You are on page 1of 15

Just Motivation Info :

Ini tulisan Sri Mulyani menteri keuangan yg baru presiden Jokowi.

Bagus disimak & dimengerti utk orang muda.

Ini panjang... tp bagus dibaca utk nambah ilmu.

Depok - Sri Mulyani Indrawati, mantan Menteri Keuangan di era pemerintahan SBY

yang kini menjadi Managing Director dan Chief Operating Bank Dunia, hari ini

memberikan ceramah kepada para mahasiswa-mahasiswi di Kampus Universitas

Indonesia (UI) Depok.

Sri Mulyani memberikan kuliah umum dengan tema 'Yang Muda Yang Beraksi:

Peranan Pemuda dalam Mensukseskan Pembangunan Berkelanjutan yang Inklusif' di

Auditorium Djokosetono, Fakultas Hukum UI mulai pukul10.30 WIB. Berikut isi

lengkap pidatonya:

Selamat pagi, selamat datang semuanya.

Terima kasih kepada Universitas Indonesia, yang telah menjadi tuan tumah untuk

acara yang menarik ini. Saya senang dapat kembali ke kampus, ke almamater saya.

Di sinilah saya mulai belajar ilmu ekonomi, sebuah disiplin ilmu yang telah

membekali saya dengan pengetahuan teknis tentang berbagai masalah

pembangunan dan ekonomi. Di Universitas Indonesia jugalah idealisme dan

pemikiran saya mengenai hal-hal politik mulai tumbuh dan berkembang.

Selama belajar, mengajar dan melakukan penelitian di UI, saya melihat dan terlibat

dengan proses transisi Indonesia menuju demokrasi dan menerapkan desentralisasi


dan otonomi daerah. Saya juga melihat bagaimana Indonesia menangani krisis

ekonomi 1997/1998.

Pengetahuan teknis yang saya pelajari sangat membantu memahami masalah

dengan objektif dan akurat, yang menghasilkan pemikiran, solusi kebijakan yang

kredibel yang sangat bermanfaat pada saat saya mengemban tugas sebagai

pejabat negara. Kini, saya menjabat sebagai Managing Direktor dan Chief Operating

Officer Bank Dunia.

Di Bank Dunia, kami memiliki 2 tujuan. Pertama, mengentaskan kemiskinan ekstrem

di negara-negara berkembang. Kedua, memastikan meratanya kesejahteraan

masyarakat.

Pengetahuan dan pengalaman saya di Universitas Indonesia, maupun sebagai

mantan Menteri Keuangan, sangat relevan dalam memahami masalah

pembangunan negara-negara berkembang.

Setiap saya bertemu dan membahas masalah pembangunan di negara-negara klien

World Bank, dan mengevaluasi opsi-opsi kebijakan dalam konteks politik yang

mereka miliki, saya selalu teringat kembali akan berbagai hal yang telah saya

pelajari di sini.

Di Wahington DC, saya sering menerima kunjungan kelompok pelajar dan

mahasiswa Indonesia yang memiliki keingintahuan yang begitu tinggi.

Salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan adalah, apa yang dapat

dilakukan kaum muda Indonesia agar bisa meraih kesuksesan di dalam negeri

maupun arena global?


Pertanyaan ini sangat penting. Kini, anak muda merupakan sepertiga dari jumlah

penduduk Indonesia, jumlah mereka melebihi 65 juta warga. Di tangan generasi

muda inilah terletak kunci keberhasilan negeri ini.

Pada saat yang sama tantangan lingkungan semakin sulit. Contohnya, saat ini di

Bank Dunia, kami mengkhawatirkan mengenai rapuhnya pertumbuhan ekonomi

dunia yang sering disertai gejolak. Pada bulan Juni, kami merevisi proyeksi

pertumbuhan dunia ke 2,4%, turun dari proyeksi kami pada bulan Januari yang

sebesar 2,9%.

