Professional Documents
Culture Documents
Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asam Urat
2.1.1 Defenisi
Asam urat adalah hasil akhir dari katabolisme (pemecahan) purin. Purin
adalah salah satu kelompok struktur kimia pembentuk DNA (gambar 2.1). Yang
termasuk kelompok purin adalah adenosin dan guanosin. Saat DNA dihancurkan,
purin pun akan dikatabolisme. Hasil akhirnya berupa asam urat (Rodwell, 2003).
Asam urat merupakan produk akhir pemecahan purin pada manusia. Asam
urat merupakan asam lemah dengan pKa 5,75 dan 10,3. Urat terbentuk dari
ionisasi asam urat yang berada dalam plasma, cairan eksrtaseluler dan cairan
sinovial dengan perkiraan 98 % berbentuk urat monosodium pada pH 7,4.
Monosodium urat mudah diultrafiltrasi dan didialisis dari plasma. Pengikatan urat
dengan ke protein plasma memiliki sedikit kemaknaan fisioligik. Plasma menjadi
jenuh dengan konsentrasi urat monosodium 415 mol/L (6,8 mg/dL) pada suhu
370 C. Pada konsentrasi lebih tinggi, plasma menjadi sangat jenuh dengan asam
urat dan mungkin menyebabkan presipitasi kristal urat. Namun presipitasi tidak
terjadi sekalipun konsentrasi urat plasma sebesar 80 mg/dL (Wortmann, 2012).
Asam urat lebih mudah berikatan atau larut dalam urin dibandingkan
dengan air, mungkin karena adanya urea, protein, dan mukopolisakarida.
Kelarutannya sangat dipengaruhi oleh pH urin itu sendiri. Pada pH 5,0 urin
menjadi lebih jenuh dengan asam urat pada konsentrasi antara 360 sampai 900
mol/L (6 sampai 15 mg/dL). Pada pH 7,0 saturasi tercapai dengan konsentrasi
7
antara 158 dan 200 mg/ dL. Bentuk asam urat yang terionisasi dalam urin berupa
mono dan disodium, kalisum, amonium dan kalsium urat (Wortmann, 2012).
Kadar rata-rata asam urat di dalam darah dan serum tergantung usia dan
jenis kelamin. Sebagian besar anak memiliki kadar asam urat serum sebesar 180
sampai 240 mol/L (3,0 sampai 4,0 mg/dL). Kadar ini mulai naik selama pubertas
pada laki-laki tetapi rendah pada perempuan sampai monopause. Meskipun
penyebab variasi jenis kelamin ini belum dipahami seluruhnya, sebagian
disebabkan oleh ekskresi fungsional asam urat yang lebih tinggi pada perempuan
dan disebabkan oleh pengaruh hormonal. Nilai asam urat serum rata-rata untuk
laki-laki dewasa dan perempuan pramonopouse adalah 415 dan 360 mol/L (6,8
dan 6,0 mg/dL). Pada perempuan dewasa dibawah 6,0 mg/dL. Konsentrasi pada
dewasa stabil naik menurut waktu dan bervariasi menurut tinggi (Wortmann,
2012).
2.1.4 Hiperurisemia
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat
darah di atas normal. Hiperurisemia bisa terjadi karena peningkatan metabolisme
asam urat (overproduction), penurunan pengeluaran asam urat urin
(underexcretion), atau gabungan keduanya (Putra, 2009).
Hiperurisemia dapat didefenisikan sebagai konsentresi asam urat lebih dari
7,0 mg/dL. Defenisi ini didasarkan pada kriteria fisikokimiawi, epidemiologi dan
berkaitan dengan penyakit. Secara fisikokimiawi, hiperurisemia adalah
konsentrasi urat dalam darah melebihi batas kelarutan urat monosodium dalam
plasma, 415 mol/L ( 6,8 mg/dL ). Pada penelitian epidemiologi, hiperurisemia
didefenisikan sebagai nilai rata-rata ditambah 2 standar deviasi yang ditentukan
dari populasi sehat yang dipilih secara acak. Pada satu penalitian besar, 95 persen
individu yang tidak diseleksi memiliki konsentrasi urat serum dibawah 7,0 mg/dL.
