Professional Documents
Culture Documents
Sejak adanya bencana tsunami di Aceh dan bencana alam yang terjadi di berbagai
wilayah terkhusus gempa yang sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia merupakan
pembelajaran penting dalam hal manajemen bencana dan menghasilkan UU No. 24 tahun
2007 yang membahas tentang penanggulangan bencana, menunjuk kelembagaan BNPB,
pendirian BNPB Daerah, dan yang lain sebagainya. Berdasarkan aspek kecepatan, ketepatan,
keakuratan, keandalan kmunikasi, dan informasi masih terdapat problematik, terutama pada
masalah simpangsiurnya suatu informasi, pemberian bantuan yang tidak merata. Belajar dari
peristiwa Gempa Bumi yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan pada
tanggal 27 Mei 2006. Gempa Bumi tersebut mengakibatkan korban jiwa ang mendekati
angka 6000 orang dan banyak sarana fisik (infrastruktur, pendidian, ekonomi, tempat
tinggal). Peristiwa tersebut sempat membuat kepanikan yang luar biasa dikarenakan lembaga
penanggulangan bencana SATKORLAK/SAR lebih berkonsentrasi pada Gunung Merap yng
memiliki status Siap Meletus, selain itu yang membuat kepnikan yaitu dari sisi masyarakat
sendiri masih kurang siap untuk menghadapi bencana tersebut. Berdasarkan hal tersebut
terdapat beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai pelajaran yaitu yang pertama adalah kita
harus lebih bisa belajar atau memahami alam, yang kedua seluruh komponen masyarakat
harus memiliki ketrampilan mobilisasi terkhusus pada situasi bencana, dan yang ketiga
pembelajaran yang harus diberikan kepada masyarakat mengenai karakter dan mental
masyarakat, dan yang keempat adalah meninjau kembali konsep dan praktek manajemen
bencana.
Belajar dari pengalaman gempa Yogyakarta dan sampai program rekonstruksi saat ini
masih menyisakan berbagai persoalan diantaranya komitmen bantuan pemerintah untuk
rekonstruksi, birokrasi bantuan gempa, koordinasi antar instansi, persepsi masyarakat
terhadap pemerintah. Berdasarkan persoalan tersebut, ada satu persoalan yang sangat penting
yaitu mengenai komunikasi. Komunikasi tersebut adalah hal utama untuk menangani
kesimpangsiuran suatu informasi, kejelasan, ketepatan. Semua komponen tersebut
membutuhkan peran yaitu manajer komunikasi dimana nantinya akan bertanggung jawab
atas informasi publik yang telah disebarluaskan. Berdasar hal tersebut, belajar dari peristiwa
letusan gunung Merapi (2010). Peristiwa tersebut masih terdapat berbagai hal yang harus
diperhatikan seperti kesiapan infrstruktur, daerah yang belum mendapat bantuan, logistik
bantuan tidak merata, adanya simpangsiur informasi mengenai batas wilayah aman, hal
tersebut memerlukan seorang manajer komunikasi untuk mempertanggungjawabkannya.
Gambar 1
Konteks Peristiwa Bencana : Korban, Leading Sector, dan Stakeholder
Gambar diatas menunjukkan posisi pihak yang ikut terlibat dalam manajemen
bencana, baik pra bencana, peristiwa bencana, maupun pasca bencana. Gambar paling atas
menunjukkan suatu posisi bencana terjadi dan diperihatkan juga bahwa korban adalah pihak
yang mendapat perhatian oleh aparat, LSM, dan relawan dimana mereka membantu pada saat
bencana terjadi. Sedangkan posisi yang berada dibawah adalah publik yang memiliki
kepentingan yang berupa keperdulian, informasi, bantuan mobilisasi evakuasi pada saat
bencana terjadi. Sedangkan gambar ditengah adalah pihak yang menjadi penanggung jawab
pemegang otoritas atas manajemen bencana dan lembaga atau sistem yang seharusnya untuk
menjembatani informasi, komunikasi, koordinasi, dan kerjasama. Media memiliki peran
penting seperti yang diungkapkan Candiotti (dalam OLeary 2004 : 418) yaitu media harus
menyampaikan suatu informasi secepat mungkin, seakurat mungkin, dan setenang mungkin
yang ditujukan kepada publik.
A.W. Coburn dkk, (1994:11) mengatakan bahwa mitigasi berarti mengambil tindakan
untuk mengurangi pengaruh-pengaruh dari suatu bahaya, sebelum bahaya terseut terjadi.
Mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari aktivitas dan tindakan perlindungan yang
mungkin diawali dari fisik, seperti membangun banguna yang lebih kuat, sampai dengan
yang prosedural. Mitigasi adalah proses awal yang penting dalam penanganan bencana.
Mitigasi bencana tidak hanya melibatkan pihak masyarakat untuk siap, sistem juga perlu
dikembangkan agar korban tidak terlalu banyak. Mitigasi bencana juga tidak hanya fokus
dengan bencana alam namun juga pada beberapa kemugkinan resiko/peristiwa yang bisa
menimbulan potensi bencana. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dikembangkan suatu
sistem untuk melakukan pencegahan pengurangan resiko yang mungkin terjadi di suatu
wilayah yang memiliki kerawanan yang tinggi dengan cara membangun sikap mental dari
seluruh komponen masyarakat dan pemerintah mengenai potensi bencana tersebut. Konsep
top down dan bottom up haruslah sebanding, karena paduan antara kedua konsep
tersebut akan menjadi sistem yang paling tepat dalam mengembangkan pengurangan resiko
bencana. Gambar dibawah ini memperlihatkan faktor mitigasi bencana dan aspek
komunikasi.
Gambar 2
Mitigasi dan Komunikasi
Pada gambar diatas terlihat adanya 5 faktor dasar yang secara signifikan berperan
dalam peristiwa bencana. Termasuk didalamnya adalah dalam aspek mitigasi, yaitu: faktor
manusia, teknologi, organisasi, kepemimpinan, dan media. Lima aspek tersebut bergerak
setelah memiliki landasan, baik hukum (UU) atau konseptualisasi penanganan bencana.
Masing-masing faktor tersebut memiliki kaitan dengan aspek komunikasi, yang merupakan
faktor penting dalam penanganan bencana.
Gambar 3
Komponen Peringatan Dini Terintegrasi