karakteristiknya adalah
adanya invasi keratinized squamous epithelium ke kavum timpani, yang
berbeda dari columnar pseudostratified ciliated epithelium, dengan sel
goblet yang terdapat pada tuba auditorius atau simple, cubic atau
columnar squamous cell epithelium pada telinga tengah. Berbeda dari
namanya, kolesteatoma tidak mengandung lemak atau kolesterol di dalam
matriksnya (Chole & Nason 2009; Vitale et al. 2011).

2.2.3. Epidemiologi
Prevalensi kolesteatoma belum diketahui secara pasti. Chole & Nason
(2009) menyebutkan insidens kolesteatoma berkisar antara 3-12 kasus
per 100.000 populasi. Tos (1988) seperti yang dikutip oleh Chole &
Sudhoff (2005) menemukan insidens tahunan pada anak-anak sebesar 3
per 100.000 sedangkan pada dewasa 12,6 per 100.000 populasi. Harker
(1977) di Birmingham seperti yang dikutip oleh Chole & & Sudhoff (2005)
mendapatkan insidens tahunan kolesteatoma adalah 6 per 100.000
populasi.
Pada tulang temporal manusia dengan otitis media kronis, didapati
kolesteatoma pada 36% telinga dengan perforasi dan 4% tanpa perforasi
membran timpani (Chole & Sudhoff 2005). Jenis kelamin pria lebih banyak
menderita kolesteatoma (Chole & Nason 2009; Nunes et al. 2009).
Jumlah pasien OMSK dengan kolesteatoma di Departemen THT-KL
RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2006-31 Desember 2010

Universitas Sumatera Utara


sebanyak 119 pasien (Siregar 2013), sedangkan Lubis (2010)
mendapatkan 38,7% kasus OMSK merupakan OMSK dengan
kolesteatoma.

2.2.4. Histopatologi
Berdasarkan histopatologi, kombinasi dari material keratin dan
stratified squamous epithelium merupakan diagnosis patologi untuk
kolesteatoma. Adanya epitel skuamosa di telinga tengah adalah abnormal.
Pada keadaan normal telinga tengah dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia
di bagian anterior dan inferior kavum timpani serta epitel kuboidal di
bagian tengah dari kavum timpani dan di atik.
Tidak seperti yang terdapat pada epidermis kulit, epitel skuamosa ini
tidak mempunyai struktur adneksa. Hal ini mungkin karena letaknya
berbatasan dengan jaringan granulasi atau fibrosa yang mengalami
inflamasi, dan juga reaksi giant cell pada material keratin (Caponetti,
Thompson & Pantanowitz 2009; Mills 2009).
Secara histologis kolesteatoma dapat dibagi dua: matriks (epithelium)
dan peri-matriks (underlying connective tissue). Matriks kolesteatoma
mempunyai 4 lapisan yang berbeda: basal, spinosus, granulous dan
stratum korneum, seperti yang terdapat pada kulit yang tipis. Peri-matriks
ditandai oleh adanya jaringan ikat longgar yang terbuat dari kolagen dan
elastic fibers, fibroblas and sel inflamasi (Vitale et al. 2011).
Analisis histologis dari matriks kolesteatoma memperlihatkan pola
yang berbeda yaitu atrofi, akantosis, hiperplasia lapisan basal dan
epithelial cones (Vitale et al. 2011).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2. Histopatologi kolesteatoma (Wenig 2009).

2.2.5. Patogenesis kolesteatoma


Kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi congenital dan acquired.
Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Primary
acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang berasal dari retraksi
pars flaksida, sedangkan secondary acquired cholesteatoma adalah
kolesteatoma yang terjadi akibat perforasi membran timpani, biasanya
pada kuadran posterior superior telinga tengah (Chole & Nason 2009).
Patogenesis kolesteatoma acquired telah diperdebatkan selama lebih
dari satu abad. Ada 4 teori dasar patogenesis kolesteatoma acquired:
1. invaginasi membran timpani (retraction pocket cholesteatoma);
2. hiperplasia sel basal; 3. pertumbuhan epitel melalui perforasi (the
migration theory); dan 4. metaplasia skuamosa dari epitel telinga tengah.
Saat ini Sudhoff dan Tos mengemukakan kombinasi dari teori invaginasi
dan sel basal sebagai penjelasan dari pembentukan retraction pocket
kolesteatoma (Chole & Sudhoff 2005; Chole & Nason 2009).

a. Teori invaginasi
Teori invaginasi pembentukan kolesteatoma secara umum diterima
sebagai salah satu mekanisme primer dalam pembentukan atik
kolesteatoma. Retraction pockets dari pars flaksida terjadi karena tekanan
negatif telinga tengah dan kemungkinan disebabkan inflamasi berulang.

