Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kejadian anemia aplastik pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada
seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan
gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien
tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904,
Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya
definisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan
pendapat bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada
tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia,
hipoplasia berat atau aplasia sumsum tulang, tanpa adanya suatu penyakit primer yang
menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang.
1
1.2. Tujuan Penilisan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan sumsum
tulang dengan penurunan sel sel hematopoietik dan penggantiannya oleh lemak,
menyebabkan pansitopenia, dan sering disertai dengan granulositopenia dan trombositopenia.
Terjadinya anemia aplastik dapat dikarenakan faktor herediter (genetik), faktor sekunder oleh
berbagai sebab seperti toksisitas, radiasi atau reaksi imunologik pada sel sel induk sumsum
tulang, berhubungan dengan beragam penyakit penyerta, atau faktor idiopatik.
Pansitopenia merupakan suatu keadaan dimana terjadi defisiensi pada semua elemen
sel darah, yakni erythropenia, leukopenia, dan thrombocytopenia. Individu dengan anemia
aplastik mengalami pansitopenia. Penyebab terjadinya pansitopenia dikarenakan :
Menurunnya produksi sumsum tulang akibat aplasia; leukemia akut;
mielodisplasia; mieloma; infiltrasi oleh limfoma, tumor padat, tuberkulosis;
anemia megaloblastik; hemoglobinuria paroksismal nokturnal; mielofibrosis
(kasus yang jarang); sindrom hemofagositik.
Meningkatnya destruksi perifer dengan ditemukannya splenomegali.
2.2. Etiologi
Secara etiologik penyakit anemia aplastik ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
1. Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan merupakan faktor
kongenital yang ditimbulkan sindrom kegagalan sumsum tulang herediter antara lain :
sindroma Fanconi (anemia Fanconi) yang biasanya disertai dengan kelainan bawaan
lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, dan kelainan ginjal; diskeratosis
kongenital; sindrom Shwachman-Diamond; dan trombositopenia amegakaryositik.
Kelainan kelainan ini sangat jarang ditemukan dan juga jarang berespons terhadap
terapi imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter biasanya muncul pada usia
sepuluh tahun pertama dan kerap disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan
lengan, hipogonadisme, bintik-bintik caf-au-lait pada anemia Fanconi (sindroma
Fanconi). Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat keluarga dengan sitopenia.
3
Dalam kelompok ini, anemia Fanconi (sindroma Fanconi) adalah penyakit yang
paling sering ditemukan. Anemia Fanconi (sindroma Fanconi) merupakan kelainan
autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada DNA repair dan memiliki
predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Pada pasien anemia Fanconi
(sindroma Fanconi) akan ditemukan gangguan resesif langka dengan prognosis buruk
yang ditandai dengan pansitopenia, hipoplasia sumsum tulang, dan perubahan warna
kulit yang berbercak bercak coklat akibat deposisi melanin (bintik bintik caf-au-
lait). Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan
secara klasik yang muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku, dan
leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan manifestasi klinik yang
beragam. Terdapat bentuk bentuk X-linked recessive, autosomal dominan, dan
autosomal resesif. Bentuk X-linked recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen
DKC1, yang menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk stabilisasi
telomerase. Gangguan telomerase menyebabkan terjadinya pemendekan telomer lebih
cepat, kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging). Diskeratosis
kongenital autosomal dominan disebabkan oleh mutasi gen TERC (yang menyandi
komponen RNA telomerase) yang pada akhirnya mengganggu aktivitas telomerase
dan pemendekan telomer abnormal. Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yang
dicurigai menderita anemia aplastik memiliki mutasi TERC.
Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan yang ditandai oleh
trombositopenia berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat lahir. Sebagian besar
pasien mengalami missense atau nonsense mutations pada gen C-MPL. Banyak
diantara penderita trombositopenia amegakaryositik diwariskan mengalami kegagalan
sumsum tulang multilineage.
Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif yang ditandai
dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan sumsum
tulang. Seperti pada anemia Fanconi (sindroma Fanconi), penderita sindrom
Shwachman-Diamond juga mengalami peningkatan resiko terjadinya myelodisplasia
atau leukemia pada usia dini. Belum ditemukan lesi genetik yang dianggap menjadi
penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7 telah dikaitkan dengan
penyakit ini.
4
- Penggunaan obat, anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau
penggunaan dosis obat yang berlebihan. Obat yang paling banyak menyebabkan
anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat obatan lain yang juga sering
dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, anti-rematik, anti-tiroid, preparat
emas dan antikonvulsan, obat obatan sitotoksik seperti mileran atau nitrosourea.
- Senyawa kimia berupa benzene yang paling terkenal dapat menyebabkan anemia
aplastik. Dan juga insektisida (organofosfat).
- Penyakit infeksi yang bisa menyebabkan anemia aplastik sementara atau
permanen, yakni virus Epstein-Barr, virus Haemophillus influenza A, tuberkulosis
milier, Cytomegalovirus (CMV) yang dapat menekan produksi sel sumsum tulang
melalui gangguan pada sel sel stroma sumsum tulang, Human
Immunodeficiency virus (HIV) yang berkembang menjadi Acquired Immuno-
Deficiency Syndrome (AIDS), virus hepatitis non-A, non-B dan non-C, infeksi
parvovirus.
Infeksi parvovirus B19 dapat menimbulkan Transient Aplastic Crisis. Keadaan ini
biasanya ditemukan pada pasien dengan kelainan hemolitik yang disebabkan oleh
berbagai hal. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron akan ditemukan virus
dalam eritroblas dan dengan pemeriksaan serologi akan dijumpai antibodi virus
ini. DNA parvovirus dapat mempengaruhi progenitor eritroid dengan mengganggu
replikasi dan pematangannya.
- Terapi radiasi dengan radioaktif dan pemakaian sinar Rontgen.
- Faktor iatrogenik akibat transfusion associated graft-versus-host disease.
Jika pada seorang pasien tidak diketahui penyebab anemia aplastiknya, maka pasien
tersebut akan digolongkan ke dalam kelompok anemia aplastik idiopatik.
2.3. Klasifikasi
5
Klasifikasi Kriteria
Anemia Aplastik Berat
Selularitas sumsum tulang < 25%
Sitopenia sedikitnya dua dari tiga Hitung neutrofil < 500/l
seri sel darah Hitung trombosit < 20.000/l
Hitung retikulosit absolut
< 60.000/l
Anemia Aplastik Sangat Berat Sama seperti diatas kecuali hitung
neutrofil < 200/l
Anemia Aplastik Tidak Berat Sumsum tulang hiposelular namun
sitopenia tidak memenuhi kriteria berat
2.4. Epidemiologi
Ditemukan lebih dari 70% anak anak menderita anemia aplastik derajat berat pada
saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara anak laki laki dan
perempuan, namun dalam beberapa penelitian tampak insidens pada anak laki laki lebih
banyak dibandingkan anak perempuan. Penyakit ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai
di negara barat dengan insiden 1 3 / 1 juta / tahun. Namun di Negara Timur seperti
Thailand, negara Asia lainnya termasuk Indonesia, Taiwan dan Cina, insidensnya jauh lebih
tinggi. Penelitian pada tahun 1991 di Bangkok didapatkan insidens 3.7/1 juta/tahun.
Perbedaan insiden ini diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian
obat obat yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida serta insidens virus hepatitis
yang lebih tinggi.
Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh percobaan in
vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni
hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik
memerantarai destruksi sel sel asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel sel T efektor
tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik.
Sel sel tersebut menghasilkan interferon- dan TNF- yang merupakan inhibitor
6
langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel sel CD34 +. Klon sel sel
imortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi sitokin T-
helper-1 (Th1) yang bersifat toksik langsung ke sel sel CD34+ positif autologus.
Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh percobaan in
vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni
hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik
memerantarai destruksi sel sel asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel sel T efektor
tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik.
Sel sel tersebut menghasilkan interferon- dan TNF- yang merupakan inhibitor
langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel sel CD34 +. Klon sel sel
imortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi sitokin T-
helper-1 (Th1) yang bersifat toksik langsung ke sel sel CD34+ positif autologus.
Kegagalan Hematopoietik
Kegagalan produksi sel darah berkaitan erat dengan kosongnya sumsum tulang yang
tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen core biopsy
sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic resonance imaging (MRI) vertebra
memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata. Secara
kuantitatif, sel sel hematopoietik yang imatur dapat dihitung dengan flow cytometry. Sel
sel tersebut mengekspresikan protein cytoadhesive yang disebut CD34+. Pada pemeriksaan
flow cytometry, antigen sel CD34+ dideteksi secara fluoresens satu per satu, sehingga jumlah
sel sel CD34+ dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia aplastik, sel sel CD34 + juga
hampir tidak ada yang berarti bahwa sel sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan
megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain untuk sel sel hematopoietik yang
sangat primitif dan tenang (quiescent) yang sangat mirip jika tidak dapat dikatakan identik
dengan sel sel asal, juga memperlihatkan adanya penurunan jumlah sel. Pasien yang
mengalami pansitopenia mungkin telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk
sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat ini mempunyai konsekuensi kualitatif yang
dicerminkan oleh pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia aplastik.
Destruksi Imun
Banyak data pemeriksaan laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa pada pasien
anemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi kompartemen sel
7
hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa limfosit pasien menekan
hematopoiesis. Sel sel ini memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui adalah
interferon-. Adanya aktivasi respons sel T-helper-1 (Th1) disimpulkan dari sifat
imunofenotipik sel T dan produksi interferon, tumor necrosis factor (TNF), dan interleukin-2
(IL2) yang berlebihan. Deteksi interferon- intraselular pada sampel pasien secara flow
cytometry mungkin berkorelasi dengan respons terapi imunosupresif dan dapat memprediksi
relaps.
Pada anemia aplastik, sel sel CD34+ dan sel sel induk (progenitor) hemopoietik
sangat sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid dan
megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini, defisiensi imunologik tidak lazim terjadi.
Hitung limfosit umumnya normal pada hampir semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan
sel T. Dan pemulihan hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif
yang efektif. Oleh karena itu, sel sel asal hemopoietik akan tampak masih ada pada
sebagian pasien anemia aplastik.
8
Gambar 1 Destruksi Imun Pada Sel Hematopoietik
Aplasia sistem eritropoitik dalam darah tepi akan terlihat sebagai retikulositopenia
yang disertai dengan merendahnya kadar hemoglobin, hematokrit dan hitung eritrosit serta
MCV (Mean Corpuscular Volume). Secara klinis pasien tampak pucat dengan berbagai gejala
anemia lainnya seperti anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal jantung dan
sebagainya. Oleh karena sifatnya aplasia sistem hematopoitik, maka umumnya tidak
ditemukan ikterus, pembesaran limpa (splenomegali), hepar (hepatomegali) maupun kelenjar
getah bening (limfadenopati).
Pada hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi dan pada
hasil penelitian Salonder tahun 1983 ditemukan pucat pada semua pasien yang diteliti
sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hematomegali
yang disebabkan oleh bermacam macam hal ditemukan pada sebagian kecil pasien
9
sedangkan splenomegali tidak ditemukan. Adanya splenomegali dan limfadenopati akan
meragukan diagnosis anemia aplastik.
2.7.1.Pemeriksaan Laboratorium
Presentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus,
persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap
beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka diperoleh persentase retikulosit normal
atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia
aplastik.
10
Gambar 2 Apusan Darah Tepi Anemia Aplastik
Laju Endap Darah
Hasil pemeriksaan laju endap darah pada pasien anemia aplastik selalu
meningkat. Pada penelitian yang dilakukan di laboratorium RSUPN Cipto
Mangunkusumo ditemukan 62 dari 70 kasus anemia aplastik (89%) mempunyai
nilai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam satu jam pertama.
