You are on page 1of 32

Yulia Wacana

Sabtu, 13 Juni 2015

RESUM MATERI WACANA BAHASA INDONESIA


Yulia Wanasari

126679

PBS INDONESIA 2012 A

A. HAKIKAT WACANA BI

Wacana

Wacana menurut Harimurti Kridalaksana (Kamus Linguistik, 2011: ) yaitu


satuan satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan
satuan gramatikal tertinggi, dan terbesar.
kata wacana berasal dari bahasa sansakerta wac/wak/vak, artinya berkata
berucap (Douglas, 1976:262). Menurut Webster wacana diartikan sebagai
ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratannya harus dalam
satu rangkaian (connected) dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat. Menurut
Tarigan (dalam Djajasudarma, 1994:5), wacana adalah satuan bahasa terlengkap
dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan
kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir
yang nyata. Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa wacana
merupakan satuan bahasa yang lengkap dan disusun secara teratur dan
membentuk suatu makna.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa, wacana adalah satuan gramatikal yang
merupakan tataran linguistik tertinggi. Atau dapat dikatakan bahwa, wacana
adalah satuan bahasa yang utuh dan mencakup satu kesatuan yang saling
berhubungan secara padu, baik berupa wacana lisan maupun tulisan.

B. PRASYARAT WACANA

Syarat Terpenuhinya Suatu Wacana ada tiga, dengan penjelasan sebagai berikut:

1
1. Topik
Topik di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) adalah pokok
pembicaraan dalam diskusi, ceramah, karangan, atau bahan diskusi, dan
sebagainya.
2. Kohesi
Kohesi merupakan organisasi sintaksis, merupakan wadah kalimat-kalimat
disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Hal ini berarti
bahwa kohesi adalah hubungan antar kalimat dalam sebuah wacana, baik dalam
strata gramatikal maupun dalam setrata leksikal tertentu. (Gutwinsky, 1976: 26
dalam Tarigan (2009: 93). Berikut beberapa unsur bahwa suatu wacana
mengandung prasyarat kohesi:
a) Kepaduan
b) Keutuhan
c) Aspek bentuk (form)
d) Aspek lahiriah
e) Aspek formal
f) Organisasi sintaksis
g) Unsur internal
3. Koherensi
Koherensi adalah kekompakan hubungan antar kalimat dalam wacana.
Koherensi juga hubungan timbal balik yang serasi antar unsur dalam kalimat
Keraf (dalam Mulyana 2005: 30). Sejalan dengan hal tersebut Halliday dan Hasan
(dalam Mulyana 2005: 31) menegaskan bahwa struktur wacana pada dasarnya
bukanlah struktur sintaktik, melainkan struktur semantik, yakni semantik kalimat
yang di dalamnya mengandung proposisi-proposisi. Sebab beberapa kalimat
hanya akan menjadi wacana sepanjang ada hubungan makna (arti) di antara
kalimat-kalimat itu sendiri. Dan berikut beberapa unsur bahwa suatu wacana
dapat dikatakan koherensi:
a) Kerapian
b) Kesinambungan
c) Aspek makna (meaning)
d) Aspek batiniah
e) Aspek ujaran
f) Organisasi semantik
g) Unsur eksternal

C. TEKS, KOTEKS, DAN KONTEKS

1. Pengertian Teks
Teks merupakan naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang. (KBBI,
2011). Ada beberapa pegertian yang dikemukakan oleh para ahli terkait dengan
teks. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan ahli tersebut secara

2
keseluruhan hampir sama. Luxemburg (1989) yang dikutip Tedi dalam
makalahnya menyatakan bahwa teks ialah ungkapan bahasa yang menurut isi,
sintaksis, dan pragmatik merupakan satu kesatuan. Teks dalam hal ini tidak
hanya dipandang dari sisi tata bahasa yang sifatnya tertulis atau unsur-unsur
kebahasaan yang dituliskan, lebih dari itu, suatu teks juga dilihat dari segi
maksud dan makna yang diujarkan. Teks memiliki kesatuan dan kepaduan antara
isi yang ingin disampaikan dengan bentuk ujaran, dan situasi kondisi yang ada.
Dengan kata lain, bahwa teks itu berupa ungkapan berupa bahasa yang di
dalamnya terdiri dari satu kesatuan antar isi, bentuk, dan situasi kondisi
penggunaannya.
Kridalaksana (2011:238) dalam Kamus Linguistiknya menyatakan bahwa
33teks adalah (1) satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak, (2) deretan
kalimat, kata, dan sebagainya yang membentuk ujaran, (3) ujaran yang
dihasilkan dalam interaksi manusia. Dilihat dari tiga pengertian teks yang
dikemukakan dalam Kamus Linguistik tersebut dapat dikatakan bahwa teks
adalah satuan bahasa yang bisa berupa bahasa tulis dan bisa juga berupa
bahasa lisan yang dahasilkan dari interaksi atau komunikasi manusia.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa teks adalah
suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan
yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima untuk
menyampaikan pesan tertentu. Teks tidak hanya berbentuk deretan kalimat-
kalimat secara tulis, namun juga dapat berupa ujaran-ujaran atau dalam bentuk
lisan, bahkan ada juga teks itu terdapat di balik teks.
2. Pengertian Ko-Teks
Ko-teks adalah kalimat yang mendahului dan atau yang mengikuti di dalam
wacana. (KBBI Offline) Dilihat berdasarkan makna dalam Kamus Linguistik
(2011:137), koteks diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mendahului
dan/atau mengikuti sebuah unsur lain dalam wacana. Koteks adalah teks yang
mendampingi teks lain dan mempunyai keterkaitan dan kesejajaran dengan teks
yang didampinginya. Keberadaan teks yang didampingi itu bisa terletak di depan
(mendahului) atau di belakang teks yang mendampingi (mengiringi). Sebagai
contoh pada kalimat Selamat Datang dan Selamat Jalan yang terdapat di
pintu masuk suatu kota, daerah, atau perkampungan.
Kedua kalimat di atas memiliki keterkaitan. Kalimat Selamat Jalan
merupakan ungkapan dari adanya kalimat sebelumnya, yaitu Selamat Datang.
Kalimat Selamat Datang dapat dimaknai secara utuh ketika adanya kalimat
sesudahnya, yaitu Selamat Jalan, begitu juga sebaliknya. Keberadaan koteks
dalam suatu wacana menunjukkan bahwa struktur suatu teks memiliki hubungan

3
dengan teks lainnya. Hal itulah yang membuat suatu wacana menjadi utuh dan
lengkap.
3. Pengertian Konteks
Menurut Mulyana (2005: 21) konteks dapat dianggap sebagai sebab dan
alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan
dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun
informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa
tuturan itu. Seperti terpola dari bagan berikut:

Proses Peristiwa Bertutur

Pembicara (O1) Pasangan Bicara (O2)

Maksud (pra ucap) pemahaman (pascaucap)

Pensandian (encoding) pembacaan sandi (decoding)

Pengucapan (fonasi) penyimakan (audisi)

Untuk mendapatkan pemahaman wacana yang menyeluruh, konteks harus


dipahami dan dianalisi secara mutlak. Sebagaimana Contoh dialog di bawah
berikut ini:

Dialog I
Pembicara :
Ibu
Pendengar :
Bapak
Tempat :
Rumah
Situasi :
Sedang menunggu anaknya kembali dari rumah pamannya
karena mengambil sesuatu yang dipinjam
Waktu : Pukul 09.00 WIB
Ketika si anak kembali, si ibu mengatakan, Cepat sekali kamu pulang.

Dialog II
Pembicara : Ibu
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Menunggu anaknya yang belum kembali dari rumah temannya
Waktu : Pukul 00.00 Wib
Ketika si anak datang, si Ibu mengatakan, Cepat sekali kamu pulang.

4
Kalimat Cepat sekali kamu pulang yang diucapkan si ibu pada dialog I dan
II memiliki bentuk yang sama, tetapi maknanya berbeda. Kalimat pada dialog I,
si ibu sungguh-sungguh mengatakan bahwa anaknya sangat cepat kembali dari
rumah paman atau dapat dikatakan si Ibu memuji anaknya yang melaksanakan
perintah/kerja dengan cepat. Berbeda dengan dialog II, kalimat itu memiliki
makna sindiran pada anaknya yang terlambat pulang ke rumah. Kata Cepat
sekali kamu pulang pada kalimat dialog II bukan makna sebenarnya yang
menyatakan si anak pulang dengan cepat, malah sebaliknya, yaitu pulangnya
lambat.
Hal ini harus diterangkan secara pragmatik karena kata-kata maupun
kalimatnya secara semantik tidak memperlihatkan arti sindiran. Dengan begitu,
pendengar atau pembaca harus mengetahui konteks kalimat tersebut agar dapat
mengetahui maksud suatu kalimat itu dengan tepat.

