You are on page 1of 17

Terapi Demam Tifoid pada Anak : Perbandingan efektivitas antara

Ciprofloxacin dengan Ceftriaxone

Dr. Amna Naveed


Pediatrics Specialist, Fellow College Of Physicians And Surgeons Pakistan
Dr. Zeeshan Ahmad
Frontier Medical College, Pakistan

ABSTRAK

Objektif : Untuk membandingkan efektivitas ciprofloxacin dengan

ceftriaxone dalam meredakan demam pada anak dalam waktu 96 jam.

Desain Penelitian : Randomized controlled design study

Tempat dan lama penelitian : Department of pediatrics, Holy Family Hospital,

Rawalpindi dari bulan Maret 2010 sampai September 2010.

Metode Penelitian : 88 anak yang memenuhi kriteria klinis demam tifoid diikut

sertakan dalam penelitian ini. Mereka dibagi menjadi dua yaitu yang berada

didalam rumah sakit dan yang diluar rumah sakit. Sebanyak 44 pasien diterapi

dengan ciprofloxacin injeksi, sedangkan 44 anak lainnya diterapi dengan

ceftriaxone injeksi.

Hasil : Penelitian ini melibatkan 88 pasien dengan demam dan dicurigai suspek

demam tifoid. Rata-rata usia partisipan yaitu 83.51.94 tahun dan sebanyak 41

(46.6%) anak berkelamin laki-laki. Rata-rata berat badan anak adalah 24.76.3 kg.

Hanya 15 (17%) anak yang mengkonsumsi air minum rebusan secara rutin. Total

sebanyak 68 (77.3%) anak menjadi tidak demam lagi dalam waktu 96 jam dan 20
(22.7%) tidak sembuh dari demam dalam waktu 96 jam. Pada grup ciprofloxacin,

sebanyak 25 (56.8%) pasien mereda demamnya dalam waktu 96 jam dan

sebanyak 19 (43.1%) gagal mereda demamnya dalam waktu 96 jam. Pada grup

ceftriaxone, sebanyak 43 (97.7%) pasien mereda demamnya dalam waktu 96 jam

dan 1 (2.3%) pasien tidak mereda demamnya dalam waktu 96 jam. Proporsi

pasien yang menjadi tidak demam lagi dalam waktu 96 jam signifikan tinggi pada

grup ceftriaxone dibandingkan dengan grup ciprofloxacin, p=0.00.

Kesimpulan : Ceftriaxone lebih efektif pada anak dengan demam tifoid dengan

proporsi dalam meredakan demam pada anak dalam waktu 96 jam yang besar.

Kata Kunci : Demam Tifoid, Ceftriaxon, Efektivitas Obat


PENDAHULUAN

Demam tifoid, penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Salmonella

thypoid, telah menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang signifikan

sejak jaman dahulu. Salmonella adalah basil gram negatif penting yang

menyebabkan spektrum sindrom klinis yang khas termasuk gastroenteritis,

demam enterik, bakteremia, infeksi endovaskular, dan infeksi fokal seperti

osteomyelitis atau abses. Demam enterik, disebut juga dengan demam tifoid atau

demam paratifoid, adalah penyakit demam sistemik yang paling sering disebabkan

oleh Salmonella typhi. Pada beberapa kasus, penyakit ini disebabkan pula oleh

S.paratyphi A, S. typhi B, dan S. paratyphi C. Bahkan "nontyphoidal" Salmonella

dapat menyebabkan penyakit parah yang konsisten dengan demam enterik.

Komplikasi lebih sering terjadi pada individu yang tidak diobati, termasuk

didalamnya perdarahan usus dan perforasi, atau infeksi fokal seperti abses

visceral. Di era preantibiotik, sekitar 15 persen penderita meninggal dunia, dengan

korban mengalami sakit yang berkepanjangan berminggu-minggu dan kelemahan

yang berlangsung dalam waktu berbulan-bulan. Selanjutnya, sekitar 10 persen

penderita yang tidak diobati mengalami kekambuhan, sedangkan 1 sampai 4

persen menjadi karier kronis organisme ini.

