You are on page 1of 22

6

Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asam Urat
2.1.1 Defenisi
Asam urat adalah hasil akhir dari katabolisme (pemecahan) purin. Purin
adalah salah satu kelompok struktur kimia pembentuk DNA (gambar 2.1). Yang
termasuk kelompok purin adalah adenosin dan guanosin. Saat DNA dihancurkan,
purin pun akan dikatabolisme. Hasil akhirnya berupa asam urat (Rodwell, 2003).

Gambar 2.1 ( Murray, 2006 )

Asam urat merupakan produk akhir pemecahan purin pada manusia. Asam
urat merupakan asam lemah dengan pKa 5,75 dan 10,3. Urat terbentuk dari
ionisasi asam urat yang berada dalam plasma, cairan eksrtaseluler dan cairan
sinovial dengan perkiraan 98 % berbentuk urat monosodium pada pH 7,4.
Monosodium urat mudah diultrafiltrasi dan didialisis dari plasma. Pengikatan urat
dengan ke protein plasma memiliki sedikit kemaknaan fisioligik. Plasma menjadi
jenuh dengan konsentrasi urat monosodium 415 mol/L (6,8 mg/dL) pada suhu
370 C. Pada konsentrasi lebih tinggi, plasma menjadi sangat jenuh dengan asam
urat dan mungkin menyebabkan presipitasi kristal urat. Namun presipitasi tidak
terjadi sekalipun konsentrasi urat plasma sebesar 80 mg/dL (Wortmann, 2012).
Asam urat lebih mudah berikatan atau larut dalam urin dibandingkan
dengan air, mungkin karena adanya urea, protein, dan mukopolisakarida.
Kelarutannya sangat dipengaruhi oleh pH urin itu sendiri. Pada pH 5,0 urin
menjadi lebih jenuh dengan asam urat pada konsentrasi antara 360 sampai 900
mol/L (6 sampai 15 mg/dL). Pada pH 7,0 saturasi tercapai dengan konsentrasi
7

antara 158 dan 200 mg/ dL. Bentuk asam urat yang terionisasi dalam urin berupa
mono dan disodium, kalisum, amonium dan kalsium urat (Wortmann, 2012).
Kadar rata-rata asam urat di dalam darah dan serum tergantung usia dan
jenis kelamin. Sebagian besar anak memiliki kadar asam urat serum sebesar 180
sampai 240 mol/L (3,0 sampai 4,0 mg/dL). Kadar ini mulai naik selama pubertas
pada laki-laki tetapi rendah pada perempuan sampai monopause. Meskipun
penyebab variasi jenis kelamin ini belum dipahami seluruhnya, sebagian
disebabkan oleh ekskresi fungsional asam urat yang lebih tinggi pada perempuan
dan disebabkan oleh pengaruh hormonal. Nilai asam urat serum rata-rata untuk
laki-laki dewasa dan perempuan pramonopouse adalah 415 dan 360 mol/L (6,8
dan 6,0 mg/dL). Pada perempuan dewasa dibawah 6,0 mg/dL. Konsentrasi pada
dewasa stabil naik menurut waktu dan bervariasi menurut tinggi (Wortmann,
2012).

2.1.2 Pembentukan Asam Urat


Asam urat (purin 2,6,8-trihidroksi, C5H4N4O3) adalah produk akhir
metabolisme purin di manusia, tetapi merupakan produk perantara dalam
kebanyakan mamalia lain. Hal ini dihasilkan terutama dalam hati (Gambar 2.2)
dengan aksi xantin oksidase, suatu enzim logam molibdenum yang dapat
dihambat oleh farmakologi obat-obatan seperti allopurinol dan febuxostat
(Bobulescu, 2012).
Manusia mengubah nukleotida purin yang utama, yaitu adenosin dan
guanin menjadi produk akhir asam urat yang dieksresikan keluar. Guanin yang
berasal dari guanosin dan hipoxantin yang berasal dari adenosin melalui
pembentukan xantin keduanya dikonversi menjadi asam urat, reaksinya berturut-
turut dikatalis oleh enzim guanase dan xantin oksidase (Hardjasasmita, 2000).
8

Gambar 2.2 Katabolisme Purin (2004, Nelson)

Adenosin pertama-tama mengalami deaminase menjadi inosin oleh enzim


adenosin deaminase. Fosforilasi ikatan N-glikosidat inosin dan guanosin yang
dikatalisis oleh enzim nukleosida purin fosforilase, akan melepas basa purin
(Rodwell, 2012).
Selanjutnya, dengan dikatalisis oleh enzim xantin oksidase, hipoxantin
mula-mula dioksidase menjadi xantin, untuk selanjutnya xantin diubah menjadi
asam urat. Guanin berasal dari guanosin, guanosin dengan Pi dikatalisis oleh
9

enzim purin nukleosida fosforilase yang melepas gugus Ribosa- 1P


(Hardjasasmita, 2000).

