You are on page 1of 17

http://mikailahaninda.blogspot.co.id/2015/02/konsep-dasar-antropologi.

html
antropologgi pdf
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Antropologi
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari
tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul
berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat
istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
Antropologi berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti "manusia"
atau "orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia
sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Definisi antropologi menurut para ahli antropologi (antropolog )sebagai berikut :
1. William A. Havilland: Antropologi adalah studi tentang umat manusia,
berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan
perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang
keanekaragaman manusia.
2. David Hunter:Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang
tidak terbatas tentang umat manusia.
3. Koentjaraningrat: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia
pada umumnya dengan mempelajari aneka warna,bentuk
fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

1
Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian antropologi, yaitu sebuah
ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta yang
dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Dengan demikian antropologi merupakan hal yang mempelajari seluk-beluk yang
terjadi dalam kehidupan manusia.

2.2 Ruang Lingkup Antropologi


Secara khusus antropologi terbagi kadalam lima subilmu yang
mempelajari:
1. Masalah asal dan perkembangan manusia atau evolusinya secara biologis.
2. Masalah terjadinya aneka ragam ciri fisik manusia.
3. Masalah terjadinya perkembangan dan persebaran aneka ragam
kebudayaaan manusia.
4. Masalah asal perkembangan dan persebaran aneka ragam bahasa yang
diucapkan diseluruh dunia.
5. Masalah mengenai asas-asas dari masyarakat dan kebudayaan manusia
dari aneka ragam suku bangsa yang tersebar diseluruh dunia masa kini.
Secara makro antropologi dapat dibagi menjadi kedalam dua bagian yakni:
2.2.1 Antropologi fisik
Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai organisme biologis
yang melacak perkembangan manusia menurut evolusinya dan
menyelidiki variasi biologisnya dalam berbagai jenis (spesies).
2.2.2 Antropologi budaya
Antropologi budaya memfokuskan perhatiannya pada kebudayaan
manusia ataupun cara hidupnya dalam masyarakat. Menurut Haviland
cabang antropolgi budaya ini terbagi menjadi tiga yaitu: arkeologi,
antropologi linguistik, dan etnologi. Antropologi budaya juga merupakan
studi tentang praktik-praktik social bentuk-bentuk ekspresif, dan
penggunaan bahasa dimana makna diciptakan dan diuji sebelum
digunakan masyarakat manusia.
Saat ini kajian antropologi budaya lebih menekankan pada empat
aspek yang tersusun:

2
1. Pertimbangan politik, dimana para antropolog terjebak dalam
kepentingan politik .
2. Menyangkut hubungan kebudayaan dengan kekuasaan.
3. Menyankut bahasa dalam antropologi budaya.
4. Prefensi dan pemikiran individual dimana terjadi hubungan antara
jati diri dan emosi.
Jika dalam antropologi fisik banyak berhubungan dengan ilmu-
ilmu biologi lainnya, maka dalam antropologi budaya banyak
berhubungan erat dengan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi. Hal
ini bisa dipahami karena dua-duanya berusaha menggambarkan tentang
perilaku manusia dalam konteks sosialnya. Bedanya, dalam sosiologi
lebih memusatkan diri pada kelompok masyarakat yang cenderung terikat
pada kebudayaan tertentu atau culture bond atas asumsi-asumsi tentang
dunia dan realitas yang umnya pada kebudayaan kelas menengah seperi
pada kajian untuk orang-orang profesi. Sedangkan dalam antropologi
berusaha mengurangi masalah keterikatan kepada teori kebudayaan
tertentu dengan cara mempelajari seluruh umat manusia dan tidak
membatasi diri pada Bangsa Barat maupun masyarakat maupun kelompok
masyakat kota maupun kelas mengengah (Haviland, 1993: 14).
Fokus studi budaya yang dilakukan para ahli antropologi budaya,
lebih banyak dilakukan terhadap budaya pra-sejarah maupun kebudayaan
non-Barat, yang ternyata dapat menolak validitas generalisasi-generalisasi
lama yang universal, yang dibuat sebelumnya tanpa melalui penelitian
lapangan.
Seperti yang telah dikemukakan di atas cabang antropolgi budaya
ini dibagi menjadi tiga bagian , yakni: arkeologi, antropolgi linguistik, dan
etnologi.
1. Arkeologi
Arkeologi merupakan cabang antropologi kebudayaan yang
mempelajari benda-benda peninggalan lama dengan maksut untuk