4. Macam-Macam Konteks
1) Konteks Situasi
Halliday & Hasan (1994) mengatakan yang dimaksud dengan konteks
situasi adalah lingkungan langsung tempat teks itu benar-benar berfungsi. Atau
dengan kata lain, kontek situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan
tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau
ditulis). Dalam pandangan Halliday (1994: 16), konteks situasi terdiri dari (1)
medan wacana, (2) pelibat wacana, dan (3) modus/sarana wacana. Medan
wacana merujuk pada aktivitas sosial yang sedang terjadi atau apa yang
sesungguhnya disibukkan oleh para pelibat. Pelibat wacana merujuk pada orang-
orang yang mengambil bagian, sifat para pelibat, kedudukan dan peran mereka,
jenis-jenis hubungan peranan apa yang terdapat di antara para pelibat. Sarana
wacana merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi,
termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan.
Hymes dalam Brown & Yule (1983: 38-39) memberi penjelasan lebih rinci
mengenai ciri-ciri konteks yang relevan dalam konteks situasi, yaitu:
a) Pembicara/Penulis (Addressor)
b) Pendengar/pembaca (Addresse)
c) Topik pembicaraan (Topic)
d) Saluran (Channel)
e) Kode (Code/bahasa)
f) Bentuk Pesan (Message Form)
g) Peristiwa (Event)
h) Tempat dan waktu (Setting)
2) Konteks Pengetahuan

5
Schiffirin (2007: 549) mengatakan bahwa teori tindak tutur dan pragmatik
memandang konteks dalam istilah pengetahuan, yaitu apa yang mungkin bisa
diketahui oleh antara si pembicara dengan mitra tutur dan bagaimana
pengetahuan tersebut membimbing/menunjukkan penggunaan bahasa dan
interpretasi tuturannya. Artinya ketika pembicara dan mitra tutur memiliki
kesamaan pengetahuan akan apa yang dibicarakan atau dapat juga disebut
common ground, maka kesalahpahaman atau ketidaktepatan interpretasi tidak
akan terjadi.
Imam Syafie (1990: 126) menambahkan bahwa, apabila dicermati dengan
benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi empat
macam, yaitu: (a) Konteks linguistik (kalimat); (b) Konteks epistemis (latar
belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan); (c) Konteks
fisik (meliputi tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan di dalam
percakapan dan tindakan para partisipan); (d) Konteks sosial (relasi sosio-kultural
yang melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan).
5. Hubungan Antara Teks, Ko-Teks Dan Konteks Dalam Kajian Wacana

Berdasarkan ketiga definisi dari teks, koteks, dan konteks tersebut maka
dapat dikatakan bahwa hubungan antara teks, koteks dan konteks sangatlah
erat atau selalu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya koteks
dalam struktur wacana menunjukkan bahwa teks tersebut memiliki struktur yang
saling berkaitan satu dengan yang lainnya sehingga wacana menjadi utuh dan
lengkap. Kemudian, dengan adanya konteks, maka munculah sebuah wacana
yang terdiri dari teks-teks. Hal tersebut dikarenakan makna yang terealisasi di
dalam teks merupakan hasil interaksi pemakai bahasa dengan konteksnya,
sehingga konteks merupakan wahana terbentuknya teks.

D. POKOK PERMASALAHAN KAJIAN WACANA

1. Kajian Wacana
Kajian merupakan suatu kajian disiplin ilmu yang mengkaji wacana Dalam
kajian wacana terdapat beberapa macam seperti: tindak tutur, Sosiolinguistik
interaksional, Kontribusi Antopologi: Gumperz, Kontruksi Sosiolog: Goffman,
Sosiolinguistik Interaksional ke dalam Konteks dan Wacana, dan Pragmatik.
2. Macam-macam Kajian Wacana
a. Tindak Tutur
Konsep mengenai tindak ujaran (Speech Acts) dikemukakan pertama oleh
John L. Austin dengan bukunya How to Do Things with Words (1962). Austin

6
adalah orang pertama yang mengungkapkan gagasan bahwa bahasa dapat
digunakan untuk melakukan tindakan melalui pembedaan antara ujaran konstatif
dan ujaran performatif. Ujaran konstantif mendeskripsikan atau melaporkan
peristiwa atau keadaan dunia. Dengan demikian, ujaran konstantif dapat
dikatakan benar atau salah. Sedangkan ujaran performatif, tidak
mendeskripsikan benar salah dan pengujaran kalimat merupakan bagian dari
tindakan. (Austin, 1962: 5)
Austin membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran,
yaitu:
1) Lokusi, yaitu semata-mata tindak bicara, tindakan mengucapkan kalimat sesuai
dengan makna kata atau makna kalimat. Dalam hal ini kita tidak
mempermasalahkan maksud atau tujuan dari ujaran tersebut. Misal ada orang
berkata saya haus artinya orang tersebut mengatakan dia haus.
2) Ilokusi, yaitu tindak melakukan sesuatu. Di sini kita berbicara mengenai
maksud, fungsi dan daya ujaran yang dimaksud. Jadi ketika ada kalimat saya
haus dapat memiliki makna dia haus dan minta minum.
3) Perlokusi, adalah efek yang dihasilkan ketika penutur mengucapkan sesuatu.
Misalnya ada kalimat saya haus maka tindakan yang muncul adalah mitra
tutur bangkit dan mengambilkan minum.
J.R. Searle kemudian menerbitkan buku Speech Acts yangmengembangkan
hipotesa bahwa setiap tuturan mengandung arti tindakan.Tindakan ilokusioner
merupakan bagian sentral dalam kajian tindak tutur. Ada lima jenis ujaran seperti
yang diungkapkan oleh Searle (1969) antara lain:
a. Representatif (asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kebenaran
atas apa yang dikatakan (misal: menyatakan, melaporkan, mengabarkan,
menunjukan, menyebutkan).
b. Direktif, tindak ujaran yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar mitra
tutur melakukan apa yang ada dalam ujaran tersebut (misalnya: menyuruh,
memohon, meminta, menuntut, memohon).
c. Ekspresif, tindak ujaran yang dilakukanss dengan maksud ujarannya diartikan
sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan pada ujaran tersebut (misalnya:
memuji, mengkritik, berterima kasih).
d. Komisif, tindak ujaran yang mengikat penutur untuk melakukan seperyi apa yang
diujarkan (misalnya bersumpah, mengancam, berjanji).
e. Deklarasi, tindak ujaran yang dilakukan penutur dengan maksud untuk
menciptakan hal yang baru (misalnya memutuskan, melarang, membatalkan).
Ada kalanya tempat, waktu, suasana, peristiwa, dan keberadaan orang
tertentu dimanfaatkan oleh seseorang untuk mendukung dan menunjang
keberhasilan tuturan yang dilakukannya kepada mitra tuturnya. Pemanfaatan

7
konteks untuk mendukung keberhasilan tujuan tuturan inilah yang dimaksudkan
dengan pendayagunaan konteks yaitu sebagai berikut:
3. Sosiolinguistik interaksional
Sosiolinguistik interaksional adalah pandangan atau lebih tepatnya sebuah
kontribusi dari dua tokoh yang akhirnya bisa mengembangkan masalah
sosiolinguistik interaksional. Dalam bagian ini, Deborah mendeskripsikan
gagasan dasar sosiolingustik interaksional. Deborah mengawali dengan kerja
Gumperz dan kemudian beralih ke kerja Goffman.
Kontribusi Antopologi: Gumperz
Dalam sebagian besar pendahuluan koleksi essai akhirnya (Discourse
Strategies), Gumperz menyatakan bahwa dia mencari pengembangan tafsir
ancangan sosiolinguistik ke arah analisis prosese waktu nyata dalam pertemuan
semuka.
Teori komunikasi verbal yang diajukan oleh Gumperz memerlukan
penambahan konsep dan prosedur analitis yang terbangun dari agasan awalnya
tentang kultur, sosial, bahasa, dan penutur. Satu konstruk baru adalah isyarat
kontekstualisasi. Isyarat kontekstualisasi dikaitkan pada dua konsep lain:
prasangka kontekstual dan tempat inferensi.
Kunci dari sosiolinguistik komunikasi interpesonal Gumperz adalah
pandangan bahasa yang secara sosial dan kultural dikonstruk sistem simbol
yang digunakan sebagai cara yang merefleksikan makna sosial level-mikro
(misal; identitas kelompok, perbedaan status) dan menciptakan makna sosial
level-makro (apakah seseorang menuturkan da melakukan pada waktu yang
tepat). Penutur adalah anggota kelompok sosial dan kultural: cara kita
menggunakan bahasa bukan hanya merefleksikan identitas, dasar kelompok kita
tetapi juga memberikan indikasi kontinu semacam siapa kita, kita ingin
berkomunikasi apa, dan bagaimana kita tahu bagaimana melakukan. Kecakapan
memproduk dan memahami prosesindeksikal itu menjadikan mereka tampak,
dan dipengaruhi oleh, konteks lokal merupak bagian kompetensi komunikatif
kita. Sebagaimana kita lihat pada bagian berikut ini, kerja Erving Goffman juga
berfokus pada pengetahuan ditempatkan, penutur, dan konteks sosial, tetapi
berbeda cara dan berbeda penekanan.
Kontruksi Sosiolog: Goffman
Adalah seorang tokoh yang juga memberi kontribusi ke arah
pengembangan sosiolinguistik interaksional adalah kerja Erving
Goffman.Walaupun Goffman tidak menganalisis bahasa saja, fokus pada intraksi
sosialnyamelengkapi fokus Gumperzpada situasi penarikan simpulan. Goffman
meletakan bahasa (dan sistem tanda lain) dalam konteks sosial dan
interpersonal yang sama seperti penetapan presaposisi temuan Gumperz

