You are on page 1of 7

Eizabeth Bathory: Countess Berdarah asal Hungaria

Elizabeth (Erszebet) Bathory (1561 1614) merupakan salah satu anggota dari
keluarga terkaya dan paling berpengaruh di Hungaria pada abad ke-16. Para anggota dari
keluarga Protestan yang sangat berkuasa ini menjadi penguasa tidak hanya di Hungaria,
namun juga di Polandia dan Transylvania sebagai panglima perang, pemimpin politik,
pendeta, hakim, dan pemilik tanah dalam skala yang sangat luas. Salah seorang di antaranya
adalah Stephan Bathory yang bertikai dengan Vlad III Dracul (model dari Count Dracula)
selama peperangannya melawan orang-orang Turki. Elizabeth yang lahir pada tahun 1561
adalah keponakan dari Stephan Bathory yang lain, yang merupakan Raja Polandia dari tahun
1576 hingga 1586.

Dengan hubungan-hubungan keluarganya yang begitu bergengsi dan prospek


kecantikan yang luar biasa yang ia miliki dari usia muda, Elizabeth merupakan tangkapan
yang hebat untuk seorang suami yang ambisius, dan sejumlah pelamar sudah menunjukkan
ketertarikan mereka begitu Elizabeth beredar dalam pasar calon pengantin wanita sekitar
tahun 1570. Pelamar yang berhasil adalah Count Ferenc Nadasdy, bangsawan berusia 25
tahun yang berniat untuk meningkatkan ketenarannya melalui pernikahan. Inilah mengapa ia
mengambil langkah yang tidak biasa untuk menggunakan nama Bathory sebagai nama
belakangnya alih-alih Elizabeth mengambil nama Nadasdy sebagai nama belakang setelah
perkawinan.

Walaupun begitu, Nadasdy memiliki gengsinya sendiri. Ia adalah bangsawan kaya,


pahlawan perang yang terkenal, dan seorang atlet, meskipun ibunya sendiri mengakui bahwa
Nadasdy memang kurang berpendidikan. Sebaliknya, Elizabeth sangat berpendidikan dan
mampu membaca serta menulis dalam bahasa Hungaria, Yunani, Jerman, dan Latin.
Perbedaan ini hanya berdampak sedikit di dalam era pernikahan politis karena raja atau pria
bangsawan mendapatkan ketenaran dengan mengeksploitasi medan perang. Membaca serta
menulis hanya dianggap sebagai aktivitas yang lebih rendah dan hanya cocok untuk pendeta
dan wanita.

Elizabeth dan Nadasdy ternyata berbagi sesuatu yang lebih penting dari peristiwa-
peristiwa yang menandai perkawinan mereka, yang terselenggara pada 8 Mei 1575, ketika
Elizabeth berusia 14 tahun: pasangan ini sama-sama memiliki sifat sadis.

Sifat Buruk yang Diwariskan

Nadasdy memiliki sifat pemarah yang ketika tersulut dapat membuatnya memukul dan
mendera membabi buta sehingga ia mendapat julukan Pahlawan Hitam dari Hungaria.
Meskipun begitu, kekejaman Nadasdy kalah bila dibandingkan dengan kekejaman istrinya
yang kelak menimbulkan skandal paling mengerikan yang pernah terjadi di kalangan
bangsawan di Eropa Timur. Selain itu, bila sifat-sifat buruk Nadasdy masih ada batasnya dan
ia sendiri jijik dengan sifat buruk yang berlebihan dari Elizabeth. Jenis kekejaman Elizabeth
rupanya tidak mengenal batas, sehingga ia terkenal dengan julukan Countess Berdarah.
Meskipun itu merupakan julukan yang menakutkan, nama itu sebenarnya mengecilkan sifat
dari hebatnya kejahatan-kejahatan Elizabeth.