3
menggambarkan serta menerangkan perilaku manusia karena dalam
peninggalan-peninggalan lama itulah terpantul ekspresi kebudayaan.
2. Antropologi linguistik
Ernest cassirer mengatakan bahwa manusia adalah makhlu
yang paling mahir dalam menggunakan simbolsimbol sehingga
manusia disebut homo symbolicum karena itulah manusia dapat
berbicara, berbahasa dan melakukan gerakan-gerakan lainnya yang
juga banyak dilakukan makhluk-makhluk lain yang serupa dengan
manusia. Akan tetapi hanya manusia yang dapat mengembangkan
sistem komunikasi lambang/simbol yang begitu kompleks karena
manusia memang memiliki kemampuan bernalar. Di sinilah
antropologi linguistik berperan. Ia merupakan deskripsi sesuatu bahasa
(cara membentuk kalimat atau mengubah kata kerja) maupun sejarah
bahasa yang digunakan (perkembangan bahasa dan saling
mempengaruhi sepanjang waktu). Dari kedua pendekatan ini
menghasilkan informasi yang berharga, tidak hanya mengenai cara
orang berkomunikasi, akan tetapi juga tentang bagaimana memahami
dunia luar. Di sinilah melalui studi linguistik para ahli antropologi
dapat mengetahui lebih baik bagaimana pendapat orang tentang
dirinya maupun dunia sekitarnya. Bahkan ahli antropologi linguistik
dapat memahami masa lampau umat manusia. Melalui penyusunan
hubungan genealogi bahasa-bahasa, mempelajari distribusi bahasa-
bahasa tersebut, maka dia dapat memperkirakan berapa lama orang-
orang yang menggunakan bahasa itu telah tinggal di tempat yang ia
tempati.
3. Etnologi
Pendekatan etnologi adalah etnografi, lebih memusatkan
perhatiannya pada kebudayaan-kebudayaan zaman sekarang,
telaahannya pun terpusat pada perilaku manusianya sebagaimana yang
dapat disaksikan langsung, dialami, serta didiskusikan dengan

4
pendukung kebudayaannya. Dengan demikian etnologi ini mirip
dengan arkeologi, bedanya dalam etnologi tentang kekinian yang
dialimi dalam kehidupan sekarang, sedangkan arkeologi tentang
kelampauan yang klasik. Antropologi pada hakikatnya
mendokumentasikan kondisi manusia pada masa lampau dan masa
kini.
Secara keseluruhan, yang temasuk bidang-bidang khusus
secara sistematis dalam antropologi lainnya, selain antropologi fisik
dan kebudayaan adalah antropologi ekonomi, antropologi medis,
antropologi psikologi dan antropologi sosial.
4. Antropologi Ekonomi
Bidang ini merupakan cara manusia dalam mempertahankan
dan mengekspresikan diri melalui penggunaan baranng dan jasa
material. Dengan demikan ruang lingkup antropologi ekonomi tersebut
mencakup riset tentang teknologi. Masyarakat sekarang dan masa
lampau, termasuk masyarakat nonbarat, yang fokusnya terarah pada
bentuk dan pengatuan kehidupan ekonomi, dalam kaitannya dengan
perbedaan gaya kekuasaan dan ideologi. Dengan demikian ruang-
lingkup antropologi ekonomi tersebut mencakup; riset tentan
teknologi, produksi, perdagangan, dan konsumsi, serta tinjauan
tentang berbagai bentuk pengaturan sosisl dan ideologis manusia
untuk mendukung kehidupan materi manusia.
5. Antopologi medis
Antropologi medis merupakan subdisiplin yan sekarang paling
populer di Amerika serikat, bahkan tumbuh pesat diman-mana.
Antropologi medis ini banyak membahas hubungan antara penyakit
dan kebudayaan yang tampak memengaruhi evolusi manusia, terutama
berdasarkan hasil-hasil penemuan paleopatologi.
6. Antropologi psikologi

