You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara dengan angka kematian ibu dan perinatal tertinggi.
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh WHO, diketahui kasus kematian ibu sebanyak
240 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008. Menurut Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI), dikeahui bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia
berada pada peringkat ke 12 dari 18 negara anggota ASEAN dan SEARO (South East
Asian Nation Regional Organization) dan dilaporkan angka kematian ibu mengalami
penurunan dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1994 menjadi 225 per 100.000
pada tahun 1999, dan menurun lagi menjadi 125 per 100.000 pada tahun 2010. Menurut
WHO (2005), penyebab kematian maternal termasuk perdarahan, infeksi, eklampsia,
persalinan macet dan aborsi tidak aman. Penyebab kematian ibu di Indonesia dikenal
dengan trias klasik yakni perdarahan, preeclampsia/eklampsia, dan infeksi. Dimana dari
536.000 kematian maternal di dunia, 25 % oleh karena perdarahan 15% infeksi dan 12%
1
preklampsia .

Preeklampsia merupakan suatu gangguan kehamilan spesifik yang berkomplikasi


sekitar 5% dari seluruh kehamilan dan merupakan penyakit glomerulus yang paling umum
di dunia, dimana penyebab awalnya masih tidak diketahui, namun perkembangan terbaru
menjelaskan mekanisme molekuler melatarbelakangi manifestasinya terutama
perkembangan abnormal, hipoksia plasenta, disfungsi endotel. Pada ibu dapat
berkomplikasi sebagai hemolysis, elevated liver enzymes, dan thrombocytopenia (HELLP
Syndrome), gagal ginjal, kejang, gangguan hati, stroke, penyakit jantung hipertensi, dan
kematian sedangkan pada fetus dapat mengakibatkan persalinan preterm, hipoksia
1
neurogenik, dan kematian .

Sindrom HELLP adalah komplikasi berat pada Kehamilan ditandai dengan


hemolisis, peningkatan enzim hati dan trombositopenia. Istilah sindrom HELLP
pertama kali dicetuskan oleh Weinstein pada Tahun 1982 sebagian penderita hanya

1
terdapat 1atau 2 tanda dari sindrom ini, yang disebut sebagai sindrom HELLP Parsial
(SHP). Kasus ini sering ditemukan pada trimester kedua (15%), trimester ketiga
(50%), sebelum persalinan atau periode pascapersalinan hingga 48 jam setelahnya.
Sindrom HELLP adalah komplikasi dari preeklampsia berat yang sering tak terdeteksi
dan progresif.

1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Meningkatkan pemahaman mengenai pre eklampsia berat

1.2.2. Tujuan Khusus

- Memberikan pengetahuan mengenai pelayanan kesehatan pre


eklampsia berat
- Memberikan pengetahuan mengenai penanganan dalam kasus
pre eklampsia berat
-
1.3. Manfaat
- Meningkatkan kemampuan dan pemahaman mengenai penanganan
dalam kasus pre eklampsia berat

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Preeklampsia

2
Preeklampsia dapat dibagi kedalam bentuk ringan dan berat. Perbedaan antara keduanya
adalah berdasarkan derajat hipertensi dan proteinuria, dan keterlibatan sistem organ
lainnya. Diperlukan pengawasan ketat terhadap pasien dengan preeklampsia ringan
maupun berat, karena keduanya dapat berkembang menjadi sebuah penyakit yang
fulminan. Sebuah bentuk khusus dari preeklampsia berat adalah sindrom HELLP, yang
merupakan akronim dari hemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet count.
Sindrom ini memiliki manifestasi dalam bentuk temuan klinis yang konsisten dengan
hemolisis, peningkatan kadar fungsi hati, dan trombositopenia. Seorang pasien yang
didiagnosa dengan sindrom HELLP secara otomatis diklasifikasikan dalam preeklampsia
berat.

2.2 Eklampsia
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut
dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului
oleh tanda-tanda lain. Sekarang kita ketahui bahwa eklampsia pada umumnya timbul pada
wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-tanda pre-eklampsia. Pada wanita yang
menderita eklampsia timbul serangan kejangan yang diikuti oleh koma. Tergantung dari
saat timbulnya eklampsia dibedakan eklampsia gravidarum, eklampsia parturientum, dan
eklampsia puerperale. Perlu dikemukakan bahwa pada eklampsia gravidarum sering kali
persalinan mulai tidak lama kemudian. Dengan pengetahuan bahwa biasanya eklampsia
didahului oleh pre-eklampsia, tampak pentingnya pengawasan antenatal yang teliti dan
teratur, sebagai usaha untuk mencegah timbulnya penyakit itu.