Melambatnya pertumbuhan ekonomi di Tiongkok dan perubahan strukturan

ekonomi di Tiongkok sangat berpengaruh di seluruh dunia. Saya baru kembali dari

Argentina minggu lalu, di mana melemahnya ekspor ke Tiongkok telah melemahkan

ekonomi di Argentina, yang memiliki 35% ekspor ke Tiongkok.

Kondisi yang sama dialami negara-negara di Amerika Latin, Afrika, Asia Tengah,

serta Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Tiongkok menerima 11% barang ekspor

Indonesia.

Negara-negara berkembang yang selama dua dekade terakhir menjadi mesin

pertumbuhan dunia, saat ini menghadapi tantangan berat, ibarat badai yang

datang bersamaan secara sempurna, atau 'perfect storm'. 'Perfect storm' ini berupa

melemahnya ekonomi dan perdagangan dunia, perlambatan dan perubahan

struktural ekonomi Tiongkok, rendahnya harga-harga komoditas, menurunnya aliran

modal ke negara berkembang, meluasnya konflik dan serangan terorisme, serta

perubahan iklim global.


Negara-negara pengekspor komoditas, dengan jutaan penduduk miskin, mengalami

pukulan paling keras. Sebanyak 40% revisi penurunan ekonomi dunia berasal dari

kelompok negara-negara ini.

Kondisi seperti ini memerlukan kerja sama yang semakin erat dan kuat dan

koordinasi kebijakan antar negara. Kerja sama ini dapat membangun kembali

kepercayaan, dan menghilangkan halangan perdagangan dan investasi untuk

menunjang produktivitas dan memulihkan pertumbuhan ekonomi.

Namun yang terjadi di dunia adalah sebaliknya.

Di berbagai belahan dunia, populisme tengah bangkit dan bahkan meluas.

Kesediaan untuk bekerja sama antar negara berada pada titik terendah sepanjang

sejarah. Apa yang terjadi di Inggris dengan keputusan untuk keluar dari Uni Eropa

(Brexit) adalah salah satu contoh.

Bagaimana Indonesia harus menyikapi lingkungan dan kecenderungan global

tersebut?

Hadirin yang terhormat,

Indonesia memiliki potensi besar dan dapat menjadi pelaku global yang disegani.

Namun potensi ini harus diwujudkan menjadi kinerja dan prestasi.

Untuk itu diperlukan generasi muda yang percaya diri, dengan visi luas dan ambisi

dan kreativitas yang kuat untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang

diperlukan guna menciptakan kemakmuran, kemajuan peradaban, dan keadilan

sosial.
Berbagai data memberikan optimisme, namun juga mengingatkan kita akan

besarnya tantangan untuk memajukan Indonesia. Bagaimana kita bisa melangkah

maju bersama untuk masa depan lebih baik?

Pertama, jadilah bagian dunia yang berperan aktif.

Dengan globalisasi, dunia menjadi 'lebih kecil'. Ibaratnya seperti sebuah kampung,

atau 'global village' yang menyatukan umat manusia, bisnis, modal, teknologi,

informasi, dan pengetahuan yang terus tersebar tanpa mengenal zona waktu

ataupun perbatasan negara.

Globalisasi memberikan peluang untuk menciptakan peluang untuk menciptakan

kemajuan perekonomian semua negara di dunia.

Negara-negara yang sukses mengentaskan kemiskinan dan mencapai kemakmuran

adalah mereka yang mampu memanfaatkan globalisasi, serta membangun

ketahanan dan menjaga diri dari gejolak globalisasi.

Indonesia tidak terkecuali dalam konteks ini. Bagi bangsa Indonesia, visi global dan

cita-cita untuk mendunia sudah lama ditanamkan oleh pendiri bangsa ini.

Dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun terakhir, Indonesia telah memanfaatkan

perdagangan dan investasi global untuk mengatasi kemiskinan dan memajukan

pembangunan.

Meningkatnya integrasi ASEAN merupakan peluang besar bagi Indonesia.

Perdagangan intra-ASEAN mencapai lebih dari US$ 600 miliar per tahun, dan
perdagangan dengan negara di luar ASEAN mencapai di atas US$ 1,9 triliun per

tahun.

