You are on page 1of 14

Materi

Perawatan Pasien Pasca Fraktur

A. Definisi Fraktur
Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi
tulang / osteoporosis. Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang
atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan. Fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh tekanan yang berlebihan (Sjamsudihajat, 2005)

B. Manifestasi Klinis
1. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5. Tenderness/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10. Krepitasi
C. Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang
terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan
lima tahap, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3 hari) Pada
tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur,
yang tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua
milimeter. Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel
jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan
fibrosis dengan kapiler di dalamnya (Black & Hawks, 2006)
2. Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari2 minggu) Setelah
pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel
di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus. Ujung
fragmen dikelilingi oleh jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur.
Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru
yang halus berkembang ke dalam daerah tersebut (Black & Hawks, 2006;
Sjamsuhidajat dkk, 2011).
3. Tahap pembentukan kalus (2-6 minggu) Sel yang berkembangbiak
memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang
tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan,
juga kartilago. Populasi sel juga mencakup osteoklas yang mulai
membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur
menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur semakin berkurang pada
empat minggu setelah fraktur menyatu (Black & Hawks, 2001;
Sjamsuhidajat dkk, 2011).
4. Osifikasi (3 minggu-6 bulan) Kalus (woven bone) akan membentuk kalus
primer dan secara perlahanlahan diubah menjadi tulang yang lebih
matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan
kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap. Pembentukan kalus
dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalaui proses
penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang
benar-benar bersatu (Black & Hawks, 2001; Smeltzer & Bare, 2002).
5. Konsolidasi (6-8 bulan) Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik
berlanjut, fibrosa yang imatur berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu
sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi
celah-celah yang tersisa antara fragmen dengan tulang yang baru. Ini
adalah proses yang lambat dan mungkin perlu sebelum tulang cukup kuat
untuk membawa beban yang normal (Black & Hawks, 2001;
Sjamsuhidajat dkk, 2011).
6. Remodeling (6-12 bulan) Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset
tulang yang padat. Selama beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun,
pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan
tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk normalnya (Black &
Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011; Smeltzer & Bare, 2002).

D. Penatalaksanaan Pasien Fraktur


1. Bedah
a) Oref
OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi internal dimana
prinsipnya tulang di transfiksasikan diatas dan di bawah fraktur, sekrup
atau kawat di transfiksi di bagian proksimal dan distal kemudian
dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain.
Indikasi Oref:
1) Fraktur terbuka grade II dan III
2) Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau patah tulang
yang parah
3) Fraktur yang sangat kominutif (remuk) dan tidak stabil
4) Fraktr yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf
5) Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain
6) Fraktur yang terinfeksi dimana fiksasi internal mungkin tidak cocok.
7) non union yang memerlukan kompresi dan perpanjangan
8) Kadang-kadang pada fraktur tungkai bawah diabetes melitus

b) Orif
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi),open reduksi merupakan
suatu tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah / fraktur sedapat mungkin kembali seperti letak
asalnya.Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup,
paku maupun suatu intramedulary (IM) untuk mempertahan kan
fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid
terjadi.
Indikasi ORIF
1) Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair necrosis
tinggi. Misalnya : Fraktur talus, Fraktur collum femur.
2) Fraktur yang tidak bisa di reposisi tertutup. Misalnya: Fraktur
avulasi, Fraktur dislokasi.
3) Fraktur yang dapat di reposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya :
Fraktur Monteggia, Fraktur Galeazzi, Fraktur antebrachii, Fraktur
pergelangan kaki
4) Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi, misalnya ; fraktur femur.

