You are on page 1of 155

GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR KEJADIAN STUNTING

PADA BALITA USIA 24-59 BULAN


DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2010
(ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS 2010)

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun oleh:
SHELLA MONICA DALIMUNTHE
108101000024

PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1437 H
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar srata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesahatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesahatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesahatan Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Mei 2015

NIM. 108101000024

i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI
SKRIPSI, MEI 2015

Shella Monica Dalimunthe, NIM: 108101000024

Gambaran Faktor-Faktor Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di


Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas
2010)

xiii+ 111 halaman + 18 tabel + 12 grafik + 2 bagan + 2 lampiran

ABSTRAK
Masalah gizi merupakan penyebab sepertiga kematian pada anak. Stunting
menjadi indikator kunci dari kekurangan gizi kronis, seperti pertumbuhan yang
melambat, perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih
mungkin mempunyai daya tangkap yang rendah. Dari data Riskesdas 2010 beberapa
provinsi dengan jumlah kejadian balita stunting tertinggi menunjukkan bahwa kejadian
balita stunting banyak terdapat pada rentang usia 24-59 bulan. Provinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB) merupakan salah satu Provinsi yang memiliki prevalensi stunting diatas
prevalensi nasional.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional. Studi ini menggunakan data sekunder yaitu dengan menganalisis data dari
penelitian Riskesdas 2010 di Provinsi NTB. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret
2013. Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 388 balita berusia 24-59 bulan di
Provinsi NTB. Variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini yaitu asupan
energi balita, asupan protein balita, jenis kelamin, berat lahir balita, jumlah anggota
rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah
tempat tinggal balita dan status ekonomi keluarga. Sedangkan variabel dependennya
adalah kejadian stunting. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner
riskesdas. Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji statistik dengan rumus chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang mengalami stunting sebanyak
56.36%, sedangkan balita normal sebanyak 43.63%. Sebanyak 58.22% balita memiliki
asupan energi kurang, sedangkan 41.77% lainnya memiliki asupan energi cukup.
51.70% balita memiliki asupan protein cukup dan sisanya masih memiliki asupan
protein kurang. Sebanyak 51.59% balita berjenis kelamin perempuan, sisanya berjenis
kelamin laki- laki. Balita lahir dengan BBLR sebanyak 8.62%, sedangka n sisanya lahir
dengan berat badan normal. Sebanyak 72.06% anak berasal dari keluarga besar, sisanya
berasal dari keluarga kecil. Sebagian besar ibu balita berpendidikan rendah, hanya
sebanyak 33.13% yang berpendidikan tinggi. Ayah dengan pendidikan rendah sebanyak
71.51%, sisanya berpendidikan tinggi. Sebanyak 66.8% ibu balita merupakan ibu rumah
tangga, sisanya berkerja. Sebanyak 97.03% ayah balita bekerja, sisa nya tidak bekerja.
41.77% balita tinggal di daerah perkotaan, sisanya di pedesaan. Hanya sebesar 17.53%

ii
balita yang berasal dari keluarga berstatus ekonomi tinggi, sisanya berstatus ekonomi
rendah.

Kata kunci : gizi buruk, stunting, balita


Daftar bacaan : 90 (1985 - 2012)

iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
SPECIALISATION NUTRITION
THESIS, MAY 2015.

Shella Monica Dalimunthe, NIM: 108101000024

Overvie w Determinants of Stunting in Toddle rs age 24-59 Months in The Province


of West Nusa Tenggara Year 2010 (Secondary Data Analysis of Riskesdas 2010)

xiii + 111 pages + 17 tables + 12 charts + 2 sche mas + 2 attachments

ABSTRACT

Nutritional problems are the cause of all deaths in children. Stunting be a key
indicator of chronic malnutrition, such as slowed growth, brain development lags behind
and as a result of stunting children are more likely to have a low perception. From the
data of Riskesdas 2010 several provinces with the highest incidence of stunting in
toddlers showed that the incidence of stunting are happened mostly in the age range 24-
59 months. West Nusa Tenggara Province (NTB) is one province that has a prevalence
of stunting above the national prevalence.
This research is a quantitative study with cross sectional approach. This study
used secondary data analysis from the study of Riskedas 2010 in NTB Province. The
research was conducted in March 2013. The sample that was used in this research is 388
toddlers aged 24-59 months in NTB Province. The independent variables examined in
this study were toddler energy intake, toddler protein intake, sex, birth weight infants,
the number of household members, mother's education, father's education, mother's
occupation, father's occupation, region of residence and family economic status. While
the dependent variable was the incidence of stunting. The instrument used in this study
is a questionnaire of Riskesdas 2010. The data obtained was then performed in statistical
tests with chi-square formula.
The results showed that toddlers who stunted are 56.36%, while the other
43.63% are normal. A total of 58.22% of the toddlers have less energy intake, while
another 41.77% having sufficient energy intake. 51.70% of toddlers have enough protein
and the rest still has less protein intake. A total of 51.59% are female toddlers, while the
remaining toddlers are male. Toddlers born with low birth weight are 8.62%, while the
rest were born with normal weight. A total of 72.06% of the children come from large
families, the rest comes from a small family. Most of the toddler's mother was poorly
educated, just as much as 33.13% with high education. Fathers with low education are
71.51%, the rest is highly educated. A total of 66.8% of toddlers mothers are
housewives, and the remaining mothers are working. A total of 97.03% toddler's father
are working, the rest are unemployed. 41.77% of the toddlers living in urban areas, the

iv
rest in the countryside. Only by 17.53% of toddlers who comes from a family with high
economic status, the rest are from low economic status.

Keywords : malnutrition, stunting, toddler


Reading lists : 90 (1985 - 2012)

v
Judul Skripsi

GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR KEJADIAN STUNTING PADA BALITA


USIA 24-59 BULAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2010
(ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS 2010)

Telah diperiksa, disetujui, dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Program
Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Disusun Oleh:

SHELLA MONICA DALIMUNTHE

NIM. 108101000024

Jakarta, April 2015

Mengetahui

Pembimbing I Pembimbing II

Raihana Nadra Alkaff, SKM, MMA Ratri Ciptaningtyas, S.Sn.Kes

NIP. 19781216 200901 2005 NIP. 19840404 200912 2 007

vi
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, April 2015

Mengetahui

Penguji I

Catur Rosidati, MKM

Penguji II

Narila Mutia Nasir, Ph.D

Penguji III

Hj. Farihah Sulasiah, MKM

vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Shella Monica Dalimunthe

Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 10 Juni 1990

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kuningan No. 99B RT 05/RW 01 Cempaka Putih

Ciputat Timur, Tangerang Selatan, 15412.

No Telp / Hp : (021) 93827650/ 085697690476

Email : shella.monica10@gmail.com

II. PENDIDIKAN

1995 1996 : TK Cressendo

1996 2002 : SD Negeri Situ Gintung 1

2002 2005 : SMP Negeri 178 Jakarta

2005 2008 : SMA Negeri 29 Jakarta

2008 2014 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan, Program Studi

Kesehatan Masyarakat

viii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak
terhinggackepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kemudian
tak lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaat dan pertolongannya di
yaumil qiyamah nanti.

Skripsi dengan judul Gambaran Faktor-faktor Kejadian Stunting Pada Balita


Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder
Riskesdas 2010 ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada program Studi Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan, bimbingan, motivasi dan semangat dari banyak pihak. Oleh karena itu dalam
kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ungkapan dan rasa terima kasih yang
tak terhingga ini kepada:

1. Mama dan Papa tercinta yang selalu memberikan segala dukungan, doa dan
perhatian kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat.
4. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM selaku Sekretaris Program Studi Kesehatan
Masyarakat.
5. Ibu Raihana Nadra Alkaff, SKM, MMA selaku dosen pembimbing I yang
telah dengan sabar memberikan ilmu, bimbingan, pengarahan, motivasi,
tuntunan dan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan yang luar
biasa kepada penulis.sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
6. Ibu Ratri Ciptaningtyas, S.Sn.Kes, MHS selaku dosen pembimbing II yang
banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini dan memberikan ilmu- ilmu baru, semoga Allah
SWT mencatat segala amal kebaikannya sebagai ibadah.
7. Ibu DR. Ela Laelasari, SKM, M.kes selaku dosen pembimbing akademik.
8. Para dosen program studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membimbing serta memberikan ilmu yang bermanfaat
kepada penulis.

ix
9. Bapak Ahmad Gozali dan Bapak Azib selaku bagian akademik, terima kasih
atas bantuannya dalam pembuatan surat-surat untuk penelitian ini.
10. Para Staf Balitbangkes Kementerian Kesehatan, terima kasih atas
kepercayaannya dalam memberikan data Riskesdas 2010 sehingga penulis
dapat menyusun skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuanganSTOOPELTH 2008, kakak-kakak, serta adik-
adik kelasku yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih banyak.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih kurang dar i
sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan
dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin

Wassalamualaikum wr. wb.

Jakarta, Mei 2015

Shella Monica Dalimunthe

x
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i


ABSTRAK . ii
ABSTRACT .. iv
PERYATAAN PERSETUJUAN ............................................................................... vi
PANITIA SIDANG ..................................................................................................... vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP . viii
KATA PENGANTAR .. ix
DAFTAR ISI . xi
DAFTAR TABEL . xiv
DAFTAR GRAFIK xv
DAFTAR BAGAN . xvi

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 6
1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 7
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 8
1.4.1 Tujuan Umum .......................................................................................... 8
1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................................................... 8
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 8
1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................................... 8
1.5.2 Manfaat Aplikatif ..................................................................................... 9
1.6 Ruang Lingkup ................................................................................................. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Stunting Pada Balita ......................................................................................... 10
2.2 Penilaian Status Gizi .... ........................................................................ 18
2.2.1 Pengukurang Antropometri .................................................................... 18
2.2.1.1 Pengukuran Antropometri Pada Balita 18
2.2.1.2 Parameter Antropometri .. 18
2.2.1.3 Indeks Antropometri ... 19
2.2.2 Klasifikasi Status Gizi . 22
2.3 Pengukuran Asupan Makanan .......................................................................... 23
2.3.1 24-hour food recall ................................................................................... 23
2.3.2 Food Frequency Questionnaire (FFQ) ..................................................... 26
2.3.3 Estimated Food Record ............................................................................ 28
2.3.4 Dietary History (Riwayat Konsumsi Makanan) ...................................... 29
2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita............................................................ 30
2.4.1 Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan .......................................... 30
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting Pada Balita ................................ 31
2.5.1 Asupan Energi .......................................................................................... 31
xi
2.5.2 Asupan Protein ........................................................................................ 33
2.5.3 Jenis kelamin ......................................................................................... 34
2.5.4 Berat Lahir ............................................................................................... 35
2.5.5 Jumlah Anggota Rumah Tangga 36
2.5.6 Pendidikan Ibu ................................................................................ 38
2.5.7 Pendidikan Ayah 40
2.5.8 Pekerjaan Ibu .......................................................................................... 41
2.5.9 Pekerjaan Ayah .. 42
2.5.10 Wilayah Tempat Tinggal .................................................................. 43
2.5.11 Status Ekonomi Keluarga....................................................................... 45
2.6 Kerangka Teori ................................................................................................. 47

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS


3.1 Kerangka Konsep .............................................................................................. 48
3.2 Definisi Operasional ......................................................................................... 50

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN


4.1 Desain Penelitian .............................................................................................. 53
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 53
4.3 Populasi dan Sampel ......................................................................................... 54
4.3.1 Populasi .................................................................................................... 54
4.3.2 Sampel ..................................................................................................... 54
4.4 Pengumpulan Data ............................................................................................ 56
4.4.1 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 56
4.4.2 Instrument Penelitian ............................................................................... 56
4.4.3 Asupan Energi dan Protein . 57
4.4.4 Berat Lahir . 58
4.4.5 Jenis Kelamin Balita .. 58
4.4.6 Pendidikan Ayah dan Ibu (Orang Tua) . 58
4.4.7 Status Bekerja Ayah dan Ibu (Orang Tua). 59
4.4.8 Tingkat Ekonomi Keluarga 60
4.4.9 Jumlah Anggota Keluarga .. 60
4.4.10 Wilayah Tempat Tinggal . 61
4.5 Pengolahan Data ............................................................................................... 61
4.5.1 Pembersihan Data (Data Cleaning) ......................................................... 61
4.5.2 Transformasi Data/Recode ...................................................................... 61
4.6 Analisis Data ..................................................................................................... 62
4.6.1 Analisis Deskriptif (Univariat) ................................................................ 62

BAB V HASIL
5.1 Analisis Univariat ... 63
5.1.1 Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat 63

xii
5.1.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat .. 64
5.1.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat .. 65
5.1.4 Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 67
5.1.5 Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 68
5.1.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat 70
5.1.7 Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 71
5.1.8 Gambaran Pendidikan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 73
5.1.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 74
5.1.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 76
5.1.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat 77
5.1.12 Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat 79

BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian ... 81
6.2 Gambaran Stunting Pada Balita ... 82
6.3 Gambaran Asupan Energi dengan Kejadian Stunting pada Balita .. 84
6.4 Gambaran Asupan Protein dengan Kejadian Stunting pada Balita . 87
6.5 Gambaran Jenis Kelamin dengan Kejadian Stunting pada Balita 89
6.6 Gambaran Berat Lahir dengan Kejadian Stunting pada Balita 92
6.7 Gambaran Jumlah Anggota Rumah Tangga dengan Kejadian Stunting pada
Balita 93
6.8 Gambaran Pendidikan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita .. 95
6.9 Gambaran Pendidikan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita 98
6.10 Gambaran Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita 100
6.11 Gambaran Pekerjaan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita. 102
6.12 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal dengan Kejadian Stunting pada Balita.. 103
6.13 Gambaran Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Balita... 105

BAB VII PENUTUP


7.1 Simpulan .. 108
7.2 Saran 109
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 112
LAMPIRAN

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Penilaian Tingkat Kekurangan Gizi Anak-anak


dibawah Usia 5 Tahun ............................................ 13
Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi .. 22
Tabel 3.1 Definisi Operasional ........................................................................... 50
Tabel 4.1 Daftar Variabel dan Kuisioner dalam Riskesdas 2010 ....................... 57
Tabel 4.2 Kode Variabel Pendidikan dalam Riskesdas 2010 ........... 58
Tabel 4.3 Kode Variabel Pekerjaan dalam Riskesdas 2010 59
Tabel 5.1 Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Asupan Energi pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
2010. 65
Tabel 5.2 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Asupan Protein pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
2010 .. 67
Tabel 5.3 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Jenis Kelamin pada Balita
Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ...... 68
Tabel 5.4 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Berat Lahir pada Balita
Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 .. 70
Tabel 5.5 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2010 ............. 71
Tabel 5.6 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pendidikan Ibu pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
2010 .. 73
Table 5.7 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pendidikan Ayah pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
2010 ............ 74
Tabel 5.8 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pekerjaan Ibu pada Balita
Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ...... 76
Tabel 5.9 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pekerjaan Ayah pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
2010 ................ 77
Tabel 5.10 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2010 ............. 79
Tabel 5.11 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Status Ekonomi Keluarga
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2010 ............. 80

xiv
DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1 Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ....... 63

Grafik 5.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ...... 64

Grafik 5.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ... 66

Grafik 5.4 Gambaran i Jenis Kelamin Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ....................................... 67

Grafik 5.5 Gambaran Berat Lahir Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2010....... 69

Grafik 5.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 . 70

Grafik 5.7 Gambaran Pendidikan Ibu Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ....... 72

Grafik 5.8 Gambaran Pendidikan Ayah Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ... 73

Grafik 5.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ...... 75

Grafik 5.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ... 76

Grafik 5.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ... 78

Grafik 5.12 Gambaran Wilayah Status Ekonomi Keluarga Pada Balita Usia 24-
59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 .... 79

xv
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori .. ..................... 47

Bagan 3.1 Kerangka Konsep ....... 49

xvi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah gizi merupakan penyebab sepertiga kematian pada anak. Berinvestasi

pada kesehatan anak, sama halnya dengan berinvestasi pada kemajuan suatu negara

(Hunt, 2001). Masa ketika anak berada di bawah umur lima tahun (balita) merupakan

masa kritis dari perkembangan dan pertumbuhan dalam siklus hidup manusia. Anak

mengalami pertumbuhan fisik yang paling pesat dan masa ini juga disebut masa emas

perkembangan otak. Oleh karena itu, baik buruknya status gizi balita akan berdampak

langsung pada pertumbuhan dan perkembangan kognitif dan psikomotoriknya (Boggin,

1999).

Bila dibandingkan dengan pertumbuhan berdasarkan standar WHO, adanya 178

juta anak di dunia yang terlalu pendek berdasarkan usia membuat stunting menjadi

indikator kunci dari kekurangan gizi kronis. Seperti pertumbuhan yang melambat,

perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih mungkin

mempunyai daya tangkap yang rendah (WHO, 2011).

Kebanyakan kasus gangguan pertumbuhan terjadi pada masa-masa awal

kehidupan manusia (Brown and Begin, 1993 dalam Semba and Bloem, 2001). Pada

kenyataannya, terbukti bahwa hampir semua gangguan pertumbuhan anak di negara

berkembang terjadi pada dua hingga tiga tahun pertama kehidupan (De Onis a nd

blossner, 1997 dalam Semba and Bloem, 2001).

Pemberian makan yang tidak tepat mengakibatkan cukup banyak anak yang

menderita kurang gizi. Femomena gagal tumbuh atau growth faltering pada anak

1
2

Indonesia mulai terjadi pada usia 4-6 bulan ketika bayi yang diberikan makanan

tambahan dan terus memburuk hingga usia 18-24 bulan. Kekurangan gizi memberi

kontribusi dua pertiga kematian balita. Dua pertiga kematian tersebut terkait praktek

pemberian makanan yang tidak tepat pada bayi dan anak usia dini. (WHO/UNICEF,

2003).

Hingga saat ini, gizi kurang pada balita juga masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Beberapa masalah kekurangan gizi

pada balita dapat diketahui melalui beberapa indikator. Indikator tersebut diantaranya

berat kurang atau underweight jika dilihat dari berat badan menurut umur (BB/U),

pendek atau stunting jika dilihat dari tinggi badan menurut umur (TB/U) dan kurus atau

wasting jika dilihat dari berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Dalam hal ini, berat

kurang dan kurus merupakan dampak masalah kekurangan gizi yang bersifat akut,

sedangkan pendek merupakan manifestasi kekurangan gizi yang bersifat kronis

(Kementrian Kesehatan, 2010).

Stunting pada balita biasanya kurang disadari karena perbedaan tinggi badan

dengan anak usia normal kurang begitu terlihat. Stunting biasanya mulai terlihat ketika

anak memasuki masa pubertas atau masa remaja. Ini merupakan hal yang buruk karena

semakin terlambat disadari, maka semakin sulit pula untuk mengatas i stunting.

(Hendricks, 2005 dalam Candra, 2011).

Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, prevalensi balita pendek (stunting) secara

nasional adalah sebesar 35,6% yang berarti terjadi penurunan dari keadaan tahun 2007

dimana prevalensi kependekan sebesar 46,8%. Prevalensi kependekan sebesar 35,6%


3

terdiri dari 18,4% sangat pendek dan 17,1% pendek. Bila dibandingkan dengan keadaan

tahun 2007, prevalensi balita sangat pendek turun dari 18,8% pada tahun 2007 menjadi

18,5% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi pendek menurun dari 18,0% pada tahun

2007 menjadi 17.1% pada tahun 2010. Sebanyak 15 Provinsi memiliki prevalensi

kependekan di atas angka prevalensi nasional. Urutan ke 15 Provinsi tersebut dari yang

memiliki prevalensi tertinggi sampai terendah adalah: (1) Nusa Tenggara Timur, (2)

Papua Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4) Sumatera Utara, (5) Sumatera Barat, (6)

Sumatera Selatan, (7) Gorontalo, (8) Kalimantan Barat, (9) Kalimantan Tengah, (10)

Aceh, (11) Sulawesi Selatan, (12) Sulawesi Tenggara, (13) Maluku, (14 ) Lampung, (15)

Sulawesi Tengah.

Berdasarkan usia balita, kejadian stunting banyak terdapat pada balita usia 24

hingga 59 bulan. Dari data Riskesdas 2010 beberapa provinsi dengan jumlah kejadian

balita stunting tertinggi menunjukkan bahwa kejadian balita stunting banyak terdapat

pada rentang usia tersebut. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga merupakan salah

satu Provinsi yang memiliki prevalensi stunting diatas prevalensi nasional. Provinsi

NTB mengalami peningkatan angka stunting pada balita. Prevalensi balita sangat pendek

meningkat dari 23,8% pada tahun 2007 menjadi 27,8% pada tahun 2010. Sedangkan

prevalensi balita pendek pada tahun 2007 sebesar 19,9% menjadi 20,5% pada tahun

2010.

Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi

disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor- faktor tersebut saling berhubungan satu

dengan lainnya, ada tiga faktor utama penyebab stunting yaitu asupan makanan yang
4

tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan yaitu karbohidrat,

protein, lemak, mineral, vitamin dan air), riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), dan

riwayat penyakit.

Secara garis besar penyebab stunting dapat dikelompokkan kedalam 3 tingkatan

yaitu tingkat masyarakat, rumah tangga (keluarga), dan individu. Pada tingkat

masyarakat, sistem ekonomi; sistem pendidikan; sistem kesehatan dan sistem sanitasi

dan air bersih menjadi faktor penyebab kejadian stunting. Pada tingkat rumah tangga

(keluarga), kualitas dan kuantitas makanan yang tidak memadai; tingkat pendapatan;

jumlah dan struktur anggota keluarga; pola asuh makan anak yang tidak memadai;

pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai; dan sanitasi dan air bersih tidak

memadai menjadi faktor penyebab stunting, dimana faktor- faktor ini terjadi akibat faktor

pada tingkat masyarakat. Faktor penyebab yang terjadi di tingkat rumah tangga akan

mempengaruhi keadaan individu yaitu anak berumur dibawah 5 tahun dalam hal asupan

makanan menjadi tidak seimbang; berat badan lahir (BBLR); dan status kesehatan yang

buruk (Unicef framework).

Buruknya status gizi balita ini merupakan konsekuensi dari interaksi berbagai

faktor determinan yang berhubungan dengan akses pada pangan, kelayakan tempat

tinggal dan akses pelayanan kesehatan (Semba and Bloem, 2001). Penelitian

menunjukkan bahwa stunting berhubungan dengan tingkat pendidikan orangtua, berat

lahir, umur balita, jenis kelamin dan lokasi tempat tinggal. Selain itu, stunting pada

balita juga berhubungan dengan usia ibu, pendidikan ibu, dan tingkat pengeluaran (status

sosio-ekonomi) dalam rumah tangga (Semba et al., 2008).


