You are on page 1of 8

Serangan Penyakit Hemofilia pada Keluarga Kerajaan Eropa

Sejarah Singkat Hemofilia

Hemofilia, sebuah penyakit yang hanya diderita oleh pria, pertama diamati secara
ilmiah dan dipaparkan pada tahun 1803 oleh John Conrad Otto, seorang dokter dari
Philadelphia, Amerika Serikat. Penyakit ini dikenal sejak lama sebagai penyakit misterius
yang menyebabkan pendarahan tiada henti bahkan dari sebab-sebab sepele. Kasus-kasus telah
dicatat tentang anak-anak laki-laki yang mengalami pendarahan tidak terkendali bila gusi
mereka digosok terlalu keras. Satu luka kecil dapat membunuh si penderita. Seorang anak
laki-laki dapat meninggal dunia karena lecet pada lututnya akibat kekasaran atau jatuh dalam
permainan anak-anak. Satu memar di lutut, sendi, atau siku, dapat menimbulkan pendarahan
internal yang serius.

Mati dalam usia dini sangat besar kemungkinannya, tetapi bila seorang penderita
hemofilia bisa bertahan, penderita ini akan mengalami rasa sakit yang menyiksa sebelum
darah akhirnya menggumpal dan pendarahan berhenti. Proses ini mungkin memerlukan
minimum 30 menit, atau dapat berlangsung selama beberapa jam. Pada pria normal, darah
dapat menggumpal dalam luka setelah lima menit, atau dalam kasus-kasus serius dapat terjadi
sampai 15 menit. Namun, pendarahan parah hanyalah sebagian dari kengerian hemofilia.
Kondisi ini sangat menghancurkan sistem tubuh sehingga hanya segelintir penderita
hemofilia yang lolos dari penyakit lumpuh sendi seperti arthritis atau bahaya lain seperti
anemia; keduanya membuat penderita mudah terkena infeksi, yang karena kondisi mereka
yang melemah, mereka mungkin masih dapat bertahan.

Morfin dapat digunakan untuk meredakan nyeri, tetapi obat ini bersifat adiktif.
Sebenarnya ada hal lain yang dapat melegakan rasa sakit penderita yaitu jatuh pingsan ketika
rasa sakitnya tidak lagi tertahankan. Yang masih belum ada adalah terapi ilmiah, tetapi hal itu
masih di luar jangkauan sampai pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1930-an, putih telur,
tepung kacang, dan racun ular disarankan sebagai pengobatan yang potensial untuk
hemofilia, tetapi terobosan yang sebenarnya dan yang berhasil harus menunggu sampai
penyebab hemofilia ditemukan sekitar 20 tahun kemudian.

Pada penderita hemofilia, ditemukan bahwa ada mutasi dalam satu kromosom X dalam
pembuatan genetiknya. Hal ini menyebabkan defisiensi agen penggumpal Faktor VIII yang
juga dikenal sebagai globulin antihemofilia. Meskipun penyakit ini tidak dan masih belum
dapat disembuhkan hingga kini, penemuan ini telah memungkinkan pengendalian setelah
tahun 1955 terhadap penyakit ini dengan Faktor VIII Intravena.

Awal Mula Penyebaran Hemofilia di Keluarga Kerajaan Eropa

Ketika penyakit hemofilia muncul pertama kali dalam garis keturunan keluarga
Kerajaan Inggris, penyakit ini seperti kutukan yang kemudian merambat pesat ke seluruh
ranah Eropa. Dapat dikatakan bahwa penyakit hemofilia lebih buruk daripada pembunuhan
anak-anak sulung Mesir kuno yang telah didatangi oleh para malaikat sebab kondisi
mematikan ini, darah gagal untuk menggumpal secara normal, dapat menyerang anak-anak
laki-laki yang masih muda dan bersembunyi dalam gen anak-anak perempuan, siap
diturunkan kepada anak-anak mereka.