Frekuensi
Frekuensi eklampsia bervariasi antara satu negara dan yang lain. Frekuensi rendah
pada umumnya merupakan petunjuk tentang adanya pengawasan antenatal yang baik,
penyediaan tempat tidur antenatal yang cukup, dan penanganan pre-eklampsia yang
sempurna.
Di negara-negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3%-
0,7%, sedang di negara-negara maju angka tersebut lebih kecil, yaitu 0,05%-0,1%.

2.3 Gejala dan tanda

3
Pada umumnya kejangan didahului oleh makin memburuknya pre-eklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras,
nyeri di epigastrium, dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera
diobati, akan timbul kejangan; terutama pada persalinan bahaya ini besar. Konvulsi
eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni:
1. Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata
penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya,
dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.
2. Kemudian timbul tingkat kejangan tonik yang berlangsung kurang lebih 30 detik.
Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya kelihatan kaku, tangan
menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka mulai
menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.
3. Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik yang berlangsung
antara 12 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan
berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah
dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut ke luar ludah yang berbusa,
muka menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tak sadar. Kejangan
klonik ini dapat demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat
tidurnya. Akhimya, kejangan terhenti dan penderita menarik napas secara
mendengkur.
4. Sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama.
Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula
bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan yang berulang, sehingga ia tetap
dalam koma.

Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai 40
derajat Celcius. Sebagai akibat serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti (1)
lidah tergigit; perlukaan dan fraktura; (2) gangguan pernapasan; (3) solusio plasenta; dan
(4) perdarahan otak.

2.4 Diagnosis

4
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda
dan gejala pre-eklampsia yang disusul oleh serangan kejangan seperti telah diuraikan,
maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. Walaupun demikian, eklampsia harus
dibedakan dari (1) epilepsi; dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil
atau pada hamil-muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada; (2) kejangan karena obat
anestesia; apabila obat anestesia lokal tersuntikkan ke dalam vena, dapat timbul kejangan;
(3) koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis, dan
Iain-lain.

2.5 Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi
yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan eklampsia.
1. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita
hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia. Di Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo 15,5% solusio plasenta disertai pre-eklampsia.
2. Hipofibrinogenemia. Pada pre-eklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%
hipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar
fibrinogen secara berkala.
3. Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan
gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti
apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah.
Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia
dapat menerangkan ikterus tersebut.
4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini
merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
6. Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus
eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.

5
7. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupakan
akibat vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi
ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui
dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8. Sindroma HELLP. yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
9. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembeng-kakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan
lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejang-
kejang pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coogulation).
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.

2.6 Prognosis
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang meminta
korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai pengumuman, diketahui kematian ibu
berkisar antara 9,8% 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2%
48,9%. Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di negara maju lebih kecil. Tingginya kematian
ibu dan anak di negara-negara yang kurang maju disebabkan oleh kurang sempurnanya
pengawasan antenatal dan natal; penderita-penderita eklampsia sering terlambat mendapat
pengobatan yang tepat. Kematian ibu biasanya disebabkan oleh perdarahan otak,
dekompensasio kordis dengan edema paru-paru, payah-ginjal, dan masuknya isi lambung
ke dalam jalan pernapasan waktu kejangan.
Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterin dan prematuritas.
Berlawanan dengan yang sering diduga, pre-eklampsia dan eklampsia tidak
menyebabkan hipertensi menahun. Oleh penulis-penulis tersebut ditemukan bahwa pada
penderita yang mengalami eklampsia pada kehamilan pertama, frekuensi hipertensi 15
tahun kemudian atau lebih tidak lebih tinggi daripada mereka yang hamil tanpa eklampsia.
Pencegahan
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi.
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas:
1) meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua
wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil-muda;

6
2) mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya
segera apabila ditemukan;
3) mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas
apabila setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia tidak juga dapat dihilangkan.

2.7 Sindrom Hellp

Definisi

HELLP syndrome merupakan suatu kerusakan multisistem dengan tanda-tanda :


hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia yang diakibatkan disfungsi endotel
sistemik. Keadaan ini merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia dengan faktor
2
risiko partus preterm, hambatan pertumbuhan janin .

H : Hemolysis

EL : Elevated Liver Enzyme

LP : Low Platelet Count

Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada


kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan
perkembangan plasenta (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi preeklampsia
kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan.
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan terjadinya
HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati
dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran
(sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan darah. Kebanyakan
abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran
3
tetapi trombositopenia bisa menetap selama seminggu .