5

Sedangkan menurut kerangka pikir UNICEF 1990, disamping faktor makanan,

faktor infeksi juga turut mempengaruhi. Ayaya SO (2004) dan Hautvast JL (2000) dalam

Ramli (2009) menyebutkan bahwa pada penelitian sebelumnya menunjukkan

Intelligence Quotient (IQ) yang rendah, tinggi badan ibu, jenis kelamin laki- laki, tingkat

pendidikan ayah dan ibu, kemiskinan, status sosioekonomi, tempat tinggal, perilaku

merawat anak (pemberian makan dan ASI yang kurang memadai), keyakinan budaya,

akses ke pelayanan kesehatan dan ekosistem lingkungan merupakan faktor- faktor yang

berasosiasi dengan kejadian stunting pada balita.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yaitu data balita

yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang telah berhasil dikumpulkan oleh

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) yang dibantu oleh

sejumlah enumerator untuk setiap Kabupaten/Kota, seluruh penelitia Balitbangkes,

dosen Poltekkes, Jajaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta

Perguruan Tinggi pada bulan Juni sampai Juli 2010.

Masalah gizi merupakan masalah yang cukup serius di Indonesia. Banyak

penelitian mengenai masalah kesehatan dan gizi yang telah dilakukan, salah satunya

yaitu Riskesdas 2010. Namun hasil Riskesdas 2010 mengenai status gizi balita

khususnya faktor- faktor yang berhubungan dengan kasus stunting pada balita belum

dianalisis secara mendalam. Oleh karena itu penulis ingin memanfaatkan data sekunder

Riskesdas 2010 tersebut untuk melihat gambaran Faktor-faktor kejadian Stunting di

Provinsi Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi keadaan data Riskesdas yang digunakan
6

untuk melakukan penelitian ini kurang begitu baik dalam segi kelengkapan data, karena

cukup banyak data yang missing.

Berdasarkan data yang terkumpul dari Riskesdas 2010, total balita yang berusia

24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Tahun 2010 yaitu sebanyak 579

individu. Dari jumlah tersebut, untuk keperluan penelitian ini banyak data yang tidak

lengkap, misalnya dalam satu individu sampel, satu dan/atau beberapa variabel yang

dibutuhkan untuk penelitian ini tidak ada (missing) maka sampel tersebut tidak dapat

digunakan untuk penelitian. Dari total 579 individu tersebut, setelah dilakukan proses

cleaning data menjadi 338 individu. Sehingga seluruh individu tersebut digunakan

dalam penelitian ini.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti gambaran

faktor- faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di provinsi NTB berdasarkan

hasil Riskesdas tahun 2010. Faktor-faktor yang diteliti yaitu: asupan energi, asupan

protein, jenis kelamin, berat lahir, jumlah anggota rumah tangga, pendidikian ib u,

pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status

ekonomi keluarga.

1.2 Rumusan Masalah

Nusa Tenggara Barat (NTB) masuk dalam urutan ke 3 yang memiliki kasus

stunting pada balita diatas prevalensi nasional. Stunting mengindikasi masalah kesehatan

masyarakat karena berhubungan dengan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas,

penurunan perkembangan fungsi motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik
7

(ACC/SCN 2000). Prevalensi balita sangat pendek di NTB meningkat dari 23.8% pada

tahun 2007 menjadi 27.8% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi balita pe ndek pada

tahun 2007 sebesar 19.9% menjadi 20.5% pada tahun 2010.

Kejadian stunting di provinsi Nusa Tenggara Barat masih tinggi dan faktor yang

berhubungan dengan kejadian stunting di Nusa Tenggara Barat pun banyak. Selain itu,

data konsumsi energi dan protein yang tersedia dalam Riskesdas 2010 hanya ada untuk

balita berusia 24-59 bulan. Pada umumnya balita berusia 24 bulan sudah sapih ASI. Hal

ini membuat konsumsi makanan balita benar-benar tergantung dari asupan energi dan

protein. Maka dari itu data asupan energi dan protein menjadi sangat penting dalam

penelitian ini. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis gambaran faktor- faktor

kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun

2010.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi

Nusa Tenggara Barat?

2. Bagaimana gambaran balita stunting usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara

Barat berdasarkan asupan energi, asupan protein, jenis kelamin, berat lahir,

jumlah anggota rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu,

pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga?


8

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran faktor- faktor kejadian stunting pada balita

usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di

Provinsi Nusa Tenggara Barat.

2. Diketahuinya gambaran balita stunting usia 24-59 bulan berdasarkan

asupan energi, asupan protein, jenis kelamin, berat lahir, jumlah anggota

rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan

ayah, wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Sebagai pengkayaan pengetahuan dan pengalaman praktis peneliti dibidang

penelitian kesehatan masyarakat.

2. Sebagai bahan untuk penelitian lanjutan oleh peneliti lain dalam topik yang

sama.

3. Sebagai tambahan referensi karya tulis yang berguna bagi masyarakat luas di

bidang kesehatan masyarakat.


9

1.5.2 Manfaat Aplikatif

Manfaat aplikatif dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan dalam

evaluasi kebijakan dan pengambilan keputusan terkait masalah gizi kurang pada

balita oleh pemerintah pusat Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif mengenai gambaran faktor- faktor

kejadian stunting pada balita usia 24-59 di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang

dilakukan oleh mahasiswa Peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil

penelitian ini dimaksudkan sebagai masukan yang berguna bagi pengambilan keputusan

dalam rangka pencarian solusi untuk menanggulangi kejadian stunting pada balita usia

24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini menggunakan desain cross

sectional study berdasarkan data hasil penelitian Riskesdas tahun 2010 yang pengolahan

datanya dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2013.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting Pada Balita

Status gizi merupakan keadaan yang disebabkan oleh keseimbangan antara

jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi

biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktifitas dan pemeliharaan kesehatan

(Jahari, 2004). Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya

manusia dan kualitas hidup. Untuk itu, program perbaikan gizi bertujuan untuk

meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi masyarakat

(Muchtadi, 2002). Sedangkan menurut Almatsier (2003) status gizi adalah keadaan

tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan gizi.

Kekurangan gizi terutama pada balita dapat menyebabkan meningkatnya risiko

kematian, terganggunya pertumbuhan fisik dan perkembangan mental serta kecerdasan.

Dampak kekurangan gizi bersifat permanen yang tidak dapat diperbaiki walaupun pada

usia berikutnya kebutuhan gizinya terpenuhi. Kondisi kesehatan dan status gizi pada saat

lahir dan balita sangat menentukan kondisi kesehatan pada masa usia sekolah dan remaja

(Depkes, 2007).

Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana memerlukan

perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungannya. Disamping itu balita

membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya baik, serta proses pertumbuhan

tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita

akibat kekurangan gizi (Santoso & Lies, 2004). Masa balita dinyatakan sebagai masa

10
11

kritis dalam rangka mendapatkan sumberdaya manusia yang berkualitas, terlebih pada

periode 2 tahun pertama merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan

otak yang optimal, oleh karena itu pada masa ini perlu perhatian yang serius (Azwar,

2004).

Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek sehingga

mlampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan (Manary &

Solomons, 2009). Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik tinggi badan

menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca

persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak

memadai dan atau kesehatan. Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk

mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit

(ACC/SCN, 2000).

Stunting didefinisikan sebagai indikator status gizi TB/U sama dengan atau

kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) di bawah rata-rata dari standar (WHO,

2006a). Ini adalah indikator kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis yang

memberikan gambaran gizi pada masa lalu dan yang dipengaruhi lingkungan dan

keadaan sosial ekonomi. Di seluruh dunia, 178 juta anak berusia kurang dari lima tahun

(balita) menderita stunting dengan mayoritas di Asia Tengah Selatan dan sub-Sahara

Afrika. Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di negara

berpendapatan rendah dan menengah karena hubungannya dengan peningkatan risiko

kematian selama masa kanak-kanak. Selain menyebabkan kematian pada masa kanak-

kanak, stunting juga mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh (The Lancet, 2008).
12

Stunting dan serve stunting (selanjutnya hanya disebut sebagai stunting )

pada balita merupakan salah satu masalah besar yang mengancam pengembangan

sumber daya manusia. Pada tahun 1995, diperkirakan angka stunting pada balita telah

mencapai lebih dari 208 juta dan 206 juta diantaranya berada di negara berkembang.

Lebih dari dua per tiga (72%) balita stunting berada di Asia. Pada saat ini, angka global

stunting pada balita adalah 178 juta (World Vision, 2009). Di Indonesia, tren data

stunting pada anak usia pra-sekolah cenderung tidak mengalami perubahan. Prevalensi

ini bahkan mengalami kenaikan sejak tahun 1990 (Atmarita, 2005)

Pada tahun 2003, 27,5% anak balita di Indonesia menderita kurus sedang dan

berat, atau hanya 10 poin persentase lebih rendah dari pada tahun 1989, dan hampir

setengahnya stunting . Anak yang menderita berat lahir rendah dan stunting pada

gilirannya tumbuh menjadi remaja dan orang dewasa kurang gizi, dengan demikian

mengabadikan siklus kekurangan gizi (Atmarita, 2005).

Tahun 2005, untuk semua negara-negara berkembang, yang diperkirakan 32%

(178 juta) anak-anak usia kurang dari 5 tahun memiliki skor TB/U dengan nilai Z Score

kurang -2 (WHO, 2006c; De Onis, M. et al. 2006). Prevalensi tertinggi dalam

subkawasan PBB adalah Afrika timur dan menengah masingmasing 50% dan 42%,

dengan jumlah terbanyak anak-anak dipengaruhi oleh stunting, 74 juta, tinggal di Asia

Tengah Selatan.

Prevalensi stunting di Asia tahun 2007 adalah 30.6 % (UNSCN, 2008). Di

negara berkembang 11,6 juta kematian anak di bawah usia lima tahun, diperkirakan 6,3
13

juta (54%) dari kematian anak-anak dikaitkan dengan gizi buruk, yang sebagian besar

disebabkan oleh kekurangan gizi (WHO, 1997).

Tabel 2.1
Klasifikasi Penilaian Tingkat Kekurangan Gizi
Anak-anak dibawah Usia 5 Tahun

Prevalensi Kekurangan Gizi


No. Indikator
Rendah Sedang tinggi Sangat Tinggi

1 Stunting < 20 20 - 29 30 39 > 40

2 Underweight < 10 10 - 19 20 29 > 30

3 Wasting <5 5-9 10 14 > 15

Sumber: WHO (1997)

Stunting merupakan hasil dari kekurangan gizi kronis, yang menghambat

pertumbuhan linier. Biasanya, pertumbuhan goyah dimulai pada sekitar usia enam bulan,

sebagai transisi makanan anak yang sering tidak memadai dalam jumlah dan kualitas,

dan peningkatan paparan dari lingkungan yang meningkatkan terkena penyakit.

Terganggunya pertumbuhan bayi dan anak-anak karena kurang memadainya asupan

makanan dan terjadinya penyakit infeksi berulang, yang mengak ibatkan berkurangnya

nafsu makan dan meningkatkan kebutuhan metabolik (Caufield et al, 2006).

Pertumbuhan panjang secara proporsional lebih lambat daripada berat badan.

Kekurangan tinggi badan cenderung terjadi lebih lambat dan pemulihan akan lebih

lambat, sedangkan kekurangan berat badan bisa cepat kembali dipulihkan. Oleh karena
14

itu, kekurangan berat badan adalah sebagai proses akut dan stunting adalah proses

kronis yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama (Waterlow, 1992).

Stunting didiagnosis melalui pemeriksaan antropometrik. Stunting

menggambarkan keadaan gizi kurang yang sudah berjalan lama dan memerlukan waktu

bagi anak untuk berkembang serta pulih kembali. Sejumlah besar penelitian

memperlihatkan keterkaitan antara stunting dengan berat badan kurang yang sedang

atau berat, perkembangan motorik dan mental yang buruk dalam usia kanak-kanak dini,

serta prestasi kognitif dan prestasi sekolah yang buruk dalam usia kanak-kanak lanjut

(ACC/SCN, 2000).

Ada beberapa alasan mengapa stunting terjadi pada balita. Pada masa balita

kebutuhan gizi lebih besar, dalam kaitannya dengan berat badan, dibandingkan masa

remaja atau dewasa. Kebutuhan gizi yang tinggi untuk pertumbuhan yang pesat,

termasuk pertumbuhan pada masa remaja. Dengan demikian, kesempatan untuk terjadi

pertumbuhan yang gagal lebih besar pada balita, karena pertumbuhan lebih banyak

terjadi (Martorell et al, 1994). Gangguan pertumbuhan linier, atau stunting , terjadi

terutama dalam 2 sampai 3 tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari efek

interaksi antara kurangnya asupan energi dan asupan gizi serta infeksi.

Stunting pada anak-anak dikaitkan dengan kemiskinan yang pada akhirnya

terjadi tinggi dan berat badan yang kurang pada saat dewasa, mengurangi kebugaran otot

dan kemungkinan juga pada saat kehamilan yang meningkatkan kejadian berat lahir

rendah. Bukti menunjukkan bahwa anak-anak stunting juga lebih cenderung memiliki

pendidikan rendah, tetapi tidak jelas apakah ini langsung karena faktor gizi atau
15

pengaruh lingkungan. Stunting pada masa kecil mungkin memiliki dampak besar pada

produktivitas saat dewasa, meskipun ini adalah statistik yang sulit ditentukan (Poskitt,

2003).

Berat badan kurang yang sedang dan anak-anak yang bertubuh pendek juga

memperlihatkan perilaku yang berubah. Pada anak-anak kecil, perilaku ini meliputi

kerewelan serta frekuensi menangis yang meningkat, tingkat aktifitas yang lebih rendah,

berkomunikasi lebih jarang, ekspresi yang tidak begitu gembira serta cenderung untuk

berada didekat ibu serta menjadi lebih apatis (Henningham & McGregor, 2005).

Saat ini stunting pada anak merupakan salah satu indikator terbaik untuk

menilai kualitas modal manusia di masa mendatang. Kerusakan yang diderita pada awal

ke idupan, yang terkait dengan proses stunting , menyebabkan kerusakan permanen.

Keberhasilan tindakan yang berkelanjutan untuk mengentaskan kemiskinan dapat diukur

dengan kapasitas mereka untuk mengurangi prevalensi stunting pada anak-anak kurang

dari lima tahun. Berat lahir berkontribusi mengurangi pertumbuhan anak dalam dua

tahun pertama kehidupan, akan mengakibatkan stunting dalam dua tahun, yang akhirnya

tergambar pada tinggi badan saat dewasa. Peningkatan fungsi kognitif dan

perkembangan intelektual terkait dengan peningkatan berat lahir dan pengurangan dala m

stunting . Efek negatif berat lahir rendah pada pengembangan intelektual ditekankan

pada kelompok sosial ekonomi rendah, dan dapat diatasi dengan perbaikan lingkungan

(UNSCN, 2008).

Stunting pada masa kanak-kanak menyebabkan penurunan yang signifikan dari

ukuran tubuh dewasa, sebagai ditunjukkan oleh tindak lanjut dari bayi Guatemala yang
16

dua dekade sebelumnya, telah terdaftar dalam program suplementasi. Salah satu satu

konsekuensi utama dari ukuran tubuh dewasa dari masa kanak-kanak yang stunting

yaitu berkurangnya kapasitas kerja, yang pada akhirnya memiliki dampak pada

produktivitas ekonomi (WHO, 1997).

Pola pertumbuhan ini ditandai dengan berkembangnya bayi, dan dilanjutkan

dengan pertumbuhan selama remaja. Asupan makanan yang tidak memadai dalam 2

tahun pertama bertanggung jawab pada terjadinya stunting . Kurangnya proses menyusui,

menyapih dan praktik pemberian makanan, infeksi dan diare juga berkontribusi

(Eastwood, 2003).

Meskipun ada sedikit tindak lanjut penelitian sejak masa anak-anak hingga usia

dewasa, bukti substansial menunjukkan ada hubungan antara stunting dengan

kemampuan kognitif yang lambat atau kinerja sekolah pada anak-anak dari negara-

negara berpendapatan rendah dan menengah. Sebuah analisis data longitudinal dari

Filipina, Jamaika, Peru, dan Indonesia, bersama dengan data baru dari Brasil dan Afrika

Selatan, menunjukkan bahwa stunting antara usia 12-36 bulan usia diperkirakan

mengalami kinerja kognitif yang lebih rendah dan atau nilai yang dicapai di sekolah

rendah dalam masa anak-anak (Grantham-McGregor et al, 2007).

Di Cebu, Filipina stunting pada usia 2 tahun dikaitkan dengan tertundanya

masuk sekolah, sering terjadi pengulangan kelas dan tingginya angka putus sekolah,

tingkat kelulusan menurun di sekolah dasar dan menengah, dan kemampuan di sekolah

yang lebih rendah (Daniels & Adair, 2004).


17

Kegagalan pertumbuhan pada saat awal kehidupan akan menyebabkan tinggi

badan pada saat dewasa kurang kecuali ada kompensasi pertumbuhan (catch-up growth)

di masa anak-anak (Martorell et al., 1994). Hanya sebagian kecil dari kegagalan

pertumbuhan yang dapat dikompensasi, di Senegal, ketinggian pada saat dewasa hanya

sekitar 2 cm lebih pendek daripada standar meskipun stunting terjadi pada anak-anak

(Coly, A. N, et al 2006).

Tinggi badan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan selama periode

pertumbuhan. Kegagalan pertumbuhan linier sebagian besar disebabkan pada periode

intrauterine dan beberapa tahun pertama kehidupan dan disebabkan oleh asupan yang

tidak memadai dan sering terjadi infeksi (Shrimpton et al, 2001). Tinggi badan ibu yang

pendek dan gizi ibu yang buruk berhubungan dengan peningkatan risiko kegagalan

pertumbuhan intrauterin (Black et al, 2008). Studi dari negara-negara berpendapatan

rendah dan menengah dilaporkan bahwa tinggi badan pada saat dewasa secara positif

terkait dengan panjang badan pada saat lahir. Peningkatan sebesar 1 cm panjang badan

pada saat lahir dikaitkan dengan peningkatan 0,7 -1 cm tinggi badan pada saat dewasa

(Gigante et al, 2009).

Hasil penelitian dari Bosch, Baqui & Ginneken (2008) mengatakan bahwa

resiko menjadi stunting pada saat remaja bagi anak-anak moderately stunting adalah

1,64 kali beresiko daripada anak-anak yang tidak stunting sedangkan resiko menjadi

stunting pada masa remaja bagi anak-anak severely stunting adalah 7,40 kali beresiko

daripada anak-anak yang tidak stunting .


18

2.2 Penilaian Status Gizi

2.2.1 Pengukuran Antropometri

Antropometri berasal dari kata antrophos dan metros. Antrophos memiliki

arti tubuh, sedangkan metros adalah ukuran. Secara umum antropometri adalah

ukuran tubuh manusia. Antropometri dalam pengertian adalah suatu sistem

pengukuran ukuran dan susunan tubuh dan bagian khusus tubuh (Potter & Perry,

2006). Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhub ungan

dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari

berbagai tingkat umur dan gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk

melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini

terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak,

otot, dan jumlah air dalam tubuh.

2.2.1.1 Pengukuran Antropometri Pada Balita


Indikator ukuran antropometri digunakan sebagai kriteria utama

untuk menilai kecukupan asupan gizi dan pertumbuhan bayi dan ba lita.

2.2.1.2 Parameter Antropometri


Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.

Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Di

Indonesia ukuran baku dalam negeri belum ada, maka untuk ukuran berat

badan (BB) dan tinggi badan (TB) digunakan baku HARVARD yang

disesuaikan untuk Indonesia (100% baku Indonesia = 50 persentil baku


19

Harvard) dan untuk lingkar lengan atas (LILA) digunakan baku

WOLANSKI.

2.2.1.3 Indeks Antropometri


Indeks Antropometri untuk Balita (anak usia 2-10 tahun):

1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)


Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan

gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap

perubahanperubahan yang mendadak, misalnya karena terserang

penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya

jumlah makanan jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam

keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan

keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin,

maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur.

Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2 kemungkinan

perkembangan berat badan yaitu dapat berkembang cepat atau

lebih lambat dari keadaan normal (Supariasa, 2002).

Indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara

UMUM. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah

gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan

berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Dengan kata

lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena anaknya


20

pendek (kronis) atau karena diare atau penyakit infeksi lain (akut)

(Kemenkes RI, 2010).

2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)


Tinggi badan merupakan antropometri yang

menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan

normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.

Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang

sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek.

Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak

dalam waktu yang relatif lama (Supariasa, 2002).

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang

sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung

lama, misalnya: kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola

asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak

dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Kemenkes

RI, 2010)

3. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)


Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi

badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan

searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan

tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk


21

menilai status gizi saat ini (Supariasa, 2002). Dari berbagai jenis

indeks tersebut, untuk menginterpretasikan dibutuhkan ambang

batas, penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para ahli

gizi. Ambang batas dapat disajikan kedalam 3 cara yaitu persen

terhadap median, persentil, dan standar deviasi unit.

Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi

masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang

terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat), misalnya: terjadi

wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang

mengakibatkan anak menjadi kurus. Disamping untuk identifikasi

masalah kekurusan dan indikator BB/TB dan IMT/U dapat juga

memberikan indikasi kegemukan. Masalah kekurusan dan

kegemukan pada usia dini dapat berakibat pada rentannya

terhadap berbagai penyakit degeneratif pada usia dewasa (Teori

Barker) (Kemenkes RI, 2010).

4. Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LLA/U)

Menurut data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan

BB/TB disajikan dalan dua versi yakni persentil (persentile) dan

skor simpang baku (standar deviation score = Z). Menurut

Waterlow, et al, gizi anak-anak dinegara- negara yang populasinya

relative baik (well- nourished), sebaiknya digunakan presentil,


22

sedangkan dinegara untuk anak-anak yang populasinya relative

kurang (under nourished) lebih baik menggunakan skor simpang

baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku rujukan

(Djumadias Abunaim,1990).

Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan

mengurangi Nilai Induvidual Subjek (NIS) dengan Nilai Median Baku Rujukan

(NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan Nilai Simpang

Baku Rujukan (NSBR). Atau dengan menggunakan rumus :

Z-score = (NIS-NMBR) / NSBR

2.2.2 Klasifikasi Status Gizi

Klasifikasi Status Gizi dijelaskan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi

INDEKS STATUS GIZI Z Score

Berat Badan menurut Umur Gizi Buruk < -3 SD

(BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD

Gizi Baik -2 SD sampai dengan -2 SD

Gizi Lebih > 2 SD

Tinggi Badan menurut Umur Sangat Pendek < -3 SD


23

(TB/U) Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD

Normal -2 SD

Berat Badan menurut Tinggi Sangat Kurus < -3 SD

Badan (BB/TB) Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD

Normal -2 SD sampai dengan -2 SD

Gemuk > 2 SD

Gabungan Indikator BB/U Pendek-Kurus TB/U < -2 SD dan BB/TB < -2 SD

dan TB/U Pendek-Normal TB/U < -2 SD dan BB/TB antara -2

SD hingga 2 SD

Pendek-Gemuk TB/U < -2 SD dan BB/TB > 2 SD

TB Normal-Kurus TB/U -2 SD dan BB/TB < -2 SD

Sumber: Kementrian Kesehatan, 2010.

2.3 Pengukuran Asupan Makan

2.3.1 24-hour food recall

Prinsip metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatata jenis

dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang

lalu. Dalam metode ini, respoden, ibu atau pengasuh (bila anak masih

kecil) disuruh menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama

24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak ia bangun pagi

kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai
24

dari waktu saat dilakukan wawancara mundur kebelakang sampai 24 jam

penuh (Supariasa, 2001).

Pada metode ini subjek atau responden diwawancarai oleh

petugas yang sebelumnya sudah dilatih untuk melakukan wawancara

food recall. Hasil wawancara ini dapat menggambarkan konsumsi

makanan yang sebenarnya oleh subjek tersebut (Gibson, 2005).

Meskipun demikian, sekali wawancara saja tidak cukup untuk

menggambarkan konsumsi makanan subjek. Oleh karena itu, pada

metode food recall diperlukan beberapa kali wawancara pada hari yang

berbeda untuk dapat mengetahui objektivitas konsumsi makanan subjek

(Gibson, 2005). Hari yang dipilih untuk melakukan food recall juga

seharusnya tidak berurutan, jika hal tersebut memingkinkan. Pada

memperkirakan konsumsi individu dalam jangka panjang, misalnya

tahunan, food recall juga sebaiknya dilakukan beberapa kali pada musim

yang berbeda (Bearon et al. 1979; Basiotis et al., 2002 dalam Gibson,

2005). Jika tidak memungkinkan untuk mengulang food recall,

setidaknya harus dilakukan pengulangan pada 5-15% subsampel untuk

memberikan gambaran konsumsi populasi yang valid (Gibson, 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam

tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih

optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian

individu (Sanjur, 1997 dalam Supariasa, 2001).


25

Food recall dilakukan dengan cara meminta subjek untuk

menyebutkan makanan dan minuman apa saja yang telah dikonsumsi

selama 24 jam sebelum dilakukan wawancara. Dalam hal ini, subjek

diminta untuk menggambarkan informasi secara detail mengenai

kuantitas, cara memasak, bahkan memperkirakan makanan dan minuman

yang dikonsumsi, jika memungkinkan (Gibson and Ferguson, 1999 dalam

Gibson, 2005).

Hal penting yang perlu diketahui bahwa dengan recall 24 jam

data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk

mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan indivdu

ditanyakan secara teliti dengan menngunakan alat Ukuran Rumah Tangga

(URT) seperti sendok, gelas, piring, dan lain- lain atau ukuran lainnya

yang biasa dipergunakan sehari- hari (Supariasa, 2001). Akan tetapi, akan

lebih baik lagi jika petugas menggunakan food models untuk mengkur

kuantitas konsumsi subjek (Gibson and Ferguson, 1999 dalam Gibson,

2005).

Terdapat keuntungan dan kerugian dalam penggunaan metode ini.

keuntungan recall 24 hour diantaranya adalah beban responden ringan,

biaya murah, mudah, cepat dalam pelaksaaan dan cocok digunakan untuk

responden yang buta huruf, dapat memberikan gambaran nyata yang

benar-benar dikonsumsi ndividu sehingga dapat dihitung intake zat gizi

sehari (Supariasa, 2001).


26

Kerugiannya, metode ini sangat bergantung pada ingatan

responden, sehingga hasil selanjutnya akan kurang baik jika digunakan

untuk responden dari kalangan orang lanjut usia dan anak-anak. Selain itu,

adanya kesalahan responden dalam memperkirakan porsi makanan juga

sering terjadi, tetapi hal ini dapat diminimalisasikan dengan

menggunakan food model untuk membantu responden (Gibson, 1993).

Disamping itu kekurangan lain dari metode recall 24 jam adalah tidak

dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari jika hanya dilakukan

recall satu hari, adanya the flat slope syndrome yaitu kecenderungan bagi

responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (over

estimate) dan responden yang gemuk cenderung lapornkan konsumsinya

lebih sedikit (under estimate) (Supariasa, 2001).

2.3.2 Food Fre quency Questionnaire (FFQ)

Metode FFQ pada awalnya digunakan untuk memperoleh

informasi deskriptif secara kualitatif mengenai pola konsumsi makanan.

Dengan adaya pengembangan bentuk kuesioner untuk memperkirakan

porsi makanan, metode ini telah menjadi semi-kualitatif (Gibson, 2005).

Metode ini dilakukan dengan menilai frekuensi makanan atau kelompok

makanan tertentu yang dikonsumsi selama periode waktu yang spesifik,

misalnya harian, mingguan, bulanan atau tahunan (Gibson, 1993).


27

Penilaian dengan metode FFQ dilakukan dengan me nggunakan

kuesioner. Kuesioner terdiri atas 2 komponen yaitu daftar makanan dan

satu set jawaban kategori frekuensi konsumsi makanan. Daftar makanan

berisi daftar makanan tertentu atau daftar kelompok makanan, atau

makanan yang dikonsumsi khusus pada waktu-waktu tertentu (Anderson,

1986 dalam Gibson, 1993).

Keuntungan metode ini adalah tingkat respon yang tinggi dan

beban responden rendah, cepat, relatif tidak mahal dan dapat menilai

kebiasaan konsumsi makanan. Selain itu, metode ini juga dapat dilakukan

oleh hasil yang terstandarisasi (howarth, 1990 dalam Gibson, 1993).

Dengan metode ini responden juga dapat melakukannya sendiri tanpa

bantuan dari petugas, petugas yang bertugas tidak membutuhkan latihan

khusus. Metode ini juga dapat membantu untuk menjelaskan hubungan

antara penyakit dan kebiasaan makan (Supariasa, 2001).

Disamping kelebihan-kelebihan diatas, terdapat juga beberapa

kekurangan yaitu metode ini tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi

sehari, sulit untuk emengembangkan kuesioner pengumpula n data. Selain

itu metode ini juga cukup menjemukan bagi pewawancara. Responden

juga harus jujur dan mempunyai motivasi yang tinggi, serta perlu

membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan

makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner (Supariasa, 2001).


28

2.3.3 Estimated Food Record

Pada metode ini, responden diminta untuk mencatat semua jenis

makanan dan minuman, termasuk snack yang dikonsumsi dengan

mengunakan ukuran rumah tangga, selama periode yang telah ditentukan.

Informasi detil mengenai makanan dan minuman yang dikonsumi

(termasuk nama merek), serta metode persiapan dan pengolahan makanan

juga harus dicatata. Jika memungkinkan, pencatatan mengenai bahan

mentah yang digunakan untuk pembuatan makanan, serta hasil akhirnya

(ketika sudah matang) juga dilakukan (Dufour et al, 1999 dalam Gibson,

2005).

Perkiraan ukuran atau porsi makanan dapat dilakukan oleh

responden dengan menggunakan ukuran rumah tangga (misalnya, satu

cangkir, satu sendok makan, satu mangkok dan sebagainya). Jumlah hari

dalam pelaksaan food record bervariasi, tergantung dari tujuan studi yang

dilakukan.

Langkah- langkah pelaksanaan food record yaitu: (1) Responden

mencatat makanan yang dikonsumsi dalam URT atau gram (nama

masakan, cara persiapan dan pemasakan dalam makanan), (2) Petugas

memperkirakan/estimasi URT ke dalam ukuran berat (gram) untuk bahan

makanan yang dikonsumsi tadi, (3) Menganalisis bahan makanan

kedalam zat gizi dengan DKBM, (4) Membandingkannya dengan AKG

(Supariasa, 2001).
29

2.3.4 Dietary History (Riwayat Konsumsi Makanan)

Metode ini bersifat kualitatif karena memberikan gambaran pola

konsumsi berdasarkan pengamatan dalam waktu yang cukup lama, bisa 1

minggu, 1 bulan atau 1 tahun (Supariasa, 2001). Tujuan metode dietary

history atau riwayat konsumsi makanan adalah untuk mendapatkan

informasi retrospektif atas makanan yang biasa dikonsumsi oleh

seseorang dalam periode waktu yang bervariasi. Periode waktu yang

dimaksud dapat mencakup bulan sebelumnya, 6 bulan sebelumnya atau

terkadang bahkan tahun sebelumnya (Challmer et al, 1985 dalam Gibson,

1993). Riwayat konsumsi makanan biasanya dilaksanakan dalam durasi

waktu kurang lebih 1,5-2 jam (Gibson, 1993).

Metode ini terdiri dari tiga komponen, yaitu (1) Wawancara

(termasuk recall 24 hour), yang mengumpulkan data tentang apa saja

yang dimakan responden selama 24 jam terakhir dan mendapatkan

gambaran umum pola asupan makanan, (2) Penggunaan dari sejumlah

bahan makanan dengan memberikan daftar (check list) yang sudah

disiapkan, untuk mengklarifikasi jenis dan jumlah makanan pada recall

24 hour, (3) Pencatatan konsumsi selama 2-3 hari sebagai cek ulang

(Burke, 1947 dalam Supariasa, 2001).

Terdapat keuntungan dan kerugian dalam menggunakan metode

ini. keuntungan metode ini adalah dapat diperolehnya gambaran atau

informasi konsumsi makanan sehari-hari dengan beban respoden yang


30

relatif lebih rendah daripada metode food record. Sedangkan kerugian

dari metode ini yaitu, metode ini sangat bergantung pada ingatan

responden dan kemampuan responden dalam mengingat porsi makana n

dengan benar, sehingga merode ini kurang cocok dipakai untuk usia

dibawah 14 tahun (Cameron and Van Staveren, 1988 dalam Gibson,

1993).

2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita

2.4.1 Pengertian Pe rtumbuhan dan Pe rkembangan

Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah,

ukuran dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan

ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang

dan keseimbangan metabolic (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Menurut

Jelliffe D.B (1989) dalam Supariasa (2001) pertumbuhan adalah peningkatan

secara bertahap dari tubuh, organ dan jaringan dari masa konsepsi sampai remaja.

Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill)

dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur

dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan. Ada pula yang

mendefenisikan bahwa perkembangan adalah penampilan kemampuan (skill)

yang diakibatkan oleh kematangan sistem saraf pusat, khususnya di otak.

Mengukur perkembangan tidak dapat dengan menggunakan antropometri, tetapi

pada anak yang sehat perkembangan searah (parallel) dengan pertumbuhannya.


31

Perkembangan meyangkur adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh,

jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa

sehingga masing- masing dapat memenuhi fungsi didalamnya termasuk pula

perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dangan

lingkungannya.

Pertumbuhan yang optimal sangat dipengaruhi oleh potensi biologisnya.

Tingkat pencapaian fungsi bologis seseorang merupakan hasil interaksi berbagai

faktor yang saling berkaitan yaitu: faktor genetic, lingkungan bio-fisiko-

psikososial, dan perilaku. prose situ sangat kompleks dan unik, dan hasil

akhirnya berbeda-beda dan memberikan ciri pada setiap anak.

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting pada Balita

2.5.1 Asupan Energi

Pemilihan dan konsumsi makanan yang baik akan berpengaruh pada

terpenuhinya kebutuhan gizi sehari- hari untuk menjalankan dan menjaga fungsi

normal tubuh. Sebaliknya, jika makanan yang dipilih dan dikonsumsi tidak

sesuai (baik kualitas maupun kuantitasnya), maka tubuh akan kekurangan zat- zat

gizi esensial tertentu (Almatsier, 2001).

Secara garis besar, fungsi makanan bagi tubuh terbagi menjadi tiga

fungsi,yaitu member energi (zat pembakar), pertumbuhan dan pemeliharaan

jaringan tubuh (zat pembangun), dan mengatur proses tubuh (zat pengatur).

Sebagai sumber energi, karbohidrat, protein dan lemak menghasilkan energi yang

diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas. Ketiga zat gizi ini terdapat dalam
32

jumlah yang paling banyak dalam bahan pangan yang kita konsumsi sehari- hari.

Sebagai zat pengatur, makanan diperlukan tubuh untuk membentuk sel-sel baru,

memelihara dan mengganti sel-sel yang rusak. Zat pembangi tersebut adalah

protein, mineral dan air. Selain sebagai zat pembangun, protein, mineral dan air

juga berfungsi sebagai zat pengatur. Dalam hal ini, protein mengatur

keseimbangan air dalam sel. Protein juga membentuk antibody untuk menjaga

daya tahan tubuh dari infeksi dan bahan-bahan asing yang masuk kedalam tubuh

(Almatsier, 2001).

Langkah awal dalam mengevaluasi kegagalan pertumbuhan yang terjadi

pada anak adalah dengan mengevaluasi kecukupan energi dan nutrisi yang ada

pada makanan yang dikonsumsi. Asupan makanan akan berpengaruh terhadap

status gizi. Status gizi akan optimal jika tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi

yang diperlukan, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik dan otak serta

perkembangan psikomotorik secara optimal (Almatsier, 2001).

Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan umur tidaklah sama,

sehingga asupan yang diperlukan balita usia dua dan empat tahun akan berbeda.

Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh,

aktivitas fisik, dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan

(AKG) energi untuk balita usia 24-47 bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan

AKG balita usia 48-59 bulan adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun

batasan minimal asupan energi per hari adalah 70% dari AKG (Kementerian

Kesehatan, 2010).
33

2.5.2 Asupan Protein

Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki fungsi

esensial lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal (Pipes, 1985). Sebagai

sumber energi, protein menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama

dengan karbohidrat. Protein terdiri atas asam amino esensial dan non-esensial,

yang memiliki fungsi berbeda-beda. Protein mengatur kerja enzim dalam tubuh,

sehingga protein juga berfungsi sebagai zat pengatur. Asam amino ese nsial

merupakan asam amino yang tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh sehingga

harus diperoleh dari makanan (luar tubuh). Asam amino non-sesensial adalah

asam amino yang dapat di produksi sendiri oleh tubuh. Meskipun demikian,

produksi asam amino non-esensial bergantung pada ketersediaan asam amino

esensial dalam tubuh (Almatsier, 2001).

Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah air. Kira-kira sperlima

komposisi tubuh terdiri atas protein dan separuhnya tersebar di otot, sperlima di

tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di kulit dan sisanya terdapat di jaringa lain

dan cairan tubuh. Protein berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim,

hormone, asam nukleat dan molekul- molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein

juga berperan sebagai pemelihara netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk

antibody, mengangkut zat- zat gizi, serta pembentuk ikatan- ikatan esensial tubuh,

misalnya hormone. Oleh karena itu, protein memiliki fungsi yang khas dan tidak

dapat digantikan oleh zat lain (Almatsier, 2001).


34

Anjuran jumlah asupan protein tidak sama untuk tiap tahapan umur.

Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) protein balita us ia 48-59 bulan

adalah 39 gram/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun batasan minimal asupan protei

perhari adalah 80% dari AKG (Kementerian Kesehatan, 2010). Jika asupan

protein tidak mencukupi, maka perumbuhan linear balita akan terhambat

meskipun kebutuhan energinya tercukupi (Pipes, 1985).

2.5.3 Jenis Kelamin

Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi bagi seseorang

sehingga terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis kelamin (Apriadji,

1986). Perbedaan besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena adanya

perbedaan komposisi tubuh antara laki- laki dan perempuan. Perempuan memiliki

lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih sedikit daripada laki- laki.

Secara metabolic, otot lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak, sehingga

secara proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi daipada lemak.

Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan

umur yang sama memiliki komposisis tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan

energi dan gizinya juga akan berbeda (Almatsier, 2001).

Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki- laki

dan perempuan. Pada beberapa kelompok masyarakat, perempuan dan anak

perempuan mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki- laki dan anak

laki- laki dalam pengaturan konsumsi pangan. Hal tersebut mengakibatkan


35

perempuan dan anak perempuan merupakan anggota keluarga yang rentan

terhadap pembagian pangan yang tidak merata. Bahkan, pada beberapa kasus,

mereka memperoleh pangan yang disisakan setelah angota keluarga prima makan

(Soehardjo, 1989).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase gizi kurang pada balita

perempuan lebih tinggi (17,9%) dibandingkan dengan balita laki- laki (13.8%)

(Suyadi, 2009). Penelitian lain menunjukkan bahwa presentasi kejadian stunting

pada balita laki- laki lebih besar daripada kejadian stunting pada perempuan. Hal

ini boleh jadi disebabkan karena balita laki- laki pada umumnya lebih aktif

daripada balita perempuan. Balita laki- laki pada umumnya lebih aktif bermain di

luar rumah, seperti berlarian, sehingga mereka lebih mudah bersentuhan dengan

lingkungan yang kotor dan menghabiskan energi yang lebih banyak, sementara

asupan energinya terbatas (Martianto DKK, 2008).

2.5.4 Berat Lahir

Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan normal.

Disebut dengan berat lahir rendah (BBLR) jika berat lahirnya < 2500 gram

(Kementrian Kesehatan, 2010). Dampak BBLR akan berlangsung antar generasi.

Seorang anak yang mengalami BBLR kelak juga akan mengalami deficit

pertumbuhan (ukuran antropometri yang kurang) di masa dewasanya. Bagi

perempuan yang lahir BBLR, besar risikonya bahwa kelak ia juga akan menjadi

ibu yang stunted sehingga berisiko melahirkan bayi yang BBLR seperti dirinya
36

pula. Bayi yang dilahirkan BBLR tersebut akan kembali menjadi perempuan

dewasa yang juga stunted, dan begitu seterusnya (Semba dan Bloem, 2001).

Di Negara maju, tinggi badan balita sangat dipengaruhi oleh berat lahir.

Mereka yang memiliki berat lahir rendah tumbuh menjadi anak-anak yang lebih

pendek (Binkin NJ, 1988 dalam Huy ND, 2009). Besarnya perbedaan ini adalah

sama pada Negara maju dan berkembang, dengan mereka yang lahir dengan

berat lahir rendah (BBLR) menjdi lebih pendek sekitar 5 cm ketika berusia 17

hingga 19 tahun (Moartorell R, 1998 dalam Huy ND, 2009).

2.5.5 Jumlah Anggota Rumah Tangga

Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di

suatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara

tidak ada. Anggota keluarga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota

keluarga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan

meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap anggota keluarga. Orang

yang telah tinggal di suatu keluarga 6 bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di

suatu keluarga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di keluarga tersebut,

dianggap sebagai anggota keluarga (BPS, 2004).

Berdasarkan kategori BKKBN (1998), keluarga dengan anggota kurang

dari 4 orang termasuk kategori keluarga kecil, yang kemudian dikenal sebagai

Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS). Keluarga dengan anggota

lebih dari 4 orang dikategorikan sebagai keluarga besar. Kesejahteraan anak yang
37

tinggal pada keluarga kecil relatif akan lebih terjamin dibandingkan keluarga

besar, sebaliknya semakin banyak jumlah anggota keluarga pemenuhan

kebutuhan keluarga cenderung lebih sulit, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan

pangan dan gizi keluarga (Hastuti 1989).

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan.

Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar

keluarga dan kurang gizi pada masing- masing keluarga. Jumlah anggota keluarga

yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan

menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata.

Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk

keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian

tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.

Anak yang terlalu banyak selain menyulitkan dalam mengurusnya juga

kurang bisa menciptakan suasana tenang didalam rumah. Lingkungan keluarga

yang selalu ribut akan mempengaruhi ketenangan jiwa, dan ini secara langsung

akan menurunkan nafsu makan anggota keluarga lain yang terlalu peka terhadap

suasana yang kurang mengenakan, dan jika pendapatan keluarga hanya pas-pasan

sedangkan jumlah anggota keluarga banyak maka pemerataan dan kecukupan

makanan didalam keluarga kurang terjamin, maka keluarga ini bisa disebut

keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah tercukupi dengan

demikian penyakitpun terus mengintai (Apriadji, 1996).


38

Rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar berisiko

mengalami kelaparan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang

anggotanya kecil. Selain itu berisiko juga mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali

lebih besar dari keluarga yang mempunyai anggota keluarga kecil (Berg, 1986

dalam Suyadi, 2009).

Balita yang mengalami stunting lebih banyak terdapat pada keluarga

yang jumlah anaknya 3 orang, jika dibandingkan dengan keluarga yang jumlah

anaknya < 3 orang. Meskipun demikian, tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara jumlah anak dengan kejadian stunting pada balita (Neldawati, 2006).

2.5.6 Pendidikan Ibu

Menurut Depdiknas (2001), pendidikan adalah proses pengubahan sikap

dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan

manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi pertumbuhan anak

balita. tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara

pemilihan bahan pangan (Hidayat, 1989 dalam Suyadi, 2009). Orang yang

memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan

yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pe ndidikan

orang tua maka semakin baik juga status gizi anaknya (Soekirman, 1985 dalam

Suyadi, 2009).
39

Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon yang

lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah atau mereka

yang tdak bependidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin

mudah seseorang dalam menerima serta mengambangkan pengetahuan dan

teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan keluarganya

(Hapsari, 2001 dalam Suyadi, 2009).

Wanita atau ibu dengan pendidikan reandah atau tidak berpendidikan

biasanya memiliki lebih banyak anak daripada mereka yang berpendidikan tinggi.

Mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya sulit untuk memahami

dampak negatif dari mempunyai banyak anak (Baliwati, Khomsan, dan Dwiriani,

2004 dalam Hidayah 2010).

Rendahnya pengetahuan dan pendidikan orangtua khususnya ibu,

merupakan faktor penyebab penting terjadinya KEP. Hal ini karena danya kaitan

antara peran ibu dalam mengurus rumah tangga khususnya anak-anaknya.

Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat mempengaruhi tingkat

kemampuan ibu dalam mengelola sumber daya kelurga, untuk mendapatkan

kecukupan bahan makanan yang dibutuhkan serta sejauh mana sarana pelayanan

kesehatan gigi dan sanitasi lingkungan yang tersedia, dimanfatkan dengan

sebaik-baiknya untuk kesehatan keluarga (Depekes, 1997). Selain itu rendahnya

pendidikan ibu dapat menyebabkan rendahnya pemahaman ibu terhadap apa

yang dibutuhkan demi perkembangan optimal anak.


40

Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik

mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga

sulit menerima informasi baru bidang gizi. Tingkat pendidikan ikut menentukan

atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan,

semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima

informasi- informasi gizi. Dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan tercipta

pola kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga dapat mengetahui

kandungan gizi, sanitasi dan pengetahuan yang terkait dengan pola makan

lainnya (Soehardjo,1989).

Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat

terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba RD,

2008 dalam Rahayu, 2011). Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat

pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi dibandingkan

dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah6. Berdasarkan

penelitian Norliani et al., tingkat pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1

dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia sekolah (Norliani,

2005 dalam Rahayu, 2011).

2.5.7 Pendidikan Ayah

Tingkat pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan status ekonomi

rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat kaitannya dengan

perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang lebih besar sehingga akan
41

meningkatkan daya beli rumah tanga untuk mencukupi makanan bagi anggota

keluarganya (Hidayat, 1980 dalam Suyadi 2009).

Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat

terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba RD,

2008 dalam Rahayu, 2011). Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat

pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi dibandingkan

dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah6. Berdasarkan

penelitian Norliani et al., tingkat pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1

dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia sekolah (Norliani,

2005 dalam Rahayu, 2011).

2.5.8 Pekerjaan Ibu

Menurut Djaeni (2000), pekerjaan adalah mata pencaharian apa yang

dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah.

Lamanya seseorang bekerja sehari- hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam)

dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur, dan

lain- lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama

40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan pasal

12 ayat 1 Undang- undang tenaga kerja No. 14 Tahun 1986.

Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum

wanita yang bekerja terutama di sektor swasta. Di satu sisi hal ini berdampak

positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif


42

terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. (Mulyati, 1990 dalam Hermansyah,

2010). Pengaruh ibu yang bekerja terhadap hubungan antara ibu dan anaknya

sebagian besar sangat bergantung pada usia anak dan waktu ibu kapan mulai

bekerja. Ibu- ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang

cukup bagi anak-anak dan keluarga (Hurlock, 1999 dalam Suyadi, 2009).

Dalam keluarga peran ibu sangatlah penting yaitu sebagai pengasuh anak

dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga, juga berperan dalam usaha

perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan anak.

Para ibu yang setelah melahirkan bayinya kemudian langsung bekerja dan harus

meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore akan membuat bayi tersebut tidak

mendapatkan ASI. Sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan

tambahan tidak dilakukan dengan semestinya. Hal ini menyebabkan asupan gizi

pada bayinya menjadi buruk dan bisa berdampak pada status gizi bayinya

(Pudjiadi, 2000 dalam Suyadi, 2009).

2.5.9 Pekerjaan Ayah

Menurut Djaeni (2000), pekerjaan adalah mata pencaharian apa yang

dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah.

Lamanya seseorang bekerja sehari- hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam)

dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur, dan

lain- lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama
43

40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan pasal

12 ayat 1 Undang- undang tenaga kerja No. 14 Tahun 1986.

Penelitian Hatril (2001) menunjukkan kecenderungan bahwa ayah yang

bekerja dalam kategori swasta mempunyai pola konsumsi makanan keluarga

yang lebih baik dibandingkan dengan ayah yang bekerja sebagai buruh. Hasil uji

statistiknya pun menunjukkan hubungan yang bermakna antara keduanya. Begitu

pula dengan penelitian Alibbirwin (2002) menemukan hubungan yang bermakna

antara pekerjaan ayah dengan status gizi balita. dikatakan banwa ayah yang

ekerja sebagai buruh memiliki risiko lebih besar mempunyai balita kurang gizi

dibandingkan dengan baliya yang ayahnya bekerja wiraswasta.

Proporsi ayah yang bekerja dalam kategori PNS/Swasta cenderung

mempunyai status gizi baik dibandingkan ayah dengan pekerjaan lainnya

(Sukmadewi, 2003 dalam Suyadi, 2009). Hal ini di dukung oleh penelitian Sihadi

(1999) dalam Suyadi (2009) yang menyatakan bahwa ayah yang bekerja sebagai

buruh memiliki balita dengan proporsi status gizi buruk terbesar yaitu sebesar

53%.

2.5. 10 Wilayah Tempat Tinggal

Definisi perkotaan adalah suatu tempat dengan 1) kepadatan

penduduknya lebih dibandingkan dengan kondisi pada umumnya, 2) mata

pencaharian utama penduduknya bukan merupakan aktifitas ekonomi

primer/pertanian, dan 3) tempatnya merupakan pusat budaya, administrasi atau


44

pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya (Daldjoeni, 2003 dalam Humyrah

2009 dan Ratih 2011). Menurut Komsiah (2007), wilayah pedesaan ditandai

dengan sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di bidang

pertanian.

Menurut Depkes (2008), tempat tinggal adalah lokasi rumah seseorang

yang dibedakan menjadi perkotaan dan pedesaan. Untuk menentukan suatu

kelurahan termasuk daerah perkotaan atau pedesaan, digunakan suatu indikator

komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada variabel,

yaitu: kepadatan penduduk, presentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas

umum (BPS, 2007).

Letak suatu tempat dapat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi

individu. Sebagai contoh, seorang petani yang tinggal di desa dan dekat dengan

areal pertanian akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan makanan segar dan

alami, seperti buah dan sayur. Namun, seseorang yang tinggal di daerah

perkotaan akan lebih sedikit akses untuk mendapatkan bahan makanan segar

tersebut karena di daerah perkotaan lebih banyak tersedia berbagai makanan

cepat saji. Walaupun tidak menutup kemungkinan, terdapar penduduk perkotaan

yang mengkonsumsi buah dan sayur (suhardjo, 2006).

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan provinsi yang memiliki

prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan pada tahun 1999-2002

yaitu mencapai 48.2%. Pada tahun 2000 dan 2001 untuk wilayah perkotaan,
45

Makasar merupakan kota dengan prevalensi stunting tertinggi, masing masing

mencapai 43,1% dan 42,6% (Atmarita, 2004).

2.5.11 Status Ekonomi Keluarga

Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima rumah tangga dapat

menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Namun demikian, data

pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga dilakukan pendekatan melalui

pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga dapat dibedakan

menurut pengeluaran makanan dan bukan makanan, dimana menggambarkan

bagaimana penduduk mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Pengeluaran

untuk konsumsi makanan dan bukan makanan berkaitan erat dengan tingkat

pendapatan masyarakat. Di Negara yang sedang berkembang, pemenuhan

kebutuhan makanan masih menjadi prioritas utama, dikarenakan untuk

memenuhi kebutuhan gizi.

Masalah gizi merupakan masalah yang multidimensional karena

dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Faktor ekonomi (Pendapatan)

misalnya, akan terkait dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi

kebutuhan pangannya sehingga akan terkait pula dengan status gizi secara tidak

langsung (Soehardjo, 1989). Setidaknya, keluarga dengan pendapatan yang

minim akan kurang menjamin ketersediaan jumlah dan keanekaragaman

makanan, skarena dengan uang yang terbatas itu biasanya keluarga tersebut tidak

dapat mempunyai banyak pilihan (Apriadji, 1986).


46

Hartoyo et al. (2000) mengatakan bahwa keluarga terutama ibu dengan

pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan

memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi

seperti posyandu, Bina Keluarga Balita dan Puskesmas. Oleh karena itu, mereka

memiliki risiko yang lebih tinggi untuk memiliki anak yang kurang gizi. Akan

tetapi, pada keluarga dengan ekonomi lebih tinggi, tingginya pendapatan tidak

menjamin bahwa makanan yang dikonsumsi keluarga lebih baik dan beragam.

Jumlah pengeluaran yang lebih banyak untuk makanan tidak menjamin bahwa

kualitas makanan yang dikonsumsi lebih baik dan lebih beragam. Terkadang

perbedaannya terletak pada harga makanan yang lebih mahal (Soehardjo, 1989).

Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah

mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada anak-anak

dari keluarga dengan status ekonomi lebih baik. Dengan demikian, mereka pun

mengkonsumsi energi dan zat gizi dalam jumlah yang lebih lebih sedkit. Studi

mengenai ststus gizi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang kurang

mampu memiliki berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan

anak-anak yang ekonominya baik. Dalam hasil studi, ditemukan bahwa

perbedaan tinggi badan lebih besar daripada perbedaan berat badan. Studi juga

menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup di daerah yang mengalami

kekurangan suplai makanan memiliki tinggi badan yang lebih rendah daripada

mereka yang tinggal di daerah yang memiliki suplai makanan cukup (Pipes,1985).
47

2.6 Kerangka Teori

Berdasarkan uraian teori tersebut diatas, banyak fakto r yang mempengaruhi

stunting pada balita baik secara langsung maupun tidak langsung, maka kerangka teori

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

Stunting

Asupan Makanan Status Infeksi BBLR

Ketersediaan dan Pola Pola Asuh Pelayanan Kesehatan dan


Konsumsi Rumah Tangga Kesehatan Lingkungan

Daya Beli, Akses Pangan, Akses Informasi, Akses Pelayanan, Jenis Kelamin, Jumlah Anggota
Wilayah Tempat Tinggal, Status Kerja Ibu Keluarga, Jarak Kelahiran

Kemiskinan, Ketahanan Pangan dan Gizi, Pendidikan,


Kesehatan, Kependudukan, Status Kerja Ayah

Pembangunan Ekonomi, Sosial,dan Politik

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Sumber: Modifikasi UNICEF (1990), United Nation ACC/SCN & IFPRI (2000), World
Bank (2007), Mbuya et al. (2010), dan Anisa (2012).
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan pedoman untuk penelitian dan menunjukkan

hubungan antara variabel independen dan dependen, dimana masing- masing variabel

tersebut sudah dapat dioperasionalkan dan diukur oleh peneliti. Beberapa faktor yang

dapat memepengaruhi stunting dapat dilihat pada kerangka teori yang terdapat pada Bab

II.

Variabel independen yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu asupan energi

balita, asupan protein balita, jenis kelamin, berat lahir balita, jumlah anggota rumah

tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat

tinggal balita dan status ekonomi keluarga. Sedangkan variabel dependennya adalah

kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Dari kerangka teori yang telah disebutkan ada beberapa variabel yang tidak

dimasukkan kedalam kerangka konsep. Variabel-variabel tersebut adalah status infeksi,

pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Variabel status infeksi tidak

dimasukkan kedalam kerangka konsep karena dalam Riskesdas 2010 ini faktor infeksi

yang diteliti yaitu infeksi malaria. Infeksi malaria kurang terlalu berpengaruh langsung

terhadap kejadian stunting. Namun untuk menghindari terjadinya bias, maka dalam

penelitian ini dilakukan kriteria eksklusi. Subjek sampel yang pernah mengalami malaria

dalam satu tahun terakhir tidak dimasukkan kedalam penelitian.

Variabel pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan tidak dimasukkan

karena berdasarkan data Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2010

48
49

pelayanan dan fasilitas kesehatan dan kesehatan lingkungan di Provinsi NTB sudah

tergolong cukup baik.

Kerangka Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah stunting pada

balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat berdasarkan variabel- variabel

berikut ini:

Asupan Energi

Asupan Protein

Jenis Kelamin

Berat Lahir

Jumlah Anggota Rumah Tangga


Status Stunting
Pendidikan Ibu

Pendidikan Ayah

Pekerjaan Ibu

Pekerjaan Ayah

Wilayah Tempat Tinggal

Status Ekonomi Keluarga

Bagan 3.1 Kerangka Konsep


50

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1: Definisi Ope rasional

Definisi operasional

No Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala ukur
Operasional
1. Stunting Tinggi balita Dihitung Kuesioner: 0 = stunting, Ordinal
pada balita menurut umur dengan RKD 10. gabungan
(TB/U) kurang mengunakan IND TP/PB: antara
dari -2 SD WHO Anthro Blok X, 2b stunting dan
sehingga lebih Umur: Blok sever stunting
pendek 1V, Kolom 7 (< -2SD
daripada tinggi HAZ)
yang 1= normal
seharusnya. ( > -2 SD
Stunting dan HAZ)
severe stunting
di gabung
dalam kategori
stunting.
2. Asupan Konsumsi Berdasarkan Kuisioner: 0 = Redah, Ordinal
Energi energi total data pada RKD10, jika < 70%
dalam kuesioner. IND, Blok AKG
kkal/hari, Data diperoleh IX 1= Cukup,
kemudian melalui 24- Jika 70%
dibandingkan hour recall. AKG
dengan Angka
Kecukupan
Gizi (AKG)
yang
dianjurkan.
3. Asupan Konsumsi Berdasarkan Kuisioner: 0 = Rendah, ordinal
Protein protein dalam data pada RKD 10. jika < 80%
gram/hari, kuesioner. IND, Blok AKG
kemudian Data diperoleh IX 1 = Cukup,
dibandingkan melalui 24- Jika 80%
dengan Angka hour recall. AKG
kecukupan
Gizi (AKG)
yang
dianjurkan.
4. Berat Lahir Berat badan Berdasarkan Kuesioner: 0 = BBLR ordinal
51

balita pada saat pada data RKD 10.RT, jika BB


dilahirkan kuesioner Blok VIII, <2500 gram
yang diukur Ea05 1 = Normal
menggunakan jika BB
tinbangan 2500 gram
5. Jenis Jenis kelamin Berdasarkan Kuesioner: 0= Nominal
Kelamin belita data pada RKD 10.RT, Perempuan
Balita kuesioner Blok IV 1 = Laki- laki
Kolom 4
6. Pendidikan Tingkat Berdasarkan Kuesioner: 0 = Rendah, Ordinal
Ibu pendidikan data pada RKD10. RT, jika tamat
tertinggi yang kuesioner Blok IV SLTP ke
pernah dicapai Kolom 8 kebawah
ibu balita 1 = Tinggi,
jika tamat
SLTA ke atas
7. Pendidikan Tingkat Berdasarkan Kuesioner: 0 = Rendah, Ordinal
Ayah pendidikan data pada RKD10. RT, jika tamat
tertinggi yang kuesioner Blok IV SLTP ke
pernah dicapai Kolom 8 kebawah
ayah balita 1 = Tinggi,
jika tamat
SLTA ke atas
8. Pekerjaan Pekerjaan yang Berdasarkan Kuesioner: 0 = Bekerja Ordinal
Ibu menggunakan data pada RKD10. RT, 1 = Tidak
waktu kuesioner Blok IV Bekerja
terbanyak Kolom 9
responden,
atau pekerjaan
yang
memberikan
penghasilan
terbesar
9. Pekerjaan Pekerjaan yang Berdasarkan Kuesioner: 0 = Tidak Ordinal
Ayah menggunakan data pada RKD10. RT, bekerja
waktu kuesioner Blok IV 1 = Bekerja
terbanyak Kolom 9
responden,
atau pekerjaan
yang
memberikan
penghasilan
terbesar
10 Status Gambaran Berdasarkan Kuesioner: 0 = Rendah, Ordinal
52

Ekonomi staus ekonomi data pada RKD10.RT, jika kuintil 1,


Keluarga keluarga balita kuesioner, Blok VIIB 2, dan 3
yang diukur melalui 1 = Tinggi,
dikelompokkan jumlah jika termasuk
berdasarkan pengeluaran kuintil 4 dan
jumlah per kapita per 5
pengeluaran hari
per kapita per
hari
11 Jumlah Jumlah Berdasarkan Kuesioner: 0 = Besar : > Ordinal
Anggota anggota dalam data pada RKD10. RT, 4 orang
Rumah 1 rumah tangga kuesioner Blok IV 1 = Kecil: <
Tangga Kolom 2 4 orang
12 Wilayah Daerah Berdasarkan Kuisioner: 0= Pedesaan Nominal
Tempat kediaman data pada RKD.10.RT 1 = Perkotaan
Tinggal balita dan kuisioner
keluarga
selama ini
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross

sectional. Pengumpulan data dan informasi serta pengukuran antara variabel independen

dan dependen dilakukan pada waktu yang sama. Desain studi cross sectional ini cocok

digunakan untuk menganalisis subjek penelitian dalam jumlah besar karena mudah

dilaksanakan, sederhana, ekonomis dalam hal waktu dan hasilnya dapat diperoleh

dengan cepat (Notoatmodjo, 2005).

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari hasil Riskesdas

2010 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI bagian Jaringan Informasi dan

Publikasi Penelitian (JIPP) di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Data Riskesdas yang

digunakan untuk melakukan penelitian ini diperoleh dari Badan Litbankes Kementrian

Kesehatan RI pada bulan Oktober 2012 dengan cara mengirimkan proposal penelitan

kepada pihak Litbakes Kementrian Kesehatan RI. Setelah memperoleh data yang

diperlukan kemudian dilakukan cleaning data. Kemudian pengolahan data dilakukan

pada bulan Maret 2013 dan hasil pengolahan data tersebut dipresentasikan pada seminar

proposal skripsi pada bulan April 2013.

53
54

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah balita di Propinsi

Nusa Tengga Barat Tahun 2010, yaitu sebanyak 496.994 orang (BPS,

2010). Adapun sampel dari penelitian ini adalah balita usia 24-59 bulan

yang berada di daerah perkotaan dan pedesaan Provinsi Nusa Tenggara

Barat.

4.3.2 Sampel

Sampel Riskesdas 2010 diambil dari Kabupaten/Kota yang

tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Populasi dalam Riskesdas 2010

adalah seluruh rumah tangga di seluruh wilayah Indonesia. Dari setiap

Kabupaten/Kota yang masuk dalam kerangka sampel Kabupaten/Kota

diambil sejumah blok sensus pada proporsional terhadap jumlah rumah

tangga di Kabupaten/Kota tersebut.

Jumlah data yang tersedia untuk balita usia 24-59 bulan di

Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah sebanyak 579 individu. Dan

setelah dilakukan proses cleaning data menjadi 338 individu.

Berdasarkan kerangka teori, faktor infeksi juga mempengaruhi

terjadinya kejadian stunting. Dalam penelitian Riskesdas 2010 ini, faktor

infeksi yang di teliti yaitu infeksi malaria. Dan untuk menghindari

terjadinya bias, maka dilakukan kriteria eksklusi. Sampel yang pernah


55

mengalami infeksi malaria dalam satu tahun terakhir di keluarkan dari

penelitian ini.

Untuk kepentingan analisis penelitian, perhitungan sampel

minimal yang digunakan yaitu estimasi proporsi dengan presisi relatif

(Ariawan, 1998) sebagai berikut:

n = Z2 1-/2 (1-P)

2 P

Keterangan : n = Jumlah sampel penelitian

P = Proporsi balita stunting; P = 0, 753 (Wiyogowati, 2012)

Z1-/2 = Derajat kemaknaan

= Presisi relatif

Karena penelitian ini menggunakan data sekunder, sample yang

digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan jumlah data yang

tersedia. Setelah melakukan proses cleaning data, data yang dapat

digunakan untuk penelitian ini adalah 338 individu. Dengan

menggunakan perhitungan rumus diatas, maka didapatkan nilai yang

digunakan untuk mendapatkan jumlah sampel 338 adalah 10%, dan nilai

adalah 5% (0.05).
56

4.4 Pengumpulan Data

4.4.1 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder

Riskesdas 2010, diperoleh dalam bentuk electronic file. Data yang di

peroleh dan dianalisis yaitu data asupan energi, asupan protein, jenis

kelamin balita berat lahir, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu,

pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal,

status ekonomi keluarga,. Pengumpulan data Riskesdas 2010 dilakukan

pada tahun 2010 di setiap blok sampel (BS) yang telah di tentukan.

4.4.2 Instrument Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner

Riskesdas yang digunakan untuk mengumpulkan data gambaran faktor-

faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa

Teggara Barat Tahun 2010. Dalam penelitian ini variabel indipenden

meliputi variabel data konsumsi energi, konsumsi protein, berat lahir,

jumlah anggota keluarga, jenis kelamin, tingkat pendidikan ibu, tingkat

pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal

dan status ekonomi keluarga. Adapun daftar variabel dan keterangan

kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1

berikut.
57

Tabel 4.1
Daftar variabel dan kuisioner dalam riskesdas 2010

No Variabel Keterangan kuisioner

1. Asupan energi Kuesioner RKD10 ZP

2. Asupan protein Kuesioner RKD10 ZC

3. Berat lahir Kuesioner RKD10 B10A1B

4. Jenis kelamin balita Kuesioner RKD10 B4K4

5. Pendidikan ibu Kuesioner RKD10 B4K8 (ibu)

6. Pendidikan ayah Kuisioner RKD10 B4k8 (ayah)

7. Status bekerja ibu Kuisioner RKD10 B4K9 (ibu)

8. Status bekerja Ayah Kuisioner RKD10 B4K9 (ayah)

9. Tingkat ekonomi keluarga Kuisioner RKD10 B7.B. K25

10. Jumlah anggota keluarga Kuesioner RKD10 B2R2

11. Wilayah Tempat Tinggal Kuesioner RKD10 B1R5

Sumber : Depkes RI, 2011

Keterangan:
B= Blok K= Kolom H=Kode Kuisioner Anggota Rumah Tangga

4.4.3 Asupan Energi dan Protein

Pada Riskesdas 2010, Asupan energi dan protein diperoleh dari recall 24 jam

sebelum dilakukan wawancara. Asupan energi dan protein dibandingkan dengan

Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004. Asupan dikategorikan kurang jika energi
58

<70% AKG dan protein <80% AKG dan cukup jika energi > 70% AKG dan

protein >80% AKG (WKNPG, 2004).

4.4.4 Berat Lahir

Pada Riskesdas 2010, berat lahir diperoleh dari hasil wawancara kepada

orang tua balita apakah balita tersebut ditimbang ketika baru lahir atau tidak.

Jika ya, maka ditanyakan berapa berat badan balita tersebut ketika lahir.

4.4.5 Jenis Kelamin Balita

Data variabel jenis kelamin balita diperoleh dengan melakukan

wawancara kepada orangtua balita.