Universitas Sumatera Utara


Ketika retraction pocket membesar, deskuamasi keratin tidak dapat
dibersihkan dari reses sehingga terbentuk kolesteatoma. Asal dari
retraction pocket kolesteatoma disangkakan adalah disfungsi tuba
Eustachius atau otitis media efusi dengan resultante tekanan telinga
tengah (ex vacuo theory). Pars flaksida, yang kurang fibrous dan kurang
tahan terhadap pergerakan, biasanya adalah sumber kolesteatoma. Tipe
kolesteatoma tersebut terlihat sebagai defek pada kuadran posterior
superior membran timpani dan erosi dari dinding liang telinga yang
berdekatan. Kegagalan migrasi epitel ini menyebabkan akumulasi keratin
dalam retraction pocket. Bakteri dapat menginfeksi matriks keratin,
membentuk biofilm yang menyebabkan infeksi kronis dan proliferasi epitel
(Chole & Sudhoff 2005; Chole & Nason 2009).

b. Teori invasi epitel


Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan
permukaan luar dari membran timpani mempunyai kemampuan
bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau perforasi atik.
Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel yang lain, yang
disebut dengan contact inhibition (Chole & Nason 2009).
Jika mukosa telinga tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau
trauma karena perforasi membran timpani, mucocutaneus junction secara
teori bergeser ke kavum timpani. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk
menyatakan bahwa cytokeratin (CK) 10, yang merupakan intermediate
filament protein dan marker untuk epitel skuamosa, ditemukan pada
epidermis liang telinga dan matriks kolesteatoma tetapi tidak ada di
mukosa telinga tengah. Perforasi marginal memaparkan mukosa telinga
tengah dan struktur tulang liang telinga terhadap liang telinga luar (Chole
& Nason 2009).
Palva dan peneliti lain menunjukkan perubahan histologis ini pada
tulang temporal manusia. Kolesteatoma yang berasal dari fraktur tulang
temporal dapat terjadi dari mekanisme ini. Fraktur liang telinga

Universitas Sumatera Utara


menyebabkan pertumbuhan epitel berkeratinisasi dengan mekanisme
kontak (Chole & Sudhoff 2005).
Namun perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan
sebagai safe ears. Analisis terbaru dari perforasi sentral membran
timpani dari pasien otitis media kronis, 38% mengalami pertumbuhan
epidermal dengan mucocutaneus junction terletak di luar permukaan
dalam dari perforasi (Chole & Nason 2009).

c. Teori hiperplasia sel basal


Pada tahun 1925, Lange mengobservasi bahwa sel epitel
berkeratinisasi pada pars flaksida dapat menginvasi ruang sub epitel
normal yang akan menyebabkan terbentuknya kolesteatoma di atik.
(Chole & Nason 2009).
Sel epitel (prickle cells) dari pars flaksida dapat menginvasi jaringan
subepitelial dengan cara proliferasi kolum sel epitel. Epitel yang
menginvasi lamina propria, basal lamina (basement membrane) menjadi
berubah. Huang dan Masaki meneliti teori ini dengan memperlihatkan
bahwa pertumbuhan epitel membran timpani dapat diinduksi dengan
meneteskan propylene glycol ke telinga tengah mencit. Kerusakan lamina
basalis menyebabkan invasi epitel ke dalam jaringan ikat subepitel dan
membentuk mikrokolesteatoma. Mekanisme ini dapat menerangkan
beberapa tipe kolesteatoma, termasuk yang terbentuk di belakang
membran timpani yang intak. Mikrokolesteatoma membesar dan
mengadakan perforasi secara sekunder melalui membran timpani (Chole
& Sudhoff 2005).
Perubahan diferensiasi keratinosit dan lapisan sel basal matriks
kolesteatoma telah diteliti pada beberapa penelitian. Distribusi abnormal
dari marker diferensiasi epidermal, seperti filaggrin dan involucrin, c-jun
dan p53 proteins, dan peningkatan reseptor epidermal growth factor
terlihat dalam matriks kolesteatoma telinga tengah. Peningkatan CK 13
dan 16, marker diferensiasi dan hiperproliferasi juga ditemukan. Kim dkk

Universitas Sumatera Utara


mendemonstrasikan peningkatan ekspresi CK 13 dan 16 pada area
perifer pars tensa yang diinduksi oleh kolesteatoma oleh ligasi liang
telinga dan area perifer dan sentral pars tensa yang diinduksi
kolesteatoma oleh obstruksi tuba Eustachius.Peningkatan ekspresi
human intercellular adhesion molecule-1 dan 2 memiliki peran migrasi
sel ke jaringan. Adanya heat shock protein 60 dan 70 menunjukkan
proliferasi dan diferensiasi aktif dari keratinosit basal yang berhubungan
dengan kolesteatoma (Chole & Sudhoff 2005).
Berbagai laporan menyatakan respon imun terlibat pada
hiperproliferasi epitel kolesteatoma. Sel Langhan's dapat menyebabkan
reaksi imun dan menunjang proliferasi epitel berkeratinisasi oleh IL-1
(Chole & Sudhoff 2005).

d. Teori metaplasia skuamosa


Infeksi atau inflamasi jaringan yang kronis dapat mengalami
transformasi metaplasia. Epitel kuboid pada telinga tengah dapat berubah
menjadi epitel berkeratinisasi. Epitel skuamosa berkeratinisasi telah
ditemukan pada biopsi telinga tengah pada penderita otitis media pada
anak. Namun progresivitas dari kolesteatoma masih belum berhasil
dipaparkan (Chole & Nason 2009).