Integrasi ASEAN yang lebih mendalam dapat menjadi katalis dalam

mentransformasi produktivitas tenaga kerja Indonesia.

Indonesia memiliki rata-rata upah di bidang manufaktur terendah. Namun biaya per

unit tenaga kerjanya relatif tinggi, mencerminkan produktivitas tenaga kerja yang

belum baik. Ini tantangan besar.

Integrasi pasar global juga menghendaki dukungan infrastruktur untuk konektivitas

yang efisien dan kompetitif. Biaya perdagangan di Indonesia saat ini relatif tinggi,

sekitar 130% dibandingkan 90-110% bagi Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

Baru-baru ini, Indonesia melakukan paket kebijakan perdagangan yang cukup

signifikan, untuk mengurangi hambatan perdagangan dan investasi. Ini

perkembangan yang baik, karena sebelumnya, menurut laporan Global Alert,

Indonesia termasuk salah satu negara yang paling sering menerapkan hambatan

perdagangan.

Fokus pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di seluruh

Kepulauan Indonesia merupakan langkah yang tepat.

Saya berharap ke depan, Indonesia akan terus memelihara dan memilik kebijakan

keterbukaan, yang harus disertai upaya memperkuat kualitas sumber daya manusia

dan kualitas kelembagaan. Ini penting untuk menopang peran dan kepemimpinan

Indonesia di kawasan Asia maupun di arena global.


Kepemimpinan Indonesia tidak saja baik untuk bangsa Indonesia, tetapi juga baik

dan diperlukan di kawasan dan di dunia.

Dan ini membawa saya pada rekomendasi kedua: Jangan melupakan mereka yang

tertinggal.

Salah satu kekhawatiran terbesar saya adalah meningkatnya ketimpangan di antara

masyarakat. Indikator kesenjangan (koefisien gini) Indonesia meningkat tajam dari

30 pada tahun 2003, ke 41 pada tahun 2014. Ketimpangan yang sangat tajam bisa

menghambat potensi pertumbuhan jangka panjang Indonesia.

Masalahnya, ketimpangan di Indonesia banyak ditentukan oleh hal-hal yang di luar

kendali penderita.

Sepertiga dari ketimpangan di Indonesia disebabkan oleh empat faktor pada saat

seseorang lahir: provinsi di mana mereka lahir, apakah tempat lahir itu desa atau

kota, apakah kepala rumah tangga perempuan, dan tingkat pendidikan orang tua.

Dengan kata lain, kesenjangan pendapatan bukan sekedar dampak dari

ketimpangan semata, tetapi akibat adanya ketimpangan peluang.

Anak-anak Indonesia yang lahir dengan ketimpangan tersebut akan sulit mengatasi

ketimpangan di masa depannya. Ketidakadilan ini harus diatasi segera.

Faktor pertama yang menentukan adalah layanan kesehatan.

Sekitar 37% balita Indonesia mengalami stunting, atau tidak menerima nutrisi yang

cukup, mulai dari kandungan hingga usia 2 tahun. Stunting mengakibatkan otak

seorang anak kurang berkembang. Ini berarti 1 dari 3 anak Indonesia akan
kehilangan peluang lebih baik dalam hal pendidikan dan pekerjaan dalam sisa hidup

mereka.

Ini adalah musibah bagi Indonesia. Tingkat stunting di Indonesia sangat tinggi

dibanding negara tetangga. Misalnya, tingkat stunting di Thailand adalah 16%, dan

di Vietnam 23%.

Belum lama ini saya menerima kunjungan pejabat departemen kesehatan Indonesia

yang menjelaskan bahwa pemerintah mulai menangani kasus stunting secara

serius. Ini upaya bagus yang perlu ditingkatkan dan dipantau hasilnya.

Saya berharap program memerangi stunting dapat berhasil, karena beberapa

negara, seperti Peru, telah berhasil menurunkan stunting secara kredibel dalam

waktu cukup singkat.

