You are on page 1of 16

TUGAS HEMOROID

1. Indikasi operasi hemoroid?

Penderita dengan keluhan menahun dan hemoroid derajat III dan IV.

Perdarahan berulang dan anemia yang tidaksembuh dengan terapi lain yang lebih
sederhana.

Hemoroid derajat IV dengan thrombus dan nyeri hebat.

Kontra indikasi operasi

Hemoroid derajat I dan II

Penyakit Chrons

Karsinoma rectum yang inoperable

Wanita hamil

Hipertensi portal

2. Jenis obat anti hemoroid dan kontraindikasi pemakaian

Obat-obatan yang sering digunakan adalah:


a) Stool Softener, untuk mencegah konstipasi sehingga mengurangi kebiasaan
mengejan, misalnya Docusate Sodium.
b) Anestetik topikal, untuk mengurangi rasa nyeri, misalnya Liidocaine ointmenti 5%
(Lidoderm, Dermaflex). Yang penting untuk diperhatikan adalah penggunaan obat-
obatan topikal per rectal dapat menimbulkan efek samping sistematik.
c) Mild astringent, untuk mengurangi rasa gatal pada daerah perianal
yang timbul akibat iritasi karena kelembaban yang terus-menerus dan rangsangan
usus, misalnya Hamamelis water (Witch Hazel)
d) Analgesik, untuk mengatasi rasa nyeri, misalnya Acetaminophen (Tylenol, Aspirin
Free Anacin dan Feverall) yang merupakan obat anti nyeri pilihan bagi pasien yang
memiliki hiperensitifitas terhadap
aspirin atau NSAID, atau pasien dengan penyakit saluran pencernaan bagian atas atau
pasien yang sedang mengkonsumsi antikoagulan oral.
e) Laxantina ringan atau berak darah (hematoscezia). Obat supositorialanti hemoroid
masih diragukan khasiatnya karena hasil yang mampu dicapai hanya sedikit. Obat
terbaru di pasaran adalah Ardium. Obat ini mampu mengecilkan hemoroid setelah
dikonsumsi beberapa bulan. Namun bila konsumsi berhenti maka hemoroid tersebut
akan kambuh lagi.

3. Faktor predisposisi dan faktor presipitasi

Menurut Smeltzer dan Bare (2002) dan Mansjoer (2008), etiologi dari hemoroid adalah
Faktor Predisposisi Factor Presipitasi
Herediter atau keturunan Faktor mekanis (kelainan sirkulasi
Dalam hal ini yang menurun dalah parsial dan peningkatan tekanan
kelemahan dinding pembuluh intraabdominal) misalnya, mengedan
darah, dan bukan hemoroidnya. pada waktu defekasi.
Fisiologis
Anatomi
Radang
Vena di daerah masentrorium tidak Konstipasi menahun
mempunyai katup. Sehingga darah mudah Kehamilan
Usia tua
kembali menyebabkan bertambahnya Diare kronik
tekanan dipleksus hemoroidalis. Pembesaran prostat
Fibroid uteri
Makanan misalnya, kurang makan- Penyakit hati kronis yang disertai
makanan berserat. hipertensi portal
Pekerjaan seperti mengangkat beban
terlalu berat.
Psikis.

4. Angka kekambuhan per grade hemoroid?


Penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan menunjukkan bahwa jumlah pasien dengan
diagnosis hemoroid pada tahun 2009-2011 berjumlah 166 orang dengan kelompok usia
terbanyak yang menderita hemoroid dimulai dari kelompok usia 15-44 tahun yaitu 77
orang (46,4%), serta kelompok jenis kelamin laki-laki sebanyak 95 orang (57,2%) 10.
Penelitian yang telah dilakukan di RSUD Dr. Soedarso Pontianak periode 2009-2012
menunjukkan bahwa hemoroid paling paling banyak diderita pada kelompok usia 45-54
tahun sebanyak 15 orang (24,2%) dan kelompok jenis kelamin laki-laki sebanyak 40
orang (64,5%).

TUGAS BPH (BENIGNA PROSTAT HYPERPLASI)


1. Perbedaan ISK dan BPH
Gejala hyperplasia prostat menurut Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas gejala obstruktif dan
gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan karena penyempitan uretra pars prostatika karena
didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat
dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala-gejalanya antara lain1:
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung
tiga factor, yaitu:
a. Volume kelenjar periuretral
b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Kekuatan kontraksi otot detrusor Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan
vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas
otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica
sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah1 :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis
pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang
valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor International Prostate
Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA).
Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski. Skor AUA terdiri dari 7
pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka
dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35
berat3. Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan untuk
menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor dapat berkisar antara
0-29. Skor < > 20 berat. Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen
penderita tidak menilai sendiri derajat keluhannya. Perbedaan ini yang mendasari mengapa skor
Madsen-Iversen digunakan di Sub Bagian Urologi RSUPN Cipto Mangunkusumo3.