2.2.6. Inflamasi dan hiperproliferasi


Epitel kolesteatoma walaupun tidak bersifat neoplastik tetapi bersifat
hiperproliferatif. Involucrin adalah prekursor pembentukan lapisan teratas
dari epidermis, ditemukan hanya pada high suprabasal layer pada kulit
yang normal. Pada kolesteatoma, involucrin ditemukan di semua lapisan
suprabasal, yang mengakibatkan peningkatan akumulasi dari keratin di
dalam epidermis. Beberapa studi juga menunjukkan peningkatan ekspresi
dari marker proliferasi pada lapisan basal dan supra basal dari epidermis,
yaitu CK4, CK5/6, CK 10, CK13/16, epidermal growth factor receptor
(EGFR), keratinocyte growth factor (KGF), dan Ki-67. Distribusi yang

Universitas Sumatera Utara


abnormal dari p-53, c-jun dan ekspresi c-myc juga terlibat dalam proses
hiperproliferatif. Studi terbaru menggunakan teknologi cDNA array juga
mengidentifikasi ada gen-gen lain yang memegang peranan dalam
pembentukan kolesteatoma seperti calgranulin A/B, thymosin dan
extracellular matrix protein-1 (Chole & Nason 2009).
Faktor penting lain yang berperan dalam proses hiperproliferatif adalah
inflamasi kronis. Pada stroma dari kolesteatoma terdapat fibroblas, sel-sel
Langerhans, sel-sel mast, limfosit yang teraktivasi, makrofag dan
keratinosit. Keratinosit memproduksi keratin dalam jumlah yang besar.
Inflamasi dengan atau tanpa infeksi merekrut sel-sel tersebut untuk
membentuk suatu lingkungan dengan peningkatan konsentrasi dari sitokin
proinflamasi. Lingkungan dapat menstimulasi keratinosit basal untuk
berproliferasi aktif dan memicu pertumbuhan kolesteatoma (Chole &
Nason 2009).
Pada penyakit otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari
tulang hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas
penyakit ini. Tulang merupakan organ dinamis yang secara konstan
melakukan remodeling untuk mendapatkan kondisi homeostasis kalsium
dan integritas struktural. Sintesa dari matriks dilakukan oleh osteoblas
sementara proses resorpsi diatur oleh osteoklas (Chole & Nason 2009).
Terdapat konsep yang bertentangan antara nekrosis akibat tekanan
atau sekresi enzim proteolitik oleh matriks kolesteatoma. Saat ini diketahui
aktifitas osteoklas pada inflamasi akan menyebabkan resorpsi tulang.
Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor dikontrol oleh 2 sitokin
esensial yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor B Ligand (RANKL)
dan Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan
normal, osteoblas memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai
pembentukan osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan
Receptor Activator of Nuclear Factor B (RANK). Pada kondisi patologis,
banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokin-sitokin tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu osteoprotegrin (OPG)
yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL.
Jeong et al. (2006) seperti yang dikutip oleh Chole & Nason (2009)
menemukan peningkatan jumlah RANKL pada kolesteatoma dibandingkan
dengan kulit postaurikular yang normal. Hasil ini menyatakan jaringan
kolesteatoma meningkatkan rasio RANKL/OPG pada proses inflamasi dan
berpotensi untuk proses osteoklastogenesis. Sitokin inflamasi seperti
TNF-, IL-1 dan IL-6 prostaglandin juga diketahui meningkatkan
osteoklastogenesis. Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui lebih cepat
mendestruksi tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri sepertinya
memegang peranan penting terhadap fenomena ini.

2.2.7. Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma


Karena kapasitasnya untuk menyebabkan erosi tulang, yang terdapat
pada 80% kasus, kolesteatoma bertanggung jawab terhadap komplikasi
ekstrakranial dan intrakranial. Bila komplikasi ini muncul, menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Vitale & Riberio 2007).
Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma dapat berupa (Friedland,
Pensak & Kveton 2009):
1. Intratemporal
a. Mastoiditis
b. Petrositis
c. Paralisis nervus fasialis
d. Labirinitis
e. Abses subperiosteal
f. Fistel retroaurikular
2. Intrakranial
a. Abses ekstradural
b. Abses subdural
c. Meningitis
d. Abses otak

Universitas Sumatera Utara


e. Tromboflebitis sinus lateralis
f. Hidrosefalus otikus.

2.2.8. Stadium dan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma


Belum ada sistem stadium untuk kolesteatoma yang secara luas
digunakan. Pada tahun 1986, Meyerhoff et al. seperti dikutip oleh
Telmesani, Sayed & Bahrani (2009) telah mengajukan klasifikasi
kolesteatoma berdasaran patofisiologi, lokasi, fungsi tuba Eustachius,
defek pada tulang, dan ada tidaknya komplikasi. Namun hasil tersebut
belum secara luas diadopsi disebabkan kurangnya relevansi klinis yang
didapatkan dan beberapa faktor sangat sulit untuk dievaluasi saat
preoperatif
Beberapa klasifikasi stadium kolesteatoma yang sudah dipublikasikan
adalah:
a. Menurut Saleh & Mills (1999) seperti yang dikutip oleh Nunes et
al. (2009) membuat klasifikasi stadium kolesteatoma
berdasarkan perluasan lesi, keadaan osikel dan komplikasi pre
operasi. Hal ini menunjukkan hubungan antara stadium
penyakit, kerusakan osikel dan terjadinya komplikasi.
Berdasarkan lokasi kolesteatoma:
S1 : Bila kolesteatoma terbatas pada lokasi asal
S2 : Bila telah terjadi perluasan lokal
S3 : Bila mengenai tiga lokasi
S4 : Bila mengenai 4 lokasi
S5 : Bila mengenai lebih dari 4 lokasi
Berdasarkan komplikasi sebelum dilakukannya tindakan
operasi:
C1 : Bila tidak terdapat komplikasi
C2 : Bila terdapat komplikasi
C3 : Bila terdapat dua komplikasi atau lebih

