You are on page 1of 15

TINJAUAN PUSTAKA

ASMA BRONKIAL

1. Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan
dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala
pernapasan.1 Asma bronkial adalah salah satu penyakit paru yang termasuk dalam
kelompok penyakit paru alergi dan imunologi yang merupakan suatu penyakit yang
ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap
berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang
disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini
bersifat dinamis dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun
karena pemberian obat.2

2. Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki laki dan perempuan di segala usia,
terutama pada usia dini. Perbandingan laki laki dan perempuan pada usia dini adalah
2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia
dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia
remaja dibandingkan dengan perempuan.3
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka
ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.4
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma
meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5%
dari seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di
Indonesia.5
Penelitian yang dilakukan oleh Anggia D pada tahun 2005 di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru didapatkan kelompok umur terbanyak yang menderita asma
adalah 25 34 tahun sebanyak 17 orang (24,29%) dari 70 orang, dan perempuan lebih
banyak dari pada laki laki (52,86%). 6

3. Faktor Resiko
Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Atopi
1
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan
alergen maupun iritan.
c. Jenis Kelamin
Perbandingan laki laki dan perempuan pada usia dini adalah
2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada
wanita usia dewasa.
d. Ras
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan
faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat
mempengaruhi fungsi saluran pernapasan dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
mempengaruhi gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

4. Faktor Pencetus
Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma sudah
sedemikian jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma
mempunyai sifat sangat peka terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya
dengan proses inflamasi. Proses inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan oleh
alergen tertentu.

Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi


inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus yang
sering menjadi pencetus serangan asma adalah :
1. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah
b. Alergen luar rumah
2. Faktor Lain
a. Alergen makanan
b. Alergen obat obat tertentu
c. Bahan yang mengiritasi
d. Ekspresi emosi berlebih

2
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif
f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan
g. Exercise-induced asthma
h. Perubahan cuaca

5. Klasifikasi

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran


klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi -2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk
mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak
ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan
klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam
penatalaksanaannya.7
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan
(akut)7 :
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1)
Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat
(Tabel.1)

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang
dewasa7

3
2. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan
sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik)
dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma
persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan
pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat,
bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.
Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan7

6. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh
hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel
mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan
pelepasan mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target
saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan
4
hipersekresi mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang
sangat kompleks melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi,
interaksi antara sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik.8
Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan
saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama
pada malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan
yaitu penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.8

Gambar 1. Patogenesis Asma9

Tabel 3. Mediator Sel Mast dan Pengaruhnya terhadap Asma10

Mediator Pengaruh terhadap asma


Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan A2
Kontruksi otot polos
Bradikinin
Platelet-activating factor (PAF)
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan E2
Udema mukosa
Bradikinin
Platelet-activating factor (PAF) Chymase
Radikal oksigen
Histamin
LTC4, D4,E4
Sekresi mukus
Prostaglandin
Hidroxyeicosatetraenoic acid
Radikal oksigen Deskuamasi epitel bronkial
5
Enzim proteolitik
Faktor inflamasi dan sitokin

7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Faktor faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya
riwayat alergi.11
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi
saluran napas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan
denyut nadi juga meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering,
mengi.11
Pemeriksaan Laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman,
kristal Charcot Leyden).11
Pemeriksaan Penunjang
o Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal
ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang
merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa
(FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.
o Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana,
alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal
dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam
menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif
(spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding
PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk
diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran
napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik,
APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
6
o Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus
merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas
saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus
terdiri dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise),
hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan
histamin.
o Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri,
obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada
serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan.
Tabel 4. Diagnosis Asma12

8. Diagnosis Banding
Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan
sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk
kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkirkan
dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien
berumur lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan
batuk pagi hari, lama kelmaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan
kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut, datap ditemukan sianosis dan tanda-
tanda corpulmonal
Emfisema paru

7
Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan mengi
jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada
emfisema tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan
jasmani. Pada pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung, peranjakan napas
terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah.
Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.
Gagal jantung kiri
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada
malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba
terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau
berkurang bila duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan
edema paru.
Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi,
gagal jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien batuk-
natuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan
pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya ortopnea, takikardi, gagal
jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis, dan hipertensi.
Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara lain aksis
jantung ke kanan.

9. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan


mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma13:
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
Menghindari efek samping obat
Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
Mencegah kematian karena asma

8
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma
terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.13

Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan non-medikamentosa


dan pengobatan medikamentosa :
Pengobatan non-medikamentosa
Penyuluhan
Menghindari faktor pencetus
Pengendali emosi
Pemakaian oksigen
Pengobatan medikamentosa
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.13
a. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol :
1) Glukokortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol
asma. Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi
adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).

