Professional Documents
Culture Documents
Pada artikel yang saya tulis di bawah ini akan membahas Bab Air, sehubungan air adalah
alat untuk melakukan Thoharoh (bersuci) di dalam Islam. Air jenis apa saja yang bisa
digunakan untuk bersuci, dan air jenis apa yg tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Ada perbedaan pendapat di dalamnya, oleh karena itu akan saya kupas semua perbedaan
pendapat yang ada.
Tujuannya adalah agar kita bisa saling memahami dan memaklumi adanya perbedaan
pendapat tersebut, yang pada akhirnya bisa tetap menjaga ukhwah antar sesame muslim
dan mebuang segala bentuk sinisme serta permusuhan yang bisa mengakibatkan
hilangnya rasa persaudaraan kita.
Dari hadits tentang adab-adab wudhu yang diajarkan Utsman bin Affan, Dari
Humran maula Ustman bahwa dia melihat Utsman meminta air wudhu:
Lalu dia menuangkan air dari bejana ke kedua telapak tangannya lalu mencuci
keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke
dalam air wudhu lalu berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air ke hidung) dan
istintsar (mengeluarkannya). Kemudian dia mencuci wajahnya tiga kali lalu kedua
tangan sampai ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya lalu
mencuci kedua kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian setelah selesai dia
(Utsman) berkata, Saya melihat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- berwudhu
seperti wudhu yang saya lakukan ini. (Muttafaqun alaih).
Menurut hadits di atas, cara wudhu Rasulullah adalah memasukkan tangan ke
dalam bejana, yang menurut keterangan isi bejana tersebut 1 mud saja,
kemungkinan besar air bekas wudhu beliau masuk ke dalam bejana tersebut
mengikuti tangan beliau yang masuk lagi ke dalam bejana. Bukan dengan cara air
dialirkan, tetapi tangan beliau masuk lagi ke dalam bejana.
Karena saat memasukkan tangan itu air bekas wudhu bisa lagi masuk ke dalam
bejana, maka air dalam bejana tersebut bisa disebut air mustamal. Ternyata air
tersebut bisa digunakan untuk berwudhu.
3. Air Yang Bercampur Najis
Ada dua pendapat sehubungan dengan air yang bercampur dengan najis ini.
a. Pendapat yang mengatakan, air menjadi najis karena tercampuri najis jika air itu
sedikit, walaupun tidak merubah bau, rasa, atau warna air tersebut. Pendapat ini
dipegang oleh Imam Hanafi, Imam Syafii dan Imam Hmbali.
Masalah jumlah air yang sedikit tersebut, berapa batasannya..?! ada dua pendapat
juga mengenai batasan jumlah air tersebut.
Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung
wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak.
Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafii dan Ahmad (Hanabilah) adalah
air yang kurang dua kullah. Ini sesuai hadits :
Dari Abdullah bin Umar radiyallahu anhuma dia berkata (bahwa) Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, jika air mencapai dua kullah, maka (air
tersebut) tidak mengandung kotoran [najis]. Dalam lafadz lain: (air tersebut)
tidak ternajisi. ( Dikeluarkan oleh imam yang empat, dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah, Al Hakim, dan Ibnu Hibban)
Hadits tersebut memang ada yang memandang hadits mudhthorib (simpang
siur/kacau) dari sisi sanad (perawi) maupun matan (materi). Tetapi ada pula yang
mengatakan shahih. Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi,
Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.
b. Pendapat yang mengatakan bahwa, jika air tidak merubah bau, rasa, atau
warnanya, maka air tersebut tidak najis (suci).
Ini adalah pula pendapat dan Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnul
Musaiyab, Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhahiri, Nakhai, Malik dan
lain-lain.
Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi :
Seorang badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang pun sama berdiri untuk
menangkapnya. Maka bersabdalah Nabi saw: Biarlah dia, hanya tuangkanlah pada
kencingnya setimba atau seember air! Kamu dibangkitkan adalah untuk memberi
keentengan/kemudahan, bukan untuk menyukarkan. (Hr. Jamaah kecuali Muslim)
Dari hadits di atas, bisa diambil kesimpulan, bahwa air yang sedikit tetapi bisa
menghilangkan bau, rasa dan warnanya, maka air tersebut bisa mensucikan.
Atau hadits :
Dikatakan orang : Ya Rasulullah, bolehkah kita berwudhuk dari telaga Budhaah?
Maka bersabdalah Nabi saw.: Air itu suci lagi mensucikan, tak satu pun yang akan
menajisinya. (H.r. Ahmad, Syafii, Abu Daud, Nasai dan Turmudzi).
Hadits tersebut disebut hadits Biru Bidhoah (Telaga Bidhoah).
Atau hadits :
Dari Abu Umamah Al Baahiliy radiyallahu anhu beliau berkata, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun
yang dapat menajiskannya, kecuali yang mendominasi (mencemari) bau, rasa, dan
warnanya. Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, didhoifkan oleh Abu Hatim.
Dalam riwayat Al Baihaqi, Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika air
tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya.
Bagian pertama hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dhoif.
Ungkapan Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya telah
ada dasarnya di hadits biru bidhoah.
Setelah kita mengetahui jalan pengambilan pendapat di atas, maka kita akan
mengetahui, bahwa perbedaan terjadi dari sudut pandang para Imam Madzhab dalam
mengambil dalil yang ada. Selama dalil tersebut adalah shahih, maka tidak masalah
perbedaan itu terjadi. Dan ternyata kita di atas telah disajikan bagaimana perbedaan
itu ternyata juga sama-sama mengambil dari dalil yang shahih.
Jadi, jangan lagi kita mempermasalahkan perbedaan (khilafiyah) yang ada. Tetapi
marilah kita mulai memperbaiki cara pandang kita terhadap perbedaan yang ada.