Risiko menderita gout dan nefrolitiasis meningkat pada konsentrasi urat lebih dari
10
A. Hiperurisemia primer
Hiperurisemia primer terdiri dari hiperurisemia dengan kelainan molekuler
yang masih belum jelas dan hiperurisemia karena adanya kelainan enzim spesifik.
Hiperurisemia primer kelainan molekuler yang belum jelas terbanyak didapat
yaitu mencapai 90% yang terdiri dari hiperurisemia undrexretion (80-90%) dan
kerena overproduction (10-20%). Hiperurisemia primer karena enzim spesifik
diperkirakan hanya sebesar satu persen, yaitu peningkatan aktivitas varian dari
phosphoribosylpyrophosphatse synthase dan sebagain enzim dari hypoxanthine
phosphoribosyltransferse. Hiperurisemia karena faktor genetik dan menyebabkan
gangguan pengeluaran asam urat sehingga menyebabkan hiperurisemia. Kelainan
yang menyababkan gangguan pada pengeluaran asam urat di urin belum jelas,
kemungkinan gangguan pada sekresi asam urat di tubulus ginjal (Putra, 2012).
B. Hiperurisemia sekunder
Hiperuresemia sekunder dibagi menjadi kelompok, yaitu kelainan yang
menyebabkan peningkatan biosintesa de nevo, yaitu kelainan yang menyebabkan
peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat dan kelainan
menyebabkan underexretion. Hiperurisemia sekunder karena peningkatan
biosistesis de nevo terdiri dari kelainan karena kekurangan menyeluruh enzim
11
meningkatkan kadar asam laktat dalam darah yang menghambat ekskresi asam
urat. Dan yang terakhir, beberapa minuman beralkohol memiliki kandungan purin
yang tinggi, antara lain bir yang berisi guanosin (Albertoni et al, 2012).
b. Batu saluran kemih
Hiperurisemia dan gout merupakan faktor risiko independen nefrolitiasis,
tidak hanya untuk batu asam urat, tetapi juga untuk batu kalsium oksalat lebih
umum. Prevalensi kalsium oksalat nefrolitiasis di pasien dengan gout adalah 10
sampai 30 kali lebih tinggi dari pada di individu tanpa gout, hal ini dapat
disebabkan oleh peningkatan ekskresi kalsium dan penurunan ekskresi sitrat
(Alvarez-lario et al, 2011).
c. Penyakit ginjal
Asam urat dapat menyebabkan nefropati akut dan kronis yang dapat
mengakibatkan kerusakan ginjal. Nefropati akut terjadi kerena pengendapan dari
asam urat pada tubulus ginjal, sedangkan nefropati kronis disebabkan oleh
endapan kristal natrium urat dalam interstitium medula ginjal yang menghasilkan
respon inflamasi kronik dengan fibrosis intersitial dan kerusakan ginjal yang
kronis (Alvarez-lario et al, 2011). Meskipun hiperurisemia selalu terjadi pada
gagal ginjal. Artritis gout terjadi pada kurang dari 1 persen pasien gagal ginjal
kronik. Karena sebagian besar artritis terjadi pada usia 20 sampai 40 tahun yang
menderita hiperurisemia, kebanyakan pasien gagal ginjal mungkin tidak cukup
hiperurisemia untuk menumpuk beban asam urat. Selain itu penderita gagal ginjal
kronik menunjukan penurunan respon peradangan terhadap kristal urat yang
disuntikkan secara subkutan, kecuali penyakit polikistik ginjal (Wartmann, 2012).
