Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun oleh:
SHELLA MONICA DALIMUNTHE
108101000024
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1437 H
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
NIM. 108101000024
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI
SKRIPSI, MEI 2015
ABSTRAK
Masalah gizi merupakan penyebab sepertiga kematian pada anak. Stunting
menjadi indikator kunci dari kekurangan gizi kronis, seperti pertumbuhan yang
melambat, perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih
mungkin mempunyai daya tangkap yang rendah. Dari data Riskesdas 2010 beberapa
provinsi dengan jumlah kejadian balita stunting tertinggi menunjukkan bahwa kejadian
balita stunting banyak terdapat pada rentang usia 24-59 bulan. Provinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB) merupakan salah satu Provinsi yang memiliki prevalensi stunting diatas
prevalensi nasional.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional. Studi ini menggunakan data sekunder yaitu dengan menganalisis data dari
penelitian Riskesdas 2010 di Provinsi NTB. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret
2013. Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 388 balita berusia 24-59 bulan di
Provinsi NTB. Variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini yaitu asupan
energi balita, asupan protein balita, jenis kelamin, berat lahir balita, jumlah anggota
rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah
tempat tinggal balita dan status ekonomi keluarga. Sedangkan variabel dependennya
adalah kejadian stunting. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner
riskesdas. Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji statistik dengan rumus chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang mengalami stunting sebanyak
56.36%, sedangkan balita normal sebanyak 43.63%. Sebanyak 58.22% balita memiliki
asupan energi kurang, sedangkan 41.77% lainnya memiliki asupan energi cukup.
51.70% balita memiliki asupan protein cukup dan sisanya masih memiliki asupan
protein kurang. Sebanyak 51.59% balita berjenis kelamin perempuan, sisanya berjenis
kelamin laki- laki. Balita lahir dengan BBLR sebanyak 8.62%, sedangka n sisanya lahir
dengan berat badan normal. Sebanyak 72.06% anak berasal dari keluarga besar, sisanya
berasal dari keluarga kecil. Sebagian besar ibu balita berpendidikan rendah, hanya
sebanyak 33.13% yang berpendidikan tinggi. Ayah dengan pendidikan rendah sebanyak
71.51%, sisanya berpendidikan tinggi. Sebanyak 66.8% ibu balita merupakan ibu rumah
tangga, sisanya berkerja. Sebanyak 97.03% ayah balita bekerja, sisa nya tidak bekerja.
41.77% balita tinggal di daerah perkotaan, sisanya di pedesaan. Hanya sebesar 17.53%
ii
balita yang berasal dari keluarga berstatus ekonomi tinggi, sisanya berstatus ekonomi
rendah.
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
SPECIALISATION NUTRITION
THESIS, MAY 2015.
ABSTRACT
Nutritional problems are the cause of all deaths in children. Stunting be a key
indicator of chronic malnutrition, such as slowed growth, brain development lags behind
and as a result of stunting children are more likely to have a low perception. From the
data of Riskesdas 2010 several provinces with the highest incidence of stunting in
toddlers showed that the incidence of stunting are happened mostly in the age range 24-
59 months. West Nusa Tenggara Province (NTB) is one province that has a prevalence
of stunting above the national prevalence.
This research is a quantitative study with cross sectional approach. This study
used secondary data analysis from the study of Riskedas 2010 in NTB Province. The
research was conducted in March 2013. The sample that was used in this research is 388
toddlers aged 24-59 months in NTB Province. The independent variables examined in
this study were toddler energy intake, toddler protein intake, sex, birth weight infants,
the number of household members, mother's education, father's education, mother's
occupation, father's occupation, region of residence and family economic status. While
the dependent variable was the incidence of stunting. The instrument used in this study
is a questionnaire of Riskesdas 2010. The data obtained was then performed in statistical
tests with chi-square formula.
The results showed that toddlers who stunted are 56.36%, while the other
43.63% are normal. A total of 58.22% of the toddlers have less energy intake, while
another 41.77% having sufficient energy intake. 51.70% of toddlers have enough protein
and the rest still has less protein intake. A total of 51.59% are female toddlers, while the
remaining toddlers are male. Toddlers born with low birth weight are 8.62%, while the
rest were born with normal weight. A total of 72.06% of the children come from large
families, the rest comes from a small family. Most of the toddler's mother was poorly
educated, just as much as 33.13% with high education. Fathers with low education are
71.51%, the rest is highly educated. A total of 66.8% of toddlers mothers are
housewives, and the remaining mothers are working. A total of 97.03% toddler's father
are working, the rest are unemployed. 41.77% of the toddlers living in urban areas, the
iv
rest in the countryside. Only by 17.53% of toddlers who comes from a family with high
economic status, the rest are from low economic status.
v
Judul Skripsi
Telah diperiksa, disetujui, dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Program
Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh:
NIM. 108101000024
Mengetahui
Pembimbing I Pembimbing II
vi
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Mengetahui
Penguji I
Penguji II
Penguji III
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Agama : Islam
Email : shella.monica10@gmail.com
II. PENDIDIKAN
Kesehatan Masyarakat
viii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak
terhinggackepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kemudian
tak lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaat dan pertolongannya di
yaumil qiyamah nanti.
1. Mama dan Papa tercinta yang selalu memberikan segala dukungan, doa dan
perhatian kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat.
4. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM selaku Sekretaris Program Studi Kesehatan
Masyarakat.
5. Ibu Raihana Nadra Alkaff, SKM, MMA selaku dosen pembimbing I yang
telah dengan sabar memberikan ilmu, bimbingan, pengarahan, motivasi,
tuntunan dan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan yang luar
biasa kepada penulis.sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
6. Ibu Ratri Ciptaningtyas, S.Sn.Kes, MHS selaku dosen pembimbing II yang
banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini dan memberikan ilmu- ilmu baru, semoga Allah
SWT mencatat segala amal kebaikannya sebagai ibadah.
7. Ibu DR. Ela Laelasari, SKM, M.kes selaku dosen pembimbing akademik.
8. Para dosen program studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membimbing serta memberikan ilmu yang bermanfaat
kepada penulis.
ix
9. Bapak Ahmad Gozali dan Bapak Azib selaku bagian akademik, terima kasih
atas bantuannya dalam pembuatan surat-surat untuk penelitian ini.
10. Para Staf Balitbangkes Kementerian Kesehatan, terima kasih atas
kepercayaannya dalam memberikan data Riskesdas 2010 sehingga penulis
dapat menyusun skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuanganSTOOPELTH 2008, kakak-kakak, serta adik-
adik kelasku yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih banyak.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih kurang dar i
sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan
dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin
x
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 6
1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 7
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 8
1.4.1 Tujuan Umum .......................................................................................... 8
1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................................................... 8
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 8
1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................................... 8
1.5.2 Manfaat Aplikatif ..................................................................................... 9
1.6 Ruang Lingkup ................................................................................................. 9
BAB V HASIL
5.1 Analisis Univariat ... 63
5.1.1 Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat 63
xii
5.1.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat .. 64
5.1.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat .. 65
5.1.4 Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 67
5.1.5 Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 68
5.1.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat 70
5.1.7 Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 71
5.1.8 Gambaran Pendidikan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 73
5.1.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 74
5.1.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 76
5.1.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat 77
5.1.12 Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat 79
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian ... 81
6.2 Gambaran Stunting Pada Balita ... 82
6.3 Gambaran Asupan Energi dengan Kejadian Stunting pada Balita .. 84
6.4 Gambaran Asupan Protein dengan Kejadian Stunting pada Balita . 87
6.5 Gambaran Jenis Kelamin dengan Kejadian Stunting pada Balita 89
6.6 Gambaran Berat Lahir dengan Kejadian Stunting pada Balita 92
6.7 Gambaran Jumlah Anggota Rumah Tangga dengan Kejadian Stunting pada
Balita 93
6.8 Gambaran Pendidikan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita .. 95
6.9 Gambaran Pendidikan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita 98
6.10 Gambaran Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita 100
6.11 Gambaran Pekerjaan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita. 102
6.12 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal dengan Kejadian Stunting pada Balita.. 103
6.13 Gambaran Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Balita... 105
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ....... 63
Grafik 5.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ...... 64
Grafik 5.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ... 66
Grafik 5.4 Gambaran i Jenis Kelamin Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ....................................... 67
Grafik 5.5 Gambaran Berat Lahir Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2010....... 69
Grafik 5.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 . 70
Grafik 5.7 Gambaran Pendidikan Ibu Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ....... 72
Grafik 5.8 Gambaran Pendidikan Ayah Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ... 73
Grafik 5.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ...... 75
Grafik 5.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ... 76
Grafik 5.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ... 78
Grafik 5.12 Gambaran Wilayah Status Ekonomi Keluarga Pada Balita Usia 24-
59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 .... 79
xv
DAFTAR BAGAN
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
pada kesehatan anak, sama halnya dengan berinvestasi pada kemajuan suatu negara
(Hunt, 2001). Masa ketika anak berada di bawah umur lima tahun (balita) merupakan
masa kritis dari perkembangan dan pertumbuhan dalam siklus hidup manusia. Anak
mengalami pertumbuhan fisik yang paling pesat dan masa ini juga disebut masa emas
perkembangan otak. Oleh karena itu, baik buruknya status gizi balita akan berdampak
1999).
juta anak di dunia yang terlalu pendek berdasarkan usia membuat stunting menjadi
indikator kunci dari kekurangan gizi kronis. Seperti pertumbuhan yang melambat,
perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih mungkin
kehidupan manusia (Brown and Begin, 1993 dalam Semba and Bloem, 2001). Pada
berkembang terjadi pada dua hingga tiga tahun pertama kehidupan (De Onis a nd
Pemberian makan yang tidak tepat mengakibatkan cukup banyak anak yang
menderita kurang gizi. Femomena gagal tumbuh atau growth faltering pada anak
1
2
Indonesia mulai terjadi pada usia 4-6 bulan ketika bayi yang diberikan makanan
tambahan dan terus memburuk hingga usia 18-24 bulan. Kekurangan gizi memberi
kontribusi dua pertiga kematian balita. Dua pertiga kematian tersebut terkait praktek
pemberian makanan yang tidak tepat pada bayi dan anak usia dini. (WHO/UNICEF,
2003).
Hingga saat ini, gizi kurang pada balita juga masih menjadi masalah kesehatan
pada balita dapat diketahui melalui beberapa indikator. Indikator tersebut diantaranya
berat kurang atau underweight jika dilihat dari berat badan menurut umur (BB/U),
pendek atau stunting jika dilihat dari tinggi badan menurut umur (TB/U) dan kurus atau
wasting jika dilihat dari berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Dalam hal ini, berat
kurang dan kurus merupakan dampak masalah kekurangan gizi yang bersifat akut,
Stunting pada balita biasanya kurang disadari karena perbedaan tinggi badan
dengan anak usia normal kurang begitu terlihat. Stunting biasanya mulai terlihat ketika
anak memasuki masa pubertas atau masa remaja. Ini merupakan hal yang buruk karena
semakin terlambat disadari, maka semakin sulit pula untuk mengatas i stunting.
nasional adalah sebesar 35,6% yang berarti terjadi penurunan dari keadaan tahun 2007
terdiri dari 18,4% sangat pendek dan 17,1% pendek. Bila dibandingkan dengan keadaan
tahun 2007, prevalensi balita sangat pendek turun dari 18,8% pada tahun 2007 menjadi
18,5% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi pendek menurun dari 18,0% pada tahun
2007 menjadi 17.1% pada tahun 2010. Sebanyak 15 Provinsi memiliki prevalensi
kependekan di atas angka prevalensi nasional. Urutan ke 15 Provinsi tersebut dari yang
memiliki prevalensi tertinggi sampai terendah adalah: (1) Nusa Tenggara Timur, (2)
Papua Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4) Sumatera Utara, (5) Sumatera Barat, (6)
Sumatera Selatan, (7) Gorontalo, (8) Kalimantan Barat, (9) Kalimantan Tengah, (10)
Aceh, (11) Sulawesi Selatan, (12) Sulawesi Tenggara, (13) Maluku, (14 ) Lampung, (15)
Sulawesi Tengah.
Berdasarkan usia balita, kejadian stunting banyak terdapat pada balita usia 24
hingga 59 bulan. Dari data Riskesdas 2010 beberapa provinsi dengan jumlah kejadian
balita stunting tertinggi menunjukkan bahwa kejadian balita stunting banyak terdapat
pada rentang usia tersebut. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga merupakan salah
satu Provinsi yang memiliki prevalensi stunting diatas prevalensi nasional. Provinsi
NTB mengalami peningkatan angka stunting pada balita. Prevalensi balita sangat pendek
meningkat dari 23,8% pada tahun 2007 menjadi 27,8% pada tahun 2010. Sedangkan
prevalensi balita pendek pada tahun 2007 sebesar 19,9% menjadi 20,5% pada tahun
2010.
Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi
disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor- faktor tersebut saling berhubungan satu
dengan lainnya, ada tiga faktor utama penyebab stunting yaitu asupan makanan yang
4
tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan yaitu karbohidrat,
protein, lemak, mineral, vitamin dan air), riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), dan
riwayat penyakit.
yaitu tingkat masyarakat, rumah tangga (keluarga), dan individu. Pada tingkat
masyarakat, sistem ekonomi; sistem pendidikan; sistem kesehatan dan sistem sanitasi
dan air bersih menjadi faktor penyebab kejadian stunting. Pada tingkat rumah tangga
(keluarga), kualitas dan kuantitas makanan yang tidak memadai; tingkat pendapatan;
jumlah dan struktur anggota keluarga; pola asuh makan anak yang tidak memadai;
pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai; dan sanitasi dan air bersih tidak
memadai menjadi faktor penyebab stunting, dimana faktor- faktor ini terjadi akibat faktor
pada tingkat masyarakat. Faktor penyebab yang terjadi di tingkat rumah tangga akan
mempengaruhi keadaan individu yaitu anak berumur dibawah 5 tahun dalam hal asupan
makanan menjadi tidak seimbang; berat badan lahir (BBLR); dan status kesehatan yang
Buruknya status gizi balita ini merupakan konsekuensi dari interaksi berbagai
faktor determinan yang berhubungan dengan akses pada pangan, kelayakan tempat
tinggal dan akses pelayanan kesehatan (Semba and Bloem, 2001). Penelitian
lahir, umur balita, jenis kelamin dan lokasi tempat tinggal. Selain itu, stunting pada
balita juga berhubungan dengan usia ibu, pendidikan ibu, dan tingkat pengeluaran (status
faktor infeksi juga turut mempengaruhi. Ayaya SO (2004) dan Hautvast JL (2000) dalam
Intelligence Quotient (IQ) yang rendah, tinggi badan ibu, jenis kelamin laki- laki, tingkat
pendidikan ayah dan ibu, kemiskinan, status sosioekonomi, tempat tinggal, perilaku
merawat anak (pemberian makan dan ASI yang kurang memadai), keyakinan budaya,
akses ke pelayanan kesehatan dan ekosistem lingkungan merupakan faktor- faktor yang
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yaitu data balita
yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang telah berhasil dikumpulkan oleh
penelitian mengenai masalah kesehatan dan gizi yang telah dilakukan, salah satunya
yaitu Riskesdas 2010. Namun hasil Riskesdas 2010 mengenai status gizi balita
khususnya faktor- faktor yang berhubungan dengan kasus stunting pada balita belum
dianalisis secara mendalam. Oleh karena itu penulis ingin memanfaatkan data sekunder
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi keadaan data Riskesdas yang digunakan
6
untuk melakukan penelitian ini kurang begitu baik dalam segi kelengkapan data, karena
Berdasarkan data yang terkumpul dari Riskesdas 2010, total balita yang berusia
24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Tahun 2010 yaitu sebanyak 579
individu. Dari jumlah tersebut, untuk keperluan penelitian ini banyak data yang tidak
lengkap, misalnya dalam satu individu sampel, satu dan/atau beberapa variabel yang
dibutuhkan untuk penelitian ini tidak ada (missing) maka sampel tersebut tidak dapat
digunakan untuk penelitian. Dari total 579 individu tersebut, setelah dilakukan proses
cleaning data menjadi 338 individu. Sehingga seluruh individu tersebut digunakan
faktor- faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di provinsi NTB berdasarkan
hasil Riskesdas tahun 2010. Faktor-faktor yang diteliti yaitu: asupan energi, asupan
protein, jenis kelamin, berat lahir, jumlah anggota rumah tangga, pendidikian ib u,
pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status
ekonomi keluarga.
Nusa Tenggara Barat (NTB) masuk dalam urutan ke 3 yang memiliki kasus
stunting pada balita diatas prevalensi nasional. Stunting mengindikasi masalah kesehatan
penurunan perkembangan fungsi motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik
7
(ACC/SCN 2000). Prevalensi balita sangat pendek di NTB meningkat dari 23.8% pada
tahun 2007 menjadi 27.8% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi balita pe ndek pada
Kejadian stunting di provinsi Nusa Tenggara Barat masih tinggi dan faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunting di Nusa Tenggara Barat pun banyak. Selain itu,
data konsumsi energi dan protein yang tersedia dalam Riskesdas 2010 hanya ada untuk
balita berusia 24-59 bulan. Pada umumnya balita berusia 24 bulan sudah sapih ASI. Hal
ini membuat konsumsi makanan balita benar-benar tergantung dari asupan energi dan
protein. Maka dari itu data asupan energi dan protein menjadi sangat penting dalam
penelitian ini. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis gambaran faktor- faktor
kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun
2010.
1. Bagaimana gambaran kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi
2. Bagaimana gambaran balita stunting usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara
Barat berdasarkan asupan energi, asupan protein, jenis kelamin, berat lahir,
jumlah anggota rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu,
asupan energi, asupan protein, jenis kelamin, berat lahir, jumlah anggota
2. Sebagai bahan untuk penelitian lanjutan oleh peneliti lain dalam topik yang
sama.
3. Sebagai tambahan referensi karya tulis yang berguna bagi masyarakat luas di
Manfaat aplikatif dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan dalam
evaluasi kebijakan dan pengambilan keputusan terkait masalah gizi kurang pada
kejadian stunting pada balita usia 24-59 di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil
penelitian ini dimaksudkan sebagai masukan yang berguna bagi pengambilan keputusan
dalam rangka pencarian solusi untuk menanggulangi kejadian stunting pada balita usia
24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini menggunakan desain cross
sectional study berdasarkan data hasil penelitian Riskesdas tahun 2010 yang pengolahan
jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi
(Jahari, 2004). Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya
manusia dan kualitas hidup. Untuk itu, program perbaikan gizi bertujuan untuk
meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi masyarakat
(Muchtadi, 2002). Sedangkan menurut Almatsier (2003) status gizi adalah keadaan
Dampak kekurangan gizi bersifat permanen yang tidak dapat diperbaiki walaupun pada
usia berikutnya kebutuhan gizinya terpenuhi. Kondisi kesehatan dan status gizi pada saat
lahir dan balita sangat menentukan kondisi kesehatan pada masa usia sekolah dan remaja
(Depkes, 2007).
perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungannya. Disamping itu balita
membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya baik, serta proses pertumbuhan
tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita
akibat kekurangan gizi (Santoso & Lies, 2004). Masa balita dinyatakan sebagai masa
10
11
kritis dalam rangka mendapatkan sumberdaya manusia yang berkualitas, terlebih pada
periode 2 tahun pertama merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan
otak yang optimal, oleh karena itu pada masa ini perlu perhatian yang serius (Azwar,
2004).
Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek sehingga
mlampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan (Manary &
Solomons, 2009). Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik tinggi badan
menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca
persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak
memadai dan atau kesehatan. Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk
mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit
(ACC/SCN, 2000).
Stunting didefinisikan sebagai indikator status gizi TB/U sama dengan atau
kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) di bawah rata-rata dari standar (WHO,
2006a). Ini adalah indikator kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis yang
memberikan gambaran gizi pada masa lalu dan yang dipengaruhi lingkungan dan
keadaan sosial ekonomi. Di seluruh dunia, 178 juta anak berusia kurang dari lima tahun
(balita) menderita stunting dengan mayoritas di Asia Tengah Selatan dan sub-Sahara
kematian selama masa kanak-kanak. Selain menyebabkan kematian pada masa kanak-
kanak, stunting juga mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh (The Lancet, 2008).
12
pada balita merupakan salah satu masalah besar yang mengancam pengembangan
sumber daya manusia. Pada tahun 1995, diperkirakan angka stunting pada balita telah
mencapai lebih dari 208 juta dan 206 juta diantaranya berada di negara berkembang.
Lebih dari dua per tiga (72%) balita stunting berada di Asia. Pada saat ini, angka global
stunting pada balita adalah 178 juta (World Vision, 2009). Di Indonesia, tren data
stunting pada anak usia pra-sekolah cenderung tidak mengalami perubahan. Prevalensi
Pada tahun 2003, 27,5% anak balita di Indonesia menderita kurus sedang dan
berat, atau hanya 10 poin persentase lebih rendah dari pada tahun 1989, dan hampir
setengahnya stunting . Anak yang menderita berat lahir rendah dan stunting pada
gilirannya tumbuh menjadi remaja dan orang dewasa kurang gizi, dengan demikian
(178 juta) anak-anak usia kurang dari 5 tahun memiliki skor TB/U dengan nilai Z Score
subkawasan PBB adalah Afrika timur dan menengah masingmasing 50% dan 42%,
dengan jumlah terbanyak anak-anak dipengaruhi oleh stunting, 74 juta, tinggal di Asia
Tengah Selatan.
negara berkembang 11,6 juta kematian anak di bawah usia lima tahun, diperkirakan 6,3
13
juta (54%) dari kematian anak-anak dikaitkan dengan gizi buruk, yang sebagian besar
Tabel 2.1
Klasifikasi Penilaian Tingkat Kekurangan Gizi
Anak-anak dibawah Usia 5 Tahun
pertumbuhan linier. Biasanya, pertumbuhan goyah dimulai pada sekitar usia enam bulan,
sebagai transisi makanan anak yang sering tidak memadai dalam jumlah dan kualitas,
makanan dan terjadinya penyakit infeksi berulang, yang mengak ibatkan berkurangnya
Kekurangan tinggi badan cenderung terjadi lebih lambat dan pemulihan akan lebih
lambat, sedangkan kekurangan berat badan bisa cepat kembali dipulihkan. Oleh karena
14
itu, kekurangan berat badan adalah sebagai proses akut dan stunting adalah proses
kronis yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama (Waterlow, 1992).
menggambarkan keadaan gizi kurang yang sudah berjalan lama dan memerlukan waktu
bagi anak untuk berkembang serta pulih kembali. Sejumlah besar penelitian
memperlihatkan keterkaitan antara stunting dengan berat badan kurang yang sedang
atau berat, perkembangan motorik dan mental yang buruk dalam usia kanak-kanak dini,
serta prestasi kognitif dan prestasi sekolah yang buruk dalam usia kanak-kanak lanjut
(ACC/SCN, 2000).
Ada beberapa alasan mengapa stunting terjadi pada balita. Pada masa balita
kebutuhan gizi lebih besar, dalam kaitannya dengan berat badan, dibandingkan masa
remaja atau dewasa. Kebutuhan gizi yang tinggi untuk pertumbuhan yang pesat,
termasuk pertumbuhan pada masa remaja. Dengan demikian, kesempatan untuk terjadi
pertumbuhan yang gagal lebih besar pada balita, karena pertumbuhan lebih banyak
terjadi (Martorell et al, 1994). Gangguan pertumbuhan linier, atau stunting , terjadi
terutama dalam 2 sampai 3 tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari efek
interaksi antara kurangnya asupan energi dan asupan gizi serta infeksi.
terjadi tinggi dan berat badan yang kurang pada saat dewasa, mengurangi kebugaran otot
dan kemungkinan juga pada saat kehamilan yang meningkatkan kejadian berat lahir
rendah. Bukti menunjukkan bahwa anak-anak stunting juga lebih cenderung memiliki
pendidikan rendah, tetapi tidak jelas apakah ini langsung karena faktor gizi atau
15
pengaruh lingkungan. Stunting pada masa kecil mungkin memiliki dampak besar pada
produktivitas saat dewasa, meskipun ini adalah statistik yang sulit ditentukan (Poskitt,
2003).
Berat badan kurang yang sedang dan anak-anak yang bertubuh pendek juga
memperlihatkan perilaku yang berubah. Pada anak-anak kecil, perilaku ini meliputi
kerewelan serta frekuensi menangis yang meningkat, tingkat aktifitas yang lebih rendah,
berkomunikasi lebih jarang, ekspresi yang tidak begitu gembira serta cenderung untuk
berada didekat ibu serta menjadi lebih apatis (Henningham & McGregor, 2005).
Saat ini stunting pada anak merupakan salah satu indikator terbaik untuk
menilai kualitas modal manusia di masa mendatang. Kerusakan yang diderita pada awal
dengan kapasitas mereka untuk mengurangi prevalensi stunting pada anak-anak kurang
dari lima tahun. Berat lahir berkontribusi mengurangi pertumbuhan anak dalam dua
tahun pertama kehidupan, akan mengakibatkan stunting dalam dua tahun, yang akhirnya
tergambar pada tinggi badan saat dewasa. Peningkatan fungsi kognitif dan
perkembangan intelektual terkait dengan peningkatan berat lahir dan pengurangan dala m
stunting . Efek negatif berat lahir rendah pada pengembangan intelektual ditekankan
pada kelompok sosial ekonomi rendah, dan dapat diatasi dengan perbaikan lingkungan
(UNSCN, 2008).
ukuran tubuh dewasa, sebagai ditunjukkan oleh tindak lanjut dari bayi Guatemala yang
16
dua dekade sebelumnya, telah terdaftar dalam program suplementasi. Salah satu satu
konsekuensi utama dari ukuran tubuh dewasa dari masa kanak-kanak yang stunting
yaitu berkurangnya kapasitas kerja, yang pada akhirnya memiliki dampak pada
dengan pertumbuhan selama remaja. Asupan makanan yang tidak memadai dalam 2
tahun pertama bertanggung jawab pada terjadinya stunting . Kurangnya proses menyusui,
menyapih dan praktik pemberian makanan, infeksi dan diare juga berkontribusi
(Eastwood, 2003).