Universitas Sumatera Utara


b. Menurut Japan Otological Society (JOS) seperti yang dikutip
oleh Hashimoto-Ikehara et al. (2011):
Stadium I: Kolesteatoma tidak meluas melebihi daerah
atik
Stadium II: Kolesteatoma meluas melebihi daerah atik
Stadium III: Sejumlah kolesteatoma yang menyebabkan
sedikitnya satu komplikasi di bawah ini:
Kelumpuhan saraf fasialis
Komplikasi intrakranial
Fistel labirin
Defek luas pada liang telinga luar
Ganguan pendengaran sensorineural berat
Adhesi total pada membran timpani

c. Menurut Kuczkowski et al. (2011)


Derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma dapat dibagi
atas:
Ringan: erosi skutum dan osikel.
Sedang: destruksi tegmen dan seluruh osikel.
Berat: destruksi seluruh osikel, tulang labirin,
kanalis fasialis dan liang telinga luar.

Derajat invasi kolesteatoma dan jaringan granulasi dibagi


atas:
Meliputi 1 area: epitimpanum atau mesotimpanum
Meliputi 2 area: epitimpanum atau mesotimpanum
dan antrum
Meliputi 3 area: mesotimpanum, epitimpanum dan
antrum.

Universitas Sumatera Utara


2.3. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-)
Terdapat banyak teori yang menerangkan tentang efek destruktif
(erosi) dari kolesteatoma. Pada awalnya disebut bahwa penyebab
destruksi adalah tekanan yang diakibatkan akumulasi keratin dan produk
akhirnya. Teori biokemikal akhirnya diterima sebagai suatu dalil, dimana
enzim dan sitokin yang dilepaskan oleh kolesteatoma akan menyebabkan
lisis tulang dan destruksi (Chole & Nason 2009).
Sitokin merupakan suatu grup protein sistem imun yang mengatur
interaksi antar sel dan memacu reaktifitas imun, baik pada imunitas non
spesifik maupun spesifik (Baratawidjaja 2012).
Sesuai dengan daerah kerjanya, sitokin bekerja sebagai autokrin
(sewaktu bekerja dalam sel induknya), parakrin (sewaktu bekerja pada sel
tetangga) dan endokrin yaitu sewaktu bekerja pada tempat yang jauh
(Vitale & Ribeiro 2007; Baratawidjaja 2012).
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap
rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator
pada reaksi imun dan inflamasi. Kerjanya sering pleiotropik (satu sitokin
bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan berbagai efek) dan
redundant atau berbagai sitokin menunjukkan efek yang sama
(Baratawidjaja 2012).
Sitokin juga berpegaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain.
Respon selular sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel
sasaran yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan kadang proliferasi
sel sasaran. Sitokin proinflamasi dan inflamasi diinduksi berbagai sel atas
pengaruh mikroba, trauma atau kerusakan sel pejamu. Sitokin mengawali,
mempengaruhi dan meningkatkan respon imun non spesifik. Makrofag
dirangsang oleh Interferon- (IFN-), TNF- dan IL-1 disamping juga
memproduksi sitokin-sitokin tersebut. TNF-, IL-1 dan lL-6 merupakan
sitokin proinflamasi dan inflamasi spesifik (Baratawidjaja 2012).
TNF- ditemukan oleh Carswell et al. pada tahun 1967; yang dianggap
merupakan salah satu sitokin utama pada respon inflamasi akut terhadap

Universitas Sumatera Utara


bakteri gram negatif dan mikroba lainnya. TNF- juga mempunyai
peranan penting dalam sistem imunitas serta mengontrol proliferasi,
diferensiasi, dan apoptosis dari sel (Cho et al. 2003; Van Horssen,
Tenhagen & Eggermont 2006).
Penelitian mengenai efek TNF- dalam kolesteatoma dimulai pada
awal 1990-an, dimana TNF- diperiksa dengan cara menambahkan
preparat supernatan fragmen kolesteatoma ke kultur jaringan tulang
sehingga menstimulasi pembentukan sel multinukleotida dan munculnya
lakuna permukaan tulang. Sel multinukleotida yang sebenarnya adalah
osteoklas, ditemukan di lakuna (Howships lacunae) dan menyebabkan
destruksi tulang (Vitale & Ribeiro 2007).
TNF- memiliki beberapa efek pada tubuh. Sewaktu dikeluarkan pada
konsentrasi rendah, TNF- bekerja pada sel endotel menyebabkan
vasodilatasi dan menstimulasi sel ini untuk mensekresi grup leukosit-
kemotaksis sitokin yang dinamakan kemokin. Inflamasi lokal yang
dihasilkan melawan infeksi. Di hipotalamus TNF- merupakan pirogen
endogen yang menyebabkan demam. Pada hepar, TNF- menstimulasi
produksi acute phase inflammatory proteins dan fibrinogen (Vitale &
Ribeiro 2007). Infeksi berat dapat memicu produksi TNF- dalam jumlah
besar yang menimbulkan reaksi sistemik (Baratawidjaja 2012).
Pada awal tahun 1990 terdapat publikasi penelitian pertama yang
menyebutkan TNF- merupakan sitokin yang penting pada proses
destruksi tulang (Vitale & Ribeiro 2007). Sitokin ini terutama diproduksi
oleh makrofag, keratinosit dan osteoblas sebagai respon terhadap antigen
bakterial dan menstimulasi makrofag untuk menunjang fibroblas
memproduksi prostaglandin E2. Peningkatan level TNF- juga telah
terlihat pada makrofag, keratinosit dan sel epitel kolesteatoma. Kadar
TNF- dalam jaringan kolesteatoma lebih tinggi 3,8 kali dibandingkan
dengan kulit normal dan hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya
oleh Yetiser et al.(2002). Kolesteatoma melepaskan sitokin proinflamasi

