Professional Documents
Culture Documents
OLEH
H1A010023
Pembimbing:
dr. Rudi Febrianto, Sp.OT
2014
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Sepanjang perkembangannya, korda spinalis dan kolumna vertebralis tumbuh dalam waktu
yang tidak bersamaan, dengan pertumbuhan columna vertebralis lebih cepat dibandingkan korda
spinalis. Nervus spinalis keluar dari kolumna vertebralis secara progresif dengan sudut-sudut
yang lebih oblique karena peninggian jarak antara segmen korda spinalis dan penyesuaian dari
vertebra. Nervus lumbalis dan nervus sacralis berjalan menurun kebawah melalui kanalis spinalis
untuk mencapai jalan keluar foramennya.
Akar saraf ini merupakan hubungan antara anatomi sistem saraf pusat ( SSP ) dan sistem saraf
perifer. Saraf ini secara anatomis terletak sesuai dengan segmen tulang belakang dari mana
mereka berasal dan berada dalam cairan cerebrospinal ( CSF ) dalam ruang subarachnoid pada
kantung dural yang berakhir pada tingkat vertebra sacral kedua.
Fraktur kompresi vertebra (wedge fractures) merupakan kompresi pada bagian depan
corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur
tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra yang dapat menekan saraf cauda equine yang
mengakibatkan cauda equine syndrome. Cauda equine syndrome itu sendiri mengacu pada
kumpulan gejala neuromuskuler dan urogenital yang dihasilkan dari kompresi simultan dari
beberapa akar saraf lumbosakral pada bagaian bawah conus medullaris. Gejala ini termasuk
nyeri pinggang, nyeri panggul (unilateral atau bilateral), disfungsi kandung kemih dan usus serta
disfungsi seksual, dan defisit neurologis berupa gangguan motorik, sensorik atau refleks pada
ekstremitas bawah.
Meskipun lesi secara teknis melibatkan akar saraf dan merupakan cedera saraf perifer,
kerusakan pada cauda equina syndrome dapat bersifat irreversible dan memerlukan tindakan
operasi darurat. Diagnosis dini dan dekompresi bedah dini sangat penting untuk hasil yang
menguntungkan pada kebanyakan pasien dengan cauda equina syndrome.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Fraktur kompresi terdiri dari kata fraktur dan kompresi. Fraktur artinya keadaan patah atau
diskontinuitas dari jaringan tulang, sedangkan kompresi artinya tekanan atau tindihan, jadi
fraktur kompresi adalah diskontinuitas dari jaringan tulang akibat dari suatu tekanan atau
tindihan yang melebihi kemampuan dari tulang tersebut.
Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk
ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain
ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah
mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek
ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya. Trauma vertebra yang mengenai medula
spinalis dapat menyebabkan defisit neorologis berupa kelumpuhan.4
2.2. Anatomi
3
Gambar 2.2. Columna Vertebralis.
4
terlindung oleh vertebra, ligamentum serta ototnya dan cairan serebrospinal (CSS).
Medulla spinalis berawal sebagai lanjutan medulla oblongata, bagian kaudal truncus
encephali. Pada orang dewasa medulla spinalis terbentang dari foramen magnum os
occipitale sampai diskus intevertebralis antara vertebra lumbal I dan vertebral lumbal II,
tetapi dapat berakhir pada vertebra thorak ke XII atau vertebra lumbal III. Dengan
demikian medulla spinalis hanya memenpati bagian dua pertiga kranii canalis vertebralis
(Gambar 2.). 1
5
batang tubuh lainnya. Masing-masing dari ramus ini membawa akar dorsal (serabut
aferen) dan akar ventral (eferen). 1,5
Medulla spinalis dewasa lebih pendek dari columna vertebralis. Karena jarak
antara segmen medulla spinalis dan vertebra yang sesuai makin bertambah, akar-akar saraf
pun bertambah secara progresif ke arah kaudal columna vertebralis. Akar-akar saraf
lumbal dan sakral adalah terpanjang yang melintas ke kaudal mencapai foramen
intervertebralis di daerah lumbal dan sacral untuk keluar dari canalis vertebralis.
