You are on page 1of 15

TUTORIAL IN CLINIC (TIC)

DI RUANG BEDAH

RSUD Dr. ABDUL AZIZ SINGKAWANG

Disusun Oleh:

1. Rizky Ananda Putri 8. Nurul Hamiah

2. Dewi Oktavia 9. Dini Yuni Anisa

3. Ira Febrianti 10. Ayu Arifiani

4. M. Untung Saputra 11. Kartikasari

5. Rica Pustikawaty 12. Raup Sutrianto

6. Utari Panggabean 13. Ainun Najib Febria Rahman

7. Budi Ramanda

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2017
KASUS TIC

An. W (8 tahun) dibawa keluarga ke RS pada tanggal 17 Februari 2017 setelah sehari
terjatuh dari pohon. Keluarga mengatakan tidak membawa klien langsung kerumah sakit dan
hanya memberikan obat oral paracetamol tablet kepada klien serta memberikan kompres
hangat pada bagian yang terbentur. Keluarga mengatakan kondisi klien pada saat terjatuh tidak
sadarkan diri (pingsan) selama 10 menit, luka pada bagian wajah sebelah kanan, dan adanya
keluar darah dari hidung.
An. W datang ke rumah sakitdengan keluhan kepala terasa pusing, mata pada bagian
sebelah kiri tampak memerah, dan sudah muntah sebanyak 2 kali berturut-turut.Klien sudah
dirawat di bangsal bedah diruang kelinci 13 selama 3 hari.
Pada tanggal 20 Februari 2017 saat dilakukan pengkajian, keluarga mengatakan klien
terus-menerus rewel karena merasakan sakit pada bagian kepala. Keluarga juga mengatakan
klien tidak bisa tidur dan gelisah semenjak dipasang kateter tadi malam.Klien mengatakan
bahwa dirinya merasakan sakit pada bagian kepala sambil menunjuk kepalanya. Klien
mengatakan nyeri yang dirasakan berada pada skala 7 (nyeri berat) dan terasa sakit seperti
dipukul orang. Keluarga mengatakan nyeri yang dirasakan klien hilang timbul dan sering
timbul pada waktu malam hari. Keluarga mengatakan nyeri yang dirasakan klien pada saat
timbul sekitar 1 jam dan hilang pada saat klien mendapatkan obat. Pada saat diobservasi klien
tampak terbaring lemah, mengeluh kesakitan dan tampak adanya hematom pada area sekitar
mata kanan dan kiri. Selain itu, tampak adanya luka lecet pada bagian wajah (pipi) sebelah
kanan. Hasil TTV didapat TD:-, N:102 x/menit, RR:24 x/menit, dan T:37C. Hasil pemeriksaan
laboratorium tanggal 17 Februari 2017 menunjukkan hemoglobin: 9,5 g/dl, jumlah leukosit:
11.400 /l, jumlah trombosit: 218.000 /l, hematokrit: 25,2%, jumlah eritrosit 3,39.106 /l, dan
hitung jenis leukosit (basofil:0, eosinofi:0, batang:0, segmen:79, limfosit:13, monosit: 8). Klien
mendapat terapi IVFD RL 15 tpm, injeksi ranitidin 25 gr/12 jam IV, injeksi ceftrizoxime 250
mg/12 jam IV, injeksi paracetamol 250 gr/8 jam IV, dan injeksi phenitoin 30 gr/12 jam dalam
NaCl 0,9.
A. STEP 1
(Kata Kunci)
1. Hematom
2. Luka Lecet
3. Nyeri
4. Keluar darah dari hidung
5. Pingsan selama 10 menit

B. STEP 2
(Pertanyaan)
1. Apa yang menyebabkan klien mengalami penurunan kesadaran?
2. Apa yang menyebabkan terjadinya pengeluaran darah dari dalam hidung klien?
3. Bagaimana proses terjadinya hematom pada bagian area mata klien?
4. Apa saja kemungkinan yang dapat terjadi jika keluarga tidak membawa klien ke rumah
sakit?
5. Apakah ada hubungan antara muntah yang dialami klien dengan trauma pada bagian
kepala klien?
6. Apa tindakan pertama yang harus dilakukan dalam kasus tersebut sebelum klien di
bawa ke rumah sakit?
7. Apa saja fungsi dari medikasi yang diberikan kepada klien tersebut?