Universitas Sumatera Utara


yang bertanggung jawab terhadap proses inflamasi telinga tengah
(Kuczkowski et al. 2010; 2011 ).
Sitokin yang dikeluarkan pada proses inflamasi terdapat pada peri-
matriks merupakan salah satu faktor yang bertanggung jawab pada
destruksi tulang oleh kolesteatoma. Namun TNF- berkerja sama dengan
RANKL, IL-1 dan IL-6, menyebabkan destruksi dan remodeling tulang.
Ada dua reseptor untuk TNF-, yaitu TNF-R1 dan TNF-R2. Cara kerja
masing-masing masih belum jelas diketahui (Vitale et al. 2011).
TNF- dikeluarkan pada semua infeksi telinga tengah, tidak hanya
dalam kolesteatoma. Pada infeksi kronis telinga yang lain tidak terdapat
destruksi tulang seperti yang terlihat pada kolesteatoma. Chung & Yoon
(1998) sebagaimana dikutip oleh Vitale & Ribeiro (2007) menyimpulkan
bahwa interleukin (yang menstimulasi matriks kolesteatoma untuk
mendestruksi tulang) dilepaskan dalam perimatriks. Destruksi tulang tidak
terlihat ketika jaringan epitel (matriks) dipisahkan dari jaringan subepitel
(perimatriks) kolesteatoma. Perbedaan ini dapat diterangkan oleh adanya
dan distribusi reseptor TNF- dalam epitel kolesteatoma atau matriks.
Jumlah TNF- dan jumlah reseptor berhubungan dengan destruksi
tulang. Beberapa peneliti telah menghubungkan kadar TNF- dengan
temuan intraoperasi. TNF- banyak didapati pada kolesteatoma dengan
peningkatan destruksi tulang, hal tersebut dapat terlihat pada
kolesteatoma congenital maupun acquired. Resorpsi osikel terdapat pada
area yang terlokalisir dekat dengan peri-matriks kolesteatoma atau
jaringan granulasi (Vitale & Ribeiro 2007).
Peri-matriks kolesteatoma mengandung limfosit, monosit, fibroblas dan
sel endotel yang merupakan sumber proinflamasi (TNF-, IL-1 dan IL-6)
dan immunoregulator (IL-2, IL-4, IL-5, IL-10, TGF- dan GM-CSF),
sitokin dan mediator seperti RANKL (Kuczkowski et al. 2011).
TNF- menyebabkan destruksi tulang dengan cara bekerja secara
langsung dalam diferensiasi dan maturasi osteoklas, dan secara tidak
langsung mengekspos matriks tulang. Proses ini terjadi bersamaan

Universitas Sumatera Utara


dengan IL-1 dan RANKL yang juga banyak terdapat pada daerah
inflamasi yang disertai dengan destruksi tulang. Secara bersama
substansi tersebut dapat merekrut, mendiferensiasi dan mengaktivasi
osteoklas. Inilah sinergi antara TNF- dan RANKL yang bekerja sama
meningkatkan fungsi osteoklas, di mana dapat ditambahkan IL-1 dan IL-6
(Vitale & Ribeiro 2007).
Osteoklas berasal dari sel hematopoetik yaitu monosit atau makrofag.
Hamzei et al. (2003) seperti dikutip olek Kuczkowski et al. (2011)
melaporkan tingginya konsentrasi osteoclast progenitor cell lineage dan
makrofag dalam kolesteatoma dibandingkan dengan kulit normal liang
telinga.
Nason et al. (2009) seperti yang dikutip oleh Kuczkowski et al. (2011)
menyatakan bahwa infeksi bakteri telinga tengah berhubungan dengan
perkembangan osteolisis tulang. Lipopolisakarida bacterial (LPS) yang
merupakan antigen sangat kuat dari Pseudomonas aeruginosa (bakteri
yang paling banyak diisolasi dari kolesteatoma yang terinfeksi), telah
terlebih dulu diperlihatkan sebagai induktor kuat dari osteoklastogenesis.
LPS menginduksi ekspresi reseptor untuk IL-1 dan TNF dalam RANKL
precursor osteoklas utama yang telah dilakukan dengan RT-PC analisis.
IL-1 menstimulasi limfosit, fibroblas dan keratinosit dan osteoklas tehadap
proses resorpsi tulang. Sitokin ini terutama berada pada membran basal
dari epitel kolesteatoma dan pada monosit di subepitel.
Perbandingan kadar sitokin proinflamasi dan faktor klinikopatologi
mengindikasikan derajat destruksi tulang dan perluasan invasi
kolesteatoma yang berkorelasi satu sama lain. Peningkatan kadar sitokin
proinfamasi dalam kolesteatoma menyebabkan eksaserbasi inflamasi
kronik dan menyebabkan komplikasi. Destruksi tulang yang luas pada
pasien otitis media kronik dengan kolesteatoma (sebagai contoh osteolisis
labirin atau liang telinga luar) harus dioperasi dengan teknik terbuka
dengan sangat hati-hati untuk membersihkan permukaan tulang.
Peningkatan aktifitas TNF- , IL-1 dan IL-6 dalam jaringan patologis yang