Masalah kesehatan berkaitan baik dengan ketersediaan anggaran maupun kualitas

penggunaan anggaran. Tingkat belanja kesehatan terhadap PDB di Indonesia adalah

terendah kelima di dunia, yaitu 1,2% pada tahun 2014. Angka ini termasuk belanja

untuk sistem jaminan kesehatan nasional. Selain masalah jumlah anggaran,

masalah cara membelanjakan anggaran juga sangat penting.

Saat ini akses layanan kesehatan di desa-desa mengalami penurunan, dan lebih

dari 40% penduduk di Kalimantan Barat, Maluku, dan Sulawesi Barat memerlukan

lebih dari satu jam untuk mencapai rumah sakit umum, dibanding 18% secara

nasional.

Hanya tiga provinsi yang memenuhi rekomendasi World Health Organization (WHO)

dengan adanya satu dokter untuk tiap 1.000 orang penduduk.


Upaya Indonesia untuk meratakan akses layanan kesehatan yang layak perlu

ditingkatkan, bila kita ingin memiliki generasi masa depan yang lebih baik.

Faktor kedua yang berperan dalam ketimpangan peluang adalah belum meratanya

kualitas pendidikan di Indonesia.

Sekolah di desa berpeluang lebih kecil untuk memiliki guru terlatih dan fasilitas

yang baik. Ketidakhadiran guru pun menjadi masalah.

Akibatnya, capaian pendidikan sangat bervariasi antara kabupaten dengan kota,

dan antar provinsi. Sebagai contoh, anak kelas 3 SD di Jawa bisa membaca 26 huruf

lebih cepat per menit dibanding anak di Nusa Tenggara, Papua, atau Maluku.

Angka partisipasi juga belum ideal.

Pada tingkat SMA, angka partisipasi sekolah turun drastis bagi penduduk miskin.

Hanya 33% anak-anak dari kelompok dua puluh persen termiskin tetap sekolah

pada tingkat SMA, dibandingkan dengan 76% untuk kelompok dua puluh persen

terkaya.

Kualitas siswa Indonesia juga dapat diukur dari peringkat test PISA, dimana posisi

Indonesia adalah di urutan ke 64 dari 65 negara. Test ini menilai kemampuan siswa

dalam bidang matematika dan pemahaman membaca.

Anggaran pendidikan pemerintah mengalami kenaikan besar sejak reformasi. Fokus

sekarang adalah pada peningkatan kualitas dan hasil pendidikan.

Beberapa data membuat saya optimis.


Ada lebih dari 50 juta pengguna Twitter di Indonesia, dan Jakarta disebut sebagai

kota pengguna Twitter teraktif di dunia.

Bagaimana kita dapat memanfaatkan dunia teknologi yang kita kagumi ini?

Bagaimana kita tidak hanya menjadi penerima teknologi dan informasi namun juga

produktif sebagai pencipta?

Saya lihat perkembangan positif akhir-akhir ini dalam inovasi aplikasi teknologi yang

telah menciptakan bisnis seperti Go-Jek, yang memberikan inspirasi peluang bisnis,

terutama bagi generasi muda. Indonesia mampu memanfaatkan teknologi untuk

aktivitas kreatif dan produktif.

Jangan lupa, generasi muda saat ini adalah generasi yang hidup pada masa

demokratisasi pengetahuan. Saat ini, kita semua memiliki akses informasi yang

instan melalui smartphone. Saya juga melihat banyak kampus memiliki fasilitas wi-

fi, sehingga mahasiswa setiap saat mampu terkoneksi dengan informasi dan data.

Sewaktu saya belajar di UI 35 tahun yang lalu, teknologi komputer belum secanggih

seperti saat ini, dan data statistik masih sangat terbatas.

Bayangkan, untuk membuat model regresi ekonomi, data Produk Domestik Bruto

Indonesia hanya tersedia 20 tahun sejak 1970. Fasilitas buku dan perpustakaan

tidak semegah seperti sekarang.

Hari ini, hanya perlu satu klik untuk mendapatkan informasi dan data yang dicari.