Selain berkaitan dengan insufisiensi ginjal, hiperurisemia juga
menyebabkan beberapa masalah ginjal : nefrolitiasis; neuropati urat, berupa
penumpukan kristal monosidium urat dalam jaringan intersitial yang
menyebabkan insufisiensi ginjal; neurofati asam urat (Wartmann, 2012).
d. Hipertensi
Banyak yang berpikir bahwa hiperurisemia adalah respon sekunder dari
hipertensi karena peningkatan asam urat. Tetapi hiperurisemia merupakan faktor
risiko terjadinya hipertensi, hal ini diakibatkan karena peningkatan kadar asam
14
dan kristal lain yang hadir di saluran kemih dapat berfungsi sebagai tamplate
untuk pembentukan kristal, proses ini sering dikenal sebagai heterogen nukleasi.
Heterogen nukleasi menurunkan tingkat kejenuhan diperlukan untuk pembentukan
kristal. Setelah terbentuk, inti kristal akan terbentuk dalam ukuran jika urin jenuh
sehubungan dengan fase pembentukan kristal. Kelipatan kristal akan beragregasi
kemudian akan terus menbentuk batu (Aspilin et al, 2010).
c. Penghambat kristalisasi
Inti yang stabil harus tumbuh dan berkelompok untuk membentuk sebuah
batu yang mempunyai arti klinis. Urin mempunyai banyak inhibitor poten pada
proses pertumbuhan dan pengelompokan kalsium oksalat dan kalsium fosfat,
tetapi tidak berfungsi untuk penghambatan asam urat, sistin atau struvit.
Piroposfat anorganik adalah inhibitor poten untuk kalsium fosfat dari pada
kalsium oksalat. Glikoprotein menghambat pembentukan kalsium oksalat (Favus
et al, 2000).
17
a. Batu Kalsium
Batu jenis ini paling banyak di jumpai, yaitu sekiar 70 sampai 80 persen
dari seluruh kasus batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas
kalsium oksalat, kalsium fosfat atau campuran kedua unsur (Purnomo, 2011).
Faktor terjadinya batu kalsium adalah
i. Hiperkalsiuri
Hiperkalsiuri adalah kadar kalsium di dalam urin lebih besar dari 250-300
mg/24 jam. Penyebab terjadinya hiperkalsiuri berupa hiperkalsiuri idiopatik yang
bersifat hereditar dan diagnosisnya dapat segera dibuat. Pada beberapa pasien,
hiperabsorbsi kalsium intestinal primer sementara menyebabkan hiperkalsimia
pasca parandial (setelah makan) yang menekan sekresi hormon paratiroid.
Tubulus ginjal menghalangi rangsangan normal untuk reabsorbsi kalsium pada
waktu yang sama sehingga beban kalsium yang sering meningkat (Wortmann,
2012).
ii. Hiperoksaluri
Hiperoksaluri adalah ekskresi oksalat urin yang melebihi 45 gram per hari.
Keadaan ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami gangguan pada usus
sehabis menjalani pembedahan usus dan pasien yang banyak mengkonsumsi diet
kaya oksalat (Purnomo, 2011).
iii. Hiperurikosuria
Hiperurikosuria adalah kadar asam urat dalam urin melebihi 850 mg/24
jam (Purnomo, 2011). Sekitar 20% kalsium oksalat pembentuk batu karena
hiperurikosuria (Aspilin et al, 2010).
iv. Hipositraturia
Di dalam urin sitrat mencegah pembentukan batu kalsium dengan
membentuk kampleks latutan dengan kasium. Hipositraturia di temukan pada 20%
sampai 40% pembentukan batu kalsium (Aspilin et al , 2010).
b. Batu Struvit
Batu ini terjadi akibat infeksi saluran kemih karena bakteri, umumnya
spesies Proteus, yang mempunyai urase, yaitu enzim yang mendegradasi urea
menjadi NH3 dan CO2 . NH3 mengalami hidrolisis menjadi NH4+ dan menaikan
19
terendah selama pagi dini hari. Dengan demikian, itu adalah kombinasi dari aliran
rendah dan tinggi osmolaritas dimana hiperurikosuria menyebabkan pengendapan
kristal. Sementara hiperurikosuria adalah faktor risiko yang ditetapkan untuk batu
asam urat, itu akan lebih sering menghasilkan kalsium nefrolitiasis oksalat
(hyperuricosuric kalsium urolitiasis) (Wiederkehr, 2011).