8
merupakan latar belakang yang penting untuk memahami makna. Ada
tambahan dari Goffman, yaitu satu pemahaman bentuk dan makna konteks yang
membiarkan kita agar lebih penuh mencirikan dan menghargai dugaan
kontekstual yang tergambar dalam dugaan mitra tutur terhadap makna penutur.
Sosiologi Goffman mengembangkan gagasan beberapa ahli teori sosiologi klasik
dan mengaplikasikannya untuk ranah kehidupan sosial yang kompleksitas
strukturalnya (sebelum kerja Goffman) secara luas berlangsung tanpa
terperhatikan: interaksi sosial bersemuka.
Kerja Goffman sebagaimana memberikan elaborasi praduga kontekstual
bahwa orang menggunakan dan mengonstruk selama proses menduga, dan
sebagai tawaran pandangan makna dengan cara praduga tersebut secara
eksternal dionstruk dan menentukan keterikatan-keterikatan eksternal pada
cara-cara kita memahami pesan. Sebagian besar kerja Goffman yang terakhir
pada penutur (1974; 1979) terbagun atasa pembagian awalnya melokasikan
penutur di dalam kerangka kerja partisipan seperangkat posisi yang individu di
dalam batas perseptual tuturan berada dalam hubungan ke arah tuturan
tersebut. Goffman membedakan empat posisi atau status partisipan: Animator,
Author, Figure, dan Prinsipal. Animator memproduk tuturan, Author menciptakan
tuturan, Figure dipotret lewat tuturan, dan Prinsipal merespon tuturan.
4. Etnografi komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar
adalah kajian tentang etnografi komunikasi.Etnografi adalah kajian tentang
kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-
istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian vang sangat
berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang
kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok (Richards dkk.,1985).
Semula etnografi komunikasi (etnography of communication) disebut
etnografi wicara atau etnografi pertuturan (ethnograpliy of speaking).Kalau
etnografi itu dipandang sebagai kajian yang memerikan suatu masyarakat atau
etnik, model pemerian etnografi itu bisa diterapkan dan difokuskan kepada
bahasa masyarakat atau kelompokmasyarakat tertentu.Karena sosiolinguistik itu
lebih banyak mengungkapkan pemakaian bahasa, dan bukan ihwal struktur
bahasa, maka etnografi tentang bahasa difokuskan kepada pemakaian bahasa
dalam pertuturan atau lebih luas lagi komunikasi yang menggunakan bahasa.
5. Pragmatik
Pragmatik adalah sebuah ancangan yang menguraikan tiga konsep (makna,
konteks, komunikasi) yang sangat luas dan rumit (Debora, 2007: 268). Tidak
mengherankan bahwa lingkup pragmatik yang begitu luas, sehingga bidang

9
kajian ini mengalami banyak dilema yang serupa dengan yang dihadapi analisis
wacana. Salah satu tipe khusus pragmatik adalah model Grice yang beberapa
definisinya mencakup banyak bidang yang sama dengan analisis wacana. Teori
ini juga menjadi pusat penelitian pragmatik (Fasold, 1990: 128).
6. Anlisis Percakapan
Pada dasarnya percakapan adalah manifestasi penggunaan bahasa untuk
berinteraksi. Mey (2001: 137) berpendapat bahwa wujud penggunaan bahasa
tersebut dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah isi, yaitu aspek
yang memperhatikan hal-hal seperti topik apa yang didiskusikan dalam
percakapan; bagaimana topik disampaikan dalam percakapan: apakah secara
eksplisit, melalui presuposisi, atau diimplisitkan dengan berbagai macam cara;
jenis topik apa yang mengarah pada topik lain dan apa alasan yang
melatarbelakangi hal semacam ini terjadi, dsb. Selain itu, fokus lain dari aspek
ini adalah organisasi topik dalam percakapan dan bagaimana topik dikelola, baik
disampaikan dengan cara terbuka maupun dengan manipulasi secara tertutup:
biasanya dalam bentuk tindak ujar taklangsung. Kedua adalah aspek formal
percakapan. Fokus utama dalam aspek ini adalah hal-hal seperti bagaimana
percakapan bekerja; aturan-aturan apa yang dipatuhi; dan bagaimana
sequencing keberurutan dapat dicapai (memberikandan memperoleh giliran
atau mekanisme turn-taking, jeda, interupsi, overlap, dll.).
Bila dilihat dari sudut pandang historis, analisis percakapan muncul
ditengah-tengah kebingungan teoretis setelah munculnya revolusi linguistik yang
digagas oleh Chomsky di akhir tahun 50an dan di awal tahun 60an. Analisis
percakapan ini diprakarsai oleh sekelompok orang pemerhati bahasa
nonprofesional (para sosiolog seperti Sacks, Schegloff, dan Jefferson). Mereka
melihat bahwa contoh-contoh bahasa yang diberikan oleh para linguis
profesional seringkali tidak alami, bahkan sebagian dari contoh-contoh ujaran
tersebut tidak muncul dalam percakapan yang alamiah. Kemudian, mereka pun
menemukan bahwa aturan-aturan yang dipatuhi dalam percakapan lebih mirip
dengan aturan-aturan yang dipakai masyarakat dalam aktivitas sosial daripada
dengan aturan-aturan yang terdapat dalam linguistik.
7. Kajian Analisis Variasi
Ancangan wacana variosionis berasal dari studi kuantitatif perubahan dan
variasi linguistic. Walaupun analisis tersebut secara tipical berfokus pada
pembatasan-pembatasan social dan linguistic pada varian equivalen secara
semantic, ancangan tersebut juga diperluas ke arah teks. Kami melihat bahwa
unit dasar narasi adalah peristiwa, unit dasar daftar adalah kesatuan. Informasi
utama daftar adalah deskriftif. Pembandingan tersebut merefleksikan tendensi

10
variasiois terhadap tuturan wacana dalam istilah yang sama yang digunakan
dengan orientasi linguistic secara structural: unit-unit beranak-pihak ke arah
konstituen: informasi dalam pengertian proposional (meskipun fakta bahwa
proposisi sendiri memilki interpretasi evaluative);struktur adalah aturan
sintagmatis dan paradigmatis dari unit-unit dalam pola-pola berula.

E. PIRANTI KOHESI DAN KOHERENSI

1. Piranti Kohesi
Menurut Halliday dan Hassan (1976), unsur kohesi terbagi atas dua macam,
yaitu unsur leksikal dan unsur gramatikal. Piranti kohesi gramatikal merupakan
piranti atau penanda kohesi yang melibatkan penggunaan unsur-unsur kaidah
bahasa. Piranti kohesi leksikal adalah kepaduan bentuk sesuai dengan kata.
a. Piranti Kohesi Gramatikal
Pada umumnya, dalam bahasa Indonesia ragam tulis, digunakan piranti
kohesi gramatikal sebagai berikut:
1) Referensi

Referensi berarti hubungan antara kata dengan benda. Kata pena misalnya
mempunyai referensi sebuah benda yang memiliki tinta digunakan untuk
menulis. Halliday dan Hasan (1979) membedakan referensi menjadi dua macam,
yaitu eksoforis dan endoforis.

a) Referensi eksoforis adalah pengacuan satuan lingual yang terdapat di luar teks
wacana. Contoh: Itu matahari. Kata itu pada tuturan tersebut mengacu pada
sesuatu di luar teks, yaitu benda yang berpijar yang menerangi alam ini.
b) Referensi endofora adalah pengacuan satuan satuan lingual yang terdapat di
dalam teks wacana. Referensi endofora terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
Referensi anafora yaitu satuan lingual yang disebut lebih dahulu atau ada pada
kalimat yang lebih dahulu, mengacu pada kalimat awal atau yang sebelah kiri.
Contoh: Hati Adi terasa berbunga-bunga. (b) Dia yakin Janah menerima
lamarannya. Kata Dia pada kalimat (b) mengacu pada kata Adi. Pola
penunjukkan inilah yang menyebabkan kedua kalimat tersebut berkaitan secara
padu dan saling berhubungan.
Referensi katafora yaitu satuan lingual yang disebutkan setelahnya, mengacu
pada kalimat yang sebelah kanan. Contoh: Karena bajunya kotor, Gani pulang ke
rumah. Pronomina enklitik-nya pada kalimat pertama mengacu pada antaseden
Gani yang terdapat pada kalimat kedua. Baik referensi yang bersifat anafora

11
maupun katafora mengunakan pronomina persona, pronominal penunjuk, dan
pronomina komparatif.
2) Pronomina
a) Pronomina Persona adalah pengacuan secara berganti-ganti bergantung yang
memerankannya. Dalam bahasa Indonesia, pronominal persona diperinci sebagai
berikut.