2. Patofisiologi batu ureter


Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-
tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine), yaitu pada sistem
kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawan pada pelvikalises (stenosis uretero-
pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hyperplasia prostat benigna,
stiktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan
terjadinya pembentukan batu. Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-
bahan organik maupun anorganik yang terlarut dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap
berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan-
keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang
saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan
mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih
besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup
mampu menyumbat saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel pada epitel
saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan
pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran
kemih. Kondisi metastabel dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam
urine, laju aliran urine di dalam saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam
saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu.Kandungan batu kemih kebayakan terdiri
dari :
1. 75 % kalsium.
2. 15 % batu tripe/batu struvit (Magnesium Amonium Fosfat).
3. 6 % batu asam urat.
4. 1-2 % sistin (cystine).
Faktor- faktor yang mempengaruhi batu kandung kemih (Vesikolitiasis) adalah
1. Hiperkalsiuria
Suatu keadaan dimana kadar kalsium di dalam urin lebih besar dari 250-300 mg/24 jam,
disebabkan karena, hiperkalsiuria idiopatik (meliputi hiperkalsiuria disebabkan masukan
tinggi natrium, kalsium dan protein), hiperparatiroidisme primer, sarkoidosis, dan
kelebihan vitamin D atau kelebihan kalsium. 14

2. Hipositraturia
Suatu penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air kemih, khususnya
sitrat, disebabkan idiopatik, asidosis tubulus ginjal tipe I (lengkap atau tidak lengkap),
minum Asetazolamid, dan diare dan masukan protein tinggi.

3. Hiperurikosuria
Peningkatan kadar asam urat dalam air kemih yang dapat memacu pembentukan batu
kalsium karena masukan diet purin yang berlebih.

4. Penurunan jumlah air kemih Dikarenakan masukan cairan yang sedikit.

5. Jenis cairan yang diminum


Minuman yang banyak mengandung soda seperti soft drink, jus apel dan jus anggur.

6. Hiperoksalouria
Kenaikan ekskresi oksalat diatas normal (45 mg/hari), kejadian ini disebabkan oleh diet
rendah kalsium, peningkatan absorbsi kalsium intestinal, dan penyakit usus kecil atau
akibat reseksi pembedahan yang mengganggu absorbsi garam empedu.

7. Ginjal Spongiosa Medula


Disebabkan karena volume air kemih sedikit, batu kalsium idiopatik (tidak dijumpai
redisposisi metabolik).

8. Batu Asam Urat


Batu asam urat banyak disebabkan karena pH air kemih rendah, dan hiperurikosuria
(primer dan sekunder).

9. Batu Struvit
Batu struvit disebabkan karena adanya infeksi saluran kemih dengan organisme yang
memproduksi urease. Batu dapat tumbuh menjadi lebih besar membentuk batu staghorn
dan mengisi seluruh pelvis dan kaliks ginjal. Kuman penyebab infeksi ini adalah
golongan kuman pemecah urea atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease
dan merubah urine menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak,
seperti pada reaksi: CO(NH2)2+H2O2NH3+CO2.Sekitar 75% kasus batu staghorn,
didapatkan komposisi batunya adalah matriks struvit-karbonat-apatit atau disebut juga
batu struvit atau batu triple phosphate, batu fosfat, batu infeksi, atau batu urease,
walaupun dapat pula terbentuk dari campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat.
Suasana basa ini yang memudahkan garam-garam magnesium, ammonium, fosfat dan
karbonat membentuk batu magnesium amoniun fosfat (MAP) atau (Mg NH4PO4.H2O)
dan karbonat apatit (Ca10[PO4]6CO3. Karena terdiri atas 3 kation Ca++Mg++ dan
NH4+) batu jenis ini dikenal dengan nama batu triple-phosphate. Kuman-kuman yang
termasuk pemecah urea diantaranya adalah Proteus spp, Klebsiella, Serratia,
Enterobacter, Pseudomonas, dan Stafilokokus. Meskipun E.coli banyak menyebabkan
infeksi saluran kemih, namun kuman ini bukan termasuk bakteri pemecah uretra.