4.4.6 Pendidikan Ayah dan Ibu (Orang Tua)

Pada Riskedas 2010, pendidikan orang tua, yaitu ayah dan ibu ditanyakan

kepada orang tua balita yaitu sampai saat Riskesdas dilakukan. Jawaban

responden diisi sesuai dengan kode jawaban, yaitu:

Tabel 4.2
Kode Variabel Pendidikan dalam Riskesdas 2010
Kode Keterangan
1 Tidak pernah sekolah, termasuk di dalamnya adalah yang belum
sekolah karena belum mencapai usia sekolah.
2 Tidak tamat SD, termasuk tidak tamat Madrasah Ibtidaiyah (MI).
3 Tamat SD, termasuk tamat Madrasah Ibtidaiyah/ Paket A dan
tidak tamat SLTP/ MTs.
4 Tamat SLTP, termasuk tamat Madrasah Tsanawiyah (MTs)/ Paket
B dan tidak tamat SLTA/ MA.
5 Tamat SLTA, termasuk tamat Madrasah Aliyah (MA)/ Paket C.
6 Tamat D1, D2, D3
59

7 Tamat Perguruan Tinggi, termasuk tamat Strata-1, Strata-2 dan


Strata-3.
Sumber: Depkes, 2010

4.4.7 Status Bekerja Ayah dan Ibu (Orang Tua)

Pada Riskesdas 2010, variabel pekerjaan ditanyakan kepada ibu dan ayah

balita yaitu dengan menanyakan pekerjaan utama responden, yaitu adalah

pekerjaan yang menggunakan waktu terbanyak responden atau pekerjaan yang

memberikan penghasilan terbesar. Setelah itu, jawaban responden diisi sesuai

dengan kode jawaban, yaitu:

Tabel 4.3
Kode Variabel Pekerjaan dalam Riskesdas 2010
Kode Keterangan
1 Tidak bekerja, termasuk sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan
suatu usaha, atau sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
2 Sekolah, yaitu kegiatan bersekolah di sekolah formal baik pada
pendidikan dasar, pendidikan menengah atau pendidikan tinggi yang
di bawah pengawasan Depdiknas, Departemen lain maupun swasta.
3 TNI/Polri, bekerja di pemerintahan sebagai angkatan darat, angkatan laut,
angkatan udara dan kepolisian.
4 Pegawai Negeri Sipil (PNS), bekerja di pemerintahan sebagai
pegawai negeri sipil.
Pegawai swasta yaitu pekerja yang bekerja pada perusahaan swasta.
5 Wiraswasta/pedagang, yaitu orang yang melakukan usaha dengan
modal sendiri atau berdagang baik sebagai pedagang besar atau eceran.
Pelayanan jasa, orang yang bekerja secara mandiri dan mendapatkan imbalan
atas pekerjaannya. Misalnya jasa transportasi seperti sopir taksi, ojek.
6 Petani, yaitu pemilik atau pengolah lahan pertanian, perkebunan
yang diolah sendiri atau dibantu oleh buruh tani.
7 Nelayan, orang yang melakukan penangkapan dan atau pengumpulan
hasil laut (misalnya ikan).
8 Buruh, yaitu pekerja yang mendapat upah dalam mengolah
pekerjaan orang lain (buruh tani, buruh bangunan, buruh angkat
angkut, buruh pekerja).
9 Lainnya, apabila tidak termasuk dalam kode 1 s.d 8
Sumber: Depkes, 2010
60

4.4.8 Tingkat Ekonomi Keluarga

Pada Riskesdas (2010), Tingkat ekonomi keluarga ditentukan

berdasarkan pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pengeluaran pangan dan

non pangan dalam rumah tangga digolongkan menjadi beberapa tingkatan berupa

5 kuintil yang telah ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik Nasional.

4.4.9 Jumlah Anggota Keluarga

Pada Riskesdas 2010 jumlah anggota keluarga dihitung berdasarkan

banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART) yang bertempat tinggal di rumah

tangga (RT) tersebut, baik yang berada di rumah tangga pada waktu pencacahan

maupun sementara tidak ada (termasuk kepala rumah tangga). ART yang telah

bepergian 6 bulan atau lebih, dan ART yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi

dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah tangga 6 bulan atau lebih tidak

termasuk sebagai ART. Orang yang telah tinggal di rumah tangga 6 bulan atau

lebih atau yang telah tinggal di rumah tangga kurang dari 6 bulan tetapi berniat

tinggal di rumah tangga tersebut 6 bulan atau lebih termasuk sebagai ART.

Pembantu rumah tangga, sopir, tukang kebun yang tinggal dan makan di rumah

majikannya dianggap sebagai ART majikannya.

Pada penelitian ini data variabel jumlah anggota keluarga dikategorikan

menjadi dua yaitu keluarga besar (> 4 orang) dan keluarga kecil (< 4 orang)

(BKKBN, 1998 dalam Hastuti, 2010).


61

4.4.10 Wilayah Tempat Tinggal

Pada Riskesdas 2010 variabel wilayah tempat tinggal ditentukan

berdasarkan wilayah tempat tinggal sampel pada saat Riskesdas dilakukan.

4.5 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan menggunakan program komputerisasi statistik dengan

melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

4.5.1 Pembersihan Data (Data Cleaning)

Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali

data yang sudah dimasukkan apakah ada kesalahan atau tidak (Najmah,

2011).

Setelah menerima data berupa SPSS dari Puslitbangkes, kemudian

dilakukan pengecekan kelengkapan data untuk melihat ada tidaknya data

yang missing. Ternyata setelah dilakukan proses cleaning data, banyak data

yang diperlukan untuk penelitian ini yang missing. Dari 579 data yang

tersedia, 241 diantaranya missing. Sehingga data yang tidak lengkap atau

missing tersebut tidak digunakan sebagai sample dalam penelitian ini.

4.5.2 Transformasi Data/Recode

Setelah dilakukan pembersihan data, maka dilakukan transformasi data

berupa pengkodean ulang/recode terhadap variabel sesuai dengan kebutuhan


62

penelitian. Hal ini bertujuan untuk mengklasifikasikan data yang diperoleh

sesuai dengan tujuan penelitian.

4.6 Analisis Data

4.6.1 Analisis Deskriptif (Univariat)

Pada penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis univariat.

Analisis ini digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi

masing- masing variabel penelitian yaitu variabel asupan energi, asupan

protein, berat lahir, jumlah anggota keluarga, jenis kelamin, tingkat

pendidikan ibu, tingkat pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah,

wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga. Kemudian data tersebut

diolah secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel

frekuensi untuk menentukan jumlah dan presentase masing- masing variabel.


BAB V
HASIL

5.1 Analisis Univariat

Pada analisis univariat ini ditampilkan distribusi frekuensi dari masing-

masing variabel yang diteliti, baik variabel dependen maupun independen.

Selanjutnya hasil analisis univariat akan dijelaskan pada sub-bab berikut ini:

5.1.1 Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di


Provinsi Nusa Tenggara Barat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan sebaran

kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara

Barat adalah sebagai berikut:

Grafik 5.1
Gambaran Ke jadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa balita usia 24-59

bulan di provinsi NTB yang mengalami stunting adalah sebanyak 56.36%.

63
64

Dengan kata lain, di Provinsi NTB balita usia 24-59 bulan yang

mengalami stunting lebih banyak daripada balita normal.

5.1.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24 -59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan sebaran asupan

energi pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat

adalah sebagai berikut:

Grafik 5.2
Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Berdasarkan grafik diatas, jumlah balita yang memiliki asupan

energi rendah atau dibawah AKG di Provinsi NTB adalah sebesar 58.22%.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa di Provinsi NTB masih banyak balita

yang kurang asupan energinya, yaitu lebih dari 50% balita.

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia

24-59 bulan di Provinsi NTB dengan asupan energi rendah dan

mengalami stunting sebesar 55.3%. Sedangkan balita dengan asupan


65

energi cukup dan mengalami stunting sebesar 57.84%. Persentase tersebut

dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5.1
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Asupan Energi
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Status stunting
Asupan
Stunting Normal Total
energi
N % N % N %

Rendah 108 55.3 88 44.7 196 100

Cukup 82 57.84 60 42.16 142 100

5.1.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan sebaran asupan

protein pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat

adalah sebagai berikut:


66

Grafik 5.3
Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa balita yang

memiliki asupan protein cukup di Provinsi NTB yaitu sebesar 51.70%.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa asupan protein pada balita di Provinsi

NTB sudah cukup baik karena jumlah balita yang memiliki asupan

protein yang cukup lebih dari 50%.

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-

59 bulan di Provinsi NTB dengan asupan protein rendah dan mengalami

stunting sebesar 60.2%. Sedangkan balita dengan asupan protein cukup

dan mengalami stunting sebesar 52.77%. Persentase tersebut dapat dilihat

dalam tabel berikut ini:


67

Tabel 5.2
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Asupan Protein
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Status stunting
Asupan
Stunting Normal Total
Protein
N % N % N %

Rendah 98 60.2 65 39.8 163 100

Cukup 92 52.77 83 47.23 175 100

5.1.4 Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran balita usia 24-59

bulan berdasarkan jenis kelamin di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:

Grafik 5.4
Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa jumlah balita

perempuan di Provinsi NTB yaitu sebanyak 51.59% dan jumlah balita


68

laki- laki adalah 48.40%. Maka dapat disimpulkan bahwa jumlah balita

perempuan usia 24-59 bulan di Provinsi NTB lebih banyak daripada

jumlah balita laki- laki.

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-

59 bulan di Provinsi NTB yang berjenis kelamin perempuan dan

mengalami stunting sebanyak 56.63%. Sedangkan balita laki- laki dan

mengalami stunting sebanyak 56.08%. Persentase tersebut dapat dilihat

dalam tabel berikut ini:

Tabel 5.3
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Jenis Kelamin
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Jenis Status stunting

Kelamin Stunting Normal Total

Balita N % N % N %

Perempuan 98 56.63 76 43.37 174 100

Laki- laki 92 56.08 72 43.92 164 100

5.1.5 Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
Berdasarkan penilitian yang dilakukan sebaran balita usia 24-59

bulan di Provinsi NTB berdasarkan berat lahir adalah sebagai berikut:


69

Grafik 5.5
Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa hanya sedikit

balita yang lahir dalam keadaan BBLR, yaitu sebesar 8.62%. Hal ini

dapat disimpulkan bahwa kejadian BBLR di Provinsi NTB kecil, karena

lebih dari 90% balita disana lahir dengan berat badan yang normal atau

lebih dari 2500 gram.

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-

59 bulan di Provinsi NTB dengan BBLR dan mengalami stunting sebesar

51.63%. Sedangkan balita dengan berat badan lahir normal dan

mengalami stunting sebesar 56.81%. Persentase tersebut dapat dilihat

dalam tabel berikut ini:


70

Tabel 5.4
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Berat Lahir
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Status stunting
Berat Lahir
Stunting Normal Total
Balita
N % N % N %

BBLR 15 51.63 14 48.37 29 100

Normal 175 56.81 134 43.19 309 100

5.1.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Balita Usia 24 -59 Bulan di


Provinsi Nusa Tenggara Barat

Berdasarkan penilitian yang dilakukan sebaran jumlah anggota

keluarga balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:

Grafik 5.6
Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Berdasarkan grafik diatas balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB

yang memiliki jumlah anggota keluarga besar (> 4 orang dalam satu

keluarga) adalah sebesar 72.06%. Dengan kata lain, dapat disimpulkan


71

bahwa sebagian besar penduduk di Provinsi NTB merupakan keluarga

besar yang memiliki lebih dari samadengan 4 orang dalam satu keluarga.

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-

59 bulan di Provinsi NTB yang memiliki kelurga dengan jumlah besar

dan mengalami stunting sebesar 53.24%. Sedangkan balita dengan

kelurga yang berjumlah sedikit (kecil) dan mengalami stunting sebesar

64.40%. Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5.5
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Jumlah Status stunting

Anggota Stunting Normal Total

Keluarga N % N % N %

Besar 129 53.24 114 46.76 243 100

Kecil 61 64.4 34 35.6 95 100

5.1.7 Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran pendidikan ibu

dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
72

Grafik 5.7
Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa ibu dari balita

usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang berpendidikan rendah yaitu

sebesar 66.86%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ibu dari

balita di Provinsi NTB masih berpendidikan rendah.

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-

59 bulan di Provinsi NTB dengan pendidikan ibu rendah dan mengalami

stunting sebesar 60.64%. Sedangkan balita dengan ibu berpendidikan

tinggi dan mengalami stunting sebesar 47.73%. Persentase tersebut dapat

dilihat pada tabel berikut:


73

Tabel 5.6
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Pendidikan Ibu
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Status stunting
Pendidikan
Stunting Normal Total
Ibu
N % N % N %

Rendah 136 60.64 89 39.36 225 100

Tinggi 54 47.73 59 52.27 113 100

5.1.8 Gambaran Pendidikan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi


Nusa Tenggara Barat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran pendidikan Ayah

dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:

Grafik 5.8
Gambaran Pendidikan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa ayah dari balita

usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang berpendidikan rendah yaitu


74

sebesar 71.51%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ayah

dari balita di Provinsi NTB masih berpendidikan rendah.

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-

59 bulan di Provinsi NTB yang memiliki ayah berpendidikan rendah dan

mengalami stunting sebesar 58.7%. Sedangkan balita yang memiliki ayah

berpendidikan tinggi dan mengalami stunting sebesar 50.84%. Persentase

tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.7
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Pendidikan Ayah
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Status stunting
Pendidikan
Stunting Normal Total
Ayah
N % N % N %

Rendah 141 58.7 100 41.3 241 100

Tinggi 49 50.48 48 49.52 97 100

5.1.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran pekerjaan ibu dari

balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:


75

Grafik 5.9
Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa jumlah ibu dari

balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang tidak bekerja sebanyak

66.8%. Maka dapat disimpulkan bahwa jumlah ibu balita usia 24-59

bulan di Provinsi NTB yang tidak bekerja lebih banyak dari pada yang

bekerja, yaitu lebih dari 60% ibu.

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-

59 bulan di Provinsi NTB yang memiliki ibu bekerja dan mengalami

stunting sebesar 60.37%. Sedangkan balita yang memiliki ibu tidak

bekerja dan mengalami stunting sebesar 54.70%. Persentase tersebut

dapat dilihat dalam tabel berikut ini:


76

Tabel 5.8
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Pekerjaan Ibu
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Status stunting
Pekerjaan
Stunting Normal Total
Ibu
N % N % N %

Bekerja 68 60.37 45 39.63 113 100

Tidak 122 54.37 103 45.63 225 100

Bekerja

5.1.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran pekerjaan ayah

dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:

Grafik 5.10
Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
77

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa jumlah ayah dari

balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang bekerja sebesar 97.03%.

Maka dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh ayah dari balita usia 24-

59 bulan di Provinsi NTB bekerja.

Berdasarkan hasil statistik diketahui jumlah balita usia 24-59

bulan di Provinsi NTB yang memiliki ayah tidak bekerja dan mengalami

stunting sebesar 50.43%. Sedangkan balita yang memiliki ayah bekerja

dan mengalami stunting sebesar 56.54%. Persentase tersebut dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 5.9
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Pekerjaan Ayah
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Kejadian stunting
Pekerjaan
Stunting Normal Total
Ayah
N % N % N %

Tidak Bekerja 5 50.43 5 49.57 10 100

Bekerja 185 56.54 143 43.46 328 100

5.1.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Balita Usia 24-59 Bulan di


Provinsi Nusa Tenggara Barat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran wilayah tempat

tinggal dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai

berikut:
78

Grafik 5.11
Gambaran Wilayah Te mpat Tinggal Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa balita usia 24-

59 bulan di Provinsi NTB yang tinggal di daerah pedesaan sebesar

58.22%. Maka dapat disimpulkan bahwa balita yang tinggal di daerah

pedesaan lebih banyak daripada yang tinggal di daerah perkotaan.

Berdasarkan hasil statistik diketahui jumlah balita usia 24-59

bulan di Provinsi NTB yang tinggal di desa dan mengalami stunting

sebesar 58.85%. Sedangkan balita yang tinggal di kota dan mengalami

stunting sebesar 52.6%. Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel

berikut:
79

Tabel 5.10
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Wilayah Te mpat Tinggal
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Wilayah Status stunting

Tempat Stunting Normal Total

Tinggal N % N % N %

Desa 117 58.85 82 41.15 199 100

Kota 73 52.6 66 47.4 139 100

5.1.12 Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di


Provinsi Nusa Tenggara Barat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran status ekonomi

dari keluarga balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai

berikut:

Grafik 5.12
Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
80

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa 82.46% keluarga

dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB merupakan keluarga

berstatus ekonomi rendah. Dengan kata lain, sebagian besar keluarga

balita merupakan kelompok masyarakat yang kurang mampu.

Berdasarkan hasil uji statistik diketahui jumlah balita usia 24-59

bulan di Provinsi NTB dengan status ekonomi keluarga rendah dan

mengalami stunting sebesar 60.19%. Sedangkan balita dengan status

ekonomi keluarga tinggi dan mengalami stunting sebesar 38.34%.

Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.11
Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Status Ekonomi Keluarga
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

Status Status stunting

Ekonomi Stunting Normal Total

Keluarga N % N % N %

Rendah 167 60.19 111 39.81 278 100

Tinggi 23 38.34 37 61.66 60 100


BAB VI
PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yang dimiliki yaitu

penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas 2010, dimana penelitian tersebut

tidak di disain secara langsung untuk meneliti masalah gizi namun di disain secara

langsung untuk meneliti masalah kesehatan yang diarahkan untuk mengevaluasi

indikator Millenium Development Goals (MDGs), sehingga variabel yang digunakan

dalam penelitian ini terbatas hanya pada data sekunder tersebut. Hal ini berarti data

tersebut tidak dirancang untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Sebagai akibatnya,

beberapa variabel yang diperlukan dan diduga berhubungan dengan Kejadian Stunting

pada balita tidak bisa diteliti seperti seperti pengetahuan gizi ibu, ketersediaaan bahan

makanan, sosial budaya, daya beli dan penyakit infeksi.

Data Riskesdas yang digunakan untuk melakukan penelitian ini kurang begitu

baik dalam segi kelengkapan data, karena cukup banyak data yang missing. Dari total

579 data yang tersedia hanya 338 data yang valid untuk dijadikan sampel dalam

penelitian ini.

Data konsumsi makanan yaitu asupan energi balita hanya berdasarkan hasil

recall 1 x 24 jam. Menurut Gibson (2005) konsumsi makanan sebaiknya dilakukan 3 x

24 jam dengan tujuan untuk menangkap variasi dalam jenis dan jumlah konsumsi

makanan. Tingkat pendapatan keluarga dihitung berdasarkan jumlah pengeluaran rumah

tangga sehari yang dinyatakan dalam kuintil 1 sampai 5. Angka dalam rupiah untuk

81
82

kuintil-kuintil tersebut tidak bisa didapatkan oleh penulis karena data tersebut tidak ada

dalam data Riskesdas 2010.

6.2 Gambaran Stunting pada Balita

Stunting merupakan keadaan tubuh pendek dan sangat pendek hingga melampaui

defisit -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan (Manary & Solomons, 2009).

Stunting dan serve stunting (selanjutnya hanya disebut sebagai stunting) pada balita

merupakan salah satu masalah besar yang mengancam pengembangan sumber daya

manusia. Pada tahun 1995, diperkirakan angka stunting pada balita telah mencapai lebih

dari 208 juta dan 206 juta diantaranya berada di negara berkembang. Lebih dari dua per

tiga (72%) balita stunting berada di Asia. Pada saat ini, angka global stunting pada balita

adalah 178 juta (World Vision, 2009).

Kejadian stunting pada balita diukur dengan menggunakan klasifikasi status gizi

berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur WHO 2005. Stunting mencerminkan

suatu proses kegagalan dalam mencapai pertumbuhan linier yang pontensial sebagai

akibat adanya status kesehatan atau status gizi.

Pertumbuhan linier atau tinggi badan dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor

lingkungan, dan kondisi medis. Perkembangan dari stunting merupakan proses bertahap

yang bersifat kronis, termasuk gizi buruk dan penyakit infeksi, selama periode

pertumbuhan linier. Hal ini sering dimulai pada saat janin masih berada dalam

kandungan dan meluas melalui dua tahun pertama. Stunting pada masa kanak-kanak

sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. Tanpa perubahan lingkungan, stunting dapat
83

menyebabkan penurunan pertumbuhan permanen. Dengan demikian, anak-anak yang

mengalami stunting pada awal kehidupan seringkali lebih pendek pada masa kanak-

kanak dan dewasa dibanding rekannya yang punya pertumbuhan awal yang memadai

(Darity, 2008).

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) prevalensi balita

gizi buruk dari tahun 1989 sampai tahun 1995 meningkat tajam yaitu 6.3% pada tahun

1989 menjadi 11.6% pada tahun 1995, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun

2003. Berdasarkan survey gizi dan kesehatan HKI tahun 1999-2001 prevalensi balita

stunting dari tahun 1999-2002 di wilayah pedesaan di delapan provinsi masih berkisar

antara 30-40% begitu juga dengan prevalensi balita stunting di wilayah kumuh

perkotaan di empat kota menunjukan prevalensi balita stunting tergolong tinggi berkisar

antara 27-40%.

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan provinsi yang memiliki

prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan pada tahun 1999-2002 yaitu

mencapai 48.2%. Pada tahun 2000 dan 2001 untuk wilayah perkotaan, Makasar

merupakan kota dengan prevalensi stunting tertinggi, masing masing mencapai 43,1%

dan 42,6% (Atmarita, 2004).

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga merupakan salah satu Provinsi yang

memiliki prevalensi stunting diatas prevalensi nasional. Provinsi NTB mengalami

peningkatan angka stunting pada balita sebesar 4.06% dari tahun 2007 ke tahun 2010.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebanyak 56.36% balita usia 24-59 bulan di

Provinsi NTB pada tahun 2010 mengalami stunting.


84

Menurut Kemenkes RI (2010) bila dibandingkan dengan batas non public health

problem menurut WHO, angka ini masih diatas ambang batas (cut off) yang disepakati

secara universal. Apabila masalah stunting diatas 20% maka merupakan masalah

kesehatan masyarakat.

6.3 Gambaran Asupan Energi dengan Kejadian Stunting pada Balita

Dari hasil analisis univariat yang dilakukan diketahui bahwa balita dengan

asupan energi rendah sebanyak 196 anak (58.22%). Sedangkan balita dengan asupan

energi cukup sebanyak 142 anak (41.77%). Dengan kata lain, ada lebih dari 50% balita

usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang mengkonsumsi energi kurang dari AKG.