Kumpulan akar-akar saraf spinal di spatium subarachnoid kaudal dari ujung medulla
spinalis ini disebut cauda equina (Gambar 3.). Cauda equina terdiri atas akar dorsal
(aferen) dan ventral (eferen). Saraf-saraf cauda equina membawa sensasi dari ekstrimitas
inferior dan perineal serta menyalurkan impuls eferen sesuai miotom ekstrimitas inferior.
Ujung kaudal medulla spinalis meruncing menjadi conus medullaris. Dari ujung kaudal
bagian ini seutas piamater spinalis yang menyerupai benang yakni filum terminale
menurun antara saraf-saraf cauda equina. 1,5
4.2. Epidemiologi
Fraktur kompresi vertebra merupakan jenis fraktur yang sering terjadi dan merupakan
masalah yang serius. Setiap tahun sekitar 700.000 insidensi di Ameika Serikat, dimana
prevalensinya meningkat 25% pada wanita yang berumur diatas 50 tahun. Satu dari dua wanita
dan satu dari empat laki-laki berumur lebih dari 50 tahun menderita osteoporosis berhubungan
6
dengan fraktur. Insidensi fraktur kompresi vertebra meningkat secara progresif berdasarkan
semakin bertambahnya usia, dan prevalensinya sama antara laki-laki (21,5%) dan wanita
(23,5%), yang diukur berdasarkan suatu studi pemeriksaan radiologi. Meskipun hanya sekitar
sepertiga menunjukkan gejala akut, awalnya semua berhubungan dengan angka yang
signifikan meningkatkan mortalitas dan gangguan fungsional dan psikologis.5
4.3. Etiologi
Penyebab terjadinya fraktur kompresi vertebra adalah sebagai berikut:
- Trauma langsung ( direct ) : Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan
langsung pada jaringan tulang seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian, dan benturan benda keras oleh kekuatan langsung.
- Trauma tidak langsung ( indirect ) : Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan
langsung, tapi lebih disebabkan oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan
tulang atau otot yang melebihi kemampuan otot dan tulang tersebut, contohnya
seperti pada olahragawan yang menggunakan hanya satu tangannya untuk menumpu
beban badannya.
Penyebab terjadinya SCE maupun SCM disebabkan oleh penyempitan pada canalis
spinalis yang menekan akar saraf di bawah level medula spinalis. Berikut ini merupakan
etiologi dari SCE dan SCM.
1) Trauma
Kejadian trauma tembus maupun keadaan traumatik yang menyebabkan fraktur
atau subluksasi dapat menyebabkan kompresi cauda equina dan conus medullaris
(Gambar 12). Manipulasi spinal yang menyebabkan subluksasi akan mengakibatkan
munculnya SCE atau SCM (tergantung setinggi apa vertebrae yang terkena). Etiologi
trauma ini merupakan etiologi paling sering pada kasus-kasus SCE maupun conus
medullaris. 3
2) Herniasi diskus
Dari sejunlah pasien yang mengalami herniasi diskus lumbalis terdapat sekitar 1-
16 % yang menunjukkan manifestasi SCE atau SCM. Sembilan puluh persen herniasi
diskus lumbalis terjadi baik pada L4-L5 atau L5-S1. Tujuh puluh persen kasus herniasi
diskus yang menyebabkan SCE dan SCM terjadi pada pasien dengan riwayat low back
pain kronis, dan 30% berkembang menjadi SCE atau SCM sebagai gejala pertamanya.
Laki-laki usia dekade 4 dan 5 adalah yang paling rawan terhadap SCE maupun SCM
7
akibat herniasi diskus. Sebagian besar kasus SCE atau SCM yang disebabkan herniasi
diskus melibatkan partikel besar dari materi diskus yang rusak, mengganggu setidaknya
sepertiga diameter canalis spinalis (Gambar 4.). Pasien dengan stenosis kongenital yang
menderita herniasi diskus yang menetap lebih mungkin untuk mengalami SCE atau SCM
yang disebabkan bahkan oleh herniasi diskus yang ringan karena dapat secara drastis
membatasi ruang yang tersedia untuk akar saraf. 3,7
Gambar 2.5. Herniasi Diskus Menekan Cauda Equina atau Conus Medullaris di canalis
vertebralis.