Hiperurkosuria umumnya didefenisikan sebagai urin ekskresi asam urat
harian lebih dari 800 mg pada pria dan 750 mg pada wanita. Hiperurikosuria
bukanlah faktor penentu untuk asam urat litiasis, dan sebaliknya, batu asam urat
sering membentuk pada pasien dengan normourikosuria. Selain itu, lebih dari
memutuskan jumlah total asam urat diekskresikan adalah konsentrasi dalam urin.
Kelarutan zat didefenisikan sebagai jumlah maksimum yang stabil dalam solusi.
Supersaturation terjadi di luar konsentrasi kelarutan, dimana ada sebuah drive
untuk menghapus kelebihan dengan kristalisasi, meskipun tidak ada kristal baru
belum dapat membentuk, sampai Konsentrasi mencapai batas atas metastabil
(MUL). Pada dan di luar MUL, kristal akan mengendap, nukleasi, agregat, dan
tumbuh menjadi sebuah batu ginjal (Wiederkehr, 2011).
Etiologi dari pada nefrolitiasis asam urat meliputi idiopatik nefrolitiasis
asam urat, gout primer, gastrointestinal disorders, neoplastic disorders dan diet
(Wiederkehr, 2011).
21
B. Hematuria
Sebagian besar pasien memiliki gejala hematuria. Urinalisis lengkap
membantu untuk mengkomfirmasi diagnosis dari batu saluran kemih dengan
menilai hematuria, kristaluria dan pH urin. Pasien sering mengeluhkan adanya
hematuria yang jelas (gross hematuria yang intermiten) atau tak berwarna hanya
ada urin seperti teh kental (mikrohematuria) (Carter et al , 2014).
C. Infeksi
Batu struvit dan kalsium fosfat merupakan jenis batu saluran kemih yang
berhubungan dengan infeksi saluran kemih. Infeksi dapat menjadi faktor yang
berhubungan dengan persepsi nyeri (Carter et al , 2014).
23
D. Demam
Kejadian demam pada batu ginjal jarang terjadi, hal ini terjadi karena ada
hubungannya dengan infeksi pada saluran kemih akibat batu saluran kemih
(Carter et al , 2014).
memiliki rasa sakit yang parah, berusaha mencari gerakan-gerakan dan posisi
yang nyaman. Hal tersebut dapat membedakannya dengan kejadian nyeri pada
peritonitis yang cendrung tidak bergerak. Selain adanya nyeri costovertebral ada
juga ditemukan massa di abdomen akibat distensi atau hidronefrosis parah.
Komponen sistemik yang dapat dilihat berupa takikardi, berkeringat mual dan
muntah (Carter et al, 2014).
Pasien dengan batu asam urat memiliki gejala dan tanda-tanda yang mirip
dengan dengan jenis lain dari batu, yang meliputi flank dan sakit perut, mual,
emesis, gejala saluran kemih bagian bawah, hematuria, dan nyeri gonad di laki-
laki. Oleh karena itu, keberadaan umum prediktor klinis untuk kehadiran batu
harus meminta satu untuk menilai untuk diagnosis tersebut (Assimos, 2007).
C. Pemeriksaan Penunjang
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakan diagnosis batu
ginjal juga diperukan adanya pemeriksaan radiologi, laboraturium dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
i. Pemeriksaan laboraturium
Pemeriksaan ini memiliki tujuan untuk mengetahui faktor risiko, jenis batu
dan komplikasi yang ada. Pemeriksaan laboraturium dilakukan melalui urinalisis,
analisi urin 24 jam, dan analisis darah. Penelitian laboratorium dasar tertentu
harus diperoleh. Batu asam urat harus dicurigai pada setiap pasien dengan pH urin
yang masih rendah, kurang dari 5,5, dan radiografi yang temuan ulasan kemudian
(Assimos, 2007).
ii. Pemeriksaan radiologi
1. Ultrasongrafi
Ultrasonografi dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani
pemeriksaan PIV, yaitu pada keadaan alergi dengan kontras, faal ginjal yang
menurun dan pada wanita hamil. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya
batu ginjal yang ditunjukkan sebagai echoic chadow, hidronefrosis, pionefrosis
atau pengerutan ginjal (Purnomo, 2011).