Ironisnya, melimpahnya informasi ini tidak otomatis membuka pikiran dan wawasan

kita.
Bahkan ada kecenderungan wawasan masyarakat menjadi menyempit. Saat ini

seseorang semakin mudah melakukan justifikasi asumsi dan stereotype dalam

menilai suatu masalah atau pihak lain.

Tidak suka? Ya tidak usah dibaca atau didengarkan. Sangat mudah bagi kita

menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Kita hanya membaca

berita dan informasi yang sesuai dengan kecenderungan pandangan kita.

Diskusi hanya satu versi dan semakin sedikit diskusi yang seimbang dan melihat

perbedaan pandangan. Polarisasi menjadi semakin tajam dan jauh.

Kita harus terus berupaya untuk membangun jembatan antar perbedaan

pandangan apabila kita ingin mempertahankan kebhinekaan Indonesia.

Selalu bersedia mendengar dan memahami mereka yang tidak sependapat dengan

kita memang tidak mudah.

Para populis sering bersuara lebih keras, dengan pandangan hitam putih dan

memanfaatkan ketakutan dan kekhawatiran masyarakat. Mereka sering

menawarkan solusi magis dan mudah untuk berbagai masalah yang teramat

kompleks. Mereka banyak yang menjual ilusi yang sering laku dibeli masyarakat

yang haus solusi cepat.

Dunia pendidikan seperti Universitas Indonesia harus mampu memelihara

lingkungan saling mendengar perbedaan dan saling berargumentasi yang sehat dan

saling menghormati untuk terus memperbaiki kualitas peradaban kita.


Hal lain yang membesarkan hati adalah semakin banyak generasi muda yang

semangat belajar di tingkat pasca sarjana.

Tahun lalu, sekitar 4.500 mahasiswa sarjana dan pasca sarjana mendapat beasiswa

LPDP untuk belajar di luar negeri dan di Indonesia.

Saya senang melihat adanya peningkatan jumlah penerima beasiswa tersebut,

apalagi pemerintah secara aktif berupaya menarik penerima beasiswa dari daerah-

daerah kurang berkembang.

Saya sendiri merasakan manfaat beasiswa di masa lalu. Selain merupakan peluang

emas untuk membuka diri mendalami pengetahuan, kesempatan tersebut

memberikan pengalaman untuk memahami negara dan masyarakatnya yang

berbeda. Hal ini membantu kita menghargai perbedaan dan kemajemukan.

Meningkatnya kualitas hasil pendidikan tidaklah mudah, terutama bagi kelompok

masyarakat miskin. Banyak negara anggota Bank Dunia menghadapi tantangan

yang sama, dan juga sulitnya menciptakan lapangan kerja bagi lulusan pendidikan.

Indonesia dapat belajar dari pengalaman historis sendiri, maupun belajar dari

negara lain, untuk mencapai kemajuan di bidang yang sangat strategis dan penting

ini.

Selain ketimpangan di bidang kesehatan dan pendidikan, terdapat ketimpangan lain

yang juga sangat penting yaitu yang dialami perempuan dan anak perempuan.
Menurut laporan terkini Global Gender Gap oleh World Economic Forum, Indonesia

berada pada peringkat 114 dari 145 negara terkait partisipasi peluang ekonomi

perempuan.

Penting bagi Indonesia untuk mencapai peringkat yang lebih baik. Ketimpangan

peluang bagi perempuan dan anak perempuan berdampak langsung pada peluang

ekonomi mereka, dan secara tidak langsung, kemampuan untuk mengambil

keputusan yang bisa mempengaruhi kehidupan mereka dan keluarga mereka.

Bagaimana dengan persentase perempuan yang bekerja di luar rumah? Hanya 51%

perempuan Indonesia berusia 15 tahun ke atas menjadi bagian tenaga kerja.

Rasio ini tidak banyak berubah sejak tahun 1990, dan lebih rendah dari rata-rata

Asia Timur dan Pasifik, yaitu 63%. Sebagai perbandingan, partisipasi tenaga kerja

laki-laki lebih dari 80%.