Diagnosis sindrom HELLP

7
Istilah sindrom HELLP digunakan untuk menjelaskan preeklampsia yang berhubungan
dengan hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung platelet yang rendah. Sindrom
ini dapat ditemukan pada 10% kehamilan dengan komplikasi preeklampsia berat.
Diagnosisnya tidak selalu jelas dan sindrom ini dapat disalah artikan sebagai keadaan
medis lainnya. Tiap pasien yang didiagnosa dengan sindrom HELLP harus
dipertimbangkan memiliki preeklampsia berat juga.
Pada beberapa kasus terjadi komplikasi yang lebih berat disertai mikroangiopatik
destruksi sel darah merah dan trombosit mikroangiopatik (platelet) dan disebutkan sindrom
HELLP yang terdiri dari:
1. Hemolisis eritrosit sehingga menimbulkan sisa hasilnya:
a. Meningkatnya retikulosit
b. Hemoglonemia
c. Hemoglobinuria
d. Schizositosis
e. Spherositosis
2. EL-elevated enzyme liver diantaranya:
a. Aspartate amniotransferase dalam serum darah.
3. LP-low platelet menurunnya sel platelet sehingga terjadi:
a. Makin meningkatnya tromboksan A2 yang menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah.
b. Terdapat makin meningkatnya kemungkinan perdarahan.

Sindrom ini dikemukakan oleh Weinstein 1982, untuk pertama kalinya dan sindrom
ini dinamakan menurut namanya.
Di masa lalu, kriteria diagnostik untuk sindrom HELLP bervariasi dan mengarah
kepada diagnosis yang inkonsisten. Kriteria yang lebih baru digunakan untuk menegakkan
diagnosis sindrom HELLP adalah yang dilaporkan oleh Sibai dan mencakup abnormalitas
laboratoris yang spesifik yang menunjukkan adanya hemolisis, peningkatan kadar enzim
hati, dan hitung platelet yang rendah.

Kriteria sindrom HELLP adalah:


1. Hemolisisnya dalam bentuk:

8
a. Apus darah perifer yang abnormal.
b. Bilirubin total lebih dari 1,2 mg/dl.
c. Lactic dehydrogenase (LDH) lebih dari 600 U/L
2. Elevated liver functions.
a. Serum aspartate amniotransferase lebih 70 U/L.
b. Lactic dehydrogenase (LDH) lebih dari 600 U/L.
3. Low platelets.
a. Sel trombosit kurang dari 100.000 U/L.

Tampilan klinis dari pasien dengan sindrom HELLP adalah sangat bervariasi.
Tetapi, secara umum, pasien dengan HELLP adalah wanita multipara berkulit putih yang
didiagnosa pada usia kehamilan kurang dari 35 minggu. Gejala tipikal dari pasien ini
terdiri dari keluhan yang kurang jelas, yang lebih merancukan diagnosis. Sejumlah besar
pasien akan memiliki riwayat malaise beberapa hari sebelumnya. Keluhan lain termasuk
nyeri epigastrum atau kuadran kanan atas (67%), nausea atau vomitus (30%), dan keluhan
mirip-sindrom viral nonspesifik. Oleh karena itu, tiap wanita hamil dengan kecurigaan
preeklampsia yang memberikan keluhan seperti ini harus menjalani pemeriksaan, minimal
hitung jenis darah dengan hitung platelet dan kadar enzim hati.
Sibai menemukan bahwa mungkin hipertensi tidak ditemukan (20%), ringan (30%),
atau berat (50%) pada wanita yang didiagnosa dengan sindrom HELLP. Oleh karena itu,
diagnosis sindrom HELLP tidak harus disingkirkan pada pasien normotensif yang
memiliki tanda dan gejala lain yang konsisten dengan preeklampsia.

