Voluntary Counselling and Testing (VCT) adalah program yang memberikan konseling dan tes HIV secara sukarela untuk mencegah penyebaran HIV, memberikan perawatan dan dukungan kepada penderita, serta mengubah perilaku berisiko. VCT bertujuan memberikan informasi, mengurangi stigmatisasi, dan mengarahkan pasien pada program perawatan. Model pelayanannya meliputi konseling sebelum dan sesudah tes, serta menjaga kerahasiaan dan kemauan sukarela pas
Voluntary Counselling and Testing (VCT) adalah program yang memberikan konseling dan tes HIV secara sukarela untuk mencegah penyebaran HIV, memberikan perawatan dan dukungan kepada penderita, serta mengubah perilaku berisiko. VCT bertujuan memberikan informasi, mengurangi stigmatisasi, dan mengarahkan pasien pada program perawatan. Model pelayanannya meliputi konseling sebelum dan sesudah tes, serta menjaga kerahasiaan dan kemauan sukarela pas
Voluntary Counselling and Testing (VCT) adalah program yang memberikan konseling dan tes HIV secara sukarela untuk mencegah penyebaran HIV, memberikan perawatan dan dukungan kepada penderita, serta mengubah perilaku berisiko. VCT bertujuan memberikan informasi, mengurangi stigmatisasi, dan mengarahkan pasien pada program perawatan. Model pelayanannya meliputi konseling sebelum dan sesudah tes, serta menjaga kerahasiaan dan kemauan sukarela pas
1. Definisi Voluntary Counselling and Testing atau yang lebih dikenal dengan VCT HIV & AIDS merupakan salah satu program yang dilaksanakan dalam upaya mencegah penyebaran penyakit HIV & AIDS. Voluntary Counselling and Testing (VCT) merupakan entry point untuk memberikan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ODHA. VCT juga merupakan salah satu model untuk memberikan informasi secara menyeluruh dan dukungan untuk merubah perilaku berisiko serta mencegah penularan HIV/AIDS. (Haruddin, dkk., 2007) Voluntary Counselling and Testing (VCT) adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan mencegah penularan. WHO menyatakan bahwa VCT atau CITC (Client-Initiated Testing and Counselling) merupakan pendekatan primer dalam konseling dan tes HIV & AIDS yang ditekankan pada pengkajian dan menejemen dari perilaku beresiko, memberikan pengetahuan tentang isu-isu dan informasi seperti keinginan dan implikasi untuk melakukan tes, dan strategi-strategi untuk mengurangi perilaku-perilaku beresiko dengan partisipasi klien secara aktif dating ke pelayanan kesehatan secara sukarela. Konseling dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan tes untuk mendiagnosa HIV & AIDS, jika didapatkan hasil tes positif maka konseling akan mengarah pada perawatan, terapi dan pelayanan pendukung lainnya.
2. Tujuan Voluntary Counselling and Testing (VCT)
Voluntary Counselling and Testing (VCT) berperan dalam memberikan dukungan moral, informasi serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga dan lingkungan. Menurut Nursalam (2007), VCT mempunyai tujuan sebagai, a. Upaya pencegahan HIV & AIDS b. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan tentang factor- faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV & AIDS. c. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi antiretroviral (ART), serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat.