2.1.3 Ekskresi Asam Urat


Ekskresi netto asam urat lokal pada manusia normal rata-rata adalah 400-
600 mg/jam. Banyak senyawa secara alami terdapat di alam dan senyawa
farmakologik mempengaruhi absorpsi serta sekresi natrium pada ginjal. Produksi
asam urat bervariasi tergantung kandungan purin dalam diet dan kecepatan
biosintesis, degradasi dan penyimpanan purin. Normalnya dua pertiga hingga tiga
perempat urat yang dihasilkan dikeluarkan melalui ginjal dan sebagian besar
dibuang melalui usus. Setelah filtrasi, 98% sampai 100% asam urat diserap
kembali. Kira-kira setengah sampai empat puluh persen asam urat yang
direabsorbsi diekskresikan kembali di tubulus proksimalis dan kira kira 40-44%
direabsorbsi kembali. Kira-kira 8% sampai 12% asam urat yang disaring oleh
glomerulus dikeluarkan dalam urin sebagai asam urat (Wortmann, 2012).

2.1.4 Hiperurisemia
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat
darah di atas normal. Hiperurisemia bisa terjadi karena peningkatan metabolisme
asam urat (overproduction), penurunan pengeluaran asam urat urin
(underexcretion), atau gabungan keduanya (Putra, 2009).
Hiperurisemia dapat didefenisikan sebagai konsentresi asam urat lebih dari
7,0 mg/dL. Defenisi ini didasarkan pada kriteria fisikokimiawi, epidemiologi dan
berkaitan dengan penyakit. Secara fisikokimiawi, hiperurisemia adalah
konsentrasi urat dalam darah melebihi batas kelarutan urat monosodium dalam
plasma, 415 mol/L ( 6,8 mg/dL ). Pada penelitian epidemiologi, hiperurisemia
didefenisikan sebagai nilai rata-rata ditambah 2 standar deviasi yang ditentukan
dari populasi sehat yang dipilih secara acak. Pada satu penalitian besar, 95 persen
individu yang tidak diseleksi memiliki konsentrasi urat serum dibawah 7,0 mg/dL.
Risiko menderita gout dan nefrolitiasis meningkat pada konsentrasi urat lebih dari
10

7,0 mg/dL dan meningkat sebanding dengan derajat peningkatan konsentrasi


(Wortmann, 2012).
Prevalensi hiperurisemia sebesar 2,0 sampai 13,2 persen pada pasien
dewasa rawat jalan dan sedikit lebih tinggi pada individu yang dirawat inap
(wortmann, 2012).
Penyebab hiperurisemia dan gout dapat dibedakan dengan hiperurisemia
primer, sekunder dan idiopatik. Hiperurisemia primer adalah hiperurisemia tanpa
disebabkan penyebab atau penyakit tertentu. Hiperurisemia sekunder adalah
hiperurisemia yang disebabkan oleh penyakit atau penyebab lainnya.
Hiperurisemia idiopatik merupakan hiperurisemia yang belum jelas penyebabnya
(Putra, 2009 ).

A. Hiperurisemia primer
Hiperurisemia primer terdiri dari hiperurisemia dengan kelainan molekuler
yang masih belum jelas dan hiperurisemia karena adanya kelainan enzim spesifik.
Hiperurisemia primer kelainan molekuler yang belum jelas terbanyak didapat
yaitu mencapai 90% yang terdiri dari hiperurisemia undrexretion (80-90%) dan
kerena overproduction (10-20%). Hiperurisemia primer karena enzim spesifik
diperkirakan hanya sebesar satu persen, yaitu peningkatan aktivitas varian dari
phosphoribosylpyrophosphatse synthase dan sebagain enzim dari hypoxanthine
phosphoribosyltransferse. Hiperurisemia karena faktor genetik dan menyebabkan
gangguan pengeluaran asam urat sehingga menyebabkan hiperurisemia. Kelainan
yang menyababkan gangguan pada pengeluaran asam urat di urin belum jelas,
kemungkinan gangguan pada sekresi asam urat di tubulus ginjal (Putra, 2012).

B. Hiperurisemia sekunder
Hiperuresemia sekunder dibagi menjadi kelompok, yaitu kelainan yang
menyebabkan peningkatan biosintesa de nevo, yaitu kelainan yang menyebabkan
peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat dan kelainan
menyebabkan underexretion. Hiperurisemia sekunder karena peningkatan
biosistesis de nevo terdiri dari kelainan karena kekurangan menyeluruh enzim
11