Penyakit hemofilia tidak mengemuka dalam beberapa waktu dalam keluarga Ratu
Victoria dan suaminya, Pangeran Albert of Saxe-Coburg-Gotha, dan paling cepat baru
diketahui setelah ditemukan pada anak keempat dan putra bungsu mereka, Leopold, yang
lahir pada tahun 1853. Saudara laki-laki lainnya, Edward yang bergelar Prince of Wales (lahir
tahun 1841), Pangeran Alfred (lahir tahun 1844), dan Pangeran Arthur (lahir tahun 1850)
selamat dari penyakit ini. Tanpa diketahui oleh siapapun sampai setelah mereka menikah, tiga
dari lima putri VictoriaVicky, Alice, dan Beatriceternyata pembawa gen atau carrier
penyakit ini. Ketiganya menikah dengan pangeran-pangeran Eropa dengan akibat
diturunkannya penyakit ini kepada sejumlah keluarga kerajaan Eropa dan banyak dari anak
serta cucu mereka yang menderita secara mengerikan karena penyakit ini.

Warisan yang Menghancurkan

Penyakit hemofilia yang diderita Leopold merupakan kasus yang lebih


mengkhawatirkan karena asal muasalnya tidak diketahui. Tidak ada sejarah dari penyakit ini
dalam keluarga Victoria maupun keluarga Pangeran Albert dan ilmu pengetahuan medis pada
masa itu sangat tidak memadai untuk menjelaskan misteri ini. Besar kemungkinan bahwa
problem ini muncul secara spontan. Ratu Victoria mungkin mewarisi gen hemofilia yang
merusak ini dari salah seorang orang tuanya, kemungkinan dari Edward, sang ayah yang
bergelar Duke of Kent, putra keempat Raja George III. Penelitian kemudian mengungkapkan
bahwa gen dan mutasinya di dalam kromosom X terjadi lebih sering pada para ayah yang
berusia lebih tua: Duke of Kent berusia 51 tahun ketika Ratu Victoria lahir pada tahun 1819.

Warisan yang menakutkan ini tidak lama kemudian menjadi semakin jelas karena
penyakit ini dapat membuat sakit ringan menjadi fatal. Hal ini hampir terjadi pada tahun 1861
ketika Pangeran Leopold terkena penyakit cacar. Begitu pula Pangeran Arthur dan Putri
Beatrice yang dapat melawan infeksi tersebut dan tidak terlalu parah sakitnya sementara
Leopold nyaris meninggal dunia. Pangeran yang saat itu berusia delapan tahun berhasil
bertahan melalui kekuatan-kekuatan tubuhnya sendiri untuk pulih yang waktu itu terbukti
berhasil.

Pendarahan Hebat

Namun, pemulihan sendiri tadi tidak selalu berhasil. Pangeran Leopold beberapa kali
luput dari maut sebelum akhirnya ia mengalami pendarahan berat pada tahun 1884, sepuluh
hari sebelum ulang tahunnya yang ke-31. Yang menewaskannya adalah cedera kedua pada
lututnya yang terjadi dalam beberapa minggu. Kematiannya berlangsung cepat dalam waktu
24 jam. Siapa pun pastilah pernah mengalami memar lutut dan pincang untuk sementara, dan
tidak akan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang serius. Sebaliknya, Leopold harus terus-
menerus menyadari bahaya yang menjadi pijakannya dan menganggap hemofilia
menghancurkan hidupnya.
Seandainya ia hidup sebagai seorang yang membosankan, tanpa gairah akan semangat
hidup, persoalan-persoalannya kemungkinan lebih sedikit. Namun, seperti ayahnya, Pangeran
Albert, Leopold cerdas secara intelektual, dengan pikiran yang aktif dan rasa ingin tahu yang
besar yang membuatnya kecewa karena kesehatannya yang rapuh. Agar dapat menjalani
hidup normal yang ia dambakan, Leopold harus mengambil banyak resiko. Ia pun menentang
ibunya yang berpikiran tegas. Terlepas dari upaya berulang-ulang Victoria untuk
menenangkannya dalam perlindungan yang berlebihan, Leopold berhasil meloloskan diri
untuk masuk universitas, mengambil bagian dalam kehidupan publik, dan menikah serta
memiliki anak-anak. Victoria bahagia sekaligus terkejut karena ia membayangkan hemofilia
dapat membuat Leopold tidak mungkin menjadi ayah bagi keluarga.