Diagnosis Diferensial Sindrom HELLP


Sindrom HELLP dapat dengan mudah disalah artikan dengan keadaan medis lain,
terutama pada pasien yang normotensif. Adalah penting untuk mewaspadai diagnosis
diferensial dari sindrom HELLP dan mampu membedakan keadaan ini dari yang lainnya.
Sejumlah diagnosis diferensial dapat ditemukan pada tabel dibawah.
Sindrom HELLP dapat dengan mudah disalah artikan dengan dua keadaan medis
secara spesifik, yaitu keadaan perlemakan hati akut pada kehamilan (acute fatty liver of
pregnancy) dan purpura trombositopenik trombotik-sindrom uremia hemolitik (thrombotic

9
thrombocytopenic purpurahemolytic uremic syndrome) (TTP/HUS). Diferensiasi antara
ketiga entitas ini dilakukan terutama berdasarkan temuan laboratoris spesifik.
Menghadapi sindrom HELLP selalu harus waspada karena terdapat sejumlah penyakit
yang gejalanya mirip sebagai berikut.
1. Sering pada multipara.
2. Umur lebih dari 25-30 tahun.
3. Umur kehamilan kurang dari 36 minggu.
4. Keluhan yang menonjol adalah:
a. Nyeri epigastrium terutama sebelah kanan/daerah liver.
b. Terdapat mual dan muntah.
c. Seperti infeksi virus yang kurang khas, cepat lelah.
d. Berat badan bertambah dengan cepat.
e. Terdapat edema umum atau anasarka.
f. Tekanan diastole dapat kurang dari 90 mmHg.

Munculnya gejala yang tidak khas sering menimbulkan kesalahan diagnosis sehingga harus
dilakukan diferensial diagnosis dengan penyakit seperti yang tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyakit atau kelainan bedah yang mirip dengan sindrom HELLP.
Acute fatty liver
Apendisitis
Diabetes insipidus
Penyakit kandung empedu
Gastroenteritis
Glumerulonefritis
Ensefalopatihepatik
Hiperemesis gravidarum
Idiophatik trombositopenia
Batu ginjal
Ulkus peptikum
Pielonefritis
sistemik lupus eritromatosis

10
trombotik trombositopenia purpura
Hepatitis virus
HELLP = hemolysis, elevated liver enzymes, low platelets

Penatalaksanaan Sindrom HELLP

Pada sebuah studi tindak lanjut tidak teracak dari Memphis, Abramovici dkk.
(1999) membandingkan hasil akhir bayi yang dilahirkan antara usia 24 dan 36 minggu
pada 133 wanita yang menderita sindrom HELLP dengan 136 wanita yang menderita
preeklampsia berat. Wanita dengan sindrom HELLP dibagi lagi menjadi mereka yang
mengalami hemolisis plus peningkatan enzim hati plus trombosit rendah dan mereka yang
menderita sindrom HELLP parsial yang didefinisikan sebagai adanya satu atau dua, namun
bukan ketiga, temuan laboratorium tersebut. Disimpulkan bahwa wanita dengan sindrom
HELLP parsial, serta mereka yang menderita preeklampsia berat, dapat ditangani dengan
penatalaksanaan menunggu. Mereka juga menyimpulkan bahwa hasil akhir pada bayi lebih
berkaitan dengan usia gestasi daripada hipertensinya sendiri. Seperti diperlihatkan pada
Tabel 2, para wanita ini memang mengalami hipertensi berat dan memperli-hatkan rerata
tekanan darah diastolik 110 mmHg. Ciri pembeda pada mereka yang mengidap sindrom
HELLP adalah hitung trombosit: nilai rerata adalah 52.000/l pada wanita dengan sindrom
HELLP lengkap dibandingkan dengan 113.000/l pada mereka dengan sindrom HELLP
parsial. Usia gestasi adalah sekitar 2 minggu lebih tua pada wanita dengan preeklampsia
berat dibandingkan dengan mereka yang menderita sindrom HELLP. Karena itu, hasil
akhir pada neonatus, dari segi perlu tidaknya ventilasi mekanis dan kematian neonatus,
lebih baik pada wanita dengan preeklampsia berat. Hambatan pertumbuhan janin tidak
berkaitan dengan keparahan penyakit ibu dan sering dijumpai di ketiga kelompok ini.
Morbiditas ibu tidak dijelaskan. Namun, Witlin dkk. (2000) kemudian melaporkan bahwa
di Memphis hambatan pertumbuhan pada para bayi seperti itu merugikan kelangsungan
hidup bayi. Yang terpenting, median waktu antara pasien masuk dan lahirnya bayi adalah
0,1, dan 2 hari masing-masing untuk wanita dengan sindrom HELLP, sindrom HELLP
parsial, atau preeklampsia berat.
Secara keseluruhan, ketiga penelitian di atas membutuhkan komentar mengenai
klaim berulang bahwa penatalaksanaan menunggu pada preeklampsia berat dan sindrom
HELLP parsial tersebut bermanfaat. Pertama, pada penatalaksanaan menunggu, interval

