You are on page 1of 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spectrum manifestasi


klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile
illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah
dengue disertai syok (dengue shock syndrome = DSS). Gambaran manifestasi
klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan
kasus DBD dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gubung es yang
terlihat diatas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue
infection dan demam dengue) merupakan dasarnya.1

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan nasional


di negara kita. Data terakhir memperlihatkan bahwa seluruh propinsi di Indonesia
pernah melaporkan adanya kasus DBD. Sampai akhir tahun 1997, angka kematian
nasional dapat ditekan sampai 2,1 %, meskipun kematian di rumah sakir di
beberapa tempat masih tinggi antara 5-15%.3

DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga


1995), dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000
penduduk pada tahun 1995, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun
hingga mencapai 2% pada tahun 1999. 2

Infeksi virus dengue cenderung menjadi wabah. Pada permulaan tahun


1998, telah terjadi peningkatan jumlah kasus DBD di beberapa propinsi di
Indonesia (DKI, Sumsel, Kaltim, Sulteng, Sulut, NTT, Jateng, Jatim, Maluku
Barat dan Timur).3

Sejak KLB DBD di Indonesia pertama kali pada tahun 1969, sebagian
besar infeksi virus dengue menyerang anak-anak terutama dibawah usia 15 tahun.
Proporsi kasus DBD pergolongan umur di Indonesia tahun 1993-1997 tertinggi

1
pada usia sekolah (5-14 tahun), sedangkan pada tahun 1995-1997 telah bergeser
ke usia >15 tahun. Patogenesis infeksi virus dengue pada orang dewasa sama
dengan anak walaupun tampaknya pada kasus dewasa lebih ringan bila
dibandingkan kasus anak. Di pihak lain, perlu dipahami bahwa manifestasi infeksi
dengue bervariasi dan perjalan penyakit sulir diramalkan. Oleh karena itu,
diperlukan observasi baik secara klinis maupun pemeriksaan penunjang. Sebagian
besar kematian disebabkan oleh karena kegagalan dalam mengatasi syok dengan
akibat terjadi perdarahan, maka tatalaksana syok merupakan hal utama dalam
pengobatan DBD.3

1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas ilmu kesehatan anak.
b. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
pada infeksi virus dengue
Mahasiswa mampu melakukan penanganan dan penatalaksanaan
yang tepat pada pasien infeksi virus dengue
1.3 Manfaat
a. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat menggunakan ini sebagai bahan acuan dalam memahami
dan mempelajari mengenai infeksi virus dengue
b. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat terutama yang mengalami trauma kapitis akan menambah
pengetahuan mengenai penyakit ini beserta pengobatannya. Dengan
demikian penderita dapat mengetahui bagaimana tindakan selanjutnya
apabila mengalami gejala-gejala yang mengarah pada penyakit tersebut.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Demam Dengue dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic


fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada
DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
rejatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh rajatan syok.2

2.2. Vektor

Sampai saat ini telah diketahui beberapa nyamuk sebagai vektor dengue.
Walaupun ae.aegypti diperkirakan vektor utama penyakit dengue hemoragic fever
(DHF), pengamatan epidemiologis dan percobaa penularaan di laboratorium
membuktikan bahw Ae. Scuttelaris dan Ae. Polynesiensis yang terdapat di
kepulauan pasifik selatan dapat menajdi vektor demam dengue. Di kepulauan
rotuna di daerah fiji pada waktu terjadi wabah demama dengue tahun 1971-1971,
Ae rotunae dilaporkan sebagai satu-satunya vektor yang ditemukan. Di Indonesia,
walaupun vektor DHF belum diselidiki secara luas, Ae.aegypti diperkirakan
sebagai vektor terpenting di daerah perkotaan, sedangkan Ae.albopictus di daerah
pedesaan.

3
2.3. Epidemiologi

Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di


Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1958 meletus epidemic penyakit serupa di
Bangkok. Setelah tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk
epidemic di beberapa negara lain di Asia tenggara, diantaranya di Hanoi (1958),
Malaysia (1962-1964), Saigon (1965) dan lain-lain. Di Indonesia DBD pertama
kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru
diperoleh pada tahun1970.1

DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga


1995), dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000
penduduk pada tahun 1995, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun
hingga mencapai 2% pada tahun 1999. 2

Penularan virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus Aedes


(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi

4
nyamuk betina yaitu benjana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan
tempat penampungan air lainnya). 2

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan


virus dengue yaitu: 1) Kepadatan vector di lingkungan, transportasi vector dari
satu tempat ke tempat lain; 2) Penjamu : terdapatnya penderita di lingkungan
keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3)
Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk. 2

2.4. Etiologi

Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arboviruses) dan


sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, family Flaviviridae, yang mempunyai 4
jenis serotype yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4. Infeksi dengan salah satu
serotype akan menimbulkan antobodi seumur hidup terhadap serotype yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotype yang lain.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau
bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotype virus dengue yang
dapat dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukan bahwa
keempat serotype ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe den-3
merupakan serotype yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.1

2.5. Patogenesis

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih


diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom
renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah :
a. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibody terhadap virus dengue
berperan dalam mempercepat replikasi virus pad monosit atau makrofag.
Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE);

5
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu
TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan
TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;

c. Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi


antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;

d. Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan


terbentuknya C3a dan C5a.