C. STEP 3
(Jawaban)
1. Penurunan kesadaran merupakan salah satu ciri dari adanya cedera pada bagian otak.
Penurunan kesadaran yang dialami klien dapat terjadi karena adanya perdarahan pada
jaringan otak yang terjadi akibat adanya sobekan pada pembuluh darah. Adanya
perdarahan intrakranial tersebut dapat menyebabkan terjadinya peningkatan TIK
sehingga membuat terjadinya penurunan kesadaran dan aliran darah ke otak menurun.
2. Pengeluaran darah dari dalam hidung dapat terjadi karena adanya trauma yang
mengenai bagian hidung. Perdarahan tersebut disebabkan karena lepasnya lapisan
mukosa hidung yang mengandung banyak pembuluh darah kecil. Lepasnya mukosa
akan disertai luka pada pembuluh darah yang dapat juga mengakibatkan perdarahan.
3. Hematom terjadi karena adanya benturan fisik atau trauma yang terjadi diarea wajah.
Ketika terjadinya trauma, menimbulkan dilatasi pembuluh darah yang membuat darah
banyak mengalir ke area terjadinya trauma. Hal ini dapat terjadi dikarenakan reaksi dari
tubuh dalam menghindari perdarahan dan pertahanan dalam melindungi dari bakteri
yang masuk, dengan cara mensuplai darah lebih banyak ke area yang terkena trauma.
4. Kemungkinan yang dapat terjadi apabila keluarga tidak membawa klien ke rumah sakit
yaitu kerusakan pada otak akibat adanya trauma yang menyebabkan terjadinya
pembengkakan otak yang merupakan salah satu respon dari cidera yang terjadi dan
dapat juga menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial sehingga membuat
seseorang mengalami penurunan kesadaran yang dapat berujung dengan kematian.
Selain itu, dapat terjadinya kerusakan pada saraf akibat adanya cedera pada basis
tengkorak yang dapat menyebaban kerusakan pada nervus facialis sehingga terjadi
paralisis dari otot-otot fasialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata
yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda.
5. Ada, trauma kepala yang terjadi dapat dikarenakan adanya gangguan keseimbangan di
otak akibat adanya benturan kuat di kepala sehingga memberikan respon muntah pada
seseorang akibat fungsi keseimbangan di otak yang terganggu. Selain itu, muntah dapat
terjadi akibat adanya perdarahan intrakranial yang dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan TIK sehingga menekan reflek muntah di medulla yang mengakibatkan
terjadinya muntah proyektil sehingga membuat ketidakseimbangan antara intake dan
output.
6. Tindakan yang dapat dilakukan pertama kali adalah posisikan klien dalam posisi yang
aman dan datar, hindari pergerakan leher yang berlebihan, buka atau longgarkan
pakaian, pantau pernafasan apakah cepat atau normal, jika pernafasan cepat atau
terdapat sesak maka posisikan klien dalam posisi semifowler dan buka jalan nafas klien.
Lakukan pengompresan pada area hematoma dengan air dingin, bersihkan luka dengan
air bersih dan mengalir, hidari pemberian minum hingga klien benar-benar sadar.
7. - Ranitidin berfungsi untuk menurunkan asam lambung yang berlebih
- Phenitoin berfungsi untuk mencegah dan mengontrol kejang (juga disebut
antikonvulsan atau obat antiepilepsi).
- Paracetamol berfungsi untuk meredakan rasa sakit ringan hingga menengah. Obat
ini juga bisa dipakai untuk menurunkan demam.
- Ceftrizoxime berfungsi untuk mengobati berbagai jenis infeksi yang disebabkan
oleh bakteri.
D. STEP 4
(Hipotesa)
Berdasarkan hasil kasus yang terjadi pada An. W, maka hipotesis yang dapat anggota
kelompok angkat yaitu cedera kepala ringan (CKR).

E. STEP 5
1. Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury
Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois et al. 2006).
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce, A & Neil,
R.B, 2006). Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak (Morton, 2012).
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa cedera kepala adalah
trauma yang terjadi pada kulit, kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara
langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya
penurunan kesadaran bahkan kematian.

2. Klasifikasi
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005) dalam Huda & Kusuma (2016)
klasifikasi cedera kepala dapat dibedakan sebagai berikut:
Berdasarkan patologi:
a. Cedera kepala primer
Cedera kepala primer merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan
gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut yang
menyebabkan kematian sel.
b. Cedera kepala sekunder
Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut yang
terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan tekanan intra kranial yang tak
terkendali, meliputi respon fisiologis cedera otak termasuk edema serebral,
perubahan biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral, iskemia serebral,
hipotensi sistemik dan infeksi lokal atau sistemik.
Menurut jenis cedera:
a. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
duameter. Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan otak.
b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan pada pasien dengan gegar otak ringan
dengan cedera serebral yang luas.
Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glasgown Coma Scale)
a. Cedera kepala ringan/minor
- GCS 14-15
- Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30 menit
- Tidak ada kontusio serebral, hematoma
b. Cedera kepala sedang
- GCS 9-13
- Kehilangan kesadaran lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
- Diikuti kontusio serebral, laserasi dan hematoma intrakranial
c. Cedera kepala berat
- GCS 3-8
- Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
- Kontusio serebral, laserasi atau hematoma intraranial

3. Etiologi
Menurut Satyanegara (2010) dalam Huda & Kusuma (2016) tanda dan gejala yang
dapat terjadi adalah sebagai berikut:
a. Cedera akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak, misalnya alat
pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan kekepala.
b. Cedera deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek yang diam, seperti pada kasus
jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil.
c. Cedera akselerasi-deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan
fisik.
d. Cedera Coup-countre coup
Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial
dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala
yang pertama kali terbentur, seperti pasien dipukul dibagian belakang kepala.
e. Cedera rotasional
Terjadi jika pukulan atau benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga
tengkorak yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansia
alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam
rongga tengkorak.