Salah satu sumber tingkah laku Elizabeth yang menakutkan itu berasal dari Keluarga
Bathory dan kebiasaan mereka mempraktikkan perkawinan antar keluarga dekat,
sebagaimana umum terjadi di kalangan bangsawan Eropa, demi melestarikan kemurnian
garis keturunan bangsawan. Kedua orang tua Elizabeth, Gyorgi dan Anna, berasal dari
keluarga Bathory yang telah menghasilkan begitu banyak contoh keturunan dengan riwayat
sakit jiwa dan mental termasuk schizophrenia, sadomasokisme, seksualitas ganda, dan sifat
sadis murni seperti yang diwarisi Elizabeth.

Elizabeth juga menunjukkan gejala-gejala yang mencemaskan. Pada usia empat atau
lima, ia mulai mengalami kejang epileptik. Ia menjadi cenderung kejang-kejang yang
mengakibatkan timbulnya kemarahan-kemarahan yang penuh kekerasan dan tidak dapat
dikendalikan. Ia menderita perubahan suasana hati yang ekstrem, satu saat ia bersikap dingin
dan menjauh, lalu pada waktu yang lain ia berubah meledak-ledak penuh amarah yang kejam.
Ketidakstabilan Elizabeth semakin tidak tertolong akibat pola pengasuhannya. Ia adalah anak
yang sangat dimanja karena seorang gadis dalam posisi setinggi itu dianggap terlalu istimewa
sehingga tidak perlu dididik disiplin oleh begitu banyak inang pengasuh yang bertanggung
jawab akan pengasuhannya. Sebagai akibatnya, Elizabeth tumbuh menjadi wanita yang
sombong, angkuh, dan sibuk dengan kecantikannya sendiri. Ia pun terpengaruh dari
kebiasaan-kebiasaan keji dan biadab dari era dan tempat ia hidup. Eksekusi-eksekusi publik,
misalnya, diperlakukan sebagai sebuah bentuk hiburan yang tidak membantu untuk
mengekang naluri-nalurinya akan kekejaman dan kekejian.

Kekejian ini semakin didorong situasi-situasi kehidupan perkawinan Elizabeth. Sebagai


panglima perang, suami Elizabeth sering tidak berada di rumah mereka, Kastil Cachtice, yang
terletak tinggi di Pegunungan Carpathian, sebelah barat laut Hungaria. Serangan-serangan
militer yang dilakukan Nadasdy melawan pasukan Turki Ottoman terjadi berlarut-larut; di
dalam kesuraman dan kebosanan dari kehidupan di dalam kastil tersebut, Elizabeth memiliki
banyak waktu untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam ilmu-ilmu hitam
dan jenis penyiksaan-penyiksaan yang lebih canggih. Ia pun memiliki kesempatan itu karena
yang menemaninya di Kastil Cachtice adalah bibinya, Klara, seorang sadomasokis dan ahli
mencambuk, serta Thorko, seorang bujang yang memperkenalkan ilmu gaib kepada
Elizabeth. Wanita ini dengan cepat melakukan eksperimen-eksperimen dengan ramuan, obat-
obatan, bubuk-bubuk dan herbal, dan campuran-campuran beracun.

Selera yang Semakin Meningkat

Dalam perjalanannya, Elizabeth menemukan kesenangan dalam menyiksa orang yang


paling rapuh di antara para pelayannya yaitu para anak gadis yang belum dewasa, yang secara
umum merupakan pekerja kasar dari kelasnya. Mereka sudah pasti tidak akan menceritakan
kisah-kisah mengerikan tentang tabiat-tabiat majikan mereka karena takut akan konsekuensi-
konsekuensinya. Elizabeth memastikan bahwa para pelayan ini tutup mulut tentang apa yang
terjadi di dalam Kastil Cachtice dengan mempekerjakan lima orang pelayan yang paling ia
percayai untuk memastikan bahwa para pelayan lainnya tetap tutup mulut.
Sedikit saja kesalahan atau kebocoran rahasia di dalam kastil itu dapat menjadi alasan
untuk melakukan hukuman yang berlebihan. Elizabeth pernah menjahit mulut seorang gadis
pelayan yang berbicara terlalu banyak. Para gadis pelayan itu dipukuli sampai mereka
berdarah-darah, lalu dilumuri dengan daun jelatang yang menyengat. Walaupun demikian,
hukuman ini belum seberapa bila dibandingkan dengan hukuman yang diberikan kepada
pelayan yang diduga mencuri. Elizabeth dapat memerintahkan agar para pelayan itu
ditelanjangi, lalu menyiksa mereka dengan meletakkan uang logam panas membara ke atas
kulit mereka.