Sebagai seorang penderita hemofilia, pencapaian-pencapaian Leopold merupakan


keberhasilan yang signifikan. Bersama dengan itu, ia pun selalu menyadari kenyataan yang
membayangi keberhasilan-keberhasilan itu. Ia bahkan mengatakan kepada saudara
perempuannya, Alice yang bergelar Grand Duchess of Hesse-Darmstadt, bahwa kematian
putra Alice yang berusia tiga tahun pada tahun 1873 dalam sebuah kecelakaan merupakan
berkah di balik penderitaan: anak itu, Frederick William, adalah penderita hemofilia lainnya.
Leopold berkata kepada Alice bahwa kematian putranya setelah jatuh dari sebuah jendela
melepaskannya dari kehidupan yang penuh penderitaan dan kepedihan.

Tujuh tahun sebelumnya, tahun 1866, Vicky, kakak perempuan Alice, yang juga
merupakan Putri Mahkota Prussia, kehilangan seorang putra, Sigismund, ketika anak itu
belum berusia dua tahun. Putranya yang lain, Waldemar, yang merupakan anak bungsu Vicky,
meninggal dalam usia 11 tahun pada tahun 1879. Kedua kematian itu disebabkan oleh infeksi
meningitis dan difteria, tetapi fakta bahwa kedua anak laki-laki itu diduga menderita
hemofilia bisa jadi telah mempercepat kematian mereka.

Meskipun kematian bayi atau anak-anak bukan hal yang tidak biasa pada masa itu,
penyakit ini merupakan salah satu kenyataan tersuram dari kehidupan abad ke-19 di mana
satu atau lebih anak-anak dalam keluarga yang besar dapat meninggal secara diniakibat
kecelakaan, penyakit (terutama penyakit menular) atau sebagai akibat dari kondisi-kondisi
hidup yang tidak bersih. Kematian seperti ini diterima sebagai fakta menyedihkan dari
kehidupan sehari-hari. Bahkan keluarga-keluarga kerajaan pun, yang hidup dalam kondisi-
kondisi yang terbaik, tidak kebal sehingga Vicky dan Alice, yang menangisi anak-anak laki-
laki mereka, membuat hemofilia dipandang sebagai salah satu ancaman di antara yang
lainnya bagi kelangsungan kehidupan keluarga. Meskipun demikian, bagi keluarga-keluarga
kerajaan, penyakit hemofilia bukan penyakit yang tidak biasa karena intrusinya ke dalam
garis keturunan mereka dapat berarti malapetaka bagi suatu dinasti.

Kutukan Berkelanjutan

Implikasi-implikasi yang lebih luas dari malapetaka ini belum menjadi jelas sampai
setelah Alice, Vicky, dan Ratu Victoria wafat dan generasi selanjutnya dari para putri kerajaan
ini memiliki keturunan mereka sendiri. Penyakit hemofilia telah mengutuk dinasti-dinasti
Hohenzollern (melalui Vicky) dan Hesse-Darmstadt (melalui Alice). Selanjutnya, penyakit ini
muncul dengan kekuatan yang menghancurkan pada Keluarga Bourbon Spanyol dan
Keluarga Romanov yang menguasai Rusia, setelah salah seorang cucu perempuan Ratu
Victoria menikah dengan Tsar Nicholas II dan seorang cucu perempuan lainnya menikah
dengan Raja Alfonso XIII dari Spanyol yang masih muda.