Faal Hemostasis
Pada pasien anemia aplastik akan ditemukan waktu perdarahan memanjang
dan retraksi bekuan yang buruk dikarenakan trombositopenia. Hasil faal
hemostasis lainnya normal.
Biopsi Sumsum Tulang
Seringkali pada pasien anemia aplasti dilakukan tindakan aspirasi sumsum tulang berulang
dikarenakan teraspirasinya sarang sarang hemopoiesis hiperaktif. Diharuskan melakukan
biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Dari hasil pemeriksaan
sumsum tulang ini akan didapatkan kesesuaian dengan kriteria diagnosis anemia aplastik.
11
Gambar 3 Sumsum Tulang Normal dan Aplastik
Pemeriksaan Virologi
Adanya kemungkinan anemia aplastik akibat faktor didapat, maka
pemeriksaan virologi perlu dilakukan untuk menemukan penyebabnya. Evaluasi
diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus hepatitis, HIV, parvovirus,
dan sitomegalovirus.
Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Jenis tes ini perlu dilakukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab
terjadinya anemia aplastik.
Pemeriksaan Kromosom
Pada pasien anemia aplastik tidak ditemukan kelainan kromosom.
Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) dan
imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis
banding, seperti myelodisplasia hiposeluler.
Pemeriksaan Defisiensi Imun
Adanya defisiensi imun dalam tubuh pasien anemia aplastik dapat diketahui
melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T.
Pemeriksaan yang Lain
Pemeriksaan darah tambahan berupa pemeriksaan kadar hemoglobin fetus
(HbF) dan kadar eritropoetin yang cenderung meningkat pada anemia aplastik
anak.
12
Jenis pemeriksaan penunjang ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui
luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah
sumsum tulang berlemak akibat anemia aplastik dan sumsum tulang selular
normal.
Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah
disuntuk dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada
makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferin.
Dengan bantuan pemindaian sumsum tulang dapat ditentukan daerah hemopoiesis
aktif untuk memperoleh sel sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel
sel induk.
2.8. Diagnosis
Anemia aplastik dapat muncul tiba tiba dalam hitungan hari atau secara perlahan
(berminggu minggu hingga berbulan bulan). Hitung jenis darah akan menentukan
manifestasi klinis. Anemia menyebabkan kelelahan, dispnea dan jantung berdebar debar.
Trombositopenia menyebabkan pasien mudah mengalami memar dan perdarahan mukosa.
Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit
kepala dan demam.
13
Adanya riwayat keluarga sitopenia dapat meningkatkan kecurigaan adanya kelainan
diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik yang tampak.
14
hematopoietik. Biasanya setelah beberapa bulan kemudian baru terlihat gambarankhas
LLA.
2.9. Penatalaksanaan
Terapi Suportif
Adanya terapi suportif bertujuan untuk mencegah dan mengobati terjadinya infeksi
dan perdarahan. Terapi suportif yang diberikan untuk pasien anemia aplastik, antara lain:
15
Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian infeksi masih
tinggi.Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk menentukan
prognosa Riwayat alamiah penderita anemia aplastik dapat berupa:
1. Berakhir dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali jika dikarenakan
faktor iatrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna biasanya terjadi
segera.
2. Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus.
3. Dapat bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Kondisi penderita anemia aplastik
dapat membaik dan bertahan hidup lama, namun masih ditemukan pada kebanyakan
kasus mengalami remisi tidak sempurna.