Meskipun ada sedikit tindak lanjut penelitian sejak masa anak-anak hingga usia
kemampuan kognitif yang lambat atau kinerja sekolah pada anak-anak dari negara-
negara berpendapatan rendah dan menengah. Sebuah analisis data longitudinal dari
Filipina, Jamaika, Peru, dan Indonesia, bersama dengan data baru dari Brasil dan Afrika
Selatan, menunjukkan bahwa stunting antara usia 12-36 bulan usia diperkirakan
mengalami kinerja kognitif yang lebih rendah dan atau nilai yang dicapai di sekolah
masuk sekolah, sering terjadi pengulangan kelas dan tingginya angka putus sekolah,
tingkat kelulusan menurun di sekolah dasar dan menengah, dan kemampuan di sekolah
badan pada saat dewasa kurang kecuali ada kompensasi pertumbuhan (catch-up growth)
di masa anak-anak (Martorell et al., 1994). Hanya sebagian kecil dari kegagalan
pertumbuhan yang dapat dikompensasi, di Senegal, ketinggian pada saat dewasa hanya
sekitar 2 cm lebih pendek daripada standar meskipun stunting terjadi pada anak-anak
(Coly, A. N, et al 2006).
Tinggi badan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan selama periode
intrauterine dan beberapa tahun pertama kehidupan dan disebabkan oleh asupan yang
tidak memadai dan sering terjadi infeksi (Shrimpton et al, 2001). Tinggi badan ibu yang
pendek dan gizi ibu yang buruk berhubungan dengan peningkatan risiko kegagalan
rendah dan menengah dilaporkan bahwa tinggi badan pada saat dewasa secara positif
terkait dengan panjang badan pada saat lahir. Peningkatan sebesar 1 cm panjang badan
pada saat lahir dikaitkan dengan peningkatan 0,7 -1 cm tinggi badan pada saat dewasa
Hasil penelitian dari Bosch, Baqui & Ginneken (2008) mengatakan bahwa
resiko menjadi stunting pada saat remaja bagi anak-anak moderately stunting adalah
1,64 kali beresiko daripada anak-anak yang tidak stunting sedangkan resiko menjadi
stunting pada masa remaja bagi anak-anak severely stunting adalah 7,40 kali beresiko
arti tubuh, sedangkan metros adalah ukuran. Secara umum antropometri adalah
pengukuran ukuran dan susunan tubuh dan bagian khusus tubuh (Potter & Perry,
2006). Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhub ungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk
terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak,
untuk menilai kecukupan asupan gizi dan pertumbuhan bayi dan ba lita.
Indonesia ukuran baku dalam negeri belum ada, maka untuk ukuran berat
badan (BB) dan tinggi badan (TB) digunakan baku HARVARD yang
WOLANSKI.
pendek (kronis) atau karena diare atau penyakit infeksi lain (akut)
RI, 2010)
menilai status gizi saat ini (Supariasa, 2002). Dari berbagai jenis
masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang
(Djumadias Abunaim,1990).
mengurangi Nilai Induvidual Subjek (NIS) dengan Nilai Median Baku Rujukan
(NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan Nilai Simpang
Normal -2 SD
Gemuk > 2 SD
SD hingga 2 SD
dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang
lalu. Dalam metode ini, respoden, ibu atau pengasuh (bila anak masih
kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai
24
metode food recall diperlukan beberapa kali wawancara pada hari yang
(Gibson, 2005). Hari yang dipilih untuk melakukan food recall juga
tahunan, food recall juga sebaiknya dilakukan beberapa kali pada musim
yang berbeda (Bearon et al. 1979; Basiotis et al., 2002 dalam Gibson,
optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian
Gibson, 2005).
data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk
(URT) seperti sendok, gelas, piring, dan lain- lain atau ukuran lainnya
yang biasa dipergunakan sehari- hari (Supariasa, 2001). Akan tetapi, akan
lebih baik lagi jika petugas menggunakan food models untuk mengkur
2005).
biaya murah, mudah, cepat dalam pelaksaaan dan cocok digunakan untuk
untuk responden dari kalangan orang lanjut usia dan anak-anak. Selain itu,
Disamping itu kekurangan lain dari metode recall 24 jam adalah tidak
recall satu hari, adanya the flat slope syndrome yaitu kecenderungan bagi
beban responden rendah, cepat, relatif tidak mahal dan dapat menilai
kebiasaan konsumsi makanan. Selain itu, metode ini juga dapat dilakukan
kekurangan yaitu metode ini tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi
juga harus jujur dan mempunyai motivasi yang tinggi, serta perlu
(ketika sudah matang) juga dilakukan (Dufour et al, 1999 dalam Gibson,
2005).
cangkir, satu sendok makan, satu mangkok dan sebagainya). Jumlah hari
dalam pelaksaan food record bervariasi, tergantung dari tujuan studi yang
dilakukan.
(Supariasa, 2001).
29
24 hour, (3) Pencatatan konsumsi selama 2-3 hari sebagai cek ulang
dari metode ini yaitu, metode ini sangat bergantung pada ingatan
dengan benar, sehingga merode ini kurang cocok dipakai untuk usia
1993).
ukuran dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan
ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang
secara bertahap dari tubuh, organ dan jaringan dari masa konsepsi sampai remaja.
dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur
dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan. Ada pula yang
jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa
perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dangan
lingkungannya.
psikososial, dan perilaku. prose situ sangat kompleks dan unik, dan hasil
terpenuhinya kebutuhan gizi sehari- hari untuk menjalankan dan menjaga fungsi
normal tubuh. Sebaliknya, jika makanan yang dipilih dan dikonsumsi tidak
sesuai (baik kualitas maupun kuantitasnya), maka tubuh akan kekurangan zat- zat
Secara garis besar, fungsi makanan bagi tubuh terbagi menjadi tiga
jaringan tubuh (zat pembangun), dan mengatur proses tubuh (zat pengatur).
Sebagai sumber energi, karbohidrat, protein dan lemak menghasilkan energi yang
diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas. Ketiga zat gizi ini terdapat dalam
32
jumlah yang paling banyak dalam bahan pangan yang kita konsumsi sehari- hari.
Sebagai zat pengatur, makanan diperlukan tubuh untuk membentuk sel-sel baru,
memelihara dan mengganti sel-sel yang rusak. Zat pembangi tersebut adalah
protein, mineral dan air. Selain sebagai zat pembangun, protein, mineral dan air
juga berfungsi sebagai zat pengatur. Dalam hal ini, protein mengatur
keseimbangan air dalam sel. Protein juga membentuk antibody untuk menjaga
daya tahan tubuh dari infeksi dan bahan-bahan asing yang masuk kedalam tubuh
(Almatsier, 2001).
pada anak adalah dengan mengevaluasi kecukupan energi dan nutrisi yang ada
status gizi. Status gizi akan optimal jika tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi
Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan umur tidaklah sama,
sehingga asupan yang diperlukan balita usia dua dan empat tahun akan berbeda.
Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh,
aktivitas fisik, dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan
(AKG) energi untuk balita usia 24-47 bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan
AKG balita usia 48-59 bulan adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun
batasan minimal asupan energi per hari adalah 70% dari AKG (Kementerian
Kesehatan, 2010).
33
sumber energi, protein menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama
dengan karbohidrat. Protein terdiri atas asam amino esensial dan non-esensial,
yang memiliki fungsi berbeda-beda. Protein mengatur kerja enzim dalam tubuh,
sehingga protein juga berfungsi sebagai zat pengatur. Asam amino ese nsial
merupakan asam amino yang tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh sehingga
harus diperoleh dari makanan (luar tubuh). Asam amino non-sesensial adalah
asam amino yang dapat di produksi sendiri oleh tubuh. Meskipun demikian,
komposisi tubuh terdiri atas protein dan separuhnya tersebar di otot, sperlima di
tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di kulit dan sisanya terdapat di jaringa lain
dan cairan tubuh. Protein berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim,
hormone, asam nukleat dan molekul- molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein
antibody, mengangkut zat- zat gizi, serta pembentuk ikatan- ikatan esensial tubuh,
misalnya hormone. Oleh karena itu, protein memiliki fungsi yang khas dan tidak
Anjuran jumlah asupan protein tidak sama untuk tiap tahapan umur.
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) protein balita us ia 48-59 bulan
adalah 39 gram/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun batasan minimal asupan protei
perhari adalah 80% dari AKG (Kementerian Kesehatan, 2010). Jika asupan
sehingga terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis kelamin (Apriadji,
perbedaan komposisi tubuh antara laki- laki dan perempuan. Perempuan memiliki
lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih sedikit daripada laki- laki.
Secara metabolic, otot lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak, sehingga
secara proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi daipada lemak.
Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan
umur yang sama memiliki komposisis tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan
Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki- laki
perempuan mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki- laki dan anak
terhadap pembagian pangan yang tidak merata. Bahkan, pada beberapa kasus,
mereka memperoleh pangan yang disisakan setelah angota keluarga prima makan
(Soehardjo, 1989).
perempuan lebih tinggi (17,9%) dibandingkan dengan balita laki- laki (13.8%)
pada balita laki- laki lebih besar daripada kejadian stunting pada perempuan. Hal
ini boleh jadi disebabkan karena balita laki- laki pada umumnya lebih aktif
daripada balita perempuan. Balita laki- laki pada umumnya lebih aktif bermain di
luar rumah, seperti berlarian, sehingga mereka lebih mudah bersentuhan dengan
lingkungan yang kotor dan menghabiskan energi yang lebih banyak, sementara
Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan normal.
Disebut dengan berat lahir rendah (BBLR) jika berat lahirnya < 2500 gram
Seorang anak yang mengalami BBLR kelak juga akan mengalami deficit
perempuan yang lahir BBLR, besar risikonya bahwa kelak ia juga akan menjadi
ibu yang stunted sehingga berisiko melahirkan bayi yang BBLR seperti dirinya
36
pula. Bayi yang dilahirkan BBLR tersebut akan kembali menjadi perempuan
dewasa yang juga stunted, dan begitu seterusnya (Semba dan Bloem, 2001).
Di Negara maju, tinggi badan balita sangat dipengaruhi oleh berat lahir.
Mereka yang memiliki berat lahir rendah tumbuh menjadi anak-anak yang lebih
pendek (Binkin NJ, 1988 dalam Huy ND, 2009). Besarnya perbedaan ini adalah
sama pada Negara maju dan berkembang, dengan mereka yang lahir dengan
berat lahir rendah (BBLR) menjdi lebih pendek sekitar 5 cm ketika berusia 17
suatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara
tidak ada. Anggota keluarga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota
keluarga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan
meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap anggota keluarga. Orang
yang telah tinggal di suatu keluarga 6 bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di
suatu keluarga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di keluarga tersebut,
dari 4 orang termasuk kategori keluarga kecil, yang kemudian dikenal sebagai
lebih dari 4 orang dikategorikan sebagai keluarga besar. Kesejahteraan anak yang
37
tinggal pada keluarga kecil relatif akan lebih terjamin dibandingkan keluarga
Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar
keluarga dan kurang gizi pada masing- masing keluarga. Jumlah anggota keluarga
Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk
keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian
tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.
yang selalu ribut akan mempengaruhi ketenangan jiwa, dan ini secara langsung
akan menurunkan nafsu makan anggota keluarga lain yang terlalu peka terhadap
suasana yang kurang mengenakan, dan jika pendapatan keluarga hanya pas-pasan
makanan didalam keluarga kurang terjamin, maka keluarga ini bisa disebut
keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah tercukupi dengan
mengalami kelaparan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang
anggotanya kecil. Selain itu berisiko juga mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali
lebih besar dari keluarga yang mempunyai anggota keluarga kecil (Berg, 1986
yang jumlah anaknya 3 orang, jika dibandingkan dengan keluarga yang jumlah
anaknya < 3 orang. Meskipun demikian, tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara jumlah anak dengan kejadian stunting pada balita (Neldawati, 2006).
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
pemilihan bahan pangan (Hidayat, 1989 dalam Suyadi, 2009). Orang yang
memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan
yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pe ndidikan
orang tua maka semakin baik juga status gizi anaknya (Soekirman, 1985 dalam
Suyadi, 2009).
39
biasanya memiliki lebih banyak anak daripada mereka yang berpendidikan tinggi.
dampak negatif dari mempunyai banyak anak (Baliwati, Khomsan, dan Dwiriani,
merupakan faktor penyebab penting terjadinya KEP. Hal ini karena danya kaitan
kecukupan bahan makanan yang dibutuhkan serta sejauh mana sarana pelayanan
sulit menerima informasi baru bidang gizi. Tingkat pendidikan ikut menentukan
pola kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga dapat mengetahui
kandungan gizi, sanitasi dan pengetahuan yang terkait dengan pola makan
lainnya (Soehardjo,1989).
terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba RD,
2008 dalam Rahayu, 2011). Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat
dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah6. Berdasarkan
penelitian Norliani et al., tingkat pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1
dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia sekolah (Norliani,
rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat kaitannya dengan
perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang lebih besar sehingga akan
41
meningkatkan daya beli rumah tanga untuk mencukupi makanan bagi anggota
terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba RD,
2008 dalam Rahayu, 2011). Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat
dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah6. Berdasarkan
penelitian Norliani et al., tingkat pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1
dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia sekolah (Norliani,
Lamanya seseorang bekerja sehari- hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam)
lain- lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama
40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan pasal
wanita yang bekerja terutama di sektor swasta. Di satu sisi hal ini berdampak
2010). Pengaruh ibu yang bekerja terhadap hubungan antara ibu dan anaknya
sebagian besar sangat bergantung pada usia anak dan waktu ibu kapan mulai
bekerja. Ibu- ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang
cukup bagi anak-anak dan keluarga (Hurlock, 1999 dalam Suyadi, 2009).
