You are on page 1of 8

FENOMENA TINGKAT TUTUR DALAM BAHASA JAWA

AKIBAT TINGKAT SOSIAL MASYARAKAT

Bayu Indrayanto, Kinasih Yuliastuti*

Abstrak : Masyarakat Jawa menggunakan bahasa Jawa harus mengenal unggah - ungguh, akan tetapi
sering terjadi kesalahan dalam penggunaan leksikon. Hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya sebab itu
dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan penutur tentang konsep unggah - ungguh dalam berbahasa Jawa.
Begitulah fenomena tingkat tutur dalam bahasa Jawa akibat tingkat sosial masyarakat yng multilingual.

Kata kunci :unggah - ungguh, tingkat sosial

TINGKAT TUTUR/UNGGAH-UNGGUH unsur inti di dalam ragam ngoko adalah leksikon


BAHASA JAWA ngoko bukan leksikon yang lain. Afiks yang
muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk
Bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang
ngoko (misalnya: afiks di-, -e, dan ake).
selama ini dikenal secara luas oleh masyarakat Jawa
adalah bentuk ngoko dan krama. Menurut Sasangka Ragam ngoko boleh digunakan oleh
(2009 : 92) disebutkan bahwa unggah-ungguh bahasa mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang
Jawa yang secara jelas dapat dibedakan, pada merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya
prinsipnya hanya ada dua macam, yaitu unggah- daripada mitra tuturnya. Ragam ngoko
ungguh yang berbentuk ngoko dan yang berbentuk mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu
krama. Kedua unggah-ungguh itu dibedakan secara dan ngoko alus.
jelas karena leksikon (kosakata) yang dirangkaikan a) Ngoko Lugu
menjadi sebuah kalimat dalam kedua unggah-ungguh
Ngoko Lugu adalah bentuk unggah-
itu dapat dikontraskan satu sama lain secara tegas.
ungguh bahasa Jawa yang semua
Unggah-ungguh bahasa Jawa dapat dibedakan
kosakatanya berbentuk ngoko dan netral
menjadi dua bentuk, yakni ngoko (ragam ngoko) dan
(leksikon ngoko dan netral) tanpa terselip
krama (ragam krama). Jika terdapat bentuk unggah- leksikon krama, krama inggil, atau krama
ungguh yang lain dapat dipastikan bahwa bentuk-
andhap, baik untuk O1, O2, maupun (O3).
bentuk itu hanya merupakan varian dari ragam ngoko
Contoh:
atau krama.
(1) Yen mung kaya ngana wae, aku mesthi
1. Ragam Ngoko
ya bisa!
Yang dimaksud ragam ngoko adalah Jika cuma seperti itu saja, saya pasti
bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang juga bisa!
berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi
1
Progdi PBJ FKIP UNWIDHA Klaten
2
Guru Bahasa Jawa di SMA Negeri 1 Wedi Klaten

Magistra No. 91 Th. XXVII Maret 2015 37


ISSN 0215-9511
Fenomena Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat ...........

(2) Yen mung kaya ngana wae, kowe mesthi 2. Ragam Krama
ya bisa!
Yang dimaksud ragam krama adalah
Jika cuma seperti itu saja, kamu pasti bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang
juga bisa! berintikan leksikon krama, atau yang menjadi
(3) Yen mung kaya ngana wae, dheweke unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon
mesthi ya bisa! krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang
Jika cuma seperti itu saja, dia pasti juga muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk
bisa! krama (misalnya: afiks dipun-, -ipun, dan -aken).
Ragam krama digunakan oleh mereka yang
b) Ngoko Alus merasa dirinya lebih rendah status sosialnya
Ngoko Alus adalah bentuk unggah- daripada mitra tuturnya. Ragam krama
ungguh yang di dalamnya bukan hanya mempunyai dua bentuk varian yaitu krama lugu
terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, dan krama alus.
melainkan juga terdiri atas leksikon krama a) Krama Lugu
inggil, krama andhap. Namun, leksikon
Istilah lugu pada krama lugu tidak
krama inggil, krama andhap yang muncul
didefinisikan seperti lugu pada ngoko lugu.
di dalam ragam ini sebenarnya hanya
Makna lugu pada ngoko lugu
digunakan untuk menghormati mitra tutur
mengisyaratkan makna bahwa bentuk
(O2 atau 03).
leksikon yang terdapat di dalam unggah-
Leksikon krama inggil yang muncul ungguh tersebut semuanya berupa ngoko.
di dalam ragam ini biasanya hanya terbatas Sementara itu, lugu dalam krama lugu tidak
pada kata benda (nomina), kata kerja (verba), diartikan sebagai suatu ragam yang semua
atau kata ganti orang (pronomina). Jika kosakatanya terdiri atas leksikon krama,
leksikon krama andhap muncul dalam ragam tetapi digunakan untuk menandai suatu
ini, biasanya leksikon itu berupa kata kerja, ragam yang kosakatanya terdiri atas leksikon
dan jika leksikon krama muncul biasanya krama, madya, dan/atau ngoko serta dapat
kata kerja atau kata benda. ditambah leksikon krama inggil atau krama
Contoh: andhap. Meskipun begitu, yang menjadi
(4) Mentri pendhidhikan sing anyar iki leksikon inti dalam ragam krama lugu adalah
asmane sapa? leksikon krama, madya, dan atau netral,
Menteri pendidikan yang baru ini siapa sednagkan leksikon krama inggil atau krama
namanya? andhap yang muncul dalam ragam ini hanya
digunakan untuk menghormati mitra tutur.
(5) Kae bapakmu gek maos ning kamar.
Secara semantis ragam krama lugu
Itu bapakmu sedang membaca di dalam
dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk
kamar.
ragam krama yang kadar kehalusannya