HPRT pada Lesh-Nyhan syndrome, kekurangan enzim glucosa-6-phosphatsen


pada Von Gierkee, dan kelainan kekurangan enzim fructose-1-phosphate aldolase
(Putra, 2012).
Hiperurisemia sekunder yang disebabkan oleh underexretion
dikelompokan dalam beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa ginjal,
penurunan filtrasi glomerulus, penurunan fructional uric acid clearance dan
pemakaian obat-obatan (Putra, 2012).
Secara umum penyebab hiperurisemia dapat ditentukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Anamnesis
ditujukan untuk melihat faktor keturunan, kelainan dan atau penyakit lain sebagai
penyebab sekunder dari hiperurisemia (Putra, 2012).
Pada pemeriksaan fisik, pasien biasanya asimtomatik, dan tidak ada
penemuan fisik spesifik . Pemeriksaan fisik untuk mengetahui kelainan sekunder
yang menyertai dapat dicari dengan menemukan tanda-tanda seperti anemia,
phletora, pembesaran organ limfa, gangguan kardiovaskuler dan kelainan ginjal
(Putra, 2012).
Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk mengarahkan dan memastikan
penyebab hiperurisemia. Pemeriksaan penunjang yang dipilih berdasarkan
perkiraan diagnostik setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang yang rutin dikerjakan adalah pemeriksaan darah rutin
untuk asam urat darah dan kreatinin, pemeriksaan urin untuk asam urat dan
kreatinin dalam 24 jam, dan pemeriksaan lain yang diperlukan. Seperti
pemeriksaan enzim yang dilakukan tergantung pada pemeriksaan sebelumnya
(Putra, 2012).
Pemeriksaan asam urat dalam 24 jam penting dikerjakan untuk mengetahui
hiperurisemia apakah overproduction atau underexcretion. Pada bebas purin, laki-
laki dengan fungsi ginjal normal mengeluarkan kurang dari 3,6 mmol/hari (600
mg/ hari). Dikatakan overproduction jika hasil pemeriksaan urin terdapati lebih
dari 1000 mg/ hari (Wortmann, 2012).
12

2.1.5 Penyakit-penyakit dengan Peningkatan Kadar Asam Urat


a. Gout
Gout berupa penyakit rematik yang ditandai dengan tingginya kadar asam
urat di dalam darah dan asam urat yang terdeposito berupa kristal di sendi
(Lvarez-lario et al, 2011). Gout adalah suatu proses inflamasi yang diprakarsai
oleh deposisi jaringan monosodiumurat kristal. Sebuah serangan yang khas
merupakan monoartritis akut disertai klasik tanda-tanda peradangan (Albertoni et
al, 2012 ).
Beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya gout. Genetik,
gangguan monogenik yang mengakibatkan kelebihan produksi asam urat melalui
kecacatan enzim dalam memetabolisme purin sangat langka. Namun demikian,
gout primer sering terjadi pada laki-laki yang memiliki kecendrungan familiar
yang kuat. Jenis Kelamin dan Usia, Laki-laki memiliki tingkat asam urat lebih
tinggi dari perempuan dan peningkatan prevalensi gout pada semua usia,
meskipun belum banyak yang menyebutkan khususnya pada usia tua. Estrogen
memiliki efek urikosurik, hal ini yang membuat gout terjadi sangat jarang pada
perempuan khususnya sebelum monopouse. Penuaan merupakan faktor risiko
penting pada laki-laki dan perempuan, hal ini terjadi mungkin karena
berkurangnya fungsi ginjal; peningkatan penggunaan diuretik dan obat-obatan
lainnya; dan perubahan kepadatan dari jaringan ikat yang dapat terjadinya
pembentukan dari kristal. Diet, asam urat telah lama dikaitkan denga gaya hidup
yang kaya melibatkan konsumsi daging dan alkohol. Menurut Health
Professionals Follow-up Study (HPFS) menunjukan faktor risiko relatif orang-
orang yang mengonsumsi daging merah memiliki risiko relatif terjadinya serangan
gout pertama, berikutnya konsumsi makanan laut memiliki faktor risiko lebih
randah. Sedangkan diet sayuran tinggi purin tidak menunjukkan faktor risiko yang
tinggi, sementara itu konsumsi diet rendah lemak dan produk susu menunjukkan
penurunan faktor risiko dari gout sendiri. Alkohol memiliki faktor risiko
meningkatkan kadar asam urat karena metabolisme etanol menjadi asetil CoA
menyebabkan degradasi adenin yang menyebabkan peningkatan pembentukan
adenosin monofosfat yang merupakan prekursor asam urat. Alkohol juga
13