3) Stenosis spinalis
Penyempitan canalis spinalis dapat disebabkan oleh abnormalitas dalam proses
perkembangan/degeneratif (Gambar 5.). Kasus spondilolistesis dan Pagets disease berat
dapat menyebabkan SCE/SCM. 7
8
Gambar 2.6. Stenosis Lumbo-sakral Akibat Hipertrofi Ligamentum Flavum.
4) Neoplasma
SCE dan conus medullaris dapat disebabkan oleh neoplasma spinal baik primer
atau metastasis dari prostat atau paru (pada laki-laki) dan payudara atau paru (pada
perempuan). Neoplasma ini dapat intratekal maupun ekstratekal. (Gambar 11.). Enam
puluh persen pasien dengan kedua sindrom ini yang disebabkan neoplasma spinal
mengalami nyeri berat sejak dini. Dua jenis tumor primer yang paling sering
menyebabkan SCE maupun SCM adalah schwanoma dan ependimoma. 3
Schwannoma adalah neoplasma jinak dengan kapsul yang secara struktural
identik dengan sinsisium sel Schwann. Pertumbuhan ini dapat berasal dari saraf perifer
atau simpatis. Schwannoma dapat dilihat menggunakan mielografi, tetapi MRI adalah
kriteria standar. Schwannoma bersifat isointense pada image T1, hyperintense pada
image T2, dan enhanced dengan kontras gadolinium. 3
Ependimoma adalah glioma yang berasal dari sel ependim yang relative
ndifferentiated. Mereka sering berasal dari canalis sentralis medula spinalis dan cenderung
tersusun secara radial di sekitar pembuluh darah. Ependimoma paling umum ditemukan
pada pasien yang berusia sekitar 35 tahun. Mereka dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial dan peningkatan kadar protein pada cairan serebrospinalis. Temuan
pada MRI dapat digunakan untuk membantu dokter dalam mendiagnosis SCE. Lesi
tampak isointense pada T1-weighted image, hypointense pada T2-weighted image, dan
enhanced dengan kontras gadolinium. 3
5) Kondisi peradangan
9
Kondisi peradangan pada medula spinalis yang berlangsung lama, misalnya
Pagets disease dan spondilitis ankilosa, dapat menyebabkan SCE atau conus medullaris
karena stenosis ataupun fraktur spinal. 8
6) Kondisi infeksi
Kondisi infeksi, misalnya abses epidural, dapat menyebabkan deformitas akar
saraf dan medula spinalis. MRI dapat menampilkan penampakan abnormal akar saraf
yang tertekan ke satu sisi sacus duralis. Gejala secara umum meliputi nyeri punggung
yang berat dan kelemahan motorik yang berkembang sangat cepat. Penyebab tersering
meliputi tuberculosis, meningitis, herpes simplex, meningovaskular sifilis dan
cytomegalovirus. 3,8
7) Penyebab iatrogenik
Komplikasi dari instrumentasi spinal telah dilaporkan menyebabkan kasus SCE
dan conus medullaris, misalnya pedicle screw dan laminar hook yang salah tempat.
Anestesi spinal yang kontinyu juga telah dihubungkan sebagai penyebab SCE maupun
conus medullaris. Injeksi steroid epidural, injeksi lem fibrin, dan penempatan free fat
graft merupakan penyebab yang juga dilaporkan sebagai penyebab SCE dan conus
medullaris meskipun jarang. Beberapa kasus melibatkan penggunaan lidokain hiperbarik
5%. Rekomendasi yang ada menyebutkan bahwa lidokain hiperbarik tidak dimasukkan
dengan konsentrasi yang lebih dari 2%, dengan dosis total tidak melebihi 60 mg.