Pakistan memiliki tingkat kejadian demam tifoid tertinggi ketiga yang

terjadi di masyarakat di seluruh dunia. Demam tifoid adalah presentasi umum

klinis pada pediatrik. Di dunia barat, penyakit ini hampir mencapai tingkat

eradikasi. Namun, secara global, setidaknya ada 13-17 juta kasus yang

mengakibatkan 600.000 kematian. Demam tifoid merupakan penyebab kematian


paling umum ke-4 di Pakistan. Hal ini ditularkan secara feco-oral, dan akibat

kontaminasi makanan dan air. World Health Organization mengidentifikasi tifoid

sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius. Insiden tertinggi didapatkan

pada anak-anak dan dewasa muda berusia antara 5-19 tahun. WHO menunjukkan

bahwa kejadian demam tifoid pada anak-anak Pakistan berusia 2-5 tahun adalah

573,2 per 100.000 orang per tahun. Insiden serupa juga didapatkan pada anak-

anak usia sekolah dan remaja. Beban tertinggi penyakit ini didapatkan pada anak-

anak berusia 2-15 tahun. Oleh karena itu, S. typhi merupakan penyebab tersering

bakteremia dalam kelompok usia ini, dan tingkat tifoid tahunan tersering

(dikonfirmasi dengan kultur darah) dalam studi terbaru dari India, Pakistan, dan

Indonesia berada pada kisaran 149 sampai 573 kasus per 100.000 anak. Diagnosis

definitif demam tifoid dibuat hanya dengan isolasi Salmonella typhi dari darah,

feses, urin, sumsum tulang dan lain-lain, dan berdasarkan tanda klinis yang khas.

Rasio kasus kematian adalah 10% pada kasus yang tidak diobati, dan kurang dari

1% dengan penggunaan antibiotik.

Fluroquinolone seperti Ciprofloxacin, direkomendasikan sebagai terapi

lini pertama untuk anak-anak dan orang dewasa yang terinfeksi dengan sensivitas

yang sama pada kasus multidrug resistant, S. typhi dan paratyphi. Generasi ketiga

sefalosporin seperti Ceftriaxone, juga berguna tetapi penggunaannya dicadangkan

untuk kasus-kasus multidrug resistant yang rumit (resisten terhadap

kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol) yang secara bertahap meningkat dari

34% pada tahun 1999 menjadi 66% pada tahun 2005. Dalam studi prospektif di

India Utara, ada peningkatan secara bertahap terhadap resistensi fluoroquinolones


selama 7 tahun terakhir. Tidak ada resistensi terhadap fluoroquinolones yang

terpantau pada tahun 1999, sedangkan pada tahun 2005, terpantau 4,4% resistensi

Sparfloxacin, 8,8% resisten terhadap ofloksasin, dan resistensi yang tinggi, 13%,

untuk ciprofloxacin. Perlu diingat, kejadian resistensi obat dimasyarakat, dapat

dipertanyakan apakah salah satu dari obat ini memiliki perbedaan keberhasilan

dalam hal sensitivitas dan pola resistensi serta kekambuhan. Selain itu, kami

berencana melakukan penelitian untuk mengetahui respon klinis pada anak

dengan demam tifoid yang diobati dengan ciprofloxacin vs ceftriaxone. Dengan

demikian, hasil penelitian ini akan memungkinkan dokter anak untuk memilih

terapi lini pertama untuk pengobatan demam enterik dengan cara yang sama.

Dengan cara ini, manajementerapi yang tepat waktu terhadap anak-anak ini akan

mengurangi morbiditas secara spesifik dan juga mengurangi beban klinis rumah

sakit pada umumnya.

METODE

Penelitian dilakukan di Departemen Anak, Rumah Sakit Holy Family,

Rawalpindi. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari 25 Maret 2010

sampai 24 September 2010. Sebanyak 88 pasien dengan diagnosis klinis demam

tifoid dilibatkan dalam penelitian tersebut. 44 pasien diobati dengan ciprofloxacin

(kelompok Ciprofloxacin), sedangkan 44 diobati dengan ceftriaxone (kelompok

Ceftriaxone).
Teknik Consecutive (non-probability) Sampling

Anak-anak berusia 5-12 tahun dari kedua jenis kelamin dengan demam

tifoid dilibatkan dalam penelitian ini. Semua anak yang memiliki riwayat asupan

antibiotik (sefalosporin generasi ketiga dan kuinolon) oral atau IV dan tidak ada

presentasi demam pada waktu itu dikeluarkan. Penelitian ini merupakan penelitian

metode randomized controlled Trial. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian

dirawat di bangsal anak Rumah Sakit Holy Family dan secara acak dibagi menjadi

dua kelompok, A dan B, berdasarkan angka acak. Grup A diberikan

Inj.Ciprofloxacin 10mg/kg/IV dua kali sehari, sedangkan kelompok B diberi Inj.