Dalam keluarga peran ibu sangatlah penting yaitu sebagai pengasuh anak
dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga, juga berperan dalam usaha
perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan anak.
Para ibu yang setelah melahirkan bayinya kemudian langsung bekerja dan harus
meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore akan membuat bayi tersebut tidak
tambahan tidak dilakukan dengan semestinya. Hal ini menyebabkan asupan gizi
pada bayinya menjadi buruk dan bisa berdampak pada status gizi bayinya
Lamanya seseorang bekerja sehari- hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam)
lain- lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama
43
40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan pasal
yang lebih baik dibandingkan dengan ayah yang bekerja sebagai buruh. Hasil uji
antara pekerjaan ayah dengan status gizi balita. dikatakan banwa ayah yang
ekerja sebagai buruh memiliki risiko lebih besar mempunyai balita kurang gizi
(Sukmadewi, 2003 dalam Suyadi, 2009). Hal ini di dukung oleh penelitian Sihadi
(1999) dalam Suyadi (2009) yang menyatakan bahwa ayah yang bekerja sebagai
buruh memiliki balita dengan proporsi status gizi buruk terbesar yaitu sebesar
53%.
2009 dan Ratih 2011). Menurut Komsiah (2007), wilayah pedesaan ditandai
pertanian.
komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada variabel,
yaitu: kepadatan penduduk, presentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas
individu. Sebagai contoh, seorang petani yang tinggal di desa dan dekat dengan
areal pertanian akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan makanan segar dan
alami, seperti buah dan sayur. Namun, seseorang yang tinggal di daerah
perkotaan akan lebih sedikit akses untuk mendapatkan bahan makanan segar
prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan pada tahun 1999-2002
yaitu mencapai 48.2%. Pada tahun 2000 dan 2001 untuk wilayah perkotaan,
45
untuk konsumsi makanan dan bukan makanan berkaitan erat dengan tingkat
dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Faktor ekonomi (Pendapatan)
kebutuhan pangannya sehingga akan terkait pula dengan status gizi secara tidak
makanan, skarena dengan uang yang terbatas itu biasanya keluarga tersebut tidak
pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan
memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi
seperti posyandu, Bina Keluarga Balita dan Puskesmas. Oleh karena itu, mereka
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk memiliki anak yang kurang gizi. Akan
tetapi, pada keluarga dengan ekonomi lebih tinggi, tingginya pendapatan tidak
menjamin bahwa makanan yang dikonsumsi keluarga lebih baik dan beragam.
Jumlah pengeluaran yang lebih banyak untuk makanan tidak menjamin bahwa
kualitas makanan yang dikonsumsi lebih baik dan lebih beragam. Terkadang
perbedaannya terletak pada harga makanan yang lebih mahal (Soehardjo, 1989).
dari keluarga dengan status ekonomi lebih baik. Dengan demikian, mereka pun
mengkonsumsi energi dan zat gizi dalam jumlah yang lebih lebih sedkit. Studi
mengenai ststus gizi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang kurang
mampu memiliki berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan
perbedaan tinggi badan lebih besar daripada perbedaan berat badan. Studi juga
kekurangan suplai makanan memiliki tinggi badan yang lebih rendah daripada
mereka yang tinggal di daerah yang memiliki suplai makanan cukup (Pipes,1985).
47
stunting pada balita baik secara langsung maupun tidak langsung, maka kerangka teori
Stunting
Daya Beli, Akses Pangan, Akses Informasi, Akses Pelayanan, Jenis Kelamin, Jumlah Anggota
Wilayah Tempat Tinggal, Status Kerja Ibu Keluarga, Jarak Kelahiran
Sumber: Modifikasi UNICEF (1990), United Nation ACC/SCN & IFPRI (2000), World
Bank (2007), Mbuya et al. (2010), dan Anisa (2012).
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
hubungan antara variabel independen dan dependen, dimana masing- masing variabel
tersebut sudah dapat dioperasionalkan dan diukur oleh peneliti. Beberapa faktor yang
dapat memepengaruhi stunting dapat dilihat pada kerangka teori yang terdapat pada Bab
II.
Variabel independen yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu asupan energi
balita, asupan protein balita, jenis kelamin, berat lahir balita, jumlah anggota rumah
tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat
tinggal balita dan status ekonomi keluarga. Sedangkan variabel dependennya adalah
kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dari kerangka teori yang telah disebutkan ada beberapa variabel yang tidak
dimasukkan kedalam kerangka konsep karena dalam Riskesdas 2010 ini faktor infeksi
yang diteliti yaitu infeksi malaria. Infeksi malaria kurang terlalu berpengaruh langsung
terhadap kejadian stunting. Namun untuk menghindari terjadinya bias, maka dalam
penelitian ini dilakukan kriteria eksklusi. Subjek sampel yang pernah mengalami malaria
karena berdasarkan data Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2010
48
49
pelayanan dan fasilitas kesehatan dan kesehatan lingkungan di Provinsi NTB sudah
Kerangka Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah stunting pada
balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat berdasarkan variabel- variabel
berikut ini:
Asupan Energi
Asupan Protein
Jenis Kelamin
Berat Lahir
Pendidikan Ayah
Pekerjaan Ibu
Pekerjaan Ayah
Definisi operasional
No Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala ukur
Operasional
1. Stunting Tinggi balita Dihitung Kuesioner: 0 = stunting, Ordinal
pada balita menurut umur dengan RKD 10. gabungan
(TB/U) kurang mengunakan IND TP/PB: antara
dari -2 SD WHO Anthro Blok X, 2b stunting dan
sehingga lebih Umur: Blok sever stunting
pendek 1V, Kolom 7 (< -2SD
daripada tinggi HAZ)
yang 1= normal
seharusnya. ( > -2 SD
Stunting dan HAZ)
severe stunting
di gabung
dalam kategori
stunting.
2. Asupan Konsumsi Berdasarkan Kuisioner: 0 = Redah, Ordinal
Energi energi total data pada RKD10, jika < 70%
dalam kuesioner. IND, Blok AKG
kkal/hari, Data diperoleh IX 1= Cukup,
kemudian melalui 24- Jika 70%
dibandingkan hour recall. AKG
dengan Angka
Kecukupan
Gizi (AKG)
yang
dianjurkan.
3. Asupan Konsumsi Berdasarkan Kuisioner: 0 = Rendah, ordinal
Protein protein dalam data pada RKD 10. jika < 80%
gram/hari, kuesioner. IND, Blok AKG
kemudian Data diperoleh IX 1 = Cukup,
dibandingkan melalui 24- Jika 80%
dengan Angka hour recall. AKG
kecukupan
Gizi (AKG)
yang
dianjurkan.
4. Berat Lahir Berat badan Berdasarkan Kuesioner: 0 = BBLR ordinal
51
sectional. Pengumpulan data dan informasi serta pengukuran antara variabel independen
dan dependen dilakukan pada waktu yang sama. Desain studi cross sectional ini cocok
digunakan untuk menganalisis subjek penelitian dalam jumlah besar karena mudah
dilaksanakan, sederhana, ekonomis dalam hal waktu dan hasilnya dapat diperoleh
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari hasil Riskesdas
2010 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI bagian Jaringan Informasi dan
Publikasi Penelitian (JIPP) di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Data Riskesdas yang
digunakan untuk melakukan penelitian ini diperoleh dari Badan Litbankes Kementrian
Kesehatan RI pada bulan Oktober 2012 dengan cara mengirimkan proposal penelitan
kepada pihak Litbakes Kementrian Kesehatan RI. Setelah memperoleh data yang
pada bulan Maret 2013 dan hasil pengolahan data tersebut dipresentasikan pada seminar
53
54
4.3.1 Populasi
Nusa Tengga Barat Tahun 2010, yaitu sebanyak 496.994 orang (BPS,
2010). Adapun sampel dari penelitian ini adalah balita usia 24-59 bulan
Barat.
4.3.2 Sampel
penelitian ini.
n = Z2 1-/2 (1-P)
2 P
= Presisi relatif
digunakan untuk mendapatkan jumlah sampel 338 adalah 10%, dan nilai
adalah 5% (0.05).
56
peroleh dan dianalisis yaitu data asupan energi, asupan protein, jenis
pada tahun 2010 di setiap blok sampel (BS) yang telah di tentukan.
faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa
kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1
berikut.
57
Tabel 4.1
Daftar variabel dan kuisioner dalam riskesdas 2010
Keterangan:
B= Blok K= Kolom H=Kode Kuisioner Anggota Rumah Tangga
Pada Riskesdas 2010, Asupan energi dan protein diperoleh dari recall 24 jam
Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004. Asupan dikategorikan kurang jika energi
58
<70% AKG dan protein <80% AKG dan cukup jika energi > 70% AKG dan
Pada Riskesdas 2010, berat lahir diperoleh dari hasil wawancara kepada
orang tua balita apakah balita tersebut ditimbang ketika baru lahir atau tidak.
Jika ya, maka ditanyakan berapa berat badan balita tersebut ketika lahir.
Pada Riskedas 2010, pendidikan orang tua, yaitu ayah dan ibu ditanyakan
kepada orang tua balita yaitu sampai saat Riskesdas dilakukan. Jawaban
Tabel 4.2
Kode Variabel Pendidikan dalam Riskesdas 2010
Kode Keterangan
1 Tidak pernah sekolah, termasuk di dalamnya adalah yang belum
sekolah karena belum mencapai usia sekolah.
2 Tidak tamat SD, termasuk tidak tamat Madrasah Ibtidaiyah (MI).
3 Tamat SD, termasuk tamat Madrasah Ibtidaiyah/ Paket A dan
tidak tamat SLTP/ MTs.
4 Tamat SLTP, termasuk tamat Madrasah Tsanawiyah (MTs)/ Paket
B dan tidak tamat SLTA/ MA.
5 Tamat SLTA, termasuk tamat Madrasah Aliyah (MA)/ Paket C.
6 Tamat D1, D2, D3
59
Pada Riskesdas 2010, variabel pekerjaan ditanyakan kepada ibu dan ayah
Tabel 4.3
Kode Variabel Pekerjaan dalam Riskesdas 2010
Kode Keterangan
1 Tidak bekerja, termasuk sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan
suatu usaha, atau sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
2 Sekolah, yaitu kegiatan bersekolah di sekolah formal baik pada
pendidikan dasar, pendidikan menengah atau pendidikan tinggi yang
di bawah pengawasan Depdiknas, Departemen lain maupun swasta.
3 TNI/Polri, bekerja di pemerintahan sebagai angkatan darat, angkatan laut,
angkatan udara dan kepolisian.
4 Pegawai Negeri Sipil (PNS), bekerja di pemerintahan sebagai
pegawai negeri sipil.
Pegawai swasta yaitu pekerja yang bekerja pada perusahaan swasta.
5 Wiraswasta/pedagang, yaitu orang yang melakukan usaha dengan
modal sendiri atau berdagang baik sebagai pedagang besar atau eceran.
Pelayanan jasa, orang yang bekerja secara mandiri dan mendapatkan imbalan
atas pekerjaannya. Misalnya jasa transportasi seperti sopir taksi, ojek.
6 Petani, yaitu pemilik atau pengolah lahan pertanian, perkebunan
yang diolah sendiri atau dibantu oleh buruh tani.
7 Nelayan, orang yang melakukan penangkapan dan atau pengumpulan
hasil laut (misalnya ikan).
8 Buruh, yaitu pekerja yang mendapat upah dalam mengolah
pekerjaan orang lain (buruh tani, buruh bangunan, buruh angkat
angkut, buruh pekerja).
9 Lainnya, apabila tidak termasuk dalam kode 1 s.d 8
Sumber: Depkes, 2010
60
berdasarkan pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pengeluaran pangan dan
non pangan dalam rumah tangga digolongkan menjadi beberapa tingkatan berupa
tangga (RT) tersebut, baik yang berada di rumah tangga pada waktu pencacahan
maupun sementara tidak ada (termasuk kepala rumah tangga). ART yang telah
bepergian 6 bulan atau lebih, dan ART yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi
dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah tangga 6 bulan atau lebih tidak
termasuk sebagai ART. Orang yang telah tinggal di rumah tangga 6 bulan atau
lebih atau yang telah tinggal di rumah tangga kurang dari 6 bulan tetapi berniat
tinggal di rumah tangga tersebut 6 bulan atau lebih termasuk sebagai ART.