5
Bidang ini merupakan wilayah antropologi yang mengkaji
tentang hubungan antara individu dengan makna dan nilai dengan
kebiasaan sosial dari sistem budaya yang ada. Adapun ruang lingkup
antropologi psikologi tersebut sangat luas dan menggunakan berbagai
pendekatan pada masalah kemunculan dalam interaksi dalam
pemikiran, nilai, dan kebiasaaan sosial.
7. Antropologi Social
Bidang ini mulai dikembangkan oleh james G.F di Amerika
Serikat pada awal abad ke-20 dalam kajiannya, antropologi sosial
mendiskripsikan proyek evolusionis yang bertujuan untuk
merekonstruksi masyarakat primitif asli dan mencatat
perkembanngannya melalui berbagai tingakt peradaban.
2.3 Fase-fase Perkembangan Antropologi
Fase-fase perkembangan antropologi paling tidak diawali sejak akhir abad
ke 15 atau awal abad ke 16 (Koentjaraningrat, 1996). Dengan mengikuti
pembagian fase perkembangan antropologi menurut Koentjaraningrat dan
perkembangannya pada akhir-akhir ini, maka perkembangan antropologi dapat
dibagi ke dalam 5 (lima) fase perkembangan.
2.3.1 Fase pertama (sebelum abad ke 18)
Bahan-bahan tulisan, yang kemudian menjadi cikal bakal karangan
etnografi, banyak dihasilkan oleh para musafir, pelaut, pendeta, para
pegawai jajahan, para pegawai agama atau misionaris yang berasal dari
Eropa. Bahan-bahan tulisan ini banyak muncul sejak akhir abad ke 15 dan
awal abad ke 16. Selama kurang lebih 4 abad lamanya, mereka berhasil
menulis kisah-kisah perjalanan dan cerita kehidupan masyarakat yang
mereka temui. Persebaran mereka pada masa ini seiring dengan
kedatangan orang-orang Eropa di benua Afrika, Asia dan Amerika
Selatan, bahkan ke daerah Oceania. Namun tulisan-tulisan tersebut masih
jauh dari sebuah karangan etnografi karena masih bersifat subyektif
sehingga tidak komprehensif dan holistik dalam menggambarkan

6
kehidupan suatu masyarakat. Pada umumnya mereka hanya menuliskan
apa-apa yang dianggapnya menarik (aneh) di mata mereka.
Setelah tulisan etnografi di atas diterbitkan dan banyak dibaca
orang, tulisan ini banyak mempengaruhi sikap bangsa Eropa, terutama
kaum terpelajar, di mana kemudian mereka beranggapan bahwa bangsa-
bangsa di luar Eropa merupakan bangsa-bangsa yang primitif (savage) dan
sangat terbelakang. Kelompok masyarakat ini juga dianggap masih murni,
jujur dan tidak mengenal kejahatan. Keunikan dari bangsa-bangsa di luar
Eropa ini, seperti adat istiadat dan benda-benda kebudayaannya, memicu
munculnya pemikiran untuk menyebarluaskan kepada khalayak luas di
Eropa, yaitu misalnya dengan mendirikan museum-museum yang secara
khusus mengoleksi kebudayaan masyarakat di luar Eropa. Di samping itu
pada awal abad ke 19 ini timbul pula keinginan para ilmuwan Eropa untuk
mengintegrasikan karangan-karangan yang masih terlepas-lepas tersebut
menjadi sebuah karangan etnografi tersendiri. Pada fase ini belum
diketahui adanya para tokoh antropologi.
2.3.2 Fase kedua (sekitar pertengahan abad ke 19)
Fase ini ditandai oleh keberhasilan para ilmuwan dalam menyusun
karya-karya etnografi yang bahannya dikumpulkan dari berbagai karangan
yang dihasilkan oleh para musafir, pelaut, pendeta, para pegawai jajahan,
dan para pegawai agama atau misionaris yang pernah tinggal di luar
masyarakat Eropa. Dari bahan-bahan yang terkumpul kemudian disusun
berdasarkan pola pikir evolusi sosial, yaitu menyusun secara sistematis
mulai dari masyarakat dan kebudayaan yang sangat sederhana hingga
masyarakat yang hidup pada tingkat yang lebih tinggi. Kelompok
masyarakat yang digolongkan ke dalam tingkat yang paling tinggi atau
beradab adalah masyarakat Eropa Barat pada masa itu, sedangkan tingkat
yang paling rendah adalah masyarakat yang hidup di luar Eropa Barat.