3. Model Pelayanan Voluntary Counselling and Testing (VCT)
Model pelayanan VCT adalah klien mencari pelayanan konseling dan tes HIV & AIDS, dimana klien akan menerima beberapa pelayanan yaitu, a. Konseling sebelum tes (Pre-Test Counselling), b. Persetujuan untuk tes HIV & AIDS (Informed Consent), c. Tes HIV & AIDS (Testing), d. Konseling pasca tes dengan pembacaan hasil tes (receive HIV test results during a post-test counseling). (WHO, 2006) Prinsip-prinsip dari pelaksanaan pelayanan VCT digunakanan untuk menjaga hak-hak dari individu yang mengikuti VCT, prinsip-prinsip VCT adalah sebagai berikut, Voluntary Pengetuahuan terhadap status HIV harus secara sukarela. Keputusan untuk menjalani tes adalah berdasarkan keputusan klien. Confidential Informasi yang diberikan selama konseling tidak boleh diberitahukan kepada orang lain (bersifat rahasia). Hasil tes HIV hanya diberitahukan kepada klien, kecuali klien memperbolehkan orang lain (anggota keluarga, pasangan atau teman dekat) mengetahui hasil tes. Counselling Pre-test konseling memberikan kesempatan pada klien untuk mengeksplorasi resiko klien terhadap HIV dan bagaimana menguranginya, dan membantu klien untuk memutuskan untuk mengikuti tes HIV atau tidak. Konseling harus ditawarkan kepada setiap klien sebagai pertimbangan klien untuk mengikuti tes HIV. Klien yang setuju melakukan tes akan mendapatkan hasil tes HIV pada post-test konseling. Konseling yang diberikan harus memiliki kualitas yang tinggi. Testing Diagnosa HIV dilihat pada adanya antibodi HIV pada darah, saliva dan urin. Hasil positif dipastikan dengan beberapa tes tambahan. Informed Consent Klien setuju untuk mengikuti tes HIV dengan memberikan persetujuan. Privacy Lingkungan fisik harus mendukung berjalannya konseling secara pribadi antara konselor dan klien. Penyelenggara kesehatan harus menjaga data-data pribadi klien. Refferal Klien harus mendapatkan akses untuk pelayanan pencegahan, perawatan dan pelayanan pendukung yang tersedia. Pelayanan referral harus dilaksanakan dengan menghormati kerahasiaan klien. Counsellor Karakteristik konselor terdiri dari tidak menghakimi, empati, mengormati dan mendukung. Staf yang melakukan konseling harus dilatih sesuai dengan teknik konseling HIV. Equality HIV positif seharusnya tidak didiskriminasi. Adherence Pelayanan harus mengacu pada protocol lokal atau nasional, hokum dan peraturan pemerintah terkait dengan pelayanan HIV. Monitoring & Evaluation Konseling dan tes HIV harus dimonitor dan dievalusi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, untuk memastikan pelayanan pada kualitas yang tinggi. 2.4 Proses dan Mekanisme Voluntary Counselling and Testing (VCT) 2.4.1 Pre-Test Konseling Sesi Pre-Test Konseling ini akan membahas tentang informasi dan pengkajian terhadap resiko HIV & AIDS dengan fokus utama pada konseling pencegahan terhdapa reaksi klien sebelum dan sesudah klien mengetahui hasil tes. (WHO, 2007) Konseling Pre-Test ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil betul telah dipahami dan sukarela, menyiapkan klien akan penerimaan apapun hasil tes, negatif-positif-indeterminan, kemudian memberikan informasi untuk mengurangi resiko dan strategi menghadapi tes, memberikan pilihan untuk PMTCT dan menyediakan pintu masuk untuk terapi dan perawatan. Adapun sumber lain menyebutkan tujuan klien melakukan pre-test konseling adalah, a. Klien memahami benar kegunaan tes HIV&AIDS, b. Klien dapat menilai resiko dan mengerti persoalan dirinya, c. Klien dapat menurunkan rasa kecemasannya, d. Klien dapat membuat rencana penyesuaian diri dalam kehidupannya, e. Klien memilih dan memahami apakah aakan melakukan tes darah HIV&AIDS. (Nursalam, 2007) Pra-test konseling juga disebut konseling pencegahan AIDS. Dua hal yang penting dalam konseling ini, yaitu aplikasi perilaku klien yang menyebabkan klien dapat berisiko tinggi terinfeksi HIV&AIDS dan apakah klien mengetahui tentang HIV&AIDS dengan benar. Hal yang perlu ditanyakan oleh konselor yaitu ada tidaknya sumber dukungan moral dalam hidup klien yang dapat membantu ketika menunggu