Kebanyakan penyebab iatrogenic didasari oleh timbulnya perdarahan atau hematom
sehingga mendesak cauda equina atau conus medullaris. 3,8
8) Etiologi lainnya yang lebih jarang diantaranya adalah limfomatosis intravaskular, multiple
sklerosis, arteri-vena malformation, neurosarkoidosis, deep vein thrombosis, maupun
trombosis vena cava inferior. 4
4.4. Patofisiologi
Tulang belakang merupakan satu kesatuan yang kuat yang diikat oleh ligamen di depan
dan di belakang, serta dilengkapi diskus intervertebralis yang mempunyai daya absorpsi
terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifat fleksibilitas dan elastis. Semua trauma
tulang belakang harus dianggap suatu trauma yang hebat, sehingga sejak awal pertolongan
pertama dan transportasi ke rumah sakit penderita harus secara hati-hati. Trauma pada tulang
belakang dapat mengenai :8
a. Jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen, diskus dan faset.
b. Tulang belakang sendiri
10
c. Sumsum tulang belakang (medulla spinalis)
11
Gambar 2.7 Dermatom
a. Gangguan motorik
Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan sel-sel
saraf pada medulla spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan flacid paralisis dari
otot-otot yang disarafi sesuai dengan segmen-segmen medulla spinalis yang cedera. Pada
awal kejadian akan mengalami spinal shock yang berlangsung sesaat setelah kejadian sampai
beberapa hari bahkan sampai enam minggu. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya reflek
dan flacid. Lesi yang terjadi di lumbal menyebabkan beberapa otot-otot anggota gerak bawah
mengalami flacid paralisis.
b. Gangguan sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegic pain dimana
nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di
saraf pusat mengalami gangguan. Selain itu kulit dibawah level kerusakan akan mengalami
anaestesi, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.
c. Gangguan bladder dan bowel
Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitkan kontraksi otot polos sigmoid
dan rectum serta relaksasi otot spincter internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu
berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh ganglion yang berada di dalam
dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan
tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum.
Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong ke
bawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena
penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua kegiatan
12
berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut
dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat mempermudah
dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan.
d. Gangguan fungsi seksual
Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera.
Seluruh bagian dari fungsi seksual mengalami gangguan pada fase spinal shock. Kembalinya
fungsi sexual tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya lesi. Untuk dengan lesi
komplet diatas pusat reflek pada konus, otomatisasi ereksi terjadi akibat respon lokal, tetapi
akan terjadi gangguan sensasi selama aktivitas seksual. Pasien dengan level cidera rendah
pusat reflek sakral masih mempunyai reflex ereksi dan ereksi psikogenik jika jalur simpatis
tidak mengalami kerusakan, biasanya pasien mampu untuk ejakulasi, cairan akan melalui
uretra yang kemudian keluarnya cairan diatur oleh kontraksi dari internal bladder sphincter.
Kemampuan fungsi seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak komplit,
tergantung seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi pada penis
sering terjadi dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan lokomotor dan
aktivitas otot secara volunter.
Perbedaan gejala lesi pada Sindrom Cauda equine dan Sindrom Conus medullaris
13
parestesi pada jalur
dermatom yang terkena,
bisa hipestesi di daerah
pubis
Kekuatan motoric Paraparese sampai Normal sampai paraparese
flaksid paralisis, asimetri, ringan-sedang, simetris,
jarang fasikulasi, sering hiperrefleks, fasikulasi
atrofi dapat terjadi
Impotensi Lebih jarang terjadi, Sering terkena
dapat berupa disfungsi
ereksi, hipestesi area
pubis, ketidakmampuan
ejakulasi
Gangguan miksi Retensi urin atau alvi, Retensi urin atau alvi,
dan defekasi muncul di akhir muncul di awal
perkembangan penyakit, perkembangan penyakit,
retensi urin kemudian retensi urin kemudian
berubah menjadi berubah menjadi
inkontinensia urin inkontinensia urin
EMG ekstrimitas Gambaran atrofi Sebagian besar normal
inferior
4.6. Diagnosis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan cara pasien berdiri, sehingga tanda-tanda
osteoporosis seperti kiposkoliosis akan lebih tampak. Kemudian pemeriksaan dilakukan
dengan menekan vertebra dengan ibu jari mulai dari atas sampai kebawah yaitu pada prosesus
spinosus. Fraktur kompresi vertebra dapat terjadi mulai dari oksiput sampai dengan
sacrum, biasanya terjadi pada region pertengahan torak (T7-T8) dan pada thorakolumbal
14
junction. Ulangi lagi pemeriksaan sampai benar-benar ditemukan lokasi nyeri yang tepat.