Remisi anemia aplastik biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan (dengan
oksimetolon setelah 2-3 bulan), mula mula terlihat perbaikan pada sistem eritropoitik,
kemudian sistem granulopoitik dan terakhir sistem trombopoitik. Kadang kadang remisi
terlihat pada sistem granulopoitik lebih dahulu lalu disusul oleh sistem eritropoitik dan
trombopoitik. Untuk melihat adanya remisi hendaknya diperhatikan jumlah retikulosit,
granulosit/leukosit dengan hitung jenisnya dan jumlah trombosit. Pemeriksaan sumsum
tulang sebulan sekali merupakan indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila
remisi parsial telah tercapai, yaitu timbulnya aktivitas eritropoitik dan granulopoitik, bahaya
perdarahan yang fatal masih tetap ada, karena perbaikan sistem trombopoitik terjadi paling
akhir. Sebaiknya pasien dibolehkan pulang dari rumah sakit setelah hitung trombosit
mencapai 50.000 100.000/mm3.
Prognosis buruk dari penyakit anemia aplastik ini dapat berakibat pada kematian yang
seringkali disebabkan oleh keadaan penyerta berupa:
1. Infeksi, biasanya oleh bronchopneumonia atau sepsis. Harus waspada terhadap
tuberkulosis akibat pemberian kortikosteroid (prednison) jangka panjang.
2. Timbulnya keganasan sekunder akibat penggunaan imunosupresif. Pada sebuah
penelitian yang dilakukan di luar negeri, dari 103 pasien yang diobati dengan ALG,
20 penderita yang diterapi jangka panjang, berubah menjadi leukemia akut,
mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma. Kejadian ini mungkin
merupakan riwayat alamiah penyakit anemia aplastik, namun komplikasi ini jarang
ditemukan pada penderita yang telah menjalani transplantasi sumsum tulang.
3. Perdarahan otak atau abdomen, yang dikarenakan kondisi trombositopenia.
16
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn A
Umur : 88 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
17
Keluhan Utama
- Badan terasa lemas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mudah
merasa lelah,lemas,dan badan lesu saat melakukan aktivitas seperti biasa.
- Pasien juga tampak pucat selama 1 bulan yang lalu.
- Pasien sakit perut sejak 1 bulan yang lalu, sakit perut dirasakan hilang timbul
- Pasien merasa pusing sejak 4 hari yang lalu, pusing dirasakan ketika pasien
beraktivitas, dan hilang jika dibawa istirahat .
- Pasien mengaku nafsu makan berkurang sejak 1bulan ini, dan berat badan pasien
menurun namun pasien tidak tahu berapa turun berat badannya.
- Pasien juga demam ketika melakukan transfusi trombosit, demamnya hanya
sebentar dan tidak menggigil.
- Pasien juga mengeluhkan badan sering berkeringat, pasien berkeringat ketika siap
demam.
- Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 4 hari yang lalu, batu dirasakan tidak
berdahak dan tidak berdarah.
- pasien sesak nafas 2 hari yang lalu, sesak nafas dirasakan hilang-hilang timbul
- Pasien mengatakan pernah BAB keras dan berwarna hitam sejak 1 minggu yang
lalu.
o Riwayat DM disangkal
18
o Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit yang sama seperti pasien.
Status Generalisata
Status Antropometri :
Berat badan : 58 kg
Hidung : Bentuk dan ukuran dalam batas normal, sekret tidak ada
19
Supra/infraclavikula kiri dan kanan.
Jantung
Midclavicularis sinistra.
Perkusi
Paru-paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
rhonki kering(-)
Abdomen
Inspeksi : Asites(-)
Perkusi : Timpani
20
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Superior
Refleks fisiologis
Kanan kiri
Refleks biseps + +
Refleks triseps + +
Refleks brachioradialis + +
Refleks Patologis
Kanan Kiri
Refleks Hoffman-Tremor - -
Inferior
21
Tes sensibilitas : sensibilitas halus normal dan sensibilitas kasar normal.
