You are on page 1of 7

BERBAGAI MASALAH TENTANG MATI

Oleh
Sofwan Dahlan

PADA tahun 1974, seorang laki-laki pejalan kaki di kota Birmingham


dilarikan ke rumah sakit karena tabrakan. Mengingat keadaan korban
menunjukkan tanda-tanda klinik mati yang sesuai dengan kriteria diagnosis
mati dari Havard Medical School yang telah direvisi (kriteria tahun 1974)
maka korban dinyatakan telah meninggal dunia oleh satu tim dokter. Hal ini
sesuai dengan Declaration of Sidney sebab untuk menentukan kematian
calon donor kadaver harus dilakukan oleh lebih dari seorang dokter yang
kesemuanya tidak punya sangkut paut dengan transplantasi. Memang laki-
laki tersebut dipersiapkan untuk menjadi calon donor ginjal bagi seorang
penderita yang memerlukan. Dalam rangka itu pulalah alat penunjang
kehidupan (termasuk artificial respirator) terus dipasang untuk
memungkinkan sel-sel ginjalnya terus mendapat pasokan oksigen dan
nutrisi selama menunggu persiapan transplantasi, sebab organ-organ yang
diambil dari donor kadaver yang jantungnya terus berdenyut (beating heart
donor) mempunyai peluang lebih besar untuk hidup dan berfungsi pada
tubuh resipien.
Namun apa yang terjadi? Ketika kedua ginjalnya sedang diambil
(eksplantasi), calon donor yang telah dinyatakan mati itu bergerak-gerak
dan ketika ahli anestesi yang ikut dalam tim mencoba memastikan apa yang
tengah terjadi dengan mencopot endotracheal tube dari mulutnya, bukan
saja calon donor memperlihatkan reflek batuk tetapi juga dapat bernafas
secara spontan tanpa respirator.
Dapat dibayangkan betapa kalang-kabutnya para dokter
menghadapi peristiwa seperti itu, di negara dimana hukum dan hak-hak
individu dijunjung tinggi. Maka calon donorpun segera dilarikan ke unit
rawat intensif untuk dirawat sebagaimana mestinya. Kendati pada akhirnya
calon donor benar-benar meninggal dunia 15 jam kemudian maka tidak
syak lagi bahwa tim dokter yang menentukan kematian telah melakukan
kesalahan, yakni 15 jam lebih awal dari waktu kematian yang sebenarnya.
Kasus tersebut sempat diberitakan secara luas oleh media masa sebagai
kasus Birmingham.
Pertanyaannya sekarang ialah, sulitkah menentukan kematian itu
sehingga tim dokter yang sudah berpengalaman bisa salah?
Adakalanya memang bisa demikian, tetapi kesalahan diagnosis
mati tidak selalu disebabkan oleh faktor manusia (human error), melainkan
dapat pula disebabkan kurang akuratnya kriteria diagnosis yang digunakan.
Barangkali karena alasan terakhir itulah maka kasus Birmingham tidak
sampai dijadikan perkara di Pengadilan.

1
MASALAH DEFINISI MATI
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkri bahwa sampai kini ada
banyak definisi mati yang diusulkan oleh para ahli, baik ahli kedokteran
maupun ahli hukum, dengan berbagai perspektifnya masing-masing.
Bahkan Paus Pius ke XII merasa perlu memberikan definisi mati secara
tidak langung dengan memberikan definisi hidup, yaitu Human life
continues for as long as its vital functions; distinguished from the simple of
the organs, manifest themselves without, or even with, the help of artificial
process.
Secara kronologis perubahan yang diusulkan oleh para ahli
kedokteran itu ialah:
- permanent cessation of life;
- total and irreversible loss of life;
- permanent cessation of heart beating and respiration;
- permanent cessation of brain function;
- permanent cessation of brain stem function.
Dengan banyaknya definisi mati itu maka kesan yang tak terelakkan
ialah bahwa seolah-olah mati itu dari waktu ke waktu mengalami
perubahan. Padahal sebenarnya proses mati itu sejak zaman manusia
pertama hingga kini, dan bahkan sampai akhir zaman tidak pernah dan
tidak akan pernah berubah. Maka sudah seharusnya apabila definisi mati
juga tidak berubah.
Lalu mengapa Pengurus Besar IDI sesudah mengadakan lokakarya
sehari tentang mati dengan serta merta menguslkan agar definisi mati
dirubah menjadi brain stem death is death?
Jawabnya ialah entahlah, barangkali Pengurus Besar IDI punya
alasan tersendiri. Tetapi yang jelas, brain stem death is death tidak lebih
sebagai konsep (pokok pikiran) guna dipakai sebagai landasan pikir dalam
menyusun kriteria diagnosis mati bagi kasus-kasus tertentu yang tidak
mungkin didiagnosis dengan menggunakan kriteria diagnosis konvensional.
Lagi pula pernyataan brain stem death is death tidak dapat sama artinya
jika dibalik menjadi death is stem death. Jika beca itu adalah kendaraan
beroda tiga maka pernyataan itu tidak bisa dibalik menjadi kendaraan
beroda tiga adalah beca. Oleh sebab itu The American Medical Association
pada tahun 1977 sangat menentang perubahan definisi yuridis tentang mati
menjadi permanent cessation of brain function. Perlu ditambahkan bahwa
sampai tahun 1977 sudah ada 19 negara bagian di Amerika Serikat yang
mensahkan definisi seperti itu. Menurut hemat saya, permanent cessation
of heart beating and respiration pun tidak dapat dianggap sebagai definisi.
Benar bahwa seseorang sudah bisa dianggap mati jika jantung dan paru-
parunya berhenti bekerja secara permanen, tetapi pernyataan itu tetap
menggambarkan sebagai konsep, bukan sebagai definisi.
Lalu bagaimana sebaiknya merumuskan definisi yang benar? Tidak
kurang dari Prof. Dr. Muladi SH, guru besar pada Fakultas Hukum