Namun kelakuan yang salah itu tidak diperlukan. Elizabeth dapat membunuh,
menyiksa, dan memutilasi hanya demi kesenangan belaka. Telah dilaporkan bahwa ia
memecahkan kepala seorang pelayan dengan melakukan penekanan yang hebat pada kedua
sisi mulut sampai kepala itu pecah dan leher orang itu terbelah dua. Tidak lama kemudian
Elizabeth memiliki koleksi peralatan untuk menimbulkan rasa sakit. Di antaranya adalah
penjepit dan tang yang dipanaskan sampai merah membara dan digunakan untuk merobek
kulit; kerangkeng berpaku-paku untuk menusuk para gadis hidup-hidup; dan besi-besi merah
membara untuk memberi cap pada para korban. Gadis-gadis dibakar dan dibiarkan hangus
sampai mati sementara ia terus mengawasi, sering dengan menjerit-jerit kesenangan saat
melihat pemandangan yang mengerikan itu. Bahkan Ferenc Nadasdy yang sudah biasa
dengan kengerian dari medan perang di mana mutilasi adalah hal yang biasa, keluar dari
ruangan penyiksaan daripada harus menyaksikan penyiksaan-penyiksaan tersebut.

Gadis-gadis lainnya dilumuri madu lalu dibiarkan terikat pada pepohonan agar burung-
burung mematuk daging tubuh mereka dan serangga menyantap mereka. Penyiksaan dengan
air, kekhususan lain di Kastil Cachtice, melibatkan penelanjangan para gadis dan
membiarkan mereka berada di luar pada musim dingin selama berhari-hari ketika temperatur
sudah turun di bawah titik beku sampai gadis-gadis itu mati beku. Kadang-kadang, mayat-
mayat para korban dibuang keluar tembok-tembok kastil agar dilahap oleh kawanan serigala.
Salah satu metode penyiksaan yang disukai Elizabeth dikenal dengan sebutan menendang
bintang. Berlembar-lembar kertas yang sudah dilumuri minyak ditempelkan di antara jari-
jari kaki para gadis lalu api dinyalakan pada kertas-kertas itu. Para korban berlompatan,
menyentak-nyentak dan menendang-nendang dalam upayanya yang sia-sia untuk
menyingkitkan kertas-kertas -, tetapi minyak yang dioleskan pada kertas sudah memastikan
agar kertas itu tetap menempel pada tempatnya selagi terbakar, dan penyiksaan terus
berlangsung.

Semakin bertambah usianya, Elizabeth menjadi semakin terobsesi untuk


mempertahankan kecantikan dan terutama kemulusan kulitnya. Suatu hari, seorang gadis
pelayan secara tidak sengaja menarik rambut Elizabeth saat ia menyisir majikannya. Ia
kemudian menerima sebuah tamparan di wajah dari majikannya yang karena sangat keras
telah membuat hidungnya berdarah. Saat gadis pelayan itu menghapus bercak darah yang
terciprat ke atas tangannya, Elizabeth mengira ia melihat tempat di mana darah tadi terciprat
pada kulit tangannya tampak seperti meregenerasi kembali. Atas kesimpulan itu, Elizabeth
dikatakan menggorok leher gadis pelayan itu. Ia mengeringkan darah pelayan itu ke atas
sebuah tong dan kemudian mandi di dalam darah itu selagi masih hangat. Cara ini sepertinya
menjadi praktek rutin di dalam Kastil Cachtice, dengan lusinan anak gadis-semuanya masih
perawan-dibunuh untuk menyediakan darah bagi Sang Countess. Gosip lokal berbisik bahwa
Elizabeth tidak puas dengan mandi darah saja, tetapi secara aktual menghirup darah itu dan
bahkan menyantap daging dari para korbannya setelah ia menggigit leher dan payudara para
korban.