Refleks fisiologis
Kanan Kiri
Refleks Patella + +
Refleks Cremaster + +
Reflkes Achilles + +
Refleks Patologis
Kanan Kiri
Refleks bebinski - -
Refleks Gordon - -
Refleks oppeinheim - -
Refleks chaddoks - -
- Hematokrit : 35,4 %
- Leukosit : 25.040/mm3
- Trombosit : 76.000/mm3
- Eritrosit : 3.000.000/mm3
- MCV : 83,5 fL
- MCH : 27,8 pg
22
b. EKG: Irama sinus
4. Myelodisplasia hiposelular
1. Darah Lengkap
2. Darah tepi
3.6 Penatalaksaan
1 Nonfarmakologi
a. Istirahat
2. Farmakologi
a. IVFD RL 8jam/kolf
b. Cefotaxin 1x2 gr (Skin test)
23
c. Paracetamol 3x500 mg (PO)
d. Vitamin B complek 2x1 mg (PO)
e. Transfusi PRC 1 unit /hari
f. Transfusi trombosit 10 unit /hari
3.8 Prognosis
24
Follow up
Laporan Kasus| 25
meningkat dan trombosit
turun.
KU:Sakit sedang - Pansitopeni ec Anemia NON Farmakologi
- Istirahat
sabtu/14-5-2016 - badan terasa lemas KES: CMC Aplastik
- Diet Makanan Biasa TKTP 1820
-Demam (-) TD:100/70 mmHg
Kkal
-BAB (+) normal ND: 76x/menit, reguler
-BAK (+) normal NF: 18x/menit
Farmakologi
o
S: 36,2 C - IVFD RL 8jam/kolf
- Cefotaxin 1x2 gr (Skin test)
- Paracetamol 3x500 mg (PO)
- Vitamin B complek 2x1 mg (PO)
- Transfusi trombosit 10 unit /hari
Laporan Kasus| 26
senin/16-5-2016 - Demam (+) KU: Sedang - Pansitopeni ec Anemia NON Farmakologi
- Istirahat
- Batuk (+) kering KES: CMC Aplastik
- Diet Makanan Biasa TKTP 1820
- dada sakit TD: 90/60 mmHg
Kkal
- BAB (+) Normal ND: 78x/menit, reguler
- BAK (+) normal NF: 23/menit
Farmakologi
S: 37,8oC - IVFD RL 8jam/kolf
- Cefotaxin 1x2 gr (Skin test)
- Paracetamol 3x500 mg (PO)
- Vitamin B complek 2x1 mg (PO)
Laporan Kasus| 27
Selasa/17-5- - Demam (+) KU: Sedang - Pansitopeni ec Anemia NON Farmakologi
- Istirahat
2016 - dada sakit KES: CMC Aplastik
- Diet Makanan Biasa TKTP 1820
- batuk (+) TD: 120/70 mmHg
Kkal
- Sesak nafas ND: 78x/menit, reguler
- Badan letih NF: 18/menit
Farmakologi
o
- BAB (+) Normal S: 37,6 C - IVFD RL 8jam/kolf
- Cefotaxin 1x2 gr (Skin test)
- BAK (+) normal
- Paracetamol 3x500 mg (PO)
- Vitamin B complek 2x1 mg (PO)
- Transfusi trombosit 10 unit /hari
Laporan Kasus| 28
Rabu/18-5-2016 - Demam (+) KU: Sedang - Pansitopeni ec Anemia NON Farmakologi
- Istirahat
- Batuk (+) berdahak KES: CMC Aplastik
- Diet Makanan Biasa TKTP 1820
- sesak nafas TD: 120/60 mmHg
Kkal
- BAB (+) Normal ND: 95x/menit, reguler
- BAK (+) normal NF: 25/menit
Farmakologi
o
S: 38,5 C - IVFD RL 8jam/kolf
- Cefotaxin 1x2 gr (Skin test)
- Paracetamol 3x500 mg (PO)
- Vitamin B complek 2x1 mg (PO)
- Transfusi trombosit 10 unit /hari
Laporan Kasus| 29
BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki umur 83 tahun masuk bangsal penyakit
dalam dirawat di bangsal penyakit dalam pria Rumah Sakit Umum Daerah Solok sejak
tanggal 12 Mei 2016 dengan diagnosis Pansitopeni ec Anemia Aplastik. Diagnosis ditegakkan
berdasakan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan keluhan Badan terasa lemah sejak 1 bulan sebelum masuk
RS,pasien juga tampak pucat sudah 1 bulan SMRS. Pasien datang ke IGD RSUD solok