Pembantu rumah tangga, sopir, tukang kebun yang tinggal dan makan di rumah
menjadi dua yaitu keluarga besar (> 4 orang) dan keluarga kecil (< 4 orang)
data yang sudah dimasukkan apakah ada kesalahan atau tidak (Najmah,
2011).
yang missing. Ternyata setelah dilakukan proses cleaning data, banyak data
yang diperlukan untuk penelitian ini yang missing. Dari 579 data yang
tersedia, 241 diantaranya missing. Sehingga data yang tidak lengkap atau
Pada penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis univariat.
wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga. Kemudian data tersebut
diolah secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel
Selanjutnya hasil analisis univariat akan dijelaskan pada sub-bab berikut ini:
kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara
Grafik 5.1
Gambaran Ke jadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
63
64
Dengan kata lain, di Provinsi NTB balita usia 24-59 bulan yang
5.1.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24 -59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat
energi pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Grafik 5.2
Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
energi rendah atau dibawah AKG di Provinsi NTB adalah sebesar 58.22%.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa di Provinsi NTB masih banyak balita
Tabel 5.1
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Asupan Energi
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Status stunting
Asupan
Stunting Normal Total
energi
N % N % N %
5.1.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat
protein pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Grafik 5.3
Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Hal ini dapat disimpulkan bahwa asupan protein pada balita di Provinsi
NTB sudah cukup baik karena jumlah balita yang memiliki asupan
Tabel 5.2
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Asupan Protein
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Status stunting
Asupan
Stunting Normal Total
Protein
N % N % N %
5.1.4 Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
Grafik 5.4
Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
laki- laki adalah 48.40%. Maka dapat disimpulkan bahwa jumlah balita
Tabel 5.3
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Jenis Kelamin
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Balita N % N % N %
5.1.5 Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
Berdasarkan penilitian yang dilakukan sebaran balita usia 24-59
Grafik 5.5
Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
balita yang lahir dalam keadaan BBLR, yaitu sebesar 8.62%. Hal ini
lebih dari 90% balita disana lahir dengan berat badan yang normal atau
Tabel 5.4
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Berat Lahir
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Status stunting
Berat Lahir
Stunting Normal Total
Balita
N % N % N %
keluarga balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
Grafik 5.6
Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
yang memiliki jumlah anggota keluarga besar (> 4 orang dalam satu
besar yang memiliki lebih dari samadengan 4 orang dalam satu keluarga.
Tabel 5.5
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Keluarga N % N % N %
5.1.7 Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
72
Grafik 5.7
Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
sebesar 66.86%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ibu dari
Tabel 5.6
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Pendidikan Ibu
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Status stunting
Pendidikan
Stunting Normal Total
Ibu
N % N % N %
dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
Grafik 5.8
Gambaran Pendidikan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
sebesar 71.51%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ayah
Tabel 5.7
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Pendidikan Ayah
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Status stunting
Pendidikan
Stunting Normal Total
Ayah
N % N % N %
5.1.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
Grafik 5.9
Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang tidak bekerja sebanyak
66.8%. Maka dapat disimpulkan bahwa jumlah ibu balita usia 24-59
bulan di Provinsi NTB yang tidak bekerja lebih banyak dari pada yang
Tabel 5.8
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Pekerjaan Ibu
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Status stunting
Pekerjaan
Stunting Normal Total
Ibu
N % N % N %
Bekerja
5.1.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
Grafik 5.10
Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
77
balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang bekerja sebesar 97.03%.
Maka dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh ayah dari balita usia 24-
bulan di Provinsi NTB yang memiliki ayah tidak bekerja dan mengalami
Tabel 5.9
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Pekerjaan Ayah
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Kejadian stunting
Pekerjaan
Stunting Normal Total
Ayah
N % N % N %
tinggal dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai
berikut:
78
Grafik 5.11
Gambaran Wilayah Te mpat Tinggal Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
berikut:
79
Tabel 5.10
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Wilayah Te mpat Tinggal
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Tinggal N % N % N %
dari keluarga balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai
berikut:
Grafik 5.12
Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
80
Tabel 5.11
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Status Ekonomi Keluarga
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Keluarga N % N % N %
penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas 2010, dimana penelitian tersebut
tidak di disain secara langsung untuk meneliti masalah gizi namun di disain secara
dalam penelitian ini terbatas hanya pada data sekunder tersebut. Hal ini berarti data
tersebut tidak dirancang untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Sebagai akibatnya,
beberapa variabel yang diperlukan dan diduga berhubungan dengan Kejadian Stunting
pada balita tidak bisa diteliti seperti seperti pengetahuan gizi ibu, ketersediaaan bahan
Data Riskesdas yang digunakan untuk melakukan penelitian ini kurang begitu
baik dalam segi kelengkapan data, karena cukup banyak data yang missing. Dari total
579 data yang tersedia hanya 338 data yang valid untuk dijadikan sampel dalam
penelitian ini.
Data konsumsi makanan yaitu asupan energi balita hanya berdasarkan hasil
24 jam dengan tujuan untuk menangkap variasi dalam jenis dan jumlah konsumsi
tangga sehari yang dinyatakan dalam kuintil 1 sampai 5. Angka dalam rupiah untuk
81
82
kuintil-kuintil tersebut tidak bisa didapatkan oleh penulis karena data tersebut tidak ada
Stunting merupakan keadaan tubuh pendek dan sangat pendek hingga melampaui
defisit -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan (Manary & Solomons, 2009).
Stunting dan serve stunting (selanjutnya hanya disebut sebagai stunting) pada balita
merupakan salah satu masalah besar yang mengancam pengembangan sumber daya
manusia. Pada tahun 1995, diperkirakan angka stunting pada balita telah mencapai lebih
dari 208 juta dan 206 juta diantaranya berada di negara berkembang. Lebih dari dua per
tiga (72%) balita stunting berada di Asia. Pada saat ini, angka global stunting pada balita
Kejadian stunting pada balita diukur dengan menggunakan klasifikasi status gizi
berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur WHO 2005. Stunting mencerminkan
suatu proses kegagalan dalam mencapai pertumbuhan linier yang pontensial sebagai
Pertumbuhan linier atau tinggi badan dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor
lingkungan, dan kondisi medis. Perkembangan dari stunting merupakan proses bertahap
yang bersifat kronis, termasuk gizi buruk dan penyakit infeksi, selama periode
pertumbuhan linier. Hal ini sering dimulai pada saat janin masih berada dalam
kandungan dan meluas melalui dua tahun pertama. Stunting pada masa kanak-kanak
sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. Tanpa perubahan lingkungan, stunting dapat
83
mengalami stunting pada awal kehidupan seringkali lebih pendek pada masa kanak-
kanak dan dewasa dibanding rekannya yang punya pertumbuhan awal yang memadai
(Darity, 2008).
gizi buruk dari tahun 1989 sampai tahun 1995 meningkat tajam yaitu 6.3% pada tahun
1989 menjadi 11.6% pada tahun 1995, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun
2003. Berdasarkan survey gizi dan kesehatan HKI tahun 1999-2001 prevalensi balita
stunting dari tahun 1999-2002 di wilayah pedesaan di delapan provinsi masih berkisar
antara 30-40% begitu juga dengan prevalensi balita stunting di wilayah kumuh
perkotaan di empat kota menunjukan prevalensi balita stunting tergolong tinggi berkisar
antara 27-40%.
prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan pada tahun 1999-2002 yaitu
mencapai 48.2%. Pada tahun 2000 dan 2001 untuk wilayah perkotaan, Makasar
merupakan kota dengan prevalensi stunting tertinggi, masing masing mencapai 43,1%
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga merupakan salah satu Provinsi yang
peningkatan angka stunting pada balita sebesar 4.06% dari tahun 2007 ke tahun 2010.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebanyak 56.36% balita usia 24-59 bulan di
Menurut Kemenkes RI (2010) bila dibandingkan dengan batas non public health
problem menurut WHO, angka ini masih diatas ambang batas (cut off) yang disepakati
secara universal. Apabila masalah stunting diatas 20% maka merupakan masalah
kesehatan masyarakat.
Dari hasil analisis univariat yang dilakukan diketahui bahwa balita dengan
asupan energi rendah sebanyak 196 anak (58.22%). Sedangkan balita dengan asupan
energi cukup sebanyak 142 anak (41.77%). Dengan kata lain, ada lebih dari 50% balita
usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang mengkonsumsi energi kurang dari AKG.
Penelitian yang dilakukan Fitri (2012) mengenai stunting di Sumatera juga menunjukkan
pertumbuhan. Tanpa asupan makanan dan nutrisi yang cukup, suatu organisme tidak
bisa tumbuh dan berkembang secara normal (Robert, 1999 dalam Lupiana, 2010).
kedalam tubuh seseorang, jika asupan gizi yang masuk dalam komposisi yang baik maka
gizi seseorang juga akan baik. Namun jika yang terjadi adalah yang sebaliknya maka
tubuh akan kekurangan zat gizi atau biasa disebut malnutrition. Masalah tersebut
disebabkan oleh kekurangan atau ketidakseimbanga n antara energi dan protein yang
Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan umur tidaklah sama,
sehingga asupan yang diperlukan balita usia dua dan empat tahun akan berbeda.
Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, aktivitas fisik,
dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) energi untuk
balita usia 24-47 bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan AKG balita usia 48-59 bulan
adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun batasan minimal asupan energi per
faktor risiko yang paling besar dalam menentukan perkembangan anak (Wachs, 2008).
Kekurangan gizi akibat dari berbagai faktor, sering terkait buruknya kualitas makanan,
asupan makanan tidak cukup dan penyakit infeksi (El Sayed et al, 2001).
Meskipun jumlah balita dengan asupan energi kurang jumlahnya lebih banyak
dibandingkan balita dengan jumlah balita dengan asupan energi cukup, ternyata jumlah
balita yang menjadi stunting lebih banyak ditemukan pada balita yang awalnya
mengkonsumsi energi cukup. Ada sebanyak 57.85% balita yang mengkonsumsi energi
cukup namun pada akhirnya menjadi stunting. Hal ini dapat disebabkan karena stunting
merupakan akibat dari kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama atau kronis.
Meskipun secara umum anak balita dengan asupan energi kurang di Provinsi NTB tahun
2010 lebih tinggi, belum tentu seluruh balita tersebut mengalami stunting. Karena ada
tersebut sebenarnya sudah mengkonsumsi energi yang cukup atau sesuai dengan AKG.
86
Oleh sebab itu meskipun pada saat pengambilan data Riskesdas ini dilakukan tercatat
bahwa balita tersebut mengkonsumsi energi dalam jumlah kurang, tetapi balita tersebut
tidak mengalami stunting. Begitu pula sebaliknya, balita yang tercatat mengkonsumsi
jumlah energi sesuai AKG pada saat pengambilan data Riskesdas ini belum tentu pada
masa sebelumnya selalu mengkonsumsi energi sesuai AKG. Oleh sebab itu meskipun
pada data Riskesdas tercatat bahwa balita tersebut telah mengkonsumsi energi sesuai
dengan AKG tidak menutup kemungkinan bahwa balita tersebut dapat mengalami
stunting.
Berayan Mangan, yaitu tradisi makan bersama yang telah dilakukan sejak dahulu kala.
Biasanya tradisi Berayan Mangan ini dilakukan oleh anak-anak pada saat makan siang
dan anak-anak tersebut ditemani oleh ibu mereka. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan
Berayan Mangan ini dilakukan secara spontan. Seorang anak akan membawa
sepiring nasi yang sudah dilengkapi dengan lauk pauk. Kemudian bersama teman dan
saudara serta kerabat lainnya berkumpul di salah satu rumah tetangga. Terkadang lauk
Tradisi ini merupakan salah satu kebiasaan yang cukup baik guna untuk
mengurangi tingkat gizi buruk pada anak. Jika tradisi ini terus dikembangkan dan
mungkin gizi buruk di NTB dapat ditanggulangi. Penyuluhan informasi gizi ditujukan
agar ibu dapat menyajikan makanan yang bergizi untuk anak-anaknya. Sehingga pada
87
saat kegiatan Berayan Mangan ini dilakukan, lauk-pauk yang dibawa anak-anak tersebut
adalah lauk-pauk yang sehat dan bergizi, meskipun bukan lauk-pauk yang mahal dan
mewah. Dengan demikian selain meningkatnya nafsu makan anak, anak pun diharapkan
Karena stunting merupakan akibat dari kekurangan gizi kronis, jika tradisi
Berayan Mangan ini dilakukan terus menerus maka diharapkan prevalensi kejadian
stunting pada balita yang cukup asupan protein lebih tinggi dibandingkan dengan yang
mengkonsumsi kurang protein. Yaitu sebesar 51.70% balita memiliki asupan protein
cukup dan sebesar 48.29% lainnya memiliki konsumsi asupan protein kurang dari AKG.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa konsumsi protein pada balita di Provinsi NTB tahun
yang cukup bila dibandingkan dengan anak-anak stunting yang berada di pedesaan.
Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki fungsi esensial
lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal (Pipes, 1985). Sebagai sumber energi,
protein menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama dengan karbohidrat.
88
memelihara dan memulihkan jaringan di tubuh seperti otot dan organ. Saat anak tumbuh
dan berkembang, protein adalah zat gizi yang sangat diperlukan untuk memberikan
pertumbuhan yang optimal. Asupan protein harus terdiri sekitar 10% sampai 20% dari
komposisi tubuh terdiri atas protein dan separuhnya tersebar di otot, seperlima di tulang
dan tulang rawan, sepersepuluh di kulit dan sisanya terdapat di jaringa lain dan cairan
tubuh. Protein berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim, hormone, asam
nukleat dan molekul- molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein juga berperan sebagai
gizi, serta pembentuk ikatan- ikatan esensial tubuh, misalnya hormone. Oleh karena itu,
protein memiliki fungsi yang khas dan tidak dapat digantikan oleh zat lain (Almatsier,
2001).
Peningkatan asupan protein diperlukan bayi dan anak-anak stunting yang perlu
tumbuh dalam rangka mengejar ketinggalan. Kekurangan gizi selama tahun pertama
kehidupan, baik hasil dari lingkungan maupun karena kondisi seperti malabsorpsi atau
proporsional lebih besar dari pengingkatan energi dan tergantung pada usia dan
Tetapi meskipun jumlah balita yang mengkonsumsi protein sesuai dengan AKG
lebih banyak dibandingkan dengan jumlah balita dengan konsumsi protein rendah, tidak
89
menutup kemungkinan balita tersebut terbebas dari stunting. Karena berdasarkan hasil
perhitungan statistik didapatkan hanya 83 dari 175 balita dengan konsumsi protein
Sama halnya dengan asupan energi, banyaknya kejadian stunting yang justru
ditemukan pada anak-anak yang memiliki asupan protein cukup dikarenakan adanya
faktor waktu yang mempegaruhi sampai akhirnya seorang anak dapat menjadi stunting.
