Professional Documents
Culture Documents
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pelvis dapat dibagi menjadi dua bagian oleh apertura pelvis superior, yang
dibentuk di belakang oleh promontorium os sacrum, di lateral oleh linea
terminalis, dan di anterior oleh symphysis pubica. Di atas apertura pelvis superior
terdapat pelvis major atau false pelvis yang membentuk sebagian cavitas
abdominalis, sedangkan yang di bawah apertura pelvis superior terdapat pelvis
minor atau true pelvis yang terdapat pada gambar 2.2. Pelvis major melindungi isi
abdomen dan setelah kehamilan bulan ketiga, membantu menyokong uterus
gravidarum. Selama stadium awal persalinan, pelvis major membantu menuntun
janin masuk ke pelvis minor (Snell, 2006; Cunningham, et al., 2013).
Gambar 2.2. Gambaran true pelvis dan false pelvis wanita dewasa
(Cunningham, et al., 2013)
2. Jenis android
Merupakan bentuk pintu atas pelvis yang hampir menyerupai segi tiga. Panjang
diameter antero-posterior hampir sama dengan diameter transversa, akan tetapi
jauh lebih mendekati sakrum.
3. Jenis antropoid
Pintu atas pelvis yang agak lonjong , seperti telur. Panjang diameter antero-
posterior lebih besar daripada diameter transversa.
4. Jenis platipelloid
Merupakan jenis ginekoid yang menyepit pada arah muka belakang. Ukuran
melintang jauh lebih besar daripada ukuran muka belakang (Prawirohardjo, 2012).
Dan ada juga yang disebut dengan bidang Hodge, yaitu bidang yang
digunakan untuk menentukan seberapa jauh bagian depan janin turun ke dalam
rongga pelvis (gambar 2.4.). Bidang Hodge terdiri dari 4 bagian, yaitu:
1. Hodge I, merupakan bidang datar yang melalui bagian atas simfisis dan
promontorium. Bidang ini sama dengan pintu atas pelvis.
2. Hodge II, yaitu bidang yang sejajar dengan Hodge I dan terletak setinggi
bagian bawah simpisis pubis.
3. Hodge III , yaitu bidang yang sejajar dengan Hodge II dan terletak setinggi
spina ischiadicae.
4. Hodge IV, yaitu bidang yang sejajar dengan Hodge III melalui ujung os
coccygeus (Prawirohardjo, 2012).
2.1.2. Uterus
Uterus yang tidak hamil terletak di rongga pelvis di antara kandung kemih
di anterior dan rektum di posterior. Uterus digambarkan berbentuk piriformis atau
berbentuk buah pir. Berat uterus adalah 70 g dan kapasitas 10 ml atau kurang.
Uterus terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian segitiga atas yang disebut
corpus atau badan, dan bagian silindris bawah yang disebut serviks yang masuk
ke dalam vagina yang terlihat pada gambar 2.5. Hampir seluruh dinding posterior
uterus ditutupi oleh serosa (peritoneum viserale). Bagian bawah peritoneum ini
membentuk batas anterior cul-de-sac rektouterina atau kavum douglasi.
Peritoneum di daerah ini juga mengarah ke depan kandung kemih membentuk
kavum vesikouterinum. Bagian bawah dinding uterus anterior disatukan ke
dinding posterior kandung kemih oleh jaringan ikat longgar yang berbatas tegas,
spatium vesikouterinum (Prawirohardjo, 2012; Cunningham, et al., 2013).
2.1.4. Vagina
Struktur muskolomembranosa ini memanjang dari uterus ke vulva dan
bagian anterior berbatasan dengan kandung kemih, sedangkan bagian posterior
berbatasan dengan rektum. Batas anterior dipisahkan oleh jaringan ikat, yaitu
septum vesikovaginal, dan batas posterior dipisahkan oleh jaringan ikat, yaitu
septum rektovaginal. Umumnya panjang dinding vagina anterior kira-kira 6 - 8
cm dan panjang posterior kira-kira 7 - 10 cm (Cunningham, et al., 2013).
implantasi plasenta akan bertambah besar lebih cepat dibandingkan bagian lainnya
sehingga akan menyebabkan uterus tidak rata. Fenomena ini dikenal dengan tanda
Piscaseck (Prawirohardjo, 2012).
b. Serviks
Saat telah terjadi konsepsi selama satu bulan, serviks akan berubah
menjadi lebih lunak dan berwarna kebiruan. Hal tersebut terjadi karena banyaknya
penambahan vaskularisasi dan terjadinya edema pada seluruh serviks, hipertrofi,
dan hiperplasia pada kelenjar-kelenjar serviks (Prawirohardjo, 2012).
c. Vagina
Selama kehamilan peningkatan vaskularisasi dan hiperemia terlihat jelas
pada kulit dan otot-otot di perineum sehingga pada vagina akan terlihat berwarna
keunguan yang dikenal sebagai tanda Chadwick. Perubahan ini meliputi penipisan
mukosa dan hilangnya sejumlah jaringan ikat dan hipertrofi dari sel-sel otot polos
(Prawirohardjo, 2012).