Nyeri yang berhubungan dengan pemeriksaan palpasi vertebra mungkin disebabkan oleh adanya
fraktur kompresi vertebra.5
Adanya deformitas pada tulang belakang tidak mengindikasikan adanya fraktur. Jika
tidak ditemukan nyeri yang tajam, kemungkinan hal tersebut merupakan suatu kelainan tulang
belakang yang berkaitan dengan umur. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan
membantu pasien melakukan gerakan fleksi dan ekstensi pada tulang belakang, gerakan ini
akan menyebabkan rasa nyeri yang disebabkan oleh adanya fraktur kompresi vertebra. Spasme
otot atau kekakuan otot dapat terjadi sebagai akibat dari kekuatan otot melawan gravitasi pada
bagian anterior dari vertebra. Pemeriksaan neurologis perlu dilakukan. Tidak jarang pada kasus
osteomielitis mempunyai gejala yang mirip dengan fraktur kompresi vertebra.5
Pemeriksaan penunjang
b. Magnetic Resonance Imaging : pemeriksaan ini memberi informasi detail mengenai jaringan
lunak di daerah vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan adalah 3 dimensi. MRI sering
digunakan untuk mengetahui kerusakn jaringan lunak pada ligament dan diskus
intervertebralis dan menilai cedera medulla spinalis
15
Gambar 2.9. MRI Fraktur Kompresi Lumbal 1
c. CT- Scan
CT scan sangat berguna dalam menggambarkan adanya fraktur dan dapat memberikan
informasi jika tentang adanya kelainan densitas tulang. CT scan dan MRI juga sangat penting
dalam menentukan diferensial diagnosis karena adanya penyempitan kanalis spinal, dan
komposisi spesifik vertebra dapat digambarkan.
d. Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
Dapat juga digunakan dalam menentukan adanya fraktur dan tingkat adanya osteoporosis
karena kemampuannya dalam menggambarkan densitas tulang.
e. Scintigraphy
Merupakan suatu metode diagnostik yang menggunakan deteksi radiasi sinar gamma untuk
menggambarkan kondisi dari jaringan atau organ, juga merupakancmetode yang penting
untuk memprediksikan hasil (outcome) dari beberapa teknik operasi.
4.7. Penatalaksanaan
a. Nyeri akut fraktur kompresi vertebra
Jika pada pasien tidak ditemukan kelainan neurologis, pengobatan pada pasien dengan akut
fraktur harus menekankan pada pengurangan rasa nyeri, dengan pembatasan bedrest,
penggunaan analgetik, brancing dan latihan fisik.9
1) Menghindari bedrest terlalu lama
Bahaya dari bedrest yang terlalu lama pada orang tua adalah, meningkatkan kehilangan
densitas tulang, deconditioning, thrombosis, pneumonia, ulkus dekubitus, disorientasi dan
depresi.
2) Analgetik
Analgetik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, biasa diberikan sebagai terapi awal
untuk menghindari dari bedrest yang terlalu lama.
3) Calcitonin
16
Diberikan secara subkutan, intranasal, atau perrektal mempunyai efek analgetik pada
fraktur kompresi yang disebabkan oleh osteoporosis dan pasien dengan nyeri tulang akibat
metastasis.
4) Bracing
Bracing merupakan terapi yang biasa dilakukan pada manegemen akut non operatif.
Ortose membantu dalam mengontrol rasa nyeri dan membantu penyembuhan dengan
menstabilkan tulang belakang. Dengan mengistirahatkan pada posisi fleksi, maka akan
mengurangi takanan pada kolumna anterior dan rangka tulang belakang.Bracing dapat
digunakan segera, tetapi hanya dapat digunakan untuk dua sampai tiga bulan. Terdapat
beberapa tipe ortose yang tersedia untuk pengobatan.