Pronomina Tunggal Jamak


persona

Persona pertama Aku, saya Kami, kita

Persona kedua Kamu, engkau, Kalian, kami


anda sekalian

Persona ketiga Dia, ia, beliau Mereka

Contoh:

- Ida, kamu harus belajar. (referensi bersifat anfora)


- Kamu sekarang harus lari! Ayo, Okta cepatlah! (referensi bersifat katafora)
b) Pronomina demonstrasi yaitu pengacuan satual lingual yang dipakai untuk
menunjuk. Biasanya menggunakan kata: ini, itu, kini, sekarang, saat ini, saat itu,
di sini, di situ, di sana dan sebagainya. Contoh: (a) Di sini saya dilahirkan. (b) Di
rumah inilah saya dibesarkan, kata Ani. Pronominal di sini pada kalimat (a)
mengacu secara katafora terhadap antesedan rumah pada kalimat (b).
c) Pronomina komparatif adalah deiktis yang menjadi bandingan bagi
antasedennya. Kata-kata yang termasuk kategori pronominal komparatif antara
lain: sama, persis, identik, serupa, segitu serupa, selain, berbeda, tidak beda
jauh, dan sebagainya. Contoh: Dani mirip dengan Ali karena mereka bersaudara.
3) Substitusi (penggantian)

Penggantian adalah penyulihan suatu unsur wacana dengan unsur yang lain
yang acuannya tetap sama, dalam hubungan antarbentuk kata, atau bentuk lain
yang lebih besar daripada kata, seperti frasa atau klausa (Halliday dan Hassan,
1979: 88; Quirk, 1985: 863). Secara umum, penggantian itu dapat berupa kata
ganti orang, kata ganti tempat, dan kata ganti sesuatu hal.

a) Kata ganti orang merupakan kata yang dapat menggantikan nama orang atau
beberapa orang. Contoh: Nurul mengikuti olimpiade matematika. Ia mewakili
Kalimantan Selatan.

12
b) Kata ganti tempat adalah kata yang dapat menggantikan kata yang menunjuk
pada tempat tertentu. Contoh: Kabupaten Paser merupakan penghasil minyak
terbesar di Kalimantan Timur. Di sana banyak terdapat pabrik sawit sebagai alat
untuk mengolah buah sawit menjadi minyak mentah.
c) Dalam pemakaian Bahasa untuk mempersingkat suatu ujaran yang panjang
yang digunakan lagi, dapat dilakukan dengan menggunakan kata ganti hal.
Sesuatu yang diuraikan dengan panjang lebar dapat digantikan dengan sebuah
atau beberapa buah kata. Contoh: Pembukaan UUD 1945 dengan jelas
menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara. Dengan demikian, Pancasila
merupakan nilai dasar yang normatif terhadap seluruh penyelenggaraan negara
Repubublik Indonesia. Kata demikian pada contoh di atas merupakan kata ganti
hal yang menggantikan seluruh preposisi yang disebutkan sebelumnya.
4) Elipsis (penghilangan/ pelepasan)

Elipsis adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan


lain. Elipsis juga merupakan penggantian unsur kosong (zero), yaitu unsur yang
sebenarnya ada tetapi sengaja dihilangkan atau disembunyikan. Contoh: Tuhan
selalu memberikan kekuatan, ketenangan, ketika saya menghadapi saat-saat
yang menentukan dalam penyusunan skripsi ini. (Saya mengucapkan) terima
kasih Tuhan.

5) Konjungsi (kata sambung)

Konjungsi termasuk salah satu jenis kata yang digunakan untuk


menghubungkan kalimat.Piranti konjungsi dalam bahasa Indonesia dibedakan
menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut:

a) Piranti urutan waktu (Setelah itu, sebelum itu, sesudah itu, lalu, kemudian,
akhirnya, waktu itu, sejak itu dan ketika itu). Contoh: Ani memberikan sambutan
di Kantor Walikota Balikpapan. Setelah itu dia akan berkunjung ke Pulau Kumala.
b) Piranti Pilihan (untuk menyatakan dua proposisi berurutan yang menunjukan
hubungan pilihan). Contoh: Pergi ke Pasar Lama atau ke Pasar Baru.
c) Piranti Alasan (seperti meski(pun) demikian, meski(pun) begitu, kedati(pun)
demikian, kedatipun begitu, biarpun demikian, dan biarpun begitu). Contoh:
Rumi tetap pergi ke Kampus, meskipun hujan.
d) Piranti Parafrase merupakan suatu ungkapan lain yang lebih mudah dimengerti.
Perlu juga diperhatikan bahwa sejumlah teori dan pendekatan yang ada tersebut,
bagi pembaca justru saling melengkapi. Dengan kata lain, apabila tujuan
pembaca ingin memahami keseluruhan aspek dalam karya satra, tidak mungkin
mereka hanya memiliki satu pendekatan.

13
e) Piranti Ketidaserasian, pada umumnya ditandai dengan perbedaan proposisi
yang terkandung di dalamnya, bahkan sampai pada pertentangan. Contoh:
Nyasar di Martapura, padahal saya sudah melihat penunjuk jalan.
f) Piranti Serasian, digunakan apabila dua buah ide atau proposisi itu menunjukkan
hubungan yang selaras atau sama. Contoh: Nia sangat dermawan, demikian
juga dengan ibunya.
g) Piranti konjungsi tambahan/aditif (pula, juga, selanjutnya, dan, di samping itu,
tambahan lagi, dan selain itu). Contoh: Masukkan kentang dan wortel,
selanjutnya beri garam dan gula secukupnya. Selain itu, kita juga bisa
menambahkan brokoli dan jagung manis.
h) Piranti Pertentangan/Kontras (akan tetapi, tetapi, sebaliknya, namun, dsb).
Contoh: Perkembangan kognitif anak sudah baik. Namun, harus tetap berlatih
agar tidak terjadi penurunan. Diky sangat nakal, tetapi ia pintar.
i) Piranti Perbandingan/Komparatif (sama halnya, berbeda dengan itu, seperti,
dalam hal seperti itu, serupa dengan itu, dan sejalan dengan itu). Contoh:
Pantun, puisi asli Indonesia, berbeda dengan syair.
j) Piranti Sebab-akibat, contoh: Karena sering membuang sampah ke Sungai
akibatnya rumah warga di sepanjang Jl. Yos Sudarso terendam banjir.
k) Piranti Harapan (Optatif), hubungan optatif terjadi apabila ada ide atau proposisi
yang mengandung suatu harapan atau doa. Contoh:
Mudah-mudahan kejadian seperti itu tidak terulang kembali.
Semoga artikel ini bermanfaat bagi pembaca.
l) Piranti Ringkasan dan Simpulan, piranti tersebut berguna untuk mengantarkan
ringkasan dari bagian yang berisi uraian. Contoh: Demikianlah beberapa
informasi memngenai manfaat buah apel bagi kesehatan yang telah saya
sampaikan pada artikel ini. Jadi, mulai sekarang sering-seringlah mengkonsumsi
buah apel.
m) Piranti Misalan atau Contohan, berfungsi untuk memperjelas suatu uraian,
khususnya uraian yang bersifat abstrak. Biasanya, kata yang digunakan adalah
contohnya, misalnya, umpanya, dsb. Contoh: Kata ganti orang pertama tunggal.
Contohnya hamba, saya, beta, aku, daku, dan sebagainya.
n) Piranti Keragu-raguan (Dubitatif), piranti tersebut digunakan untuk
mengantarkan bagian yang masih menimbulkan keraguan. Kata yang digunakan
adalah jangan-jangan, barangkali, mungkin, kemungkinan besar, dan
sebagainya. Contoh: Mungkin dia sedang sedih.
o) Piranti Konsesi: memang, tentu saja, dalam memberikan penjelasan,
adakalanya, pengirim pesan mengakui sesuatu kelemahan atau kekurangan
yang terjadi di luar jalur yang dibicarakan. Pengakuan itu dapat dinyatakan
dengan kata memang atau tentu saja. Contoh: Memang benar dia pintar.

14
p) Piranti Tegasan, proposisi yang telah disebutkan perlu ditegaskan lagi agar
dapat segera dipahami dan di resapi. Contoh: Untuk makan sehari-hari saja
susah apalagi untuk membeli rumah.
q) Piranti Jelasan, piranti ini digunakan untuk memberikan penjelasan yang berupa
proposisi (pikiran, perasaan, peristiwa, keadaan, dan sesuatu hal) lanjutan.
Contoh: Yang dimaksud braille adalah sistem tulisan dan cetakan untuk orang
buta.
b. Piranti Kohesi Leksikal
Berupa kata atau frasa bebas yang mampu mempertahankan hubungan
kohesif dengan kalimat mendahului atau mengikuti. Menurut Rentel (1986: 268-
289), piranti kohesi leksikal terdiri atas dua macam yaitu:
1) Reiterasi (pengulangan) Reiterasi merupakan cara untuk menciptakan
hubungan yang kohesif. Jenis-jenis reiterasi itu meliputi:
a) Repetisi Ulangan: Repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan hubungan kohesif antarkaliamat. Macam-macam ulangan atau
repetisi berdasarkan data pemakaian bahasa Indonesia seperti berikut:
Ulangan Penuh, contoh: Buah Apel adalah salah satu buah yang sangat tidak
diragukan kelezatan rasanya. Buah Apel memiliki kandungan vitamin, mineral
dan unsur lain seperti serat, fitokimian, baron, tanin, asam tartar, dan lain
sebagainya.
Ulangan dengan bentuk lain: Terjadi apabila sebuah kata diulang dengan
konstruksi atau bentuk kata lain yang masih mempunyai bentuk dasar yang
sama. Contoh: Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai
dengan rasa ragu-ragu dan fisafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat
didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita
tahu.
Ulangan dengan Penggantian: Pengulangan dapat dilakukan dengan mengganti
bentuk lain seperti dengan kata ganti. Contoh: Seorang yang berfilsafat dapat
diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-
bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya.
Ulangan dengan hiponim, contoh: Bila musim kemarau tiba, tanaman di
halaman rumah mulai mengering. Bunga tidak mekar seperti biasanya.
b) Kolokasi: Suatu hal yang selalu berdekatan atau berdampingan dengan yang
lain, biasanya diasosiasikan sebagai kesatuan. Contoh: UUD 1945 dan Pancasila.
Ada ikan ada air.
2. Piranti Koherensi
Istilah koherensi mengacu pada aspek tuturan, bagaimana proposisi yang
terselubung disimpulkan untuk menginterpretasikan tindakan ilokusinya dalam
membentuk sebuah wacana. Proposisi-proposisi di dalam suatu wacana dapat
membentuk suatu wacana yang runtut (koheren) meskipun tidak terdapat

15
pemerkah penghubung kalimat yang di gunakan. Contoh: Guntur kembali
bergema dan hujan menderas lebih hebat lagi. (b) Hati Darsa makin kecut.