2.3.2. Karakteristik
Beberapa metode dapat digunakan untuk menentukan permulaan
persalinan. Satu metode menunjukan awitan saat kontraksi yang nyeri menjadi
regular. Metode kedua menentukan awitan persalinan sebagai permulaan untuk
masuk ke dalam ruang persalinan. Di National Maternity Hospital di Dublin,
dilakukan usaha untuk mengodekan kriteria admisi (ODriscoll et al, 1984).
Kriteria ini pada kehamilan aterm mengharuskan adanya kontraksi uterus yang
nyeri disertai salah satu dari tanda berikut ini: (1) ruptur membran, (2) bercak
darah (bloody show) atau (3) pembukaan serviks komplet (Cunningham, et al.,
2013).
2.3.3. Fisiologi
Menjelang terjadinya persalinan, otot polos uterus mulai menunjukkan
aktivitas kontraksi secara terkoordinasi, diselingi dengan suatu periode relaksasi,
dan mencapai puncaknya menjelang persalinan, serta secara berangsur
menghilang pada periode postpartum (Prawirohardjo, 2012).
ii. Secondary powers, yaitu ketika serviks telah berdilatasi dan ibu berusaha
meningkatkan kekuatan kontraksi primer secara volunter
d. Faktor posisi ibu dalam mempengaruhi proses persalinan.
Salah satunya adalah posisi tegak lurus yaitu posisi berjalan, duduk, berlutut,
dan berjongkok. Posisi ini bermanfaat untuk curah jantung ibu yang biasanya
pada saat persalinan akan meningkat yang ditunjukan pada gambar 2.6.
e. Faktor psikologis ibu (Perry, et al., 2014).
Kala satu persalinan dimulai ketika telah tercapai kontraksi uterus dengan
frekuensi, intensitas, dan durasi yang cukup untuk menghasilkan pendataran dan
dilatasi serviks yang progresif. Kala satu persalinan selesai ketika serviks telah
membuka lengkap (sekitar 10 cm) sehingga memungkinkan kepala janin lewat.
Oleh karena itu, kala satu persalinan disebut juga stadium pendataran dan dilatasi
serviks. Kala dua persalinan dimulai ketika dilatasi serviks telah lengkap, dan
berakhir ketika janin sudah lahir. Kala dua persalinan disebut juga sebagai stadium
ekspulsi janin. Kala tiga persalinan dimulai saat bayi telah lahir dan berakhir
ketika lahirnya plasenta dan selaput ketuban janin. Kala tiga persalinan disebut
juga sebagai stadium pemisahan dan ekspulsi plasenta. Sedangkan kala empat
hanya melakukan pemantauan dan pemeriksaan plasenta, selaput ketuban, dan tali
pusat telah lengkap atau tidak dan ditemukan ada tidaknya anomali.
(Prawirohardjo, 2012; Cunningham, et al., 2013).
2.4. Sesar
2.4.1. Definisi
Sesar adalah suatu prosedur operatif/bedah yang dilakukan di bawah
pengaruh anestesi untuk melahirkan janin, plasenta, dan membran melalui sebuah
insisi di dinding abdomen dan uterus (Fraser dan Cooper, 2012).
2.4.2. Epidemiologi
Di Indonesia, persentase kelahiran sesar sebesar 9,8 persen dengan proporsi
tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di Sulawesi Tenggara (3,3%) dan
secara umum pola persalinan melalui sesar menurut karakteristik menunjukkan
proporsi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas (18,9%), tinggal di
perkotaan (13,8%), pekerjaan sebagai pegawai (20,9%) dan pendidikan
tinggi/lulus PT (25,1%) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI, 2013).
2.4.3. Indikasi
Indikasi untuk dilakukannya sesar bisa indikasi absolut ataupun indikasi
relatif. Setiap keadaan yang membuat kelahiran lewat jalan lahir tidak mungkin
terlaksana merupakan indikasi absolut untuk sesar abdominal. Di antaranya adalah
kesempitan pelvis yang sangat berat dan neoplasma yang menyumbat jalan lahir.