meningkatkan kadar asam laktat dalam darah yang menghambat ekskresi asam
urat. Dan yang terakhir, beberapa minuman beralkohol memiliki kandungan purin
yang tinggi, antara lain bir yang berisi guanosin (Albertoni et al, 2012).
b. Batu saluran kemih
Hiperurisemia dan gout merupakan faktor risiko independen nefrolitiasis,
tidak hanya untuk batu asam urat, tetapi juga untuk batu kalsium oksalat lebih
umum. Prevalensi kalsium oksalat nefrolitiasis di pasien dengan gout adalah 10
sampai 30 kali lebih tinggi dari pada di individu tanpa gout, hal ini dapat
disebabkan oleh peningkatan ekskresi kalsium dan penurunan ekskresi sitrat
(Alvarez-lario et al, 2011).
c. Penyakit ginjal
Asam urat dapat menyebabkan nefropati akut dan kronis yang dapat
mengakibatkan kerusakan ginjal. Nefropati akut terjadi kerena pengendapan dari
asam urat pada tubulus ginjal, sedangkan nefropati kronis disebabkan oleh
endapan kristal natrium urat dalam interstitium medula ginjal yang menghasilkan
respon inflamasi kronik dengan fibrosis intersitial dan kerusakan ginjal yang
kronis (Alvarez-lario et al, 2011). Meskipun hiperurisemia selalu terjadi pada
gagal ginjal. Artritis gout terjadi pada kurang dari 1 persen pasien gagal ginjal
kronik. Karena sebagian besar artritis terjadi pada usia 20 sampai 40 tahun yang
menderita hiperurisemia, kebanyakan pasien gagal ginjal mungkin tidak cukup
hiperurisemia untuk menumpuk beban asam urat. Selain itu penderita gagal ginjal
kronik menunjukan penurunan respon peradangan terhadap kristal urat yang
disuntikkan secara subkutan, kecuali penyakit polikistik ginjal (Wartmann, 2012).
Selain berkaitan dengan insufisiensi ginjal, hiperurisemia juga
menyebabkan beberapa masalah ginjal : nefrolitiasis; neuropati urat, berupa
penumpukan kristal monosidium urat dalam jaringan intersitial yang
menyebabkan insufisiensi ginjal; neurofati asam urat (Wartmann, 2012).
d. Hipertensi
Banyak yang berpikir bahwa hiperurisemia adalah respon sekunder dari
hipertensi karena peningkatan asam urat. Tetapi hiperurisemia merupakan faktor
risiko terjadinya hipertensi, hal ini diakibatkan karena peningkatan kadar asam
14

urat akan mengaktivasi sistem ginjal-angiotensin dan vasokontriksi pembuluh


ginjal akibat mediasi inflamasi karena kerusakan dan stress (Alvarez-lario et al,
2011).

2.2 Batu Ginjal


2.2.1 Defenisi
Nefrolitiasis merupakan suatu penyakit dengan gejala ditemukannya satu
atau beberapa massa keras seperti batu yang terdapat di dalam tubuli ginjal,
infundibulum, pelvis ginjal, serta seluruh kaliks ginjal (Ridwan et al, 2014).

2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Terbentuknya batu ginjal diduga ada hubungannya dengan gangguan
saluran urin, infeksi saluran urin, dehidrasi dan keadaan-keadaan lainnya yang
masih belum terungkap (idiopatik) (Purnomo, 2011).
Secara epidemiologi terdapat beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor ini adalah faktor
intrinsik dan ekstrinsik (Purnomo, 2011)

Faktor intrinsik itu antara lain :


a. Herediter (keturunan) : penyakit ini diturunkan dari orang tuanya.
b. Usia : penyakit ini paling sering didapat pada usia 30
sampai 50 tahun.
c. Jenis kelamin : jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih besar dari
pada perempuan.
Beberapa faktor ekstrinsik adalah :
a. Geografi : Beberapa daerah memiliki prevalensi kejadian
yang tinggi.
b. Iklim dan temperatur.
c. Asupan air.
d. Diet.
e. Pekerjaan.
15

2.2.3 Patofisiologi nefrolitiasis


Batu saluran kemih biasanya timbul karena adanya kerusakan pada sistem
keseimbangan yang baik. Ginjal harus mengolah air, namun ginjal juga harus
menyekskresikan materi yang derajat kelarutannya rendah. Dua aktivitas
berlawanan ini harus diseimbangkan dalam adaptasi terhadap diet, iklim dan
aktivitas (Wortmann, 2012). Secara teori batu saluran kemih terbentuk di saluran
kemih terutama daerah-daerah yang sering mengalami penghambatan aliran urin
(Purnomo, 2011). Ada beberapa teori yang menerangkan proses pembentukan
batu saluran kemih.
a. Teori supersaturasi
Kalsium, oksalat dan fosfat membentuk banyak senyawa kompleks terlarut
yang stabil dengan komposisinya terdiri atas zat itu sendiri dan substansi urin
lainnya. Akibatnya, aktivitas ion bebas dari zat itu lebih rendah dari pada
konsentrasi kimiawinya, dan hanya dapat diukur melalui teknik tidak langsung.
Penurunan ligan seperti sitrat dapat meningkatkan aktivitas ion tanpa mengubah
konsentrasi kalsium dalam urin. Supersaturasi urin dapat ditingkatkan melalui
dehidrasi atau melalui ekskresi yang berlebihan dari pada kalsium, oksalat, fosfat
sistin atau asam urat. Selain itu pH urin juga perlu diperhatikan kerena fosfat dan
asam urat merupakan asam lemah yang akan menigkatkan konsentrasi pada pH
yang rendah (Wortmann, 2012).
Inisiasi dan pembentukan batu ini mengambarkan bahwa pembentukan
kristal-kristal diawali dari dalam ginjal. Agar kristal terbentuk urin harus jenuh
sehubungan dengan materi batu yang akan terbentuk, hal ini lah yang disebut
supersaturasi. Tingkat kejenuhan ini berkorelasi dengan pembentukan batu, maka
menurunkan tingkat kejenuhan ini efektif untuk mencegah kekambuhan batu
(Worcester et al, 2008).
b. Nukleasi
Batu terbentuk di dalam saluran kemih karena adanya inti batu (nucleus).
Pertikel yang kelewat supersaturasi akan mengalami pengendapan dan memulai
nukleasi sehingga akhirnya membentuk batu (Purnomo, 2011). Ketika kejenuhan
air melewati batas atas metastabil, keristal akan mulai ternukleasi. Puing-puing sel
16

