You are on page 1of 3

Esensi Arsitektur Menurut Yb Mangunwijaya

Definisi arsitektur
Sangat sulit sekali untuk mebdefinisikan arsitektur. seperti yang diungkapkan
Mangunwijaya(1988, 431) istilah tersebut sebenarnya miskin tidak banyak
mengungkapkan isi yang lebih luas dan dalam. Definisi dari kata arsitektur jika di
tinjau dari etimologinya berasal dari Bahasa yunani yaitu Arche dan tekton, yang
dimana arche berarti yang asli , yang utama, yang awal sedangkan tektoon
menunjuk pada sesuatu yang berdiri kokoh, tidak roboh, stabil dan sebagainya jadi
kata arsitektur hanya punya sudut pandangan teknis statika bangunan belaka
(Mangunwijaya TAHUN, p. 431)

Mangunwijaya (1988, p.47) menyatakan Bangunan, biar benda mati namun


tidak berarti tak berjiwa. Rumah yang kita bangun adalah rumah manusia. Oleh
karena itu merupakan sesuatu yang sebenarnya selalu dinapasi oleh kehidupan
manusai, oleh watak dan kecenderungan kecenderungan, oleh napsu dan cita
citanua. Rumah selalu adalah CITRA sang manusia pembangunnya. Seperti pakaian
kita juga. Dari pakaian, orang lain dapat mengambil kesimpilan banuak tentang
watak sikap si pembuatnya. Tentang kekosongannya.

Dalam membangun rumah menurut mangunwijaya ada dua lingkungan


masalah yang perlu diperhatikan, yaitu lingkungan masalah guna dan lingkungan
masalah citra

a. Guna
Perkataan guna menunjuk pada keuntungan, pemanfaatan (use,
Bahasa inggris) yang diperoleh. Pelauanan yang dapat kita dapat darinya. Berkat
tata ruangnya, pengaturan fisik yang tepat dan efisiensi, kenikmatan( comfort)
yang kita rasakan disitu dan sebagainya. Guna falam arti kata aslinya tidak
hanya berarti bemafaat, untung materiil belaka, tetapi lebih dari itu punya daya
yang menyebabkan kita bias hidup lebih meningkat. Bila udara panas, rumah
bias ber-Guna, ber-Daya guna karena didalamnya tetap sejuk dan seterunsya
(Mangunwijaya 1988, p. 52)

b. Citra

Semua itu sangat bertalian dengan citra rumah, citra sebetunya hanya
menmenunjuk suatu gambaran(image), suatu kesan penghayatan yang
menangkap Arti bagi seseorang. Citra gedung istana megah besar tentulah
melambangkan kemegahan juga, kewibawaan seorang kepala Negara misalnya.
Dan gubug reyot adalah citra yang langsung menggambarkan keadaan penghuni
miskin yang serba reyot juga keadaanya (Mangunwijaya 1988, p. 52 - 54)

A. Keterkakaitan guna dan citra


Citra tidak jauh sekali dari guna, tetapi lebih bertingkat spiritual, lebih
menyangkut derajad dan martabat manusia yang berumah, sekali lagi sama
dengan pakaian manusia. Pakaian manusiapun tidak berfungsi pertama-tama
untuk menutupi dan melindungi tubuh terhadap panas, dingin. Tetapi yang paling
utama diemban oleh pakaian ialah citra manysia yang memakainya. Citra
menunjuk pada tingkat kebudayaan sedangkan guna lebih menuding pada segi
keterampilan/kemampuan. (Mangunwijaya 1988, p. 54)
Mangunwijaya juga menekankan bahwa sebenarnya citra yang timbul
tidak serta merta datang begitu saja, tanpa suatu sebab yang jelas, ia
menegaskan bahwa citra yang timbul dan hadir di dikte dari setiap guna yang
dicitacitakan, Sebagai contoh Rumah memang bisa di anggap mesin , tapi lebih
dari itu rumah atau bangunan lain adalah citra, cahaya pantulan jiwa dan cita cita
kita, ia adalah lambing yang membahasakan segala yang manusiawi
(mangunwijaya 1988, p. 54)
Seperti pada beberapa contoh berikut. Citra yang tampil
menunjukkan bahwa ia mengikuti dan tidak jauh dari tujuan yang telah
dicita citakan oleh arsitek/ pembangun-nya.
Pada bangunan lumbung padi Citra yang timbul adalah kesan sebuah
image dimana kehadiranya yang laras dengan alam sekitar, yang
bergunung gunung memuncak seperti lumbung itu.alas yang sempit
dan tubun hany melebar keatas mencitrakan bahwa masyarakat
minang tidak berbudi rendah
Dalam konstruksi bangunan ini pemikul utama memanfaatkan
efisiensi yang hemat material. Biro dengan konstruksi mencolok
seperti ini sering juga agar berfunsi selaku iklan komersiil. Karena
dengan sendirinua semacam titik orientasi lokal (Mangunwijaya 1988,
p.58)
Namun perlu di perhatikan bahwa Pada tahap primer orang
berpikir dan bercitarasa dalam alam penghayatan kosmis dan mistis,
atau agama. Tidak estetis (mangunwijaya 1988, p.78). Meru-meru yang
dibangun oleh orang bali bukan pertama tama karena meru itu indah dan dapat
menyedapkan pemandangan. Tetapi meru dibangaun dan hanya dengan bentuk
seperti itu merupakan tuntutan agama. Asas asas rohanilah yang menghendaki
bentuk itu (mangunwijaya 1988, p.78) dan contoh lain jika kita menilai bahwa
bentuk candi penataran itu indah, selaras, dan harmonis teranglah itu baru
penilaian subjektif kita. Sebab membangun candi bagi nenek moyang kita bukan
mencari segi keindahannya. Mekainkan itu kewajiban rohani (mangunwijaya
1988, p. 77) dari sebab itu banyak karya seni atau khususnya arsitektur dari

1
zaman zaman dahulu tidak selayaknyalah kita nilai dan kita ukur menurut norma
norma estetika, apalagi estetika kita di masa kini. (mangunwijaya 1988, p.78)
karena sebenarnya nilai arsitektur dari arsitektur masa lalu jika ditarik kesimpulan
dari pembahasan diatas. Tidak menempatkan citra yang estetis sebagai
pertimbangan utama. Tapi lebih mengutamakan guna yang dari banguna
tersebut

You might also like