4. Patofisiologi
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah, jaringan otak dan jaringan
serebrospinal. Fungsi serebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti oksigen,
glukosa. Berat ringannya cedera kepala tergantung pada trauma kranium atau otak.
Cedera yang dialami dapat gagar otak, memar otak atau laserasi, fraktur dan atau
hematoma (injury vaskuler, epidural atau subdural hematoma).
Cedera kepala yang terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan
(deselerasi). Trauma dapat primer atau sekunder. Trauma primer adalah trauma yang
langsung mengenai kepala saat kejadian. Sedangkan trauma sekunder merupakan
kelanjutan dari trauma primer. Trauma sekunder dapat terjadi meningkatnya tekanan
intrakranial, kerusakan otak, infeksi dan edema cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur pada
tulang tengkorak dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini
dapat meluas hingga menekan cerebral oleh karena adanya tekanan arteri yang tinggi.
Gejalanya akan tampak seperti kebingungan atau kesadaran delirium, letargi, sukar
untuk dibangunkan dan akhirnya bisa koma. Nadi dan nafas menjadi lambat, pupil
dilatasi dan adanya hemiparese.
Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya ruptur pembuluh vena
dan perdarahan terjadi antara durameter dan serebrum atau antara duramater dan lapisan
arakhnoid. Terdapat dua tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut dapat
dikaitkan dengan kontusio atau laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam.
Manifestasi tergantung pada besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat berupa
kejang, sakit kepala, muntah, meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan perasaan
mengantuk.
Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi akibat adanya
memar dan robekan pada cerebral yang akan berdampak pada perubahan vaskularisasi,
anoxia dan dilatasi dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi otak
yang mendesak ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan
intrakranial. Dalam jangka waktu 24 72 jam akan tampak perubahan status neurologi.

5. Pathway

Cedera akselerasi Cedera deselerasi Cedera Cedera Coup- Cedera rotasional


akselerasi- countre coup
deselerasi

Trauma di
bagian kepala

CIDERA KEPALA
RINGAN (CKR)

Tidak mengalami Kerusakan


keruskan jaringan jaringan otak
otak

Pecahnya
Perubahan pembuluh darah
Terdapat edema
perfusi jaringan otak
jaringan
serebral

Hipoksia Gagal nafas


Penekanan saraf jaringan Otak

Resiko tidak
Nyeri Akut Sirkulasi di otak efektifnya jalan
terganggu
nafas dan tidak
efektifnya pola
nafas
6. Manifestasi Klinis
Menurut Huda & Kusuma (2016) kondisi cedera kepala yang dapat terjadi antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Komosio serebri
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi hanya kehilangan fungsi otak sesaat
(pingsan <10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala.
b. Kontusio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan >10 menit) atau terdapat
lesi neurologik yang jelas. Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi
di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian
dari otak. Kontusio serebri dalam waktu beberapa jam atau hari dapat berubah
menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi.
c. Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur terbuka pada
kranium.
d. Epidural hematoma (EDH)
Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah
robeknya arteri meningea media yang ditandai dengan penurunan kesadaran dengan
ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan (hemiparese/plegi, pupil anisokor,
reflek patologis satu sisi). Gambaran CT Scan area hiperdens dengan bentuk
bikonvek atau lentikuler diantara 2 sutura. Jika perdarahan >20 cc atau >5 mm
dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan.
e. Subdural hematom (SDH)
Hematom dibawah lapisan durameter dengan sumber perdarahan dapat berasal dari
bridging vein, a/v cortical dan sinus venous. Subdural hematom adalah
terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak dapat terjadi akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena, perdarahan lambat dan
sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam48 jam-2 hari, 2 minggu atau beberapa
bulan. Gejala-gejalanya adalah nyeri kepala, bingung, mengantuk, berpikir lambat,
kejang dan oedem pupil dan secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran
disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Pada
pemeriksaan CT Scan didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit
(cresent). Indikasi operasi jika perdarahan tebalnya >1 cm dan terjadi pergeseran
garis tengah >5 mm.
f. Subarachnoid hematom (SAH)
Perdarahan fokal di daerah subarachoid. Gejala klinisnya menyerupai kontusio
serebri. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan lesi hiperdens yang mengikuti arah
girus-girus serebri di daerah yang berdekatan dengan hematom. Hanya diberian
terapi konservatif dan tidak memerlukan terapi operatif.
g. Intracerebral hematom (ICH)
Perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh
darah yang ada dalam jaringan otak. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan lesi
perdarahan diantara neuron otak yangrelatif normal. Indikasi dilakukan operasi
adanya daerah hiperdens, diameter .3 cm, perifer, adanya pergeseran garis tengah.
h. Fraktur basis kranii
Fraktur dari dasar tengkorak, biasanya melibatkan tulang temporal, oksipital,
sphenoid dan etmoid. Terbagi menjadi fraktur basis kranii anterior dan posterior.
Pada fraktur anterior melibatkan tulang etmoid dan spenoid, sedangkan pada fraktur
posterior melibabtkan tulang temporal, oksipital dan beberapa bagian tulang
sphenoid. Tanda terdapat fraktur basis kranii antara lain:
- Ekimosis periorbital (racoons eyes)
- Ekimosis mastoid (battles sign)
- Keluar darah beserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (rinore atau
otore)
- Kelumpuhan nervus kranial