dan kristal lain yang hadir di saluran kemih dapat berfungsi sebagai tamplate
untuk pembentukan kristal, proses ini sering dikenal sebagai heterogen nukleasi.
Heterogen nukleasi menurunkan tingkat kejenuhan diperlukan untuk pembentukan
kristal. Setelah terbentuk, inti kristal akan terbentuk dalam ukuran jika urin jenuh
sehubungan dengan fase pembentukan kristal. Kelipatan kristal akan beragregasi
kemudian akan terus menbentuk batu (Aspilin et al, 2010).
c. Penghambat kristalisasi
Inti yang stabil harus tumbuh dan berkelompok untuk membentuk sebuah
batu yang mempunyai arti klinis. Urin mempunyai banyak inhibitor poten pada
proses pertumbuhan dan pengelompokan kalsium oksalat dan kalsium fosfat,
tetapi tidak berfungsi untuk penghambatan asam urat, sistin atau struvit.
Piroposfat anorganik adalah inhibitor poten untuk kalsium fosfat dari pada
kalsium oksalat. Glikoprotein menghambat pembentukan kalsium oksalat (Favus
et al, 2000).
17

Gambar 2.3 patofisiologi batu ginjal ( Silbernagl, 2012)

2.2.4. Komposisi batu


Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium oksalat,
kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat, xanthyn, sistin, silikat dan
unsur lainnya.
18

a. Batu Kalsium
Batu jenis ini paling banyak di jumpai, yaitu sekiar 70 sampai 80 persen
dari seluruh kasus batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas
kalsium oksalat, kalsium fosfat atau campuran kedua unsur (Purnomo, 2011).
Faktor terjadinya batu kalsium adalah
i. Hiperkalsiuri
Hiperkalsiuri adalah kadar kalsium di dalam urin lebih besar dari 250-300
mg/24 jam. Penyebab terjadinya hiperkalsiuri berupa hiperkalsiuri idiopatik yang
bersifat hereditar dan diagnosisnya dapat segera dibuat. Pada beberapa pasien,
hiperabsorbsi kalsium intestinal primer sementara menyebabkan hiperkalsimia
pasca parandial (setelah makan) yang menekan sekresi hormon paratiroid.
Tubulus ginjal menghalangi rangsangan normal untuk reabsorbsi kalsium pada
waktu yang sama sehingga beban kalsium yang sering meningkat (Wortmann,
2012).
ii. Hiperoksaluri
Hiperoksaluri adalah ekskresi oksalat urin yang melebihi 45 gram per hari.
Keadaan ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami gangguan pada usus
sehabis menjalani pembedahan usus dan pasien yang banyak mengkonsumsi diet
kaya oksalat (Purnomo, 2011).
iii. Hiperurikosuria
Hiperurikosuria adalah kadar asam urat dalam urin melebihi 850 mg/24
jam (Purnomo, 2011). Sekitar 20% kalsium oksalat pembentuk batu karena
hiperurikosuria (Aspilin et al, 2010).
iv. Hipositraturia
Di dalam urin sitrat mencegah pembentukan batu kalsium dengan
membentuk kampleks latutan dengan kasium. Hipositraturia di temukan pada 20%
sampai 40% pembentukan batu kalsium (Aspilin et al , 2010).
b. Batu Struvit
Batu ini terjadi akibat infeksi saluran kemih karena bakteri, umumnya
spesies Proteus, yang mempunyai urase, yaitu enzim yang mendegradasi urea
menjadi NH3 dan CO2 . NH3 mengalami hidrolisis menjadi NH4+ dan menaikan
19