F. PRAANGGAPAN

1. Praanggapan
a. Pengertian
Secara etimologi praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-
suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand
(menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis
mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang kawan
bicara atau hal yang dibicarakan. Nababan dalam Eva (2012: 11)
mengemukakan bahwa praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar
mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa yang
mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya
membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dipakainya
untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.
Menurut Lubis dalam Eva (2012: 11-12) Praanggapan pragmagtik
membedakan dua konsep, yakni (1) pranggapan semantik, dan (2) praanggapan
pragmatik. Praanggapan semantik adalah bila suatu pernyataan dapat ditarik
praanggapannya melalui leksikon. Praanggapan pragmatik adalah bila suatu
pernyataan dapat ditarik praanggapannya melalui konteks. Jadi, suatu ujaran
tidak selalu dapat ditanggakap maknanya hanya dengan mengetahui ujaan itu
saja, tetapi ujaran itu harus ditambah dengan pengetahuan bersama yang
dimiliki oleh pesapa sehingga makna sebuah ujaran dapat dipahami.
Praanggapan telah didefinisikan dengan berbagai macam cara, namun
secara umum berarti asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam
ungkapan-ungkapan linguistik tertentu (Cummings, 2007: 42). Menurut Yule
dalam Eva (2012: 12) Praanggapan adalah sesuatu yang diasumsikan oleh
penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa praanggapan merupakan suatu anggapan
awal yang secara tersirat dimiliki oleh sebuah ungkapan kebahasaan sebagai
wujud tanggapan awal pendengar dalam merespon suatu ungkapan kebahasaan.
Contoh:
- Iqbal telah berhenti mengayuh sepedanya. Dalam kalimat tersebut
terkandung beberapa praanggapan yang mendukung arti kalimat itu sendiri,
yaitu:
(a) Iqbal tentunya memiliki sepeda.

16
(b) Sebelum pernyataan itu diungkapkan sebelumnya Iqbal pastilah sedang
mengayuh sepedanya.
- Kayawan pendiam itu paling rajin dibanding yang lain. Praanggapan yang bisa
saja muncul dari kalimat tersebut adalah seorang karyawan yang pendiam
namun rajin. Apabila pada kenyataannya memang ada seorang karyawan yang
pendiam dan rajin, ukuran ini dapat dinilai benar atau salahnya. Sebaliknya
apabila di tempat kerja tidak ada karyawan yang pendiam dan rajin, makaukuran
tersebut tidak dapat ditentukan benar atau salahnya.
b. Jenis-Jenis Praanggapan
Menurut Gorge Yule dalam Eva (2012: 14) Gorge Yule mengklasifikasikan
praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu :
1) Praanggapan Eksistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah praanggapan yang
menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan
kata yang definit (pasti). Contoh: (a) Orang itu berjalan; (b) Ada orang berjalan.
2) Praanggapan Faktif
Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi
yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu
kenyataan. Contoh: (a) Saya gembira bahwa ini berakhir => praamggapan
dalam tuturan ini disebabkan kata gembira yang diasumsikan bahwa ini
berakhir. (b) Kami menyesal mengatakan kepadanya => kata Menyesal
diasumsikan sebagai bentuk kenyataan bahwa kami tidak berniat mengatakan
hal itu. (Eva, 2012: 15)
3) Praanggapan Leksikal
Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan
di mana makna yang dinyatakan secara konvensional (secara umum) ditafsirkan
dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.
Contoh: (a) Dia Berhenti Bekerja => Kata berhenti secara leksikal mempunyai
makna tidak beraktivitas. Sehingga kata tersebut mempunyai praanggapan
bahwa dulu dia pernah bekerja.
4) Praanggapan Non-faktif
Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang
diasumsikan tidak benar. Contoh: (a) Andi membayangkan bahwa dia kurus; (b)
Andi tidak kurus. (c) Tika berpura-pura sakit.
5) Praanggapan Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-
kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan
konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal
ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan
kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah. Contoh: (a)
Di mana Anda membeli sepeda itu?; (b) Kapan dia pergi?

17
6) Praanggapan Konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang
dipraanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan
(lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan. Contoh: (a)
Seandainya dia mempunyai ijazah SMA, pastilah akan memperoleh pekerjaan
yang lebih layak. (b) Andai kata kamu ikut kuliah mingu lalu, pasti kamu tidak
akan mengikuti ujian susulan.
2. Implikatur (Makana Tersirat)
Konsep implikatur kali pertama dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk
memcahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori
semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan
atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang
dinyatakan secara harfiah Brown dan Yule (1983:1). Sebagai contoh, kalau ada
ujaran panas disini bukan? Maka secara implisit/didalamnya penutur
menghendaki agar mesin pendingin di hidupkan atau jendela dibuka.
Contoh: Dia seorang perwira karena itu dia pemberani,. Pada contoh
tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri
(pemberani) disebabkan oleh ciri lain (seorang perwira), tetapi bentuk ungkapan
yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada.
Kalau individu itu dimaksud seorang perwira dan tidak pemberani, implikaturnya
yang keliru tetapi ujaran tidak salah.
1) Deiksis, Referensi dan Inferensi
a) Deiksis
Deiksis adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti
penunjukan. Sehingga ungkapan yang menunjukan kepada suatu objek disebut
dengan ungkapan deiksis (Yule, 1996). Misalnya kita menggunakan ungkapan
yang mengandung kata ini, itu, -mu, -ku, -nya, disini, disana,
sekarang, tadi, kemudian, maka ungkapan itu menjadi ungkapan deiksis.
Dengan demikian, ada rujukan yang berasal dari penutur, dekat dengan
penutur dan jauh dari penutur. Ada tiga jenis deiksis, yaitu :
- Deiksis Ruang (berkaitan dengan lokasi relatif penutur dan mitra tutur yang
terlibat di dalam interaksi. Di dalam bahasa Indonesia, misalnya, kita mengenal
di sini, di situ, dan di sana. Titik tolak penutur diungkapkan dengan ini dan
itu).
- Deiksis Persona (dapat dilihat pada bentuk-bentuk pronominal. Bentuk-
bentuk pronominal itu sendiri dibedakan atas pronominal orang pertama,
pronominal orang kedua, dan pronominal orang ketiga. Di dalam bahasa
Indonesia, bentuk ini masih dibedakan atas bentuk tunggal dan bentuk jamak).

18
- Dieksis Waktu (berkaitan dengan waktu relatif penutur atau penulis dan mitra
tutur atau pembaca. Pengungkapan waktu di dalam setiap bahasa berbeda-
beda).
b) Referensi dan Inferensi
Adapun variabel-variabel yang bermain dalam deiksis adalah referensi dan
inferensi. Referensi adalah rujukan yang dimaksud oleh penutur deiksis,
sementara itu inferensi konsep yang kurang lebih harus sama dengan referensi
tetapi ada dalam pikiran pendengar. Setiap kata atau ungkapan deiksis yang
dituturkan itu merujuk pada objek atau pengertian tertentu (reference) dan
pendengar harus memiliki pengetahuan mengenai apa yang dirujuk oleh tuturan
itu (inference).
Dalam upaya untuk mencerna referensi penutur, pendengar harus
memperhatikan pilihan kata yang digunakan oleh penutur sekaligus mengaitkan
makna kata tersebut dengan gestur penutur (Huang, 2007). Misalnya penutur
menggunakan deiksis spasial itu seraya menggunakan jari telunjuk, wajah,
mata atau yang lain untuk membantu pendengar mengetahui referensi yang
dimaksud. Akan tetapi, dapatkah itu terjadi jika ungkapan deiksis itu digunakan
atau diproduksi lewat alat komunikasi tak langsung seperti telepon, surat, SMS,
dan sebagainya?.
Huang (2007:134) menyebutkan bahwa gestur merupakan penggunaan
dasar dan simbol seperti kata merupakan penggunaan yang lebih luas. Kedua
(gestur dan simbol) memang saling membantu satu sama lain, agar ungkapan
dapat dimengerti. Tetapi satu hal yang dilupakan oleh kedua pakar ini adalah
kondisi skemata pendengar (addressee) yang juga bermain peran sangat penting
dalam penelaahan inferensi.
Skemata pendengar yang berasal dari pengalaman dialogis (pengalaman-
pengalaman yang saling berhubungan) seharusnya mendapatkan perhatian yang
lebih penting daripada sekedar membahas bagaimana memproduksi ungkapan
deiksis.
3. Contoh Analisi Praanggapan dalam sebuah wacana
Kartun Kompas Edisi Maret 2012 Dia sebenarnya jujur (4 Maret)
X : Saya terima tiga mobil itu dari mana?itu mereka berhalusinasi...!!!
Yoga : Halah kutu kumpret, bohong.
Sukribo : Gak tahu malu, dasar.
Pak Haji : Heh, jangan nuduh orang sembarangan dik. Dia itu jujur jangan
berburuk sangka!!!
Yoga : Mpphh, kayaknya tambah lagi nih kiayi baju biru.
Pak Haji : Bisa saja kan dia gak terima tiga mobil, tapi empat...
Tuturan :
a) Saya terima tiga mobil itu dari mana? itu mereka berhalusinasi...!!!
b) Halah kutu kumpret, bohong. Gak tahu malu, dasar
c) Mpphh, kayaknya tambah lagi nih kiayi baju biru

19
d) Heh, jangan nuduh orang sembarangan dik. Dia itu jujur jangan berburuk
sangka!!! Bisa saja kan dia gak terima tiga mobil, tapi empat
Praanggapan:
(a) X dituduh menerima mobil dari seseorang
(b) X berbohong
(c) Kiayi terlibat dalam pembicaraan
(d) X menerima empat mobil.