2
Universita Diponegoro, dalam sebuah diskusi ilmiah mingguan
mengusulkan agar definisi yang dibuat bersifat umum dan untuk tujuan
yang bersifat umum pula. Saran tersebut sejalan dengan pemikiran The
American Medical Association. Jika kita setuju dengan pemikiran tersebut
maka permanent cessation of life atau total and irreversible loss of life
merupakan alternatif definisi yang paling benar. Hanya saja Van Till,
seorang ahli hukum dari negeri Belanda yang mengambil desrtasi tentang
masalah ini menambahkan, agar definisi mati lebih memiliki makna maka
definisi hidup juga harus dirumuskan.
Jika hanya itu permintaan Van Till, barangkali tidak ada masalah,
sebab agaknya sampai sekarang tidak terlihat adanya ahli yang tak
bersetuju jika hidup didefinisikan sebagai berfungsinya semua organ vital
(otak, paru-paru dan jantung) sebagai satu kesatuan yang utuh, yang
ditandai oleh adanya konsumsi oksigen.

MASALAH KONSEP DIAGNOSIS


Sebenarnya terminologi mati atau al maut (atau menurut istilah
kedokterannya somatic death) dapat diartikan sebagai:
1. Akhir kehidupan.
2. Event yang merubah status manusia hidup menjadi jenazah.
3. Diawali oleh process of dying (sakaratul maut).
4. Kondisi (condition of death), yaitu jika proses mati sudah berakhir
sempurna.
5. Awal kehidupan yang kekal yang tidak bisa dihindari oleh umat
manusia.
Death is a continuum, and different parts of the body die at different
times. The heart may stop before or after the client dies. In a heart attack
victim, the heart stops beating, but the client does not die imme-diately.
Approximately 3 to 4 minutes pass before there is irreparable brain death.
At this point, the client is DEATH.
Intinya, sebelum meninggal dunia maka manusia akan mengalami
process of dying, sehingga kondisi mati akan tercipta jika process of dying
telah selesai dengan sempurna. Tetapi kapan detik kematian (the moment
of death) terjadi sangat sulit untuk dipastikan. Oleh sebab itu upaya
mendiagnosis kematian pada hakekatnya merupakan upaya pemastian
apakah seseorang telah berada pada KONDISI mati atau belum.
Konsekuensinya, semakin jauh jarak antara detik kematian dengan waktu
pemastian (pemeriksaan) akan menjadi semakin mudah menentukan
seseorang sudah mati atau belum.
Untuk dapat memastikan seseorang telah mati (berada pada
kondisi mati) atau belum dibutuhkan kriteria diagnosis yang disusun
berdasarkan konsep diagnosis (yaitu pokok pikiran yang mencoba
menjelaskan bahwa kondisi mati sebagaimana didefinisikan sudah terjadi
manakala sudah tercipta keadaan seperti apa yang dirumuskan dalam