5) Vertebroplasty
Vertebroplasty dilakukan dengan menempatkan jarum biopsy tulang belakang kedalam
vertebra yang mengalami kompresi dengan bimbingan fluoroscopy atau computed
tomography. Kemudian diinjeksikan Methylmethacrylate kedalam tulang yang
mengalami kompresi. Prosedur ini dapat menstabilkan fraktur dan megurangi rasa nyeri
dengan cepat yaitu pada 90% 100% pasien. Tetapi prosedur ini tidak dapat memperbaiki
deformitas yang terjadi pada tulang belakang.
6) Kypoplasty
Prosedur ini dilakukan dengan menyuntikkan jarum yang berisikan tampon kedalam
tulang yang mengalami fraktur. Insersi jarum tersebut akan membentuk suatu kavitas pada
tulang vertebra. Kemudian kavitas tersebut diisi dengan campuran methylmetacrylate
dibawah tekanan rendah.
17
Gambar 2.11. Teknik Kypoplasty
b. Penatalaksanaan nyeri kronis
Nyeri kronis umumnya biasa dialami oleh pasien dengan multipel fraktur, penurun
tinggi badan, dan kehilangan densitas tulang. Pada pasien-pasien ini, sangat dianjurkan
untuk tetap aktif melakukan pelemasan otot dan program peregangan, seperti program yang
berdampak ringan seperti berjalan dan berenang. Sebagai tambahan obat penghilang rasa
sakit, pemeriksaan nonfarmakologis seperti stimulasi saraf listrik transkutaneus, aplikasi
panas dan dingin, atau penggunaan bracing, dapat menghilangkan rasa sakit sementara. Aspek
psikologis dari rasa nyeri yang kronis dan kehilangan fungsi fisiologis harus diterangkan
dalam konseling, jika perlu, dapat diberikan antidepresan.9
c. Pencegahan fraktur tambahan
1) Sebagian besar pasien dengan fraktur akibat osteoporosis akut harus diberikan terapi
osteoporosis secara agresif.
2) Pemeriksaan bone densitometry sebaiknya dilakukan pada pasien dengan fraktur kompresi
dan sebelumnya diduga mengalami kehilangan massa tulang.
3) National Osteoporosis Foundation menganjurkan semua wanita yang mengalami fraktur
spiral dan densitas mineral tulang harus diberikan terapi seperti osteoporosis.
4) Diet suplemen vitamin D dan kalsium harus optimal. Bisphosponates (alendronate,
risendronate) mengurangi insidensi terjadinya fraktur vertebra baru sampai lebih dari
50%.
5) Raloxifene, merupakan modulator estrogen selektif, menunjukkan dapat mengurangi
terjadi fraktur vertebra 65% pada tahun pertama dan sekitar 50% pada tahun ketiga.
6) Kalsitonin menunjukkan penurunan resiko terjadinya fraktur vertebra baru sekitar 1 dari 3
wanita yang mengalami fraktur vetebra.
7) Teriparatide (fortoe), merupakan preparat hormon paratiroid rekombinan diberikan
secara subkutan. Obat ini juga menunjukkan rendahnya resiko terjadinya fraktur
vertebra dan meningkatkan densitas tulang pada wanita postmenopause dengan
osteoporosis. Obat ini bekerja pada osteoblast untuk menstimulasi pembentukan
tulang baru.
18
4.8. Komplikasi
Apakah fraktur kompresi vertebra menunjukkan gejala atau tidak, komplikasi jangka
panjangnya sangat penting. Konsekuensinya dapat dikategorikan sebagai biomekanik,
fungsional, dan psikologis.9
a. Biomekanik
Pada beberapa pasien yang mengalami pemendekan segmen torakolumbal yang signifikan,
costa bagian terbawah akan bersandar pada pevis, menyebabkan terjadinya abdominal
discomfort. Gejala-gejala pada gangguan abdomen dapat berupa anoreksia yang dapat
mengakibatkan penurunan berat badan, terutama pada pasien yang berusia lanjut.
