You are on page 1of 11

TINEA KAPITIS

I. DEFINISI
Tinea atau dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung
zat tanduk yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Tinea kapitis adalah
infeksi dermatofit pada kulit kepala, alis dan bulu mata yang disebabkan oleh
spesies dan genus Microsporum dan Tricophyton. Kelainan ini dapat ditandai
dengan lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi
gambaran klinis yang lebih berat yang disebut kerion. Tinea kapitis juga sering
disebut scalp ringworm.1,2
Infeksi dermatofita terbagi ke dalam dua klasifikasi. Infeksi ektotriks,
invasi jamur dermatofita di luar atau pada permukaan rambut yang menyebabkan
destruksi kutikula; dan infeksi endotriks, invasi jamur dermatofita di dalam
rambut, dimana destruksi kutikula tidak terjadi. Infeksi ektotriks biasanya
disebabkan oleh jenis spesies Microsporum, sementara infeksi endotriks
umumnya disebabkan oleh jenis spesies Trichophyton. Tinea kapitis black dot,
kerion, serta favus adalah varian dari infeksi endotriks.1,2

II. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI


Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2
spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton.
Tinea kapitis dapat disebabkan oleh semua jenis dermatofita kecuali
Epidermophyton floccosum dan Trichophyton concentricum. Penyebab utama
tinea kapitis di seluruh dunia adalah M. canis, sementara di Amerika Serikat
T.tonsurans diikuti oleh M. canis. 1,3,4

Tabel 1. Dermatofita Penyebab Tinea Kapitis serta Gejala Klinis yang Dihasilkannya [4]
Inflamasi Non Inflamasi Black Dot Favus
M. audouinli M. audouinli T. tonsurans M. gypseum
M. canis M. canis T. violaceum T. schoenleinii
M. gypseum M. ferrugineum T. violaceum
M. nanum T. tonsurans
T. mentagrophytes
T. schoenleinii
T. tonsurans
T. verrucosum

1
Tinea kapitis biasanya terjadi pada anak-anak berusia 3 sampai 14 tahun.
Meskipun jarang, ia juga bisa ditemukan pada orang dewasa, terutama pada lansia
yang tidak terawat dan miskin. Tinea kapitis lebih sering terjadi pada anak laki-
laki dibandingkan dengan anak perempuan, namun di daerah-daerah yang
epidemis dengan T. tonsurans tinea kapitis ditemukan dengan insidens yang sama
pada kedua jenis kelamin. Tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anak
keturunan Afrika, sebabnya belum diketahui.3,4,5
Penularan tinea kapitis meningkat pada daerah-daerah dengan penduduk
yang padat, status sosio-ekonomi yang rendah dan pada orang-orang dengan
kebersihan diri yang kurang. Transmisi dermatofita tinea kapitis dapat melalui
fomite yang tertinggal pada sisir atau penutup kepala. Fomite dan spora
dermatofita penyebab tinea kapitis juga ditemukan pada bantal, mainan anak-
anak, serta tempat duduk bioskop. Organisme dapat tinggal pada rambut selama
bertahun-tahun. Sering didapakan karier yang asimtomatik, sehingga tinea kapitis
menjadi penyakit yang sulit dieradikasi. Penelitian menunjukkan bahwa 5-15%
anak-anak di negara-negara dunia bagian barat positif terhadap kultur dermatofita
kepala.2,4,5

III. PATOFISIOLOGI
Infeksi dimulai dengan invasi jamur atau fomite pada daerah perifolikular
stratum korneum kulit kepala. Jamur kemudian menginvasi batang rambut dan
tumbuh ke bawah mengikuti dinding keratin folikel rambut. Jamur masuk ke
dalam korteks, dan artrokonidia yang berada pada korteks rambut yang sedang
bertumbuh kemudian diangkut keatas, sepanjang dinding korteks rambut. Pada
infeksi endotriks, artrokonidia menginvasi keratin yang berada di dalam rambut
sementara korteks tetap intak, menyebabkan rambut menjadi rapuh dan mudah
patah.4