2. Gips
Gips merupakan suatu bahan kimia yang pada saat ini tersedia dalam
lembaran dengan komposisi kimia (CaSO4)2 H2O + 3 H2O = 2
(SaSO42H2O) dan bersifat anhidrasi yang dapat mengikat air sehingga
membuat kalsium sulfat hidrat menjadi solid/keras. Pada saat ini sudah
tersedia gips yang sangat ringan.
Pemasangan gips merupakan salah satu pengobatan konservatif pilihan
(terutama pada fraktur) dan dapat dipergunakan di daerah terpencil dengan
hasil yang cukup baik bila cara pemasangan, indikasi, kontraindikasi serta
perawatan setelah pemasangan diketahui dengan baik.
Indikasi pemasangan gips adalah :
a. Untuk pertolongan pertama pada faktur (berfungsi sebagai bidal).
b. Imobilisasi sementara untuk mengistirahatkan dan mengurangi nyeri
misalnya gips korset pada tuberkulosis tulang belakang atau pasca
operasi seperti operasi pada skoliosis tulang belakang.
c. Sebagai pengobatan definitif untuk imobilisasi fraktur terutama pada
anak-anak dan fraktur tertentu pada orang dewasa.
d. Mengoreksi deformitas pada kelainan bawaan misalnya pada talipes
ekuinovarus kongenital atau pada deformitas sendi lutut oleh karena
berbagai sebab.
e. Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis.
f. Imobilisasi untuk memberikan kesempatan bagi tulang untuk menyatu
setelah suatu operasi misalnya pada artrodesis.
g. Imobilisas setelah operasi pada tendo-tendo tertentu misalnya setelah
operasi tendo Achilles.
h. Dapat dimanfaatkan sebagai cetakan untuk pembuatan bidai atau
protesa.
Hal-hal yang perlu diperhatikan setelah pemasangan gips adalah :
a. Gips tidak boleh basah oleh air atau bahan lain yang
mengakibatkan kerusakan gips.
b. Setelah pemasangan gips harus dilakukan follow up yang teratur,
tergantung dari lokalisasi pemasangan.
c. Gips yang mengalami kerusakan atau lembek pada beberapa tempat,
harus diperbaiki.

3. Traksi
Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi
digunakan untuk meminimalkan spasme otot; untuk mereduksi,
menyejajarkan dan mengimbolisasi fraktur; untuk mengurangi deformitas;
dan untuk menambah ruangan di antara kedua permukaan patahan tulang.
Prinsip traksi efektif :
a) Kontraksi harus dipertahankan agar traksi tetap efektif
b) Traksi harus berkesinambungan agar reduksi dan imobilisasi fraktur
efektif.
c) Traksi kulit pelvis dan serviks sering digunakan untuk mengurangi
spasme otot dan biasanya diberikan sebagai traksi intermiten.
d) Traksi skelet tidak boleh terputus.
e) Pemberat tidak boleh diambil kecuali bila traksi dimaksudkan
intermiten. Setiap faktor yang dapat mengurangi tarikan atau mengubah
garis resultanta tarikan harus dihilangkan.
f) Tubuh pasien harus dalam keadaan sejajar dengan pusat tempat tidur
ketika traksi dipasang.
g) Tali tidak boleh macet.
h) Pemberat harus tergantung bebas dan tidak boleh terletak pada tempat
tidur atau lantai.
i) Simpul pada tali atau telapak kaki tidak boleh menyentuh katrol atau
kaki tempat tidur.
j) Selalu dikontrol dengan sinar roentgen
k) ( Brunner & suddarth,2001 ).