Bangsawan yang Berkuasa

Pada saat itu, pembantaian serta penyiksaan di Kastil Cachtice telah berlangsung
selama beberapa tahun dan pada titik tertentu, terlepas dari upaya-upaya pencegahan yang
dilakukan Elizabeth, berita-berita tentang aktivitas-aktivitas Elizabeth nyaris bocor keluar.
Ratusan anak gadis yang lenyap secara misterius, mayat-mayat termutilasi yang ditemukan di
sekitar kastil, kesan teror yang menyelimuti pedesaan di sekeliling kastil, semua ini adalah
kondisi yang tidak mungkin dapat diacuhkan meskipun hal ini cukup lama tidak dipedulikan.

Kekuasaan kaum bangsawan pada abad ke-16 di Eropa sangatlah besar sehingga
memungkinkan golongan ini untuk menakut-nakuti para saksi agar tutup mulut dan mereka
lepas dari deteksi pihak berwenang yang membuat mereka juga lepas dari deteksi hukum.
Para petani lokal tidak akan berani mengungkapkan perkara ini karena takut akan tindakan-
tindakan pembalasan. Para orang tua yang telah kehilangan anak-anak gadis mereka tidak
berdaya melawan keluarga Bathory yang berkuasa. Gereja pun tetap diam karena takut akan
pembalasan dendam Bathory. Para bangsawan lain yang mendengar rumor-rumor ini atau
yang mendapatkan informasi yang solid tentang kengerian ini, memilih untuk berdiam diri
alih-alih mengkhianati sesama mereka betapa pun mengerikannya tindak kejahatan itu. Selain
itu, para petani, baik wanita maupun pria, adalah budak belian dan oleh karenanya menjadi
properti para majikan mereka. Bangsawan semacam Elizabeth Bathory dapat melakukan apa
saja yang mereka suka terhadap properti mereka.

Akhir yang Tak Terhindarkan

Kerajaan Teror Elizabeth sedang menuju akhir setelah berlangsung lebih dari 30 tahun
pada sekitar tahun 1609 hanya karena ia sudah kehabisan persediaan gadis-gadis setempat.
Pada saat itu, Elizabeth berhasil memusnahkan satu generasi wanita secara keseluruhan
dalam satu wilayah di sekeliling tanah Bathory. Meskipun ia berhasil membeli sejumlah
gadis lagi dari para petani miskin dengan berpura-pura demi hidup yang aman di dalam
pengabdian kepada keluarga Bathory yang hebat, ia harus memperluas jangkauannya.
Dengan melihat jauh ke depan, Elizabeth memutuskan untuk membuat pendekatan baru. Di
Kastil Cachtice, ia mendirikan sebuah sekolah untuk para gadis bangsawan yang masih
muda, di mana seperti katanya, ia berniat mendidik mereka perihal keanggunan-keanggunan
sosial yang diperlukan untuk kalangan mereka.

Tidak terlalu lama kemudian, para gadis ini pun lenyap, diduga telah tewas. Istvan
Magyari, pendeta dari sebuah desa di dekat Kastil Cachtice yang telah lama curiga bahwa
sedang ada skenario mengerikan yang dilakukan di dalam kastil tersebut, dengan berani
memutuskan untuk menemui pihak otoritas setempat dan mengatakan kepada mereka apa
yang ia ketahui. Kali ini, pihak berwenang mau mendengarkan. Mereka mungkin mau
berdiam diri tentang kematian massal para gadis petani, tetapi sekarang yang terlibat adalah
gadis-gadis keturunan bangsawan dan hal semacam ini tidak mudah diacuhkan.

Keluarga Bathory, yang mengetahui tindakan Elizabeth selama ini, bekerja keras
selama bertahun-tahun untuk mencegah adanya pemeriksaan terhadap aktivitas-aktivitasnya
dan melabeli setiap berita yang bocor ke masyarakat sebagai gosip-gosip penduduk setempat
atau takhayul yang bodoh. Taktik-taktik ini sudah tak berguna. Bukti yang diajukan Istvan
Magyari terdengar oleh Raja Matthias Corvinus dari Hungaria, yang langsung
memerintahkan dilaksanakannya sebuah investigasi. Tindakan ini mungkin merefleksikan
lebih dari rasa terkejut dan malu pada tindak kejahatan yang diduga sebelumnya. Sepertinya,
sang raja memiliki agendanya sendiri dan melihat sebuah kesempatan untuk menunjukkan
kendali atas bangsawannya yang bermasalah dengan mengungkapkan perbuatan-perbuatan
gelap dalam keluarga Bathory yang berkuasa dan bergengsi. Matthias memerintahkan Count
Gyorgi Thurzo yang bergelar Lord Palatine of Hungary untuk memimpin rombongan ke
Kastil Cachtice dan mencari tahu apa yang sedang terjadi di sana. Count Thurzo sudah tahu
karena ia sepupu Elizabeth. Sebagai kerabat keluarga Bathory, ia memainkan perannya dalam
upaya-upaya keluarga untuk menyembunyikan kebenaran yang mengerikan itu.

Namun, ketika Count Thurzo dan rombongan tiba di kastil pada 29 Desember 1610, ia
dengan segera menemukan bahwa kejahatan-kejahatan Elizabeth ternyata lebih keji dari yang
ia bayangkan semula. Ada mayat seorang gadis yang terbaring di aula utama. Di dekatnya,
tergeletak gadis lain yang tubuhnya penuh dengan lubang. Secara mengejutkan, gadis itu
masih hidup. Lebih banyak gadis lainnya ditemukan di dalam sel-sel tahanan, baik dalam
keadaan mati maupun sekarat. Di ruang bawah tanah, masih ada gadis-gadis lain yang
digantung pada kaso-kaso. Tubuh mereka terkoyak terbuka dan darah mereka menetes ke
dalam tong-tong besar di bawahnya, yang sepertinya sudah disiapkan untuk kegiatan mandi
darah Elizabeth. Count Thurzo memerintah agar lantai ruang bawah tanah itu digali, dan di
bawahnya ditemukan 50 mayat lagi. Pencarian lebih lanjut di dalam kastil itu
mengungkapkan adanya sebuah buku catatan yang disimpan Elizabeth di dalam meja
kerjanya. Buku itu berisi nama-nama gadis yang sudah dibunuh yang berjumlah 650 orang.

Penangkapan dan Peradilan

Count Thurzo menangkap Elizabeth dan keempat kaki tangannya, Dorottya Szentes
(dikenal sebagai Dorko), Ilona Jo, Katarina Benicka (wanita tukang cuci), dan seorang kerdil
Janos Ujvary (yang juga dikenal sebagai Ibis atau Ficzko). Seorang pelayan, Erszi Majorova,
tambahan baru dalam jajaran komplotan Elizabeth, berhasil melarikan diri ketika yang lain
ditangkap di dalam kastil, tetapi akhirnya berhasil ditangkap dan ditahan. Ketika para kaki
tangan itu dibawa pergi dan disiksa agar mengaku, Elizabeth tetap berada di dalam kastil
dengan status tahanan rumah. Karena pada saat itu para bangsawan tidak diizinkan secara
hukum untuk ditangkap dan diadili, Elizabeth tidak pernah bersaksi di depan pengadilan.
Sebaliknya, para kaki tangannya menanggung semua dakwaan dan menderita hukumannya.