3
konsep diagnosis). Dengan kata lain, konsep diagnosis diperlukan untuk
memudahkan para dokter merumuskan kriteria diagnosis.
Pada awalnya para ahli merumuskan permanent cessation of heart
beating and respiration is death sebagai konsep diagnosis mati (bukan
definisi mati). Tetapi untuk menentukan bahwa kerja jantung dan paru-paru
telah berhenti peramanen diperlukan kriteria diagnosis yang didasarkan
atas konsep tersebut, sehingga kemudian muncullah kriteria diagnosis
konvensional (di Indonesia umumnya jantung dan paru-paru berhenti
minimal 10 menit dan diobservasi selama 2 jam untuk konfirmasi). Kesulitan
timbul ketika ditemukan articial respirator yang dapat menunjang kehidupan.
Bahkan dengan alat tersebut orang yang sesungguhnya sudah mati bisa
terlihat seperti masih hidup (bernafas dan berdenyut jantungnya).
Akibatnya, krieteria diagnosis konvensional tidak mungkin lagi untuk
difungsikan. Maka Panitia Ad Hoc dari Havard Medical School mencoba
merumuskan kriteria lain berdasarkan konsep diagnosis brain death is
death, yakni kriteria tahun 1968 yang kemudian direvisi menjadi kriteria
tahun 1974. Perbedaan kedua kriteria itu terletak pada persyaratan tes
klinis ulang; yaitu setelah 24 jam pada kriteria tahun 1968 dan 1 jam pada
kriteria tahun 1974.
Perlu diingat bahwa dengan adanya kriteria baru berdasarkan
konsep brain death is death tidak berarti kriteria konvensional tidak
berlaku lagi, sebab kriteria non-konvensional hanya diperuntukkan bagi
kasus extra ordinary yang jumlahnya tak seberapa, antara lain:
- kasus-kasus dengan artificial respirator;
- kasus-kasus yang dipersiapkan menjadi donor kadaver; dan
- kasus-kasus yang menunjukkan gejala seperti mati tetapi
berdasarkan riwayatnya mungkin masih hidup (misalnya hipotermi,
keracunan, gangguan metabolisme, sengatan listrik dan
sebagainya).
Belakangan konsep brain death is death diperbaiki menjadi brain
stem death is death. Perbaikan tersebut didasarkan atas pertimbangan
bahwa:
- tidaklah mungkin melakukan pemeriksaan seluruh fungsi otak
dalam keadaan koma untuk menentukan kematian otak (the whole
brain) sebab fungsi-fungsi tertentu (seperti mencium, melihat, fungsi
cerebelar dan fungsi tertentu dari kortek) hanya bisa dilakukan
dalam keadaan kompos mentis.
- proses mati itu sendiri terjadi secara bertahap mengingat resistensi
yang berbeda-beda dari berbagai bagian otak terhadap ketiadaan
oksigen.
- brain stem merupakan bagian dari otak yang paling tahan terhadap
ketiadaan oksigen.
- brain stem merupakan bagian dari otak yang mengatur fungsi vital,
utamanya pernafasan.

4
Pertanyaannya sekarang ialah, mungkinkah konsep diagnosis mati
yang lebih baru lagi akan muncul dimasa datang? Jawabnya adalah
mungkin mengingat para ilmuwan terus saja berusaha mengungkap
rahasia mati. Lihat penelitian Stunner dkk yang disajikan pada Triennial
Meeting oleh the IAFS di Oxford tahun 1984, yang mencoba mencari
jawaban mengapa lebih banyak orang mati pada malam hari daripada siang
hari. Jawaban sementara beliau dari hasil penelitian yang melibatkan
sejumlah bayi ialah disebabkan pada malam hari (akibat kurangnya sinar),
hormon melatonin (yang punya sifat menekan pernafasan) menjadi lebih
tinggi. Maka siapa tahu di masa mendatang konsep diagnosis mati tidak lagi
dikaitkan dengan fungsi jantung, paru-paru dan otak; melainkan dikaitkan
dengan zat tertentu.
Yang jelas jika transplantasi seluruh otak monyet ke tubuh monyet
lain yang pernah dilakukan oleh White dkk dilakukan pada manusia maka
konsep brain death is death atau brain stem death is death menjadi tidak
relevan lagi, kecuali kita sepakat jika otak seorang preman (yang tertembak
jantungnya) dicangkokkan kepada seorang Profesor maka sesungguhnya
bukan Profesor yang telah diselamatkan oleh otak baru (otak preman)
melainkan premanlah yang telah diselamat oleh tubuh baru (yaitu tubuh
Profesor).