E. Masalah yang Timbul Pasca Fraktur


1. Oedema
Oedema dapat terjadi karena adanya kerusakan pada pembuluh darah
akibat dari insisi, sehingga cairan yang melewati membran tidak lancar
dan tidak dapat tersaring lalu terjadi akumulasi cairan sehingga timbul
bengkak.
2. Syok Hipovolemik
Kehilangan darah besar-besaran selama atau setelah pembedahan, dapat
mengakibatkan syok hipovolemik.
3. Nyeri
Adanya luka bekas operasi serta adanya oedem di dekat daerah
fraktur, menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan interstitial
sehingga akan menekan nociceptor, sehingga menyebabkan nyeri.
Penatalaksanaan nyeri dibagi menjadi dua yaitu dengan farmakologi dan
non farmakologis. Penatalaksanaan non farmakologis terdiri dari berbagai
tindakan penanganan fisik meliputi stimulus kulit, stimulus elektrik saraf
kulit, akupuntur dan pemberian placebo. (Tamsuri, 2006).
Pertama secara non farmakologis ada :
a) Terapi guided imagery, terapi yang diberikan yaitu guided imagery
yang merupakan aktivitas membimbing pasien untuk berimajinasi atau
membayangkan hal yang menyenangkan dan membebaskan diri dari
perhatian terhadap nyeri. Terapi guided imagery termasuk jenis terapi
non farmologi yang apabila dilaksanakan dengan tepat akan dapat
berfungsi efektif menurunkan nyeri. Didukung Brunner & Suddarth
(2001) menyebutkan dukung penenangan dan psikologis merupakan
faktor yang signifikan dalam menurunkan nyeri yang dialami pasca
operatif.
b) Terapi perilaku kognitif. Terapi perilaku kognitif adalah untuk merubah
cara berfikir tentang nyeri agar respon tubuh dan pikiran lebih baik
ketika mengalami nyeri. Terapi berfokus pada perubahan pikiran
tentang penyakit dan kemudian membantu menjadi suatu koping positif
bagi pasien terhadap penyakitnya, terapi kognitif dan perilaku ini sangat
berpengaruh terhadap penurunan nyeri. Intervensi prilaku kognitif
meliputi tindakan distraksi, tehnik relaksasi, imajinasi terbimbing,
umpan balik biologis, hypnosis dan sentuhan terapeutik. Salah satu cara
distraksi yang efektif adalah mendengarkan musik. Khususnya jenis
musik yang mampu mendistraksikan pola pikir pasien dari rasa nyeri
yang dirasakan sehingga timbul rasa nyaman bagi pasien (Murwani,
2009).
c) Mekanisme Koping. Hasil penelitian menyebutkan bahwa prilaku
koping akan menurunkan keluhan (nyeri) yang dialaminya.
d) Keempat ada Teknik Relaksasi Nafas Dalam. Teknik relaksasi nafas
dalam untuk menurunkan tingkat nyeri pada pasien post operasi fraktur
femur karena teknik relaksasi nafas dalam dapat membantu mengurangi
dan mengontrol nyeri pada pasien dan teknik relaksasi nafas dalam
dapat dipraktekkan dan tidak menimbulkan efek samping. Mencatat
studi yang menunjukkan bahwa 60% sampai 70% pasien
dengan ketegangan nyeri dapat mengurangi nyerinya minimal 50%
dengan melakukan relaksasi nafas dalam.
e) Massage
Massage dapat diberikan pada pasien post op untuk melancarkan
sirkulasi darah dan mengurangi nyeri. Massage diberikan bila tidak ada
luka terbuka, sebaiknya tidak diberikan pada daerah perpatahan.
Gunakan pelincin untuk menghindari iritasi. Menurut Destyana dkk
(2013) yang dikutip dari Cyriax dan Russel (1980) menjelaskan bahwa
massage dapat mengurangi nyeri karena massage dapat memproduksi
traumatic hyperemia dengan meningkatkan suplai darah di area otot
yang spasme dengan cara mengurangi nodule dan melemaskan struktur
serat otot yang spasme. Sehingga mempengaruhi efektifitas gerakkan
dari serat otot seperti memanjang kembali sehingga peredaran darah
dan metabolisme disekitar otot tersebut dapat berjalan lebih lancar dan
dapat mengurangi nyeri. Selain itu efek dari Massage yaitu
mempercepat pengosongan dan pengisian cairan sehingga akan
memperlancar sirkulasi dan membuang zat-zat sisa pembakaran,
melancarkan nutrisi yang akan masuk di pembuluh darah sehingga
mempercepat proses pemulihan terhadap otot yang mengalami cidera
(Rowen, 2007).
f) Meditasi dzikir, merupakan bagian dari meditasi transendental yang
melibatkan faktor keyakinan. Respon relaksasi yang melibatkan
keyakinan yang dianut akan mempercepat terjadinya keadaan relaks
atau dengan kata lain kombinasi respon relaksasi dengan melibatkan
keyakinan akan melipat gandakan manfaat yang didapat dari respon
relaksasi. Semakin kuat keyakinan seseorang berpadu dengan respon
relaksasi maka semakin besar pula efek yang didapat. Menurut Solinan
et al ( 2013) dan Sitepu ( 2009) meditasi dzikir dan relaksasi Manfaat
dzikir kepada pasien untuk mendapatkan respon relaksasi, ketenangan ,
kesadaran , dan kedamaian yang meningkatkan psikologis, sosial,
spiritual dan status kesehatan fisik (Abdel - Khalek & Lester , 2007).
Meditasi dzikir dapat dilakukan dengan posisi berbaring atau duduk
yang nyaman dan rileks dengan mata tertutup kemudian mengingat
Allah dengan mengucapkan Subbanallah, Alhamdullilah, Allahuakbar
dan Laillahaillalah selama 20 sampai 30 menit ( Mardiyono et al., 2007;
Sitepu, 2009 ; Solinan, 2013). Selama meditasi dzikir kesadaran dari
obyek diarahkan kepada Allah SWT atau transendental bersatu dengan
Allah. Meditasi dzikir dapat menimbulkan respon relaksasi dan
ketenangan yang akan membawa pengaruh terhadap rangsangan pada
sistem syaraf otonom yang berdampak pada respon fisiologis tubuh
sehingga terjadi penurunan tekanan darah, denyut nadi dan pernafasan
(Mardiyono et al., 2007).