Gambar : Hipotesis secondary heterologus infections (Sumber : Suvatt 1977-


dikutip dari Sumarni, 1983)

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous


infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi
anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang
tinggi.

6
Kurang dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang me-fagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga
virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diprosuksi limfokin dan
interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet
activating factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi
sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi
melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :


a. Supresi sumsum tulang, dan

b. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.

Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan
keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan
terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi tromobositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibody VD,
konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP,
peningkatan kadar b-tromoboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda
degranulasi tromobosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi factor Xia
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex) (Price,
Wilson, 2006).

7
Gambar : Manifestasi klinis infeksi virus dengue (Sumber : Monograph on
Dengue/ Dengue Haemorrahgic fever, WHO 1983)

2.6. Manifestasi Klinis

Demam Dengue (Dengue Fever)

Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal
penyakit biasanya mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala, nyeri
berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa mengigil dan malaise. Dijumpai trias
sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan timbulnya ruam
(rash). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada
hari sakit 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruan terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar
ke anggota gerak dan muka. 1

Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan mendadak,
disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri belakang bola mata, punggung,
otot, sendi dan disertai rasa mengigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat kurva
suhu yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya
bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien singga tidak dapat dianggap
patognomonik.1

8
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, disamping itu perasaan tidak
nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering
ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan dalam indra pengecap.
Gejala klinis lain sering terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran, suara
serak, batuk, epitaksis dan disuria. Demam menghilang secara lisis, disertai
keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-
77% kasus. Beberapa sarjana menyebutnya sebagai Castelanis sign, sangat
patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis
banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. Rush pada tahun 1789
melaporkan pasien demam dengue dengan perdarahan yang kemudian meninggal.
Bentuk perdarahan lain yang dilaporkan ialah menoragi dan menstruasi dini,
abortus atau kelahiran bayi berat badan lahir rendah, mungkin sekali akibat
perdarahan uterus. 1

Kelainan darah tepi demam dengue ialah leucopenia selama periode pra-
demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia
relative dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa
konvalensens. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada
puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu. 1

Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan ialah orkhitis atau


ovaritis, keratitis, dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis dilaporkan,
diantaranya menurunya kesadaran, paralisis sensorium yang bersifat sementara,
meningismus, dan ensefalopati. Diagnosis banding mencangkup berbagai infeksi
virus (termasuk chickungunya), bacteria dan parasit yang memperlihatkan
sindrom serupa. Menegakkan diagnosis klinis infeksi virus dengue ringan adalah
mustahil, terutama pada kasus-kasus sporadis. 1

Demam berdarah dengue

Demam berdarah dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam


tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan
peredaran darah (circulatory failure). Fenomena patofisiologi utama yang

9
menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dan DD ialah peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunya volume plasma,
trombositopenia, dan diathesis hemoragik. Perbedaan gejala antara DBD dengan
DD tertera pada table 1. 1

Tabel 1. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue1

Demam berdarah
Demam dengue (DD) Gejala klinis
dengue (DBD)
++ Nyeri Kepala +
+++ Muntah ++
+ Mual +
++ Nyeri otot +
++ Ruam Kulit +
++ Diare +
+ Batuk +
+ Pilek +
++ Limfadenopati +
+ Kejang +
0 Kesadaran Menurun ++
0 Obstipasi +
+ Uji Tourniquet positif ++
++++ Petekie +++
0 Perdarah saluran cerna +
++ Hepatomegali +++
+ Nyeri Perut +++
++ Trombositopenia ++++
0 Syok +++
Keterangan : (+) 25%, (++) 50 %, (+++) 75%, (++++) 100 %

Pada DBD terdapat perdarah kulit, uji tourniquet positif, memar dan
perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang tersebar di
anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam. Harus
diingat juga bahwa perdarahan dapat terjadi di setiap organ tubuh. Epitaksis dan
perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran percernaan hebat
lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi.
Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungtiva kadang-kadang ditemukan.
Pada masa konvalensens seringkali ditemukan eritema pada telapak
tangan/telapak kaki. 1

10
Sindrom Dengue Syok

Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari


keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah
demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat diterangkan
dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis (the immunological enhancement
hypothesis). Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran
darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat
dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase syok.
Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. 1

Fabie (1966) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat seringkali


mendahului perdarahan gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosernal tanpa sebab
yang jelas dapat memberikan petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal yang
hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis
buruk. 1

Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat,


kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau
kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok
harus segera diobati, apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat
(profound shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapar diraba.
Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis
metabolic, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk.
Sebaliknya, dengan pengobatan yang tepat (termasuk kasus syok berat) segera
terjadi masa penyembuhan dengan cepat. Pasien membaik dalam 2-3 hari. Selera
makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik. 1

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan


hemokonsetrasi. Jumlah trombosit <100.000/ul ditemukan antara hari sakit ke 3-7.
Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walau
dapat terjadi pula pada kasus derajat ringan meskipun tidak sehebat dalam sehebat
dalam keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah
hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transaminase serum dan urea nitrogen darah

11
meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolic. Jumlah leukosit
bervariasi antara leucopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan
albuminuria ringan yang bersifat sementara. 1

Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium.