7
Para tokoh antropologi pada fase kedua ini adalah para ahli
antropologi terutama para tokoh penganut teori evolusi seperti L.H.
Morgan. Beliau sebenarnya seorang ahli hukum Amerika yang bekerja
sebagai pengacara yang membantu penduduk Amerika Timur dalam
menangani masalah pertanahan. Salah satu karangan L.H. Morgan yang
terkenal adalah sebuah buku tentang evolusi masyarakat yang berjudul
Ancient Society (1877). Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitiannya
tentang adat-istiadat orang Indian dan berpuluh-puluh masyarakat di
dunia. Tokoh lain dalam fase ini adalah P.W. Schmidt tetapi ia lebih
memfokuskan perhatiannya terhadap 1.12 pengantar antropologi masalah
sejarah asal mula penyebaran kebudayaan suku-suku bangsa di seluruh
dunia.
2.3.3 Fase ketiga (awal abad ke 20)
Pada masa awal abad ke 20, antropologi telah berkembang bukan
saja sebagai ilmu yang mengkaji masalah kehidupan bangsa-bangsa di luar
Eropa yang ada kepentingannya dengan kebutuhan negara besar yang
menjadi penjajah tetapi juga dalam rangka memperoleh pengertian tentang
masyarakat modern yang kompleks. Artinya, dengan mempelajari
masyarakat yang masih sederhana akan diperoleh pemahaman yang baik
mengenai masyarakat Eropa yang lebih kompleks. Negara yang memiliki
pengaruh cukup besar dan memiliki daerah jajahan paling luas pada masa
ini adalah Inggris.
Oleh karena itu, antropologi sebagai ilmu yang praktis telah
berkembang pesat di Inggris terutama dalam mempelajari masyarakat dan
kebudayaan suku-suku bangsa yang menjadi jajahan Inggris. Selain
Inggris, negara negara lain yang memiliki daerah jajahan juga ikut
memanfaatkan antropologi dalam upaya memahami karakteristik
kehidupan suku bangsa yang ada di wilayah jajahannya. Amerika Serikat
juga memanfaatkan ilmu ini untuk memahami masyarakat pribuminya,

8
suku bangsa Indian, yang pada waktu itu dianggap bermasalah terkait
dengan masalah integrasi sosial politik.
Tokoh antropologi pada masa ketiga ini adalah B. Malinowski.
Beliau adalah ahli antropologi Inggris yang meneliti adat-istiadat
penduduk Kepulauan Trobriand. Tokoh lainnya adalah M. Fortes yang
banyak menulis adat-istiadat dari suku bangsa yang tinggal di Afrika
Barat.
2.3.4 Fase keempat (sesudah tahun 1930-an)
Selelah tahun 1930-an, antropologi mendapat perhatian yang
sangat luas baik dari kalangan pemerintah terkait dengan fungsi praktisnya
maupun kalangan akademisi. Bagi kalangan pemerintah, ilmu ini tetap
dijadikan ilmu praktis guna memperoleh pemahaman pemakaian tentang
kehidupan dari masyarakat jajahannya. Sedangkan para akademisi lebih
tertarik guna memperoleh pemahaman tentang masyarakat secara umum,
yakni keberadaan masyarakat yang masih sederhana yang dianggap masih
primitif (savage) dan keberadaan masyarakat yang sudah kompleks.
Keterkaitan kedua bentuk masyarakat tersebut berguna bagi kajian tentang
perkembangan masyarakat (perubahan sosial), dengan menetapkan bahwa
masyarakat akan berkembang dari yang paling sederhana ke masyarakat
yang lebih kompleks. Pandangan ini dipengaruhi oleh pendekatan evolusi
yang pada masa ini sangat kuat pengaruhnya.
Pada masa ini, antropologi telah menerapkan metode ilmiah dalam
mengkaji dan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan guna
memperoleh pemahaman tentang kehidupan masyarakat dan
kebudayaannya.
Objek penelitian yang diperhatikan juga tidak terbatas pada
masyarakat yang dianggap masih primitif (savage), tetapi telah
berkembang dengan memperhatikan masyarakat atau penduduk pedesaan
bukan saja di luar Eropa tetapi juga di dalam wilayah Eropa sendiri.