Protein berfungsi sebagai pengangkut zat-zat gizi. Jika seorang anak dengan asupan
energy cukup namun asupan proteinnya sangat kurang, maka zat-zat gizi yang lain pun
tidak dapat diangkut keseluruh tubuh. Sehingga menyebabkan kekurangan gizi dan bila
kejadian ini terus menerus terjadi maka terjadilah stunting. Oleh karena itu baik asupan
energy maupun protein, keduanya sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak.
Dari hasil analisis yang dilakukan, jumlah balita perempuan di Provinsi NTB
Tahun 2010 sebagian besar berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 174 balita
(51.59%). Sedangkan sebanyak 164 balita (48.40%) berjenis kelamin laki- laki. Dari 174
balita perempuan yang ada, terdapat 98 orang balita (56.63% ) mengalami stunting.
Meskipun demikian kejadian stunting pada laki- laki di Provinsi NTB juga terbilang
cukup tinggi, yaitu sebanyak 56.08% dari 164 balita yang ada mengalami stunting.
terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis kelamin (Apriadji, 1986). Perbedaan
90
besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena adanya perbedaan komposisi tubuh
Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki- laki dan
mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki- laki dan anak laki- laki dalam
perempuan merupakan anggota keluarga yang rentan terhadap pembagian pangan yang
stunting pada balita usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur lebih banyak
dialami oleh balita perempuan (64.5%) daripada balita laki- laki (35.5%). Hasil
penelitian lain juga menunjukkan bahwa presentase gizi kurang pada balita perempuan
lebih tinggi (17,9%) dibandingkan dengan balita laki- laki (13.8%) (Suraedi, 2004).
menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada anak (0-59 bulan) laki- laki lebih tinggi
(40%) dibandingkan dengan anak perempuan (36%) (Wamani H et al., 2007). Sejalan
dengan penelitian tersebut penelitian yang dilakukan di wilayah Maluku Utara pada anak
usia 0-59 bulan juga menunjukkan anak laki- laki memiliko risiko lebih tinggi (OR=16)
untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak perempuan (Ramli et al., 2009).
stunting pada balita laki- laki lebih tinggi (36%) daripada anak perempuan (30%). Rosha
91
et al (2012) menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki efek protektif atau risiko
lebih rendah 29% terhadap stunting dibandingkan dengan anak laki- laki.
Perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih sedikit
daripada laki- laki. Secara metabolik, otot lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak,
sehingga secara proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi daripada lemak.
Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan umur
yang sama memiliki komposisis tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan energi dan
Pada tahun pertama kehidupan, laki- laki lebih rentan mengalami malnutrisi
daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena ukuran tubuh laki- laki yang besar
dimana membutuhkan asupan energi lebih besar pula sehingga bila asupan makanan
tidak terpenuhi dan kondisi tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat
kedua kehidupan perempuan lebih berisiko menjadi stunting. Hal ini terkait dengan pola
asuh orang tua dalam memberikan makan pada anak dimana dalam kondisi lingkungan
dan gizi yang baik, pola pertumbuhan anak laki- laki lebih baik daripada perempuan. Di
Filipina, laki- laki lebih dulu dikenalkan makanan pendamping dimana makanan yang
diberikan kaya akan protein yang penting dalam proses pertumbuhan. Sedangkan
Baik laki- laki maupun perempuan memiliki probabilitas untuk menjadi stunting.
Namun dengan pola asuh yang baik sebenarnya stunting dapat dicegah. Di Provinsi NTB
ini meskipun jumlah balita perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah balita laki- laki,
92
proporsi balita yang mengalami stunting hampir sama, yaitu lebih dari 56%. Hal ini
mungkin dapat disebabkan karena pola asuh orang tua balita di Provinsi NTB kurang
proporsi antara balita BBLR dengan balita normal, yaitu sebanyak 8.62% balita
mengalami BBLR dan 91.37% sisanya lahir dengan berat badan normal. Namun
demikian, lebih dari 56% balita yang tadinya lahir dengan berat badan normal pada
kesehatan jangka panjang dan pengembangan psikososial dan juga mencerminkan secara
pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu selama kehamilannya (Awwal et al, 2004).
Berat bayi pada saat dilahirkan juga menjadi indikator potensial untuk pertumbuhan bayi,
respon terhadap rangsangan lingkungan, dan untuk bayi bertahan hidup (Schanler, 2003).
Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan normal. Disebut berat
lahir rendah (BBLR) jika berat lahirnya <2500 gram (Kementrian Kesehatan, 2010).
Bayi dengan BBLR memiliki risiko 10 kali untuk mengalami kematian neonatal
dibandingkan dengan bayi lahir dengan berat badan 3000 sampai 3500 gram (Schanler,
2003).
93
Penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012) menunjukkan balita dengan BBLR
memiliki risiko menjadi stunting sebesar 1.7 kali dibandingkan dengan balita yang
memiliki berat lahir normal. Penelitian yang dilakukan di Zimbabwe oleh Mbuya et al.
(2010) juga menunjukkan bahwa bayi dengan berat lahir <2500 gram mengalami
Stunting merupakan keadaan kurang gizi kronis dimana diperlukan waktu yang
lama untuk menjadi stunting. BBLR memang menjadi faktor penting dalam kejadian
stunting. Namun besar pula kemungkinan balita yang lahir dengan berat badan normal
untuk menjadi stunting. Karena selain faktor berat lahir, stunting juga dipengaruhi oleh
faktor asupan makanan. Balita yang lahir tanpa BBLR jika pada proses pertumbuhannya
kurang asupan energi dan protein maka hal ini dapat pula menyebabkan seorang balita
6.7 Gambaran Jumlah Anggota Rumah Tangga dengan Kejadian Stunting pada
Balita
ditemukan pada balita dengan jumlah anggota keluarga besar (> 4 orang). Sebanyak
72.06% balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB berasal dari keluarga dengan jumlah
anggota keluraga lebih dari 4 orang. Namun demikian, hanya 53.24% balita dengan
jumlah anggota keluarga banyak yang mengalami stunting. Sedangkan sebanyak 64.4%
balita yang berasal dari keluarga yang jumlah anggota keluarganya sedikit mengalami
stunting. Dapat dikatakan bahwa jumlah balita yang memiliki jumlah saudara yang
Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada
pola pertumbuhan anak dan balita dalam satu keluarga. Jumlah anggota keluarga yang
pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia
untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya
setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah
Menurut Hong (2007) prevalensi anak-anak stunting sama dari urutan kelahiran
pertama sampai ketiga, tetapi secara signifikan lebih tinggi pada anak keempat. Hal ini
karena urutan kelahiran berkolerasi dengan usia anak, dan kompetisi untuk makanan
cenderung lebih besar di rumah tangga dengan anak yang lebih banyak.
64.5% balita dari keluarga dengan jumlah anggota keluarga kecil/sedikit mengalami
stunting.
Balita yang memiliki jumlah saudara yang lebih sedikit belum tentu terbebas dari
stunting. Karena bisa jadi faktor pembagian makanan yang kurang adil dapat juga
asupan gizinya pun kurang. Pola asuh keluarga yang salah seperti membiasakan anak
yang lebih tua mendapatkan jumlah makanan atau asupan gizi yang lebih banyak
dibandingkan anak yang lebih muda (balita) dapat juga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi tingginya jumlah kejadian stunting pada balita yang justru berasal dari
keluarga kecil.
95
berpendidikan rendah. Hanya sebanyak 113 ibu (31.13%) yang berpendidikan tinggi.
Dan dari 66.68% ibu yang berpendidikan rendah tersebut 60.64% diantaranya meimiliki
balita stunting.
sasaran pendidikan guna perubahan tingkah laku. Hasil pendidikan orang dewasa adalah
makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin banyak pengalaman atau informasi yang
Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat terhadap
kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba et al., 2008). Pada
anak yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0.5
cm lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan
rendah. Berdasarkan penelitian Norliani et al. (2005) tingkat pendidikan ayah dain ibu
memiliki risiko 2.1 dan 3.4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia
sekolah.
terhadap perawatan kesehatan, proses kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran
terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Tingkat pendidikan turut pula
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang
mereka peroleh. Pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya
96
masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo,
2003).
Ibu dengan pendidikan rendah (no education dan primary school) memiliki anak yang
stunting.
makanan yang bernilai gizi baik dan tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam
Tingkat pendidikan dan intelegensi ibu yang tinggi dapat bertindak sebagai
faktor protektif yang mengurangi keadaan gizi kurang dalam awal usia anak-anak
menimbulkan efek yang lebih buruk terhadap perkembangan anak jika ibunya buta huruf
ibu berhubungan dengan pertumbuhan fisik dari anak. Salah satu jalur potensial
melibatkan hubungan antara pendidikan ibu meningkat dan masukan yang lebih besar
oleh ibu tentang keputusan alokasi sumber daya kelurga (Becker et al., 2006). Karena
ibu lebih cenderung untuk mengalokasikan sumber daya keluarga dalam cara-cara
ibu membuat kekuasaan, yang meningkatkan gizi anak, kesehatan dan akhirnya
Ibu yang berpendidikan rendah biasanya sulit menerima hal- hal baru, sehingga
pendidikan yang rendah sulit memahami pengetahuan gizi yang penting untuk
gizi, biasanya para ibu tersebut tetap tidak mengikuti saran yang diberikan oleh kader
Selain itu ibu dengan pendidikan rendah cenderung tidak memiliki wawasan
yang luas dan cenderung berpikir kolot. Hal ini disebabkan karena para ibu ini sulit
untuk beradaptasi dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi. Mereka cenderung lebih
percaya kepada cerita yang mereka dengar dari orang tua atau para tetua yang berada di
lingkungan tempat tinggal mereka, yang belum tentu baik untuk kesehatan balita mereka
Ibu yang memiliki pendidikan tinggi lebih sedikit dipengaruhi oleh praktek-
praktek tradisional yang merugikan kualitas dan kuantitas makanan untuk dikonsumsi
Sedangkan pada ibu dengan pendidikan tinggi, mereka jauh lebih terbuka
terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi yang ada. Hal ini menyebabkan para
ibu berpendidikan tinggi lebih mudah menerima informasi- informasi baru mengenai gizi
Dari analisis yang dilakukan, sebanyak 71.51% balita memiliki ayah pendidikan
rendah. Sedangkan 28.48% sisanya memiliki ayah berpendidikan tinggi. Jumlah balita
dengan ayah berpendidikan rendah dan mengalami stunting pun tinggi, yaitu sebanyak
58.7%.
kesehatan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar
pula akses terhadap informasi termasuk informasi kesehatan. Salah satu indikator pokok
Provinsi NTB sendiri, jumlah penduduk baik laki- laki ataupun perempuan yang
NTB yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010, sebanyak 15.08% penduduk
NTB pada tahun 2010 tidak pernah sekolah. Penduduk tidak tamat SD meningkat dari
23.69% pada tahun 2009 menjadi 26.93% pada tahun 2010. Penduduk lulus SD/MI
menurun dari 25.76% pada tahun 2009 menjadi 24.31% pada tahun 2010. Jumlah
penduduk yang lulus SLTP/MTs pun mengalami penurunan dari 15.60% pada tahun
2009 menjadi 14.49% pada tahun 2010. Begitu pula penduduk yang lulus SLTA/MA
dan Diploma. Penduduk lulus SLTA/MA menurun dari 15.27% pada tahun 2009
menjadi 14.95% pada tahun 2010. Hanya sebanyak 1.23% penduduk yang berhasil
melanjutkan sampai tingkat Diploma, itu pun mengalami penurunan dari tahun
99
sebelumnya yang mencapai 1.47%. Penduduk yang dapat mencapai tingkat Perguruan
Tinggi meningkat dari 2.73% pada tahun 2009 menjadi 3.04 pada tahun 2010.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk berpendidikan rendah (tidak
mencapai wajib belajar 9 tahun) pada tahun 2010 semakin meningkat dan jumlah
yang dapat melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi meningkat, namun jumlah penduduk
Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2011) menunjukkan bahwa 2.8% balita
dengan ayah berpendidikan rendah mengalami stunting. Penelitian ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan di Bangladesh dan Filipina yang menyatakan bahwa
pendidikan ayah lebih berpengaruh terhadap kejadian stunting daripada pendidikan ibu.
Peranan ayah sebagai pemimpin di rumah tangga akan mempunyai kewenangan lebih
besar dibandingkan ibu dalam pengambilan segala keputusan yang berkaitan dengan
keluarga termasuk dalam bidang kesehatan. Dalam hal ini peranan ibu dalam keluarga
lebih kepada mengaplikasikan keputusan yang telah dibuat oleh ayah (Allen LH &
tinggi sangat terkait dengan pola pengasuhan anak, penggunaan jamban tertutup,
Status pendidikan ayah dan ibu sama pentingnya dalam suatu keluarga. Jika ibu
berpendidikan rendah namun ayah berpendidikan tinggi, ayah dapat memberikan andil
100
terhadap status gizi keluarganya. Ayah yang berpendidikan tinggi dapat memberikan
masukan kepada istri mereka mengenai bahan makanan yang baik untuk pertumbuhan
dan perkembangan keluarga mereka. Dalam kasus ini dapat disimpulkan jumlah ayah
berpendidikan rendah lebih banyak dari pada jumlah ayah balita yang berpendidikan
tinggi. Jumlah balita stunting pun lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki
Tugas pokok seorang ayah adalah sebagai pencari nafkah dalam kerluarga.