Pada indikasi relatif, kelahiran lewat vagina bisa terlaksana tetapi keadaan adalah
sedemikian rupa sehingga kelahiran lewat sesar akan lebih aman bagi ibu, anak
atau pun keduanya (Oxorn dan Forte, 2010).
Persalinan tidak dapat dilakukan secara pervaginam atau normal, bisa
dikarenakan faktor-faktor Ps terganggu, yaitu kontraksi yang tidak adekuat, jalan
lahir yang sempit, presentasi bayi yang tidak normal, dll.
Sedangkan menurut Rasjidi (2009), indikasi sesar dibagi atas 3, yaitu:
1. Indikasi mutlak:
a. Indikasi ibu:
i. pelvis sempit absolut
ii. Kegagalan maelahirkan secara normal karena kurang
adekuatnya stimulasi
iii. Tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi
iv. Stenosis serviks atau vagina
v. Plesenta previa
vi. Disproporsi sefalopelvik
vii. Ruptur uteri membakar
b. Indikasi janin:
i. Kelainan letak
ii. Kelainan letak
iii. Gawat janin
iv. Prolapsus plasenta
v. Perkembangan bayi yang terhambat
vi. Mencegah hipoksia janin, misalnya karena preeklamsia
2. Indikasi relatif
i. Riwayat sesar sebelumnya
ii. Presentasi bokong
iii. Distosia
iv. Distress janin
v. Preeklamsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes
vi. Ibu dengan HIV positif sebelum inpartu
vii. Gemeli, menurut Eastman, sesar dianjurkan:
a. Bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu
b. Bila terjadi posisi bayi yang saling mengunci atau interlock
c. Kematian janin dalam rahim
3. Indikasi sosial
i. Wanita yang takut melahirkan berdasarkan pengalaman
sebelumnya
ii. Wanita yang ingin sesar elektif karena takut bayinya
mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan atau
mengurangi risiko kerusakan dasar pelvis
iii. Wanita yang takut terjadinya perubahan pada tubuhnya atau
sexuality image setelah melahirkan
2.4.4. Kontraindikasi
Menurut Rasjidi (2009), kontraindikasi dilakukannya sesar adalah sebagai
berikut ini:
1. Infeksi piogenik pada dinding abdomen
2. Janin mati
3. Syok
4. Anemia berat
5. Kelainan kongenital berat
6. Minimnya fasilitas operasi sesar
b. Anestesi umum
Beberapa pasien kontraindikasi untuk dilakukan anestesi regional
seperti koagulapati, perdarahan dengan kardiovaskular yang masih labil
atau prolaps tali pusat dengan bradikardia janin hebat. Anestesi umum
endotrakeal menjadi pilihan. Untuk mengurangi risiko aspirasi, berikan
antasida non partikel (natrium sitrat) dan lakukan sekuen induksi secara
cepat (rapid-sequence induction). Biasanya anestesi umum digunakan
untuk sectio caesarea dalam keadaan gawat darurat karena dapat
meningkat risiko kematian. Jenis anestesi ini tidak dianjurkan untuk
dilakukan tanpa adanya indikasi yang jelas yang mengharuskan
melakukan dengan teknik ini (Morgan dan Mikhail, 2006;
Prawirohardjo, 2012; Cunningham, et al., 2013).
2.4.7. Komplikasi
Komplikasi utama persalinan sesar adalah kerusakan organ-organ seperti
vesika urinaria dan uterus saat dialngsungkannya operasi, komplikasi anestesi,
perdarahan, infeksi dan tromboemboli (Rasjidi, 2009).
Komplikasi yang tebanyak yang disebabkan oleh anestesi regional, yaitu:
hipotensi, postdural puncture headache, pruritus, blokade regional yang gagal,
blokade spinal tinggi, meningitis kimia atau abses epidural atau hematoma
(Cunningham, et al., 2013).
adalah serabut motoris, rasa getar (vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade
simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah
anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris
yang pertama kali pulih kembali (Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007; Gwinnutt, 2008).
Jarum suntik spinal hanya dapat diinsersikan dibawah L dan diatas S.
Ukuran jarum suntik yang digunakan adalah 22-29 gauge, dengan bentuk pencil
point. Diameter jarum suntik yang kecil dan bentuknya bertujuan untuk
mengurangi risiko terjadinya postdural puncture headache (Gwinnutt, 2008).
2.5.2. Kelebihan
Anestesi spinal lebih mudah dilakukan, lebih cepat, onset yang dapat
diprediksi, dan idak memiliki potensi dalam keracunan obat sistemik yang serius
(Morgan dan Mikhail, 2006).