3. Indikasi operasi BPH


1. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi ( Retensi urine" Batu buli";
Infeksi berulang; Hematuria berulang dan Penurunan fungsi ginjal)
2. M e d i k a m e n t o s a g a g a l
3. P i l i h a n p e n d e r i t a

PEMILIHAN JENIS OPERASI BPH

1. TURP (trans uretra resection of the prostat/ reseksi prostat trans uretra) merupakan
pilihan pada pasien dengan volume prostat kurag 80-100 cc
2. Open prostatektomi dindikasikan pada pasien dengan volume prostat leih dari 80-100 cc
3. Komplikasi TURP lebih sedikit disbanding open prostaktektomi

4. Medikasmentosa BPH
Indikasi dari terapi medikamentosa adalah BPH dengan keluhan ringan, sedang,
berat tanpa disertai penyulit dan BPH dengan indikasi terapi pembedahan tetapi masih
terdapat indikasi kontra atau belum well motivied. Macam obat yang digunakan
adalah :
a.Supresi Androgen
Asumsi yang mendasari terapi dengan supresi androgen pada BPH adalah kontrasi atau
supresi androgen menurunkan volume dan gejala prostat pada penderita BPH, dan pria
dengan kelainan bawaan berupa defisiensi enzim 5 reduktase, ternyata kelenjar prostat
tidak berkembang. Supresi androgen dapat terjadi dengan memberikan :
1) Penghambat enzim 5 reduktase
2) Anti androgen
3) Analog Luteinizing hormone relasting hormone (LHRH).
Anti androgen dan analog LHRH tidak dipakai untuk pengobatan BPH karena efek
sampingnya sangat merugikan. Efek samping tersebut ialah hilangnya libido, impotensi,
hilangnya habitus pria, ginekomastia dan rasa panas di wajah. Keuntungan dari inhibitor
5 reduktase adalah tidak menurunkan kadar testoteron di dalam darah, sehingga efek
samping seperti disebutkan diatas jarang terjadi. Prinsip kerja dari obat ini menghambat
metabolisme testoteron menjadi dehidrotestoteron (DHT) yang mrupakan zat aktif
perangsang terjadinya hiperplasi prostat. Obat 5 reduktase yng tersedia di pasar adalah
golongan Finasterida dengan nama dagang di Indonesia PROSCAR. Obat ini diberikan
per oral, sekali sehari/ tablet. Secara berkala penderita diperiksa lagi dan dievaluasi
parameter pra terapi. Bila menunjukkan perbaikan terapi diteruskan dan bila tidak,
dipertimbangkan terapi pembedahan.

b. Golongan Alpha Blocker


Tegangan otot polos prostat dikontrol dominan oleh reseptor alpha-1. Kontraksi otot
polos prostat, yang merupakan bagian dari sindroma obstruktif BPH, dapat dihambat oleh
obat-obat alpha blocker, misalnya : phenoxybenzamin, alfuzosin, doxazin, indoramin dan
terazosin. Tetapi harus dimulai dengan dosis rendah dan dengan hati-hati dinaikkan,
tergantung respons individual. Penelitian kontrol plasebo, menunjukkan bahwa alpha
blocker dapat memperbaiki flow urin dan gejala-gajala BPH. Obat ini harus diberikan
dengan cara titrasi (dosis dinaikkan bertahap), biasanya perbaikan tampak 2-3 minggu
setelah pemberian dan bila tidak ada efek setelah 3-4 bulan pemberian secara titrasi,
maka alternatif terapi lain harus dipertimbangkan.
Pada tiga studi menggunakan alpha blocker menghasilkan hasil yang sama. Skor keluhan
menurun dengan mean 16,85-17,9% dibanding 14,5% pada plasebo. Flow urin membaik
kurang lebih 3 ml/ detik.
Efektifitas jangka panjang belum diketahui. Efek samping yang dapat terjadi meliputi
takikardi, palpitasi, kelemahan, lelah dan hipertensi postural yang dapat menimbulkan
masalah pada pasien-pasien pasca penyakit serebrovaskuler atau riwayat sinkop. Pusing
atau vertigo dan sefalgia terjadi pada 10-15% pasien, dan hipertensi postural pada 2-5%
pasien

