You are on page 1of 11

Asuhan Keperawatan Spinal Cord Injury (SCI)

A. Definisi
Trauma pada tulang belakang (spinal cors injury) adalah cedera
yang mengenai servikal, vertebralis, dan lumbalis dari suatu trauma yang
mengenai tulang belakang (Mutttaqin, 2008). Trauma spinal adalah
injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi spinal collumna
maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak, dan
struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma
berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga,
dan sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna
vertebral (fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra) atau
injuri saraf yang aktual maupun potensial (Price, 2005).
Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena trauma
spinal cord atau tekanan pada spinal cord karena kecelakaan
Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena trauma spinal
cord atau tekanan pada spinal cord karena kecelakaan.
Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner &
Suddarth, 2001).

B. Etiologi
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup
kuat untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga,
tersering karena menyelam pada air yang sangat dangkal (Pranida, Iwan
Buchori, 2007).
Penyebab dari cedera medulla spinalis menurut Batticaca (2008), antara
lain:

Kecelakaan di jalan raya (paling sering terjadi)


Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana
cukup kuat untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina

Olahraga

Menyelam pada air yang dangkal

Luka tembak atau luka tikam

Ganguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla


spinalis seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang
menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera
progresif terhadap medulla spinalis dan akar; mielitis akibat
proses inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis
yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertembra;
tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vascular.

C.Tanda Dan Gejala

Tanda dan gejala pasien yang mengalami Spinal Cord Injury (SCI)
a. Sakit atau tekanan yang berat di leher, kepala. Biasanya nyeri terjadi
hilang timbul
b. Geli (kesemutan) atau kehilangan sensasi di tangan, jari dan tangan
c. Kehilangan kontrol salah satu atau seluruh bagian tubuh
d. Inkontinensia urie yang mengkin disebabkan karena kelumpuhan saraf.
e. Kesulitan berjalan dengan keseimbangan
f. Abnormal band seperti sensations dalam Thorax - rasa sakit, tekanan
g. Sulit bernafas setelah cedera
h. Tidak berfungsi

D. KLASIFIKASI

Sebelum membicarakan macam-macam cedera tulang belakan serta kord


spinal secara khusus akan dibicarakan dulu secara garis besar. Harus
diingat bahwa cedera tulang belakang mempunyai komponen tulang dan
komponen saraf hingga pengelolaan akan ditentukan oleh faktor-faktor
dari kedua aspek tersebut.
a. Cedera Tulang
1) Stabil
Cedera yang stabil adalah bila fragmen tulang tidak mempunyai
kemampuan untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi pada saat
cedera. Komponen arkus neural intak, serta ligamen yang
menghubungkan ruas tulang belakang, terutama ligamen longitudinal
posterior, tidak robek. Cedera stabil diakibatkan oleh tenaga fleksi,
ekstensi dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna tulang belakang
dan tersering tampak pada daerah toraks bawah serta lumbar. Fraktura
baji badan ruas tulang belakang yang diakibatkan oleh fleksi akut pada
tulang belakang adalah contoh yang umum dari fraktura stabil.
2) Tak stabil
Fraktura mempunyai kemampuan untuk bergerak lebih jauh. Kelainan ini
disebabkan oleh adanya elemen rotary terhadap cedera fleksi atau
ekstensi yang cukup untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta
merusak keutuhan arkus neural, baik akibat fraktura pada pedikel dan
lamina, maupun oleh dislokasi sendi apofiseal.
b. Cedera Neurolis
1) Tanpa defisit neurologis
Pemeriksaan klinis tak menunjukkan adanya kelainan neurologis.
2) Dengan defisit neurologis
Kerusakan neurologis yang terjadi saat kecelakaan dapat lengkap dengan
hilangnya fungsi dibawah tingkat cedera atau tidak lengkap. Defisit
neurologis paling mungkin terjadi setelah cedera pada daerah punggung
karena kanal spinal tersempit didaerah ini. Adanya spondilosis servikal
memperberat kerusakan neurologis bahkan karena cedera minor
sekalipun pada orang tua. Ancaman terhadap leher juga bertambah
karena artritis rematoid.
Harus selalu diingat bahwa tulang belakang toraks adalah daerah utama
terjadinya fraktura patologis karena proses metastatic. nya saraf pada
kepala atau tulang belakang
E. Manifestasi Klinis