Klinis

Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama selama 2-7 hari.

1. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu


bentuk perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epitaksis, perdarahan
gusi), hematemesis dan atau melena.
2. Pembesaran hati
3. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi
menurun (20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik 80
mmHg) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung
hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar
mulut. 1
2.7. Laboratorium

Trombositopenia ( 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat


dari peningkatan nilai hematokrit 20 % dibandingkan dengan nilai hematokrit
pada sebelum sakit atau masa konvalensen. Ditemukannya dua atau tiga patokan
klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk
klinis membuat diagnosis DBD. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka DBD
dapat didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologis, dan
dapat dihindari diagnosis berlebihan. 1

12
2.8. Diagnosis Banding

Demam pada fase akut mencangkup spectrum infeksi bakteri dan virus
yang luas. Pada hari-hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili dan
idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam. Pada hari
demam ke 3-4, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar, apabila gejala
klinis lain seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran hati menjadi nyata.
Kesulitan kadang-kadang dialami dalam membedakan syok pada DBD dengan
sepsis; dalam hal ini trombositopenia dan hemokonsentrasi di samping penilaian
gejala klinis lain seperti tipe dan lama demam dapat membantu.1

2.9. Tatalaksana

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi


kehilangan cairan plasma sebagai akibat pengingkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD
dirawat di ruangan biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan

13
perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan
dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan
kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan.
Diagnosis dini dan edukasi untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok,
merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain,
perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk
keadaan umumnya baik, dalam waktu singkat dapat memperburuk dan tidak
tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/DSS terletak pada keterampilan
para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase
penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik. 1

Demam Dengue

Pasien DD dapat berobat jalan tidak perlu dirawat. Pada fase demam
pasien dianjurkan tirah baring, selama masih demam, obat antipiretik atau
kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suhu menjadi
<39%, dianjurkan pemberian paracetamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan
(kontraindikasi) oleh karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan atau
asidosis. Pada pasien dewasa, analgetik atau sedative ringan kadang-kadang
diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri kepala, nyeri otot atau nyeri sendi.
Dinajurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, selain
air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. Tidak boleh dilupakan
monitor suhu, jumlah trombosit serta kadar hematokrit sampai normal kembali.
Pada pasien DD, saat suhu harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat
terjadi setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit
membedakan antara DD dan DBD terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD
terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat
terjadi pada DBD terdapat pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu,
orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar
hitam, atau disertai berkeringat dan kulit dingin, hal tersebut merupakan tanda
kegawatan, sehingga harus segera dibawa ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak
mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.

14
Pada saat kita menjumpai pasien tersangka infeksi dengue, maka bagan 1 dapat
dipergunakan.1

Demam Berdarah Dengue

Ketentuan Umum

Perbedaan patofisiologik utama antara DD/DBD/DSS dan penyakit lain,


ialah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan
plasma dan gangguan hemostatis. Gambaran klinis DBD/DSS sangat khas, yaitu
demam tinggi mendadak, diathesis hemoragik, hepatomegali dan kegagalan
sirkulasi. Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagaimana mendeteksi
secara dini fase kritis, yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang
merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi
klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostatis.
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma,
yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit dan penurunan jumlah
trombosit. Fase kritis pada umumnya terjadi pada hari sakit ke tiga. Penurunan
jumlah trombosit sampai <100.000/ul atau 1-2 trimbosit/LPB (rata-rata hitung
pada 10 LPB) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi
penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% mencerminkan perembesan
plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Pemberian cairan awal
sebagai pengganti volume plasma dapat diberikan larutan garam isotonic atau
ringer laktat, yang kemudian dapat disesuaikan dengan berat ringan penyakit.
Pada DBD derajat I dan II, cairan intravena dapat diberikan selama 12-24 jam.
Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus
dan penurunan jumlah trombosit <50.000/ul. Secara umum pasien DBD derajat I
dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit tipe D, C dan ruang gawat sehari
di rumah sakit B dan A.1

15
Keterangan Bagan I

Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh


karena itu masyarakat/orang tua diharapkan untuk waspada jika melihat
tanda/gejala yang mungkin merupakan gejala awal perjalan penyakit DBD.
Tanda/gejala awal penyakit DBD ialah demam tinggi mendadak tanpa sebab yang
jelas, terus menerus, badan lemah, dan anak tampak lesu. Pertama-tama
ditentukan terlebih dahulu adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok (gelisah,
nafas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terus
menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam, maka pasien
perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan). Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan,
periksa uji tourniquet; apabila uji tourniquet positif dilanjutkan dengan
pemeriksaan trombosit, apabila trombosit 100.000/ul pasien dirawat untuk