5. Diet BPH
1) Mengkonsumsi sayur dan buah-buahan
2) Mengurangi konsumsi daging merah
3) Mengkonsumsi lemak baik seperti olive oil, kacang-kacangan ( walnut, almond),lemak
dari buah avokad
4) Mengurangi gula dan garam
5) Perbanyak aktivitas fisik

6. Gold standar BPH

1. Pemeriksaan fisis
Inspeksi buli-buli:
ada/tidak penonjolan perut di daerah suprapubik (buli-buli penuh/kosong)
Palpasi Buli-buli:
tekanan di daerah suprapubik menimbulkan rangsangan ingin kencing
bila buli-buli berisi/penuh
Perkusi:
buli-buli penuh berisi urine memberi suara redup
2. Colok dubur

3. Laboratorium
darah lengkap, urine lengkap, biakan urine, serum kreatinin, BUN, PSA (prostate spesific
antigen)
4. Radiologi
USG
IVP atas indikasi
5. Uroflowmetri
TUGAS PERITONITIS
1. Patofisiologi nyeri pada peritoneum

Pembagian abdomen berdasarkan 9 regio, yaitu:


1) Regio hipokondria kanan
2) Regio epigastrika
3) Regio hipokondria kiri
4) Regio lumbal kanan
5) Regio umbilicus
6) Regio lumbal kiri
7) Regio iliaka kanan
8) Regio hipogastrika
9) Regio iliaka kiri

Sedangkan pembagian abdomen berdasarkan 4 kuadran,yaitu :


1. kuadran kanan atas
2. kuadran kiri atas
3. kuadran kanan bawah
4. kuadran kiri bawah
perkembangan dari rongga abdomen dan anatomi organ-organ visera serta
persyarafan sensori visceral sangat pentig untuk evaluasi penyakit akut abdomen.
Setelah 3 minggu perkembangan janin, usus primitive terbagi menjadi foregut,
midgut, dan hindgut. Arteri mesenterika superior mensuplai ke midgut(bagian
keempat duodenum, sedangkan hindgut terdiri dari kolom distal dan rectum. Serabut
aferen yang menyertai suplai vaskuler memberikan persyarafan sensoris pada usus
dan terkait peritoneum viseral. Sehingga, penyakit pada proksimal
duodenum(foregut) merangsang serabut aferen celiac axis menghasilkan nyeri
epigastrium. Rangsangan disekum atau apendiks(midgut) mengaktifkan saraf aferen
yang menyertai arteri mesenterika superior menyebabkan rasa nyeri di
periumbilikalis, dan penyakit kolon distal menginduksi serabut saraf aferen sekitar
arteri mesenterika inferior menyebabkan nyeri suprapubik. saraf
Prenikus dan serabut saraf aferen setinggi C3,C4, dan C5 sesuai dermatom
bersama-sama dengan arteri prenikus memsarafi otot-otot diafragma dan peritoneum
sekitar diafragma. Rangsangan pada diafragma menyebabkan nyeri yang menjalar ke
bahu. Peritoneum parietalis, dinding abdomen , dan jaringan lunak retroperitoneal
menerima persarafan somatic sesuai dengan segmen nerve roots.
Rangsangan pada permukaan peritoneum parietal yang kaya akan inervasi saraf
akan menghasilkan sensasi yang tajam dan terlokalisir di area stimulus. Ketika
peradangan pada visceral mengiritasi pada peritoneum parietal makan akan timbul nyeri
yang terlokalisir, banyak peritoneal signs yang berguna dalam diagnosis klinis dari
acute abdominal pain. Inervasi dual-sensorik dari kavum abdomen yaitu serabut aferen
visceral dan saraf somatic menghasilkan pola nyeri yang khas yang membantu dalam
diagnosis. Misalkan, nyeri pada apediksitis akut nyer akan muncul pada area
periumbilikalis dan nyeri akan semakin jelas terokalisir ke kuadran kanan bawah saat
peradangan melibatkan peritoneum parietal. Stimulasi pada saraf perifer akan
menghasilkan sensasi yang tajam, tiba-tiba, da terlokalisir dengan baik.
Rangsangan pada saraf sensorik aferen intraperitoneal pada nyeri akut abdomen
menimbulkan nyeri yang tumpul( tidak jelas pusat nyerinya). Myeri tidak terlokalisir
dengan baik, dengan onset gradual/ bertahap dan durasi yang lebih lama. Nervus vagus
tidak mengirimkan impuls nyeri dari usus. System saraf aferen simpatik mengirimkan
nyeri dari esophagus ke korda spinalis.
Saraf aferen dari kapsul hepar, ligament hepar, bagian cntral dari diafragma,
kapsul lien, dan pericardium memasuki system saraf pusat dari C3 sampai C5, spinal cord
dari T6 sampai T9 menerima memasuki serabut nyeri dan colon, appendik , dan visera
dari pelvis memasuki system saraf pusat pada segmen T10 sampai L1. Kolon sigmoid,
rectum, pelvic renalis besert kapsulnya, ureter dan testis memasuki system saraf pusat
pada T11 da L1. Kandung kemih dan kolon rektosigmoid dipersarafi saraf aferen dari S2
sampai S4. Nyeri abdomen dapat berupa nyeri visceral, nyeri parietal atau nyeri alih.