38 Magistra No. 91 Th. XXVII Maret 2015


ISSN 0215-9511
Fenomena Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat ...........

rendah. Meskipun begitu, jika dibandingkan (9) Ingkang sinuhun tansah angengetaken
dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap bilih luhur nisthaning asma gumantung
menunjukkan kadar kehalusan. wijiling pangandika.
Contoh: Sang raja selalu mengingatkan bahwa
(6) Sing dipilih Sigit niku jurusan baik buruknya nama seseorang
jurnalistik utawi perhotelan. bergantung pada apa yang diucapkan.

Yang dipilih Sigit itu jurusan jurnalistik (10) Para miyarso, wonten ing giyaran
atau perhotelan. punika kula badhe ngaturaken rembag
bab kasusastran Jawi.
(7) Sakniki nek boten main plesetan, tiyang
sami kesed nonton kethoprak. Para pendengar, dalam (kesempatan)
siaran ini saya akan berbicara tentang
Sekarang jika tidak main plesetan,
kasusastraan Jawa.
orang malas melihat ketoprak.

b) Krama Alus
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Yang dimaksud dengan krama alus TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA
adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa
Faktor-faktor situasional dan sosial
yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon
berpengaruh terhadap penggunaan ragam ngoko atau
krama dan dapat ditambah dengan leksikon
ragam krama, yaitu siapa yang berbicara dengan
krama inggil atau krama andhap. Meskipun
bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dimana.
begitu, yang menjadi leksikon inti dalam
ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk a. Jenis Kelamin
krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko Dalam budaya Jawa, seorang istri kepada
tidak pernah muncul dalam tingkat tutur ini. suami menggunakan ragam krama dan tidak
Selain itu, leksikon krama inggil atau krama
sebaliknya.
andhap secara konsisten selalu
(11) A : Bapak, mangke sonten kundur jam
digunakan untuk penghormatan terhadap
pinten?
mitra tutur.
B : Mengko jam 4.
Secara semantis ragam krama alus
dapat didefinisikan sebagai ragam krama Terjemahan :
yang kadar kehalusanya tinggi. A : Nanti jam 4.
Contoh: B : Bapak, nanti sore pulang jam berapa?
(8) Aksara jawi punika manawi kapangku Kata mengko merupakan leksikon ngoko,
dados pejah. sehingga suami tersebut menggunakan ragam
Aksara Jawa itu jika dipangku malah ngoko.
mati.

Magistra No. 91 Th. XXVII Maret 2015 39


ISSN 0215-9511
Fenomena Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat ...........

b. Usia B : O ya, apa surat untuk Jakarta sudah


jadi dikirim kemarin ?
Usia yang lebih muda harus menggunakan
ragam krama kepada yang lebih tua dan tidak A : Sudah pak. Bersama surat Pak Ridwan
sebaliknya. dengan kilat khusus.

(12) A : Ibu badhe tindak pundi? Terjemahan :


B : Menyang pasar. A : Apakah Bapak sudah jadi membuat
lampiran untuk surat.
Terjemahan :
A : Ibu mau pergi kemana? B : O, ya sudah, inilah !
A : Terima kasih
B : Ke pasar.
B : Surat ini berisi permintaan borongan
c. Status Sosial untuk memperbaiki kantor sebelah,
Status sosial lebih rendah harus saya sudah kenal dia, orangnya baik,
menggunakan krama kepada orang yang status banyak relasinya, dan tidak banyak
sosialnya lebih tinggi. Misalnya tuturan atasan mencari untung. Lha sekarang kalau
kepada bawahannya. usahanya ingin sukses harus berani
seperti itu.
(13) A : Apakah Bapak sudah jadi membuat
lampiran untuk surat. A : Seperti itu, pak !