16
observasi (selanjutnya lihat Bagan 1). Apabila uji tourniquet positif dengan
trombosit > 100.000/ul atau normal atau uji tourniquet negative, pasien boleh
pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun. Nilai
gejala klinis dan lakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap kali selama
anak masih demam. Bila terjadi penurunan kadar Hb dan atau peningkatan kadar
Ht, segera rawat. Beri nasehat kepada orang tua: anak dianjurkan minum banyak
seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lain-lain, serta diberikan obat
antipiretik golongan paracetamol (kontraindikasi golongan salisilat). Bila klinis
menunjukan tanda-tanda syok seperti anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan
dingin, muntah, lemah, dianjurkan segera dibawa berobat ke dokter atau ke
puskesmas, dan rumah sakit. 1

Fase Demam

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,


bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah
dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum,
muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu
diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa
antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol
direkomendasikan untuk mempertahankan suhu dibawah 390C dengan dosis 10-15
mg/kgBB/kali atau dapat disederhanakan seperti tertera pada tabel 3. Rasa haus
dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan
muntah. 1

Jenis minuman yang dianjurkan alah jus buah, teh manis, sirup, susu, serta
larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg berat badan dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan
80-100 ml/kg berat badan dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI,
tetap harus diberikan antikonvulsi selama masih demam. Pasien harus diawasi
ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu
transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang
terbaik untuk monitor hasil pengobatan yaitu menggambarkan derajat kebocoran

17
plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada
umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi.
Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu
normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternative walaupun tidak terlalu
sensitif. 1

Penggantian Volume Plasma

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok), maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walau demikian, penggantian
cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal
dihitung untuk 2 atau 3 pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering
(setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48 jam berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume urin.
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi
kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan
rumatan ditambah 5-8%.1

Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak
mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadi dehidrasi sehingga mempercepat terjadi syok, (2) Nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan cairan
yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit,
dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila terdapat
asidosis, jumlah cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan berisi 0,167
mol/liter naitrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9% + glukosa
ditambah natrium bikarbonat). Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20%
atau lebih, maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan
plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk
dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu rumatan ditambah deficit 6% (5-
8%) seperti tertera pada table 3. 1

18
Tabel 3. Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang (deficit cairan 5-8%)1

Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg berat badan per
hari
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan
dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan
dapat diperhitungkan dari tabel berikut (Tabel 4). 1

Tabel 4. Kebutuhan cairan rumatan

Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)


10 100 per kg BB
10-20 1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)
>20 1000 + 50 x kg (diatas 20 kg)

Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500
+ (50x20) = 2500 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh
karena kecepatan perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi
lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus
disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, dapat diketahui dari
pemantauan kadar hematokrit. Perlu mendapatkan perhatian bahwa penggantian
volume yang berlebihan dan terus menerus setelah perembesan plasma berhenti
akan mengakibatkan distes pernafasan sebagai akibat udem paru. Demikian pula
pada saat fase konvalens terjadi reabsorpsi cairan ekstravaskular, akan
menyebabkan edema paru dan distress paru dan distress pernafasan apabila cairan
intravena tetap diberikan. 1

Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok
yaitu gelisah, letargi/lemah, ektremitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi

19
lemah, tekanan nadi menyempit (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan
peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar hematokrit terus-menerus
walaupun diberi cairan intravena. 1

Jenis cairan

Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah larutan


Ringer Laktat (RL) atau dextrose 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer
asetat (RA) atau dektrose 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9%
atau dekstrosa 5% dalam larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah
dekstran-40 dan plasma darah. 1

Sindrom Syok Dengue

Syok merupakan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang


utama, yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak
akan cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48
jam. 1

Penggantian volume plasma segera

Pengobatan awal cairan intravena dengan larutan kristaloid 20 ml/kg berat


badan dengan tetesan secepatnya (diberikan secara bolus selama 30 menit).
Apabila syok belum dapat teratasi dan/atau keadaan klinis memburuk setelah 30
menit pemberian cairan awal, cairan diganti dengan koloid (dekstran 40 atau
plasma) 10-20 ml/kg berat badan/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kg berat
badan. Setelah terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid
dengan tetesan 20ml/kg berat badan. Apabila pemberian cairan resusitasi
kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun,
diduga telah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfuse darah segar.
Apabila kadar hematokrit tetap >40vol%, maka berikan darah volume darah kecil
(10ml/kg berat badan/jam), tetapi apabila terjadi perdarahan massif diberikan
20ml/kg berat badan. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan cairan dikurangi
bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar hematokrit. 1

Kadar hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma

20
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah
membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi
10 ml/kg berat badan/jam, dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan
plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP kadangkala diperlukan
pada pasien DSS berat, untuk mengetahui kebutuhan cairan. 1

Cairan intravena dapat dihentikan apalbila hematokrit telah turun, sekitar


40%. Jumlah urin 12 ml/kg berat badan/ jam atau lebih merupakan indikasi bahwa
keadaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi
setelah 48 jam sejak syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan pada saat terjadi
reabsorpsi plasma dari ektravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan
hipervolemia, dengan akibat terjadi edema paru dan gagal jantung. Penurunan
hematokrit pada saat reabsopsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda
perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah
normal, dieresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase
reabsorpsi.