Penelitian yang dilakukan Fitri (2012) mengenai stunting di Sumatera juga menunjukkan

bahwa 50.5% balita memiliki konsumsi energi rendah.

Makanan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan terutama untuk

pertumbuhan. Tanpa asupan makanan dan nutrisi yang cukup, suatu organisme tidak

bisa tumbuh dan berkembang secara normal (Robert, 1999 dalam Lupiana, 2010).

Tingkat kesehatan biasanya dipengaruhi oleh asupan makanan yang masuk

kedalam tubuh seseorang, jika asupan gizi yang masuk dalam komposisi yang baik maka

gizi seseorang juga akan baik. Namun jika yang terjadi adalah yang sebaliknya maka

tubuh akan kekurangan zat gizi atau biasa disebut malnutrition. Masalah tersebut

disebabkan oleh kekurangan atau ketidakseimbanga n antara energi dan protein yang

masuk dalam tubuh (Notoatmodjo, 1989).


85

Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan umur tidaklah sama,

sehingga asupan yang diperlukan balita usia dua dan empat tahun akan berbeda.

Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, aktivitas fisik,

dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) energi untuk

balita usia 24-47 bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan AKG balita usia 48-59 bulan

adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun batasan minimal asupan energi per

hari adalah 70% dari AKG (Kementerian Kesehatan, 2010).

Kegagalan tumbuh (stunting) dihasilkan dari kurangnya asupan gizi merupakan

faktor risiko yang paling besar dalam menentukan perkembangan anak (Wachs, 2008).

Kekurangan gizi mempengaruhi sejumlah besar anak-anak di negara berkembang.

Kekurangan gizi akibat dari berbagai faktor, sering terkait buruknya kualitas makanan,

asupan makanan tidak cukup dan penyakit infeksi (El Sayed et al, 2001).

Meskipun jumlah balita dengan asupan energi kurang jumlahnya lebih banyak

dibandingkan balita dengan jumlah balita dengan asupan energi cukup, ternyata jumlah

balita yang menjadi stunting lebih banyak ditemukan pada balita yang awalnya

mengkonsumsi energi cukup. Ada sebanyak 57.85% balita yang mengkonsumsi energi

cukup namun pada akhirnya menjadi stunting. Hal ini dapat disebabkan karena stunting

merupakan akibat dari kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama atau kronis.

Meskipun secara umum anak balita dengan asupan energi kurang di Provinsi NTB tahun

2010 lebih tinggi, belum tentu seluruh balita tersebut mengalami stunting. Karena ada

kemungkinan sebelum pengambilan data Riskesdas 2010 ini dilakukan, balita-balita

tersebut sebenarnya sudah mengkonsumsi energi yang cukup atau sesuai dengan AKG.
86

Oleh sebab itu meskipun pada saat pengambilan data Riskesdas ini dilakukan tercatat

bahwa balita tersebut mengkonsumsi energi dalam jumlah kurang, tetapi balita tersebut

tidak mengalami stunting. Begitu pula sebaliknya, balita yang tercatat mengkonsumsi

jumlah energi sesuai AKG pada saat pengambilan data Riskesdas ini belum tentu pada

masa sebelumnya selalu mengkonsumsi energi sesuai AKG. Oleh sebab itu meskipun

pada data Riskesdas tercatat bahwa balita tersebut telah mengkonsumsi energi sesuai

dengan AKG tidak menutup kemungkinan bahwa balita tersebut dapat mengalami

stunting.

Masyarakat Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat memiliki tradisi

Berayan Mangan, yaitu tradisi makan bersama yang telah dilakukan sejak dahulu kala.

Biasanya tradisi Berayan Mangan ini dilakukan oleh anak-anak pada saat makan siang

dan anak-anak tersebut ditemani oleh ibu mereka. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan

selera dan nafsu makan pada anak.

Berayan Mangan ini dilakukan secara spontan. Seorang anak akan membawa

sepiring nasi yang sudah dilengkapi dengan lauk pauk. Kemudian bersama teman dan

saudara serta kerabat lainnya berkumpul di salah satu rumah tetangga. Terkadang lauk

pauk bisa saling tukar ataupun saling mencicipi.

Tradisi ini merupakan salah satu kebiasaan yang cukup baik guna untuk

mengurangi tingkat gizi buruk pada anak. Jika tradisi ini terus dikembangkan dan

dikombinasikan dengan adanya penyuluhan mengenai informasi gizi untuk anak,

mungkin gizi buruk di NTB dapat ditanggulangi. Penyuluhan informasi gizi ditujukan

agar ibu dapat menyajikan makanan yang bergizi untuk anak-anaknya. Sehingga pada
87

saat kegiatan Berayan Mangan ini dilakukan, lauk-pauk yang dibawa anak-anak tersebut

adalah lauk-pauk yang sehat dan bergizi, meskipun bukan lauk-pauk yang mahal dan

mewah. Dengan demikian selain meningkatnya nafsu makan anak, anak pun diharapkan

mendapatkan asupan gizi yang sesuai dengan AKG.

Karena stunting merupakan akibat dari kekurangan gizi kronis, jika tradisi

Berayan Mangan ini dilakukan terus menerus maka diharapkan prevalensi kejadian

stunting di masa yang akan datang pun dapat menurun.

6.4 Gambaran Asupan Protein dengan Ke jadian Stunting pada Balita

Dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa proporsi kejadian

stunting pada balita yang cukup asupan protein lebih tinggi dibandingkan dengan yang

mengkonsumsi kurang protein. Yaitu sebesar 51.70% balita memiliki asupan protein

cukup dan sebesar 48.29% lainnya memiliki konsumsi asupan protein kurang dari AKG.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa konsumsi protein pada balita di Provinsi NTB tahun

2010 sudah cukup baik.

Penelitian dengan hasil sejalan dikemukakan oleh Theron et al (2006) yang

menyebutkan bahwa anak-anak stunting di wilayah perkotaan memiliki asupan protein

yang cukup bila dibandingkan dengan anak-anak stunting yang berada di pedesaan.

Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki fungsi esensial

lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal (Pipes, 1985). Sebagai sumber energi,

protein menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama dengan karbohidrat.
88

Protein merupakan faktor utama dalam jaringan tubuh. Protein membangun,

memelihara dan memulihkan jaringan di tubuh seperti otot dan organ. Saat anak tumbuh

dan berkembang, protein adalah zat gizi yang sangat diperlukan untuk memberikan

pertumbuhan yang optimal. Asupan protein harus terdiri sekitar 10% sampai 20% dari

asupan energi harian (Sharlin & Edelstein, 2011).

Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah air. Kira-kira seperlima

komposisi tubuh terdiri atas protein dan separuhnya tersebar di otot, seperlima di tulang

dan tulang rawan, sepersepuluh di kulit dan sisanya terdapat di jaringa lain dan cairan

tubuh. Protein berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim, hormone, asam

nukleat dan molekul- molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein juga berperan sebagai

pemelihara netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk antibody, mengangkut zat-zat

gizi, serta pembentuk ikatan- ikatan esensial tubuh, misalnya hormone. Oleh karena itu,

protein memiliki fungsi yang khas dan tidak dapat digantikan oleh zat lain (Almatsier,

2001).

Peningkatan asupan protein diperlukan bayi dan anak-anak stunting yang perlu

tumbuh dalam rangka mengejar ketinggalan. Kekurangan gizi selama tahun pertama

kehidupan, baik hasil dari lingkungan maupun karena kondisi seperti malabsorpsi atau

cystic fibrosis. Peningkatan kebutuhan protein untuk mengejar pertumbuhan secara

proporsional lebih besar dari pengingkatan energi dan tergantung pada usia dan

kecepatan pertumbuhan (Lawson, 2005).

Tetapi meskipun jumlah balita yang mengkonsumsi protein sesuai dengan AKG

lebih banyak dibandingkan dengan jumlah balita dengan konsumsi protein rendah, tidak
89

menutup kemungkinan balita tersebut terbebas dari stunting. Karena berdasarkan hasil

perhitungan statistik didapatkan hanya 83 dari 175 balita dengan konsumsi protein

memiliki pertumbuhan normal. 92 balita lainnya (52.77%) mengalami stunting

meskipun konsumsi proteinnya sudah sesuai dengan AKG.

Sama halnya dengan asupan energi, banyaknya kejadian stunting yang justru

ditemukan pada anak-anak yang memiliki asupan protein cukup dikarenakan adanya

faktor waktu yang mempegaruhi sampai akhirnya seorang anak dapat menjadi stunting.

Protein berfungsi sebagai pengangkut zat-zat gizi. Jika seorang anak dengan asupan

energy cukup namun asupan proteinnya sangat kurang, maka zat-zat gizi yang lain pun

tidak dapat diangkut keseluruh tubuh. Sehingga menyebabkan kekurangan gizi dan bila

kejadian ini terus menerus terjadi maka terjadilah stunting. Oleh karena itu baik asupan

energy maupun protein, keduanya sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak.

6.5 Gambaran Jenis Kelamin dengan Ke jadian Stunting pada Balita

Dari hasil analisis yang dilakukan, jumlah balita perempuan di Provinsi NTB

Tahun 2010 sebagian besar berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 174 balita

(51.59%). Sedangkan sebanyak 164 balita (48.40%) berjenis kelamin laki- laki. Dari 174

balita perempuan yang ada, terdapat 98 orang balita (56.63% ) mengalami stunting.

Meskipun demikian kejadian stunting pada laki- laki di Provinsi NTB juga terbilang

cukup tinggi, yaitu sebanyak 56.08% dari 164 balita yang ada mengalami stunting.

Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi bagi seseorang sehingga

terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis kelamin (Apriadji, 1986). Perbedaan
90

besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena adanya perbedaan komposisi tubuh

antara laki- laki dan perempuan.

Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki- laki dan

perempuan. Pada beberapa kelompok masyarakat, perempuan dan anak perempuan

mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki- laki dan anak laki- laki dalam

pengaturan konsumsi pangan. Hal tersebut mengakibatkan perempuan dan anak

perempuan merupakan anggota keluarga yang rentan terhadap pembagian pangan yang

tidak merata (Soehardjo, 1989).

Penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah (2012) menunjukkan bahwa kejadian

stunting pada balita usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur lebih banyak

dialami oleh balita perempuan (64.5%) daripada balita laki- laki (35.5%). Hasil

penelitian lain juga menunjukkan bahwa presentase gizi kurang pada balita perempuan

lebih tinggi (17,9%) dibandingkan dengan balita laki- laki (13.8%) (Suraedi, 2004).

Sedangkan sebuah studi meta analisis di 10 negara Sub-Saharan Afrika

menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada anak (0-59 bulan) laki- laki lebih tinggi

(40%) dibandingkan dengan anak perempuan (36%) (Wamani H et al., 2007). Sejalan

dengan penelitian tersebut penelitian yang dilakukan di wilayah Maluku Utara pada anak

usia 0-59 bulan juga menunjukkan anak laki- laki memiliko risiko lebih tinggi (OR=16)

untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak perempuan (Ramli et al., 2009).

Penelitian serupa yang dilakukan di Zimbabwe juga menunjukkan bahwa prevalensi

stunting pada balita laki- laki lebih tinggi (36%) daripada anak perempuan (30%). Rosha
91

et al (2012) menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki efek protektif atau risiko

lebih rendah 29% terhadap stunting dibandingkan dengan anak laki- laki.

Perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih sedikit

daripada laki- laki. Secara metabolik, otot lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak,

sehingga secara proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi daripada lemak.

Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan umur

yang sama memiliki komposisis tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan energi dan

gizinya juga akan berbeda (Almatsier, 2001).

Pada tahun pertama kehidupan, laki- laki lebih rentan mengalami malnutrisi

daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena ukuran tubuh laki- laki yang besar

dimana membutuhkan asupan energi lebih besar pula sehingga bila asupan makanan

tidak terpenuhi dan kondisi tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat

meningkatkan gangguan pertumbuhan (Grehwin M et al., 2004). Namun pada tahun

kedua kehidupan perempuan lebih berisiko menjadi stunting. Hal ini terkait dengan pola

asuh orang tua dalam memberikan makan pada anak dimana dalam kondisi lingkungan

dan gizi yang baik, pola pertumbuhan anak laki- laki lebih baik daripada perempuan. Di

Filipina, laki- laki lebih dulu dikenalkan makanan pendamping dimana makanan yang

diberikan kaya akan protein yang penting dalam proses pertumbuhan. Sedangkan

perempuan lebih banyak diberikan sayuran (Adair et al, 1997).

Baik laki- laki maupun perempuan memiliki probabilitas untuk menjadi stunting.

Namun dengan pola asuh yang baik sebenarnya stunting dapat dicegah. Di Provinsi NTB

ini meskipun jumlah balita perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah balita laki- laki,
92

proporsi balita yang mengalami stunting hampir sama, yaitu lebih dari 56%. Hal ini

mungkin dapat disebabkan karena pola asuh orang tua balita di Provinsi NTB kurang

baik pada balita laki- laki dan perempuan.

6.6 Gambaran Berat Lahir dengan Ke jadian Stunting pada Balita

Dari hasil analisis univariat yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan

proporsi antara balita BBLR dengan balita normal, yaitu sebanyak 8.62% balita

mengalami BBLR dan 91.37% sisanya lahir dengan berat badan normal. Namun

demikian, lebih dari 56% balita yang tadinya lahir dengan berat badan normal pada

akhirnya juga menjadi stunting.

Berat lahir merupakan indikator untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan,

kesehatan jangka panjang dan pengembangan psikososial dan juga mencerminkan secara

mendasar kualitas perkembangan intra uterin dan pemeliharaan kesehatan mencakup

pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu selama kehamilannya (Awwal et al, 2004).

Berat bayi pada saat dilahirkan juga menjadi indikator potensial untuk pertumbuhan bayi,

respon terhadap rangsangan lingkungan, dan untuk bayi bertahan hidup (Schanler, 2003).

Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan normal. Disebut berat

lahir rendah (BBLR) jika berat lahirnya <2500 gram (Kementrian Kesehatan, 2010).

Bayi dengan BBLR memiliki risiko 10 kali untuk mengalami kematian neonatal

dibandingkan dengan bayi lahir dengan berat badan 3000 sampai 3500 gram (Schanler,

2003).
93

Penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012) menunjukkan balita dengan BBLR

memiliki risiko menjadi stunting sebesar 1.7 kali dibandingkan dengan balita yang

memiliki berat lahir normal. Penelitian yang dilakukan di Zimbabwe oleh Mbuya et al.

(2010) juga menunjukkan bahwa bayi dengan berat lahir <2500 gram mengalami

stunting dengan prosentase 41.4%.

Stunting merupakan keadaan kurang gizi kronis dimana diperlukan waktu yang

lama untuk menjadi stunting. BBLR memang menjadi faktor penting dalam kejadian

stunting. Namun besar pula kemungkinan balita yang lahir dengan berat badan normal

untuk menjadi stunting. Karena selain faktor berat lahir, stunting juga dipengaruhi oleh

faktor asupan makanan. Balita yang lahir tanpa BBLR jika pada proses pertumbuhannya

kurang asupan energi dan protein maka hal ini dapat pula menyebabkan seorang balita

yang tadinya normal menjadi stunting.

6.7 Gambaran Jumlah Anggota Rumah Tangga dengan Kejadian Stunting pada
Balita

Hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting lebih banyak

ditemukan pada balita dengan jumlah anggota keluarga besar (> 4 orang). Sebanyak

72.06% balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB berasal dari keluarga dengan jumlah

anggota keluraga lebih dari 4 orang. Namun demikian, hanya 53.24% balita dengan

jumlah anggota keluarga banyak yang mengalami stunting. Sedangkan sebanyak 64.4%

balita yang berasal dari keluarga yang jumlah anggota keluarganya sedikit mengalami

stunting. Dapat dikatakan bahwa jumlah balita yang memiliki jumlah saudara yang

tidak terlalu banyak justru mengalami stunting lebih tinggi.


94

Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada

pola pertumbuhan anak dan balita dalam satu keluarga. Jumlah anggota keluarga yang

semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan

pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia

untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya

setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah

timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar (Suhardjo, 2003).

Menurut Hong (2007) prevalensi anak-anak stunting sama dari urutan kelahiran

pertama sampai ketiga, tetapi secara signifikan lebih tinggi pada anak keempat. Hal ini

karena urutan kelahiran berkolerasi dengan usia anak, dan kompetisi untuk makanan

cenderung lebih besar di rumah tangga dengan anak yang lebih banyak.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah (2012), menunjukkan sebanyak

64.5% balita dari keluarga dengan jumlah anggota keluarga kecil/sedikit mengalami

stunting.

Balita yang memiliki jumlah saudara yang lebih sedikit belum tentu terbebas dari

stunting. Karena bisa jadi faktor pembagian makanan yang kurang adil dapat juga

mengakibatkan balita tersebut mendapatkan jumlah makanan yang kurang, sehingga

asupan gizinya pun kurang. Pola asuh keluarga yang salah seperti membiasakan anak

yang lebih tua mendapatkan jumlah makanan atau asupan gizi yang lebih banyak

dibandingkan anak yang lebih muda (balita) dapat juga menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi tingginya jumlah kejadian stunting pada balita yang justru berasal dari

keluarga kecil.
95

6.8 Gambaran Pendidikan Ibu dengan Ke jadian Stunting pada Balita

Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa 66.86% ibu

berpendidikan rendah. Hanya sebanyak 113 ibu (31.13%) yang berpendidikan tinggi.

Dan dari 66.68% ibu yang berpendidikan rendah tersebut 60.64% diantaranya meimiliki

balita stunting.

Pendidikan adalah suatu proses penyampaian bahan, materi pendidikan kepada

sasaran pendidikan guna perubahan tingkah laku. Hasil pendidikan orang dewasa adalah

perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa

makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin banyak pengalaman atau informasi yang

diperoleh (Notoatmodjo, 2007).

Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat terhadap

kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba et al., 2008). Pada

anak yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0.5

cm lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan

rendah. Berdasarkan penelitian Norliani et al. (2005) tingkat pendidikan ayah dain ibu

memiliki risiko 2.1 dan 3.4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia

sekolah.

Tinggi rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan

terhadap perawatan kesehatan, proses kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran

terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Tingkat pendidikan turut pula

menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang

mereka peroleh. Pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya
96

masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo,

2003).

Penelitian yang dilakukan di Zimbabwe oleh Mbuya et al. (2010) menunjukkan

Ibu dengan pendidikan rendah (no education dan primary school) memiliki anak yang

stunting.

Khumaidi (1989) mengemukakan bahwa pengetahuan ibu tentang memilih bahan

makanan yang bernilai gizi baik dan tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam

pengolahan sangat mempengaruhi status gizi balita.

Tingkat pendidikan dan intelegensi ibu yang tinggi dapat bertindak sebagai

faktor protektif yang mengurangi keadaan gizi kurang dalam awal usia anak-anak

terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, kondisi gizi yang sama cenderung

menimbulkan efek yang lebih buruk terhadap perkembangan anak jika ibunya buta huruf

atau mempunyai pendidikan yang rendah (Gibney JM, 2009).

Studi yang dilakukan di negara berkembang mengidentifikasi tingkat pendidikan

ibu berhubungan dengan pertumbuhan fisik dari anak. Salah satu jalur potensial

melibatkan hubungan antara pendidikan ibu meningkat dan masukan yang lebih besar

oleh ibu tentang keputusan alokasi sumber daya kelurga (Becker et al., 2006). Karena

ibu lebih cenderung untuk mengalokasikan sumber daya keluarga dalam cara-cara

mempromosikan gizi anak mereka. Tingkat pendidikan dapat meningkatkan keputusan

ibu membuat kekuasaan, yang meningkatkan gizi anak, kesehatan dan akhirnya

pertumbuhan fisik mereka (Wachs, 2008).


97

Ibu yang berpendidikan rendah biasanya sulit menerima hal- hal baru, sehingga

merupakan kendala besar untuk meningkatkan kesehatan keluarganya. Ibu dengan

pendidikan yang rendah sulit memahami pengetahuan gizi yang penting untuk

keluarganya. Jadi meskipun diberikan prevensi berupa penyuluhan tentang pendidikan

gizi, biasanya para ibu tersebut tetap tidak mengikuti saran yang diberikan oleh kader

kesehatan maupun tenaga kesehatan.

Selain itu ibu dengan pendidikan rendah cenderung tidak memiliki wawasan

yang luas dan cenderung berpikir kolot. Hal ini disebabkan karena para ibu ini sulit

untuk beradaptasi dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi. Mereka cenderung lebih

percaya kepada cerita yang mereka dengar dari orang tua atau para tetua yang berada di

lingkungan tempat tinggal mereka, yang belum tentu baik untuk kesehatan balita mereka

dibandingkan dengan pengetahuan gizi yang sudah terbukti kebenarannya.

Ibu yang memiliki pendidikan tinggi lebih sedikit dipengaruhi oleh praktek-

praktek tradisional yang merugikan kualitas dan kuantitas makanan untuk dikonsumsi

keluarga setiap harinya (Schultz et.al, 1984 dalam Ichwanudin,2002).

Sedangkan pada ibu dengan pendidikan tinggi, mereka jauh lebih terbuka

terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi yang ada. Hal ini menyebabkan para

ibu berpendidikan tinggi lebih mudah menerima informasi- informasi baru mengenai gizi

dan kesehatan dari berbagai sumber.


98

6.9 Gambaran Pendidikan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita

Dari analisis yang dilakukan, sebanyak 71.51% balita memiliki ayah pendidikan

rendah. Sedangkan 28.48% sisanya memiliki ayah berpendidikan tinggi. Jumlah balita

dengan ayah berpendidikan rendah dan mengalami stunting pun tinggi, yaitu sebanyak

58.7%.

Pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan sekaligus

meningkatkan kualitas hidup penduduk, sangat erat hubungannya dengan derajat

kesehatan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar

pula akses terhadap informasi termasuk informasi kesehatan. Salah satu indikator pokok

kualitas pendidikan formal adalah jumlah penduduk yang berpendidikan tinggi. Di

Provinsi NTB sendiri, jumlah penduduk baik laki- laki ataupun perempuan yang

berpendidikan rendah masih terbilang cukup tinggi.