Universitas Sumatera Utara


dibersihkan mengindikasikan perlunya operasi kedua setelah beberapa
bulan. Dengan kata lain, peningkatan kadar sitokin proinflamasi dapat
menstimulasi pertumbuhan cepat dari kolesteatoma (Kuczkowski et al.
2011).
Setelah diproduksi dan dikeluarkan, TNF- terhubung ke reseptor
spesifik yang disebut TNF reseptor I dan II (TNF-R) untuk memproduksi
efek biologis. TNF reseptor (khususnya TNF-RII) juga menginisiasi
apoptosis. Mekanisme mana yang lebih dominan belum dapat
diterangkan sepenuhnya. Efek fisiologis utama dari TNF- adalah untuk
menunjang respon imunologi dan inflamasi dengan cara merekrut dan
mengaktivasi neutrofil dan monosit ke tempat infeksi (Vitale & Ribeiro
2007).
TNF- dapat dihambat oleh cairan antagonis yang dapat memblok
reseptornya. Assuma et al. (1998) seperti yang dikutip oleh Vitale &
Ribeiro (2007) meneliti berkurangnya kerusakan tulang sebanyak 60%
dengan cara memakai antagonis tersebut. TNF- juga dapat dihambat
oleh anti-TNF- antibodies. Blokade TNF- akan mengurangi resorpsi
tulang.

Gambar 2.3. Kerja TNF- di dalam sel. Setelah berikatan dengan reseptornya, TNF-
mengaktivasi NF-B, yang memproduksi dan mengeluarkan berbagai zat yang terlibat
dalam respon inflamasi dan imunologi (Vitale & Ribeiro 2007).

Universitas Sumatera Utara


2.4. TNF- Dalam Kolesteatoma Acquired
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa TNF- mempunyai kapasitas
untuk mengerosi tulang. Kuczkowski et al. (2011) menemukan
peningkatan level TNF- pada pasien dengan destruksi tulang.
Peningkatan ekspresi TNF- pada otitis media kronik dan adanya
hubungan positif yang kuat antara kadar sitokin ini dengan derajat
destruksi tulang menunjukkan kolesteatoma mampu mendestruksi tulang.
TNF- dapat menstimulasi diferensiasi dan maturasi osteoklas atau
dapat bereaksi pada matriks tulang, memaparkannya terhadap osteoklas.
Semua penelitian menunjukkan pentingnya TNF- pada proses resorbsi
tulang di dalam kolesteatoma dan derajat destruksi yang terlihat, namun
tidak ada konsensus mengenai lokasinya. Perbedaannya mungkin
disebabkan lokasi reseptornya (Vitale & Ribeiro 2007).
Li, Qin & Dong (2004) di Zhengzhou-Cina dengan pemeriksaan
imunohistokimia dan analisis komputer kuantitatif untuk mendeteksi
ekspresi TNF- pada 22 spesimen kolesteatoma, mendapatkan over
ekspresi TNF- pada sel stroma dan epitel kolesteatoma. Overekspresi
TNF- pada kolesteatoma berhubungan dengan destruksi osikel, hal ini
menunjukkan TNF- bertanggung jawab terhadap destruksi tulang pada
kolesteatoma. Pewarnaan imunohistokimia dari TNF- yang terlihat
dalam sel stroma mengindikasikan bahwa sel stroma memainkan peranan
penting pada destruksi tulang.
Yetiser et al. (2002) seperti yang dikutip oleh Vitale & Ribeiro (2007)
membandingkan kadar TNF- dan IL-1 pada 16 pasien otitis media kronis
tanpa kolesteatoma dan 20 pasien otitis media kronis dengan
kolesteatoma. Mereka menemukan kadar TNF- dan IL-1 yang lebih
tinggi pada grup kedua dan menyimpulkan bahwa destruksi tulang
dimediasi oleh sitokin tersebut.

Universitas Sumatera Utara


2.5. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan
badan kapsul dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang
mengandung rantai tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus,
terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius, dan
prosesus mastoid (Wright & Valentine 2008; Gacek 2009).

2.5.1. Membran timpani


Membran timpani membentuk dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Membran timpani berbentuk
bulat dan mempunyai ukuran vertikal kira-kira 9-10 mm, horizontal 8-9
mm, tebal 0,1 mm (Wright & Valentine 2008; Dhingra 2010).
Membran timpani secara anatomi terdiri dari 2 bagian yaitu pars tensa
terletak di bagian bawah, tegang dan lebih luas, serta pars flaksida
(Shrapnells membrane) di bagian atas yang lebih tipis karena
mengandung sedikit lapisan fibrosa (Gacek 2009).
Secara histologis membran timpani terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
1. Lapisan luar (stratum kutaneum) yaitu: lapisan epitel yang berasal
dari liang telinga luar.
2. Lapisan mukosa (stratum mukosum) yang berasal dari mukosa
telinga tengah.
3. Lapisan fibrosa (lamina propria) terletak diantara stratum kutaneum
dan stratum mukosum (Wright & Valentine 2008; Gacek 2009;
Dhingra 2010).