Tabel 5. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi13


Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi

Obat
Beklometason dipropionat 200-500 g 500-1000 g >1000 g
Budesonid 200-400 g 400-800 g >800 g
Flunisolid 500-1000 g 1000-2000 g >2000 g
Flutikason 100-250 g 250-500 g >500 g
Triamsinolon asetonid 400-1000 g 1000-2000 g >2000 g
Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi

9
Obat
Beklometason dipropionat 100-400 g 400-800 g >800 g
Budesonid 100-200 g 200-400 g >400 g
Flunisolid 500-750 g 1000-1250 g >1250 g
Flutikason 100-200 g 200-500 g >500 g
Triamsinolon asetonid 400-800 g 800-1200 g >1200 g

2) Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat
indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik
daripada steroid oral jangka panjang.
3) Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada
asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk
menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
4) Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat
dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan
pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.

5) Agonis beta-2 kerja lama


Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol
dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti
lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan
pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan
memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Tabel 6. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-213
Onset Durasi (Lama kerja)
Singkat Lama
Cepat Fenoterol Formoterol
Prokaterol
Salbutamol/ Albuterol
Terbutalin

10
Pirbuterol
Lambat Salmeterol

6) Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya
melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan
menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise.
Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan
obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah
diberikan. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis
reseptor leukotrien sisteinil).

b. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk 13:
1) Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja
(onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu
relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator
dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat
bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma
2) Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih
lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.
3) Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu
juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk
dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
4) Adrenalin
11
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut
atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan
bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

Cara pemberian pengobatan


Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral
dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian pengobatan
langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah 13:
lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
efek sistemik minimal atau dihindarkan
beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak
terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu
kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.

Tabel 7. Pengobatan sesuai berat asma 13

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak
melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi Alternatif / Pilihan lain Alternatif
pengontrol harian lain
Asma Tidak perlu -------- -------
Intermiten
Asma Glukokortikosteroid Teofilin lepas lambat ------
Persisten inhalasi (200-400 g
Ringan BD (beclomethasone
Kromolin
diproprionate)/hari
atau ekivalennya)
Leukotriene modifiers
Asma Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid inhalasi (400-800g Ditambah
Persisten glukokortikosteroid BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin agonis beta-
Sedang lepas lambat ,atau 2 kerja lama
(400-800 g BD/hari oral, atau
atau ekivalennya) Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 g
dan BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta- Ditambah
2 kerja lama oral, atau teofilin lepas
agonis beta-2 kerja lambat
lama Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi

12
(>800 g BD atau ekivalennya) atau

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 g


BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene
modifiers
Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metilprednisolon oral selang
Persisten glukokortikosteroid sehari 10 mg
Berat (> 800 g BD atau
ekivalennya) dan ditambah agonis beta-2 kerja lama oral,
agonis beta-2 kerja ditambah teofilin lepas lambat
lama, ditambah 1 di
bawah ini:

teofilin lepas
lambat
leukotriene
modifiers

glukokortikosteroid
oral

10. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
a. Status asmatikus
b. Atelektasis
c. Hipoksemia
d. Pneumothoraks
e. Emfisema

11. Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan
bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau
serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak kanak dan mendapat pengawasan
yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam
pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan
mengalami serangan ulang.14Pada penderita yang mengalami serangan intermitten
angka kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan
serangan terus menerus angka kematiannya 9%.14

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. h 978 87.
2. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke 2. Surabaya :
Airlangga University Press. 2002. h 263 300.
3. Morris MJ. Asthma. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/296301-
overview#showall. Di akses pada 15 Maret 2017
4. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma. Eur
Respir Rev 2007; 16: 104, 6772
5. Dewan Asma Indonesia. Pedoman Tatalaksana Asma. Jakarta. 2011
6. Anggia D. Profil Penderita Asma Bronkial yang Dirawat Inap di Bagian Paru RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari Desember 2005. Pekanbaru : Fakultas
Kedokteran Universitas Riau. 2006.
14
7. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian
Penyakit Asma. Jakarta. 3 Nopember 2008.
8. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Jurnal
Cermin Kedokteran. 2003; 141. 5 6.
9. Widjaja A. Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003. Surakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2003. h 27.
10. Noorcahyati S. Pemantauan Kadar Imunoglobulin M (Igm) dan Imunoglobulin G
(IgG) Chlamydia pneumoniae pada Penderita Asma di Rumah Sakit Umum Pusat H.
Adam Malik Medan. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2002.
11. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2001. h 477 82.
12. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. Nopember 2008; 58(11), 444-51.
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. 2003. h 73-5
14. Mcfadden ER. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 2000. 1311-18.

15

You might also like