2
Gambar 1. Infeksi Ektotriks dan Endotriks.2

Dermatofit tipe ektotriks menginfeksi pada perifollikel dari stratum


korneum, menyebar sekitar dan kedalam batang rambut dari pertengahan sampai
akhir dari anagen rambut sebelum turun menuju folikel kemudian penetrasi di
korteks rambut. Patogenesis dari infeksi endotriks hampir sama kecuali bahwa
arthrokonidia tetap tinggal di batang rambut, menggantikan keratin interpilari,
sementara korteks tetap utuh. Pada akhirnya, rambut akan sangat rapuh dan pecah
pada permukaannya dimana tidak ada lagi dukungan dari dinding folikel,
sehingga meninggalkan titik hitam kecil, yang kemudian disebut dengan black
dot. 4

IV. GEJALA KLINIS


Gambaran klinis dari tinea kapitis sangat beraneka ragam, tergantung pada
jenis invasi rambut, tingkat perlawanan tubuh dan derajat respon peradangan.
Gambarannya dapat bervariasi dari beberapa rambut patah berwarna abu-abu
dengan sedikit pengelupasan kulit kepala, dapat dideteksi hanya dengan
pemeriksaan seksama, sampai peradangan parah yang menutupi sebagian besar
kulit kepala. Gatal dapat bervariasi. Pada semua jenis, gejalanya adalah rambut
rontok yang disertai peradangan.6

1. Tipe Non-Inflamasi atau Epidemik

3
Tipe ini paling sering ditemukan pada infeksi organisme antropofilik
ektotriks seperti M.audouinii atau M.canis. Bentuk ini juga dikenal sebagai bentuk
seboroik sekunder karena skuama yang prominen dan inflamasi minimal. Rambut
pada tempat yang terkena menjadi berwarna abu-abu dan tidak bercahaya akibat
karena sarung artrokonidianya dan patah beberapa milimeter di atas kulit kepala.
Kadang juga terdapat kerontokan rambut yang tidak disadari. Lesi ini berbatas
tegas, hiperkeratosis di sekelilingnya, area berskuama dari alopesia akibat
patahnya rambut (grey patch type). Gambarannya seperti ladang gandum.
Rambut yang tersisa dan skuama memperlihatkan fluoresensi hijau pada
pemeriksaan lampu Wood. Lesi biasanya terjadi di oksiput.4

Gambar 2. Tinea kapitis tipe grey patch . 2

2. Tipe Inflamasi
Tipe ini biasanya ditemukan dengan patogen zoofilik dan geofilik, dengan
contoh tersering M.canis dan M.gypseum. Tipe ini merupakan akibat dari reaksi
hipersensitivitas terhadap infeksi. Spektrum inflamasinya bervariasi dari pustular
folikulitis sampai kerion. Inflamasi ini biasanya berakhir dengan alopesia
berskuama. Lesi inflamasi biasanya gatal, dan kadang berhubungan dengan nyeri,
limfadenopati servikal posterior, demam, dan lesi tambahan pada glabrous skin.4

4
Gambar 3. Kerion pada kulit kepala.2

3. Tinea Kapitis tipe Black dot


Tipe ini disebabkan oleh organisme antropofilik endotriks, T.tonsurans dan
T.violaceum. Ini merupakan bentuk tinea kapitis yang paling kurang inflamasinya.
Kerontokan rambut dapat terjadi ataupun tidak. Apabila terjadi kerontokan,
rambut patah pada level kulit kepala sehingga tampak seperti bintik hitam pada
area alopesia. Terdapat skuama difus, dan inflamasinya bervariasi mulai dari
minimal sampai pustular folikultis atau lesi seperti furunkel sampai kerion. Area
yang terkena biasanya multipel atau poligonal dengan batas yang kurang jelas.
Biasanya rambut normal masih ada di daerah alopesia.4

Gambar 4. Tinea kapitis tipe Black dot.2


4. Tinea Favosa
Kelainan dimulai dengan bintikbintik kecil di bawah kulit yang berwarna
merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta yang berbentuk cawan
(skutula), serta memberi bau busuk seperti bau tikus mousy odor . Penyakit ini
sangat jarang di Amerika, tampak terutama pada kulit kepala, tetapi dapat juga
pada telapak tangan atau telapak kaki dan kuku.[3] Skutulum dapat mencapai

5
diameter 1 cm, menutupi rambut disekelilingnya, dan kemudian bergabung
dengan skutula lainnya sehingga menjadi besar, dengan bau yang kurang sedap.4