11
dari rawat inap sampai melahirkan di rumah sakit mereka sangat singkat, terutama pada
kehamilan yang diklaim menunjukkan efektivitas dan keamanan penatalaksanaan
menunggu. Kedua, mungkin, atau bahkan sangat mungkin, bahwa perbedaan usia gestasi
antara preeklampsia berat dan sindrom HELLP berkaitan dengan waktu awitan penyakit itu
sendiri. Yaitu, sindrom HELLP mungkin timbul lebih awal pada kehamilan daripada
preeklampsia berat. Ketiga, hambatan pertumbuhan janin banyak dijumpai pada wanita
dengan penyakit yang berat dan merugikan kelangsungan hidup bayi, yang tidak membaik
oleh keparahan penyakit ibu. Yang terakhir, dan terpenting, para penulis tersebut
mengabaikan bahwa alasan terpenting untuk menghentikan kehamilan dengan
preeklampsia berat adalah keselamatan ibu. Hasil-hasil di Tabel 2 jelas memastikan bahwa
preeklampsia berat membahayakan prognosis janin. Sebaliknya, data-data di Tabel 2 tidak
membuktikan bahwa penatalaksanaan menunggu bermanfaat bagi ibu.
Visser dan Wallenburg (1995) membandingkan hasil akhir penatalaksanaan
menunggu pada 256 wanita dengan preeklampsia berat sebelum 34 minggu. Separuh
wanita ini mengidap sindrom HELLP dan separuh lainnya menderita preeklampsia berat.
Mereka berhasil memperpanjang masa kehamilan pada kedua kelompok selama 10 sampai
14 hari, tetapi 5 persen kasus mengalami solusio plasenta dan tiga wanita terserang
eklampsia.
Hall dkk. (2000) menangani 360 kasus preeklampsia berat dengan preeklampsia
awitan dini sebelum 34 minggudengan pengamatan cermat dan pengendalian tekanan
darah. Walaupun para wanita ini memperoleh perpanjangan masa kehamilan rerata 11 hari,
seperempat menderita penyulit besar20 persen mengalami solusio plasentae, 2 persen
edema paru, dan 1,2 persen eklampsia. Laporan-laporan seperti yang baru dikutip ini
berfungsi menekankan bahwa dokter perlu memperhatikan keselamatan ibu pada kasus
hipertensi berat akibat kehamilan sebelum aterm. Kami enggan menganjurkan
penatalaksanaan menunggu bagi wanita dengan hipertensi berat yang menetap atau
kelainan hematologis, otak, atau hati yang signifikan akibat preeklampsia. Di Parkland
Hospital, para wanita ini tidak ditangani dengan penatalaksanaan menunggu.

Tabel 2. Hasil Penatalaksanaan Menunggu pada Preeklampsia Berat atau Sindrom HELLP
sebelum aterm.

12
Sindro Sindrom Preeklamsia
m HELLP
HELLP Parsial* Berat
Hasll Akhir (n = 68) (n = 65) (n = 136)
TD Diastolik, mmHg (rerata SD) 109 + 16 110 + 15 110 + 15
Hitung trombosit (set/l + SD) 52 + 21 113 + 56 199 + 61
Usia gestasi saat pelahiran (minggu, rerata 31+3,2 31 3,3 33 + 3
SD)
Ventiiasi mekanis pada bayi 50% 40% 28%
Kematian neonates 7% 8% 4%
Pertumbuhan janin terhambat 28% 31% 22%
Diagnosis-sampai-melahirkan (median hari) 0 1 2

Evaluasi awal terhadap wanita yang didiagnosa dengan sindrom HELLP harus
dilakukan seperti pada preeklampsia berat. Pasien harus dirawat di pusat perawatan tersier.
Penatalaksanaan awal harus mencakup penilaian maternal dan fetal, pengendalian
hipertensi berat, jika ada, inisiasi infus MgSO 4, koreksi koagulopati, jika ada, dan
stabilisasi maternal. Komplikasi sindrom HELLP yang berpotensi mengancam jiwa adalah
sebuah hematoma hepar subkapsuler. Jika terdapat kecurigaan yang tinggi terhadap
keberadaan hematoma hepar subkapsuler yang tinggi, maka sebaiknya dilanjutkan dengan
melakukan computed tomography scan.
Terapi dari sindrom HELLP bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kondisi umum penderita minimal stabil.
2. Menghindari lebih jauh gangguan koagulasi darah.
3. Meningkatkan kesejahteraan janin dalam uterus.
4. Persalinan sebaiknya segera dilaksanakan:
a. Bergantung pada umur kehamilan.
b. Lakukan induksi persalinan.
c. Bila serviks tidak matang atau terdapat pertimbangan lainnya dapat
dilakukan seksio sesarea.