25
2. Foto polos
Pembuatan foto polos dapat menentukan besar, jumlah macam dan lokasi
batu radio-opak serta komposisi batu pada traktus urinarius. Batu-batu jenis
kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-opak dan paling sering
ditemukan dibandingkan jenis batu lain. Sedangkan batu asam urat bersifat non
radio-opak atau radiolusen (Purnomo, 2011).
Keterbatasan pemeriksaan ini adalah tidak dapat mentukan batu
radiolusen, batu kecil, batu yang tertutupi bayangan struktur tulang. Pemeriksaan
ini tidak dapat membedakan batu dalam ginjal atau batu di luar ginjal
(Sjabani,2006). Oleh karena itu, foto polos perlu ditambahkan dengan
pemeriksaan foto pielografi intravena yang bertujuan mendetaksi batu semi-opak
maupun batu non-opak yang tidak dapat telihat pada foto polos abdomen
(Purnomo, 2011).
3. Computed tomography
Noncontrast spiral CT Scan sekarang menjadi pilihan pencitraan pada
pasien dengan kolik ginjal akut. Metode ini lebih cepat dan murah dibandingkan
dengan IVP. Metode ini menampilkan struktur peritoneal dan retroperitoneal
untuk membatu diagnosis yang belum pasti. Kekurangannya adalah tidak
memberikan gambaran anatomi yang rinci seperti IVP yang mungkin perlu dalam
intervensi pencernaan. Matriks batu dengan jumlah kalsium yang tinggi akan
mempermudah evaluasi oleh CT. Gambaran batu asam urat akan memiliki
gambaran yang tidak jauh berbeda dengan batu kalsium oksalat (Carter et al,
2014).
4. Intravenous pyelography
IVU terdiri dari serangkian film polos yang diambil setelah pemberian
media kontras larutan iodinecontaning melalui suntikan intravena. IVU kurang
diandalkan dalam diagnosis batu ginjal karena memiliki akurasi sekitar 50%
(Sotton, 2003).
5. Retrograde pyelography
Metode ini digunakan untuk menggambarkan bagian anatomi saluran atas
dan melokalisasi batu yang kecil dan radiolusen (Carter et al, 2014).
26
2.2.7. Penatalaksanaan
A. Terapi konservatif
Dalam pengobatan konservatif yang dilakukan adalah mengupayakan batu
dapat keluar spontan dengan menggunakan obat-obatan dan cara lainnya tanpa
melalui tindakan opersi atau tindakan lainnya. Terapi medikamentosa ditujukan
untuk ukuran batu ginjal kurang dari 5 milimeter, karena diharapkan batu dapat
keluar spontan (Purnomo, 2011).
B. Tindakan urologi
Indikasi untuk melakukan tindakan urologi adalah batu ginjal dengan
ukuran lebih dari 5 milimeter atau dengan tindakan konservatif yang tidak
memungkinkan batu keluar spontan, batu ginjal yang menyebabkan nyeri yang
tidak menghilang, hidronefrosis permanen, adanya infeksi, batu staghorn dan ada
hubungan dengan pekerjaan (Purnomo, 2011).
Ada beberapa jenis tindakan urologi, yaitu Extracorporeal Shockwave
Lithotripsyn (ESWL), melalui tindakan PNL (Percutaneous Nephro Lithopaxy),
bedah laparoskopi atau pembedahan terbuka (Purnomo, 2011).
Gambar 2.5 hubungan antara peningkatan kadar asam urat dengan kejadian
batu ginjal ( Silbernagl, 2012).