Analisi:
Praanggapan (a) adalah praanggapan non faktif karena kata dituduh
belum bisa dipastikan kebenarannya. Demikian juga dengan pranggapan (b) dan
(d) belum bisa dipastikan kebenerannya si X berbohong atau tidak. Selanjutnya
si X menerima empat mobil atau tiga mobil karena dalam percakapan tersebut
tidak dinyatakan keberadaan suatu bukti. Praanggapan (c) merupakan
praanggapan ekstensial karena pak Haji terlibat dalam pembicaraan mengenai
mobil si X bukan terlibat atas pemerolehan mobil si X. Oleh karena itu
keberadaan pak haji diakui terlibat dalam pembicaraan tersebut.
Sukribo, Yoga, X, dan pak Haji sebagai partisipan, berbicara tentang
mobil yang diterima oleh X. Dimana belum dapat dipastikan X menerima tiga
mobil atau empat karena pada pembicaraan tersebut tidak disinggung mengenai
bukti. Kemudian yang menjadi pengetahuan bersama adalah bahwa Sukribo dan
Yoga sedang marah, X sedang membela diri dan pak Haji mencoba
menenangkan situasi. Selanjutnya kita tahu biasanya Kiayi ahli dalam
menenangkan situasi yang sedang memanas.

G. WACANA LISAN (MONOLOG, DIALOG, DAN POLILOG)

Wacana lisan
Wacana lisan atau spoken discourse adalah wacana yang disampaikan
secara lisan, melalui media lisan. Untuk menerima, memahami atau menikmati
wacana lisan ini maka para penerima harus menyimak atau mendengarkannya.
Dengan kata lain pendengar adalah penyima. Wacana lisan ini sering pula
dikaitkan dengan interactive discourse atau wacana interaktif. Wacana lisan ini
sangat produktif dalam sastra lisan seluruh tanah air kita ini. (Tarigan, 52 :
2009).
Berdasarkan jumlah peserta yang terlibat pembicaraan dalam
berkomunikasi maka wacana lisan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu monolog,
dialog dan polilog dan penjelasannya adalah sebagai berikut:
a) Monolog

20
Wacana monolog merupakan wacana yang disampaikan oleh seorang diri
tanpa melibatkan orang lain untuk ikut berpartisipasi secara langsung. Wacana
monolog bersifat searah dan termasuk komunikasi tidak interaktif
(noninteractive communication). Wacana monolog terjadi seperti pada orasi
ilmiah, khotbah, dan penyampaian visi dan misi. Pada wacana monolog
pendengar tidak memberikan tanggapan secara langsung atas ucapan
pembicara. Contohnya pidato,ceramah.
b) Dialog
Wacana dialog merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua orang
secara langsung. Wacana dialog bersifat dua arah, dan masing-masing partisipan
secara aktif ikut berperan didalam komunikasi, sehingga disebut komunikasi
interaktif (interactive communication). Wacana dialog terjadi seperti pada
peristiwa diskusi, musyawarah, pembicaraan telepon, Tanya jawab, dan teks
drama.
c) Polilog
Wacana polilog merupakan pembicaraan atau percakapan yang melibatkan
partisipan pembicaraan lebih dari dua orang penutur. Partisipan yang terlibat
dalam pembicaraan semuanya berperan aktif dan langsung dalam komunikasi.
Wacana polilog terjadi seperti pada peristiwa musyawarah, diskusi, atau debat,
dan teks drama.

H. WACANA TULIS (WACANA DESKRIPSI, EKSPOSISI, ARGUMENTASI,


PERSUASI, DAN NARASI)

Wacana tulis

Wacana tulis merupakan pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip


harfiah kata- kata yang dipakai oleh pembicara dengan mempergunakan
konstruksi gramatikal atau kata tertentu, antara lain dengan klausa subordinatif,
kata bahwa, dan sebagainya. (Menurut Kridalaksana dalam Tarigan, 52 : 2009).

Berdasarkan wacana yang ditinjau dari tujuan berkomunikasi maka wacana


tulis dapat dibagi menjadi beberapa bentuk yaitu, wacana deskripsi, narasi,
eksposisi, argumentasi, dan persuasi dengan penjelasan sebagai berikut:

a) Wacana deskripsi
Wacana deskripsi adalah bentuk wacana yang berusaha menyajikan suatu
objek atau suatu hal sedemikian rupa sehingga objek itu sepertinya dapat
dilihat,dibayangkan oleh pembaca,seakan akan pembaca dapat melihat sendiri.
Deskripsi memiliki fungsi membuat para pembacanya seolah melihat barang

21
barang atau objeknya. Objek yang dideskripsikan mungkin sesuatu yang bias
ditangkap dengan panca indra kita,contohnya, sebuah hamparan sawah yang
hijau dan pemandangan yang indah, jalanjalan kota, tikus tikus selokan,wajah
seorang yang cantik molek atau seorang yang bersedih hati,alunan music dan
sebagainya.
b) Wacana narasi
Wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita.pada
wacana narasi terdapat unsurunsur cerita yang penting, seperti waktu, pelaku,
peristiwa. Adanya aspek emosi yang yang dirasakan oleh pembaca dan
penerima.Melalui narasi,pembaca atau penerima pesan dapat membentuk citra
atau imajinasi. Contoh: Sewaktu aku duduk diruang pengadilan yang penuh
sesak itu menunggu perkara ku disidangkan, dalam hatiku bertanya-tanya
berapa banyak orang-orang hari ini disini yang merasa,seperti apa yang
kurasakan bingung,patah hati, dan sangat kesepian. Aku merasa seolah-olah aku
memikul beban berat seluruh dunia di pundakku.
c) Wacana eksposisi
Karangan atau wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal
kepada penerima (Pembaca) agar yang bersangkutan memahaminya.Eksposisi
adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu objek sehingga
memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca. Wacana ini digunakan
untuk menjelaskan wujud dan hakikat suatu objek. Misalnya menjelaskan
pengertian kebudayaan, komunikasi, perkembangan tekhnologi,pertumbuhan
ekonomi kepada pembaca.
d) Wacana argumentasi
Menurut ( Rottenberg,1988: 9 ). Karangan argumentasi merupakan salah
satu bentuk wacana yang berusaha mempengaruhi pembaca atau pendengar
agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan pada
pertimbangan logis dan emosional .
e) Wacana persuasi
Wacana persuasi adalah wacana yang bertujuan mempengaruhi mitra tutur
untuk melakukan perbuatan sesuai yang diharapkan penuturnya. Untuk
mempengaruhi pembacanya, biasanya digunakan segala daya dan upaya yang
membuat mitra tutur terpengaruh. Untuk mencapai tujuan tersebut,wacana
persuasi kadang menggunakan alasan yang tidak rasional. Persuasi
sesungguhnya merupakan pernyimpangan dari argumentasi,dan khusus
berusaha mempengaruhi orang lain atau para pembaca. Persuasi lebih
mengutamakan untuk menggunakan atau memanfaatkan aspek aspek
psikologis untuk mempengaruhi orang lain.Jenis wacana persuasi yang paling
sering ditemui adalah kampanye dan iklan .

22
I. HAKIKAT ANALSIS WACANA TEORI VAN DJICK

Dari sekian banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan


dikembangkan oleh beberapa ahli, model Van Dijk adalah model yang paling
banyak dipakai. Analisis wacana kritis model van Dijk bukan hanya semata-mata
mengalisis teks, tapi juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan
kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat, dan bagaimana kognisi atau
pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks yang
dianalisis. Van Dijk menggambarkan wacana dalam tiga dimensi atau bangunan
yaitu : teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

Inti analisisnya adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut


ke dalam satu kesatuan analisis. Pada dimensi teks yang diteliti bagaimana
struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema
tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita, yang
melibatkan kognisi individu dari wartawan atau redaktur. Sedangkan aspek
ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat
akan suatu masalah yang mempengaruhi kognisi wartawan atau redaktur.
Namun, dalam analisis ini penulis tidak membahas ketiga dimensi tersebut.
Penulis hanya fokus pada analisis teks saja.

Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif-kualitatif dengan dasar


penelitian mengunakan metode analisis wacana kritis Teun A. van Dijk. Data
deskriptif adalah data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan
angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan
data untuk memberi gambaran laporan penyajian. Oleh karena sifatnya
berhubungan dengan kata-kata dan perilaku orang, maka pendeskripsian
menjadi sangat penting untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang
lebih jelas atas masalah yang dibahas. Proses interpretasi dilakukan, yaitu
menafsirkan data guna mengungkapkan makna-maknanya sebagai bagian dari
analisis.