hasil tes sampai hasil diagnosa keluar (baik jasil tes positif ataupun negative). Masa ketika menunggu hasil tes adalah masa yang paling berat bagi klien. Saaat itu, jika tidak ada seorangpun sebagai pendukung moral makan konselor diharapkan dapat bertindak sebagai keluarga klien. Ada lima prinsip praktis yang biasa dilakukan saat pra-test konseling yaitu, a. Motif dari klien Klien yang secara sukarela (voluntary) dan secara paksa (compulsory) mempunyai perasaan yang berbeda dalam menghadapi segala kemungkinan, baik pra-tes ataupun post-tes. b. Intepretasi hasil pemeriksaan 1. Uji saring atau skrining dan tes konfirmasi, 2. Asimtomatik atau gejala nyata (Full Blown Symptom) 3. tidak dapat disembuhkan (HIV) tetapi masih dapat diobati (infeksi sekunder). c. Estimasi hasil Pengkajian resiko bukan hasil yang diharapkan dan masa jendela. d. Rencana ketika hasil diperoleh Apa yang akan dilakukan oleh klien ketika telah mengetahu hasil pemeriksaan baik positif maupun negative. e. Pembuatan keputusan Klien dapat memutuskan untuk bersedia atau tidak diambil darahnya guna melakukan pemeriksaan HIV. (Nursalam, 2007) 2.4.2 Tes HIV HIV&AIDS termasuk jajaran penyakit yang mempunyai tingkat penularan yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena seringkali seseorang tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi HIV, sehingga menjadi sumber penularan bagi orang lain. Seseorang terkena HIV biasanya diketahui jika telah terjadi Sindrom Defisiensi Imun Dapatan (AIDS) yang ditandai antara lain penurunan berat badan, diare berkepanjangan, Sarkoma Kaposi, dan beberapa gejala lainnya. Berkembangnya teknologi pemeriksaan saat ini mengijinkan kita untuk mendeteksi HIV lebih dini. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain adalah : a. ELISA ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV. Kerena alasan inilah maka para ahli menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah minggu ke 12 sesudah melakukan aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau air kencing. Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test). Pemeriksaan ini sangat mirip dengan ELISA. Ada dua macam cara yaitu menggunakan sampel darah jari dan air liur. Hasil positif pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang diperiksa telah terinfeksi HIV. Masih diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada dua kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi HIV. b. Western Blot Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik, sehingga kasus yang tidak dapat disimpulkan sangat kecil. Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih dalam melakukannya. c. IFA IFA atau indirect fluorescent antibody juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Seperti halnya dua pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Salah satu kekurangan dari pemeriksaan ini adalah biayanya sangat mahal. d. Rapid Test Rapid test menggunakan enzim immunoassay untuk mendeteksi dan membedakan antibody HIV-1 dan HIV-2 dalam serum dan plasma. Saat ini teknik yang umum digunakan untuk deteksi antibodi adalah Elisa dan Rapid test dan paling banyak digunakan adalah Rapid test. Teknis pemeriksaan Rapid test adalah yang paling efisien dan banyak digunakan oleh para klinisi. e. PCR Test PCR atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa langsung keberadaan virus HIV di dalam darah. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti. Selain itu, PCR test juga dilakukan secara rutin untuk uji penapisan (screening test) darah atau organ yang akan didonorkan. Hal yang perlu diingat terhadap pemeriksaan darah pasien tidakh hannya dilakukan satu kali, namun menggunakan 3 metode pemeriksaan yang berbeda dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda. Misal, jika didapatkan tes ELISA atau EIA positif maka harus dilakukan konfirmasi dengan metode lain yaitu Western Blot , yaitu suatu pemeriksaan yang memiliki spesifisitas sangat tinggi. Terdapat beberapa kemungkinan hasil yang akan didapatkan dari tes tersebut adalah, a. Hasil positif dilaporkan setelah konfirmasi