Manifestasi yang timbul antara lain:

a.Bila pasien dalam keadaan sadar, biasanya mengeluh nyeri akut


pada belakang
leher, yang mnyebar sepanjang saraf yang terkena
b.Cedera spinal dapat menyebabkan paraplegia atau quadriplegia

Akibat cedera bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan


tipe cedera :
a. Tingkat neurologik: berhubungan dengan tingkat fungsi sensori
dan motorik bagian
bawah yang normal. Tingkat neurologic bagian bawah
mengalami paralisis sensori
dan motorik total, kehilangan kontrol kandeng kemih, penurunan
keringat dan
tonus vasomotor dan penurunan tekanan darah diawali dengan
resistensi vascular
perifer.
b. Tipe cedera, mengacu pada luasnya cedera medulla spinalis itu
sendiri: Masalah
pernapasan basanya dikaitkan dengan penurunan fungsi
peranpasan, beratnya
bergantung pada tingkat cedera. Otot-otot yang berperan dalam
pernapasan
adalah abdominal, interkostal (T1-T11) dan diafragma. Pada
cedera medulla
spinalis servikal tinggi, kegagalan pernapasan akut adalah
penyebab utama
kematian (Smeltzer, 2001).

Manifestasi klinis berdasarkan lokasi yang mengalami trauma dan


apakah trauma
terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi
berdasarkan lokasi
trauma:

Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal

Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku
yang lemah;kehilangan refleks brachioradialis

Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan
fleksi sikumasih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep

Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan

C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis
kaki

Antara T11 dan T12


Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut

T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut

Cauda equine

Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan


usually pain and hyperesthesia, kehilangan control bowel dan
bladder

S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1


Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total. Bila terjadi
trauma spinal total atau complete cord injury, manifestasi
yangmungkin muncul antara lain total paralysis, hilangnya semua
sensasi dan aktivitas refleks (Merck, 2010).
F. Patofisiologi
Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari
ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga, mengakibatkan
patah tulang belakang; paling banyak cervicalis dan lumbalis. Fraktur
dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi,
sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio,
kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran
darah, blok syaraf parasimpatis pelepasan mediator kimia, kelumpuhan
otot pernapasan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan
hipoksemia syok spinal gangguan fungsi rektum, kandung kemih.
Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman, nyeri, oksigen dan
potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia, gangguan eliminasi.

G. Pemeriksaan Penunjang

Berdasarkan patofisiologi di atas, maka sangat penting dilakukan


pemeriksaan diagnostik SCI yang dapat meliputi, sbb:
1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislok)
2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

H. Komplikasi

Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian


atas cedera lain dan mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60%
lebih pasien dengan cedera kord spinal bersamaan dengan cedera major:
kepala atau otak, toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta jangkauan
cedera penyerta yang berpotensi didapat dari penilaian primer yang
sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik terhadap pasien setelah
cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera kord
spinal adalah aspirasi dan syok.

Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang dapat timbul dari cedera


medulla spinalis
yakni:
a. Syok spinal

Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada


medulla spinalis (areflexia) dibawah tingkat cedera. Dalam kondidi ini otot-
otot yang disarafin oleh bagian segmen medulla yang ada dibawah tingkat
lesi menjadi parlisis kolplet dan flaksid dan reflex-refleks tidak ada.
Tekanan darah menurun. Karena ada cedera servikal dan medulla spinalis
torakal atas, pernapasan pada otot aksesorius mayor pernapasan hilang
dan terjadi masalah pernapasan : penurunan kapsitas vital, retensi
sekresi, peningkatan tekanan parsial karbondioksida, penururnan PO2,
Kegagalan pernapasan dan edema pulmonal.

b. Trombosis Vena Profunda

Merupaka komplikasi umum dari imobilitas dan umumnya pada


pasien cedera medulla spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami
embolisme pulmonal (EP) dengan manifestasi nyeri dada pleuritis, cemas,
nafas pendek, dan nilai gas darah abnormal.

c. Komplikasi lain

Komplikasi lain dapat berupa dekubitus dan infeksi (infeksi


urinarius, pernapasan, dan local pada tempat pin).