Tingkat pendidikan ayah dapat juga mempengaruhi pekerjaan ayah, yang pada akhirnya
memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik. Sehingga pemasukan keluarga
untuk dialokasikan dalam pembelian bahan makanan pun lebih tinggi. Selain itu ayah
Misalnya seperti tidak menghabiskan uang untuk membeli rokok dan lebih memilih
menggunakan uang tersebut untuk membeli bahan makanan bergizi untuk keluarga.
Dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita
usia 24-59 bulan di Provinsi NTB tahun 2010 tidak bekerja, yaitu sebesar 66.80%.
Sedangkan ibu balita yang bekerja hanya sebesar 33.13% . Jumlah balita yang
mengalami stunting jauh lebih banyak ditemukan pada ibu yang bekerja, yaitu sebanyak
68 dari 113 anak (60.37%). Dengan kata lain, ibu yang tidak bekerja cenderung
Dalam keluarga peran ibu sangatlah penting yaitu sebagai pengasuh anak dan
pengatur konsumsi pangan anggota keluarga, juga berperan dalam usaha perbaikan gizi
Pengaruh ibu yang bekerja terhadap hubungan antara ibu dan anaknya sebagian
besar sangat bergantung pada usia anak dan waktu ibu kapan mulai bekerja. Ibu- ibu
yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak dan
Perhatian terhadap pemberian makan pada anak yang kurang dapat menyebabkan
anak menderita kurang gizi, selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang
anak dan perkembangan otak mereka. Beban kerja yang berat pada ibu yang melakukan
peran ganda dan beragam akan dapat mempengaruhi status kesehatan ibu dan status gizi
balitanya (Mulyati, 1990 dalam Hermansyah, 2010). Hal ini menyebabkan asupan gizi
pada balitanya menjadi buruk dan bisa berdampak pada status gizi balita tersebut
Sebagian besar ibu balita di Provinsi NTB merupakan ibu rumah tangga atau
tidak bekerja. Ibu rumah tangga memiliki waktu yang lebih banyak untuk menjaga anak-
anak mereka dirumah. Sedangkan pada ibu yang bekerja, ibu tidak memiliki waktu yang
cukup untuk mengurus anak. Sehingga ibu kurang dapat memperhatikan asupan gizi
yang baik untuk anak dan keluarga mereka. Ibu harus keluar rumah pagi hari dan pulang
ke rumah sudah dalam keadaan lelah sehabis bekerja, sehingga waktu untuk anak pun
berkurang. Ibu yang bekerja biasanya memiliki pola asuh yang buruk. Biasanya mereka
menyerahkan balita mereka kepada pembatu rumah tangga atau nenek balita untuk
102
menjaga balita tersebut selama ibu bekerja. Oleh karena itu jumlah balita stunting lebih
Hasil analisis menunjukkan hanya 2.96% ayah balita yang tidak bekerja. 97.03%
lainnya berkerja. Dapat disimpulkan sebagian besar ayah balita bekerja. Namun
meskipun hampir seluruh ayah balita bekerja, bukan berati balita mereka terbebas dari
stunting. Ternyata 56.54% balita dengan ayah bekerja tersebut justru mengalami
stunting.
Ayah memiliki peran yang sangat penting dalam keluarga. Sebagai kepala
keluarga, pekerjaan dan penghasilan ayah sangat mempengaruhi daya beli suatu
bekerja dalam kategori swasta mempunyai pola konsumsi makanan keluarga yang lebih
baik dibandingkan dengan ayah yang bekerja sebagai buruh. Hasil uji statistiknya pun
memiliki risiko lebih besar mempunyai balita kurang gizi dibandingkan dengan balita
lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Berdasarkan data BPS Provinsi NTB tahun 2010
yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010 diketahui bahwa sebanyak 47%
pendapatan dari pertanian masih terbilang cukup rendah. Oleh karena itu meskipun
sebagian besar ayah balita bekerja tetapi balita-balita tersebut tetap mengalami stunting.
6.12 Gambaran Wilayah Te mpat Tinggal dengan Kejadian Stunting pada Balita
41.77% lainnya tinggal di daerah perkotaan. Sebagian besar balita yang mengalami
pusat budaya, administrasi atau pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya (Daldjoeni,
2003 dalam Humyrah 2009 dan Ratih 2011). Menurut Komsiah (2007), wilayah
bidang pertanian.
Sebagai contoh, seorang petani yang tinggal di desa dan dekat dengan areal pertanian
akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan makanan segar dan alami, seperti buah dan
sayur. Namun, seseorang yang tinggal di daerah perkotaan akan lebih sedikit akses
untuk mendapatkan bahan makanan segar tersebut karena di daerah perkotaan lebih
banyak tersedia berbagai makanan cepat saji. Walaupun tidak menutup kemungkinan,
terdapar penduduk perkotaan yang mengkonsumsi buah dan sayur (Suhardjo, 2006).
104
Penelitian yang dilakukan di daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh
Rosha et al (2012) mengemukakan bahwa anak yang tinggal di wilayah kota memiliki
efek protektif atau risiko lebih rendah 32% terhadap stunting dibandingkan dengan anak
yang tinggal di pedesaan. Fenomena ini diduga karena wilayah kota adalah tempat
dimana terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih beragam sehingga orangtua lebih
mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dari pekerjaan di desa. Hal
ini memungkinkan kebutuhan gizi dan makanan anak sehingga terhindar dari stunting.
stunting diamati lebih tinggi diantara anak orang miskin di daerah pedesaan. Anak-anak
perkotaan secara signifikan lebih kecil kemungkinannya dari anak-anak pedesaan utuk
mengemukakan bahwa balita yang tingal di daerah pedesaan berisiko 2.3 kali untuk
Dalam penelitian ini sebagian besar balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB
pun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan status gizi balita di daerah pedesaan
Selain itu orang-orang di daerah pedesaan biasanya memiliki pola pikir yang
perkataan orang-orang dahulu atau tetua desa yang belum tentu benar faktanya
dibandingkan dengan informasi- informasi baru yang sudah teruji kebenarannya. Selain
105
sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan, informasi kesehatan pun menjadi sulit untuk
sampaikan kepada mereka, karena mereka cenderung membantah dan tetap menjalani
apa yang mereka percaya berdasarkan leluhur mereka. Hal ini akan mempengaruhi pola
asuh balita. Orang-orang di pedesaan sering memberikan makanan yang tidak sesuai
dengan usia balita. Seperti memberikan pisang kepada anak bayi yang usianya belum
cukup. Kebiasaan-kebiasaan ini dapat mempengaruhi masalah gizi balita yang pada
6.13 Gambaran Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Balita
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat terlihat bahwa 82.46% balita berasal
dari keluarga dengan status ekonomi rendah. Hanya sebesar 17.53% balita yang berasal
dari keluarga dengan status ekonomi tinggi. Sebanyak 167 dari 278 balita (60.19%)
Status ekonomi keluarga salah satunya dapat dilihat dari pendapatan suatu
keluarga. Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi
keluarga. Makin rendah pendapatan keluarga, makin besar peluang keluarga tersebut
mempunyai balita yang berstatus gizi kurang. Bayi dan anak-anak balita adalah
kelompok yang sangat sensitif terhadap kualitas konsumsi pangan keluarga (Tabor,dkk,
menghalangi perbaikan gizi yang efektif terutama untuk anak-anak mereka (Suhardjo,
kualitas makanan. Kekuarga dengan status ekonomi kurang baik (keluarga dengan
bergizi. Sulitnya kondisi ekonomi keluarga membuat balita yang berasal dari keluarga
yang kurang mampu tidak mendapatkan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan
tubuhnya. Hal ini disebabkan kurangnya daya beli keluarga akan bahan makanan yang
bervariasi. Oleh karena itu banyak balita yang berasal dari keluarga miskin yang
mengalami masalah kurang gizi seperti stunting. Keluarga dengan pendapatan yang
skarena dengan uang yang terbatas itu biasanya keluarga tersebut tidak dapat
miskin di suatu daerah. Berdasarkan data BPS Provinsi NTB untuk jumlah penduduk
miskin yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010, diketahui bahwa jumlah
penduduk miskin di Provinsi NTB pada tahun 2010 berjumlah lebih dari 900.000 jiwa
(971.800 jiwa).
balita dengan status ekonomi keluarga rendah berisiko untuk mengalami stunting
mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada anak-anak dari
keluarga dengan status ekonomi lebih baik. Dengan demikian, mereka pun
mengkonsumsi energi dan zat gizi dalam jumlah yang lebih lebih sedkit. Studi mengenai
ststus gizi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang kurang mampu memiliki
berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang
ekonominya baik. Dalam hasil studi, ditemukan bahwa perbedaan tinggi badan lebih
besar daripada perbedaan berat badan. Studi juga menunjukkan bahwa anak-anak yang
hidup di daerah yang mengalami kekurangan suplai makanan memiliki tinggi badan
yang lebih rendah daripada mereka yang tinggal di daerah yang memiliki suplai
Selain itu Hartoyo et al. (2000) mengatakan bahwa keluarga terutama ibu dengan
pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki akses
terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi seperti posyandu, Bina
Status ekonomi rendah yang terjadi di Provinsi NTB dapat disebabkan karena
sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani yang berpenghasilan rendah. Karena
penghasilan yang rendah itu maka daya beli keluarga pun kurang. Sebagai akibatnya ibu
tidak bisa memberikan gizi yang cukup untuk balita mereka. Jika hal ini terjadi secara
terus- menerus dalam waktu yang lama maka balita mereka berisiko mengalami stunting.
BAB VII
PENUTUP
7.1 Simpulan
stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
3. Asupan protein pada balita di Provinsi NTB sudah cukup baik. Balita
kelamin perempuan.
5. Sebagian besar balita lahir degan berat lahir normal. Hanya sebagian
kecil yang lahir dengan BBLR. Meskipun hampir seluruh balita lahir
dengan berat badan normal, lebih dari setengah populasi balita yang
108
109
9. Sebagian besar ibu balita merupakan ibu rumah tangga (tidak bekerja),
10. Hampir seluruh ayah balita di Provinsi NTB bekerja, hanya sebagian
balita bekerja, lebih dari setengah populasi anak yang memiliki ayah
12. Hampir seluruh balita berusia 24-59 bulan di Provinsi NTB berasal
7.2 Saran
1x24 jam dengan tujuan untuk menangkap variasi dalam jenis dan jumlah
konsumsi makanan.
pola asuh anak yang baik kepada para orang tua, terutama ibu agar
meningkat.
terjadinya gizi buruk atau gizi kurang dapat diatasi segera. Kegiatan
Agar meneliti variabel- variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini
ACC/SCN & International Food Policy Research Institude (IFPRI). 2000. 4th Report on
the World Nutrition Situation, Nutrition Throughout the Life Cycle.
Adair, et al. 1997. Age Specific Determinants of Stunting in Filipino Children. The
Journal of Nutrition. P. 172
Allen, L.H & Gillespie, S.R. 2001. What Works? A Review of The Efficacy and
Effectiveness of Nutrition Intervensions. Manila. ABD.
Ariawan, Irwan. 1998. Besar dan Metode Sample pada Penelitian Kesehatan. Depok:
Universitas Indonesia.
Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Atmarita. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah disajikan
pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004.
112
113
Becker, S., et al. 2006. Husbands and Wives Reports of Womens Decision Making
Power in Western Guatemala and Their Effects on Preventive Health Behaviours.
Social Science and Medicine. 62: P. 2313-2326.
Bhutta, Z.A et al. 2008. Maternal and Child Undernutrition: What works? Interventions
for Maternal and Child Undernutrition and Survival. 371. www.thelancet.com
Black et al. 2008. Maternal And Child Undernutrition: Global And Regional Exposures
And Health Consequences. The Lancet Series. www.thelancet.com
Boggin, Barry. 1999. Patterns of Human Growth (2nd ed). Cambridge: Cambride
University Press.
Candra, Aryu et al. 2011. Risk Factors of Stunting among 1-2 Years Old Children in
Semarang City. Semarang: Media Medika Indonesiana.
114
Caufield, et al. 2006. Disease Control Priorities in Developing Countries 2nd Edition
(Stunting. Wasting and Micronutrient Deficiency Disorder Chapter 28). Jamison
et al. (Ed). World Bank, Washington DC.
Darity, W.A. 2008. Stunted Growth. International Encylopedia of The Social Sciences,
2nd Edition. USA: Detroit Macmillan References.
Djaeni, Ahmad. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat.
El Sayed, et al. 2001. Malnutrition Among Pre School Children in Alexandria, Egypt.
Journal Health Popular Nutrition. Center for Health and Population Research. 4:
275-280.
Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada Balita (12-
59 Bulan) Di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 20120). Depok: Tesis, FKM-UI.
Gibney JM, et.al. 2008. Public Helath Nutrition. (Andri Hartono; Penerjemah). Jakarta:
EGC.