Persalinan dengan segera harus dilakukan jika usia kehamilan pasien > 34 minggu.
Pada pasien kurang dari 34 minggu dan tanpa adanya bukti maturitas paru-paru janin,
maka sebaiknya diberikan glukokortikoid untuk kepentingan janin dan persalinan

13
direncanakan dalam waktu 48 jam, jika tidak ada perburukan dalam status maternal dan
fetal. Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap penggunaan steroid, volume expander,
plasmaferesis, dan agen antitrombotik terhadap pasien dengan HELLP untuk mencoba
memperpanjang usia gestasi. Penelitian-penelitian tersebut hanya menunjukkan hasil yang
marjinal. Terdapat beberapa bukti manfaat terapi steroid untuk perbaikan kondisi maternal.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh OBrien dkk., penggunaan glukokortikoid
antepartum menunjukkan adanya perpanjangan latensi yang tergantung-dosis, reduksi
abnormalitas enzim hati, dan perbaikan dalam hitung platelet pada pasien dengan sindromn
HELLP. Penatalaksanaan konservatif sindrom HELLP memiliki resiko yang signifikan,
termasuk abruptio plasenta, edema pulmoner, adult respiratory distress syndrome (ARDS),
ruptur hematoma hepar, gagal ginjal akut, disseminated intravascular coagulation (DIC),
eklampsia, hemoragia intraserebral, dan kematian ibu. Maka tidak diperlukan
penatalaksanaan lebih dari 48 jam setelah pemberian glukokortikoid untuk kemungkinan
manfaat bagi janin yang minimal ketika dibandingkan dengan resiko maternal yang berat.

Dalam upaya meningkatkan kematangan paru janin, glukokortikoid diberikan


kepada wanita hamil yang jauh dari aterm dengan hipertensi berat. Terapi ini tampaknya
tidak memperparah hipertensi ibu, dan diklaim dapat menurunkan insiden gawat napas dan
memperbaiki kelangsungan hidup janin. Thiagarajah dkk. (1984) merupakan orang-orang
pertama yang menyatakan bahwa glukokortikoid juga mungkin berperan dalam
pengobatan kelainan laboratorium pada sindrom HELLP. Tompkins dan Thiagarajah
(1999) baru-baru ini melaporkan bahwa glukokortikoid menimbulkan perbaikan yang
signifikan namun transien pada kelainan hematologis pada sindrom HELLP yang
didiagnosis pada 52 wanita dengan usia kehamilan antara 24 dan 34 minggu. Walaupun
hitung trombosit meningkat dengan rata-rata 23.000/ul, efek ini berlangsung singkat dan
hitung trombosit menurun dengan rata-rata sebesar 46.000/ul dalam 48 jam setelah
selesainya pemberian regimen glukokortikoid. Yang utama, hanya sebagian kecil wanita
yang diteliti ini yang memperlihatkan hitung trombosit kurang dari 100.000/ul sebelum
terapi glukokortikoid sehingga efektivitas terapi ini belum diuji secara luas pada wanita de-
ngan kelainan hematologis yang lebih parah.

14
Salah satu interpretasi laporan-laporan ini ada-lah bahwa pemberian glukokortikoid
secara spesifik untuk kelainan hematologis akibat preeklampsia berat tidak akan secara
bermakna menunda keharusan untuk melahirkan janin. Hampir dapat dipastikan bahwa
dari laporan-laporan ini tidak dapat disimpulkan bahwa pemberian glukokortikoid dapat
secara bermakna menunda persalinan pada wanita dengan kelainan laboratorium yang
berat.

Pasien dengan serviks yang baik dan memiliki diagnosis sindrom HELLP
sebaiknya menjalani persalinan percobaan (trial of labor), terutama jika mereka tiba dalam
keadaan inpartu. Sindrom HELLP tidak secara otomatis mengharuskan dilakukannya
seksio sesarea. Sebuah persalinan operatif dalam beberapa keadaan bahkan dapat
berbahaya. Semua pasien dengan serviks yang baik, tanpa memandang usia gestasi,
sebaiknya menjalani induksi persalinan baik dengan oksitosin atau prostaglandin. Seksio
sesarea elektif harus dipertimbangkan pada pasien dengan usia gestasi sangat rendah dan
memiliki serviks yang tidak baik. Paradigma penatalaksanaan akan disajikan pada tabel
dibawah untuk pasien yang menjalani seksio sesarea.