diantar keluarga dengan keluhan badan terasa lemas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Badan terasa lemas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mudah merasa
lelah,lemas,dan badan lesu saat melakukan aktivitas seperti biasa.Pasien juga tampak pucat
selama 1 bulan yang lalu.Pasien sakit perut sejak 1 bulan yang lalu, sakit perut dirasakan
hilang timbul.Pasien merasa pusing sejak 4 hari yang lalu, pusing dirasakan ketika pasien
beraktivitas, dan hilang jika dibawa istirahat.Pasien mengaku nafsu makan berkurang sejak
1bulan ini, dan berat badan pasien menurun namun pasien tidak tahu berapa turun berat
badannya.Pasien juga demam ketika melakukan transfusi trombosit, demamnya hanya
sebentar dan tidak menggigil.Pasien juga mengeluhkan badan sering berkeringat, pasien
berkeringat ketika siap demam. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 4 hari yang lalu, batu
dirasakan tidak berdahak dan tidak berdarah. pasien sesak nafas 2 hari yang lalu, sesak nafas
dirasakan hilang-hilang timbulPasien mengatakan pernah BAB keras dan berwarna hitam
sejak 1 minggu yang lalu. BAK seperti biasa,berwarna kuning dan tidak berdarah.Hidung
berdarah tidak ada.Gusi berdarah tidak ada.Mual tidak ada, muntah tidak ada.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran kompos mentis
kooperatif, Tekan Darah: 140/70,Frekuensi Nadi: 82 x/menit regular,Frekuensi Nafas: 23
x/menit.Suhu: 37,1oC.Dari inspeksi mata ditemukan konjungtiva yang anemis. Hal ini
menunjukkan pasien menderita anemia.
Dari pemeriksaan laboratorium darah waktu awal masuk didapatkan Hemoglobin: 11,8
g/dl, Hematokrit: 35,4 %, Leukosit : 25.040/mm3, Trombosit: 76. 000/mm3.MCV: 83,5
fL,MCH: 27,8 pg.MCHC: 27,8 g/dl, Eritrosit: 3.000.000/mm3 . Hasil pemeriksaan ini
memenuhi kriteria diagnosa pansitopenia e.c anemia aplastik.
Laporan Kasus| 30
Pasien transfusi trombosit 10 unit/hari hingga trombosit > 150.000/mm 3, dipasang infus
RL 8 jam/kolv kemudian diberikan Ceftriaxone 1x2 mg,Paracetamol 3x500 mg, ,Vit B
complex 2x1.Pasien diistirhatkan Pasien diberikan diet MB TKTP 1820 Kkal. Dengan
pemeriksaan anjuran Darah Lengkap,Darah tepi ,Biopsi Sumsum Tulang,FISH (Fluorescence
In Situ Hybridation), dan Tes Fungsi Hati dengan prognosisQuo ad vitam: dubia ad
malam,Quo ad sanantionam: dubia ad malam,Quo ad fungsionam: dubia ad malam
Laporan Kasus| 31
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Pangestu. Pengelolaan Saluran Cerna Bagian Atas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Aru W Sudoyo (Editor). Balai Penerbit UI. Jakarta, 2010
Bakta, I Made dkk. Anemia Defisiensi Besi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru W
Sudoyo (Editor). Balai Penerbit UI. Jakarta, 2010
Supandiman, Iman. Anemia pada Penyakit Kronis. dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Aru W Sudoyo (Editor). Balai Penerbit UI. Jakarta, 2010
Tjokroprawiro, Asnandar, dkk. Buku Ajar Penyakit Dalam . Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Airlangga University Press. 2007.
Laporan Kasus| 32