You are on page 1of 2

Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2013, 1 pekerja di dunia

meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja.
Tahun sebelumnya (2012) ILO mencatatat angka kematian dikarenakan kecelakaan dan penyakit
akibat kerja (PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun. Sebagian besar dari jumlah penduduk
Indonesia adalah masyarakat pekerja, oleh karena itu perlu peningkatan kesehatan dan
keselamatan pada pekerja agar kesehatan dan produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.

ILO menyatakan bahwa Pneumoconiosis merupakan penyakit akibat kerja yang paling
banyak diderita oleh pekerja. Di tahun 1999, WHO menyatakan bahwa dari 1 juta kematian pada
pekerja, 5% diantaranya adalah akibat Pneumoconiosis. Berdasarkan data ILO tahun 2013, 30%
hingga 50% pekerja di negara berkembang menderita Pneumoconiosis. Indonesia merupakan
negara berkembang yang salah satu penopang ekonominya adalah sektor industri yaitu industri
pertambangan.

Pneumoconiosis adalah sekumpulan penyakit yang disebabkan oleh penimbunan debu-


debu di dalam jaringan paru-paru. Istilah pneumoconiosis berasal dari bahasa yunani yaitu
pneumo berarti paru dan konis berarti debu. Debu-debu yang berukuran 5 10 mikron akan
ditahan oleh jalan nafas bagian atas , sedangkan yang berukuran 3 5 mikron ditahan dibagian
tengah jalan nafas. Partikel-partikel yang berukuran 1 3 mikron akan ditempatkan langsung di
permukaan jaringan dalam paru-paru.

Terminologi pneumoconiosis pertama kali digunakan untuk menggambarkan penyakit paru


yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral. Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan
berbagai keadaan berikut :

a. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes
(asbestosis) dan timah (stannosis)
b. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara
c. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis)

Biasanya gejala penyakit ini akan timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun. Tetapi
pada peledakan pasir, pembuatan terowogan dan pembuatan alat pengampelas, dimana kadar
silika yang dihasilkan sangat tinggi, gejala dapat timbul dalam waktu kurang dari 10 tahun
Secara umum gejala gejala pneumoconiosis antara lain batuk batuk kering saat nafas ,
kelelahan umum , berat badan berkurang dan lain-lain. Jika dilakukan penggambilan gambar
Rontgen pada penderita, maka gambar tersebut akan menunjukkan adanya kelainan dalam paru
paru , namun pemeriksaan ditempat kerja harus menunjukkan adanya debu yang diduga
sebagai penyebab pneumokoniasis.

Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan metode promotif dan preventif. Pada
promotif dapat dilakukan penyuluhan kepada tenaga kerja seperti penggunaan Alat Plindung
Diri (APD) saat bekerja, penyuluhan mengenai kesehatan para tenaga kerja berdasarkan
pekerjaan yang dilakukannya. Kepada pekerja perlu diberi penyuluhan mengenai kebersihan
perorangan, makanan yang nilai gizinya sesuai dengan jenis pekerjaan, gerak badan untuk
kesehatan (olahraga), pertolongan pertama pada kecelakaan, dan perilaku dalam Keselamatan
dan Kesehatan Kerja.

Pengawasan terhadap di lingkungan kerja dapat membantu mencegah terjadinya


pneumoconiosis. Tindakan preventif dapat dilakukan dengan cara memperhatikan ventilasi baik
lokal maupun umum. Ventilasi umum antara lain dengan mengalirkan udara ke ruang kerja
melalui pintu dan jendela dan ventilasi lokal berupa pipa keluar stempat. Agar perlindungan
menjadi maksimal, pekerja mesti dibekali denan respirator (masker anti debu). Respirator
dilengkapi denga filter hingga mampu mencegah partikel debu terhirup ke dalam paru-paru.
Pengendalian debu di lingkungan kerja dapat dilakukan terhadap 3 hal yaitu pencegahan
terhadap sumbernya, media pengantar (transmisi) dan terhadap manusia yang terkena dampak.

Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit pneumoconiosis. Untuk mencegah semakin
memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan. Terapi suportif
terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan
antibiotik. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah :

Membatasi pemaparan terhadap silika


Berhenti merokok
Menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin.

Penderita pneumoconiosis memiliki resiko tinggi menderita Tuberkulosis (TBC), sehingga


dianjurkan untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. Silika diduga mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, diberikan obat anti
TBC.

Pengobatan definitif terhadap pneumoconiosis tidak ada. Bila terdapat infeksi sekunder
berikan terapi yang sesuai. Infeksi pyogenik berikan antibiotik yang sesuai secara empirik,
infeksi jamur paru berikan obat anti jamur, dan terhadap tuberkulois paru berikan obat anti
tuberkulosis dosis dan lamanya sesuaikan dengan kategorinya. Kita juga dapat membatasi
kemungkinan cacat dengan memeriksa dan mengobati tenaga kerja secara komprehensif,
mengobati tenaga kerja secara sempurna, pendidikan kesehatan. Pindah ke bagian yang tidak
terpapar. Lakukan cara kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik.

You might also like