2. Gold standar peritonitis


Sebagian besar pasien biasanya tampak sakit berat serta mengalami kenaikan suhu dan takikardi.
Nyeri pada palpasi merupakan tanda karakteristik pada peritonitis, nyeri timbul baik pada palpasi
dalam maupun palpas superfisial kemudian timbul reaksi involunter dan spasme otot abdomen.
Bising usus dapat menurun atau hilang. Perkusi pada abdomen dapat menunjukkan punctum
maksimum dari iritasi peritoneal. Pemeriksaan colok dubur jarang menunjukkan lokasi sumber
peritonitis.
Pada pemeriksaan laboratorium kecurigaan peritonitis meningkat apabila didapatkan
peningkatan jumlah leukosit > 11.000/ml dengan shift to the left. Pemeriksaan kimia darah dapat
menunjukkan hasil yang normal namun pada keadaan serius dapat menunjukkan dehidrasi berat.
Pemeriksaan foto polos abdomen tidak rutin dilakukan. Pada pemeriksaan foto polos abdomen
dapat ditemukan adanya ileus paralitik dengan distensi usus atau air fluid levels.
Diagnostic peritoneal lavage merupakan metode yang aman dan terpercaya untuk mendiagnosis
peritonitis generalisata terutama pada pasien yang tidak memberikan tanda konsklusi pada
pemeriksaaan fisik atau pada pasien dengan riwayat medis yang terbatas. Hasil positif pada DPL
(lebih dari 500 leukosit/ml) menunjukkan adanya peritonitis. Laparoskopi juga merupakan
metode yang efektif selain DPL. Gold standar intervensi diagnostic pada peritonitis adalah
laparotomy eksplorasi.

TUGAS PERAWATAN LUKA


1. Indikasi pemberian ATS (anti tetanus serum)
Indikasi suntikan ATS (Anti Tetanus Serum)
Luka cukup besar (dalam lebih dari 1 cm)

Luka berbentuk bintang

Luka berasal dari benda yang kotor dan berkarat

Luka gigitan hewan dan manusia

Luka tembak dan luka bakar

Luka terkontaminasi, yaitu: luka yang lebih dari 6 jam tidak ditangani, atau luka kurang
dari 6 jam namun terpapar banyak kontaminasi, atau luka kurang dari 6 jam namun
timbul karena kekuatan yang cukup besar (misalnya luka tembak atau terjepit mesin)

Penderita tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus yang jelas atau tidak mendapat
booster selama 5tahun atau lebih

2. Indikasi pemberian antibiotic pada luka

o Antibiotik biasanya tidak diperlukan jika luka dibersihkan dengan hati-hati. Namun
demikian, beberapa luka tetap harus diobati dengan antibiotik, yaitu:

Luka yang lebih dari 12 jam (luka ini biasanya telah terinfeksi).

Luka tembus ke dalam jaringan (vulnus pungtum), harus


disayat/dilebarkan untuk membunuh bakteri anaerob.

Profilaksis tetanus

o Jika belum divaksinasi tetanus, beri ATS dan TT. Pemberian ATS efektif bila
diberikan sebelum 24 jam luka

o Jika telah mendapatkan vaksinasi tetanus, beri ulangan TT jika sudah waktunya.

Berikut ini adalah antibiotik yang sering digunakan sebagai profilaksis pada operasi:
(Munckhof W. 2005)

IV sefalosporin generasi pertama (cephazolin atau cephalotin)

IV gentamicin
IV atau Rektal metronidazole (jika disebabkan oleh baktri anaerobik)

Oral tinidazole (jika disebabkan oleh baktri anaerobik)

IV flucloxacillin (jika infeksi methicillin-susceptible staphylococcal)

IV vancomycin (jika infeksi methicillin-resistant staphylococcal)

3.

You might also like