Sedangkan penanganan nyeri pada fraktur secara farmakologis yaitu


pemberian obat-obatan analgesic seperti Fascia Iliaca blockade merupakan
pengobatan sederhana dan efektif dari tingkat analgesik untuk obat
morphin pada pasien dengan patah tulang proximal femur.
PERIOPERATIVE ANALGESIA sepertiLocal inltration anaesthesia
(LIA) and opiate sparing anaesthesia(OSA), Epidural analgesia, Intrathecal
morphine, Titrating Parenteral Morphin, Peripheral nerve blockade.
SISTEMIC ANALGESIA seperti Paracetamol, Tramadol, NSAIDs,
Codeine, Morphine, Opioids

4. Infeksi
Infeksi merupakan resiko pada setiap pembedahan, bahkan pada
semua tindakan inovatif. Resiko infeksi akibat tindakan invasif mencapai
80%. Infeksi merupakan perhatian khusus terutama pada klien
pascaoperasi ortopedi karena tingginya resiko osteomielitis. Osteomielitis
sering memerlukan pemberian antibiotik intravena jangka panjang.
Infeksi terjadi karena masuknya mikroorganisme patogen ke dalam
daerah fraktur dan karena fiksasi internal yang di pasang di dalam tubuh
pasien mungkin tidak steril atau karena teknik, perlengkapan dan keadaan
operasi yang buruk Infeksi biasanya terjadi pada fraktur terbuka karena
luka terkontaminasi oleh organisme yang masuk dari luar tubuh. Pada
fraktur tertutup dapat terjadi karena penolakan terhadap internal fiksasi
yang dipasang pada tubuh pasien (Adam, 1992). Infeksi juga bisa terjadi
karena kebersihan diri yang kurang. Pasien dengan frakur sering kurang
memperhatikan kebersihan diri karena nyeri yang mereka rasakan. Tanda-
tanda infeksi seperti peningkatan suhu, rasa nyeri, adanya pus, bengkak
yang tampak jelas