B : O, ya sudah, inilah ! B : seperti itu bagaimana ?

A : Terima kasih A : Artimya, meskipun modalnya besar


sekalipun bila ...
B : Surat ini berisi permintaan borongan
untuk memperbaiki kantor sebelah, B : Bila tidak banyak hubungannya dan
saya sudah kenal dia, orangnya baik, dalam mencari tidak akan jadi. Begitu
banyak relasinya, dan tidak banyak keinginanmu ?
mencari untung. Lha saiki yen usahane A : Lha, seperti itu.
pengin maju kudu wani ngono. B : O ya, apa surat untuk Jakarta sudah
A : Pancen ngaten, pak ! jadi dikirim kemarin ?
B : Pancen ngaten priye ? A : Sudah pak. Bersama surat Pak Ridwan
A : Tegesipun, mbok modalipun agenga dengan kilat khusus.
kados menapa menawa ...
d. Hubungan kekerabatan
B : Menawa ora akeh hubungane lan olehe
Hubungan kekerabatan yang kuat dalam
mbathi kakehan usahane ora bakal
tuturan di bawah ini menggunakan ragam ngoko.
dadi. Ngono karepmu ?
A : Lho, inggih ngaten. (14) A : Piye PRe ? Wis rampung.
B : Wis tapi during rampung kabeh.

40 Magistra No. 91 Th. XXVII Maret 2015


ISSN 0215-9511
Fenomena Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat ...........

A : Aku wis kabeh, mau tak cocoke PRe Frase badhe kondur tidak tepat, lebih tepat
Ahmad. Yang lain nomer sembilan. jika menggunakan badhe mantuk. Frase badhe
B : Aku garap mung sampai nomer pitu kondur merupakan leksikon krama yang tidak
thok. Endi PR mu ? tepat digunakan jika untuk menyatakan hal
tentang dirinya sendiri. Penutur mungkin
A : Sik takjipuke ning tas, Ki !
maksudnya baik, jika berbicara dengan orang
B : Aku nurun ya, nomer wolu karo sanga.
yang lebih tua menggunakan ragam krama,
A : He ... he ... he ... namun penutur salah bahwa dalam unggah-
Terjemahan : ungguh bahasa Jawa juga mengenal
merendahkan status dirinya dan leksikon-
A : Bagaimana PRe ? Sudah selesai.
leksikon yang menunjuk dirinya tidak boleh
B : Sudah tapi belum selesai semua.
dikramakan.
A : Saya sudah semua, tadi saya samakan
(16) Yen angsal, mangpundhutke gangsal iji
PRnya Ahmad. Yang lain nomer
mawon kangge kula
sembilan.
Jika boleh, Anda mintakan lima biji saja
B : Saya mengerjakan hanya sampai
untuk saya.
nomer tuju saja. Mana PRmu ?
A : Sebentar saya ambilkan di tas. Ini ! Data 16 merupakan leksikon krama
andhap yang digunakan oleh O1 yaitu oleh kula
B : Saya mencontoh ya, nomer delapan
saya. Namun, pada kata mangpundhutke
dan sembilan.
menjadikan kalimat tidak berterima,
A : He ... he ... he ...
ketidakberterimaannya itu dikarenakan O1 (kula)
menggunakan bentuk krama inggil pundhut
FENOMENA TINGKAT TUTUR DALAM minta, beli, ambil untuk diri sendiri. Sehingga
BAHASA JAWA kata mangsuwunke diganti mangsuwunke pada
data 16 menjadi berterima.
a. Ketidaktepatan penggunaan tingkat tutur/unggah-
(17) a. Panjenengan kersa kula tukokaken
ungguh dalam bahasa Jawa dapat dikarenakan
gethuk goreng ?
penguasaan yang kurang terhadap leksikon-
leksikon bahasa Jawa, atau kurangnya Anda mau saya belikan (kue) getuk
pemahaman terhadap konsep ragam ngoko dan goreng ?
ragam krama. b. Mbak Darmi badhe menehaken buku
Contoh: waosan punika (menika) dhateng Pak
Daliman.
(15) Nyuwun pamit Pak, kula badhe kondur.
Kak Darmi akan memberikan buku
Permisi pulang Bu, saya mau pulang.
bacaan ini kepada Pak Daliman.
Konteks: seorang anak yang berpamitan
kepada tuan rumah.

