You are on page 1of 8

PPh pasal 4 ayat 2 : Adalah pajak atas penghasilan sebagai berikut:

1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi;

2. penghasilan berupa hadiah undian;

3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura;

4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,


usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan; dan

5. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan


Pemerintah.

Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2)

1. Koperasi;

2. Penyelenggara kegiatan;

3. Otoritas bursa; dan

4. Bendaharawan;

Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 4 ayat (2)

1. Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;

2. Penerima hadiah undian;

3. Penjual saham dan sekuritas lainnya; dan

4. Pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan;

Lain-Lain

1. Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah bersifat final;


2. Karena bersifat final, maka pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dapat
dikreditkan;

3. Omset terkait transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dimasukkan
dalam omset usaha, namun dimasukkan dalam omset penghasilan yang telah
dipotong PPh Final;

PPh Pasal 4 ayat (2) atas Bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat
Bank Indonesia (SBI)

1. Objek
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
(SBI)
Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank
Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final. Yang dimaksud dengan
deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deposito
berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call baik dalam rupiah maupun dalam
valuta asing yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank. Sedangkan yang
dimaksud dengan tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun,
termasuk giro, yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang
ditetapkan oleh masing-masing bank. Termasuk dalam pengertian deposito dan
tabungan seperti tersebut di atas adalah deposito dan tabungan dalam rupiah maupun
valuta asing yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan di Indonesia
atau cabang bank luar negeri di Indonesia.

2. Subjek
Wajib Pajak dalam negeri
Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Wajib Pajak luar negeri

3. DPP (Dasar Pengenaan Pajak)


Jumlah Bruto

4. Tarif
a. 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan
Bentuk Usaha Tetap (BUT).
b. 20% (duapuluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.

5. Pengecualian
1. Jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000 (tujuh
juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan Jumlah yang dipecah pecah.
2. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang Bank luar negeri di Indonesia.
3. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana
Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya
diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 Undang-
undang 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun, diberikan berdasarkan Surat Keterangan
Bebas (SKB), yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat dana pensiun
terdaftar.
4. Bunga tabungan pada Bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan Rumah
Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana; kavling siap bangun untuk Rumah Sederhana
dan Rumah Sangat Sederhana atau Rumah Susun Sederhana sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, untuk dihuni sendiri. Ketentuan pada butir 3 dan 4 diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri terkait.

6. Pemotong
Pemotong PPh atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto adalah :
Bank Pembayar Bunga;
Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan dan Bank yang menjual kembali
sertifikat Bl (SBI) kepada pihak lain yang bukan dana pensiun yang pendiriannya belum
disahkan oleh Menteri Keuangan dan bukan bank wajib memotong PPh atau diskonto
SBI tersebut.

7. Saat terutang
Terutang pada saat di peroleh atau diterimanya penghasilan dari bunga deposito,
tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia (SBI) oleh Wajib Pajak dalam negeri,
BUT, dan wajib pajak luar negeri yang dibayarkan oleh pemotong PPh final berdasarkan
ketentuan ini yaitu Bank pembayar bunga dan dana pensiun.

8. Dasar hukum
Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pajak Penghasilan menyebutkan, bahwa:
Atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya
penghasilan dari transaksi saham dala sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan
dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu
lannya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah No 131 tahun 2000
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 51/Kmk.04/2001
Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta
Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
Kep DJP N0.217/PJ/2001
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se - 29/Pj.43/2001 Tentang
Pengawasan Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pph Final Atas Bunga Deposito
Dan Tabungan Serta Diskonto SBI.

saat terhutangnya untuk semua jenis obyek pajak PPh pasal 4 ayat 2

Penghasilan berupa sewa merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh). Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf i UU PPh. Dalam Pasal 4 Ayat (3),
tidak kita temukan penghasilan berupa sewa yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Hal ini berarti bahwa seluruh penghasilan sewa merupakan objek PPh. Tentu saja
dengan catatan yang menerimanya adalah subjek pajak.

Namun demikian, kalau kita lihat cara pengenaan PPh nya, maka penghasilan sewa
ini terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah sewa tanah/bangunan yang
pengenaan pajaknya bersifat final. Dasar hukum pengenaan dengan cara ini
adalah berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) UU PPh yang diatur lebih lanjut oleh
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1996 Jo. PP Nomor 5 Tahun
2002. Sementara itu penghasilan sewa yang lain akan dikenakan PPh
secara umum.