Gigante et al. 2009. Epidemiology Of Early And Late Growth In Height, Leg And Trunk
Length: Findings From A Birth Cohort Of Brazilian Males. European Journal of
Clinical Nutrition : 375-381.
Gershwin M, et al. 2004. Handbook of Nutrition and Immunity. New Jersey: Humana
Press. P.71-85
Hatril. 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Asupan Energi dan Protein Pada
Balita dari Keluarga Miskin di Kabupaten Karawang Propinsi Jawa Barat
Tahun 1999 (Analisis Data Sekunder). Skripsi UI. Depok
Hermansyah. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan asupan zat gizi (energi dan
protein) Balita di wilayah kera puskesmas kelurahan kelapa dua Jakarta barat
tahun 2010. Jakarta: Skripsi FKIK UIN.
116
Hunt, J.M. 2001. Investing in children: Child protection and economic growth. Social
protection in Asia and the Pasific, Asian Development Bank. 20 Mei 2012.
www.adb.org/documents/books/social_protection/chapter_16.pdf
Ichwanuddin. 2002. Analisis stratifikasi pemodelan risiko BBLR terhadap kejadian KEP
pada anak usia 3-12 bulan di Kecamatan Tanjung Sari Kabupaten Sumedang
Propinsi Jawa Barat 2007. Depok: Tesis. FKM-UI.
Jahari, B.A. 2004. Penilaian Status Gizi Berdasarkan Antropometri. Puslitbang Gizi dan
Makanan. Depkes RI.
Kanjilal et al. 2010. Nutrition Status of Children in India: Household Socio Economic
Condition as The Contextual Determinant. International Journal for Equality in
Health. Biomed Central Ltd. 9:19
Khumaidi. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor.
Lupiana, Mindo. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kurang Energi dan
Protein pada Bayi di Provinsi Lampung Tahun 2007 (Analisis Data Riskesdas
2007). Depok: Tesis FKM-UI.
Manary, M.J. & Solomons, N.W. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat, Gizi dan
Perkembangan Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan Public
Health Nutrition, Editor. Gibney, M.J, Margaretts, B.M., Kearney, J.M. & Arab,
L Blackwell Publishing Ltd, Oxford.
Mbuya, Mduduzi N.N, et al. 2010. Biological, Social, and Environmental Determinants
of Low Birth Weight and Stunting among Infants and Young Children in
Zimbabwe. Zimbabwe: Zimbabwe Working Papers.
Nasikhah, Roudhotun. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-36
Bulan di Kecamatan Semarang Timur. Semarang: Artikel Penelitian FK
Universitas Diponegoro.
Norliani, et al. 2005. Tingkat Sosial Ekonomi, Tinggi Badan Orang Tua dan Panjang
Badan Lahir dengan Tingi Badan Anak Baru Masuk Sekolah. BKM. XXI: 04:
133-139
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nuraeni. 2008. Hubungan antara asupan energi, protein dan faktor lain dengan status
gizi baduta ( 0-23 Bulan ) di wilayah kerja puskesmas Depok Jaya tahun 2008.
Depok: Skripsi. FKM UI.
Poskitt, E. 2003. Nutrition in Childhood dalam Nutrition in Early Life Editor: Morgan
J.B & Dickerson, J W. T. John Wiley & Son Ltd. England.
Rahayu, Leni Sri. 2011. Hubungan Pendidikan Orang Tua dengan Perubahan Status
Stunting dari usia 6-12 Bulan ke Usia 3-4 Tahun. Jakarta: Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Ramli et al. 2009. Prevalence and Risk Factors for Stunting and Severe Stunting Among
Under-fives in North Maluku Province of Indonesia. Biomed Central (BMC)
Pediatrics. P. 9:64
Rosha, Bunga Ch., et al. 2012. Analisis Determinan Stunting Anak 0-23 Bulan Pada
Daerah Miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur 2012. Panel Gizi Makan 2912,
35(1): 34-41.
119
Schanler, R.J. 2003. The Low Birth Weight Infant. Nutrition in Pediatrics Basic Schience
and Clinical Applications. Walker, W.A., Watkins, J. B & Duggan, C. (Ed).
London: BC Decker Inc.
Semba, Richard D. and Martin W. Bloem. 2001. Nutrition and health in developing
countries. New Jersey: Humana Press.
Semba, et al. 2008. Effect Parental Formal Education on Risk of Child Stunting in
Indonesia and Bangladesh: A Cross Sectional Study. 371: P. 322-328.
www.thelancet.com
Sharlin, J & Edelstein, S. 2011. Essentials of Life Cycle Nutrition. LLC: Jones and
Bartlett Publisher.
Soehardjo. 1989. Sosio budaya gizi. Bogor: IPB PAU Pangan dan Gizi.
Suyadi, Edwin Saputra. 2009. Kejadian KEP Balita dan Faktor yang Berhubungan Di
Wilayah Kelurahan Pancoran Mas Depok Tahun 2009. Depok: Skripsi, FKM-UI
The Lancet. 2008. The Lancets Series Maternal and Child Undernutrition, Executive
Summary. www.thelancet.com
Theron et al. 2006. Inadequate Dietary Intake Is Not the Cause of Stunting Amongst
Young Children Living in An Informal Settlement in Gauteng and Rural Limpopo
Province in South Africa: The Nutrigro Study. Public Health Nutrition.
Unicef Framework
http://motherchildnutrition.org/malnutrition/about-malnutrition/underlying-causes-
of-malnutrition.html
UNSCN. 2008. 6th Report on the World Nutrition Situation. Geneva: SCN.
Wachs, T.D. 2008. Mechanism Linking Parental Education and Stunting. The Lancet
371: 280.
Wamani H, at al. 2007. Boys Are More Stunded Than Girls in Sub-Saharan Africa: meta
analysis of 16 demographic and Health Surveys. BMC pediatrics. p:7-17.
Website Resmi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat: Bukan Karena Tak Makan
http://www.ntbprov.go.id/baca.php?berita=101
WNPG. 2004. Angka Kecukupan Gizi dan Angka Label Gizi. Jakarta: Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi.
121
WHO. 1997. WHO Global Databese on Child Growth and Malnutrition. Geneva.
WHO/UNICEF. 2003. Feeding and Nutrition of Infants and Young Children. WHO
Regional Publications, European Series, No. 87, P. 17.
Notes:
1. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
pweight: weind
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: b1r1
SU 1: b1r7
FPC 1: <zero>
. svydescribe
pweight: weind
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: b1r1
SU 1: b1r7
FPC 1: <zero>
_prop_4: jk = laki-laki
_prop_10: kerja_ibu = tidak bekerja
_prop_11: kerja_ayah = tidak bekerja
_prop_15: anngota_rt = > 4 orang
_prop_16: anngota_rt = <= 4
--------------------------------------------------------------
| Linearized
| Proportion Std. Err. [95% Conf. Interval]
-------------+------------------------------------------------
bb_lahir |
bblr | .0862244 .0155119 .055196 .1172528
normal | .9137756 .0155119 .8827472 .944804
-------------+------------------------------------------------
jk |
perempuan | .5159965 .0304088 .4551698 .5768232
_prop_4 | .4840035 .0304088 .4231768 .5448302
-------------+------------------------------------------------
pend_ayah |
rendah | .7151903 .029167 .6568477 .773533
tinggi | .2848097 .029167 .226467 .3431523
-------------+------------------------------------------------
pend_ibu |
rendah | .668652 .0364137 .5958138 .7414902
tinggi | .331348 .0364137 .2585098 .4041862
-------------+------------------------------------------------
kerja_ibu |
bekerja | .3313517 .0307021 .2699383 .392765
_prop_10 | .6686483 .0307021 .607235 .7300617
-------------+------------------------------------------------
kerja_ayah |
_prop_11 | .0296032 .0111387 .0073225 .051884
bekerja | .9703968 .0111387 .948116 .9926775
-------------+------------------------------------------------
stat_eko |
rendah | .8246636 .0301022 .7644503 .8848769
tinggi | .1753364 .0301022 .1151231 .2355497
-------------+------------------------------------------------
tmpt_tinggal |
desa | .6016456 .069245 .4631349 .7401562
kota | .3983544 .069245 .2598438 .5368651
-------------+------------------------------------------------
energi2 |
rendah | .582258 .0388115 .5046234 .6598926
cukup | .417742 .0388115 .3401074 .4953766
-------------+------------------------------------------------
protein2 |
rendah | .4829856 .0348812 .4132129 .5527583
cukup | .5170144 .0348812 .4472417 .5867871
--------------------------------------------------------------
jml_kel |
besar | .7206005 .0269424 .6667077 .7744934
kecil | .2793995 .0269424 .2255066 .3332923
OUTPUT CROSSTAB
Notes:
1. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
pweight: weind
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: b1r1
SU 1: b1r7
FPC 1: <zero>
. svydescribe
pweight: weind
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: b1r1
SU 1: b1r7
FPC 1: <zero>
----------------------------------------
| status stunting
energi2 | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 55.3 44.7 100
| 108 88 196
|
cukup | 57.84 42.16 100
| 82 60 142
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 0.2154
Design-based F(1, 60) = 0.1807 P = 0.6723
----------------------------------------
| status stunting
protein2 | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 60.2 39.8 100
| 98 65 163
|
cukup | 52.77 47.23 100
| 92 83 175
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.8966
Design-based F(1, 60) = 1.9191 P = 0.1711
. svy:tabulate jk stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
----------------------------------------
jenis |
kelamin | status stunting
balita | stunting normal Total
----------+-----------------------------
perempua | 56.63 43.37 100
| 98 76 174
|
laki-lak | 56.08 43.92 100
| 92 72 164
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 0.0103
Design-based F(1, 60) = 0.0091 P = 0.9243
----------------------------------------
| status stunting
bb lahir | stunting normal Total
----------+-----------------------------
bblr | 51.63 48.37 100
| 15 14 29
|
normal | 56.81 43.19 100
| 175 134 309
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 0.2902
Design-based F(1, 60) = 0.3653 P = 0.5479
----------------------------------------
jumlah |
anggota | status stunting
keluarga | stunting normal Total
----------+-----------------------------
besar | 53.24 46.76 100
| 129 114 243
|
kecil | 64.4 35.6 100
| 61 34 95
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 3.4412
Design-based F(1, 60) = 3.2231 P = 0.0776
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 5.0691
Design-based F(1, 60) = 4.5296 P = 0.0374
----------------------------------------
pendidika | status stunting
n ayah | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 58.7 41.3 100
| 141 100 241
|
tinggi | 50.48 49.52 100
| 49 48 97
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.8934
Design-based F(1, 60) = 1.7270 P = 0.1938
----------------------------------------
pekerjaan | status stunting
ibu | stunting normal Total
----------+-----------------------------
bekerja | 60.37 39.63 100
| 68 45 113
|
tidak be | 54.37 45.63 100
| 122 103 225
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.0975
Design-based F(1, 60) = 1.0282 P = 0.3147
----------------------------------------
pekerjaan | status stunting
ayah | stunting normal Total
----------+-----------------------------
tidak be | 50.43 49.57 100
| 5 5 10
|
bekerja | 56.54 43.46 100
| 185 143 328
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 0.1475
Design-based F(1, 60) = 0.1826 P = 0.6707
----------------------------------------
tempat | status stunting
tinggal | stunting normal Total
----------+-----------------------------
desa | 58.85 41.15 100
| 117 82 199
|
kota | 52.6 47.4 100
| 73 66 139
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.2872
Design-based F(1, 60) = 1.0199 P = 0.3166
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 9.4927
Design-based F(1, 60) = 11.6513 P = 0.0012
OUTPUT OR
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
energi2 | .9018032 .2193071 -0.43 0.672 .5544348 1.466807
_cons | .8083223 .1152807 -1.49 0.141 .6077015 1.075174
-------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
protein2 | 1.354006 .2965137 1.38 0.172 .8737355 2.098269
_cons | .6610184 .0992085 -2.76 0.008 .4895901 .8924718
-------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
jk | 1.022577 .2391366 0.10 0.924 .6405311 1.632494
_cons | .7659666 .1309547 -1.56 0.124 .5441117 1.07828
-------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
bb_lahir | .811584 .2807356 -0.60 0.548 .4062884 1.621184
_cons | .9368735 .2957396 -0.21 0.837 .4982597 1.761596
-------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
jml_kel | .6296032 .1628711 -1.79 0.079 .3752662 1.056317
_cons | .8781287 .123809 -0.92 0.360 .6623324 1.164234
-------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
pend_ibu | 1.686711 .4158943 2.12 0.038 1.030006 2.762114
_cons | .64919 .0832395 -3.37 0.001 .5023244 .838995
-------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
pend_ayah | 1.394525 .3535305 1.31 0.195 .8398366 2.31557
_cons | .7034961 .0838071 -2.95 0.004 .5543344 .8927948
-------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
kerja_ibu | 1.278668 .3102547 1.01 0.315 .7869968 2.077508
_cons | .6563185 .1505518 -1.84 0.071 .4148019 1.038457
-------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
kerja_ayah | .7819456 .4511339 -0.43 0.671 .2465927 2.47955
_cons | .9829546 .5732299 -0.03 0.977 .3061419 3.156052
-------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
tmpt_tinggal | 1.288836 .3240765 1.01 0.317 .7793983 2.131258
_cons | .6992126 .0986564 -2.54 0.014 .5272738 .927219
-------------------------------------------------------------------------------