2.5.4. Komplikasi
Komplikasi yang dapat disebabkan oleh anestesi regional teknik spinal,
yaitu: nyeri saat injeksi, nyeri punggung (backache), sakit kepala, retensi urin,
meningitis, injuri vaskular, injuri saraf, hipotensi, mual, muntah, bradikardi, dan
aritmia (Morgan dan Mikhail, 2006; Gwinnutt, 2008).
kelahiran, akan tetapi secara keseluruhan dilakukan setiap 5 menit, sampai skor
mencapai nilai 7 (Behrman, et al., 2013).
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (2010),
bahwa skor APGAR pada menit kelima setelah kelahiran berhubungan dengan
status neurologi bayi. Menurut Sittidech dkk (2015), derajat keparahan asfiksia
menurut skor APGAR adalah sebagai berikut:
1. Normal : skor APGAR 7 10
2. Sedang : skor APGAR 4 6
3. Berat : skor APGAR < 4
2.8.2. Karakteristik
Asfiksia pada BBL ditandai dengan keadaan hipoksemia, hiperkarbia, dan
asidosis. Menurut American Academy of Pediatrics dan American College
of Obstetricians and Gynecologists (2004) dalam Kosim dkk (2010) dan
Leuthner dan Das (2004), asfiksia perinatal pada seorang bayi menunjukan
karakteristik berikut:
1. umbilical cord arterial pH :<7
2. Skor APGAR : 0 3 selama lebih dari 5 menit
3. Manifestasi neurologi : ditemukan
4. Disfungsi multisistemik organ : ditemukan
2.8.4. Diagnosis
Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk menentukan asfiksia
atau tidak pada bayi baru lahir. Untuk mendiagnosis asfiksia tidak perlu
menunggu nilai skor APGAR. Anemnesis yang ditanyakan adalah gangguan atau
kesulitan waktu lahir (lilitan tali pusat, sungsang, dll), lahir tidak bernafas/
menangis, dan apakah air ketuban bercampur mekonium atau tidak. Serta
pemeriksaan fisis, yaitu: bayi tidak bernapas atau megap-megap, denyut jantung
kurang dari 100 kali per menit, kulit sianosis, pucat dan tonus otos menurun
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005).
Asfiksia pada periode perinatal dini berkaitan dengan skor APGAR kurang
dari 6 pada 1 dan 5 menit setelah kelahiran. Denyut jantung mungkin berkurang;
kulit pucat; dan sianosis tampak jelas; respirasi tertekan atau bahkan terhenti; dan
tonus serta aktivitas refleks akan berkurang atau menghilang. PCO darah arteri
meningkat, PO menurun, dan terjadi asidosis metabolik atau respiratorik
(Rudolph, et al., 2007).
kematian neonatal tersebut adalah asfiksia bayi baru lahir, prematuritas/bayi berat
lahir rendah, dan infeksi (WHO, 2009).
Untuk beberapa bayi kebutuhan akan resusitasi dapat diantisipasi dengan
melihat faktor risiko, antara lain: bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah
mengalami kematian janin atau neonatal, ibu dengan penyakit kronik, kehamilan
multipara, kelainan letak, pre-eklampsia, persalinan lama, prolaps tali pusat,
kelahiran prematur, ketuban pecah dini, cairan amnion tidak bening. Walaupun
demikian, pada sebagian bayi baru lahir, kebutuhan akan resusitasi neonatal tidak
dapat diantisipasi sebelum dilahirkan, oleh karena itu penolong harus selalu siap
untuk melakukan resusitasi pada setiap kelahiran. Apabila memungkinkan
lakukan penilaian APGAR (WHO, 2009).
2.9.2. Penilaian
Penilaian pada bayi yang terkait dengan penatalaksanaan resusitasi, dibuat
berdasarkan keadaan klinis. Penilaian awal harus dilakukan pada semua BBL.
Penatalaksanaan selanjutnya dilakukan menurut hasil penilaian tersebut. Penilaian
berkala setelah setiap langkah resusitasi harus dilakukan setiap 30 detik.
Penatalaksanaan dilakukan terus menerus berkesinambungan menurut siklus
menilai, menentukan tindakan, melakukan tindakan, kemudian menilai kembali
(Kosim, et al., 2010).
2.9.3. Tujuan
Tujuan resusitasi BBL untuk memperbaiki fungsi pernafasan dan jantung
bayi yang tidak bernafas (Kosim, et al., 2010).
2.9.4. Langkah-langkah
Untuk dilakukannya resusitasi pada bayi baru lahir dapat menggunakan
pedoman ataupun algoritma pada gambar 2.7. dibawah ini: