You are on page 1of 17

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN ASMA

A. Konsep Dasar Medik

1. Definisi

- Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversible dimana trakea

dan bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu, dan

dimanifestasikan dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea,

batuk dan mengi.

(Brunner & Suddarth, Edisi 8, Vol. 1, 2001. Hal. 611).

- Asma adalah suatu penyakit jalan napas yang ditandai oleh periode

bronkospasme, merupakan penyakit kompleks yang meliputi biokimia,

imunologi, endokrin, infeksi, autoimun dan faktor psikologi. (Luckman and

Sorensens, 1993, Hal. 1021).

- Asma adalah suatu penyakit peradangan kronik pada jalan napas yang mana

peradangan ini menyebabkan perubahan derajat obstruksi pada jalan napas dan

menyebabkan kekambuhan. (Lewis, 2000, hal. 660).

- Asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang

reversibel. (Sylvia A. Price, 1995, hal. 149).

Jenis-jenis Asthma :

a. Asthma alergik
Yaitu asthma yang disebabkan oleh alergen, misalnya: serbuk sari binatang,

marah, makanan dan jamur. Biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergen

dan riwayat medis masa lalu, iskemia dan rhinita alergik.

b. Asthma idiopatik atau non alergik

Yaitu tidak berhubungan dengan alergen spesifik, faktor-faktor seperti common

vold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan lingkungan pencetus

serangan. Serangan menjadi lebih berat dan dapat berkembang menjadi bronkitis

kronis dan empisema.

c. Asthma gabungan

Yaitu bentuk asthma yang paling umum, mempunyai karakteristik dari bentuk

alergik maupun bentuk idiopatik atau non alergik.

Klasifikasi Asthma :

a. Mid Intermiten

Yaitu kurang dari 2 kali seminggu dan hanya dalam waktu yang pendek; tanpa

gejala, diantara serangan-serangan pada waktu malam kurang dari 2 kali sebulan.

Fungsi paru-paru FEV dan PEF diperkirakan lebih dari 80%.

b. Mid Persistent

Yaitu serangan lebih ringan tetapi tidak setiap hari, serangan pada waktu malam

timbul lebih dari 2 kali sebulan.

Fungsi paru-paru FEV atau PEF diperkirakan sebesar 80%.

c. Moderat Persistent

Yaitu serangan timbul setiap hari dan memerlukan penggunaan bronkodilator

serangan timbul 2 kali atau lebih dalam seminggu dan pada waktu malam timbul
gejala berat setiap minggu. Fungsi paru-paru FEV atau PEF diperkirakan 60-

80%.

d. Severe Persistent

Yaitu gejala muncul terus menerus dengan aktivitas yang terbatas, peningkatan

frekuensi serangan dan peningkatan frekuensi gejala pada waktu malam.

2. Anatomi Fisiologi

Saluran pernafasan terdiri dari saluran napas bagian atas dan saluran nafas

bagian bawah. Saluran nafas bagian atas terdiri dari : rongga hidung, nasofaring,

orofaring dan laringofaring. Saluran nafas bagian bawah terdiri dari laring, trakea,

bronkus dan paru-paru. Paru-paru terdiri dari paru kanan dan kiri. Paru kanan terdiri

dari 3 lobus dan paru kanan terdiri dari 2 lobus. Saluran udara hingga mencapai

paru-paru adalah :

a. Hidung
Ketika udara masuk ke rongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan

dilembabkan. Partikel-partikel yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang

terdapat dalam hidung, sedangkan partikel halus akan dijerat dalam lapisan

mukosa, gerakan silia mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam rongga

hidung dan ke superior di dalam saluran pernafasan bagian bawah.

b. Faring

Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai

bersambungan dengan aesofagus. Udara yang sudah disaring, dihangatkan dan

dilembabkan menuju ke faring akibat dorongan gerakan silia. Dari sini lapisan

mukosa akan ditekan dan dibatukkan ke luar. Air untuk pelembaban dihasilkan

oleh lapisan mukosa, sedangkan panas yang disuplai ke udara inspirasi berasal

dari jaringan di bawahnya yang kaya akan pembuluh darah. Jadi udara inspirasi

telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga bila mencapai faring hampir bebas

dari debu.

c. Laring

Laring atau organ suara adalah struktur epitel kartilago yang menghubungkan

faring dan trakea. Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya

vokalisasi, laring juga melindungi jalan nafas bawah dan obstruksi benda asing

dan memudahkan batuk. Laring sering disebut sebagai kotak suara.

d. Trakea

Trakea disokong oleh cincin tulang rawan yang fungsinya untuk

mempertahankan agar trakea tetap terbuka. Trakea dilapisi oleh lendir yang

terdiri atas epitelium bersilia. Jurusan silia ini bergerak jalan ke atas ke arah
laring; maka dengan gerakan ini debu dan butir halus yang turut masuk bersama

pernafasan dapat dikeluarkan.

e. Bronkus

Dari trakea udara masuk ke dalam bronkus. Bronkus memiliki percabangan yaitu

bronkus utama kiri dan kanan yang dikenal sebagai karina. Karina memiliki saraf

yang menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang.

Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris. Bronkus kanan lebih pendek dan

lebih besar yang arahnya hampir vertikal, sebaliknya bronkus kiri lebih panjang

dan lebih sempit. Cabang utama bronkus bercabang lagi menjadi bronkus lobaris

dan kemudian segmentalis percabangan ini terus berjalan menjadi bronkus yang

ukurannya makin lama makin kecil sampai akhirnya menjadi bronkus terminalis

yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli.

f. Bronkiolus

Saluran udara ke bawah sampai ke tingkat bronkiolus terminalis merupakan

saluran penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru. Setelah bronkiolus

terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran

gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorik, duktus alvedansi sakus. Alvedaris

terminalis alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh dinding septus atau

septum. Alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan yang

dapat mengurangi tegangan pertukaran dalam mengurangi resistensi

pengembangan pada waktu inspirasi dan mencegah katub alveolus pada

ekspirasi.
Peredaran darah paru-paru

Paru-paru mendapat dua suplai yaitu arteri bronkiolus (berasal dari aorta

thorakalis dan berjalan sepanjang dinding posterior bronkus) dan arteri pulmonalis.

Sirkulasi bronkial menyediakan darah teroksigenisasi dari sirkulasi sistemik dan

berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme paru.

Vena bronkiolus besar bermuara pada vena cava superior dan mengembalikan

darah ke atrium kanan. Vena bronkiolus yang lebih kecil akan mengalirkan darah ke

vena pulmonalis.

Arteri pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan jantung mengalirkan

darah vena campuran ke paru-paru. Di paru-paru terjadi pertukaran gas antara

alveoli dan darah, darah yang teroksigenisasi dikembalikan ke ventrikel kiri jantung

melalui vena pulmonalis, yang selanjutnya membagikannya melalui sirkulasi

sistemik ke seluruh tubuh. Proses pernafasan dipengaruhi oleh :

Ventilasi : pergerakan mekanik udara dari dan ke paru-paru

Perfusi : distribusi oksigen oleh darah ke seluruh pembuluh darah dari

paru-paru.

Difusi : pertukaran oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler

paru.

Transportasi : pengangkatan O 2-CO2 yang berperan sistem kardiovaskular.

3. Etiologi
a. Faktor ekstrinsik : reaksi antigen-antibody, debu, bulu binatang, serbuk-serbuk,

spora, jamur, makaan.

b. Faktor intrinsik : infeksi, iritan, cuaca, palutan, lingkungan, emosi (stress).

c. Bentuk campuran dari kedua hal di atas.

4. Patofisiologi

Asma adalah suatu proses inflamasi kronik yang menghasilkan edema mukus,

sekresi mukus dan inflamasi. Obstruksi dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut

ini yaitu kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronki menyempitkan jalan napas,

pembengkakan membran yang melapisi bronki, pengisian bronki dengan mukus

yang kental. Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk

terhadap lingkungan. Bila zat-zat alergen memasuki paru-paru sehingga merangsang

antibodi yang dihasilkan (IgE) menyerang sel-sel mast dalam paru sehingga

menyebabkan pelepasan produk-produk sel-sel mast seperti histamin, bradikinin dan

prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS.A).

Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar

jalan napas sehingga menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa

dan pembentukan mukus yang sangat banyak. Sistem saraf otonom mempersarafi

paru. Otot bronkial di atur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatik

ketika saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin,

merokok, dan emosi sehingga jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat dan

menyebabkan bronkokonstriksi yang merangsang pembentukan mediator kimiawi.

Selain itu reseptor alfa dan beta adrenergik dari sistem saraf simpatik terletak dalam
bronki, sehingga ketika alfa adrenergik dirangsang terjadi bronkokonstriksi dan

bronkodilatasi terjadi ketika reseptor beta adrenergik yang dirangsang.

Keseimbangan antara alpha dan beta adrenergik dikendalikan oleh siklik adenosin

monophospat (c AMP). Stimulasi reseptor alfa mengakibatkan penurunan c AMP,

yang mengarah pada peningkatan mediator kimia yang dilepaskan oleh sel-sel mast

bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor beta mengakibatkan peningkatan tingkat c

AMP yang menghambat pelepasan mediator kimia yang menyebabkan

bronkodilatasi. Penyekatan beta adrenergik terjadi pada penderita asma, akibatnya

osmotik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimia dan konstriksi otot

polos.

5. Tanda dan Gejala

a. Batuk kering

b. Wheezing

c. Dispnea

d. Mengi

e. Ekspirasi memanjang

f. Barrel chest (dada tong)

g. Orthopnea

h. Berkeringat

i. Tachypnea

j. Tachycardia.

k. Gelisah
6. Pemeriksaan Diagnostik

a. Rontgen thorax

Pada fase akut menunjukkan hiperinflasi dan pendataran diafragma.

b. Pemeriksaan darah

c. IgE meningkat terutama pada asma alergik.

d. Sputum

e. AGD

f. Menunjukkan hipoxia selama serangan akut, PCO 2 yang rendah.

g. Fungsi paru

PEV dan FVC sangat menurun.

7. Komplikasi

a. Status asmatiks : asma yang berat dan persistent yang tidak berespon terhadap

terapi konvensional.

b. Pneumonia : proses inflamasi parenkim paru yang umumnya disebabkan oleh

agens infeksius.

c. Atelektasis

d. Obstruksi jalan nafas

e. Faktor iga.

8. Penatalaksanan Medik
a. Agenis Beta : untuk mendilatasi otot-otot polos bronkial dan meningkatkan

gerakan sililaris. Contoh obat : epinefrin, albutenol, meta profenid, iso

proterenoli isoetharine, dan terbutalin. Obat-obat ini biasa digunakan secara

parenteral dan inhalasi.

b. Metil salin untuk bronkodilatasi, merilekskan otot-otot polos, dan meningkatkan

gerakan mukus dalam jalan nafas. Contoh obat: aminophyllin, teophyllin,

diberikan secara IV dan oral.

c. Antikolinergik, contoh obat : atropin, efeknya : bronkodilator, diberikan secara

inhalasi.

d. Kortikosteroid, untuk mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor. Contoh obat:

hidrokortison, dexamethason, prednison, dapat diberikan secara oral dan IV.

e. Inhibitor sel mast, contoh obat: natrium kromalin, diberikan melalui inhalasi

untuk bronkodilator dan mengurangi inflamasi jalan nafas.

f. Oksigen, terapi diberikan untuk mempertahankan PO 2 pada tingkat 55 mmHg.

g. Fisioterapi dada, teknik pernapasan dilakukan untuk mengontrol dispnea dan

batuk efektif untuk meningkatkan bersihan jalan nafas, perkusi dan postural

drainage dilakukan hanya pada pasien dengan produksi sputum yang banyak.
B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian

a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

- Riwayat keluarga asma dan alergi.

- Baru saja mengalami ISPA atau sinusitis.

- Riwayat alergi

- Riwayat obat-obat yang biasa digunakan.

b. Pola nutrisi metabolik

- Mengeluh mual dan tidak nafsu makan karena distress pernapasan.

- Tidak mau makan selama serangan.

c. Pola aktivitas dan latihan

- Sesak, batuk produktif dengan sputum kuning atau hijau.

- Ortopnea.

d. Pola tidur dan istirahat

- Kurang tidur karena sesak

- Insomnia.

e. Pola persepsi kognitif

- Klien mampu mengungkapkan strategi mengatasi serangan akut tapi tidak

mampu menggunakan efektif selama serangan (panik).

f. Pola persepsi dan konsep diri

- Merasa sebagai orang yang lemah atau sakit-sakitan, perubahan body image.

g. Pola hubungan dengan sesama


- Mengeluh karena serangan dicetuskan oleh orang-orang sekitar, seperti :

asap, rokok.

h. Pola koping dan toleransi terhadap stress.

- Cemas, marah, putus asa.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan batuk-batuk

efektif, produksi mukus berlebih.

b. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan bronkospasme, produksi

mukus.

c. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan ventilasi/perfusi tidak

memadai.

d. Intoleransi beraktivitas yang berhubungan dengan sesak nafas.

e. Kecemasan yang berhubungan dengan kesulitan bernafas.

f. Resiko tinggi terhadap infeksi yang berhubungan dengan berkurangnya fungsi

paru, ketidakefektifan bersihan jalan napas, penggunaan terapi kortikosteroid.

3. Perencanaan Keperawatan

a. DP1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan

dengan batuk tidak efektif, produksi mukus berlebih.

HYD : Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih.

Intervensi :

1. Auskultasi dan catat bunyi napas, misal: ronchi, wheezing dan crackles.
Rasional : untuk mengetahui adanya obstruksi jalan napas.

2. Kaji karakteristik batuk dan sputum.

Rasional : menentukan jenis tindakan yang akan dilakukan.

3. Berikan pasien posisi yang nyaman.

Rasional : peninggian kepala tempat tidur, mempermudah batuk dan

mengeluarkan sekret.

4. Pertahankan polusi udara seminimal mungkin, mis: debu, asap, dan lain-

lain.

Rasional : mengurangi faktor pencetus serangan.

5. Dorong dan ajarkan napas dalam dan batuk efektif.

Rasional : mempermudah mengeluarkan sekret dan memberikan cara

untuk mengatasi dispnea.

6. Kolaborasi untuk pemberian bronkodilator.

Rasional : merilekskan otot-otot pernapasan dan menurunkan kongesti

lokal, menurunkan spasme jalan napas dan produksi sekret.

b. DP2. Pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan sumbatan

jalan napas, cepat, lemah.

HYD: Pola nafas kembali normal 12-20 kali/menit

Intervensi :

1. Kaji dan catat pola dan frekuensi pernapasan.

Rasional : mengidentifikasi perubahan pola napas.

2. Berikan posisi semifowler.


Rasional : meningkatkan ekspansi paru.

3. Anjurkan dan ajarkan teknik batuk efektif dan napas efektif.

Rasional : membantu pasien kembali ke pola napas normal.

4. Kolaborasi untuk pemberian oksigen.

Rasional : untuk merilekskan otot-otot saluran napas.

c. DP3. Gangguan pertukaran gas b.d ventilasi/perfusi tidak memadai.

HYD : Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenisasi ke jaringan adekuat

dengan GDA dalam batas normal dan bebas dari gejala distres pernapasan.

Intervensi :

1. Kaji frekuensi dan kedalaman pernapasan.

Rasional : untuk evaluasi terhadap distres pernapasan.

2. Auskultasi bunyi napas.

Rasional : untuk mengetahui penurunan aliran udara.

3. Awasi tingkat kesadaran dan status mental.

Rasional : gelisah dan ansietas merupakan gejala umum hipoxia.

4. Anjurkan untuk mengeluarkan sekret, k/p gunakan alat penghisap.

Rasional : mencegah sumbatan jalan napas.

5. Kolaborasi untuk pemberian oksigen.

Rasional : untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh dan mencegah

hipoxia.

d. DP4. Intoleransi beraktivitas yang berhubungan dengan sesak nafas.


HYD: Klien mampu menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas.

Intervensi :

1. Kaji kemampuan aktivitas pasien.

Rasional : menetapkana kemampuan/kebutuhan pasien dan memudahkan

pilihan intervensi.

2. Berikan lingkungan yang tenang.

Rasional : menurunkan stress dan rangsang berlebih.

3. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan.

Rasional : menurunkan laju metabolik, menghemat energi untuk

penyembuhan.

4. Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.

Rasional : meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai

dan kebutuhan O 2.

e. DP5. Kecemasan b.d kesulitan bernafas.

HYD: - Kecemasan berkurang sampai hilang.

- Ekspirasi wajah rileks.

Intervensi :

1. Kaji tingkat kecemasan.

Rasional : menentukan intervensi berikutnya.

2. Dampingi pasien saat serangan.

Rasional : mengurangi kecemasan


3. Jelaskan obat-obat yang diberikan ke pasien.

Rasional : memungkinkan penyebab kecemasan.

f. DP6. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d berkurangnya fungsi paru,

ketidakefektifan bersihan jalan napas, penggunaan terapi kortikosteroid.

HYD: Tidak terjadi infeksi ditandai dengan :

- Suhu : 36-37 oC

- Leukosit dalam batas normal

- Sputum bersih, warna putih.

Intervensi :

1. Observasi TTV (TD, N, S, P) dan tanda-tanda infeksi.

Rasional : peningkatan suhu menandakan terjadi proses infeksi.

2. Kaji karakteristik sputum, warna, jumlah dan konsistensi.

Rasional : indikator adanya infeksi.

3. Monitor suara napas.

Rasional : indikator penumpukan sputum.

4. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.

Rasional : mengobati infeksi.


4. Discharge Planning

- Ajarkan pasien tentang dosis, waktu minum obat secara teratur.

- Anjurkan untuk menghindari kontak dengan zat-zat alergen.

- Ajarkan pasien untuk menggunakan inhalasi spray.

- Ajarkan pasien dan keluarga untuk memberikan pertolongan pertama saat

serangan.

- Ajarkan pasien untuk napas dan batuk efektif.

You might also like