Analisis teks terdiri atas beberapa struktur/ tingkatan yang masing-masing


bagian saling mendukung. Ada tiga tingkatan dalam analisis teks: struktur
makro, superstruktur dan struktur mikro.

23
1. Struktur Makro (Tematik). Elemen tematik merupakan makna global (global
meaning) dari satu wacana. Tema merupakan gambaran umum mengenai
pendapat atau gagasan yang disampaikan seseorang atau wartawan. Tema
menunjukkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita.
2. Superstruktur (Skematik/ Alur) : Teks atau wacana umumnya mempunyai
skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan
bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga
membentuk satu kesatuan arti. Sebuah berita terdiri dari dua skema besar.
Pertama summary yang ditandai dengan judul dan lead. Kemudian kedua adalah
story yakni isi berita secara keseluruhan.
3. Struktur Mikro. Struktur ini terdiri atas :
a) Analisis Semantik Tinjauan semantik suatu berita atau laporan akan meliputi
latar, detail, ilustrasi, maksud dan pengandaian yang ada dalam wacana itu.
1. Latar : Latar merupakan elemen wacana yang dapat mempengaruhi (arti
kata) yang ingin disampaikan. Seorang wartawan ketika menyampaikan
pendapat biasanya mengemukakan latar belakang atas pendapatnya. Latar yang
dipilih menentukan ke arah mana khalayak hendak dibawa.
2. Detail: Elemen ini berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan
oleh seorang wartawan. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan
informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya akan
membuang atau menampilkan dengan jumlah sedikit infomasi yang dapat
merugikan citra dan kedudukannya.
3. Maksud : elemen ini melihat apakah teks itu disampaikan secara eksplisit atau
tidak. Apakah fakta disajikan secara telanjang, gamblang atau tidak. Itulah
masuk karegori elemen maksud dalam wacana.
4. Praanggapan : strategi lain yang dapat memberi citra tertentu ketika diterima
khalayak. Elemen ini pada dasarnya digunakan untuk memberi basis rasioal,
sehingga teks yang disajikan komunikator tampak benar dan meyakinkan.
Praanggapan hadir untuk memberi pernyataan yang dipandang terpecaya dan
tidak perlu lagi dipertanyakan kebenarnnya karena hadirnya pernyatan tersebut.
b) Analisis Kalimat (Sintaksis). Strategi wacana dalam level sintaksis adalah
sebagai berikut :
1. Koherensi : adalah jalinan atau pertalian antar kata, proposisi atau kalimat.
Dua buah kalimat atau proposisi yang mengambarkan fakta yang berbeda dapat
dihubungkan dengan memakai koherensi. Sehingga dua fakta tersebut dapat
menjadi berhubungan.
Koherensi sebab akibat. Koherensi sebab akibat dengan mudah dapat kita lihat
dari pemakaian kata penghubung yang dipakai untuk menggambarkan dan
menjelaskan hubungan, atau memisahkan suatu proposisi dihubungkan dengan

24
bagaimana seeorang memaknai sesuatu yang ingin ditampilkan pada khalayak
pembaca.
Koherensi Penjelas. Koherensi penjelas ditandai dengan pemakaian anak
kalimat sebagai penjelas. Bila ada dua proposisi, proposisi kedua adalah penjelas
atau keterangan dari proposisi pertama.
Koherensi pembeda. ini berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua
peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Dua peristiwa dapat dibuat seolah-
olah saling bertentangan dan berseberangan (contrast). Kata sambung yang
biasa dipakai untuk membedakan dua proposisi ini adalah dibandingkan,
dibanding, ketimbang.
2. Pengingkaran : bentuk praktik wacana yang menggambarkan bagaimana
wartawan menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara implisit.
Pengingkaran menunjukkan seolah-olah wartawan menyetujui sesuatu tapi
hakikatnya tidak menyetujuinya.
3. Bentuk kalimat : berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip
kausalitas. Logika kausalitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi
susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Dalam
kalimat yang berstruktur aktif seseorang menjadi subjek dari pernyataannya,
sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya.
4. Kata ganti : alat untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan komunitas
imajinatif. Kata ganti merupakan elemen yang dipakai oleh komunikator untuk
menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana.
c) Analisis Leksikon (Makna Kata)
Dimensi leksikon melihat makna dari kata. Unit pengamatan dari leksikon
adalah kata-kata yang dipakai oleh wartawan dalam merangkai berita atau
laporan kepada khalayak. Kata-kata yang dipilih merupakan sikap pada ideologi
dan sikap tertentu. Peristiwa dimaknai dan dilabeli dengan kata-kata tertentu
sesuai dengan kepentingannya.
d) Stailistik (Retoris).
1. Gaya Penulisan: deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi dan narasi.
2. Grafis: pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf
yang dibuat ukuran lebih besar, termasuk pula, caption, raster, grafik, gambar
atau tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan.

J. HAKIKAT WACANA TEORI NORMAN FAIRLOUGH

1. Karakteristik Analisis Wacana Kritis


Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni
bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam

25
masyarakat terjadi. Mengutip Fairclough dan Wodak (Badara, 2012:29), analisis
wacana kritis menyelidiki bagaimana penggunaan bahasa kelompok sosial yang
ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Berikut ini
disajikan karakteristik penting dari analisis wacana kritis yang disarikannya oleh
Eriyanto dari tulisan Van Dijk, Fairclough, dan Wodak:
a. Tindakan
Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan
pemahaman semacam itu wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi.
Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Wacana
dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk memengaruhi,
mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi, dan sebagainya.
b. Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana, seperti latar,
situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dalam hal ini diproduksi, dimengerti, dan
dianalisis pada suatu konteks tertentu. Merujuk pada pandangan Cook (Badara,
2012:30), analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang
mengomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan
situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan
komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing.
c. Histori
Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu berarti wacana
diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa
menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek yang penting untuk
bisa mengerti suatu teks ialah dnegan menempatkan wacana tersebut dalam
konteks historis tertentu. Misalnya, kita melakukan analisis wacana teks
selebaran mahasiswa yang menentang Suharto.
d. Kekuasaan
Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan
masyarakat. Misalnya, kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai seksisme
atau kekuasaan perusahaan yang berbentuk dominasi pengusaha kelas atas
kepada bawahan.
e. Ideologi
Ideologi memiliki dua pengertian yang bertolak belakang. Secara positif,
ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia yang menyatakan nilai
kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-
kepentingan mereka. Adapun secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu
kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara
memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Sebuah teks tidak
pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi
pembaca ke arah suatu ideologi.

26
2. Analisis Wacana Kritis (AWK) Model Norman Fairclough

Norman Fairclough (Badara, 2012:26) mengemukakan bahwa wacana


merupakan sebuah praktik sosial dan membagi analisis wacana ke dalam tiga
dimensi yaitu text, discourse practice, dan sosial practice. Text berhubungan
dengan linguistik, misalnya dengan melihat kosakata, semantik, dan tata
kalimat, juga koherensi dan kohesivitas, serta bagaimana antarsatuan tersebut
membentuk suatu pengetian. Discourse practice merupakan dimensi yang
berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks; misalnya, pola kerja,
bagan kerja, dan rutinitas saat menghasilkan berita. Social practice, dimensi
yang berhubungan dengan konteks di luar teks; misalnya konteks situasi atau
konteks dari media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik
tertentu.

Berdasarkan hal di atas, maka dirumuskanlah suatu pengertian analisis


wacana yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara mendalam yang
berusaha mengungkapkan kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan
bahasa yang digunakan dalam wacana. Analisis wacana menggunakan
pendekatan kritis memperlihatkan ketepaduan: (a) analisis teks; (b) analisis
proses, produksi, konsumsi, dan distribusi teks; serta (c) analisis sosiokultural
yang berkembang di sekitar wacana itu.

Pendekatan Fairclough dalam menganalisa teks berusaha menyatukan tiga


tradisi yaitu (Jorgensen dan Phillips, 2007:124):

a. Analisis tekstual yang terinci di bidang linguistik;


b. Analisis makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori Fairclough, yang tidak
menyediakan metodologi untuk teks-teks khusus);
c. Tradisi interpretatif dan mikro-sosiologis dalam sosiologi (termasuk
etnometodologi dan analisa percakapan) dimana kehidupan sehari-hari
diperlakukan sebagai produk tindakan seseorang. Tindakan tersebut mengikuti
sederet prosedur dan kaidah akal sehat.