Ceftriaxone 70mg/kg/IV sekali sehari selama 7 hari. Kedua kelompok diamati

untuk mengetahui waktuyang dibutuhkan untuk meredanya demam (96 jam).

Pemeriksaan yang telah dilakukan selama dirawat di rumah sakit adalah typhidot

(antibodi IgM) dari laboratorium yang dilakukan berdasarkan kit standar. Hasil

pemeriksaan diverifikasi oleh konsultan ahli patologi. Data dianalisis dengan

menggunakan SPSS (V10). Mean dan standar deviasi dihitung untuk variabel

kuantitatif yaitu usia dan durasi meredanya demam. Frekuensi dan persentase

dihitung untuk variabel kualitatif yaitu gender dan meredanya demam dalam 96

jam. Sehingga, uji chi-square digunakan untuk membandingkan efektivitas (tidak

demam dalam 96 jam) dari kedua obat. P-value <0,05 dianggap signifikan.

HASIL

Penelitian ini melibatkan 88 pasien dengan demam yang diduga menderita

demam tifoid berdasarkan klinis pasien. Secara klinis, pasien mengalami demam
> 37 C dengan ada setidaknya satu atau lebih dari tanda dan gejala berikut: sakit

kepala persisten, nyeri perut atau gangguan pada perut, adanya splenomegali /

hepatomegali, Rose spots pada kulit, muntah, dan tidak ada bukti infeksi pada

dada, usus, urin ataupun infeksi meningeal. Dengan demikian, semua subjek

penelitian berusia <12 tahun. Rentang usia adalah dari 5 sampai 12 tahun dengan

usia rata-rata 8,3 1,94 tahun. 41 (46,6%) pasien adalah laki-laki dan 47 (53,4%)

pasien adalah perempuan. Berat anak-anak berkisar 14-41 kg dengan berat rata-

rata 24,7 6,3 kg. Selain itu, 15 (17%) pasien yang sehari-harinya meminum air

rebusan secara rutin, sementara 73 (83%) yang lain sehari-harinya meminum air

yang tidak direbus.

Gambar 1. Histogram menunjukkan distribusi usia pada kelompok penelitian

Gambar 2. Histogram menunjukkan distribusi berat badan pada kelompok


penelitian
Gambar 3. Grafik Pie menunjukkan distribusi jenis kelamin pada kelompok
penelitian

Tabel 1. Distribusi jenis kelamin pada kelompok penelitian

Gambar 4. Konsumsi air rebusan dan bukan air rebusan


Tabel 2. Uji Chi square perbedaan jumlah pasien yang tidak demam lagi dalam 96
jam ; kelompok Ciprofloxacin vs kelompok Ceftriaxon

DISKUSI

Demam enterik adalah penyakit umum pada anak-anak dan dewasa

muda. Hal ini memperbesar dampak terhadap sosial ekonomi masyarakat akibat

penyakit. Negara-negara industri dan negara-negara yang lebih sejahtera, sebagian

besar, mengontrol penyakit ini dengan meningkatkan standar kesehatan

masyarakat; tetapi penyakit ini terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang

utama di negara-negara kurang berkembang termasuk Pakistan. Oleh karena itu,

munculnya strain Salmonella yang resistan terhadap obat telah membuat

pengobatan demam enterik lebih sulit. 2 dekade terakhir terjadi peningkatan kasus

dan penyebaran strain S.typhi resisten (MDR). Infeksi strain jenis ini dikaitkan

dengan durasi penyakit yang lebih lama serta morbiditas dan mortalitas yang lebih

tinggi. Insiden yang lebih tinggi didapatkan di seluruh Asia Selatan daripada yang
diperkirakan sebelumnya terutama pada anak-anak yang lebih muda. Demam

enterik merupakan masalah yang signifikan pada anak-anak prasekolah. Di antara

anak-anak, 60% dari kasus didapatkan pada kelompok usia 5 sampai 9 tahun, 27%

antara 2-5 tahun, dan 13% kelompok umur 0-2 tahun. Setelah munculnya strain

Salmonella typhi resisten kloramfenikol, ciprofloxacin telah menjadi drug of

choice untuk pengobatan demam tifoid bahkan untuk usia anak-anak.

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan efektivitas secara klinis

ciprofloxacin vs ceftriaxone dalam hal rata-rata waktu yang dibutuhkan dalam

jumlah hari untuk defervescence dalam pengobatan demam tifoid pada anak-anak.