Istri Nicholas adalah Putri Alexandra Hesse-Darmstadt, putri keempat Putri Alice.
Nicholas dan Alexandra menikah pada 1894, tepat tiga minggu setelah Nicholas dinobatkan
menjadi Tsar dari seluruh Rusia. Mereka berdua menyadari bahwa Alice adalah seorang
carrier hemofilia dan bahwa saudara perempuan Alexandra, Irene, telah melahirkan Pangeran
Waldemar yang menderita hemofilia pada tahun 1889. Secara luar biasa, Waldemar mampu
bertahan hidup hingga usia 50-an tahun dan wafat pada tahun 1945. Namun, salah satu dari
tiga putra Irene lainnya, Heinrich, yang juga menderita hemofilia, tidak begitu beruntung. Ia
meninggal dalam usia empat tahun pada tahun 1904 setelah jatuh dan terbentur kepalanya.

Setelah sepuluh tahun perkawinan, Nicholas dan Alexandra harus menghadapi warisan
penyakit mengerikan yang telah tertanam di dalam garis darah keluarga Alexandra. Keempat
anak mereka yang pertama adalah perempuan, tetapi yang kelima adalah laki-laki satu-
satunya, Tsarevich Alexis, yang lahir pada tahun 1904. Fakta bahwa Alexis menderita
hemofilia menjadi jelas pada enam minggu setelah kelahirannya, ketika ia mulai mengalami
pendarahan dari pusar. Pendaharan itu berlangsung selama tiga hari sebelum akhirnya
berhenti. Kelak kemudian, Alexis menderita memar yang tidak biasa setiap kali ia jatuh atau
tersandung karena pendarahan di bawah kulit, begitu juga karena penderitaan mengerikan
dari pendarahan di dalam atau pendarahan di antara sendi-sendi akibat cedera biasa.

Nicholas dan Alexandra sangat putus asa. Meskipun demikian, hal ini bukan satu-
satunya tragedi dalam keluarga. Pewaris kerajaan yang sakit merupakan hal terburuk yang
dapat terjadi di Rusia karena takhta kerajaan Nicholas sangat lemah, belum lagi ditambah
dengan demonstrasi rakyat yang menuntut dibentuknya Duma atau Parlemen, dan semakin
banyak perwakilan pemerintah yang terus-menerus menggerogoti pemerintah absolut
Nicholas. Alexandra yang cenderung murung dan pesimistis, melampiaskan persoalannya
pada doa selama berjam-jam. Ia pun merana karena merasa bersalah, menyadari bahwa ia
telah memberikan penyakit itu kepada putranya. Alexandra mulai mengalami gangguan-
gangguan jantung dan menderita encok pangkal paha serta serangkaian gejala-gejala yang
sekarang mungkin diistilahkan sebagai psikosomatik.

Dalam kondisinya yang gelisah secara ekstrem atau bahkan obsesif, Alexandra menjadi
terlalu protektif. Dua orang pelaut dipekerjakan untuk mengikuti ke mana pun sang Tsarevich
pergi dan mencegah anak itu untuk melukai dirinya sendiri, dan penyakit hemofilianya
disimpan sebagai rahasia keluarga yang menakutkan. Para dokter, pelayan, anggota rumah
tangga istana, dan siapa pun yang mungkin mengetahui atau menduga adanya hal yang tidak
benar dilarang untuk membicarakannya. Meskipun demikian, banyak gosip beredar sehingga
membuktikan bahwa tidak mungkin merahasiakan penyakit ini ketika Alexis nyaris
meninggal dunia akibat pendarahan hidung atau jatuh ringan lain yang membuatnya harus
diam di ranjang selama berminggu-minggu.