Konsekuensi pada paru akibat adanya fraktur kompresi pada vertebra dan kyposis umumnya
ditandai dengan penyakit paru restriktif dengan penurunan kapasitas vital paru. Dalam
persamaan, setiap fraktur menurunkan kapasitas vital 9%. Meningkatkan resiko terjadinya
fraktur. Karena terjadinya kyposis, maka beban berlebih akan ditopang oleh tulang
disekitarnya, ditambah lagi dengan adanya osteoporosis semakin meningkatkan resiko
terjadinya fraktur. Adanya satu atau lebih vertebra mengalami fraktur kompresi semakin
meningkatkan adanya fraktur tambahan lima kali lipat dalam satu tahun.
b. Fungsional
Pasien yang mengalami fraktur kompresi memiliki level yang lebih rendah dalam performa
fungsional dibandingkan dengan kontrol, lebih banyak membutuhkan pembantu,
pengalaman lebih sering mengalami sakit saat bekerja, dan mengalami kesulitan dalam
menjalani aktivitas sehari-hari. Penelitian terbaru pada pasien-pasien ini memiliki nilai
yang rendah pada indeks kulalitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan berdasarkan
fungsi fisik, status emosi, gejala klinis dan keseluruhan performa fungsional. Oleh karena
itu, banyak pasien yang mengalami fraktur kompresi vertebra akan menjadi tidak aktif,
dengan berbagai alasan antara lain rasa nyeri akan berkurang dengan terlentang, takut jatuh
sehingga terjadi patah tulang lagi. Sehingga kurang aktif atau malas bergerak pada akhirnya
akan mengakibatkan semakin buruknya kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-
hari.
c. Psikologis
Kejadian depresi meningkat sampai 40% pada pasien yang menderita fraktur kompresi
vertebra, akibat nyeri kronis, perubahan bentuk tubuh, detorientasi dalam kemampuan untuk
merawat diri sendiri, dan akibat bedrest yang lama. Pasien yang mengalami depresi biasanya
19
yang mengalami lebih dari satu fraktur dan akan menjadi cepat tua dan terisolasi secara
sosial
4.9. Prognosis
Nyeri dan fraktur yang dialami akan membaik dengan dukungan terapi farmakologis
dan non-farmakologis, namun dengan semakin bertambahnya usia, fungsi dan struktur
fisiologi tulang akan semakin menurun, diperlukan upaya kewaspadaan agar tetap menjaga
stabilitas tulang belakang dan pencegahan trauma pada usia lanjut.
4.10. Pencegahan
a. Hindari aktifitas fisik berat
b. Olah raga seperti jogging dan berjalan cepat
c. Jaga asupan kalsium (sayuran hijau, susu tinggi kalsium dll)
d. Hindari defisiensi vitamin D
e. Nutrisi dengan diet tinggi protein
f. Berjemur pada pagi dan sore hari
g. Diperlukan pendamping untuk usia lanjut
h. Memperhatikan lingkungan dan berbagai penyebab untuk menghindari berulangnya jatuh
20
BAB 3
KESIMPULAN
Fraktur kompresi adalah kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan
dan membentuk patahan irisan. Etiologi dari fraktur kompresi vertebra ini dapat dikarenakan
oleh trauma atau non trauma.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Jong W. De, Samsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 2005. Hal 1059-1063
2. Andrew L Sherman, MD, MS; Chief Editor: Rene Cailliet, MD. Lumbar Compression
Fracture. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/309615-overview. diakses
tanggal (6 November 2014).
3. Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Jakarta : PT. Yarsif Watampone. 2007.
4. Young W. Spinal cord injury level and classification. 2000. Diunduh dari: URL:
http://www.neurosurgery.ufl.edu/Patients/fracture.shtml diakses (6 November 2014)
7. Caputo, Lisa A., Michael D. Custamano, Cauda Equina Syndrome. Journal Chiropro
Association. 2010. 45:1-15.
8. Gitelman, Alex, Shuriz Hishmeh, Brian N. Morelli, Samuel A. Joseph, Andrew Casden et al.,
Cauda Equina Syndrome: A Comprehensive Review. The American Journal of Orthopedics.
2008; 37(11): 556-562.
22
9. Aron B, Walter CO. Vertebral compreesion fractures : treatment and evaluation. 2006;
Diunduh dari: URL: http://bjr.birjournals.org/cgi/reprint/75/891/207.pdf. ( diakses 8
November 2014)
23