Model Norman Fairclough (Eriyanto, 2001: 286) membagi analisis wacana


kritis ke dalam tiga dimensi, yakni:

1) Dimensi Tekstual (Mikrostruktural)


Setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi,
relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan cara-cara yang

27
dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk teks. Analisis
dimensi teks meliputi bentuk-bentuk tradisional analisis linguistik analisis kosa
kata dan semantik, tata bahasa kalimat dan unit-unit lebih kecil, dan sistem
suara (fonologi) dan sistem tulisan. Fairclough menadai pada semua itu sebagai
analisis linguistik, walaupun hal itu menggunakan istilah dalam pandangan
yang diperluas. Ada beberapa bentuk atau sifat teks yang dapat dianalisis dalam
membongkar makna melalui dimensi tekstual, diantaranya:
a. Kohesi dan Koherensi
Analisis ini ditujukan untuk menunjukkan cara klausa dibentuk hingga
menjadi kalimat, dan cara kalimat dibentuk hingga membentuk satuan yang
lebih besar. Jalinan dalam analisis ini dapat dilihat melalui penggunaan leksikal,
pengulangan kata (repetisi), sinonim, antonim, kata ganti, kata hubung, dan lain-
lain.
b. Tata Bahasa
Analisis tata bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam analisis
wacana kritis. Analisis tata bahasa dalam analisis kritis lebih ditekankan pada
sudut klausa yang terdapat dalam wacana. Klausa ini dianalisis dari sudut
ketransitifan, tema, dan modalitasnya. Ketransitifan dianalisis untuk mengetahui
penggunaan verba yang mengonstruksi klausa apakah klausa aktif atau klausa
pasif, dan bagaimana signifikasinya jika menggunakan nominalisasi. Penggunaan
klausa aktif, pasif, atau nominalisasi ini berdampak pada pelaku, penegasan
sebab, atau alasan-alasan pertanggungjawaban dan lainnya. Contoh
penggunaan klausa aktif senantiasa menempatkan pelaku utama/subjek sebagai
tema di awal klausa. Sementara itu, penempatan klausa pasif dihilangkan.
Pemanfaatan bentuk nominalisasi juga mampu membiaskan baik pelaku maupun
korban, bahkan keduanya.
Tema merupakan analisis terhadap tema yang bertujuan untuk melihat
strkutur tematik suatu teks. Dalam analisis ini dianalisis tema apa yang kerap
muncul dan latar belakang kemunculannya. Representasi ini berhubungan
dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjol dibandingkan dengan
bagian yang lain. Sedangkan modalitas digunakan untuk menunjukkan
pengetahuan atau level kuasa suatu ujaran. Fairclough melihat modalitas
sebagai pembentuk hubungan sosial yang mampu menafsirkan sikap dan kuasa.
Contoh: penggunaan modalitas pada wacana kepemimpinan pada umumnya
akan didapati mayoritas modalitas yang memiliki makna perintah dan
permintaan seperti modalitas mesti, harus, perlu, hendaklah, dan lain-lain.
c. Diksi
Analisis yang dilakukan terhadap kata-kata kunci yang dipilih dan digunakan
dalam teks. Selain itu dilihat juga metafora yang digunakan dalam teks tersebut.

28
Pilihan kosakata yang dipaaki terutama berhubungan dengan bagaimana
peristiwa, seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dalam satu set tertentu.
Kosakata ini akan sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan
bagaimana realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa pada
akhirnya mengonstruksi realitas tertentu. Misalnya pemilihan penggunaan kata
untuk miskin, tidak mampu, kurang mampu, marjinal, terpinggirkan, tertindas,
dan lain-lain.
2) Dimensi Kewacanan (Mesostruktural)
Dimensi kedua yang dalam kerangka analisis wacana kritis Norman
Fairclough ialah dimensi kewacanaan (discourse practice). Dalam analisis
dimensi ini, penafsiran dilakukan terhadap pemrosesan wacana yang meliputi
aspek penghasilan, penyebaran, dan penggunaan teks. Beberapa dari aspek-
aspek itu memiliki karakter yang lebih institusi, sedangkan yang lain berupa
proses-proses penggunaan dan penyebaran wacana. Berkenaan dengan proses-
proses institusional, Fairclough merujuk rutinitas institusi seperti prosedur-
prosedur editor yang dilibatkan dalam penghasilan teks-teks media. Praktik
wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini
berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja
wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai
institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di
dalam media. Fairclough mengemukakan bahwa analisis kewacananan berfungsi
untuk mengetahui proses produksi, penyebaran, dan penggunaan teks. Dengan
demikian, ketiga tahapan tersebut mesti dilakukan dalam menganalisis dimensi
kewacanan.
a. Produksi Teks
Pada tahap ini dianalisis pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi
teks itu sendiri (siapa yang memproduksi teks). Analisis dilakukan terhadap pihak
pada level terkecil hingga bahkan dapat juga pada level kelembagaan pemilik
modal. Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang
mendalam mengenai organisasi media itu sendiri (latar belakang wartawan
redaktur, pimpinan media, pemilik modal, dll). Hal ini mengingat kerja redaksi
adalah kerja kolektif yang tiap bagian memiliki kepentingan dan organisasi yang
berbeda-beda sehingga teks berita yang muncul sesungguhnya tidak lahir
dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil negosiasi dalam ruang redaksi.
b. Penyebaran Teks
Pada tahap ini dianalisis bagaimana dan media apa yang digunakan dalam
penyebaran teks yang diproduksi sebelumnya. Apakah menggunakan media
cetak atau elektronik, apakah media cetak koran, dan lain-lain. Perbedaan ini

29
perlu dikaji karena memberikan dampak yang berbeda pada efek wacana itu
sendiri mengingat setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Contoh: pada kasus wacana media wacana yang disebarkan melalui
televisi dan koran memberi efek/dampak yang berbeda terhadap kekuatan teks
itu sendiri. Televisi melengkapi dirinya dengan gambar dan suara, namun
memiliki keterbatasan waktu. Sementara itu koran tidak memiliki kekuatan
gambar dan suara, tapi memiliki kekekalan waktu yang lebih baik dibandingkan
televisi.
c. Konsumsi Teks
Dianalisis pihak-pihak yang menjadi sasaran penerima/pengonsumsi teks.
Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam
mengenai siapa saja pengonsumsi media itu sendiri. setiap media pada
umumnya telah menentukan pangsa pasarnya masing-masing.
3) Dimensi Praktis Sosial-Budaya (Makrostruktural)
Dimensi ketiga adalah analisis praktik sosiobudaya media dalam analisis
wacana kritis Norman Fairclough merupakan analisis tingkat makro yang
didasarkan pada pendapat bahwa konteks sosial yang ada di luar media se-
sungguhnya memengaruhi bagaimana wacana yang ada ada dalam media.
Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau ruang kosong yang steril,
tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor di luar media itu sendiri. Praktik
sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan
dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan
dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media, dan
wacananya. Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat
situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya Tingkat
institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun
eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti
sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara
keseluruhan. Tiga level analisis sosiocultural practice ini antara lain:
a. Situasional
Setiap teks yang lahir pada umumnya lahir pada sebuah kondisi (lebih
mengacu pada waktu) atau suasana khas dan unik. Atau dengan kata lain, aspek
situasional lebih melihat konteks peristiwa yang terjadi saat berita dimuat.
b. Institusional
Level ini melihat bagaimana persisnya sebuah pengaruh dari institusi
organisasi pada praktik ketika sebuah wacana diproduksi. Institusi ini bisa
berasal dari kekuatan institusional aparat dan pemerintah juga bisa dijadikan
salah satu hal yang mempengaruhi isi sebuah teks.
c. Sosial

30
Aspek sosial melihat lebih pada aspek mikro seperti sistem ekonomi, sistem
politik, atau sistem budaya masyarakat keseluruhan. Dengan demikian, melalui
analisis wacana model ini, kita dapat mengetahui inti sebuah teks dengan
membongkar teks tersebut sampai ke hal-hal yang mendalam. Ternyata, sebuah
teks pun mengandung ideologi tertentu yang dititipkan penulisnya agar
masyarakat dapat mengikuti alur keinginan penulis teks tersebut. Namun, ketika
melakukan analisis menggunakan model ini kita pun harus berhati-hati jangan
sampai apa yang kita lakukan malah menimbulkan fitnah karena tidak
berdasarkan sumber yang jelas.

3. Penerapan Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough


Analisis Mikro Pemberitaan Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival

Dari berbagai alat kebahasaan yang digunakan media Indonesia dalam


pemberitaan Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival, terdapat tiga alat yang
menandai representasi tema dan tokoh yang terlibat dalam pemberitaan
tersebut di atas. Yaitu melalui diksi, penggunaan kalimat luas sebab akibat, dan
pemilihan sumber dalam kutipan langsung. Di bawah ini adalah analisis dari
aspek kebahasaan tersebut.

(1) Pada hari terakhir festival, Wayang Jurnalis bakal dipentaskan sore nanti.
(2) Cerita Wahyu Cakraningrat yang pernah dipentaskan tahun lalu akan menjadi
varian tema pementasan bersama para pengisi acara dari Aceh, Toba, Padang,
Bogor, Bandung, Losari, Yogyakarta, Surakarta, Jombang, Bali, dan Flores, serta
dari Belgia, Jerman, Hongaria, Italia, Ukraina, Meksiko, dan Amerika. (3)
Ditargetkan, sebanyak 7.500 orang akan hadir.

Contoh data (1) (3) menandai bahwa untuk kasus dalam konteks yang
sama, Media Indonesia memilih diksi yang bermacam-macam, yaitu diksi bakal
dan akan. Kedua diksi tersebut memiliki makna semantik yang berlainan pula.
Secara sematik leksikal, makna kata bakal yang berarti sesuatu yang akan
menjadi; calon; yang akan dibuat sedangkan makna kata akan berarti
menyatakan sesuatu yang hendak terjadi, sehingga kata akan memiliki makna
yang lebih netral dibandingkan kata bakal, akan tetapi dalam konteks suatu
kalimat dapat memiliki arti yang hampir sama yakni hendak terjadi.

SEKIAN, TERIMAKASIH DAN WASSALAM

31
32

You might also like