9
Perkembangan antropologi sebagai ilmu mengalami babak baru sejak
diadakan simposium internasional yang dihadiri 60 tokoh antropologi
(Amerika, Eropa, dan Uni Soviet) yang berupaya untuk meninjau kembali
bahan-bahan etnografi yang telah ada serta merumuskan pokok tujuan dan
ruang lingkup dari antropologi. Pada fase ini, antropologi mempunyai dua
tujuan, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis. Tujuan akademis
antropologi adalah untuk memperoleh pemahaman tentang makhluk
manusia pada umumnya dengan mempelajari beragam bentuk fisik,
masyarakat, dan kebudayaannya. Tujuan praktis antropologi adalah
mempelajari manusia dan masyarakatnya yang beraneka ragam tadi untuk
keperluan membangun masyarakat yang bersangkutan. Tokoh penting
pada fase keempat ini adalah F. Boas (1858-1942). Ia menjadi seorang
tokoh antropologi Amerika Serikat yang sebelumnya ia adalah seorang
pakar geografi Jerman. Boas banyak mempelajari tentang beragam
makhluk manusia, baik dari segi fisik, masyarakat atau pun
kebudayaannya. Tokoh lainnya adalah A.L. Kroeber, R. Benedict,
Margaret Mead dan R. Linton.
2.3.5 Fase kelima (sesudah tahun 1970-an)
Perkembangan antropologi pada era 1970-an masih
memperlihatkan perkembangan antropologi pada fase 4 di atas yang masih
memfokuskan diri pada tujuan akademis dan tujuan praktisnya, tetapi
penekanan terhadap kedua tujuan tersebut berbeda-beda di setiap negara.
Perbedaan tersebut memungkinkan lahirnya perbedaan aliran dalam
antropologi yang dapat diklasifikasikan berdasarkan asal universitas
tempat dikembangkannya antropologi di suatu negara, seperti Inggris,
Eropa Utara, Eropa Tengah, Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara
berkembang.
Kajian pada bidang antropologi di negara-negara berkembang terus
mendapat perhatian terutama dalam kaitannya dengan kegunaan

10
praktisnya yang mampu mendeskripsikan berbagai pemasalah sosial
budaya. Deskripsi ini kemudian sangat berguna sebagai masukan dalam
upaya pengambilan kebijakan pembangunan, seperti masalah kemiskinan,
kesehatan, hukum adat, dan sebagainya. Di India misalnya, antropologi
dimanfaatkan dalam kegunaan praktisnya terutama untuk memperoleh
pemahaman tentang kehidupan masyarakatnya yang sangat beragam.
Pemahaman seperti itu akan sangat berguna dalam upaya membangun
integrasi sosial di antara penduduk yang beragam itu. Sebagai negara
bekas jajahan Inggris, antropologi di India banyak dipengaruhi oleh kultur
antropologi yang berkembang di Inggris. Hal ini terlihat terutama pada
metode-metode antropologinya yang banyak mengikuti aliran-aliran
antropologi yang berkembang di Inggris.
Di Indonesia juga hampir sama dengan yang terjadi di India.
Antropologi di Indonesia berkembang untuk pengkajian masalah-masalah
sosial budaya dan upaya mendeskripsikan berbagai kehidupan dari
berbagai suku bangsa dari Sabang sampai Merauke agar saling mengenal
satu dengan lainnya. Upaya-upaya tersebut terus dilakukan hingga kini
karena masih banyak suku-suku bangsa yang jumlah anggotanya relatif
sedikit dan hidup di beberapa daerah yang terpencil belum mendapat
perhatian.
Perkembangan antropologi di Indonesia hampir tidak terikat oleh
tradisi antropologi manapun (Koentjaraningrat, 1996). Menurut
Koentjaraningrat (1996) antropologi di Indonesia yang belum mempunyai
tradisi yang kuat, kemudian bisa memilih sendiri dan mengombinasikan
beberapa unsur dari aliran mana pun yang paling sesuai dengan kebutuhan
masalah-masalah kemasyarakatan yang dihadapi. Menurutnya, kita bisa
mengikuti cara Amerika dalam menentukan konsepsi mengenai batas-
batas lapangan penelitian antropologi dan pengintegrasian dari beberapa
metode antropologi. Kita juga dapat meniru cara India dalam