Sepertinya Elizabeth berulang kali meminta agar kasusnya dihadirkan di hadapan para
saksi, meskipun dengan cara itu dapat menciptakan resiko timbulnya skandal publik, dan
apabila terbukti bersalah dan dieksekusi, ia akan kehilangan propertinya yang luas itu karena
harus diserahkan kepada raja. Inilah kemungkinan Raja Matthias sangat antusias untuk
mengurangi kekuatan keluarga Bathory dan sangat ingin menghadapkan Elizabeth ke
pengadilan, tetapi keluarga itu masih memiliki pengaruh yang sangat besar untuk mencegah
agar tuntutan-tuntutan sang raja dipenuhi. Mereka berhasil membuat Elizabeth tetap berada di
dalam tahanan rumah yang telah diatur oleh Count Thurzo, disekap di dalam kastilnya sendiri
dan berada di luar jangkauan sang raja.

Dalam kaitannya dengan peradilan, penampilan Elizabeth di hadapan sidang dalam


segala hal akan dianggap berlebihan. Bukti terhadap dirinya yang diperoleh dari cerita-cerita
yang diberikan oleh 200 saksi dan penemuan-penemuan yang mengerikan oleh Count
Thurzo, sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa dirinya memang bersalah.

Peradilan pertama terhadap kaki tangan Elizabeth digelar pada 7 Juni 1611 dan
dilakukan di hadapan 20 orang hakim yang diketuai oleh Hakim Pengadilan Agung Kerajaan,
Theodosius Syrmiensis de Szulo. Pengakuan-pengakuan dari yang tertuduh, yang diperoleh
dari penyiksaan, telah ditetapkan sebagai bukti, dan para kaki tangan dianggap sepenuhnya
bersalah. Dalam peradilan kedua, salah seorang pelayan Elizabeth, Zusanna, mengatakan
kepada sidang tentang buku catatan yang berisikan daftar 650 korban yang penyiksaan serta
kematiannya dicatat oleh Elizabeth sendiri.

Kesaksian yang Menjijikkan

Tidak terhindari lagi, sejumlah kesaksian yang disampaikan di dalam sidang pengadilan
sangat menjijikkan bahkan menurut standar pada awal abad ke-17 di mana kekejaman serta
hukuman keji dianggap sebagai cara yang tepat untuk memperlakukan para penjahat. Seorang
gadis muda bernama Pola yang berusia 12 tahun diculik dan dipenjara di Kastil Cachtice,
tetapi berhasil melarikan diri. Dorka dan Ilona Jo mengejar dan menangkapnya, kemudian
membawanya ke kastil untuk dikonfrontasi langsung oleh Elizabeth yang murka. Elizabeth
memaksa Pola masuk ke dalam sebuah kerangkeng yang berbentuk seperti bola. Bola
kerangkeng itu ditarik ke atas dengan menggunakan sebuah katrol dan lusinan paku tajam
menusuk setiap sisi kerangkeng. Jauh di bawah, si orang kerdil Ficzko memanipulasi tali
sampai Pola yang terperangkap di dalam kerangkeng sempit itu tertusuk paku-paku dan
akhirnya teriris sampai mati.

Bahkan pada saat sedang sakit sekalipun, selera Elizabeth akan kesenangan yang sadis
masih tetap kuat. Ia pernah memerintahkan Dorottya Szentes untuk membawa seorang gadis
kepadanya saat ia terbaring di atas ranjang. Elizabeth duduk ketika Szentes menyeret seorang
gadis ke dalam kamar dan Elizabeth menggigit pipi gadis itu. Setelah itu, ia merobek daging
bahu gadis itu dengan giginya, juga pada payudaranya.