Penatalaksanaan nyeri pada pasien dengan sindrom HELLP selama persalinan


harus didiskusikan antara ahli obstetri dan ahli anestesi. Ahli anestesi harus mengetahui
keadaan pasien karena adanya kemungkinan edema laringeal dan kesulitan melakukan
intubasi atau ekstubasi. Biasanya keputusan untuk menggunakan anestesia epidural atau
tidak adalah hak ahli anestesi. Anestesia regional sebaiknya digunakan dengan hati-hati
pada pasien dengan hitung platelet yang cukup rendah. Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh OBrien dkk. mendukung penggunaan glukokortikoid untuk memperbaiki hitung
platelet dan agar dapat lebih leluasa menggunakan anestesia regional pada pasien dengan
sindrom HELLP. Ahli anestesi harus selalu diberi kabar mengenai tren hitung platelet pada
pasien dengan HELLP. Narkotika intravena dapat diberikan agar dapat mencapai analgesia.
Infiltrasi lokal dapat digunakan tanpa pertimbangan selama persalinan per vaginam dan
perbaikan perineum. Blok pudendal harus dihindari karena adanya potensi perdarahan
yang tidak diketahui di daerah ini.

15
Jika pasien dengan sindrom HELLP memerlukan persalinan per abdominam, harus
dilakukan dengan hati-hati untuk meminimalisir efek samping yang mungkin terjadi.
Transfusi platelet setidaknya 5 hingga 10 unit harus dilakukan dalam perjalanan menuju
ruang operasi pada pasien dnegan trombositopenia. Konsumsi platelet adalah cepat pada
transfusi platelet, dan efeknya sementara atau temporer. Pertimbangan intraoperatif harus
mencakup penempatan drain, baik subfasial, subkutaneus, atau keduanya, karena
kemungkinan terjadinya oozing. Pemilihan insisi kulit harus dilakukan sepenuhnya
berdasarkan penilaian klinis terbaik dokter yang melakukan pembedahan. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Briggs dkk., pasien dengan sindrom HELLP yang
menjalani seksio sesarea dievaluasi terhadap adanya komplikasi luka. Tidak ditemukan
adanya perbedaan secara statistik antara insisi midline versus Pfannenstiel, baik dengan
penutupan primer atau tertunda.
Dalam melakukan persiapan tindakan operasi persalinan pada sindrom HELLP harus
memperhatikan bahwa tendensi perdarahan selalu mengancam sehingga pemeriksaan
tentang profil darah khususnya trombosit:
1. Persiapan sebelum operasi.
a. Lakukan transfusi trombosit sebelum dan sesudah operasi bila trombosit
kurang dari 10.000/mm.
b. Transfusi 6-10 unit trombosit bila jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm.
2. Untuk menghindari hematoma-rembesan perdarahan.
a. Pemasangan drainase sehingga darah dapat keluar melalui drain.
b. Perawatan luka terbuka, untuk menghindari hematoma.
3. Pengawasan pasca operasi.
a. Intensif unit care, untuk melakukan evaluasi organ dan gejala vital.
b. Sekitar 30 % sindrom HELLP terjadi post partum operasi.
c. Umumnya gejala akan berkurang setelah 72 jam sehingga pengobatan
masih perlu dalam waktu 24 jam pascapartum.
4. Komplikasi yang sering terjadi:
a. Edema pulmonum.
b. Dekompensasio kordis.
c. Kegagalan ginjal.

16
Dengan demikian observasi yang ketat perlu dilakukan sehingga gejala utama yang
makin memburuk segera dapat diketahui, untuk persiapan tindakan lebih lanjut.

Tabel 3. Penatalaksanaan perioperatif pasien dengan sindrom HELLP yang memerlukan


seksio sesarea
1. Pengendalian hipertensi berat
2. Inisiasi infus magnesium sulfat intravena
3. Glukokortikoid untuk 24 48 jam untuk manfaat janin
jika usia kehamilan <34 minggu
4. Anestesia umum untuk hitung platelet < 75.000/mm3
5. Platelet 5 10 unit sebelum pembedahan jika hitung
platelet < 50.000/mm3
6. Membiarkan peritoneum vesikouterina terbuka
7. Drainase subfasia
8. Penutupan sekunder terhadap insisi kulit atau drainase
subkutaneus
9. Transfusi postoperatif sesuai keperluan
10. Pengawasan intensif selama setidaknya 48 jam
postpartum
Penatalaksanaan postpartum terhadap pasien dengan HELLP sebaiknya mencakup
pengawasan hemodinamik yang ketat selama setidaknya 48 jam. Evaluasi laboratoris serial
harus dilakukan untuk memonitor perburukan abnormalitas. Kebanyakan pasien akan
menunjukkan pembalikan yang lebih cepat dalam abnormalitas laboratoris dengan
melakukan pertukaran plasma dan steroid postpartum

Tabel 4. Penunjukkan tatalaksana sindrom HELLP antepartum.