Berdasarkan Indikator Kesejahteraan Rakyat, data Susenas Tahun 2010 Provinsi

NTB yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010, sebanyak 15.08% penduduk

NTB pada tahun 2010 tidak pernah sekolah. Penduduk tidak tamat SD meningkat dari

23.69% pada tahun 2009 menjadi 26.93% pada tahun 2010. Penduduk lulus SD/MI

menurun dari 25.76% pada tahun 2009 menjadi 24.31% pada tahun 2010. Jumlah

penduduk yang lulus SLTP/MTs pun mengalami penurunan dari 15.60% pada tahun

2009 menjadi 14.49% pada tahun 2010. Begitu pula penduduk yang lulus SLTA/MA

dan Diploma. Penduduk lulus SLTA/MA menurun dari 15.27% pada tahun 2009

menjadi 14.95% pada tahun 2010. Hanya sebanyak 1.23% penduduk yang berhasil

melanjutkan sampai tingkat Diploma, itu pun mengalami penurunan dari tahun
99

sebelumnya yang mencapai 1.47%. Penduduk yang dapat mencapai tingkat Perguruan

Tinggi meningkat dari 2.73% pada tahun 2009 menjadi 3.04 pada tahun 2010.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk berpendidikan rendah (tidak

mencapai wajib belajar 9 tahun) pada tahun 2010 semakin meningkat dan jumlah

penduduk dengan pendidikan tinggi semakin berkurang. Meskipun jumlah penduduk

yang dapat melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi meningkat, namun jumlah penduduk

berpendidikan rendah tetap lebih banyak.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2011) menunjukkan bahwa 2.8% balita

dengan ayah berpendidikan rendah mengalami stunting. Penelitian ini juga sejalan

dengan penelitian yang dilakukan di Bangladesh dan Filipina yang menyatakan bahwa

pendidikan ayah lebih berpengaruh terhadap kejadian stunting daripada pendidikan ibu.

Peranan ayah sebagai pemimpin di rumah tangga akan mempunyai kewenangan lebih

besar dibandingkan ibu dalam pengambilan segala keputusan yang berkaitan dengan

keluarga termasuk dalam bidang kesehatan. Dalam hal ini peranan ibu dalam keluarga

lebih kepada mengaplikasikan keputusan yang telah dibuat oleh ayah (Allen LH &

Gillespie SR, 2001).

Penelitian Semba et al. menunjukkan bahwa di Indonesia pendidikan ayah yang

tinggi sangat terkait dengan pola pengasuhan anak, penggunaan jamban tertutup,

imunisasi anak, pemberian kapsul vitamin A, penggunaan garam beryodium dan

pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Status pendidikan ayah dan ibu sama pentingnya dalam suatu keluarga. Jika ibu

berpendidikan rendah namun ayah berpendidikan tinggi, ayah dapat memberikan andil
100

terhadap status gizi keluarganya. Ayah yang berpendidikan tinggi dapat memberikan

masukan kepada istri mereka mengenai bahan makanan yang baik untuk pertumbuhan

dan perkembangan keluarga mereka. Dalam kasus ini dapat disimpulkan jumlah ayah

berpendidikan rendah lebih banyak dari pada jumlah ayah balita yang berpendidikan

tinggi. Jumlah balita stunting pun lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki

ayah dengan status pendidikan rendah, yaitu sebanyak 58.7%.

Tugas pokok seorang ayah adalah sebagai pencari nafkah dalam kerluarga.

Tingkat pendidikan ayah dapat juga mempengaruhi pekerjaan ayah, yang pada akhirnya

akan mempengaruhi income keluarga. Ayah dengan pendidikan tinggi cenderung

memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik. Sehingga pemasukan keluarga

untuk dialokasikan dalam pembelian bahan makanan pun lebih tinggi. Selain itu ayah

dengan pendidikan tinggi cenderung menggunakan uang mereka lebih bijaksana.

Misalnya seperti tidak menghabiskan uang untuk membeli rokok dan lebih memilih

menggunakan uang tersebut untuk membeli bahan makanan bergizi untuk keluarga.

6.10 Gambaran Pekerjaan Ibu dengan Ke jadian Stunting pada Balita

Dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita

usia 24-59 bulan di Provinsi NTB tahun 2010 tidak bekerja, yaitu sebesar 66.80%.

Sedangkan ibu balita yang bekerja hanya sebesar 33.13% . Jumlah balita yang

mengalami stunting jauh lebih banyak ditemukan pada ibu yang bekerja, yaitu sebanyak

68 dari 113 anak (60.37%). Dengan kata lain, ibu yang tidak bekerja cenderung

memiliki anak tidak stunting.


101

Dalam keluarga peran ibu sangatlah penting yaitu sebagai pengasuh anak dan

pengatur konsumsi pangan anggota keluarga, juga berperan dalam usaha perbaikan gizi

keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan anak.

Pengaruh ibu yang bekerja terhadap hubungan antara ibu dan anaknya sebagian

besar sangat bergantung pada usia anak dan waktu ibu kapan mulai bekerja. Ibu- ibu

yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak dan

keluarga (Hurlock, 1999 dalam Suyadi, 2009).

Perhatian terhadap pemberian makan pada anak yang kurang dapat menyebabkan

anak menderita kurang gizi, selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang

anak dan perkembangan otak mereka. Beban kerja yang berat pada ibu yang melakukan

peran ganda dan beragam akan dapat mempengaruhi status kesehatan ibu dan status gizi

balitanya (Mulyati, 1990 dalam Hermansyah, 2010). Hal ini menyebabkan asupan gizi

pada balitanya menjadi buruk dan bisa berdampak pada status gizi balita tersebut

(Pudjiadi, 2000 dalam Suyadi, 2009).

Sebagian besar ibu balita di Provinsi NTB merupakan ibu rumah tangga atau

tidak bekerja. Ibu rumah tangga memiliki waktu yang lebih banyak untuk menjaga anak-

anak mereka dirumah. Sedangkan pada ibu yang bekerja, ibu tidak memiliki waktu yang

cukup untuk mengurus anak. Sehingga ibu kurang dapat memperhatikan asupan gizi

yang baik untuk anak dan keluarga mereka. Ibu harus keluar rumah pagi hari dan pulang

ke rumah sudah dalam keadaan lelah sehabis bekerja, sehingga waktu untuk anak pun

berkurang. Ibu yang bekerja biasanya memiliki pola asuh yang buruk. Biasanya mereka

menyerahkan balita mereka kepada pembatu rumah tangga atau nenek balita untuk
102

menjaga balita tersebut selama ibu bekerja. Oleh karena itu jumlah balita stunting lebih

banyak ditemukan pada ibu yang bekerja.

6.11 Gambaran Pekerjaan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita

Hasil analisis menunjukkan hanya 2.96% ayah balita yang tidak bekerja. 97.03%

lainnya berkerja. Dapat disimpulkan sebagian besar ayah balita bekerja. Namun

meskipun hampir seluruh ayah balita bekerja, bukan berati balita mereka terbebas dari

stunting. Ternyata 56.54% balita dengan ayah bekerja tersebut justru mengalami

stunting.

Ayah memiliki peran yang sangat penting dalam keluarga. Sebagai kepala

keluarga, pekerjaan dan penghasilan ayah sangat mempengaruhi daya beli suatu

keluarga. Penelitian Hatril (2001) menunjukkan kecenderungan bahwa ayah yang

bekerja dalam kategori swasta mempunyai pola konsumsi makanan keluarga yang lebih

baik dibandingkan dengan ayah yang bekerja sebagai buruh. Hasil uji statistiknya pun

menunjukkan hubungan yang bermakna antara keduanya.

Penelitian Alibbirwin (2002) mengatakan ayah yang bekerja sebagai buruh

memiliki risiko lebih besar mempunyai balita kurang gizi dibandingkan dengan balita

yang ayahnya bekerja wiraswasta.

Keadaan sosial ekonomi antara lain dapat digambarkan dengan ketersediaan

lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Berdasarkan data BPS Provinsi NTB tahun 2010

yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010 diketahui bahwa sebanyak 47%

penduduk NTB berusia diatas 10 tahun bekerja dalam bidang pertanian.


103

Kebanyakan hasil pertanian tersebut untuk konsumsi rumah tangga sehingga

pendapatan dari pertanian masih terbilang cukup rendah. Oleh karena itu meskipun

sebagian besar ayah balita bekerja tetapi balita-balita tersebut tetap mengalami stunting.

6.12 Gambaran Wilayah Te mpat Tinggal dengan Kejadian Stunting pada Balita

Hasil analisis menunjukkan 58.22% balita tinggal di pedesaan. Sedangkan

41.77% lainnya tinggal di daerah perkotaan. Sebagian besar balita yang mengalami

stunting (58.85%) juga tinggal di daerah pedesaan.

Definisi perkotaan adalah suatu tempat dengan 1) kepadatan penduduknya lebih

dibandingkan dengan kondisi pada umumnya, 2) mata pencaharian utama penduduknya

bukan merupakan aktifitas ekonomi primer/pertanian, dan 3) tempatnya merupakan

pusat budaya, administrasi atau pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya (Daldjoeni,

2003 dalam Humyrah 2009 dan Ratih 2011). Menurut Komsiah (2007), wilayah

pedesaan ditandai dengan sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di

bidang pertanian.

Letak suatu tempat dapat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi individu.

Sebagai contoh, seorang petani yang tinggal di desa dan dekat dengan areal pertanian

akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan makanan segar dan alami, seperti buah dan

sayur. Namun, seseorang yang tinggal di daerah perkotaan akan lebih sedikit akses

untuk mendapatkan bahan makanan segar tersebut karena di daerah perkotaan lebih

banyak tersedia berbagai makanan cepat saji. Walaupun tidak menutup kemungkinan,

terdapar penduduk perkotaan yang mengkonsumsi buah dan sayur (Suhardjo, 2006).
104

Penelitian yang dilakukan di daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh

Rosha et al (2012) mengemukakan bahwa anak yang tinggal di wilayah kota memiliki

efek protektif atau risiko lebih rendah 32% terhadap stunting dibandingkan dengan anak

yang tinggal di pedesaan. Fenomena ini diduga karena wilayah kota adalah tempat

dimana terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih beragam sehingga orangtua lebih

mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dari pekerjaan di desa. Hal

ini memungkinkan kebutuhan gizi dan makanan anak sehingga terhindar dari stunting.

Penelitian serupa yang dilakukan oleh Kanjilal et al (2010) menemukan bahwa

stunting diamati lebih tinggi diantara anak orang miskin di daerah pedesaan. Anak-anak

perkotaan secara signifikan lebih kecil kemungkinannya dari anak-anak pedesaan utuk

menjadi stunting. Mbuya et al. (2010) dalam penelitiannya di Zimbabwe

mengemukakan bahwa balita yang tingal di daerah pedesaan berisiko 2.3 kali untuk

mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang tingal di perkotaan.

Dalam penelitian ini sebagian besar balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB

tinggal di pedesaan. Selain sulitnya lapangan pekerjaan di daerah pedesaan yang

mengakibatkan daya beli keluarga rendah, sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan

pun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan status gizi balita di daerah pedesaan

lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan.

Selain itu orang-orang di daerah pedesaan biasanya memiliki pola pikir yang

tidak open-minded. Sebagian besar masyarakat di pedesaan lebih mempercayai

perkataan orang-orang dahulu atau tetua desa yang belum tentu benar faktanya

dibandingkan dengan informasi- informasi baru yang sudah teruji kebenarannya. Selain
105

sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan, informasi kesehatan pun menjadi sulit untuk

sampaikan kepada mereka, karena mereka cenderung membantah dan tetap menjalani

apa yang mereka percaya berdasarkan leluhur mereka. Hal ini akan mempengaruhi pola

asuh balita. Orang-orang di pedesaan sering memberikan makanan yang tidak sesuai

dengan usia balita. Seperti memberikan pisang kepada anak bayi yang usianya belum

cukup. Kebiasaan-kebiasaan ini dapat mempengaruhi masalah gizi balita yang pada

akhirnya mengakibatkan stunting.

6.13 Gambaran Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Balita

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat terlihat bahwa 82.46% balita berasal

dari keluarga dengan status ekonomi rendah. Hanya sebesar 17.53% balita yang berasal

dari keluarga dengan status ekonomi tinggi. Sebanyak 167 dari 278 balita (60.19%)

dengan status ekonomi keluarga rendah mengalami stunting.

Status ekonomi keluarga salah satunya dapat dilihat dari pendapatan suatu

keluarga. Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi

keluarga. Makin rendah pendapatan keluarga, makin besar peluang keluarga tersebut

mempunyai balita yang berstatus gizi kurang. Bayi dan anak-anak balita adalah

kelompok yang sangat sensitif terhadap kualitas konsumsi pangan keluarga (Tabor,dkk,

2000 dalam Ichawanuddin, 2002).

Rendahnya pendapatan orang-orang miskin dan lemahnya daya beli

memungkinkan untuk mengatasi kebiasaan makan dengan cara-cara tertentu yang


106

menghalangi perbaikan gizi yang efektif terutama untuk anak-anak mereka (Suhardjo,

1989 dalam Nuraeni 2008).

Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan tentang kuantitas dan

kualitas makanan. Kekuarga dengan status ekonomi kurang baik (keluarga dengan

pendapatan rendah) akan mengalami kesulitan dalam memperolah bahan makanan

bergizi. Sulitnya kondisi ekonomi keluarga membuat balita yang berasal dari keluarga

yang kurang mampu tidak mendapatkan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan

tubuhnya. Hal ini disebabkan kurangnya daya beli keluarga akan bahan makanan yang

bervariasi. Oleh karena itu banyak balita yang berasal dari keluarga miskin yang

mengalami masalah kurang gizi seperti stunting. Keluarga dengan pendapatan yang

minim akan kurang menjamin ketersediaan jumlah dan keanekaragaman makanan,

skarena dengan uang yang terbatas itu biasanya keluarga tersebut tidak dapat

mempunyai banyak pilihan (Apriadji, 1986)

Status ekonomi rendah berkaitan erat dengan banyaknya jumlah penduduk

miskin di suatu daerah. Berdasarkan data BPS Provinsi NTB untuk jumlah penduduk

miskin yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010, diketahui bahwa jumlah

penduduk miskin di Provinsi NTB pada tahun 2010 berjumlah lebih dari 900.000 jiwa

(971.800 jiwa).

Penelitian sejalan yang dilakukan oleh Nasikhah (2010) menunjukkan bahwa

balita dengan status ekonomi keluarga rendah berisiko untuk mengalami stunting

sebesar 3.91 kali.


107

Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah

mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada anak-anak dari

keluarga dengan status ekonomi lebih baik. Dengan demikian, mereka pun

mengkonsumsi energi dan zat gizi dalam jumlah yang lebih lebih sedkit. Studi mengenai

ststus gizi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang kurang mampu memiliki

berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang

ekonominya baik. Dalam hasil studi, ditemukan bahwa perbedaan tinggi badan lebih

besar daripada perbedaan berat badan. Studi juga menunjukkan bahwa anak-anak yang

hidup di daerah yang mengalami kekurangan suplai makanan memiliki tinggi badan

yang lebih rendah daripada mereka yang tinggal di daerah yang memiliki suplai

makanan cukup (Pipes,1985)

Selain itu Hartoyo et al. (2000) mengatakan bahwa keluarga terutama ibu dengan

pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki akses

terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi seperti posyandu, Bina

Keluarga Balita dan Puskesmas.

Status ekonomi rendah yang terjadi di Provinsi NTB dapat disebabkan karena

sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani yang berpenghasilan rendah. Karena

penghasilan yang rendah itu maka daya beli keluarga pun kurang. Sebagai akibatnya ibu

tidak bisa memberikan gizi yang cukup untuk balita mereka. Jika hal ini terjadi secara

terus- menerus dalam waktu yang lama maka balita mereka berisiko mengalami stunting.
BAB VII
PENUTUP

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang faktor penyebab

stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat

menurut data Riskesdas 2010, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Jumlah balita berusia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang mengalami

stunting lebih banyak daripada balita normal.

2. Balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang memiliki asupan

energy kurang jumlahnya lebih banyak dibandingkan balita yang

memiliki asupan energi cukup. Hampir seluruh balita dengan asupan

energi kurang tersebut mengalami stunting.

3. Asupan protein pada balita di Provinsi NTB sudah cukup baik. Balita

dengan konsumsi protein cukup jumlahnya lebih banyak

dibandingkan balita dengan konsumsi protein kurang.

4. Balita berusia 24-59 bulan di Provinsi NTB sebagian besar berjenis

kelamin perempuan.

5. Sebagian besar balita lahir degan berat lahir normal. Hanya sebagian

kecil yang lahir dengan BBLR. Meskipun hampir seluruh balita lahir

dengan berat badan normal, lebih dari setengah populasi balita yang

lahir dengan berat badan normal tersebut mengalami stunting.

6. Sebagian besar balita berasal dari keluarga besar (memiliki jumlah

anggota rumah tangga > 4 orang), sedangkan sisanya berasal dari

108
109

keluarga kecil. Namun lebih dari setengah populasi balita yang

berasal dari keluarga kecil tersebut justru mengalami stunting.

7. Sebagian besar ibu balita di Provinsi NTB berpendidikan rendah.

8. Ayah balita yang berpendidikan rendah juga lebih banyak daripada

yang berpendidikan tinggi.

9. Sebagian besar ibu balita merupakan ibu rumah tangga (tidak bekerja),

sedangkan yang lainnya bekerja.

10. Hampir seluruh ayah balita di Provinsi NTB bekerja, hanya sebagian

kecil yang tidak bekerja. Namun, meskipun hampir seluruh ayah

balita bekerja, lebih dari setengah populasi anak yang memiliki ayah

bekerja mengalami stunting.

11. Balita yang tinggal di daerah pedesaan jumlahnya lebih banyak

dibandingkan balita yang tinggal di daerah perkotaan.

12. Hampir seluruh balita berusia 24-59 bulan di Provinsi NTB berasal

dari keluarga berstatus ekonomi rendah. Hanya sebagian kecil yang

berasal dari kerluaga berstatus ekonomi tinggi.

7.2 Saran

A. Bagi Balitbang Kemenkes

1) Dalam pelaksanaan Riskesdas selanjutnya sebaiknya untuk data konsumsi

makan dilakukan pengukuran dengan metode recall 3x24 jam, bukan


110

1x24 jam dengan tujuan untuk menangkap variasi dalam jenis dan jumlah

konsumsi makanan.

B. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat

1) Optimalisasi fungsi Puskesmas melalui pemberian penyuluhan secara

rutin disertai dengan pemberian pamflet mengenai pengetahuan gizi dan

pola asuh anak yang baik kepada para orang tua, terutama ibu agar

pemahaman mereka mengenai pentingnya asupan gizi pada balita

meningkat.

2) Meningkatkan fungsi Posyandu untuk menghidupkan kembali tradisi

masyarakat Lombok yaitu Berayan Mangan (budaya makan bersama),

untuk meningkatkan nafsu makan anak sehingga kemungkinan untuk

terjadinya gizi buruk atau gizi kurang dapat diatasi segera. Kegiatan

Berayan ini dapat diperkenalkan kepada warga yang belum terlalu

familiar dengan kegiatan tersebut dengan cara memberikan informasi

pada saat pemberian makanan tambahan di posyandu. Pada saat kegiatan

Berayan, diselipkan juga sosialisasi mengenai gizi seimbang.

C. Bagi Peneliti Selanjutnya

Agar meneliti variabel- variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini

seperti pengetahuan gizi ibu, ketersediaan bahan makanan, sosial budaya,

daya beli, penyakit infeksi, pelayanan dan fasilitas kesehatan, dan


111

kesehatan lingkungan, karena secara teori variabel tersebut berhubungan

dengan kejadian stunting pada balita di Provinsi Nusa Tenggara Barat.


DAFTAR PUSTAKA

ACC/SCN & International Food Policy Research Institude (IFPRI). 2000. 4th Report on
the World Nutrition Situation, Nutrition Throughout the Life Cycle.

Adair, et al. 1997. Age Specific Determinants of Stunting in Filipino Children. The
Journal of Nutrition. P. 172

Alibbirwin. 2001. Karakteristik Keluarga Yang Berhubungan Dengan Status Gizi


Kurang Pada Balita Yang Berkunjung Ke Posyandu Di Desa Bojong Baru
Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor. Skripsi. FKM-UI. Depok

Allen, L.H & Gillespie, S.R. 2001. What Works? A Review of The Efficacy and
Effectiveness of Nutrition Intervensions. Manila. ABD.

Anisa, Paramitha. 2012. Faktor-fakror yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting


pada Balita Usia 25-60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012.
Skripsi. FKM-UI. Depok

Apriadji, Wield Harry. 1986. Gizi Keluarga. Jakarta: PT Penebar Swadaya.

Ariawan, Irwan. 1998. Besar dan Metode Sample pada Penelitian Kesehatan. Depok:
Universitas Indonesia.

Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Atmarita. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah disajikan
pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004.

112
113

Atmarita. 2005. Nutrition problems in Indonesia. Paper presented in an Integrated


International Seminar and Workshop Lifestyle-Related Disease, Gajah Mada
University.
Awwal, et al. 2004. Nutrition the Foundation of Health and Development. Massline
Printers 1/15. Humayun Road, Mohammadpur, Dhaka.

Azwar, A. 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang.


www.gizi.net

Becker, S., et al. 2006. Husbands and Wives Reports of Womens Decision Making
Power in Western Guatemala and Their Effects on Preventive Health Behaviours.
Social Science and Medicine. 62: P. 2313-2326.

Bhutta, Z.A et al. 2008. Maternal and Child Undernutrition: What works? Interventions
for Maternal and Child Undernutrition and Survival. 371. www.thelancet.com

Black et al. 2008. Maternal And Child Undernutrition: Global And Regional Exposures
And Health Consequences. The Lancet Series. www.thelancet.com

Boggin, Barry. 1999. Patterns of Human Growth (2nd ed). Cambridge: Cambride
University Press.

Bosch A, B , Baqui, A. H. & Ginneken, J. K .2008. Early-life Determinants of Stunted


Adolescent Girls and Boys in Matlab, Bangladesh. International Centre For
Diarrhoeal Disease Research, Bangladesh. 2 : 189- 199

BPS.2007. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2007. Jakarta: BPS.

Candra, Aryu et al. 2011. Risk Factors of Stunting among 1-2 Years Old Children in
Semarang City. Semarang: Media Medika Indonesiana.
114

Caufield, et al. 2006. Disease Control Priorities in Developing Countries 2nd Edition
(Stunting. Wasting and Micronutrient Deficiency Disorder Chapter 28). Jamison
et al. (Ed). World Bank, Washington DC.

Coly, A. N, et al. 2006. Preschool Stunting, Adolescent Migration, Catch-Up Growth,


And Adult Height In Young Senegalese Men And Women Of Rural Origin. The
Journal of Nutrition, Community and International Nutrition136 : 241220.