I. Penatalaksnaan Medis dan Keperawatan


Penatalaksaan medis
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam
posisi lurus;
1. Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk
mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung
bila memindahkan pasien.
2. Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan
Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak.
3. Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur
servikal stabil ringan.
4. Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington)
untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x
ditemui spinal tidak aktif.
Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis
dengan
menggunakan glukortiko steroid intravena
Penatalaksanaan Keperawatan

Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada


neurologis, kemungkinan didapati defisit motorik dan
sensorik di bawah area yang terkena: syok spinal, nyeri,
perubahan fungsi kandung kemih, perusakan fungsi seksual
pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi
seksualnya, perubahan fungsi defekasi

Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya

Pemeriksaan diagnostik

Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation).

J. Pengkajian Keperawatan

Adapun beberapa hal penting yang perlu dikaji dalan Spinal Cord
Injury dapat meliputi, sbb:

Riwayat trauma (KLL, olahraga, dll)

Riwayat penyakit degeneratif (osteoporosis, osteoartritis, dll)

Mekanisme trauma

Stabilisasi dan monitoring

Pemeriksaan fisik; KU, TTV, defisit neurologis, status


kesadaran awal kejadian, refleks, motorik, lokalis (look, feel,
move).

Fokus; deformitas leher, memar pada leher dan bahu,


memarpada muka atau abrasi dangakal pada dahi.

Pemeriksaan neurologi penuh.

K. Diagnosa dan Rencana Keperawatan

1 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot


diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < rr =" 16-20">
Intervensi keperawatan :
1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.
Rasional: pasien dengan cedera cervicalis akan
membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/
mempertahankan jalan nafas.

2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah,


jenis dan karakteristik sekret. Rasional : jika batuk tidak
efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret,
dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.

3. Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6


menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial,
karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.

4. Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi


biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang
berakibat pnemonia.

5. Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan


adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan
segera

6. Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional :


kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan
diafragm

7. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.


Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan
mobilisasi sekret sebagai ekspektoran.

8. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan


kekuatan pernapasan. Rasional : menentukan fungsi otot-
otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk
mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.

9. Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk


mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai
contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.

10. Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih


sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan.

11. Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret


tertahan
2. Diagnosa keperawatan : kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dng
kelumpuhan
Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa
diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien
mampu beraktifitas kembali secara bertahap.
Intervensi keperawatan :

1. Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi


keadaan secara umum

2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan.


Rasional memberikan rasa aman

3. Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif

4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki.


Rasional mencegah footdrop

5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.


Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik

6. Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan


hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit.

7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam.


Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri
yang berhubungan dengan spastisitas.

3. Diagnosa keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri


berhubungan
dengan adanya cedera
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan
dan pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang
Intervensi keperawatan :

1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien


melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.

2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional :


nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu,
distensi kandung kemih dan berbaring lama.

3. Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa


nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri.
4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional :
memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.

5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk


menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan
kecemasan dan meningkatkan istirahat.

4. Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi alvi /konstipasi


berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan
rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi
alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Intervensi keperawatan :

1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan


karakteristiknya.Rasional : bising usus mungkin tidak ada
selama syok spinal.

2. Observasi adanya distensi perut.

3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT.


Rasional : pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin
terjadi akibat trauma dan stress.

4. Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi


feces

5. Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional:


merangsang kerja usus

5. Diagnosa keperawatan : perubahan pola eliminasi urine


berhubungan
dengan kelumpuhan syarat perkemihan.
Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan
Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak
ada
Intervensi keperawatan:

1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.


Rasional : mengetahui fungsi ginjal

2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.

3. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional :


membantu mempertahankan fungsi ginjal.
4. Pasang dower kateter. Rasional membantu proses
pengeluaran urine

6. Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit


berhubungan dengan
tirah baring lama
Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama
perawatan
Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering
Intervensi keperawatan :

1. Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit cenderung


rusak karena perubahan sirkulasi perifer.

2. Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan: untuk


mengurangi penekanan kulit

3. Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan


integritas kulit

4. Jagalah tenun tetap kering. Rasional: mengurangi resiko


kelembaban kulit

5. Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan : Rasional :


meningkatkan sirkulasi sistemik& perifer, menurunkan
tekanan pada kulit serta mengurangi kerusakan kulit.

DAFTAR KEPUSTAKAAN :

Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB


Lippincott company, Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana
Asuhan Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa
Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice,
fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia.
Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta

You might also like