pH menjadi 8 sampai 9. CO2 mengalami hidrasi menjadi H2CO3 dan selanjutnya


berdisosiasi menjadi CO32- yang mengalami presipitasi dengan kalsium menjadi
CaCO3. NH4+ terpresipitasi dengan PO43- dan Mg 2+
membentuk MgNH4PO4.
Hasilnya adalah batu kalsium karbonat tercanpur dengan struvit (Favus et al,
2000).
c. Batu Sistin
Sistinuria terbentuk melalui defek transpor asam amino yang terganggu
pada sikat pembatas di tubulus ginjal dan sel epitel di intersitium. Batu sistin
hanya terbentuk pada pasien dengan sistinuria (Favus et al, 2000).
d. Batu Asam urat
Batu asam urat merupakan minoritas dari semua kasus nefrolitiasis, tetapi
secara signifikan lebih umum di antara pembentuk batu dengan sindrom
metabolik. Sebuah urin terlalu asam adalah diakui sebagai kelainan utama yang
bertanggung jawab untuk nefrolitiasis asam urat. Batu asam urat merupakan 5%
sampai 10% dari seluruh batu saluran kemih. Di antara 75% sampai 80 % batu
asam urat terdiri dari batu asam urat murni dan sisanya merupakan batu asam urat
campuran seperti dengan kalsium oksalat. Penyakit batu asam urat banyak diderita
oleh pasien-pasien penyakit gout, mieloproliferatif, pasien dengan terapi anti
kanker banyak menggunakan obat urikosurik diantaranya thiazide, sulfinpirizone
(Purnomo, 2011).
Konsentrasi urin asam urat tergantung pada jumlah asam urat
diekskresikan, dan volume urin yang diproduksi selama periode waktu. Asam urat
terdisosiasi memiliki kelarutan sekitar 100 mg/L, dan jenuh terjadi sampai sekitar
200 mg/L, dimana mencapai metastable upper limit (MUL). Pada pH urine 5,5,
dengan 600 mg asam urat dalam 1 L air seni akan berisi paling sedikit 300 mg/L
asam urat larut. Kristal akan membentuk dan agregat untuk membentuk batu. Pada
pH yang sama, sebuah jumlah yang setara dalam 3 L urin akan memiliki
konsentrasi 150 mg /dL. Sementara jenuh, urin belum mencapai MUL, sehingga
tidak ada kristal baru akan mengendap. Pola diurnal aliran urin telah ditunjukkan,
dengan aliran terendah dan osmolaritas tertinggi terjadi di pagi hari. Volume urin
terendah (konsentrasi zat terlarut tertinggi) juga bertepatan dengan pH urine
20

terendah selama pagi dini hari. Dengan demikian, itu adalah kombinasi dari aliran
rendah dan tinggi osmolaritas dimana hiperurikosuria menyebabkan pengendapan
kristal. Sementara hiperurikosuria adalah faktor risiko yang ditetapkan untuk batu
asam urat, itu akan lebih sering menghasilkan kalsium nefrolitiasis oksalat
(hyperuricosuric kalsium urolitiasis) (Wiederkehr, 2011).
Hiperurkosuria umumnya didefenisikan sebagai urin ekskresi asam urat
harian lebih dari 800 mg pada pria dan 750 mg pada wanita. Hiperurikosuria
bukanlah faktor penentu untuk asam urat litiasis, dan sebaliknya, batu asam urat
sering membentuk pada pasien dengan normourikosuria. Selain itu, lebih dari
memutuskan jumlah total asam urat diekskresikan adalah konsentrasi dalam urin.
Kelarutan zat didefenisikan sebagai jumlah maksimum yang stabil dalam solusi.
Supersaturation terjadi di luar konsentrasi kelarutan, dimana ada sebuah drive
untuk menghapus kelebihan dengan kristalisasi, meskipun tidak ada kristal baru
belum dapat membentuk, sampai Konsentrasi mencapai batas atas metastabil
(MUL). Pada dan di luar MUL, kristal akan mengendap, nukleasi, agregat, dan
tumbuh menjadi sebuah batu ginjal (Wiederkehr, 2011).
Etiologi dari pada nefrolitiasis asam urat meliputi idiopatik nefrolitiasis
asam urat, gout primer, gastrointestinal disorders, neoplastic disorders dan diet
(Wiederkehr, 2011).
21

Tabel 2.1. Faktor Penyebab Terbentuknya Batu Asam Urat

Low Low Hyperuricosuria


Urinary Urinary pH
Volume
Idiopathic or gouty X
diathesis
Obesity X
Insulin resistence X
Animal protein in diet X X
Primary gout X X
Chronic diarrhea X X
Dehydration X
Lesch-Nyhan syndrome X
Von-Gierke disease X
Disorders of high cell X
Renal hyperuricosuria X
Familial hyperuricosuria
Fanconi syndrome
Harnup disease
Wilsons disease

2.2.5. Gambaran Klinis


A. Nyeri
Nyeri adalah mekanisme untuk menimbulkan kesadaran bahwa sedang ada
terjadi kerusakan jaringan (Sherwood, 2012). Kolik ginjal dan sakit ginjal non-
kolik adalah dua jenis nyeri yang berasal dari ginjal. Kolik ginjal biasanya
disebabkan adanya peregangan sistem pengumpul atau ureter. Sedangkan nyeri
ginjal non-kolik karena adanya distensi dari kapsul ginjal. Obtruksi kemih
merupakan mekanisme yang bertangunggu jawab terjadinya nyeri kolik karena
22

adanya peningkatan tekanan intraluminal yang menyababkan terjadinya


peregangan pada ujung-ujung saraf. Kolik ginjal tidak selalu meradang dan datang
bergelombang seperti nyeri kolik pada kolik usus dan kolik empedu (Stoller,
2008).
Nyeri kolik ginjal merupakan nyeri yang intermiten yang menjalar ke
pangkal paha, perut bagian bawah atau alat kelamin. Nyeri sering di sertai rasa
mual, muntah, disuria, dan hematuria (Carter et al , 2014).