TENTUKAN DAN STABILKAN KONDISI ANTEPARTUM
Bila terjadi DIC koreksi kelainan koagulasinya
Berikan serangan mendadak dengan memberikan MgSO4
obati hipertensinya yang berat
Lakukan referral ketempat yang dapat mengatasinya
Lakukan USG atau CT scan bila dicurigai hematoma liver

17
EVALUASI KESEJAHTERAAN JANINNYA
Lakukan NST (Nonstress Test)
Lakukan profil biofisiknya
USG biometri
EVALUASI KEMATANGAN PARU BILA UMUR HAMIL< 35 MINGGU
Bila mature terminasi hamilnya
Bila belum berikan steroid diikuti persalinan

MgSO4 = magnesium sulfat

2.9 Komplikasi
Komplikasi sindrom HELLP lainnya yang berpotensi mengancam nyawa adalah
hematoma hepar subkapsuler. Temuan klinis konsisten dengan hematoma subkapsuler
termasuk pemeriksaan fisik dengan iritasi peritoneal dan hepatomegali dan nyeri alih dari
nervus frenikus. Nyeri pada perikardium, peritoneum, pleura, bahu, kandung empedu,
esofagus merupakan konsisten dengan nyeri alih dari nervus frenikus. Konfirmasi
diagnosis dapat dilakukan dengan menggunakan computed tomography, ultrasonografi,
atau magnetic resonance imaging. Penatalaksanaan konservatif pada pasien yang stabil
secara hemodinamis dengan hematoma subkapsuler yang tidak ruptur merupakan rencana
yang tepat, dengan syarat dilakukan pengawasan hemodinamik yang ketat, evaluasi serial
profil koagulasi, dan evaluasi serial status hematoma dengan cara pemeriksaan radiologis.
Jika pada pasien terjadi dekompensasi hemodinamis, harus dipertimbangkan diagnosis
ruptur hematoma subkapsuler.
Jenis komplikasi sindrom HELLP antara lain:
1. Solusio plasentae
2. Gagal ginjal
3. Asites
4. Kemungkinan ruptura dari liver

18
Komplikasi yang terlambat didiagnosis dan terlambat mencapai tingkat pelayanan
lanjut dapat menimbulkan kematian. Kematian perinatal dapat disebabkan oleh :
1. Solusio plasentae.
2. Asfiksia intrauterine yang berat.
3. Intrauterine growth retardation.
4. Persalinan prematuritas.

Jika dicurigai adanya ruptur dari hematoma hepar subkapsuler, diperlukan


intervensi dengan segera. Ruptur hematoma hepar dengan syok hemodinamik merupakan
kegawat daruratan bedah yang mengancam nyawa. Perawatan dari titik ini adalah
pendekatan multidisipliner dan harus melibatkan ahli bedah umum dan ahli bedah vaskuler
untuk melakukan laparotomi. Terlebih lagi, koreksi koagulopati dan transfusi produk darah
secara masif adalah esensial. Ruptur tersebut biasanya melibatkan lobus kanan hepar.
Mortalitas maternal dan fetal adalah lebih dari 50% dengan intervensi yang segera.
Rekomendasi yang terdapat dalam literatur untuk hematoma hepar subkapsuler dalam
kehamilan adalah packing dan drainase. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Smith
dkk., tingkat keselamatan secara keseluruhan adalah 82% dengan menggunakan metode
ini.

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Williams
Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw-Hill, 2007
Goodnight SH, Hathaway WE. Disorders of Hemostasis and Thrombosis: A Clinical
Guide. 2nd ed. New York: McGraw-Hill, 2001: 234
Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC,
2007: 417-419

19
Scott JR, Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF. Danforths Obstetrics and Gynecology. 9th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007: 22
Wibowo B, Rachimhadhi T. Pre-eklampsia dan Eklampsia. Dalam: Wiknjosastro H,
Saifuddin AB, Rachimhadhi T, ed. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2002: 295-298

20

You might also like