dengan pemeriksaan menggunakan metode Western Blot menunjukkan hasil positif. b. Hasil negative setelah dilakukan tes konfimasi tetap negatif, c. Bila hasil tes meragukan atau indeterminate (dapat terjadi pada stadium awal dari serokonversi) maka diambil sampel darah kedua pada 2 minggu (14 hari) kemuadian dan diperikasa kemabali. lebih baik lagi bila dilakukan pemeriksaan Western Blot. Jika hasil tetap meragukan maka dilakukan pemeriksaan serial setiap 3 bulan selama sedikitnya 6 bulan atau sampai dengan 12 bulan. Jika hasil tes tetap meragukan dan keadaan memungkinkan maka dapat dilakukan pemerikasaan PCR. 2.4.3 Post-Test Konseling Post-tes konseling adalah bagian integral dari komponen proses tes HIV. Semua individu yang akan melakukan tes HIV harus dikonseling ketika tes diberikan, dengan tanpa melihat hasil tes. Hasil tes seharusnya diberikan kepada klien secara personal oleh pemberi pelayanan. Idealnya, post-test konseling seharusnya dilakukan dengan konselor yang sama saat pre-test konseling dan tes HIV dilakukan. Hasil seharusnya tidak diberikan dalam kelompok. Meskipun klien dapat menolak untuk menerima hasil dari tes, konselor seharusnya dapat memberikan alasan yang tepat untuk meyakinkan klien dapat menerima dan mengerti hasil tes secara rahasia dan dengan rasa simpati. (WHO, 2007) Konseling Pasca-Test bertujuan untuk menyiapkan klien untuk dapat menerima hasil, membantu klien memahami dan menyesuaikan diri akan hasil tes, menyediakan informasi lebih lanjut, jika dimungkinkan, lantas merujuk kepada layanan lainnya ketika diperlukan dan mendiskusikan kepada klien strategi pengurangan penularan HIV. Konselor juga hendaknya harus waspada terhadap respon klien saat pembacaan hasil tes. Ada dua kemungkinan hasil intepretasi hasil tes yang akan mempengaruhi kondisi psikologis klien yaitu, a. Hasil tes negatif Konseling yang diperlukan untuk individu dengan hasil tes HIV negatif adalah informasi tentang, 1. Penjelasan tentang hasil tes, termasuk informasi tentang periode jendela untuk terbentuknya HIV-antibodi dan merekomendasikan untuk tes ulang untuk memastikan, 2. Metode dasar untuk mencegah transmisi HIV, 3. Menyarankan menggunakan kondom pria dan wanita serta cara penggungaannya, b. Hasil tes positif Fokus dari post-test konseling pada klien dengan hasil tes HIV-positif adalah dukungan psikososial untuk mengatasi dampak emosional dari hasil tes, fasilitasi akses terapi, perawatan dan pelayanan pencaegahan, pencegahan transmisi dan pengakuan pasangan seksual dan pemakaian narkoba. Konselor hendaknya memberitahukan tentang: 1. Memberitahukan hasil tes kepada klien dengan singkat dan jelas, dan memberikan waktu pada pasien untuk memperimbangkannya, 2. Memastikan bahwa klien mengerti hasil tes, 3. Mengijinkan klien untuk mengajukan pertanyaan, 4. Membantu klien untuk mengatasi emosi yang timbul setelah mengetahui hasil tes, 5. Diskusikan setiap pendapat klien terhadap perannya di masyarakat, 6. Menggambarkan pelayanan lanjutan yang ada di fasilitas kesehatan dan di komunitas dengan fokus terapi yang ada, PMTCT dan perawatan serta pelayanan pendukung, 7. Berikan informasi yang relevan untuk mencegah virus HIV termasuk penggunaan kondom saat berhubungan, 8. Berikan informasi-informasi lain yang relevan untuk menjaga kesehatan, seperti nutrisi, konsumsi contrimoxazole dan lain-lain, 9. diskusikan kemungkinan memberitahukan hasil, 10. Dorong dan tawarkan untuk VCT pasangan dan anak, 11. Kaji resiko kekerasan atau upaya bunuh diri dan diskusikan kemungkinan untuk keselamatan fisik klien, 12. Rencanakan waktu dan tanggal yang spesifik untuk kunjungan lanjutan atau terapi referal , perawatan, konseling, dukungan dan pelayanan lain yang sesuai (misal, skrining dan terapi TB, profilaksis dari infeksi oportunistik, terapi Sexual Transmitted Infection (STI), KB, ANC, terapi pengganti subsitusi, dan akses terhadap jarum dan syringe yang steril.
Pengambilan keputusan dalam 4 langkah: Strategi dan langkah operasional untuk pengambilan keputusan dan pilihan yang efektif dalam konteks yang tidak pasti