2.5.2. Kavum timpani


Kavum timpani merupakan suatu ruang yang terletak diantara
membran timpani dan telinga dalam. Kavum timpani adalah suatu ruang
bikonkaf dengan diameter vertikal dan antero-posteriornya sekitar 15 mm
dan diameter transversal 2-6 mm, yang mempunyai 6 dinding, yang
dibatasi oleh :

Universitas Sumatera Utara


1. Dinding atas, dibatasi oleh tulang yang tipis yang disebut tegmen
timpani, kadang-kadang mengalami dehisensi.
2. Dinding bawah, dibentuk oleh tulang tipis yang membatasi kavum
timpani dari bulbus vena jugularis.
3. Dinding lateral, dibentuk terutama oleh membran timpani.
4. Dinding anterior, berhubungan dengan m. tensor timpani, ostium
tuba Eustachius, dan dinding dari karotis.
5. Dinding medial, memisahkan kavum timpani dari telinga dalam.
Pada dinding medial terdapat promontorium yang merupakan
lingkaran basal koklea. Pada bagian belakang bawah dinding
media ini terdapat fenestra koklea (rotundum), dan pada bagian
belakang atas terdapat fenestra ovale.
6. Dinding posterior, bagian atas berhubungan dengan sellulae
mastoideus melalui aditus ad antrum (Helmi 2005; Wright &
Valentine 2008).

Dalam kavum timpani terdapat tulang-tulang pendengaran yang


berhubungan satu sama lain terdiri dari maleus, inkus dan stapes yang
menghubungkan membran timpani dengan foramen ovale (Helmi 2005;
Wright & Valentine 2008; Gacek 2009).

2.5.3. Tuba Eustachius


Tuba Eustachius adalah suatu saluran yang menghubungkan
nasofaring dengan telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap
proses pneumatisasi pada telinga tengah dan mastoid serta
mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan
atmosfir. Kestabilannya oleh karena adanya kontraksi muskulus tensor
veli palatini dan muskulus levator veli palatini pada saat mengunyah dan
menguap. Tiga perempat medial merupakan tulang rawan yang dikelilingi
oleh jaringan lunak, jaringan adiposa dan epitel saluran nafas (Wright &
Valentine 2008; Gacek 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.5.4. Prosesus mastoid
Pneumatisasi mastoid ternyata saling berhubungan dan drainasenya
menuju aditus ad antrum. Terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu
pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh
prosesus mastoid terisi oleh pneumatisasi, pada tipe sklerotik tidak
terdapat pneumatisasi sama sekali, sedangkan pada tipe diploik
pneumatisasi kurang berkembang. Sel mastoid dapat meluas ke daerah
sekitarnya, sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars skuamosa tulang
temporal (Wright & Valentine 2008; Gacek 2009).
Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang
terletak tepat di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran
yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura
merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang
sekitarnya yang membatasi rongga mastoid dengan duramater,
sedangkan yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis
disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan
membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian
superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus
(Wright & Valentine 2008; Gacek 2009).

2.5.5. Vaskularisasi kavum timpani


Telinga tengah dan mastoid diperdarahi oleh kumpulan cabang ateri
yang berbeda dari sistem karotis eksterna. Cabang arteri ke ruang telinga
tengah adalah cabang timpani anterior dari arteri maksilaris interna, yang
masuk melalui fisura petrotimpani dan berjalan sepanjang tuba Eustachius
dan kanalis semisirkularis menuju tensor timpani. Arteri meningea media
bercabang menjadi arteri petrosus superfisialis yang berjalan bersama
nervus petrosus superfisialis mayor dan memasuki kanalis fasialis di
hiatus. Anastomosis pembuluh darah ini dengan cabang arteri aurikularis
posterior, arteri stilomastoideus, yang memasuki kanalis fasialis di bagian
inferior melalui foramen stilomastoideus. Cabang arteri stilomastoideus

Universitas Sumatera Utara


meninggalkan kanalis Fallopian dan berjalan melalui kanalikulus bersama
nervus korda timpani untuk memasuki telinga tengah. Akhirnya, arteri
timpani inferior, cabang dari arteri faringeal asenden, memasuki telinga
tengah melalui kanalikulus timpani di dalam hipotimpani dengan cabang
timpani dari nervus ke sembilan (Gacek 2009).

2.6. Imunohistokimia
Pemeriksaan imunohistokimia dapat memberi informasi mengenai
kandungan berbagai unsur molekul di dalam sel normal maupun sel
neoplastik. Dasar dari pemeriksaan ini adalah pengikatan antigen (yang
terkandung dalam sel) dengan antibodi spesifiknya yang diberi label
chromogen. Teknik ini diawali dengan prosedur histoteknik yaitu prosedur
pembuatan irisan jaringan (histologi) untuk diamati di bawah mikroskop.
Irisan jaringan yang didapat kemudian memasuki prosedur
imunohistokimia (Hardjolukito & Endang 2005).
Imunohistokimia menjadi teknik pilihan untuk menentukan petanda-
petanda biologik tersebut karena relatif mudah, murah dan dapat
diterapkan pada sediaan rutin histopatologik. Namun demikian perlu
diperhatikan sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan, dimana pengaruh faktor-faktor tersebut dimulai dari tahap
pembedahan, pengolahan jaringan hingga penilaian hasil pulasan
(Hardjolukito & Endang 2005).