Gambar 5. Favus yang disebabkan oleh Trichophyton schoenleinii. Terdapat skutula


kuning yang tebal.2

V. DIAGNOSA BANDING
Berbagai kelainan pada kulit kepala berambut harus dibedakan dengan
tinea kapitis. Berikut adalah diagnosa banding dari tinea kapitis:1,7
1. Alopesia areata
Dibandingkan dengan bentuk black dot, biasanya kulit tampak licin dan
berwarna coklat. Rambut dibagian pinggir kelainan mula-mula mudah
dicabut dari folikel, akan tetapi pangkal yang patah tidak tampak. Pada
kelainan ini juga tidak terdapat skuama.

Gambar 6. Alopesia areata.2

2. Dermatitis seboroika
Dibandingkan dengan bentuk tinea favosa, rambut tampak berminyak,
kulit kepala ditutupi skuama yang berminyak. Lesi-lesi kulit distribusinya
simeris.

6
Gambar 7. Dermatitis seboroik. lesi pada daerah periorbital.2

3. Psoriasis
Dibandingkan dengan bentuk tinea favosa, sisik (skuama) tebal, berwarna
putih mengkilat, dan bersfat kronik residif. Biasanya disertai kelainan-
kelainan di tempat lain.

Gambar 8. Psoriasis, sisik pada bagian atas telinga. 2

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Lampu Wood
Cahaya lampu wood disaring melalui kaca Woods nickel oxide
( barium silikat dengan Nio) yang melalui sinar ultraviolet panjang
gelombang (365 nm). Flourosensi terjadi setelah enam hari terinfeksi.
Pada akhir minggu kedua flourosensi mencapai permukaan folikel pada
saat ini baru dapat dideteksi secara klinik. Infeksi rambut oleh
Microsporum conis, M. audouinii, dan M. ferrugineum akan memberikan

7
flouresensi hijau terang sedangkan infeksi oleh Trichophyton schoenleini
akan berflouresensi hijau suram. Beberapa studi perbandingan
mendapatkan bahwa bahan flourosensi menunjukkan gambaran
spektroskopik yang hampir sama antara Microsporum conis, M. audouinii
Trichophyton schoenleini. Wolf menyimpulkan bahwa susbtansi ini adalah
pteridines (pyridimine 4,5 : 2.3 pyazinel).
Bahan flourosensi dihasilkan oleh jamur pada rambut yang aktif
sedang tumbuh. Sedangkan pada rambut yang tercabut tidak
berfluoresensi. Rambut yang terinfeksi akan tetap berfluoresensi selama
beberapa tahun walaupun ortrokonidia-nya sudah mati.8
2. Pemeriksaan Mikroskop dengan KOH
Pada pemeriksaan mikroskopik diperlukan bahan klinis yang dapat
berupa kerokan kulit kepala dan rambut. Bahan klinis tersebut ditambah 1-
2 tetes larutan KOH 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH,
ditunggu 15-20 menit untuk melarutkan jaringan, kemudian diperiksa
langsung di bawah mikroskop. Pada sediaan kulit kepala yang terinfeksi
jamur terlihat hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan
bercabang, maupun spora berderet (artospora). Pada sediaan rambut yang
terlihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Pada
infeksi ektotriks artospora akan terlihat mengelilingi kutikula rambut
sementara pada endotriks artospora akan kelihatan tersusun di dalam
rambut. Favus akan menunjukkan adanya rantai artospora yang terputus-
putus dengan rongga-rongga udara pada batang rambut.1,2
3. Kultur Jamur dan Bakteri
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Sediaan yang paling baik digunakan untuk pemeriksaan ini adalah
medium agar desktrosa Sabouraud yang mengandung sikloheksamid dan
antibiotik (Mycobiotik agar, Mycosel agar, Dermatophyte test media =
DTM). Sikloheksamid pada konsentrasi 0,1-0,4 mg/ml menekan
pertumbuhan jamur saprofit tanpa merusak pertumbuhan dermatofit.
Sedangkan antibiotik yang sering digunakan adalah kloramfenikol (0,65