11
mempergunakan antropologi sebagai ilmu praktis yang mampu
mendeskripsikan kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang beragam,
dan ikut membantu dalam pemecahan masalah kemasyarakatan serta
merencanakan pembangunan nasional. Kita juga dapat mencontoh
Meksiko yang telah menggunakan antropologi sebagai ilmu praktis untuk
mengumpulkan data tentang kebudayaan daerah dan masyarakat pedesaan
untuk menemukan dasar-dasar bagi suatu kebudayaan nasional dengan
kepribadian yang khas dan dapat digunakan untuk membangun
masyarakat desa yang modern.
2.4 Hubungan Antropologi dengan Ilmu-ilmu Sosial Lainnya
Mengenai hubungan antropologi dengan ilmu-ilmu sosial lainnya,
Koentjaraningrat (1981: 35-41) mengemukakan sebagai berikut:
2.4.1 Hubungan sosiologi dengan antropologi
Sepintas lalu lebih banyak ke arah kesamaannya. Namun demikian
sosiologi yang pada mulanya merupakan bagian dari ilmu filsafat, sejak
lahirnya sosiologi oleh Auguste Comte (1789-1857), ilmu tersebut
bercirikan positivistik yang objek kajiannya adalah masyarakat dan
perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-kelompoknya.
Kelompok tersebut mencakup; keluarga, etnis maupun suku bangsa,
komunitas pemerintahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik,
budaya, bisnis dan organisasi lainnya (Ogburn dan Nimkoff, 1959: 13;
Horton dan Hunt, 1991: 4). Sosiologi juga mempelajari perilaku dan
interaksi kelompok, menelusuri asal-usul pertumbuhannya serta
menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap para anggotanya.
Dengan demikian sebagai obyek kajian sosiologi adalah masyarakat
manusia terutama dengan 15 fokus melihatnya dari sudut hubungan antar
manusia, dan proses-proses yang timbul dari hubungan manusia dalam
masyarakat.

12
Demikian juga antropologi, yang berarti ilmu tentang manusia.
Dahulu istilah ini itu dipergunakan dalam arti yang lain yaitu ilmu
tentang ciri-ciri tubuh manusia (malahan pernah juga dalam arti ilmu
anatomi. Dalam perkembangannya istilah antropologi juga sering
disejajarkan dengan ethnologi walaupun bebeda. Cultural anthropology
akhir-akhir ini dipakai di Amerika Serikat dan negara-negara lain
termasuk Indonesia, untuk menyebut bagian antropologi dalam kajian
non-fisik (budayanya). Dalam antropologi budaya inilah mempelajari
gambaran tentang perilaku manusia dan konteks sosial-budayanya. Jika
saja sosiologi orientasinya memusatkan perhatian secara khusus kepada
orang yang hidup di dalam masyarakat modern, sehingga teori-teori
mereka tentang perilaku manusia cenderung terikat pada kebuadayaan
tertentu (culture-bound); artinya teori-teori ini didasarkan atas asumsi-
asumsi tentang dunia dan realitas yang sebenarnya merupakan bagian dari
kebudayaan Barat mereka sendiri, biasanya kebudayaan versi kelas
menengah, yang dikhususkan untuk orang-orang profesi. Sebaliknya
antropologi budaya berusaha mengurangi masalah keterikatan teori kepada
kebudayaan tertentu dengan cara mempelajari seluruh umat manusia dan
tidak membatasi diri kepada studi tentang bangsa-bangsa Barat; para ahli
antropologi menyimpulkan bahwa untuk memperoleh pengertian yang
memadai tentang perilaku manusia, karena itu seluruh umat manusia harus
dipelajari (Haviland, 1999: 12). Barangkali lebih daripada ciri-ciri lain,
yang mebedakan antropologi budaya dari ilmu-ilmu sosial lainnya itu
ialah perhatiannya kepada masyarakatmasyarakat non-Barat.
2.4.2 Hubungan psikologi dengan antropologi
Hal ini nampak karena dalam psikologi itu pada hakekatnya
mempelajari perilaku manusia dan proses-proses mentalnya. Dengan
demikian dalam psikologi membahas faktor-faktor pnyebab perilaku
manusia secara internal (seperti motivasi, minat, sikap, konsep diri, dan