Rasputin dan Keluarga Romanov


Jadi, pada tahun 1904, seorang orang suci atau starets dari Siberia yang bernama
Grigori Rasputin tiba di istana kerajaan di St. Petersburg. Seorang starets dianggap memiliki
kekuatan penyembuhan yang luar biasa, memiliki obat-obat melalui doa, dan bukan tidak
umum bagi satu keluarga ningrat untuk memiliki salah satu petani mistik di dalam rumah
tangga mereka untuk digunakan di saat keterampilan mereka diperlukan. Untuk Alexandra,
Rasputin adalah jawaban atas doa-doanya karena pria ini sepertinya memiliki kemampuan
untuk menyembukan Tsarevich, bahkan ketika penyakit hemofilianya mengancam akan
menewaskannya dan para dokternya sudah angkat tangan. Pada tahun 1905, Tsarevich Alexis
sakit parah dan lemah akibat kesakitan karena kaki yang bengkak. Semalaman Rasputin
memulihkan anak itu ke dalam kesehatan yang penuh meskipun tidak seorang pun melihat
atau bahkan menduga bagaimana ia mendapatkan mukjizat itu.

Rasputin Bertugas

Sejak saat itu, Nicholas dan Alexandra menjadi murid-murid Rasputin yang penuh
pengabdian dan, bila rumah tangga istana mewajibkan untuk menyebut Tsar dan Tsarina
dengan penghormatan berlebihan, mereka mengizinkan, meskipun belum pernah terjadi
sebelumnya, Rasputin untuk bebas berbicara dan bertindak di hadapan mereka. Alexandra
dipikat oleh Rasputin dan tidak lama kemudian menjadi bergantung kepadanya untuk hidup
putranya yang telah diselamatkan oleh Rasputin lebih dari satu kali. Sejak saat itu, Rasputin
dengan mudah mendapat posisi di mana ia dapat menyebarkan pengaruh politiknya di istana
dan menyerahkan posisi-posisi basah kepada kroni-kroninya. Setelah Rusia terlibat dalam
Perang Dunia Pertama pada tahun 1914, Nicholas pergi ke garis depan dan meninggalkan
Alexandra untuk menggantikannya. Atau demikianlah menurut sang Tsar. Tidak lama
kemudian, Rasputin mendominasi sampai pada titik bahwa sebenarnya dirinyalah yang
memerintah negara itu.

Kondisi ini sudah terlalu berlebihan bagi sejumlah anggota keluarga kerajaan Romanov,
yang pengaruhnya telah digantikan oleh Rasputin. Pada tahun 1916, satu kelompok yang
dipimpin oleh Pangeran Felix Yusupoff dari keluarga Romanov meracuni, menembak,
menikam, memukul, dan membakar Rasputin, yang akhirnya menenggelamkan Rasputin di
Sungai Neva, St. Petersburg. Nicholas dan Alexandra menjadi ketakutan. Alexandra mulai
percaya lagi bahwa dengan kematian Rasputin, hubungannya dengan Tuhan memburuk dan
putranya ditelantarkan. Ia yakin bahwa Rusia sudah kiamat beserta keluarga Romanov di
dalamnya.

Ternyata hal ini bukan sekedar fantasi tidak wajar Alexandra saja. Pada 15 Maret 1917,
kurang dari tiga bulan setelah kematian Rasputin, Tsat Nicholas dipaksa turun takhta ketika
tentara Rusia memberontak. Kerusuhan dan kelaparan terjadi di mana-mana dan sebuah
pemerintahan sementara di bawah Alexander Kerensky mengambil alih St. Petersburg. Tujuh
bulan setelah itu, Kerensky digulingkan oleh kaum Komunis di bawah pimpinan Vladimir
Lenin dan, dengan kejatuhan itu, nasib Keluarga Romanov ditentukan. Dipenjarakan dalam
tempat suram yang disebut Rumah Ipatiev di Ekaterinburg, Siberia, seluruh keluarga Tsar
Nicholas II ditembak mati oleh regu tembak Bolshevik pada 17 Juli 1918. Ironisnya, yang
terakhir tewas adalah Tsarevich Alexis.
Hemofilia di Spanyol