Indonesia belum memanfaatkan secara optimal potensinya terkait ketenagakerjaan

yang melibatkan semua penduduk, baik perempuan maupun laki-laki.

Ajakan terakhir yang ingin saya sampaikan terutama kepada generasi muda adalah

selalu lakukan yang terbaik dan berikan yang terbaik bagi orang lain.

Tuntutlah ilmu dan kuasai kemampuan teknis yang terbaik. Jangan pernah berhenti

belajar.

Carilah ilmu yang bermanfaat bukan hanya untuk kita sendiri namun juga bagi tim

anda. Mudah untuk mencapai sukses sendiri. Lebih sulit untuk membangun sukses

bersama dan membangun institusi. Reformasi di institusi publik dan swasta harus

terus dilakukan guna meletakkan dan membangun tata kelola yang baik, efisien,

dan akuntabel.
Banyak negara berkembang tidak mampu lepas dari middle income trap, pada

intinya karena mereka gagal membangun institusi modern dan sistem yang

berdasarkan meritokrasi dan tata kelola yang baik untuk menopang perubahan

sosial, ekonomi, hukum, dan politik yang dinamis.

Tetaplah melatih dan mengembangkan pemikiran kritis dengan melakukan analisa

yang jernih. Mampu membedakan antara fakta dan bukti di satu sisi, dengan bias

dan subjektivitas di sisi yang lain.

Hal ini akan mendorong pengambilan pilihan, keputusan dan tindakan yang bijak

dan bertanggung jawab.

Tidak kalah penting, tunjukkan empati kita. Perhatikan dan jaga perasaan, harga diri

dan pikiran orang-orang yang berinteraksi dengan kita, terutama mereka yang tidak

sepaham dan sehaluan. Ini terutama penting pada saat kita memiliki misi untuk

melakukan perubahan guna mencapai perbaikan.

Kepemimpinan yang inklusif dan berlandaskan empati dan integritas yang bersih

akan menghasilkan proses perubahan yang baik dan hasil yang lebih langgeng.

Ini bukan berarti kita harus menyenangkan semua pihak dan tidak memiliki

pendirian.

Dalam lingkungan kebijakan publik, sering kita dihadapkan pada pilihan sulit. Pilihan

yang tersedia seringkali tidak populer, yang bahkan bukan alternatif terbaik.

Dengan analisa yang cermat dan teliti, buatlah keputusan yang hanya bertujuan

untuk kebaikan masyarakat dan tidak mengandung konflik kepentingan.


Yakini bahwa pilihan sulit yang anda ambil tetap merupakan keputusan yang terbaik

bagi masyarakat dan institusi.

Kadang tidak semua orang akan mengapresiasi keputusan yang kita buat. Bisa jadi

ada orang yang salah paham terhadap tindakan kita. Dan bahkan keberhasilan

sering datang lama setelah kita meninggalkan jabatan kita.

Jangan putus asa. Tetap bertindak dengan integritas, jujur, adil, rendah hati, dan

selalu menghormati martabat orang lain. Sikap itu akan membawa kepada

ketentraman abadi.

Dimanapun anda nantinya berkarya, baik di pemerintahan, perusahaan swasta,

atau LSM, dan apakah kita berada di tingkat pemula, profesional menengah, atau

posisi eksekutif, tidak ada kompromi dalam menjaga integritas dan harga diri kita.

Setelah enam tahun saya bekerja di lembaga internasional Bank Dunia dan

berkeliling dunia mengunjungi negara-negara berkembang maupun negara maju,

saya merasa optimis melihat generasi muda Indonesia.

Indonesia dapat menjadi negara maju yang dibanggakan rakyatnya dan disegani

bangsa lain. Karena Indonesia memiliki generasi muda yang selalu ingin belajar dan

ingin maju, yang haus akan prestasi, dan memiliki daya juang yang tidak pernah

luntur. Indonesia memiliki 65 juta generasi muda yang tidak pernah berputus asa

mencintai negerinya.

Terima kasih.

You might also like