You are on page 1of 8

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GAGAL NAFAS

A. Pengertian

Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-
paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida
dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg
(Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg
(hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)

Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran O2 terhadap CO2 dalam paru-paru tidak
dapat memelihara laju konsumsi O2 dan pembentukan CO2 dalam sel-sel tubuh sehingga
menyebabkan PO2 < >2 > 45 mmHg (hiperkapnia) (Smeltzer, C Susane, 2001)

Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan


oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat
disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997)

B. Etiologi

1. Penyebab sentral
a. Kelainan neuromuskuler : GBS, tetanus, trauma cervical, muscle relaxans.
b. Kelainan jalan nafas : obstruksi jalan nafas, asma bronchiale.
c. Kelainan di paru : edema paru, atelektasis, ARDS.
d. Kelainan tulang iga/thoraks: fraktur costae, pneumo thorax, haematothoraks.
e. Kelainan jantung :kegagalan jantungkiri
2. Penyebab perifer
a. Trauma kepala : contusio cerebri.
b. Radang otak : encephalitis.
c. Gangguan vaskuler : perdarahan otak , infark otak.
d. Obat-obatan:narkotika,anestesi.

C. Patofisiologi

Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana
masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas
yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum
awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan
penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit
penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang
memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan
asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan
normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan
ventilator karena kerja pernafasan menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital
adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi
obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di
bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala,
stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan
menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode
postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen
menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari
analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas
akut.

D. Penatalaksanaan Medis

1. Terapi
a. Terapi oksigen. Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau
nasalprong.
b. Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP.
c. Inhalasi nebulizer.
d. Fisioterapi dada.
e. Pemantauan hemodinamik/jantung.
f. Pengobatan Brokodilator Steroid.
g. Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. BGA
b. Pemeriksaan rontgen dada
Untuk melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak
diketahui
c. Hemodinamik: tipe I terjadi peningkatan PCWP
d. EKG
1) Memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan.
2) Disritmia
E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Airway
1) Terdapat secret di jalan nafas (sumbatan jalan nafas).
2) Bunyi nafas krekels, ronchi, dan wheezing.
b. Breathing
1) Distress pernafasan: pernafasan cuping hidung, takhipnea / bradipnea.
2) Menggunakan otot asesoris pernafasan.
3) Kesulitan bernafas: lapar udara, diaforesis, dan sianoasis.
4) Pernafasan memakai alat Bantu nafas
c. Circulation
1) Penurunan curah jantung, gelisah, letargi, takikardi.
2) Sakit kepala.
3) Gangguan tingkat kesadaran: gelisah, mengantuk, gangguan mental
(ansietas, cemas)

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sumbatan jalan nafas dan
kurangnya ventilasi sekunder terhadap retensi lender.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi protein dan cairan
dalam interstitial / area alveolar, hipoventilasi alveolar, kehilangan surfaktan.
c. Risiko cidera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik.
d. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan selang ET
dengan kondisi lemah.
e. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi tubuh tidak mampu makan
peroral.
f. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan,prosespenyakit,
pengesetan ventilator yang tidak tepat.
g. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, pengesetan
ventilator yang tidak tepat, peningkatan sekresi, obstruksi ETT.

3. Perencanaan Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sumbatan jalan nafas

dan kurangnya ventilasi sekunder terhadap retensi lender.


Tujuan: jalan nafas efektif.
Kriteria hasil:
1) Bunyi nafas bersih.
2) Secret berkurang atau hilang.
Intervensi:
1) Catat karakteristik bunyi nafas.
2) Catat karakteristik batuk, produksi dan sputum.
3) Monitor status hidrasi untuk mencegah sekresi kental.
4) Berikan humidifikasi pada jalan nafas.
5) Pertahankan posisi tubuh / kepala dan gunakan ventilator sesuai kebutuhan.
6) Observasi perubahan pola nafas dan upaya bernafas.
7) Berikan lavase cairan garam faaal sesuai indiaksi untuk membuang skresi
yang lengket.
8) Berikan O2 sesuai kebutuhan tubuh.
9) Berikan fisioterapi dada.
10) Berikan bronkodilator.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi protein dan cairan


dalam interstitial / area alveolar, hipoventilasi alveolar, kehilangan surfaktan.
Tujuan; pertukaran gas adekuat.
Kriteria hasil:
1) Perbaikan oksigenasi adekuat: akral hangat, peningkatan kesadaran.
2) BGA dalam batas normal.
3) Bebas distres pernafasan
Intervensi:
1) Kaji status pernafasan.
2) Kaji penyebab adanya penurunan PaO2 atau yang menimbulkan
ketidaknyaman dalam pernafasan.
3) Catat adanya sianosis.
4) Observasi kecenderungan hipoksia dan hiperkapnia.
5) Berikan oksigen sesuai kebutuhan.
6) Berikan bantuan nafas dengan ventilator mekanik.
7) Kaji seri foto dada.
8) Awasi BGA / saturasi oksigen (SaO2)
c. Risiko cidera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik.
Tujuan: klien bebas dari cidera selama ventilasi mekanik.
Intervensi:
1) Monitor ventilator terhadap peningkatan tajam pada ukuran tekanan.
2) Observasi tanda dan gejala barotraumas.
3) Posisikan selang ventilator untuk mencegah penarikan selang endotrakeal.
4) Kaji panjang selang ET dan catat panjang tiap shift.
5) Berikan antasida dan beta bloker lambung sesuai indikasi.
6) Berikan sedasi bila perlu.
7) Monitor terhadap distensi abdomen.
d. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan selang ET

dengan kondisi lemah.


Tujuan: klien tidak mengalami infeksi nosokomial.
Intervensi:
1) Evaluasi warna, jumlah, konsistensi sputum tiap penghisapan.
2) Tampung specimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi.
3) Pertahanakan teknik steril bila melakukan penghisapan.
4) Ganti sirkuit ventilator tiap 72 jam.
5) Lakukan pembersihan oral tiap shift.
6) Monitor tanda vital terhadap infeksi.
7) Alirkan air hangat dalam selang ventilator dengan cara eksternal keluar dari
jalan nafas dan reservoir humidifier.
8) Pakai sarung tangan steril tiap melakukan tindakan / cuci tangan prinsip
steril.
9) Pantau keadaan umum.
10) Pantau hasil pemeriksaan laboratorium untuk kultur dan sensitivitas.
11) Pantau pemberian antibiotik.
e. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi tubuh tidak mampu makan

peroral.
Tujuan: klien dapat mempertahankan pemenuhan nutrisi tubuh.
Intervensi:
1) Kaji status gizi klien.
2) Kaji bising usus.
3) Hitung kebutuhan gizi tubuh atau kolaborasi tim gizi.
4) Pertahankan asupan kalori dengan makan per sonde atau nutrisi perenteral
sesuai indikasi.
5) Periksa laboratorium darah rutin dan protein.
f. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan,prosespenyakit,

pengesetan ventilator yang tidak tepat.


Tujuan : Klien akan memperlihatkan kemampuan pertukaran gas yang kembali
normal.
Kriteria hasil :
1) Hasil analisa gas darah normal PH (7,35 7,45), PO2 (80 100 mmHg),
PCO2 ( 35 45 mmHg), BE ( -2 +2).
2) Tidak cianosis.
Intervensi Rasional :
1) Cek analisa gas darah setiap 10 30 mnt setelah perubahan setting
ventilator.
2) Monitor hasil analisa gas darah atau oksimetri selama periode penyapihan.
3) Pertahankan jalan nafas bebas dari sekresi.
4) Monitpr tanda dan gejala hipoksia Evaluasi keefektifan setting ventilator
yang diberikan.
5) Evaluasi kemampuan bernafas klien.
6) Sekresi menghambat kelancaran udara nafas.
7) Deteksi dini adanya kelainan.

g. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, pengesetan


ventilator yang tidak tepat, peningkatan sekresi, obstruksi ETT.
Tujuan : Klien akan mempertahankan pola nafas yang efektif.
Kriteria hasil :
1) Nafas sesuai dengan irama ventilator.
2) Volume nafas adekuat.
3) Alarm tidak berbunyi.
Intervensi Rasional:
1) Lakukan pemeriksaan ventilator tiap 1-2 jam.
2) Evaluasi semua alarm dan tentukan penyebabnya.
3) Pertahankan alat resusitasi manual (bag & mask) pada posisi tempat tidur
sepanjang waktu.
4) Monitor slang/cubbing ventilator dari terlepas, terlipat, bocor atau
tersumbat.
5) Evaluasi tekanan atau kebocoran balon cuff.
6) Masukkan penahan gigi (pada pemasangan ETT lewat oral).
7) Amankan slang ETT dengan fiksasi yang baik.
8) Monitor suara nafas dan pergerakan ada secara teratur Deteksi dini adanya
kelainan atau gangguan fungsi ventilator.
9) Evaluasi keefektifan pola nafas