13
lain-lain). Sedangkan dalam antropologi khususnya antropologi budaya itu
lebih bersifat faktor eksternal (lingkungan fisik, lingkungan keluarga,
lingkungan sosial dalam arti luas). Kedua unsur itu saling berinteraksi satu
sama lain yang menghasilkan suatu kebudayaan melalui proses belajar.
Dengan demikian keduaduanya memerlukan interaksi yang intens untuk
memahami pola-pola budaya masyarakat tertentu secara bijak. Tidak
mungkin kita dapat memahami mengapa fenomena Oedipus Complex itu
tidak universal seperti yang diteorikan Freud ? Di sinilah B. Malinowski
meneliti pemahan psikologi yang disertai kajian budaya yang mendalam
telah membantah teori psikoanalistis murni (Koentjaraningrat, 1987: 170-
171). Selain itu juga ia telah berhasil mengembangkan teori fungsionlisme
yng bersifat sintesis psikologi-kultural, yang isinya bahwa segala aktivitas
kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari
sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh
kehidupannya.
2.4.3 Hubungan ilmu sejarah dengan antropologi
Lebih menyerupai hubungan antara ilmu arkheologi dengan
antropologi. Antropologi memberi bahan prehistory sebagai pangkal bagi
tiap penulis sejarah dari tiap penulis sejarah dari tiap bangsa di dunia.
Selain itu, banyak persoalan dalam historiografi dari sejarah sesuatu
bangsa dapat dipecahkan dengan metodemetode antropologi. Banyak
sumber sejarah berupa prasasti, dokumen, naskah tradisional, dan arsip
kuno, di mana pernannya sering hanya dapat memberi peristiwa-peristiwa
sejarah yang terbatas kepada bidang politik saja. Sebaliknya, seluruh latar
belakang sosial dari peristiwa-peristiwa politik tadi sukar diketahui hanya
dari sumber-sumber tadi. Konsep-konsep tentang kehidupan masyarakat
yang dikembangkan oleh antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, akan
memberi pengertian banyak kepada seorang ahli sejarah untuk mengisi

14
latar belakang dari peristiwa politik dalam sejarah yang menjadi objek
penyelidikannya.
Demikian juga sebaliknya bagi para ahli antropologi jelas
memerlukan sejarah, terutama sekali sejarah dari suku-suku bangsa dalam
daerah yang didatanginya. Sebab sejarah 16 itu diperlukan terutama guna
memecahkan masalah-masalah yang terjadi karena masyarakat yang
diselidikinya mengalami pengaruh dari suatu kebudayaan dari luar.
Pengertian terhadap soal-soal tadi baru dapat dicapai apabila sejarah
tentang proses pengaruh tadi diketahui juga dengan teliti. Selain itu untuk
mengetahui tentang sejarah dari suatu proses perpaduan kebudayaan,
seringkali terjadi bahwa sejarah tadi masih harus direkonstruksi sendiri
oleh seorang peneliti. Dengan demikian seorang sarjana antropologi
seringkali harus juga memiliki pengetahuan tentang metode-metode
sejarah untuk merekonstruksi sautu sejarah dari suatu rangkaian peristiwa
sejarah.
2.4.4 Hubungan ilmu geografi dengan antropologi
Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa Geografi atau ilmu bumi itu
mencoba mencapai pengertian tentang keruangan (alam dunia) ini dengan
memberi gambaran tentang bumi serta karakteristik dari segala macam
bentuk hidup yang menduduki muka bumi. Di antara berbagai macam
bentuk hidup di bumi yang berupa flora dan fauna itu terdapat mahluk
manusia di mana ia mahluk manusia tersebut juga beraneka ragam
sifatnya di muka bumi ini. Di sinilah antropologi berusaha menyelami
keanekaragaman manusia jika dilihat dari ras, etnis, maupun budayanya
(Koentjaraningrat,1981: 36).
Begitu juga sebaliknya, seorang sarjana antropologi sangat
memerlukan ilmu geografi, karena tidak sedikit masalah-masalah manusia
baik fisik maupun kebudayaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan
alamnya.
2.4.5 Hubungan ilmu ekonomi dengan antropologi