Keterangan badan 2

Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertau uji tourniquet posiitif
(DBD derajat I) atau disertai perdarahn spontan tanpa peningkatan hematokrit
(DBD derajat II) dapat dikelola seperti tertera pada Bagan 2. Apabila pasien masih
dapat minum, berikan minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan setiap 5
menit. Jenis minuman yang diberikan adalah air putih, the manis, sirup, jus buah,
susu atau oralit. Obat antipiretik (paracetamol) diberikan bila suhu >38,5 0C. Pada
anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien
tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan infus NaCl
0,9%:Dekstrose 5% (1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan.
Disamping itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit setiap 6-12
jam. Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk
mengetahui pembesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan
berhubungan dengan perdarahan saluran cerna. Diuresis diukur tiap 24 jam dan
awasi perdarahan yang terjadi. Kadar Hb, Ht dan trombosit diperiksa tiap 6-12

21
jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratories,
anak dapat dipulangkan, tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit
menurun, makan infus cairan ditukar dengan Ringer Laktat dengan tetesan
disesuaikan seperti Bagan 3. 1

Koreksi gangguan metabolic dan elektrolit

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/DSS,


maka pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa
pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya DIC
(disseminated intravascular coagulation) sehingga tatalaksana pasien menjadi
lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan
secepatnya dan dilakukan koreksi pada asidosis dengan natrium bikarbonat, maka

22
perdarahan sebagai akibat DIC tidak akan terjadi sehingga heparin tidak
diperlukan. 1

Sedatif

Pada pasien yang gelisah dapat diberikan sedative untuk menenangkan


pasien. Diusahakan jangan memberikan obat yang bersifat hepatotoksik. Kloral
hidrat diberikan per oral atau per rectal dengan dosis 12,5-50 mg/kg berat badan
(tidak melebihi 1 gram). Keadaan gelisah sebagai akibat dari keadaan perfusi
jaringan yang kurang baik akan menghilang setelah pemberian cairan secara
adekuat. 1

Pemberian oksigen

Terapi dengan 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien
syok. Dianjurkan pemberian dengan menggunakan masker, tetapi harus diingat
pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen. 1

Transfusi darah

Pemeriksaan golongan darah dan cross-matching harus dilakukan pada


setiap pasien syok, terutama syok yang berkepanjangan (prolonged shock).
Pemberian transfuse darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang
nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya
dari 50% ke 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang
mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk menaikan konsentrasi sel darah merah. Plasma segar dan atau
suspense trombosit berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan
perdarahan massif. DIC biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan
perdarahan massif dan dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi
seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, fibrinogen degradation
products (FDP) harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan

23
berat ringannya DIC. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan
prognosis. 1

Kelainan ginjal

Dalam keadaaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume


intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila dieresis belum
mencukupi 2 ml/kgBB/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai
kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan
tetap dilakukan untuk jumlah dieresis, kadar ureum dan kreatinin. Tetapi apabila
dieresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi
dengan baik, maka pemasangan CVP (Central Venous Pressure) perlu dilakukan
untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya. 1

Monitoring

Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperature harus dicatat
setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi, kadar hematokrit
harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil. Setiap pasien
harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah dan
tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi,
jumlah serta frekuensi diuresis. 1

Kriteria memulangkan pasien

Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa


antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit
stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit >50.00 /ul dan cenderung
meningkat, serta tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura
atau asidosis). 1

24
Ensefalopati Dengue

Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, bila syok
telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3- , dan
jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera
ditukar dengan larutan NaCl 0,9% : Glukosa 5% = 3:1. Untuk mengurangi edema
otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna
sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka
diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah
diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intracranial
dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretic), koreksi asidosis
dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat.
Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa.
Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, maka untuk
mencegah dapat diberikan antibiotic profilaksis (kombinasi ampisilin 100
mg/kbBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Usahakan tidak memberikan
obat-obat yang tidak diperlukan ( misalnya antacid, anti muntah) untuk
mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau
komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila diperlukan transfuse
tukar, pada masa penyebuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek. 1

Ruang rawat khusus untuk DBD

Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD


seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan
untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas
laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah
trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting
dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat dibantu oleh orang tua
pasien untuk mencatat jumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan
secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya. 1

25
Keterangan Bagan 3

Pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama 7
hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan (paling tersering
perdarahan kulit dan mukosa, yaitu ptekie atau mimisan), disertai penurunan
jumlah trombosit 100.000/ul, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat
pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/NaCl 0,9 % atau dektrose 5%
dalam ringer laktat/NaCl 0,9 % 6-7 ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar
hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam. 1

1. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak


tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar
Ht cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut,

26
maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi
selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan pada 24-48 jam. 1
2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh kedalam syok. Maka
apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah,
nafas cepat (distress pernafasan), peningkatan Ht, maka tetesan dinaikan
menjadi 10 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kg berat badan.
Namun bila Ht turun, berikan transfuse darah segar 10 ml/kgBB/jam. Bila
keadaan klinis membaik, maka cairan disesuaikan seperti ad.11

Pemeriksaan Serologis

Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang
diikuti oleh pembentukan IgM-Antidengue. IgM hanya berada dalam waktu yang
relative singkat dan akan disusul segera oleh pembentukan IgG. Pada kira-kira
hari kelima infeksi terbentuklah antibody yang bersifat menetralisasi virus
(neutralizing antibody (NT)). Titer NT akan naik dengan cepat, kemudian
menurun secara lambat untuk waktu yang lama, biasanya seumur hidup. Setelah
antobodi NT, akan timbul antibody yang mempunyai sifat menghambat
hemaglutinasi sel darah merah angsa (haemaglutination inhibiting antibody=HI).
Titer antibody HI itu naik sejajar dengan antibody NT. Antibodi yang terakhir,
yaitu antibody yang mengikat komplemen (complement fixing antibody=CF),
timbul pada sekitar hari keduapuluh. Titer antibodi itu naik setelah perjalanan
penyakit mencapai maksimum dalam waktu 1-2 bulan, kemudian turun secara
cepat dan menghilang setelah 1-2 tahun. Pada dasarnya diagnosis komfirmasi
infeksi virus dengue ditegakkan atas hasil pemeriksaan serologik atau hasil isolasi
virus. Dasar pemeriksaan serologis adalah membandingkan titer antibody pada
masa akut dengan konvalensen. Teknik pemeriksaan serologi yang dianjurkan
WHO ialah pemeriksaan HI dan CF. Kedua cara itu membutuhkan 2 contoh darah.
Contoh darah pertama diambil waktu demam akut, sedeangkan darah kedua pada
masa konvalensen, 1-4 minggu dalam perjalanan penyakit. Dalam praktik sukar
sekali didapatkan contoh darah kedua karena pasien sudah sembuh sehingga tidak
bersedia diambil darahnya. Dengan demikian, diambil kebijaksanaan untuk
mengambil darah sebanyak 3 kali. Pertama, sewaktu masuk rumah sakit, kedua

27
pada waktu meninggalkan rumah sakit, dan ketiga 1-4 minggu setelah perjalanan
penyakit. Apabila hanya diperoleh satu contoh darah, penafsiran akan sulit atau
bahkan sering tidak mungkin dilakukan. 1

Keterangan bagan 4

Sindrom syok dengue ialah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi
teraba kecil, lembut, atau tidak teraba, tekanan nadi menyempit (misalnya sistolik
dan diastolic 80 mmHg, jadi terkesan nadi 20 mmHg), bibir biru, tangan kaki
dingin, dan tidak ada produksi urin. 1

28
1. Segera berikan infus kristaloid (ringer laktat atau NaCl 0,9%) 20 ml/kgBB
secepatnya ( diberikan dalam bolus selama 30 menit), dan oksigen 2
liter/menit. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi
tidak terukur), diberikan ringer laktat 20 ml/kgBB bersama koloid (lihat
butir 2). Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit
tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah. 1
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat
belum dilanjutkan 20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma)
atau koloid (dekstran 40) sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB
(koloid diberikan pada jalur infuse yang sama dengan kristaloid, diberikan
secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap
15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit
dan gula darah. 1
a. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar
hemoglobin/hematokrit, tekanan nadi >20 mmHg, nadi kuat, maka
tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ul/kgBB/jam. Volume 10 ml/kg
berat badan/jam dapat dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis
stabil dan hematokrit turun <40%. Selanjutnya cairan diturunkan
menjadi 7 ml/kgBB sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil,
kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5 ml dan seterusnya 3
ml/kgBB/jam, Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi. Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin
dikerjakan tiap jam (usahakan urin 1ml/kgBB/jam, BD urin <1.020),
pemeriksaan heamtokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan
umum baik. 1
b. Apabila syok belum teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun
tetapi masih >40 vol%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/kgBB.
Apabila tampak perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/kgBB
dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP
(dipertahankan 5-8 cm H2O) pada syok berat kadang-kadang
diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan. 1

Uji Serologi HI

29
Pemeriksaan serologi HI dapat dilakukan dengan sampel serum atau
mempergunakan kertas saring filter paper disc. Hasil yang diperoleh dengan
menggunakan kertas saring cukup baik, apabila cara pengisian dilakukan dengan
betul. Pada pemeriksaan serologis tes HI, serum diencerkan menjadi kelipatan 2x,
dimulai dengan pengenceran 1:10, 1:20, 1:40, dan seterusnya.1