Atas penghasilan sewa tanah/bangunan dikenakan PPh Final dengan tarif 10%.
Dengan cara pengenaan final ini maka ketika seseorang atau badan menerima
penghasilan sewa maka akan dipotong PPh Final sebesar 10% dari nilai sewanya.
Kalau penyewanya bukan pemotong pajak, maka si penerima penghasilan sewa
diwajibkan menyetorkan sendiri PPh final ini dengan tarifnya juga 10%. Karena sifat
finalnya, maka penerima penghasilan sewa tanah/bangunan tidak perlu lagi
menghitung PPh akhir tahun dalam SPT Tahunannya.
Penghasilan sewa selain sewa tanah dan/atau bangunan pengenaan pajaknya
mengikuti ketentuan umum. Artinya perhitungan PPh terutang atas sewa dilakukan
dengan mengenakan tarif Pasal 17 dalam SPT Tahunan si penerima sewa tersebut
dengan menggabungkannya dengan penghasilan-penghasilan lain. Dengan cara ini
maka PPh terutang atas sewa besarnya bisa bervariasi tergantung pada besarnya
penghasilan-penghasilan lain dan tergantung pula pada besarnya penghasilan
sewa. Jika si penerima sewa itu orang pribadi, maka penghasilan sewa tersebut bisa
terkena tarif 5%, 10%, 15%, 25% atau bahkan 35%. Apabila penerima sewa
tersebut adalah badan maka kemungkinan sewa tersebut bisa terkena tarif 10%,
15% atau 30%.

Namun demikian, ketika si penerima sewa ketika menerima penghasilan sewa, ia


akan dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. Pengenaan
pemotongan PPh Pasal 23 ini bukan berarti bahwa atas penghasilan yang sama
dikenakan PPh dua kali. Pemotongan ini hanya merupakan pembayaran
pendahuluan. Perhitungan PPh terhutang sebenarnya adalah perhitungan di SPT
Tahunan yang akan di buat di akhir tahun. Adapun PPh Pasal 23 yang sudah dibayar
akan diperhitungkan sebagai pengurang pajak terhutang dalam SPT Tahunan. Atau
dalam bahasa teknisnya disebut sebagai kredit pajak.
Mekanisme pemotongan PPh Pasal 23 diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor
PER-70/PJ/2007 tanggal 9 April 2007. Dalam ketentuan ini ada dua jenis sewa yang
dikenakan pemotongan PPh Pasal 23. Pertama, sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat untuk
jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis maupun tidak
tertulis. Atas penghasilan ini, PPh Pasal 23 yang harus dipotong adalah sebesar 15%
kali perkiraan penghasilan neto atau 15% kali 10% sama dengan 1,5%.

Kedua, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, selain
kendaraan angkutan darat untuk jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak atau
perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Atas penghasilan ini, PPh Pasal 23 yang
harus dipotong adalah sebesar 15% kali perkiraan penghasilan neto atau 15% kali
30% sama dengan 4,5%.

Ruang Lingkup

Penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah,
rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan,
atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko,
gudang dan bangunan industri, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;
Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak

Besarnya Pajak Penghasilan Final yang terutang bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
maupun Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan sewa tanah dan/atau
bangunan adalah sebesar 10% dari nilai bruto nilai persewaan.

Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang
dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa,
termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanaan dan service
charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan
dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan.

Pelunasan
Pelunasan Pajak Penghasilan final ini dilakukan dengan dua cara atau mekanisme.
Mekanisme pertama melalui pemotongan dan mekanisme pembayaran sendiri.
Yang dimaksud dengan pemotongan itu adalah bahwa si penyewa harus memotong
Pajak Penghasilan sebesar 10% dari uang sewa yang dibayarkannya. Misal, PT ABC
selaku penyewa membayarkan uang sewa kepada PT XYZ senilai Rp100 Juta. PT
ABC akan menahan 10% atau senilai Rp 10 Juta untuk disetorkan ke kas negara
sebagai PPh final. Sisanya Rp90 Juta adalah jumlah yang dibayarkan kepada PT XYZ.