Dalam persidangan mereka, Dorottya Szentes dan Ilona Jo dinyatakan sebagai penyihir,
sebuah fakta yang merefleksikan hukuman mereka. Jari-jari mereka dicelupkan ke dalam
darah orang Kristiani, dipatahan dari tangan-tangan mereka dengan penjepit yang merah
membara. Pasangan itu kemudian dibakar hidup-hidup. Orang kerdil Ficzko dianggap kurang
bersalah dibandingkan kaki tangan yang lain, dan ia dipenggal sebelum dibakar sampai
menjadi abu. Erszi Majorova juga dieksekusi pada 24 Januari. Satu-satunya kaki tangan yang
lepas dari hukuman mati adalah Katarina Benecki, yang dibebaskan dari tuduhan oleh para
terdakwa yang lain dan oleh si pelayan Zusanna. Benecki dihukum penjara seumur hidup.

Hukuman Elizabeth dan Kematiannya

Elizabeth Bathory menerima hukuman yang sama, tetapi bukan dari sidang pengadilan,
melainkan dari keinginan keluarganya. Mereka telah berusaha begitu hebat untuk
menyelamatkan hidup Elizabeth sekaligus menyelamatkan kehormatan keluarga, tetapi
mereka masih menganggap wanita ini sebagai ancaman dan aib yang mengerikan bagi nama
Bathory. Mereka bertekad Elizabeth tidak pernah bebas kembali sehingga wanita ini dikurung
dalam kamar tidurnya di Kastil Cachtice. Meskipun secara praktis sudah tidak mungkin bagi
Elizabeth untuk melarikan diri dari kamar kurungannya, para pengawal ditempatkan di luar
kamar tidur untuk memastikan hal itu. Ada celah kecil yang dibiarkan terbuka untuk ventilasi
dan untuk meletakkan makanan bagi Elizabeth. Wanita itu menyintas di dalam kamar
kurungannya selama lebih dari tiga tahun sampai akhirnya ia ditemukan meninggal dengan
wajah telungkup di dalam kamar kurungannya yang kecil pada 21 Agustus 1614. Ia
meninggal dalam usia 54 tahun.

Selepas kematiannya, sanak keluarganya ingin agar ia dimakamkan di Cachtice, tetapi


penduduk setempat sangat menolak ide bahwa wanita ini dikubur di dekat rumah mereka dan
di dalam tanah yang suci pula. Ada pula alasan-alasan yang bersifat takhayul yang intinya
agar Elizabeth dikubur jauh dari Cachtice.

Sebagaimana Vlad Dracul yang hidup puluhan tahun sebelum Elizabeth, wanita ini
disamakan dengan mitos populer para tukang tenung, ahli nujum, dan penyihir yang ilmu-
ilmu hitamnya membahayakan jiwa para penganut Kristiani yang jujur. Alih-alih
dimakamkan di dalam kastil, Elizabeth dikubur di Ecsed, tempat kelahirannya di sebelah
selatan Hungaria.

Sangatlah tidak lazim bagi keluarga Bathory yang begitu hebat untuk memberi
perhatian besar terhadap pendapat-pendapat para petani. Namun, besar kemungkinan mereka
menyadari bahwa di Cachtice, makam Elizabeth dapat menjadi sasaran pencemaran atau
tempat-tempat ritual untuk menyerahkan persembahan kepada iblis. Hal semacam ini dapat
mencoreng atau bahkan menambah rusaknya nama Bathory melebihi kejahatan-kejahatan
yang tidak pernah diakui Elizabeth dan tidak pernah disesalinya.

Referensi:
Lewis, Brenda Ralph. 2015. Sejarah Gelap Raja dan Ratu Eropa. Jakarta: Elex Media
Komputindo
Sumber Gambar:
Cachtice Castle wikipedia.org
Cachtice Castle slovakia.com
wikimedia.org
CNN: On The Trail of The Bloody Countess in Slovakia cnn.com

You might also like