Oleh karena itu, penelitian ini mengikutsertakan 88 pasien dengan penyakit

demam yang diduga menderita demam tifoid. Usia rata-rata adalah 8,3 1,94

tahun dan 41 (46,6%) pasien adalah laki-laki. Berat rata-rata adalah 24,7 6,3 kg.

Hanya 15 (17%) pasien yang mengkonsumsi air rebusan secara rutin. Total 68

(77,3%) anak-anak menjadi tidak demam lagi dalam waktu 96 jam, sedangkan 20

(22,7%) gagal menjadi tidak demam lagi dalam 96 jam. Pada kelompok

ciprofloxacin, 25 (56,8%) pasien, demam mereda dalam 96 jam dan 19 (43,1%)

pasien gagal mereda demam dalam 96 jam. Pada kelompok ceftriaxone, 43

(97,7%) pasien demam mereda dalam 96 jam dan 1 (2,3%) pasien demam gagal

mereda dalam 96 jam. Oleh karena itu, proporsi pasien yang mereda demamnya

dalam waktu 96 jam secara signifikan lebih tinggi pada kelompok ceftriaxone

dibandingkan dengan kelompok ciprofloxacin, p = 0.00.

Hasil yang didapatkan berbeda dari review sebelumnya, ringkasan dari

randomized controlled trial demam enterik yaitu didapatkan fluoroquinolones


lebih unggul daripada ceftriaxone dalam kegagalan klinis dan waktu

penyembuhan demam. Meskipun data ini menunjukkan bahwa fluoroquinolones

memiliki waktu penyembuhan demam lebih rendah dibandingkan dengan

kloramfenikol, cefixime, dan ceftriaxone secara signifikan, analisis waktu

penyembuhan demam harus ditafsirkan dengan hati-hati. Rata-rata waktu

penyembuhan demam sering mengikuti skewed distibution. Meskipun sebagian

besar pasien sembuh dari demam dengan cepat, beberapa juga ada yang memakan

waktu lebih lama, sehingga meta-analisis yang dilakukan dengan menggunakan

sarana aritmatika mungkin tidak akurat. Namun, demam persisten yang didapat

pada beberapa pasien meskipun eliminasi dari S. typhi dan S. Paratyphi yang jelas

dari aliran darah telah dikaitkan dengan masih terjadinya produksi sitokin

pirogenik. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk

penyembuhan demam mungkin tidak menjadi ukuran yang memadai dari

efektivitas antibiotik. Akibatnya, antibiotik mungkin tidak menjadi titik akhir

dalam uji terapi tifoid. Beberapa peneliti juga tidak menentukan apakah kegagalan

klinis dikeluarkan atau dimasukkan dalam perhitungan rata-rata eliminasi demam.

Hal ini mungkin karena penggunaan irasional kuinolon bahkan pada infeksi

ringan. Meskipun, sebagian besar merupakan demam virus. Hal ini telah

mengakibatkan peningkatan resistensi S. typhi terhadap kuinolon di negara ini.

Terapi yang tepat untuk demam enterik merupakan tantangan dalam

praktek klinis dan kesehatan masyarakat, ditambah dengan meningkatnya tingkat

resistensi obat dan bukti klinis terbatas untuk penggunaan agen baru, terutama

untuk anak-anak. Penelitian dalam skala besar, yang dirancang dengan baik, dan
dengan metodologis ketat diperlukan untuk membandingkan fluoroquinolones

dengan antibiotik lini pertama dalam komunitas atau untuk pasien rawat jalan.

Karena hal ini mencerminkan praktik di negara-negara berpenghasilan rendah,

dengan pelaporan kasus resistensi yang akurat. Follow up pasien jangka panjang

dan pengawasan efek samping juga diperlukan. Peneliti harus memiliki definisi

operasional yang terstandarisasi dan waktu pengukuran untuk hasil yang tepat,

terutama yang bersifat subjektif, seperti kegagalan klinis. Sebagai tambahan

dalam penelitian objektif tentang efikasi pengobatan dan efektivitas biaya, kita

membutuhkan evaluasi dengan pendekatan algoritmik dalam diagnosis dan

pengelolaan demam berkepanjangan pada anak-anak di daerah endemik tifoid.

Beberapa protokol akan memandu dalam penggunaan antibiotik dan mungkin

mampu menghambat meningkatnya kasus resistensi.