Magistra No. 91 Th. XXVII Maret 2015 41


ISSN 0215-9511
Fenomena Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat ...........

Begitu pula halnya dengan sufiks -aken (- b. Anak-anak ketika berbicara dengan orang tua
kaken) yang terdapat pada contoh (17) di atas, (18) A : Bu lawuhe apa?
sufiks itu tidak dapat bergabung dengankata tuku
B : kuwi le, neng njero lemari.
beli seperti pada *tukokaken belikan (17a) dan
Terjemahan :
tidak dapat bergabung dengan kata weneh beri
seperti pada *menehaken memberikan (17b) A :Bu, lauknya apa?)
sehingga kalimat (17a-17b) pun tergolong B : Itu nak, di dalam almari.
kalimat yang tidak berterima. Konteks: seorang anak ketika pulang
Ketidakberterimaan kedua kalimat tersebut sekolah, lapar dan segera menuju dapur.
disebabkan pada kata tuku dan weneh merupakan
Kurangnya pengetahuan tentang unggah-
leksikon ngoko yang mempunyai padanan bentuk
ungguh bahasa Jawa dapat menyebabkan
krama dan krama inggil. Karena mempunyai
terjadinya fenomena tersebut. Bisa saja anak itu
padanan bentuk krama dan krama inggil, leksikon
berasal dari latar belakang sosial keluarganya;
krama dan krama inggil itulah yang seharusnya
ayahnya berasal dari luar Jawa dan Ibu dari Jawa.
dilekati afiks -ipun (-nipun). Jika kaidah ini
Sangat dimungkinkan bahasa Jawa bukan
dilanggar, kalimat akan menjadi tidak berterima.
menjadi prioritas utama dalam bertutur, apalagi
Padanan leksikon ngoko tuku adalah tumbas, dan
dalam hal membedakan krama dan ngoko. Atau
padanan leksikon ngoko weneh adalah atur/caos.
mungkin memang orang tuanya tidak
Sehubungan dengan itu, agar kalimat 17a menjadi
mengajarkan unggah-ungguh bahasa Jawa, anak
berterima, kata tuku harus diganti dengan kata
mendapat pembelajaran bahasa Jawa dari
tumbas dan kata wenehaken diganti dengan
lingkungannya.
aturaken/caosaken pada kalimat 17b, sehingga
ubahannya menjadi.
c. Ketika orang tua berbicara kepada anaknya
Panjenengan kersa kula tumbasaken (masih kecil)
gethuk goreng ?
(19) A : Mangke adik menawi sampun
Mbak Darmi badhe nyaosaken/ rampung matur nggeh.
ngaturaken buku waosan punika (menika)
B : Nggeh Bu!
dhateng Pak Daliman.
Terjemahan :
Dalam unggah-ungguh bahasa Jawa
A : Nanti adik kalau sudah selesai, bilang
terdapat fenomena dimana penutur akan
ya.
merendahkan diri lewat bentuk ragam bahasanya.
Penutur akan menggunakan pilihan kata/leksikon B : Ya Bu!
ngoko untuk menyatakan dirinya dan memilih Konteks: orang tua sedang memberi pesan
leksikon krama untuk mitra tuturnya. kepada anaknya yang sedang belajar.

42 Magistra No. 91 Th. XXVII Maret 2015


ISSN 0215-9511
Fenomena Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat ...........

Pada tuturan orang tua tersebut bukan B : O.. pertigaan niku ngetan, griya
dalam rangka menghormati anaknya, tetapi dalam nomor kalih madhep ngaler.
rangka mengajarkan kepada anak tentang Terjemahan :
unggah-ungguh bahasa Jawa.
A : Mau tanya Mas!

d. Keakraban yang melunturkan status sosial dan B : Ya Mas.


unggah-ungguh bahasa Jawa. A : Rumahnya Bu Marini itu dimana ya?
(20) A : Ne, kenthongane wis mbok thuthuk? B : O.. pertigaan itu ke timur, rumah nomor
B : Durung Yu, kenthongen! dua menghadap ke utara.