Gambar 2.4 Nyeri kolik (Carter, 2014)

B. Hematuria
Sebagian besar pasien memiliki gejala hematuria. Urinalisis lengkap
membantu untuk mengkomfirmasi diagnosis dari batu saluran kemih dengan
menilai hematuria, kristaluria dan pH urin. Pasien sering mengeluhkan adanya
hematuria yang jelas (gross hematuria yang intermiten) atau tak berwarna hanya
ada urin seperti teh kental (mikrohematuria) (Carter et al , 2014).
C. Infeksi
Batu struvit dan kalsium fosfat merupakan jenis batu saluran kemih yang
berhubungan dengan infeksi saluran kemih. Infeksi dapat menjadi faktor yang
berhubungan dengan persepsi nyeri (Carter et al , 2014).
23

D. Demam
Kejadian demam pada batu ginjal jarang terjadi, hal ini terjadi karena ada
hubungannya dengan infeksi pada saluran kemih akibat batu saluran kemih
(Carter et al , 2014).

2.2.6. Diagnosis Nefrolitiasis


A. Anamnesis
Anamnesis yang teliti dapat membantu dalam mendiagnosis suatu
penyakit. Sebuah evaluasi yang tepat memerlukan riwayat kesehatan menyeluruh.
Sifat nyeri harus dievaluasi, termasuk onset, karakter, radiasi, kegiatan yang
memperburuk atau meringankan rasa sakit, mual dan muntah yang berhubungan
atau hematuria gross, dan riwayat sakit yang sama. Pasien dengan batu
sebelumnya sering memiliki jenis yang sama seperti sakit di masa lalu, tetapi
tidak selalu (Carter et al, 2014). Dan beberapa faktor risiko juga merupakan
komponen yang ditanyakan dalam anamnesis.
1. Kristaluria merupakan faktor risiko untuk batu. Pembentuk batu, terutama
mereka dengan batu kalsium oksalat, sering mengeluarkan lebih kristal kalsium
oksalat, dan orang-orang kristal yang lebih besar dari normal > 12 mm. Tingkat
formasi batu sebanding dengan persentase besar kristal dan kristal agregat.
Produksi kristal ditentukan oleh saturasi masing-masing garam dan konsentrasi
urin, inhibitor dan promotor.
2. Faktor sosial ekonomi
3. Diet memiliki pengaruh yang tinggi dengan kejadian batu ginjal, contoh pada
pasien dengan konsumsi asam lemak jenuh, kosumsi diet kaya purin dan
sebagainya akan meningkatkatkan kejadian batu ginjal.
4. Iklim dan cuaca, pada iklim panas atau cuaca panas maka tingkat dehidrasi
akan meningkat, dimana dehidrasi dapat meningkatkan kejadian batu ginjal.
5. Sejarah keluarga
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik biasanya dijumpai adanya nyeri ketok di sudut
costovertebra (Purnomo, 2011). Pasien dengan nyeri kolik kronik biasanya
24

memiliki rasa sakit yang parah, berusaha mencari gerakan-gerakan dan posisi
yang nyaman. Hal tersebut dapat membedakannya dengan kejadian nyeri pada
peritonitis yang cendrung tidak bergerak. Selain adanya nyeri costovertebral ada
juga ditemukan massa di abdomen akibat distensi atau hidronefrosis parah.
Komponen sistemik yang dapat dilihat berupa takikardi, berkeringat mual dan
muntah (Carter et al, 2014).
Pasien dengan batu asam urat memiliki gejala dan tanda-tanda yang mirip
dengan dengan jenis lain dari batu, yang meliputi flank dan sakit perut, mual,
emesis, gejala saluran kemih bagian bawah, hematuria, dan nyeri gonad di laki-
laki. Oleh karena itu, keberadaan umum prediktor klinis untuk kehadiran batu
harus meminta satu untuk menilai untuk diagnosis tersebut (Assimos, 2007).
C. Pemeriksaan Penunjang
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakan diagnosis batu
ginjal juga diperukan adanya pemeriksaan radiologi, laboraturium dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
i. Pemeriksaan laboraturium
Pemeriksaan ini memiliki tujuan untuk mengetahui faktor risiko, jenis batu
dan komplikasi yang ada. Pemeriksaan laboraturium dilakukan melalui urinalisis,
analisi urin 24 jam, dan analisis darah. Penelitian laboratorium dasar tertentu
harus diperoleh. Batu asam urat harus dicurigai pada setiap pasien dengan pH urin
yang masih rendah, kurang dari 5,5, dan radiografi yang temuan ulasan kemudian
(Assimos, 2007).
ii. Pemeriksaan radiologi
1. Ultrasongrafi
Ultrasonografi dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani
pemeriksaan PIV, yaitu pada keadaan alergi dengan kontras, faal ginjal yang
menurun dan pada wanita hamil. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya
batu ginjal yang ditunjukkan sebagai echoic chadow, hidronefrosis, pionefrosis
atau pengerutan ginjal (Purnomo, 2011).
25