Interpretasi hasil pemeriksaan didasarkan atas criteria WHO (1975),


sebagai berikut : 1

1. Pada infeksi primer, titer bodi HI pada masa akut, yaitu apabila serum
diperoleh sebelum hari ke-4 sakit adalah kurang dari 1:20 dan titer akan
naik 4x atau lebih pada masa konvalensen, tetapi tidak akan melebihi
1:1280.
2. Pada infeksi sekunder, adanya infeksi baru (recent dengue infection)
ditandai oleh titer antibody HI kurang dari 1:20 pada masa akut,
sedangkan pasa konvalensen titer bernilai sama atau lebih besar daripada
1:2560. Tanda lain infeksi sekunder ialah apabila titer antibody akut sama
atau lebih besar daripada 1:20 dan titer akan naik 4 kali atau lebih pada
masa konvalensen.
3. Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive
diagnosis) ditandai oleh titer antibody HI yang sama atau lebih besar
daripada 1:1280 pada masa akut, dalam hal ini tidak diperlukan kenaikan
titer 4x atau lebih pada masa konvalensen. Metode pemeriksaan yang
mampu mendeteksi antibody anti dengue dalam serum penderita pada
masa akut yang tepat harus dikembangkan. Pada saat ini telah terdapar
metode untuk membuat diagnosis infeksi dengue pada masa akut melalui
deteksi IgM dan antigen virus, baik sendiri-sendiri maupun dalam bentuk
kompleks IgM-antigen, dengan memanfaatkan teknik ELISA mikro.
Disamping itu secara komersial telah beredar dengue blot yang dapat
digunakan sebagai diagnostic yang cepat pada masa akut untuk
mengkonfirmasi diagnosis infeksi dengue sekunder.
2.10. Prognosis

Sampai sekarang masih sulit meramalkan prognosis perjalan DSS. Salah


satu usaha untuk menekan mortalitas pada DSS adalah dengan merawat dan

30
mengusahakan pengobatan yang maksimal. Secara umum keberhasilan
penanganan syok bergantung pada beratnya penyakit, lamanya syok berlangsung,
fungsi organ vital sebelumnya, dan reversibilitas.3

2.11. Pemeberantasan

Strategi pemberantasan penyakit DBD lebih ditekankan pada :

1. Upaya preventif, yaitu melaksanakan penyemprotan missal sebelum musim


penularan penyakit di desa/kelurahan endemis DBD, yang merupakan pusat-
pusat penyebaran penyakit ke wilayah lainnya.
2. Strategi ini diperkuat dengan menggalakan pembinaan peran serta masyarakat
dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
3. Melaksanakan penanggulangan focus di rumah pasien di sekitar tempat
tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB), dan
4. Melaksanaka penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media. 1

Apabila pada daerah hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya


risiko penularan DBD, maka Puskesmas/Dinkes Dati II akan melakukan langkah-
langkah upaya penanggulangan berupa :

1. Fogging focus
2. Abatisasi selektif. Tujuan abatisasi ialah membunuh larva dengan butir-butir
abate sand granule (SG) 1% pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm
(pert per million), yaitu 10 gram meter 100 liter air.
3. Menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalam PSN.1

2.12. Komplikasi DBD


- Komplikasi akibat DBD
Kebanyakan orang yang menderita DBD pulih dalam waktu dua
minggu. Namun, untuk orang-orang tertentu dapat berlanjut untuk selama
beberapa minggu hinga berbulan-bulan. Gejala klinis yang semakin berat
pada penderita DBD dan dengue shock syndromes dapat berkembang
menjadi gangguan pembuluh darah dan gangguan hati. Hal ini tentu dapat
mengancam jiwa.

31
o Sindrom Syok Dengue (SSD)

Seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue (DBD) disertai


kegagalan sirkulasi dengan manifestasi:
Nadi yang cepat dan lemah
Tekanan darah turun ( 20 mmHg)
Hipotensi (dibandingkan standar sesuai umur)
Kulit dingin dan lembab
Gelisah
Sindrom syok dengue, menurut sumber lain3: pada penderita DBD
yang disertai syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari,
keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Pada sebagian besar
penderita ditemukan tanda kegagalan peredaran darah yaitu kulit teraba
lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lemah,
kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan darah menurun menjadi 20
mmHg atau kurang, dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau
lebih rendah. Penderita kelihatan lesu, gelisah, dan secara cepat masuk
dalam fase kritis syok. Penderita seringkali mengeluh nyeri di daerah perut
sesaat sebelum syok timbul. Nyeri perut hebat seringkali mendahului
perdarahan gastrointestinal, dan nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab
yang dapat dibuktikan memberikan petunjuk terjadinya perdarahan
gastrointestinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam
biasanya mempunyai prognosis buruk.