5. Masalah Psikologis
a. Kecemasan
Lokasi fraktur bisa menjadi penentu beratnya gangguan mobilitas
yang dialami oleh pasien. Gangguan mobilisasi tersebut menjadi
penyebab kecemasan pada pasien. Ketika pasien fraktur mengalami
kecemasan pada masa post operasi dan tidak teratasi dengan baik
maka akan berdampak pada lamanya proses penyembuhan. Roh, dkk
(2014), kecemasan yang terjadi dan tidak diatasi dengan baik akan
berpengaruh pada proses rehabilitasi. Hal tersebut akan membuat
proses recovery menjadi lebih lama. Selain itu, ketika seseorang tidak
dapat mengatasi cemasnya dan berlanjut pada depresi hal tersebut
akan berdampak pada kehidupan masa depannya.
b. Depresi
Fraktur menyebabkan gangguan tingkat kemandirian seseorang dalam
melakukan aktifitas (disabilitas). Disabilitas pada pasien fraktur
menimbulkan berbagai gangguan psikologis, salah satunya depresi.
Disabilitas adalah ketidakmampuan seseorang dalam melakukan
aktifitas sehari-hari secara mandiri atau dengan kata lain adanya
gangguan tingkat kemandirian seseorang dalam melakukan aktifitas.
Sedangkan depresi merupakan penurunan mood yang berkepanjangan,
yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan
berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup.
6. Masalah Mobilisasi
Oedem dan nyeri karena luka bekas operasi dapat menyebabkan
penurunan kekuatan otot karena pasien tidak ingin menggerakkan anggota
geraknya dan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan disused
atrophy. Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedema,
kelemahan pada otot sehingga pasien tidak ingin bergerak dan beraktivitas.
Keadaan ini dapat menyebabkan perlengketan jaringan dan keterbatasan
lingkup gerak sendi (Apley, 1995).
Pelaksanaan terapi latihan terdiri dari beberapa cara:
1. Kontraksi Statis (Static Contraction)
Latihan ini dilakukan segera setelah pasien menjalani operasi.
Terapi ini dilakukan saat posisi pasien berbaring terlentang dan
ditujukan untuk otot quadriceps femoris. Tangan terapi berada di bawah
fossa poplitea sisi yang sakit, kemudian pasien diminta menekan tangan
terapis selama enam kali hitungan. Latihan ini dilakukan sehari sekali
dengan pengulangan 10 12 kali dan dilakukan setiap hari. Latihan ini
diharapkan dapat mengurangi edema dan nyeri.
2. Pergerakan pasif (Passive Movement)
a. Relaxed Passive Movement
Pasien dalam posisi berbaring terlentang, kemudian terapis
berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan
menghadap ke sisi kranial pasien. Terapis menggerakkan tungkai
ke arah fleksi lutut secara perlahan sampai batas timbul rasa
nyeri, kemudian dikembalikan lagi ke arah ekstensi lutut.
Gerakan-gerakan lain yang dapat dilakukan yaitu abduksi-
adduksi ekstremitas bawah, dorsal-plantar fleksi, dan inversi-
eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan ini dilakukan sehari
sekali dengan pengulangan 10 12 kali dan dilakukan setiap
hari.
b. Forced Passive Movement
Pasien dalam posisi berbaring terlentang, kemudian terapis
berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan
menghadap ke sisi kranial pasien. Gerakan yang dilakukan sama
seperti relaxed passive movement. Namun, di akhir gerakan
diberikan penekanan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri.
Gerakan ini dilakukan sehari sekali dengan pengulangan 10 12
kali dan dilakukan setiap hari.
3. Pergerakan Aktif (Active Movement)
a. Free Active Movement
Gerakan ini diberikan pada tungkai yang sakit. Posisi pasien
berbaring terlentang, kemudian posisi terapis berada di sebelah
lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial
pasien. Salah satu tangan terapis memfiksasi di proksimal lutut
dan tangan lainnya diletakkan pada distal tungkai bawah. Pasien
menggerakkan sendiri anggota gerak yang sakit. Gerakan yang
dilakukan adalah fleksi-ekstensi sendi lutut, abduksi-adduksi
ekstremitas bawah dan dorsal-plantar serta inversi-eversi sendi
pergelangan kaki. Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan
pengulangan sebanyak 10 - 12 kali dan dilakukan setiap hari.
b. Assisted Active Movement
Gerakan ini dapat dilakukan pada hari pertama setelah operasi.
Posisi pasien berbaring terlentang, kemudian salah satu tangan
terapis menyangga di bawah proksimal lutut dan tangan yang
lain berada pada distal tungkai bawah pasien. Gerakan yang
dilakukan adalah fleksi-ekstensi lutut, abduksi-adduksi
ekstremitas bawah dan dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi
sendi pergelangan kaki. Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari
dengan pengulangan sebanyak 10-12 kali dan dilakukan setiap
hari.
c. Ressisted Active Movement
Gerakan ini dapat dilakukan pada hari pertama setelah operasi.
Gerakan berupa fleksi-ekstensi lutut, abduksi-adduksi
ekstremitas bawah, dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi sendi
pergelangan kaki. Terapis memberikan penahanan untuk setiap
gerakan yang dilakukan. Tahanan yang diberikan dilakukan
secara bertahap mulai dari minimal hingga maksimal (hingga
pasien mampu menahan rasa nyeri). Tahanan yang diberikan
terapis berlawanan dari arah gerakan yang dilakukan pasien.
Gerakan dilakukan satu kali dalam sehari dengan pengulangan
sebanyak 10-12 kali dan dilakukan setiap hari.
4. Hold Relax
Pasien berada pada posisi berbaring terlentang, kemudian pasien
diminta untuk menggerakkan ke arah fleksi lutut sampai batas timbul
rasa nyeri, lalu terapis memberikan penahanan ke arah ekstensi lutut.
Pasien diminta untuk mempertahankan agar tidak terjadi gerakan pada
sendi. Setelah itu pasien diperintahkan untuk rileks dan terapis
menggerakkan ke arah fleksi lutut untuk penguluran otot-otot ekstensor.
5. Latihan Berjalan
Latihan berjalan bisa dilakukan pada hari kedua pasca operasi, namun
tetap harus melihat kondisi pasien. Sebelum dilakukan latihan berjalan,
pasien diperintahkan untuk duduk dengan membebaskan kaki di tepi
tempat tidur. Tungkai yang sehat diturunkan dari tempat tidur terlebih
dahulu, tungkai yang sakit diturunkan dengan bantuan dari terapis.
Terapis menyangga dengan cara meletakkan satu tangan di bawah
bagian distal tungkai atas dan yang lainnya di distal tungkai bawah.
Setelah itu pasien diberdirikan dengan menggunakan dua kruk axilla,
kemudian latihan berjalan di mulai non-weight bearing dengan metode
three point gait dan swing to.
DAFTAR PUSTAKA

Black, J.M, Hawks J.H, 2006, Medical Surgical Nursing, Clinical Management
for Positive Outcomes (8th Edition), Philadelpia: WB. Saunders Company
Roh, Y. H, dkk. 2014. Effect of Anxiety and Catastrophic Pain Ideation onEarly
Recovery Afer Surgery for Disal Radius Fractures. The Journal of Hand
Surgery.
R. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 2011, Buku Ajar Ilmu Bedah (Edisi 2), Jakarta:
EGC
Sitepu., (2009). Effect of Zikr Meditation on Post Operative Pain Among Muslim
Patients Undergoing Abdominal Surgery, Medan, Indonesia .
Smeltzer, Suzanne.C, Brenda G. Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah (Edisi 8), Jakarta: EGC
Solinan et al., (2013). Effect of zikir meditation and jaw relaxation on post
operative pain, anxiety and phisiologi response of patient undergoing
abdominal surgery.

You might also like