4. Pelaksanaan Keperawatan
Tahap pelaksanaan merupakan langkah keempat melaksanakan berbagai
strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam
rencana tindakan keperawatan (Hidayat 2004). Dalam tahap ini perawat harus
mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada
klien. Teknik komunikasi kemampuan dalam prosedur klien. Dalam pelaksanaan
rencana tindakan terdapat dua jenis tindakan yaitu tindakan jenis mandiri dan
kolaborasi. Sebagai profesi perawat mempunyai kewenangan dalam tanggung
jawab dalam menentukan komponan pada tahap asuhan keperawatan.

Komponen pada tahap implementasi adalah :


a. Tindakan keperawatan mandiri.
Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa pesanan dokter. Tindakan
keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan standar praktek American Nurses
Associatioin (1973) dan kebijakan institusi perawatan kesehatan.
b. Tindakan keperawatan kolaboratif.
Tindakan keperawatan kolaborasi diimplementasikan bila perawat bekerja
dengan anggota tim perawat kesehatan yang lain dalam membuat keputusan
bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah klien.
c. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap tindakan
keperawatan.
Dokumentasi merupakan pernyataan dari kejadian/identitas yang otentik
dengan mempertahankan catatan-catatan yang tertulis. Dokumentasi
merupakan wahana untuk komunikasi dan suatu profesional ke profesional
lainnya tentang kasus klien. Dokumen klien merupakan bukti tindakan
keperawatan mandiri dan kolaborasi yang diimplementasikan oleh perawat
dan perubahan-perubahan pada kondisi klien. Frekuensi dokumentasi
tergantung pada kondisi klien dan terapi yang diberikan idealnya therapi
dilakukan setiap shift. Rekam medis klien merupakan dokumentasi yang legal,
rekam medis tersebut diterima di pengadilan. Pada tuntutan mal praktik,
catatan perawatan memberikan bukti tindakan perawat. Perawat harus
melindungi catatan tersebut dari pembaca yang tidak berhak seperti
pengunjung. Tanda tangan perawat di akhiri catatan perawat merupakan
akuntabilitas terhadap isi catatan. Mengubah dokumen legal tersebut
merupakan suatu kejahatan adalah tidak bisa di terutama untuk menghapus
tulisan pada catatan menggunakan tipe x, penghapusan tinta atau lainnya.

5. Evaluasi Keperawatan
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria
hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Kemampuan yang harus dimiliki
perawat pada tahap ini adalah memahami respon terhadap intervensi keperawatan.
Kemampuan mengembalikan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta
kemampuan dalam menghubungkan tindakan-tindakan keperawatan pada kriteria
hasil.
Pada tahap evaluasi ini terdiri 2 kegiatan yaitu:
a. Evaluasi formasif menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan
intervensi dengan respon segera.
b. Evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status
klien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap
perencanaan. Disamping itu, evaluasi juga sebagai alat ukur suatu tujuan yang
mempunyai kriteria tettentu yang membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak
tercapai atau tercapai sebagian.
1) Tujuan Tercapai
Tujuan dikatakan teracapai bila klien telah menunjukkan perubahan
kemajuan yang sesuai dengan keiteria yang telah ditetapkan
2) Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak tercapai secara
keseluruhan sehingga masih perlu dicari berbagai masalah atau
penyebabnya, seperti klien dapat makan sendiri tetapi masih merasa mual,
setelah makan bahkan kadang-kadang muntah.
3) Tujuan tidak tercapai
Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukkan adanya perubahan
kearah kemajuan sebagaimana kriteria yang diharapkan.
Evaluasi sumatif masing-masing diagnosa keperawatan secara teori adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif teratasi.
b. Gangguan pertukaran gas teratasi.
c. Resiko cidera tidak terjadi.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi tidak terjadi.
e. Perubahan pola nutrisi teratasi.
f. Gangguan pertukaran gas teratasi.
g. Ketidakefektifan pola nafas teratasi.

You might also like