8
mg/ml) untuk menekan pertumbuhan bakteri. Pertumbuhan dermatofita
biasanya terlihat dalam waktu 10 14 hari. Kultur bakteri dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosa superinfeksi bakteri. Superinfeksi biasanya
disebabkan oleh S. aureus atau Streptokokus Grup A.1,2,8

VII. PENATALAKSANAAN
Terdapat berbagai pengobatan antifungal sistemik maupun topikal yang
efektif melawan dermatofita. Oleh karena infeksi jamur pada tinea kapitis yang
bersifat invasif, maka pengobatan antifungal sistemik diutamakan. Pengobatan
antifungal topikal dapat digunakan sebagai pengobatan ajuvan. Griseofulvin
digunakan sebagai terapi standar untuk pengobatan tinea kapitis.2,4
1. Antifungal topikal
Hanya digunakan sebagai ajuvan:
a. Selenium sulfide
b. Zinc pyrithione
c. Povidine Iodine
d. Ketoconazole
2. Antifungal sistemik
a. Griseofulvin
Dosis anak 10-15 mg/kg/hari; dosis maksimal 500mg/hari.
Diberikan sekurang- kurangnya selama 6 minggu
Dosis dewasa Gray patch: 2x250mg/hari selama 1 2 bulan
Black dot: terapi lebih panjang dan dosis lebih tinggi sampai
hasil KOH dan kultur negatif.
Kerion: 2 x 250mg/hari selama 4 8 minggu.
Kompres air panas.
b. Terbinafine 3-6mg/kg/hari selama 2-4 minggu.
c. Itraconazole
Dosis anak 5 mg/kg/hari
Dosis dewasa 200 mg/hari selama 4 8 minggu
d. Fluconazole
Dosis anak 6 mg/kg/hari selama 2 minggu.
Dosis dewasa 200 mg/hari selama 4 6 minggu
e. Ketoconazole
Dosis anak 5 mg/kg/hari
Dosis dewasa 200 400 mg/hari
3. Terapi tambahan

9
a. Prednisone 1 mg/kg/hari selama 14 hari untuk anak dengan
kerion yang sakit dan berat.
b. Antibiotik sistemik sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas.

VIII. PROGNOSIS
Rekurensi biasanya tidak terjadi pada terapi griseofulvin, fluconazole, atau
terbinafin yang adekuat. Paparan terhadap orang yang terinfeksi, karier
asimtomatik, atau fomite yang terkontamintasi dapat meningkatkan kemungkinan
relaps. Pada beberapa kasus, biasanya pada pasien berumur 15 tahun, regresi
yang spontan dapat terjadi tanpa pengobatan, kecuali dengan infeksi T. tonsuran.3

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja, U. Mikosis. In: A. Djuanda, M. Hamzah, and S. Aisah, Editors.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th Edition. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2010. p. 89 - 99.
2. Wolff, K. and R.A. Johnson, Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. 6th Edition. USA: McGraw-Hill; 2009. p. 23.25-31.
3. James, W.D., T.G. Berger, and D.M. Elston, Diseases Resulting from
Fungi and Yeasts. In: James, W.D., T.G. Berger, and D.M. Elston, Editors.
Andrew's Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th ed. Canada:
Elsevier Saunders; 2006. p. 297 - 301.
4. Verma S, Heffernan M.P. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,
Onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith L.A, Katz
S.I et al., Editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. USA:
McGraw-Hill; 2008. p. 1811 - 1819.
5. Hirschmann, J.V. Fungal, Bacterial, and Viral Infections of the Skin. In:
Hirschmann, J.V. ACP Medicine. USA: WebMD Inc; 2003 p. 1 - 2.
6. Hay, R.J. and Ashbee H.R. Mycology. In: Burns T, Breatnatch S, Cox N,
Griffith C, Editors. Rook's Textbook of Dermatology. UK: Wiley-
Blackwell; 2010. p. 36.18 - 28.
7. Siregar R.S. Tinea Kapitis. Siregar R.S, editor. In: Atlas Berwarna
Saripati Penyakit Kulit. 2nd Edition. Jakarta: EGC; 2005. p. 13-15.
8. Amiruddin Dali. Tinea Kapitis. Amiruddin Dali, editor. In: Ilmu Penyakit
Kulit. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNHAS;
2003. p.39-44.

11

You might also like