Tatalaksana sindrom syok dengue sama dengan terapi DBD, yaitu


pemberian cairan ganti secara adekuat. Pada sebagian besar penderita,
penggantian dini plasma secara efektif dengan memberikan cairan yang
mengandung elektrolit, ekspander plasma, atau plasma, memberikan hasil
yang baik. Nilai hematokrit dan trombosit harus diperiksa setiap hari mulai
hari ke-3 sakit sampai 1-2 hari setelah demam menjadi normal.
Pemeriksaan inilah yang menentukan perlu tidaknya penderita dirawat dan
atau mendapatkan pemberian cairan intravena.

32
- Komplikasi akibat sumber lain

1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada
DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti
hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab
terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara,
maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh
darah otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular
yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus
sawar darah-otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati
berhubungan dengan kegagalan hati akut.
Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka
bila syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak
mengandung HC03- danjumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan
laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) :
glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan
dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila terdapat
perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila
terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg
selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah
cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit.
Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk
mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa.
Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan
(misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi
obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan
atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa
penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.

2. Kelainan ginjal

33
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal,
sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat
dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah
gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume
intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi
dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah
dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis
diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum
teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat
terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijumpai
acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin dan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin.

3. Udem paru
Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit
ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak
akan menyebabkan udem paru oleh karena perembesan plasma masih
terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila
hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa
memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran
udem paru pada foto rontgen dada. Komplikasi demam berdarah
biasanya berasosiasi dengan semakin beratnya bentuk demam berdarah
yang dialami, pendarahan, dan shock syndrome. Komplikasi paling
serius walaupun jarang terjadi adalah sebagai berikut:
Dehidrasi
Pendarahan
Jumlah platelet yang rendah
Hipotensi
Bradikardi

34
Kerusakan hati
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan
penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable)
sampai 2-4 cm di bawah lengkung iga kanan, derajat pembesaran hati
tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk menemukan pembesaran
hati ,harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati
sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai
ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini
berhubungan dengan adanya perdarahan.
4. Gangguan neurogik (kejang, ensephalopati)

2.13. Kontrol pasien yang dipulangkan

1. Evaluasi tanda-tanda kedaruratan yaitu tanda syok (gelisah, nafas


cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terus
menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, tinja darah.
2. Apabila tidak dijumpai tanda-tanda kedaruratan, periksa uji Tourniquet
dan hitung trombosit.
o Bila uji tourniquet positif dan jumlah trombosit <100.000.
Penderita dirawat/dirujuk.
o Bila uji Tourniquet negative dengan trombosit >100.000 atau
normal, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali
setiap hari sampai suhu turun.
3. Pasien dianjurkan minum banyak, seperti air the, susu, sirup, oralit, jus
buah dan lain-lain.
4. Berikan obat antipiretik golongan parasetamol jangan golongan
salisilat.
5. Apabila selama di rumah demam tidak turun pada hari sakit ke-3 ,
evaluasi tanda klinis adakah tanda-tanda syok, yaitu anak menjadi
gelisah, ujung kaki/tangan dingin, sakit perut, tinja hitam, kencing
berkurang, bila perlu periksa Hb, Ht dan Trombosit.

35
6. Apabila terdapat tanda syok atau terdapat peningkatan Ht dan/atau
penurunan trombosit, segera rujuk ke rumah sakit.

Pada dasarnya diagnosis komfirmasi infeksi virus dengue ditegakkan


atas hasil pemeriksaan serologik atau hasil isolasi virus. Dasar
pemeriksaan serologis adalah membandingkan titer antibody pada masa
akut dengan konvalensen. Teknik pemeriksaan serologi yang dianjurkan
WHO ialah pemeriksaan HI dan CF. Kedua cara itu membutuhkan 2
contoh darah. Contoh darah pertama diambil waktu demam akut,
sedangkan darah kedua pada masa konvalensen, 1-4 minggu dalam
perjalanan penyakit. Dalam praktik sukar sekali didapatkan contoh darah
kedua karena pasien sudah sembuh sehingga tidak bersedia diambil
darahnya. Dengan demikian, diambil kebijaksanaan untuk mengambil
darah sebanyak 3 kali. Pertama, sewaktu masuk rumah sakit, kedua pada
waktu meninggalkan rumah sakit, dan ketiga 1-4 minggu setelah
perjalanan penyakit. Apabila hanya diperoleh satu contoh darah,
penafsiran akan sulit atau bahkan sering tidak mungkin dilakukan.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Poorwo Soedarmo, Sumarmo,dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis
Edisi Kedua. Jakarta: IDAI
2. Suhendro. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Jakarta : Interna
Publishing.

36
3. Soegeng Soegijanto, 2005 Tatalaksana Demam Dengue/Demam Berdarah
Dengue, www.mitrakeluarga.com/gading/tatalaksana-demam-dengue-demam-
berdarah-dengue/
4. Noer, Sjaifoellah dkk. 1998. Standar Perawatan Pasien. Jakarta : Monica
Ester
5. Notoatajmodjo, S. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Kesehatan. Yogyakarta : Andi Offset
6. Soegijanto, S. 2004. Demam Berdarah Dengue. Surabaya : Airlangga
University Press.

37

You might also like