Sebuah penelitian di Divisi Clinical Medicine & Mikrobiologi, National

Institute of Cholera & Enteric Diseases (ICMR), Kolkata, India, mengevaluasi

peran terapi ceftriaxone terhadap MDR tifoid yang tidak respon dengan terapi

ciprofloxacin selama 12-14 hari yang dikonfirmasi dengan tes bakteriologi. Upaya

juga telah dilakukan untuk menyelidiki kerentanan strain S. typhi yang telah

diisolasi secara in vitro dengan kloramfenikol, ciprofloxacin, dan ceftriaxone.

Sebanyak 140 anak-anak, berusia 3-10 tahun, yang secara klinis didiagnosis

menderita demam tifoid, tanpa respon klinis setelah 12-14 hari terapi

ciprofloxacin diskrining untuk S. typhi dengan kultur darah. Pada anak-anak

dengan tes bakteriologis positif, terapi diganti dengan ceftriaxone intravena

selama 14 hari. Strain S. typhi yang telah diisolasi diuji untuk kepekaan atau
sensitifitas antimikroba terhadap S. typhi secara in-vitro. Penyembuhan secara

klinis dan bakteriologis diamati dengan terapi ceftriaxone intravena terhadap 32

pasien dengan tes bakteriologis positif. Semua strain S. typhi seragam (100%)

yang telah diisolasi sensitif terhadap ciprofloxacin dan ceftriaxone. Sementara 50

persen strain resisten terhadap kloramfenikol. Nilai MIC kloramfenikol,

ciprofloxacin, dan ceftriaxone masing-masing berkisar antara 125-500, 0,0625-0,5

dan <0,0625 mikrogram/ml.

Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun ciprofloxacin sensitif

terhadap strain S. typhi secara in-vitro, tetapi secara klinis dan bakteriologis

ciprofloxacin tidak sensitif atau peka terhadap S.typhi. Oleh karena itu,

ciprofloxacin mungkin bukan merupakan drug of choice yang dapat diandalkan

dan berguna untuk mengobati demam tifoid MDR; dengan demikian, ceftriaxone

mungkin menjadi alternatif yang efektif untuk pengobatan kasus tersebut.

Demam tifoid umum terjadi di negara-negara berkembang, dengan

beban tahunan jutaan kasus secara global. Di Rumah Sakit Lady Reading,

Peshawar, penelitian tentang resistensi obat demam enterik dilakukan di Paediatric

Unit "A". kriteria inklusi adalah kultur darah dan / atau sumsum tulang positif.

Total, 50 pasien dengan kultur positif untuk Salmonella (26 anak positif pada

kultur darah dan 49 anak positif pada kultur sumsum tulang belakang). Organisme

yang diisolasi yaitu Salmonella typhi sebanyak 49 kasus dan Salmonella

paratyphi A sebanyak 1 kasus. Isolat tunggal S. paratyphi A sensitif terhadap

semua antimikroba yang diuji kecuali kotrimoksazol. Dari 49 isolat S. typhi,

hanya 5 (10,2%) yang peka terhadap semua antimikroba anti-tifoid primer,


sedangkan 44 (89,8%) resisten terhadap beberapa obat. Semua isolat ini

sepenuhnya sensitif terhadap ciprofloxacin dan ofloxacin, sedangkan sensitivitas

terhadap sefalosporin generasi ketiga bervariasi antara 57% dan 79%. Terlepas

dari resistensi secara in-vitro, 22 pasien (44%) menunjukkan respon klinis yang

baik terhadap amoksisilin dan kloramfenikol. Sedangkan pada 28 pasien yang

tersisa (56%), memberikan respon pengobatan yang minimal, dan pasien-pasien

tersebut memulai terapi ofloksasin (pada anak-anak di atas 5 tahun) atau

sefalosporin generasi ketiga. Akhirnya, respon pasien terhadap obat ini didapatkan

hasil yang baik dengan terjadinya penurunan suhu badan hingga normal dalam

waktu 8 hari setelah dimulainya pengobatan. Tidak ada efek yang signifikan dari

kuinolon yang tercatat pada anak-anak ini. Mereka menyimpulkan bahwa

kuinolon dapat digunakan pada anak-anak di atas usia 5 tahun pada kasus MDR

tifoid. Penyebaran cepat multidrug resistant (MDR) demam tifoid saat ini telah

menjadi tantangan besar dalam hal terapi kasus ini di seluruh dunia. Setelah

munculnya strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol,

ciprofloxacin telah menjadi obat pilihan untuk pengobatan demam tifoid bahkan

pada kelompok usia anak-anak. Oleh karena itu, dilakukan penelitian di Kolkata,

India, untuk mengevaluasi peran terapi ceftriaxone terhadap kasus MDR tifoid

yang tidak respon dengan terapi ciprofloxacin selama 12-14 hari yang

dikonfirmasi secara bakteriologi. Penelitian ini melibatkan 140 anak-anak berusia

3-10 tahun. Hasil penilitian didapatkan bahwa ciprofloxacin mungkin bukan

merupakan obat pilihan yang dapat diandalkan dan berguna untuk mengobati
MDR demam tifoid. Selain itu, ceftriaxone mungkin menjadi alternatif yang

efektif untuk pengobatan kasus tersebut.