Darity, W.A. 2008. Stunted Growth. International Encylopedia of The Social Sciences,
2nd Edition. USA: Detroit Macmillan References.

Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta: Depkes.

Djaeni, Ahmad. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat.

Eastwood, M. 2003. Principle of Human Nutrition Second Edition. Blackwell Science


Ltd, a Blackwell Publishing Company.

El Sayed, et al. 2001. Malnutrition Among Pre School Children in Alexandria, Egypt.
Journal Health Popular Nutrition. Center for Health and Population Research. 4:
275-280.

Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada Balita (12-
59 Bulan) Di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 20120). Depok: Tesis, FKM-UI.

Gibney JM, et.al. 2008. Public Helath Nutrition. (Andri Hartono; Penerjemah). Jakarta:
EGC.

Gibson, Rosalind S. 1993. Nutritional assessment: A laboratory manual. Oxford:


Oxford University Press.
115

Gibson, Rosalind S. 2005. Principles of nutritional assessment (2nd ed.). Oxford:


Oxford University Press.

Gigante et al. 2009. Epidemiology Of Early And Late Growth In Height, Leg And Trunk
Length: Findings From A Birth Cohort Of Brazilian Males. European Journal of
Clinical Nutrition : 375-381.

Gizi Buruk Balita di NTB Karena Pola Asuh http://lomboknews.com/2011/03/02/gizi-


buruk-balita-di-ntb-karena-pola-asuh/

Gershwin M, et al. 2004. Handbook of Nutrition and Immunity. New Jersey: Humana
Press. P.71-85

Grantham-McGregor S. et al. 2007. Developmental Pontential In The First 5 Years For


Child In Developing Countries. Lancet; 369: 6070.

Hatril. 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Asupan Energi dan Protein Pada
Balita dari Keluarga Miskin di Kabupaten Karawang Propinsi Jawa Barat
Tahun 1999 (Analisis Data Sekunder). Skripsi UI. Depok

Henningham, H. B. & McGregor, S. G. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat, Gizi dan


Perkembangan Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan Public
Health Nutrition, Editor. Gibney, M.J, Margetts, B.M., Kearney, J.M. & Arab, L
Blackwell Publishing Ltd, Oxford.

Hermansyah. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan asupan zat gizi (energi dan
protein) Balita di wilayah kera puskesmas kelurahan kelapa dua Jakarta barat
tahun 2010. Jakarta: Skripsi FKIK UIN.
116

Hidayah, Nor Rofika. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
2010 (analisis Riskesdas 2010). Depok: Skripsi, FKM-UI.
Hong, R. 2007. Effect of Economic Inequality on Chronic Childhood Undernutrition in
Ghana. Public Health Nutrition, P. 371-378.

Hunt, J.M. 2001. Investing in children: Child protection and economic growth. Social
protection in Asia and the Pasific, Asian Development Bank. 20 Mei 2012.
www.adb.org/documents/books/social_protection/chapter_16.pdf

Ichwanuddin. 2002. Analisis stratifikasi pemodelan risiko BBLR terhadap kejadian KEP
pada anak usia 3-12 bulan di Kecamatan Tanjung Sari Kabupaten Sumedang
Propinsi Jawa Barat 2007. Depok: Tesis. FKM-UI.

Jahari, B.A. 2004. Penilaian Status Gizi Berdasarkan Antropometri. Puslitbang Gizi dan
Makanan. Depkes RI.

Kanjilal et al. 2010. Nutrition Status of Children in India: Household Socio Economic
Condition as The Contextual Determinant. International Journal for Equality in
Health. Biomed Central Ltd. 9:19

Kementrian Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)


Indonesia Tahun 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Khumaidi. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor.

Lawson, M. 2005. Encylopedia of Human Nutrition (Nutritional Requirement).


Caballero, B., Allen, L., & Prentice, A (Ed). Elsevier Academic Press.
117

Lupiana, Mindo. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kurang Energi dan
Protein pada Bayi di Provinsi Lampung Tahun 2007 (Analisis Data Riskesdas
2007). Depok: Tesis FKM-UI.

Manary, M.J. & Solomons, N.W. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat, Gizi dan
Perkembangan Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan Public
Health Nutrition, Editor. Gibney, M.J, Margaretts, B.M., Kearney, J.M. & Arab,
L Blackwell Publishing Ltd, Oxford.

Martorell, R. et al. 1994. Reversibility of Stunting: Epidemiological Findings in


Children From Developing Countries.

Mbuya, Mduduzi N.N, et al. 2010. Biological, Social, and Environmental Determinants
of Low Birth Weight and Stunting among Infants and Young Children in
Zimbabwe. Zimbabwe: Zimbabwe Working Papers.

Muchtadi, D. 2002. Gizi untuk Bayi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Nasikhah, Roudhotun. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-36
Bulan di Kecamatan Semarang Timur. Semarang: Artikel Penelitian FK
Universitas Diponegoro.

Norliani, et al. 2005. Tingkat Sosial Ekonomi, Tinggi Badan Orang Tua dan Panjang
Badan Lahir dengan Tingi Badan Anak Baru Masuk Sekolah. BKM. XXI: 04:
133-139

Notoatmodjo, Soekidjo. 1989. Dasar-dasar Pendidikan dan PelatihanI. Jakarta: Badan


Penerbit Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
118

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan edisi Revisi. Jakarta:


Rieneka Cipta

Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.

Nuraeni. 2008. Hubungan antara asupan energi, protein dan faktor lain dengan status
gizi baduta ( 0-23 Bulan ) di wilayah kerja puskesmas Depok Jaya tahun 2008.
Depok: Skripsi. FKM UI.

Pipes, L. Peggy. 1985. Nutrition in infancy and childhood. Missouri: Times


Mirror/Mosby College Publishing.

Poskitt, E. 2003. Nutrition in Childhood dalam Nutrition in Early Life Editor: Morgan
J.B & Dickerson, J W. T. John Wiley & Son Ltd. England.

Profil Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010.

Rahayu, Leni Sri. 2011. Hubungan Pendidikan Orang Tua dengan Perubahan Status
Stunting dari usia 6-12 Bulan ke Usia 3-4 Tahun. Jakarta: Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

Ramli et al. 2009. Prevalence and Risk Factors for Stunting and Severe Stunting Among
Under-fives in North Maluku Province of Indonesia. Biomed Central (BMC)
Pediatrics. P. 9:64

Rosha, Bunga Ch., et al. 2012. Analisis Determinan Stunting Anak 0-23 Bulan Pada
Daerah Miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur 2012. Panel Gizi Makan 2912,
35(1): 34-41.
119

Schanler, R.J. 2003. The Low Birth Weight Infant. Nutrition in Pediatrics Basic Schience
and Clinical Applications. Walker, W.A., Watkins, J. B & Duggan, C. (Ed).
London: BC Decker Inc.

SDKI. 2007. Angka Kematian Ibu dan Bayi. Dalam


http://kalteng.bkkbn.go.id/ViewArtikel.aspx?ArtikelID=41

Semba, Richard D. and Martin W. Bloem. 2001. Nutrition and health in developing
countries. New Jersey: Humana Press.

Semba, et al. 2008. Effect Parental Formal Education on Risk of Child Stunting in
Indonesia and Bangladesh: A Cross Sectional Study. 371: P. 322-328.
www.thelancet.com

Sharlin, J & Edelstein, S. 2011. Essentials of Life Cycle Nutrition. LLC: Jones and
Bartlett Publisher.

Shrimpton, R et al. 2001. Worldwide Timing of Growth Faltering: Implications for


Nutritional Interventions. American Academi of Pediatric.

Soehardjo. 1989. Sosio budaya gizi. Bogor: IPB PAU Pangan dan Gizi.

Suhardjo. 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.

Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Suraedi, Ahmad. 2004. Status Gizi Balita di Kecamatan Rawamerta Kabupaten


Karawang dan Hubungannya dengan Karekteristik Keluarga dan Karakteristil
Balita Tahun 2004. Depok: Skripsi, FKM-UI.
120

Suyadi, Edwin Saputra. 2009. Kejadian KEP Balita dan Faktor yang Berhubungan Di
Wilayah Kelurahan Pancoran Mas Depok Tahun 2009. Depok: Skripsi, FKM-UI

The Lancet. 2008. The Lancets Series Maternal and Child Undernutrition, Executive
Summary. www.thelancet.com

Theron et al. 2006. Inadequate Dietary Intake Is Not the Cause of Stunting Amongst
Young Children Living in An Informal Settlement in Gauteng and Rural Limpopo
Province in South Africa: The Nutrigro Study. Public Health Nutrition.
Unicef Framework

http://motherchildnutrition.org/malnutrition/about-malnutrition/underlying-causes-
of-malnutrition.html

UNSCN. 2008. 6th Report on the World Nutrition Situation. Geneva: SCN.

Wachs, T.D. 2008. Mechanism Linking Parental Education and Stunting. The Lancet
371: 280.

Wamani H, at al. 2007. Boys Are More Stunded Than Girls in Sub-Saharan Africa: meta
analysis of 16 demographic and Health Surveys. BMC pediatrics. p:7-17.

Waterlow, J.C. 1992. Protein Energy Malnutrition. Edward Arnorld, A Division of


Hodder & Stoughton, London.

Website Resmi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat: Bukan Karena Tak Makan
http://www.ntbprov.go.id/baca.php?berita=101

WNPG. 2004. Angka Kecukupan Gizi dan Angka Label Gizi. Jakarta: Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi.
121

WHO. 1997. WHO Global Databese on Child Growth and Malnutrition. Geneva.

WHO. 2006a. WHO Child Growth Standards. Geneva

WHO. 2010. World Health Report 2010.

WHO. 2011. Nutrition: Complementary Feeding.


http://www.who.int/nutrition/topics/complementary_feeding/en/index.html

WHO. 2011. 10 Facts on Nutrition


http://www.who.int/features/factfiles/nutrition/en/index.html

WHO/UNICEF. 2003. Feeding and Nutrition of Infants and Young Children. WHO
Regional Publications, European Series, No. 87, P. 17.

World Vision. 2009. Stunted Development: Q&A .


https://worldvision.org.nz/lendahand/sg_response.aspx
LAMPIRAN
OUTPUT UNIVARIAT
___ ____ ____ ____ ____ (R)
/__ / ____/ / ____/
___/ / /___/ / /___/ 12.0 Copyright 1985-2011 StataCorp LP
Statistics/Data Analysis StataCorp
4905 Lakeway Drive
Special Edition College Station, Texas 77845 USA
800-STATA-PC http://www.stata.com
979-696-4600 stata@stata.com
979-696-4601 (fax)

Single-user Stata network perpetual license:


Serial number: 93611859953
Licensed to: STATAforAll
STATA

Notes:
1. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables

. use "D:\skripSHIT\data riskesdas\new\stunting_ntb.dta", clear

. set memory 500m


set memory ignored.
Memory no longer needs to be set in modern Statas; memory adjustments are
performed on
the fly automatically.

. svyset b1r7 [pweight=weind], strata(b1r1) vce(linearized) singleunit(missing)

pweight: weind
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: b1r1
SU 1: b1r7
FPC 1: <zero>

. svydescribe

Survey: Describing stage 1 sampling units

pweight: weind
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: b1r1
SU 1: b1r7
FPC 1: <zero>

#Obs per Unit


----------------------------
Stratum #Units #Obs min mean max
-------- -------- -------- -------- -------- --------
52 61 338 1 5.5 14
-------- -------- -------- -------- -------- --------
1 61 338 1 5.5 14

. svy:proportion bb_lahir jk pend_ayah pend_ibu kerja_ibu kerja_ayah stat_eko


anngota_rt tmp
> t_tinggal energi2 protein2
(running proportion on estimation sample)

Survey: Proportion estimation

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60

_prop_4: jk = laki-laki
_prop_10: kerja_ibu = tidak bekerja
_prop_11: kerja_ayah = tidak bekerja
_prop_15: anngota_rt = > 4 orang
_prop_16: anngota_rt = <= 4

--------------------------------------------------------------
| Linearized
| Proportion Std. Err. [95% Conf. Interval]
-------------+------------------------------------------------
bb_lahir |
bblr | .0862244 .0155119 .055196 .1172528
normal | .9137756 .0155119 .8827472 .944804
-------------+------------------------------------------------
jk |
perempuan | .5159965 .0304088 .4551698 .5768232
_prop_4 | .4840035 .0304088 .4231768 .5448302
-------------+------------------------------------------------
pend_ayah |
rendah | .7151903 .029167 .6568477 .773533
tinggi | .2848097 .029167 .226467 .3431523
-------------+------------------------------------------------
pend_ibu |
rendah | .668652 .0364137 .5958138 .7414902
tinggi | .331348 .0364137 .2585098 .4041862
-------------+------------------------------------------------
kerja_ibu |
bekerja | .3313517 .0307021 .2699383 .392765
_prop_10 | .6686483 .0307021 .607235 .7300617
-------------+------------------------------------------------
kerja_ayah |
_prop_11 | .0296032 .0111387 .0073225 .051884
bekerja | .9703968 .0111387 .948116 .9926775
-------------+------------------------------------------------
stat_eko |
rendah | .8246636 .0301022 .7644503 .8848769
tinggi | .1753364 .0301022 .1151231 .2355497
-------------+------------------------------------------------
tmpt_tinggal |
desa | .6016456 .069245 .4631349 .7401562
kota | .3983544 .069245 .2598438 .5368651
-------------+------------------------------------------------
energi2 |
rendah | .582258 .0388115 .5046234 .6598926
cukup | .417742 .0388115 .3401074 .4953766
-------------+------------------------------------------------
protein2 |
rendah | .4829856 .0348812 .4132129 .5527583
cukup | .5170144 .0348812 .4472417 .5867871
--------------------------------------------------------------
jml_kel |
besar | .7206005 .0269424 .6667077 .7744934
kecil | .2793995 .0269424 .2255066 .3332923

OUTPUT CROSSTAB

___ ____ ____ ____ ____ (R)


/__ / ____/ / ____/
___/ / /___/ / /___/ 12.0 Copyright 1985-2011 StataCorp LP
Statistics/Data Analysis StataCorp
4905 Lakeway Drive
Special Edition College Station, Texas 77845 USA
800-STATA-PC http://www.stata.com
979-696-4600 stata@stata.com
979-696-4601 (fax)

Single-user Stata network perpetual license:


Serial number: 93611859953
Licensed to: STATAforAll
STATA

Notes:
1. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables

. use "D:\skripSHIT\data riskesdas\new\stunting_ntb_new_edit.dta", clear

. svyset b1r7 [pweight=weind], strata(b1r1) vce(linearized) singleunit(missing)

pweight: weind
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: b1r1
SU 1: b1r7
FPC 1: <zero>

. svydescribe

Survey: Describing stage 1 sampling units

pweight: weind
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: b1r1
SU 1: b1r7
FPC 1: <zero>

#Obs per Unit


----------------------------
Stratum #Units #Obs min mean max
-------- -------- -------- -------- -------- --------
52 61 338 1 5.5 14
-------- -------- -------- -------- -------- --------
1 61 338 1 5.5 14

. svy:tabulate energi2 stat_stunting, obs row percent


(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60

----------------------------------------
| status stunting
energi2 | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 55.3 44.7 100
| 108 88 196
|
cukup | 57.84 42.16 100
| 82 60 142
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations

Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 0.2154
Design-based F(1, 60) = 0.1807 P = 0.6723

. svy:tabulate protein2 stat_stunting, obs row percent


(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60

----------------------------------------
| status stunting
protein2 | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 60.2 39.8 100
| 98 65 163
|
cukup | 52.77 47.23 100
| 92 83 175
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations

Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.8966
Design-based F(1, 60) = 1.9191 P = 0.1711
. svy:tabulate jk stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60

----------------------------------------
jenis |
kelamin | status stunting
balita | stunting normal Total
----------+-----------------------------
perempua | 56.63 43.37 100
| 98 76 174
|
laki-lak | 56.08 43.92 100
| 92 72 164
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations

Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 0.0103
Design-based F(1, 60) = 0.0091 P = 0.9243

. svy:tabulate bb_lahir stat_stunting, obs row percent


(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60

----------------------------------------
| status stunting
bb lahir | stunting normal Total
----------+-----------------------------
bblr | 51.63 48.37 100
| 15 14 29
|
normal | 56.81 43.19 100
| 175 134 309
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations

Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 0.2902
Design-based F(1, 60) = 0.3653 P = 0.5479

. svy:tabulate jml_kel stat_stunting, obs row percent


(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60

----------------------------------------
jumlah |
anggota | status stunting
keluarga | stunting normal Total
----------+-----------------------------
besar | 53.24 46.76 100
| 129 114 243
|
kecil | 64.4 35.6 100
| 61 34 95
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations

Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 3.4412
Design-based F(1, 60) = 3.2231 P = 0.0776

. svy:tabulate pend_ibu stat_stunting, obs row percent


(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
pendidika | status stunting
n ibu | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 60.64 39.36 100
| 136 89 225
|
tinggi | 47.73 52.27 100
| 54 59 113
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations

Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 5.0691
Design-based F(1, 60) = 4.5296 P = 0.0374

. svy:tabulate pend_ayah stat_stunting, obs row percent


(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60

----------------------------------------
pendidika | status stunting
n ayah | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 58.7 41.3 100
| 141 100 241
|
tinggi | 50.48 49.52 100
| 49 48 97
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations

Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.8934
Design-based F(1, 60) = 1.7270 P = 0.1938

. svy:tabulate kerja_ibu stat_stunting, obs row percent


(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60

----------------------------------------
pekerjaan | status stunting
ibu | stunting normal Total
----------+-----------------------------
bekerja | 60.37 39.63 100
| 68 45 113
|
tidak be | 54.37 45.63 100
| 122 103 225
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations

Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.0975
Design-based F(1, 60) = 1.0282 P = 0.3147

. svy:tabulate kerja_ayah stat_stunting, obs row percent


(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60

----------------------------------------
pekerjaan | status stunting
ayah | stunting normal Total
----------+-----------------------------
tidak be | 50.43 49.57 100
| 5 5 10
|
bekerja | 56.54 43.46 100
| 185 143 328
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations

Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 0.1475
Design-based F(1, 60) = 0.1826 P = 0.6707

. svy:tabulate tmpt_tinggal stat_stunting, obs row percent


(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60

----------------------------------------
tempat | status stunting
tinggal | stunting normal Total
----------+-----------------------------
desa | 58.85 41.15 100
| 117 82 199
|
kota | 52.6 47.4 100
| 73 66 139
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations

Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.2872
Design-based F(1, 60) = 1.0199 P = 0.3166

. svy:tabulate stat_eko stat_stunting, obs row percent


(running tabulate on estimation sample)

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
status | status stunting
ekonomi | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 60.19 39.81 100
| 167 111 278
|
tinggi | 38.34 61.66 100
| 23 37 60
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations

Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 9.4927
Design-based F(1, 60) = 11.6513 P = 0.0012

OUTPUT OR

. svy:logit stat_stunting energi2, or


(running logit on estimation sample)

Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 0.18
Prob > F = 0.6723

-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
energi2 | .9018032 .2193071 -0.43 0.672 .5544348 1.466807
_cons | .8083223 .1152807 -1.49 0.141 .6077015 1.075174
-------------------------------------------------------------------------------

. svy:logit stat_stunting protein2,or


(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 1.92
Prob > F = 0.1715

-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
protein2 | 1.354006 .2965137 1.38 0.172 .8737355 2.098269
_cons | .6610184 .0992085 -2.76 0.008 .4895901 .8924718
-------------------------------------------------------------------------------

. svy:logit stat_stunting jk,or


(running logit on estimation sample)

Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 0.01
Prob > F = 0.9243

-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
jk | 1.022577 .2391366 0.10 0.924 .6405311 1.632494
_cons | .7659666 .1309547 -1.56 0.124 .5441117 1.07828
-------------------------------------------------------------------------------

. svy:logit stat_stunting bb_lahir,or


(running logit on estimation sample)

Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 0.36
Prob > F = 0.5484

-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
bb_lahir | .811584 .2807356 -0.60 0.548 .4062884 1.621184
_cons | .9368735 .2957396 -0.21 0.837 .4982597 1.761596
-------------------------------------------------------------------------------

. svy:logit stat_stunting jml_kel,or


(running logit on estimation sample)

Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 3.20
Prob > F = 0.0787

-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
jml_kel | .6296032 .1628711 -1.79 0.079 .3752662 1.056317
_cons | .8781287 .123809 -0.92 0.360 .6623324 1.164234
-------------------------------------------------------------------------------

. svy: logit stat_stunting pend_ibu,or


(running logit on estimation sample)

Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 4.50
Prob > F = 0.0381

-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
pend_ibu | 1.686711 .4158943 2.12 0.038 1.030006 2.762114
_cons | .64919 .0832395 -3.37 0.001 .5023244 .838995
-------------------------------------------------------------------------------

. svy: logit stat_stunting pend_ayah,or


(running logit on estimation sample)

Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 1.72
Prob > F = 0.1946

-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
pend_ayah | 1.394525 .3535305 1.31 0.195 .8398366 2.31557
_cons | .7034961 .0838071 -2.95 0.004 .5543344 .8927948
-------------------------------------------------------------------------------

. svy: logit stat_stunting kerja_ibu,or


(running logit on estimation sample)

Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 1.03
Prob > F = 0.3151

-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
kerja_ibu | 1.278668 .3102547 1.01 0.315 .7869968 2.077508
_cons | .6563185 .1505518 -1.84 0.071 .4148019 1.038457
-------------------------------------------------------------------------------

. svy: logit stat_stunting kerja_ayah,or


(running logit on estimation sample)

Survey: Logistic regression


Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 0.18
Prob > F = 0.6714

-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
kerja_ayah | .7819456 .4511339 -0.43 0.671 .2465927 2.47955
_cons | .9829546 .5732299 -0.03 0.977 .3061419 3.156052
-------------------------------------------------------------------------------

. svy: logit stat_stunting tmpt_tinggal, or


(running logit on estimation sample)

Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 1.02
Prob > F = 0.3170

-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
tmpt_tinggal | 1.288836 .3240765 1.01 0.317 .7793983 2.131258
_cons | .6992126 .0986564 -2.54 0.014 .5272738 .927219
-------------------------------------------------------------------------------

. svy: logit stat_stunting stat_eko,or


(running logit on estimation sample)

Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338


Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 11.23
Prob > F = 0.0014
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
stat_eko | 2.432261 .64514 3.35 0.001 1.430832 4.134581
_cons | .6613297 .0805403 -3.40 0.001 .5183473 .843753
-------------------------------------------------------------------------------

You might also like