15
Sebagaimana kita ketahui penduduk desa jauh lebih banyak
daripada penduduk kota, terutama di laur daerah kebudayaan Eropa dan
Amerika, kekuatan, proses dan hukum-hukum ekonomi yang berlaku
dalam aktivitas kehidupan ekonominya sangat dipengaruhi sistem
kemasyarakatan, cara berpikir, pandangan dan sikap hidup dari warga
masyarakat pedesaan tersebut. Masyarakat yang demikian itu, bagi
seorang ahli ekonomi tidak akan dapat mempergunakan dengan sempurna
konsep-konsep serta teori-teorinya tentang kekuatan, proses, dan hukum-
hukum ekonomi tadi (yang sebenarnya dikembangkan dalam masyarakat
Eropa-Amerika serta dalam rangka ekonomi internasional), jika tanpa
suatu pengetahuan tentang sistem sosialnya, cara berpikir, pandangan dan
sikap hidup dari warga masyarakat pedesaan tadi. Dengan demikian
seorang ahli ekonomi yang akan membangun ekonomi di negara-negara
serupa itu tentu akan memerlukan bahan komparatif mengenai, misalnya;
sikap terhadap kerja, sikap terhadap kekayaan, sistem gotong-royong, dan
sebagainya yang menyangkut bahan komparatif tentang berbagai unsure
dari sitem kemasyarakatan di negara-negara tadi. Untuk pengumpulan
keterangan komparatif tersebut ilmu antropologi memiliki manfaat yang
tinggi bagi seorang ekonom.
2.4.6 Hubungan antara ilmu politik dan antropolog
Hal ini bisa dilihat bahwa ilmu politik telah memperluas kajiannya
pada hubungan antara kekuatan-kekuatan serta proses-proses politik dalam
segala macam negara dengan berbagai macam sistem pemerintahan,
sampai masalah-masalah yang menyangkut latar belakang sosial budaya
dari kekuatan-kekuatan politik tersebut. Hal ini penting jika seorang ahli
ilmu politik harus meneliti maupun menganalisis kekuatan-kekuatan
politik di negara-negara yang sedang berkembang.
Dalam hal ini bisa diambil contoh; jika dalam suatu negara
berkembang seperti Indonesia, terdapat suatu partai politik berdasarkan

16
ideologi Islam misalnya, maka cara-cara partai itu berhubungan, bersaing,
atau bekerja sama dengan partai-partai lain atau kekuatankekuatan politik
lainnya di Indonesia, tidak hanya akan ditentukan oleh norma-norma dan
metode perjuangan kepartaian yang lazim. Ditambah dengan prinsip-
prinsip dan ideologi agama Islam, melainkan juga oleh latar belakang,
sistem norma, dan adat-istiadat tradisional dari suku bangsa dari para
pemimpin atau anggota partai, yang seringkali menyimpang dari
ketentuan-ketentuan norma kepartaian dan ideologi Islam. Agar dapat
memahami latar belakang dan adat istiadat tradisional dari suku bangsa
itulah, maka metode analisis 17 antropologi menjadi penting bagi seorang
ahli ilmu politik untuk mendapat pengertian tentang tingkah-laku dari
partai politik yang ditelitinya.
Tentunya seorang ahli antropologi dalam hal mempelajari suatu
masyarakat guna menulis sebuah deskripsi etnografi tentang masyarakat
itu, pasti akan menghadapi sendiri pengaruh kekuatan-kekuatan dan proses
politik lokal serta aktivitas dari cabang-cabang partai politik nasional.
Dalam menganalisis fenomena-fenomena tersebut, ia perlu mengetahui
konsep-konsep dan teori-teori dalam ilmu politik yang ada.

17

You might also like