Sementara itu mekanisme pembayaran sendiri adalah mekanisme di mana PPh final
sebesar 10% dari uang sewa dibayarkan sendiri oleh si pemilik tanah/bangunan.
Mekanisme dilakukan jika si penyewa adalah fihak-fihak yang disebut sebagai
pemotong pajak yaitu : Badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak;

Sedangkan jika penyewanya bukan fihak-fihak di atas, misalnya orang pribadi biasa,
maka si pemilik tanah/bangunan lah yang harus menyetorkan sendiri PPh finalnya.
Pembayaran PPh final ke kas negara oleh pemotong harus dilakukan paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya. Sementara itu, pembayaran PPh final oleh yang
menyewakan harus dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.

Pelaporan
Bagi pemotong pajak yang memotong Pajak Penghasilan final, pelaporan atas PPh
final yang dipotongnya harus dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa. Begitu juga, bagi fihak yang
menyewakan yang membayar sendiri PPh final, pembayaran tersebut harus
dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Pelaporan dilakukan dengan
menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).

Dasar Hukum

a. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak


Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
b. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996
c. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 394/KMK.04/1996
Tentang Pelaksanaan Pembayaran Dan Pemotongan Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan
d. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 120/KMK.03/2002
Tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996
e. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 227/PJ./2002 Tentang Tata Cara
Pemotongan Dan Pembayaran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Dari Persewaan
Tanah Dan Atau Bangunan

Ruang Lingkup
Penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah,
rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan,
atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko,
gudang dan bangunan industri, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak


Besarnya Pajak Penghasilan Final yang terutang bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
maupun Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan sewa tanah dan/atau
bangunan adalah sebesar 10% dari nilai bruto nilai persewaan.
Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang
dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa,
termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanaan dan service
charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan
dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan.

Pelunasan
Pelunasan Pajak Penghasilan final ini dilakukan dengan dua cara atau mekanisme.
Mekanisme pertama melalui pemotongan dan mekanisme pembayaran sendiri.
Yang dimaksud dengan pemotongan itu adalah bahwa si penyewa harus memotong
Pajak Penghasilan sebesar 10% dari uang sewa yang dibayarkannya. Misal, PT ABC
selaku penyewa membayarkan uang sewa kepada PT XYZ senilai Rp100 Juta. PT
ABC akan menahan 10% atau senilai Rp 10 Juta untuk disetorkan ke kas negara
sebagai PPh final. Sisanya Rp90 Juta adalah jumlah yang dibayarkan kepada PT XYZ.
Sementara itu mekanisme pembayaran sendiri adalah mekanisme di mana PPh final
sebesar 10% dari uang sewa dibayarkan sendiri oleh si pemilik tanah/bangunan.
Mekanisme dilakukan jika si penyewa adalah fihak-fihak yang disebut sebagai
pemotong pajak yaitu : Badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak;
Sedangkan jika penyewanya bukan fihak-fihak di atas, misalnya orang pribadi biasa,
maka si pemilik tanah/bangunan lah yang harus menyetorkan sendiri PPh finalnya.
Pembayaran PPh final ke kas negara oleh pemotong harus dilakukan paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya. Sementara itu, pembayaran PPh final oleh yang
menyewakan harus dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.

Pelaporan
Bagi pemotong pajak yang memotong Pajak Penghasilan final, pelaporan atas PPh
final yang dipotongnya harus dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa. Begitu juga, bagi fihak yang
menyewakan yang membayar sendiri PPh final, pembayaran tersebut harus
dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Pelaporan dilakukan dengan
menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).

Dasar Hukum
a. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
b. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996
c. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 394/KMK.04/1996
Tentang Pelaksanaan Pembayaran Dan Pemotongan Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan
d. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 120/KMK.03/2002
Tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996
e. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 227/PJ./2002 Tentang Tata Cara
Pemotongan Dan Pembayaran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Dari Persewaan
Tanah Dan Atau Bangunan

Menjelaskan penjurnalan saat timbulnya hutang PPh pasal 4 ayat 2 dari


sudut pandang pemotong pajak dan yang dipotong pajaknya

You might also like