2.6.1. Metode pewarnaan imunohistokimia


Prinsip dari metode imunohistokimia adalah perpaduan antara reaksi
imunologi dan kimiawi, dimana reaksi imunologi ditandai adanya reaksi
antara antigen dengan antibodi, dan reaksi kimiawi ditandai adanya reaksi
antara enzim dengan substrat (Sudiana & Ketut 2005).
Pemeriksaan imunohistokimia dimaksudkan untuk mengenali bahan
spesifik tertentu didalam jaringan dengan menggunakan antibodi dan

Universitas Sumatera Utara


sistem deteksi yang memungkinkan untuk mengenali bahan spesifik
tersebut secara visual (Sudiana & Ketut 2005).
Antibodi bereaksi terhadap determinan dari antigen yang berada dalam
bahan spesifik yang diperiksa. Antibodi-antibodi ini akan berikatan dengan
bahan dalam jaringan, dan antibodi-antibodi ini diketahui dengan
menggunakan antibodi-antibodi lain yang dirancang untuk mengenal
immunoglobulin tersebut dari spesies-spesies yang terekspos dengan
bahan asli atau original (Sudiana & Ketut 2005).
Antibodi-antibodi penentu (anti-antibodi dari spesies lain) ini ditempeli
(tagged) dengan beberapa molekul pelapor (reporter molecule) misalnya
fluorecein atau enzim yang dapat mengkatalisa reaksi selanjutnya menuju
produk yang dapat dilihat (Sudiana & Ketut 2005).
Pewarnaan imunohistokimia pada dasarnya ada dua macam metode
yaitu (Sudiana & Ketut 2005):
a. Metode direct
Pada metode ini antibodi monoklonal yang digunakan untuk
mendeteksi suatu marker pada sel, langsung di label dengan suatu
enzim
b. Metode indirect
Pada metode imunohistokimia indirect, antibodi monoklonal yang
digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel, tidak dilabel
dengan suatu enzim. Antibodi ini dikenal dengan sebutan antibodi
primer. Namun pada metode ini bukan berarti tidak membutuhkan
antibodi yang dilabel enzim. Hal ini tetap dibutuhkan tetapi yang
dilabel adalah antiimunoglobulin, dalam imunohistokimia indirect
dikenal dengan sebutan antibodi sekunder. Untuk melabel antibodi
sekunder dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.
Secara langsung artinya antibodi sekunder telah terlabel oleh suatu
enzim. Sedangkan secara tidak langsung artinya pelabelan antibodi
sekunder dengan suatu enzim adalah menggunakan suatu bahan
perantara (kombinasi) seperti : biotin-streptavidin atau biotin-avidin.

Universitas Sumatera Utara


Penilaian pewarnaan imunohistokimia
Penilaian pewarnaan imunohistokimia semikuantitatif dilakukan dengan
melihat intensitas pewarnaan yang terdiri dari 0, 1, 2, atau 3 dan luas
pewarnaan yaitu 0: 0%, 1: 10%, 2: 10-50%,. 3: 50%. Skor intensitas
pewarnaan dan skor luas pewarnaan dikalikan untuk mendapatkan skor
imunoreaktifitas dengan nilai maksimum 9. Semua kasus dengan
intensitas pewarnaan moderat (2 atau 3) pada minimum 10% sel tumor
dikategorikan sebagai ekspresi positif yaitu bila skor >4-9 (Tan & Puti
2005).

Universitas Sumatera Utara


2.7. Kerangka Teori

Otitis Media
Bakteri Supuratif Kronik
Tipe Bahaya/
Kolesteatoma
- Jenis Kelamin

-Usia
-------------
-Gejala klinis

-Lama Keluhan Tumor


Necrosis
Inflamasi
Factor Alpha
(TNF-)

Peningkatan
aktifitas
Osteoklas
dalam
kolesteatoma

Degradasi matriks
ekstraselular tulang

Komplikasi Destruksi tulang

Intratemporal Intrakranial Ringan


Berat

Sedang

Gambar 2.4. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


Keterangan:

= Variabel penelitian

Pada OMSK dengan kolesteatoma terjadi akumulasi sel debris dan


keratinosit diinvasi oleh sel-sel sistem imun termasuk sel Langerhans, sel-
T dan makrofag. Proses ini distimulasi oleh proliferasi epitel yang tidak
seimbang, diferensiasi dan maturasi keratinosit dan pemanjangan
apoptosis. Dalam kondisi inflamasi migrasi sel digantikan oleh hiperplasia.
Inflamasi yang mendorong proliferasi epitel berhubungan dengan
peningkatan ekspresi enzim litik dan sitokin termasuk asam arakidonat,
Intercellular Adhesion Molecule (ICAM), Receptor Activator Of Nuclear
Factor Kappa- Ligand (RANKL), Interleukin-1, 2 dan 6 (IL-1, IL-2, IL-6),
Matrix Metalloproteinase-2 dan 9 (MMP-2, MMP-9) dan Tumor Necrosis
Factor Alpha (TNF-) yang sebagian diinduksi oleh antigen bakterial
termasuk endotoksin seperti lipopolisakarida. Sel mast banyak terdapat
pada jaringan kolesteatoma dan berkontribusi terhadap inflamasi kronis.
TNF- akan menstimulasi diferensiasi dan maturasi osteoklas atau dapat
bereaksi pada matriks tulang, memaparkannya terhadap osteoklas. Hal ini
akan menyebabkan degradasi matriks ekstraselular tulang, sehingga
terjadi destruksi tulang yang menyebabkan komplikasi OMSK tipe bahaya.
Derajat destruksi tulang dapat dibagi menjadi derajat ringan, sedang dan
berat.

Universitas Sumatera Utara


2.8. Kerangka Konsep

RINGAN
DERAJAT
TNF- KOLESTEATOMA DESTRUKSI
TULANG SEDANG

BERAT
JENIS KELAMIN
USIA
KOMPLIKASI
GEJALA KLINIS
LAMA
KELUHAN

Gambar 2.5. Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara

You might also like