7. Penatalaksanaan
Menurut Satyanegara (2010) dalam Huda & Kusuma (2016) penatalaksaan yang dapat
terjadi adalah sebagai berikut:
a. Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (airway-breating-
circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anamia akan cenderung memperhebat
peninggian tekanan intrakranial dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
b. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-
gangguan dibagian tubuh lainnya.
c. Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan
pupil, reflek okulosefalik dan reflek okuloves tubuler. Penilaian neurologis kurang
bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah (syok).
d. Pemberian pengobatan seperti antiedemaserebri, anti kejang, dan natrium
bikarbonat.
e. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti scan tomografi komputer otak dan
angiografi serebral.

8. Komplikasi
a. Koma
b. Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya
sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Keadaan seperti ini dapat
berkembang menjadi epilepsi.
c. Infeksi
Fraktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk
d. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis
sehingga terjadi nervus paralisis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf
untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda.
e. Hilangnya kemampuan kognitif
f. Penyakit Alzheimer dan parkinson
Pada kasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit alzheimer
tinggi dan sedikit parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekunsi dan
keparahan cedera.

9. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Satyanegara (2010) dalam Huda & Kusuma (2016) pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Foto polos tengkorak (skull X-Ray)
b. Angiografi serebral
c. Pemeriksaan MRI
d. CT Scan
Indikasi CT Scan adalah seperti nyeri kepala, muntah-muntah, penurunan GCS
lebih 1 point, adanya lateralisasi, bradikardi (nadi,60 x/menit), fraktur impresi
dengan lateralisasi yang tidak sesuai, tidak ada perubahan selama 3 hari perawatan
dan luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

10. Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
- Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
- Sistem kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
- Sistem saraf :
a. Kesadaran GCS.
b. Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
c. Fungsi sensori-motorik: adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
3. Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan
mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar tanyakan
pola makan? Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
4. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
5. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan
gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
6. Kemampuan komunikasi: kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
7. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien
dari keluarga.

B. Diagnosa
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan
meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan:
Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak
atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi :
1. Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
2. Kaji apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada
cedera vertebra.
3. Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret
segera lakukan pengisapan lendir.
4. Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
5. Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan
tinggikan 15-30 derajat.
6. Pemberian oksigen.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan:
Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat,
kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial.

Intervensi :
1. Tinggikan posisi kepala 15-30 derajat dengan posisi midline untuk
menurunkan tekanan vena jugularis.
2. Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya.
3. Peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi
kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir
atau suction, perkusi). Tekanan pada vena leher, pembalikan posisi dari
samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
4. Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada
anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
5. Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
6. Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan
sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
7. Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial
sesuai program.
8. Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena
dapat meningkatkan edema serebral.
9. Monitor intake dan out put.
10. Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
11. Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan
pemenuhan nutrisi.
12. Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
3. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala
Tujuan:
Merasa nyaman yang ditandai dengan tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda
vital dalam batas normal.
Intervensi :
1. Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri,
lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat,
berkeringat dingin.
2. Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
3. Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
4. Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
5. Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
4. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial.
Tujuan :
Terbebas dari injuri.

Intervensi :
1. Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon
terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan
menurun, dan kejang.
2. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
3. Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
4. Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
5. Berikan analgetik sesuai program.
DAFTAR PUSTAKA

Huda, A & Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan Diagnosa
Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Yogjakarta: 2016.
Morton, et al. 2012. Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Keperawatan Holistik Volume
1. Jakarta: EGC.
Sastrodiningrat, A.G. 2012. Neurosurgery Lecture Notes. Medan: USU Press.

You might also like