Pada sekitar masa ketika Alexis yang menderita penyakit itu dilahirkan, skenario
penyakit hemofilia ini telah dipahami dengan lebih baik. Namun, penyembuhannya belum
ada dan tentu saja perawatannya pun tidak ada, tetapi pola penurunannya telah dikenali.
Sebagai akibatnya, pada tahun 1905, ketika Raja Alfonso XIII dari Spanyol yang berusia 19
tahun tiba di Inggris untuk mencari istri, ia telah diperingatkan bahwa sejumlah putri Inggris
yang masih lajang kemungkinan membata kutukan penyakit darah ini.

Pilihan Alfonso berkisar antara Putri Patricia, anak dari Pangeran Arthur; Beatrice of
Saxe-Coburg, putri Pangeran Alfred; dan Putri Victoria Eugenie, putri dari Putri Beatrice of
Battenberg yang merupakan putri bungsu Ratu Victoria. Beatrice of Saxe-Coburg dan Patricia
sudah pasti bukan pembawa gen hemofilia karena kedua ayah mereka bebas dari penyakit
malang tersebut. Malang bagi Alfonso, ia memilih Victoria Eugenie, yang dipanggil dengan
sebutan Ena, yang menerima karakteristik carrier dari ibunya. Sudah ada bukti nyata bahwa
ibu Ena, Beatrice, adalah pembawa gen mematikan ini karena putranya, yang juga bernama
Leopold, menderita penyakit ini dan meninggal pada usia 33, tahun 1922.

Alfonso yang Tidak Bertanggung Jawab

Dengan bukti yang sudah jelas di hadapan matanya, Alfonso paham dengan baik
tentang kesempatan yang ia ambil ketika menikahi Ena. Ia pun telah diperingatkan oleh
Menteri Luar Negerinya sendiri, keluarganya, ibu Ena, Raja Edward VII, paman Ena, dan
oleh Ena sendiri. Ia mendengarkan mereka semua, tetapi gagal untuk menyimak. Alfonso
memiliki darah panas Bourbon dan usia muda yang arogan, dan ia menginginkan Ena yang
molek itu dengan hasrat berkobar-kobar. Secara tidak bertanggung jawab, ia mengira bahwa
bila mereka memiliki cukup banyak anak, beberapa di antara anak-anak mereka dapat
selamat dari penyakit darah itu.

Alfonso berhasil mengelabui diri sendiri hanya untuk waktu yang singkat. Dengan
cepat sikapnya berubah dan perkawinannya dengan Ena, yang terjadi pada tahun 1906 di
Madrid, mengarah pada kehancuran ketika putra pertama mereka, Alfonsito, lahir pada tahun
1907. Ketika sudah waktunya pangeran yang masih bayi itu untuk disunat-sebuah praktik
yang telah lama diperkenalkan ke dalam istana oleh para dokter Yahudi, para dokter
menemukan bahwa anak itu mengalami pendarahan selama beberapa jam. Tidak diragukan
lagi bahwa anak itu menderita hemofilia, dan Alfonso pun terjerumus ke dalam jurang depresi
dan penyesalan. Ia menyalahkan Ena, ia menyalahkan ibu mertuanya, Beatrice, tetapi ia pun
menyalahkan diri sendiri karena telah terdorong nafsu keras kepalanya kepada pengantin
Inggris-nya.