MASALAH KRITERIA DIAGNOSIS


Sejak dirumuskannya kriteria diagnosis ole Havard Medical School
hingga kini tidak kurang dari 30 kriteria diagnosis (yang kesemuanya
didasarkan pada konsep brain stem death is death. Konsekuensi negatif
yang timbul dari banyaknya kriteria diagnosis itu ialah bahwa seseorang
dengan kondisi klinik tertentu yang belum bisa dinyatakan mati di suatu
negara atau rumah sakit tertentu, sudah bisa ditentukan mati di negara atau
rumah sakit yang menggunakan kriteria diagnosis lain. Hal inilah yang
dikatakan oleh sementara ahli sebagai illogical, unbiological, unethical, dan
bahkan illegal. Karena stiap manusia dari sudut pandang biologi sama
maka sudah seharusnya dan sudah selayaknya kalau hanya ada satu
kriteria diagnosis untuk kasus-kasus extra ordinary. Bahwa kenyataan
menunjukkan lain karena rupanya para ahli tidak dapat disatukan
pendapatnya dalam menentukan brain stem death.
Jadi, inti perbedaan itu adalah terletak pada metode penentuan
brain stem death, dimana ada tiga Madzhab yang masing-masing memiliki
pengikutnya sendiri-sendiri.
Pertama adalah Madzhab Anglo-American yang mendasarkan pada
adanya koma ireversibel disertai tidak adanya nafas sponta selama waktu
tertentu. Kedua adalah Mdzhab Perancis yang mendasarkan pada coma
depasse dari Mollaret dan Goulon, yaitu keadaan koma disertai rusaknya
pusat pengendalian temperatur dan tekanan darah. Ketiga adalah Madzhab
Autro-German yang mendasarkan pada tidak adanya sirkulasi darah ke
otak selama 15 menit.

5
Dari ketiga madzhab tersebut sebenarnya Madzhab Austro-German
yang palin reliabel, namun banyak ditentang oleh para dokter disebabkan
digunakannya angiografi yang dapat mengundang masalah baru. Untuk
masa sekarang yang paling banyak dianut adalah Madzhab Anglo-
American.
Dibawah ini dapat dilihat contoh dari kriteria diagnosis yang paling
banyak diaplikasikan untuk mendiagnosis mati pada kasus-kasus extra
ordinary, terdiri atas:
1. Tes Klinis berupa:
a. hilangnya semua respon terhadap sekitar (seperti perintah,
rangsangan dan sebagainya);
b. tidak adanya gerakan otot atau postur (dengan catatan tidak
dalam pengaruh obat curare;
c. tidak ada reflek pupil;
d. tidak ada reflek kornea;
e. tidak ada respon motorik dari syaraf kranial terhadap
rangsangan;
f. tidak ada reflek vestibulo-ocularis terhadap rangsangan air es
yang dimasukkan kedalam telinga; dan
g. tidak ada nafas spontas ketika artificial respirator dilepas untuk
waktu yang relatif lama guna menyakinkan pCO2 telah melebihi
nilai ambang rangsang nafas (yaitu 50 torr).
2. Tes klini tersebut diatas baru boleh dilakukan paling cepat 6 jam
setelah koma dan apneu, dan jika hasilnya negatif harus diulangi
dengan tes klinis kedua paling cepat 2 jam setelah tes yang
pertama.
Jika hasilnya tetap negatif maka pasien tersebut telah mengalami
brain stem death sehingga dapat dinyatakan telah meninggal dunia
(berdasarkan konsep diagnosis brain stem death is death).
3. Tes konfirmasi (EEG dan angiografi) tidak diperlukan.
Masalahnya sekarang ialah perlukah masalah diagnosis diatur
dengan suatu keraharusan menggunakan kriteria diagnosis tertentu untuk
kasus-kasus extra ordinary?
Menurut hemat saya (boleh jadi saya salah) --------- tidak perlu
mengingat masalah kematian diagnosis kematian merupakan masalah
teknis yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab dokter. Namun harus
diakui bahwa peraturan yang dibuat dapat memberikan rasa aman serta
dapat dipakai sebagai acuan bila timbul sengketa. Hanya saja peraturan itu
hendaknya memberikan peluang kepada dokter untuk dapat memilih kriteria
diagnosis yang menurut keyakinannya dari sisi moral dan etik dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini perlu saya utarakan disini sebab
permasalahannya, keyakinan tersebut amat dipengaruhi oleh pengalaman

6
yang didapat ketika dokter menimba ilmu di rumah sakit di negara lain yang
berbeda.

SEMOGA BERMANFAAT
Salam,
Sofwan Dahlan

You might also like