Kesimpulan

Ceftriaxone lebih efektif pada anak dengan demam tifoid dalam hal

proporsi yang lebih besar dalam menurunkan demam pada anak-anak dalam

waktu 96 jam.
DAFTAR PUSTAKA

Acharya G, Butler T, Ho M, Sharma PR, Tiwari M, Adhikari RK, et al. (1995).


Treatment of typhoid fever: randomized trial of a three-day course of
ceftriaxone versus a fourteen-day course of chloramphenicol. Am J Trop
Med Hyg;52:162-5
Bhutta Z A (2006). Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid
fever. BMJ.333:78-82
Bhutta Z A, Naqvi SH, Razzaq RA, Farooqui BJ (1991). Multidrug-resistant
typhoid in children: presentation and clinical features. Rev-Infect-Dis; 13:
832-6.
Butler, T. (2011). Treatment of typhoid fever in the 21st century: promises and
shortcomings. Clinical Microbiology and Infection, 17: 959963.
doi: 10.1111/j.1469-0691.2011.03552.
Dutta P, Mitra U, Dutta S, De A, Chatterjee MK, Bhattacharya SK (2001).
Ceftriaxone therapy in ciprofloxacin treatment failure typhoid fever in
children. Indian J Med Res 2001;113:210-3.
Gandapur AJ, Khan FR, Zeb A, Khan FM, Imran M (1993). A Study of 100
patients with enteric fever in children, at peshawar. PPJ 1993;17:19-25
Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM (2009). Typhoid fever and ParaTyphoid
fever In: Current Diagnoses and Treatment Pediatrics. 19 2009; pp1154-6
Imran M, Khan FR, Khattak AA, Aurang Zeb, Liaqat Ali L (1996). Multidrug -
resistant Enteric Fever in children Pak Paed J 1996;20:169-73.
Kumar S, Rizvi M, Berry N (2008). Rising prevalence of enteric fever due to
multidrug-resistant Salmonella: an epidemiological study. J Med
Microbiol 2008; 57(Pt 10):1247-50.
Mandal BK (1990). Treatment of Multriresistant typhoid fever (letter). Lancet
1990;339:1383.
Ochiai RL, Acosta CJ, DanovaroHoliday MC, Bai-Ging D, Bhattacharya SK,
Agtini MD et al. (2008). A Study of Typhoid Fever in time Asian
countries: Disease burden in implication for control. Bull World Health
Org 2008; 86:241320.
Rafiq H, Zia R, Naeem S (2009). Typhoid fever continues as a major threat in
children. Biodemica 2009; 25: 1-2.
Siddiqui FJ, Rabbani F, Hasan R, Nizami SQ, Bhutta ZA (2006). Typhoid fever in
children: some epidemiological considerations from Karachi, Pakistan.
Int J Infect Dis 2006;10:215-22.
Siddiqui S (1991). Epidemiologic patterns and control strategies in typhoid fever.
JPMA 1991;41:143-6.
Sinha A, Sazawal S, Kumar R, Sood S, Reddaiah VP, Singh B, et al. (1999).
Typhoid fever in children aged less than 5 years.Lancet 1999; 354:734-7.
Stern JM, Simes RJ (1997). Publication bias: evidence of delayed publication in a
cohort study of clinical research projects. BMJ 1997;315:640-5.
Thaver D, Zaidi AKM, Critchley J, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA (2009).
A comparison of fluoroquinolones versus other antibiotics for treating
enteric fever: Meta-analysis. BMJ 2009; 338: b1865.
Verma M, Parashar Y, Singh A, Kamoji R (2007). Current pattern of enteric fever:
a prospective clinical and microbiological study. J Indian Med Assoc
2007;105:582-4.
World Health Organization (2006). 6 International Conference on typhoid Fever
th

and other Solmonelloses. WHO Geneva 2006

You might also like