You are on page 1of 14

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

ASUHAN KEPERAWATAN
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi)

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 8 :

1. Nur Ritasari (13037)


2. Septianing Yulistiani (13044)
3. Sudarsih (13046)
4. Sri Widi Hastuti 13095)
5. Tiara Ersa L.T (13096)
6. Yanang Febrianto (13050)

TINGKAT IIA

AKADEMI KEPERAWATAN
INSAN HUSADA SURAKARTA
TAHUN 2015
LAPORAN PENDAHULUAN
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi)

A. Pengertian
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi),open reduksi merupakan suatu tindakan
pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah / fraktur sedapat
mungkin kembali seperti letak asalnya.Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat,
sekrup, paku maupun suatu intramedulary (IM) untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi. Fraktur adalah
teputusnya jaringan tulang-tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa.
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenal stress yang
lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)
Fraktur femur yaitu terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadi pada tulang femur.

B. Etiologi
Menurut Oswari E (1993)
a. Kekerasan langsung
Terkena pada bagian langsung trauma
b. Kekerasan tidak langsung
Terkena bukan pada bagian yang terkena trauma
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Menurut Barbara C Long (1996)
a. Benturan & cedera (jatuh, kecelakaan)
b. Fraktur patofisiologi (oleh karena patogen, kelainan)
c. Patah karena letih

C. Patofisiologi
Setelah fraktur dapat terjadi kerusakan pada sumsum tulang, endosteum dan jaringan
otot. Pada fraktur cruris dan femur dextra upaya penanganan dilakukan tindakan operasi
dengan menggunakan internal fiksasi. Pada kasus ini, hal pertama yang dapat dilakukan
adalah dengan incisi. Dengan incisi maka akan terjadi kerusakan pada jaringan lunak dan
saraf sensoris. Apabila pembuluh darah terpotong dan rusak maka cairan dalam sel akan
menuju jaringan dan menyebabkan oedema.
Oedema ini akan menekan saraf sensoris sehingga akan menimbulkan nyeri pada
sekitar luka incisi. Bila terasa nyeri biasanya pasien cenderung untuk malas bergerak. Hal ini
akan menimbulkan perlengketan jaringan otot sehingga terjadi fibrotik dan menyebabkan
penurunan lingkup gerak sendi (LGS) yang dekat dengan perpatahan dan potensial terjadi
penurunan nilai kekuatan otot.
Waktu penyembuhan pada fraktur sangat bervariasi antara individu satu dengan
individu lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain : usia
pasien, jenis fraktur, banyaknya displacement, lokasi fraktur, pasokan darah pada fraktur dan
kondisi medis yang menyertai (Garrison, 1996). Dan yang paling penting adalah stabilitas
fragmen pada tulang yang mengalami perpatahan. Apabila stabilitas antar fragmen baik maka
penyembuhan akan sesuai dengan target waktu yang dibutuhkan atau diperlukan.
Secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk menyambung kembali setelah
terjadi perpatahan pada tulang. Pada fraktur, proses penyambungan tulang dibagi dalam 5
tahap yaitu
1. Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur
(Apley, 1995). Hal ini mengakibatkan gangguan aliran darah pada tulang yang
berdekatan dengan fraktur dan mematikannya (Maurice King, 2001).
2. Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di
bawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Hematoma yang
membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke
dalam daerah itu (Apley, 1995).
3. Pembentukan callus
Selama beberapa minggu berikutnya, periosteum dan endosteum menghasilkan
callus yang penuh dengan sel kumparan yang aktif. Dengan pergerakan yang
lembut dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur tersebut (Maurice King,
2001).
4. Konsolidasi
Selama stadium ini tulang mengalami penyembuhan terus-menerus. Fragmen
yang patah tetap dipertahankan oleh callus sedangkan tulang mati pada ujung dari
masing-masing fragmen dihilangkan secara perlahan, dan ujungnya mendapat lebih
banyak callus yang akhirnya menjadi tulang padat (Maurice King, 2001). Ini
adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang
cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Apley, 1995).
5. Remodelling
Tulang yang baru terbentuk, dibentuk kembali sehingga mirip dengan struktur
normal (Appley, 1995). Semakin sering pasien menggunakan anggota geraknya,
semakin kuat tulang baru tersebut (Maurice King, 2001).
Perubahan patologi setelah dilakukan operasi adalah :
1. Oedema
Oedema dapat terjadi karena adanya kerusakan pada pembuluh darah akibat dari
incisi, sehingga cairan yang melewati membran tidak lancar dan tidak dapat
tersaring lalu terjadi akumulasi cairan sehingga timbul bengkak.
2. Nyeri
Nyeri dapat terjadi karena adanya rangsangan nociceptor akibat incisi dan adanya
oedema pada sekitar fraktur.
3. Keterbatasan LGS
Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedema, kelemahan pada otot
sehingga pasien tidak ingin bergerak dan beraktivitas. Keadaan ini dapat
menyebabkan perlengketan jaringan dan keterbatasan lingkup gerak sendi (Apley,
1995).
4. Potensial terjadi penurunan kekuatan otot
Pada kasus ini potensial terjadi penurunan kekuatan otot karena adanya nyeri dan
oedema sehingga pasien enggak menggerakkan dengan kuat. Tetapi jika dibiarkan
terlalu lama maka penurunan kekuatan otot ini akan benar-benar terjadi
D. Tanda dan Gejala
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi,
hematoma, dan edema.
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah.
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi ototang melekat di atas dan
di bawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
2. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
3. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
4. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal

F. Komplikasi
Pada kasus ini jarang sekali terjadi komplikasi karena incisi relatif kecil dan fiksasi
cenderung aman. Komplikasi akan terjadi bila ada penyakit penyerta dan gangguan pada
proses penyambungan tulang.

G. Penatalaksanaan
Prinsip dari penanganan adalah :
1. Mobilisasi berupa latihan-latihan seluruh sistem gerak untuk mengembalikan fungsi
anggota badan seperti sebelum patah.
a. Static contraction
Static contraction merupakan kontraksi otot secara isometrik untuk
mempertahankan kestabilan tanpa disertai gerakan (Priatna, 1985). Dengan
gerakan ini maka akan merangsang otot-otot untuk melakukan pumping action
sehingga aliran darah balik vena akan lebih cepat. Apabila sistem peredaran
darah baik maka oedema dan nyeri dapat berkurang.
b. Latihan pasif
Merupakan gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar sedangkan
otot penderita rileks (Priatna, 1985). Disini gerakan pasif dilakukan dengan
bantuan terapis.
c. Latihan aktif
Latihan aktif merupakan gerakan murni yang dilakukan oleh otot-otot anggota
tubuh pasien itu sendiri. Tujuan latihan aktifmeningkatkan kekuatan otot (Kisner,
1996). Gerak aktif tersebut akan meningkatkan tonus otot sehingga pengiriman
oksigen dan nutrisi makanan akan diedarkan oleh darah. Dengan adanya oksigen
dan nutrisi dalam darah, maka kebutuhan regenerasi pada tempat yang
mengalami perpatahan akan terpenuhi dengan baik dan dapat mencegah adanya
fibrotik.
d. Latihan jalan
Salah satu kemampuan fungsional yang sangat penting adalah berjalan. Latihan
jalan dilakukan apabila pasien telah mampu untuk berdiri dan keseimbangan
sudah baik. Latihan ini dilakukan secara bertahap dan bila perlu dapat
menggunakan walker. Selain itu dapat menggunakan kruk tergantung dari
kemampuan pasien. Pada waktu pertama kali latihan biasanya menggunakan
teknik non weight bearing ( NWB ) atau tanpa menumpu berat badan. Bila
keseimbangan sudah bagus dapat ditingkatkan secara bertahap menggunakan
partial weight bearing ( PWB ) dan full weight bearing ( FWB ). Tujuan latihan
ini agar pasien dapat melakukan ambulasi secara mandiri walaupun masih
dengan alat bantu.
2. Mencegah infeksi pada daerah luka jahitan.

H. Proses Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a) Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien:
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
(b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus ini adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.(Ignatavicius, Donna D, 1995)
(c) Riwayat Penyakit Sekarang
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan
yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(d) Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
(e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
(g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
2. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk
dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan: Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada
keadaan klien.
2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus
fraktur biasanya akut
3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kaki
3. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan
dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral.
b) Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.(Ignatavicius, Donna D,
1995)
4. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk
menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua data
yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang
timbul.
5. Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual maupun
potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mengsintesa
data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau
mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.
Diagnose yang sering meuncul pada pasien dengan post Remove ORIF femur dan
ceuris antara lain:

a. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri,pembengkakan, prosedur


bedah,immobilisasi.
b. Nyeri akut b/d trauma jaringan syaraf
c. Ansietas b/d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. mual, muntah
e. Resti infeksi b.d. imflamasi bakteri ke daerah luka
6. Perencanaan
a. Nyeri akut b/d agen injuri biologis
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam klien mampu mengontrol nyeri,
dengan kriteria hasil :
Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
Mengikuti program pengobatan yang diberikan
Menunjukan penggunaan tehnik relaksasi
Intervansi :
1) Kaji tipe atau lukasi nyeri. Perhatikan intensitas pada skala 0-10. Perhatikan
respon terhadap obat.
Rasional : Menguatkan indikasi ketidaknyamanan, terjadinya komplikasi dan
evaluasi keevektivan intervensi.
2) Motivasi penggunaan tehnik menejemen stres, contoh napas dalam dan
visualisasi.
Rasional : Meningkatkan relaksasi, memvokuskan kembali perhatian, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping, menghilangkan nyeri.
3) Kolaborasi pemberian obat analgesic
Rasional : mungkin dibutuhkan untuk penghilangan nyeri/ketidaknyamanan.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri,pembengkakan, prosedur bedah.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam klien mampu :
Klien berpartisipasi dalam mobilitas fisik
Klien mampu melakukan Range Of Motion (ROM)
Klien mampu mobilisasi dengan menggunakan alat bantu
Intervensi :
1) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik.
Rasional : meningkatkan kepercayaan diri klien dalam menjalankan rencana
tindakan yang akan diintruksikan perawat
2) Instruksikan pasien untuk latihan rentang gerak pada ekstremitas.
Rasional : memperlancar peredaran darah pada bagian ektrimitas klien
3) Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat.Instruksikan
keamanan dalam menggunakan alat mobilitas.
Rasional : melatih kemandirian klien
4) Awasi TD saat beraktivitas.
Rasional : mengetahui keadaan umum klien
c. Nutisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam nutrisi pasien terpenuhi
dengan KH:
Makanan masuk
BB pasien naik
Mual, muntah hilang
Intervensi:
1) Berikan makan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional: memberikan asupan nutrisi yang cukup bagi pasien
2) Sajikan menu yang menarik
Rasional: Menghindari kebosanan pasien, untuh menambah ketertarikan dalam
mencoba makan yang disajikan
3) Pantau pemasukan makanan
Rasional: Mengawasi kebutuhan asupan nutrisi pada pasien
4) Kolaborasi pemberian suplemen penambah nafsu makan
Rasional: kerjasama dalam pengawasan kebutuhan nutrisi pasien selama
dirawat di rumah sakit.
d. Ansietas b/d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam, klien memiliki rentang
respon adaptif, dengan kriteria hasil :
Tampak relaks dan melaporkan ansietas menurun sampai dapat ditangani.
Mengakui dan mendiskusikan rasa takut.
Menunjukkan rentang perasaan yang tepat.
Intervensi :
1) Dorong ekspresi ketakutan/marah
Rasional : Mendefinisikan masalah dan pengaruh pilihan intervensi.
2) Akui kenyataan atau normalitas perasaan, termasuk marah
Rasional : Memberikan dukungan emosi yang dapat membantu klien melalui
penilaian awal juga selama pemulihan
3) Berikan informasi akurat tentang perkembangan kesehatan.
Rasional : Memberikan informasi yang jujur tentang apa yang diharapkan
membantu klien/orang terdekat menerima situasi lebih evektif.
4) Dorong penggunaan menejemen stres, contoh : napas dalam, bimbingan imajinasi,
visualisasi.
Rasional : membantu memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi,
dan meningkatkan penigkatan kemampuan koping.
e. Risiko infeksi berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan akibat prosedur
pembedahan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam resiko infeksi berkurang
ditandai dengan :
Luka bersih
Tidak ada pus atau nanah
Luka kering
Intervensi
a) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik
Rasional : teknik aseptic dapat mengurangi bakteri pathogen oada daerah luka.
b) Inspeksi luka,perhatikan karakteristik drainase.
Rasional : untuk mengobservasi keadaan luka, sehinggga dapat menentukan
tindakan selanjutnya.
c) Awasi tanda-tanda vital.
Rasional : tanda-tanda vital untuk mengetahui keadaan umum klien
d) Kalaborasi Pemberian antibiotik.
Rasional : antibiotic dapat membunuh bakteri yang dapat menyebabkan infeksi.
f. Kerusakan Integritas Kulit Atau Jaringan Berhubungan dengan pelepasan Pen, Kawat,
Sekrup
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai dengan Kriteria Hasil :
tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
1) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
Rasional : mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam
melakukan tindakan yang tepat.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
Rasioal: mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
3) Pantau peningkatan suhu tubuh.
Rasional : suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya
proses peradangan.
4) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan
steril, gunakan plester kertas.
Rasioanl: tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya infeksi.
5) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
Rasioanal: agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas
pada area kulit normal lainnya.
6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
Rasioanal: balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi
parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
7) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada
daerah yang berisiko terjadi infeksi.

7. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian
kegiatan sistimatis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Pada tahap
ini perawat menggunakan segala kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan
keperawatan terhadap klien baik secara umum maupun secara khusus pada klien post op
remove ORIF femur dan cruris. Pada pelaksanaan ini perawat melakukan fungsinya secara
independen, interdependen dan dependen.
Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang diprakarsai oleh
perawat itu sendiri sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Pada
fungsi interdependen adalah dimana fungsi yang dilakukan dengan bekerja sama dengan
profesi/ disiplin ilmu yang lain dalam keperawatan maupun pelayanan kesehatan, sedangkan
fungsi dependen adalah fungsi yang dilaksanakan oleh perawat berdasarkan atas pesan orang
lain.

8. Evaluasi
a. Nyeri klien berkurang dengan skala 1-2
b. Nutrisi klien terpenuhi
c. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
d. Klien tidak merasa cemas
e. Tidak terjadi infeksi
f. Klien dapat mobil menggunakan alat bantu
DAFTAR PUSTAKA

Potter, Patricia A and Perry,Anne Griffin.(2005).Buku Ajar Fundamental Keperawatan (edisi


ke4).Jakarta : EGC

Appley,A.G and Louis Solomon.(1995).Terjemahan Ortopedi dan Fraktur Sistem Appley


( edisi ke7).Widya Medika.

Chusid, J.G.(1993).Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional (edisi


empat).Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Gerhardt, j. John and Russe, A. Cotto.(1995). International SFTR Method of Measuring and
Recording Joint Motion. Stugart : Hans huber Publiser.

Hassenkam ,Marie.(1999). Soft Tissue Injuries. In Atkinson Karen, et.all.Physioterapi in


Orthopaedic.Philadelpia : F.A davis Company.

Kisner,Carolyn and Lynn Colby. (1996). Therapeutic Exercise Foundation and Techniques
( third edition). Philadelphia : F.A Davis Company.

Kumar, et. All. (1992). Basic Pathology (fifth edition). Philadelpia :W. B Saunder Company.

You might also like