2. Foto polos
Pembuatan foto polos dapat menentukan besar, jumlah macam dan lokasi
batu radio-opak serta komposisi batu pada traktus urinarius. Batu-batu jenis
kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-opak dan paling sering
ditemukan dibandingkan jenis batu lain. Sedangkan batu asam urat bersifat non
radio-opak atau radiolusen (Purnomo, 2011).
Keterbatasan pemeriksaan ini adalah tidak dapat mentukan batu
radiolusen, batu kecil, batu yang tertutupi bayangan struktur tulang. Pemeriksaan
ini tidak dapat membedakan batu dalam ginjal atau batu di luar ginjal
(Sjabani,2006). Oleh karena itu, foto polos perlu ditambahkan dengan
pemeriksaan foto pielografi intravena yang bertujuan mendetaksi batu semi-opak
maupun batu non-opak yang tidak dapat telihat pada foto polos abdomen
(Purnomo, 2011).
3. Computed tomography
Noncontrast spiral CT Scan sekarang menjadi pilihan pencitraan pada
pasien dengan kolik ginjal akut. Metode ini lebih cepat dan murah dibandingkan
dengan IVP. Metode ini menampilkan struktur peritoneal dan retroperitoneal
untuk membatu diagnosis yang belum pasti. Kekurangannya adalah tidak
memberikan gambaran anatomi yang rinci seperti IVP yang mungkin perlu dalam
intervensi pencernaan. Matriks batu dengan jumlah kalsium yang tinggi akan
mempermudah evaluasi oleh CT. Gambaran batu asam urat akan memiliki
gambaran yang tidak jauh berbeda dengan batu kalsium oksalat (Carter et al,
2014).
4. Intravenous pyelography
IVU terdiri dari serangkian film polos yang diambil setelah pemberian
media kontras larutan iodinecontaning melalui suntikan intravena. IVU kurang
diandalkan dalam diagnosis batu ginjal karena memiliki akurasi sekitar 50%
(Sotton, 2003).
5. Retrograde pyelography
Metode ini digunakan untuk menggambarkan bagian anatomi saluran atas
dan melokalisasi batu yang kecil dan radiolusen (Carter et al, 2014).
26

2.2.7. Penatalaksanaan
A. Terapi konservatif
Dalam pengobatan konservatif yang dilakukan adalah mengupayakan batu
dapat keluar spontan dengan menggunakan obat-obatan dan cara lainnya tanpa
melalui tindakan opersi atau tindakan lainnya. Terapi medikamentosa ditujukan
untuk ukuran batu ginjal kurang dari 5 milimeter, karena diharapkan batu dapat
keluar spontan (Purnomo, 2011).
B. Tindakan urologi
Indikasi untuk melakukan tindakan urologi adalah batu ginjal dengan
ukuran lebih dari 5 milimeter atau dengan tindakan konservatif yang tidak
memungkinkan batu keluar spontan, batu ginjal yang menyebabkan nyeri yang
tidak menghilang, hidronefrosis permanen, adanya infeksi, batu staghorn dan ada
hubungan dengan pekerjaan (Purnomo, 2011).
Ada beberapa jenis tindakan urologi, yaitu Extracorporeal Shockwave
Lithotripsyn (ESWL), melalui tindakan PNL (Percutaneous Nephro Lithopaxy),
bedah laparoskopi atau pembedahan terbuka (Purnomo, 2011).

2.3. Hubungan antara peningkatan kadar asam urat (hiperurisemia)


dengan terjadinya baru ginjal (nefrolitiasis).
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan organik maupun
anorganik yang terlarut dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam
keadaan tetap terlarut dalam urin jika tidak ada keadaan tertentu yang
menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling
mengadakan presipitasi membentuk batu inti (nucleasi) yang kemudian
mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain membentuk kristal yang
lebih besar (Purnomo, 2011).
Pada pasien dengan kadar asam urat yang tinggi akan terjadi
ketidakseimbangan antara faktor produksi dan pembuangan. Hal inilah yang dapat
memancing proses presipitasi garam urat pada jaringan, sendi, ginjal, ureter, dan
kandung kemih. Untuk lebih jelas bisa di lihat dalam gambar 2.5.
27

Gambar 2.5 hubungan antara peningkatan kadar asam urat dengan kejadian
batu ginjal ( Silbernagl, 2012).

You might also like