Meskipun demikian, hal ini tidak mencegah sang raja untuk mencoba lagi. Pada tahun
1908, Ena melahirkan seorang putra lagi, Jaime, yang memiliki kesehatan yang sempurna.
Menyaksikan hal ini, Alfonso kembali pulih dan membujuk diri sendiri bahwa Alfonsito
mungkin dapat sembuh dari penyakitnya, sama seperti yang pernah diharapkan Pangeran
Albert terhadap putranya, Pangeran Leopold.
Seperti halnya Leopold, Alfonsito yang bergelar Pangeran Asturias adalah pria yang
cerdas dan pintar, dan ayahnya yang penuh dengan harapan memasukkannya ke Resimen
Pertama Kerajaan dari pasukan tentara Spanyol dan membuat rencana-rencana untuk
pelatihannya sebagai Raja Spanyol. Namun, betapapun hebatnya Alfonso membodohi diri
sendiri tentang putra sulung dan pewarisnya, rasa terkejut mengetahui penyakit hemofilia itu
ada dalam keluarganya secara drastis mengubah sikapnya terhadap istrinya. Kebencian,
kegetiran, dan kemarahan menguasai Alfonso ketika suasana hatinya yang selalu berubah-
ubah sedang dilanda pemikiran tidak wajar bahwa Pangeran Asturias tidak akan hidup untuk
mewarisi takhtanya. Kelahiran putra selanjutnya setelah seorang putri lahir pada tahun 1909,
memastikan imajinasi-imajinasi gelap Alfonso. Anak laki-laki yang lahir pada tahun 1910 itu
meninggal ketika dilahirkan dan merupakan penderita hemofilia juga. Begitu pula dengan
Gonzalo, anak terakhir Alfonso dan Ena, yang lahir pada tahun 1914, setahun setelah seorang
putri lainnya, Maria Christina.

Upaya untuk Menjadi Normal

Sama seperti paman mereka sebelumnya, Pangeran Leopold dari Inggris, Alfonsito dan
Gonzalo bersikeras untuk menjalani kehidupan yang aktif dan, ketika ayahnya terpaksa turun
sehingga melepaskan mereka dari batasan-batasan kerajaan. Gonzalo yang sepertinya
menderita jenis hemofilia yang kurang mematikan dibanding dengan saudara tuanya, masuk
University of Louvain pada 1934 untuk belajar teknik. Kemudian, satu hari pada bulan
Agustus 1934, ketika Gonzalo sedang mengemudi bersama saudara perempuannya, Beatrice,
mobil mereka menikung untuk mengelak seorang pengendara sepeda dari arah yang
berlawanan dan menabrak sebuah dinding. Kedua kakak beradik itu hanya menderita cedera-
cedera ringan, tetapi tidak lama setelah itu Gonzalo mulai mengalami pendarahan. Ia
meninggal dua hari kemudian pada usia 20 tahun.

Sementara itu, Alfonsito dikirim ke sebuah klinik di Swiss begitu keluarganya


diasingkan dari Spanyol. Terbukti bahwa tidak mungkin menahannya di tempat itu dan
terlepas dari segala resiko, ia mencoba pergi untuk menjalani kehidupan normal. Pada tahun
1933, Alfonsito yang saat itu berusia 26 tahun jatuh cinta kepada sesama pasien di klinik
tersebut dan, meskipun tidak disetujui oleh sang ayah, ia bersikeras untuk menikahi wanita
itu. Sepuluh hari sebelum pernikahan pada bulan Juni 1933, Alfonsito dipaksa untuk
melepaskan hak-haknya dari takhta Spanyol. Istri Alfonsito, seorang gadis Kuba yang
bernama Edelmira Sampedro-Ocejo y Robato, tidak dianggap sebagai istri yang layak untuk
seorang pangeran muda yang ayahnya masih berharap dapat merebut kembali mahkotanya.

Pasangan yang baru menikah itu pergi ke Amerika Serikat, tempat di mana Alfonsito
berencana untuk menikmati keinginan yang didambakan sepanjang hidupnya terhadap
pertanian. Sebaliknya, ia menikmati sepenuhnya selera keluarga kerajaan Spanyol dalam hal
kekacauan dan menjelang tahun 1937, perkawinannya pun bubar. Pada tahun yang sama,
Alfonsito menikah lagi dengan gadis Kuba lainnya, tetapi perkawinan itu hanya berumur 6
bulan.