Terjemahan : Konteks: A bertanya ke B mengenahi alamat


Bu Marini, dan B menunjukkan denah yang
A : Ne, kenthongan itu sudah kamu pukul?
ada.
B :Belum Yu, pukullah!
Ketidakakraban penutur dengan mitra
Konteks: Pembicaraan di pos ronda. A tutur dapat memunculkan ragam krama, padahal
berumur 30 tahun, seorang dosen dan B bisa jadi salah satu dari mereka memiliki usia
berumur 25 tahun, seorang karyawan pabrik. yang lebih muda, status sosial yang lebih rendah,
Mereka teman bermain sejak kecil. atau yang lainnya.
Bila A dan B bukan teman bermain sejak
f. Status sosial mitra tutur lebih rendah, maka mitra
kecil atau tingkat keakrabannya kurang bahkan
tutur harus menggunakan ragam krama kepada
tidak akrab, B sangat dimungkinkan akan
atasannya (penutur) meskipun jauh lebih muda
menggunakan ragam krama saat bertutur kepada
dari penutur.
A.
(23) A : Pak, sukete ngarep omah wis mbok
(21) A : Ne, kenthongane wis mbok thuthuk?
resiki?
B : Dereng Pak, dikenthong mawon!
B : Injih, sampun.
Terjemahan :
Terjemahan :
A : Ne, kenthongan itu sudah kamu pukul?
A : Pak, rumput depan rumah itu sudah
B : Belum Pak, pukullah! kau bersihkan?

e. Tidak akrab dan kebutuhan akan sesuatu, penutur B : Iya, sudah.


memunculkan bentuk bahasa krama kepada mitra Konteks: A adalah seorang juragan, B adalah
tutur. tukang kebun Pak Bayu.
(22) A : Ndherek tanglet Mas! Meskipun Nene berumur lebih tua,
B : Njih Mas. selayaknya dia menggunakan ragam krama
kepada Bayu karena status sosialnya. Status
A : Dalemipun Bu Marini menika pundi
sosial dalam hal ini sangat berperan penting
nggih?
dalam menentukan unggah-ungguh yang harus
digunakan oleh penutur.

Magistra No. 91 Th. XXVII Maret 2015 43


ISSN 0215-9511
Fenomena Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat ...........

g. Acara Kabar Wengi setiap jam 20.30 di TATV dikarenakan : (1) alasan keakraban antara O1 dan O2
yang menyajikan berita-berita kriminal ; (2) kemungkinan adanya perbedaan wilayah asal
Surakarta, DIY dan Magelang dengan antara penutur dan mitra tutur ; (3) penggunaan bahasa
menggunakan bahasa Jawa Ngoko. ngoko lebih banyak digunkan sebab lebih mudah
Meskipun dalam pemberitaannya dipahami dalam menyampaikan informasi.
menggunakan ragam ngoko, namun ketika
pembaca berita menyampaikan berita tentang
DAFTAR RUJUKAN
walikota misalnya, tidak akan menggunakan
ragam ngoko ketika kalimat itu menunjuk kepada Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 1995.
walikota. Sosiolingustik Perkenalan Awal. Jakarta : PT.
Pembawa berita : Dino iki Pak Walikota Rineka Cipta.
dhahar siang neng Griyokulo Karangpandan.
Chaedar Alwasilah, A. 1985. Sosiologi
(Hari ini Bapak Walikota makan siang di
Bahasa.Bandung : Angkasa.
Griyokulo Karangpandan.)
Pada intinya, acara kabar wengi yang Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik.
konsepnya dibuat dengan menggunkan ragam Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
ngoko pun, akan tetap menggunakan ragam
Halliday, M.A.K,. et al. 1970. The Usurs and Uses
krama (adanya leksikon krama) ketika menyebut
of Language. dalam J.A Fishman, Reading in
seseorang yang dihormati.
the Sosiology of Linguage.The Hague : Mounton.

Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung :


SIMPULAN Angkasa.
Masyarakat jawa menggunakan bahasa jawa
Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2009. Unggah-
harus mengenal unggah-ungguh, akan tetapi sering
Ungguh Bahasa Jawa (Editor: Yeyen Maryani).
terjadi kesalahan dalam penggunaan leksikon. Hal ini
Jakarta: Yayasan Paramalingua.
tidak dapat disalahkan sepenuhnya sebab itu dapat
terjadi karena adanya beberapa faktor, misalnya : Soepomo, Poedjosoedarmo,. 1976. Pengaruh Bahasa
kurangnya pengetahuan penutur tentang konsep Indonesia Terhadap Bahasa Jawa. Stensilan.
unggah-ungguh dalam berbahasa Jawa, kurangnya
Sumarsono dan Paina Partana. 2002.
penguasaan kosa kata bahasa Jawa oleh penutur.
Sosiolingustik.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Biasanya hal ini dialami oleh pendatang yang telah
lama menetap di luar Jawa atau oleh kaum muda
(khususnya anak-anak) yang belum mengerti dan
menguasai tentang unggah-ungguh. Kebiasaan
menggunakan bahasa selain bahasa Jawa dalam
pergaulan sehari-hari atau bahasa Jawa berupa ngoko,

44 Magistra No. 91 Th. XXVII Maret 2015


ISSN 0215-9511

You might also like