Dengan semua keputusasaan seorang pemuda yang ingin memenuhi hidupnya dengan
pengalaman sebelum waktunya habis, Alfonsito melakukan serangkaian hubungan asmara
yang akhirnya mempertemukannya dengan Mildred Gaydon, hostes sebuah klub malam
Miami. Sekali lagi, pikiran Alfonsito mengarah pada perkawinan; tetapi, satu malam pada
September 1938, ketika ia sedang mengemudi untuk pulang bersama Mildred, mobil yang ia
kemudikan mengalami kecelakaan. Setelah dibawa ke rumah sakit, Alfonsito mengalami
pendarahan selama beberapa hari sebelum akhirnya meninggal dunia. Usianya 31 tahun.

Secercah Harapan

Kisah kehidupan-kehidupan yang hancur dan harapan-harapan dalam keluarga kerajaan


Spanyol yang tercemar penyakit hemofilia tidak pernah memiliki akhir yang bahagia. Namun
setidaknya, lilitan gurita itu tidak mencapai sejauh yang ditakutkan Raja Alfonso. Selama
bertahun-tahun, ia merasa berkewajiban untuk memperingatkan para pelamar yang tertarik
kepada putri-putrinya, Beatrice dan Maria Christina, bahwa anak-anaknya itu kemungkinan
dapat membawa gen penyakit mematikan itu. Tidak mengherankan bahwa banyak yang
mundur akibat peringatan itu karena cerita-cerita tentang para saudara laki-laki mereka yang
menderita penyakit ini merupakan cerita umum yang diketahui orang.

Beatrice dan Maria Christina yang sama-sama menarik dan memiliki selera mode yang
baik dan cukup populer di lingkungan masyarakat Eropa, dibuat merasa seperti orang yang
disingkirkan, dikutuk menjadi perawan tua yang merugikan meskipun bukan karena
kesalahan mereka. Meskipun demikian, pada waktunya, Raja Alfonso melunak dan meskipun
sudah terlambat untuk putri raja, kedua bersaudara itu diizinkan untuk menikah. Pada tahun
1935, ketika berusia 26 tahun, Beatrice menikah dengan Pangeran Alexander Torlonioa of
Civitella-Cesi. Maria Christina, 27 tahun, menikah dengan Enrico Marone-Cinzano, anggota
perusahaan minuman anggur yang terkenal, menjadi istri keduanya setelah pernikahan
sebelumnya berakhir. Demi menghormati Maria Christina, pada tahun 1940 Enrico diangkat
menjadi Count Marone dan putri Spanyol itu menjadi Countess Marone yang pertama. Kedua
gadis ini memiliki anak-anak, tetapi tidak satupun mewarisi penyakit hemofilia. Begitu pula
cucu-cucu Raja Alfonso dan Ratu Ena lainnya.

Meskipun demikian, penyakit hemofilia telah membuat ketakutan yang


menghancurkan. Penyakit ini diderita, secara keseluruhan, oleh sekitar 16 orang keturunan
Ratu Victoria dalam tiga generasi, menghancurkan dua keluarga kerajaan, mempersingkat
hidup sejumlah orang, membuat merana hidup sejumlah lainnya, dan mungkin yang paling
keji dari semuanya, menciptakan iklim ketakutan yang melanda keluarga-keluarga kerajaan
yang tidak tahu dan tidak pernah dapat mengetahui di mana penyakit mengerikan itu akan
menyerang kembali.

Referensi:
Lewis, Brenda Ralph. 2015. Sejarah Gelap Raja dan Ratu Eropa. Jakarta: Elex Media
Komputindo
Referensi Gambar:
wikipedia.org
pinterest.com
Children of Leopold, Duke of Albany thekingsandqueens.com

You might also like