You are on page 1of 14

Mata Kuliah : SISTEM PERKEMIHAN

ASUHAN KEPERAWATAN
HIPOSPADIA

Disusun Oleh:
KELOMPOK 1
SERGIO YUDI MIDU (14061010)
ANDREAS NGENGET (14061050)
STEVFYANUS PULASARI (140610 )
DESMAWATI GOGOGU (13061119)
ASTRIED ADIL (14061011)
FALIRIN STEFANI IPOL (14061048)
OLIVIA Y. PAREI (13061142)
HENDRIK W. BEHUKU (14061049)
VANESIA P. SONDAKH (14061045)

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE MANADO
TAHUN 2017
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suatu kelainan yang dibawa sejak lahir merupakan hal yang tidak ketahui sebelumnya oleh
siapapun. Kelainan-kelainan yang terjadi terutama pada alat kelamin merupakan salah satu
masalah yang memerlukan perhatian khusus. Kelainan pada alat genitalia terutama pada penis
seperti hipospadia yang merupakan kelainan kongenital pada anak. Secara fisiologis organ
genitalia, yaitu penis memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai saluran pembuangan urin, selain
itu juga berfungsi sebagai organ seksual. Berdasarkan survey yang telah dilakukan kelainan
kongenital ini banyak terjadi pada laki-laki.
Hipospadia merupakan suatu kelainan bawaan dimana meatus uretra eksternus (lubang
kencing) terletak di bagian bawah dari penis dan letaknya lebih kearah pangkal penis
dibandingkan normal. Sehingga lubang penis sebagai saluran kencing yang seharusnya
letaknya lurus tetapi terletak dibawah. Faktor genetic, hormon dan lingkungan merupakan
faktor penyebab yang mempengaruhi terjadinya hipospadia.
Angka kejadian diperkirakan 1 diantara 500 bayi baru lahir. Berdasarkan data yang dicatat
oleh Metropolitan Atlanta Congenital Defect Program (MACDP) dan Birth Defect
Monitoring Program (BDMP) menyatakan bahwa insidensi hipospadia mengalami dua kali
lipat peningkatan antara 1970-1990. Prevalensi dilaporkan antara 0,3% menjadi 0,8% sejak
tahun 1970an.
1.2 Tujuan
a. Mengetahui anatomi dan fisiologi;
b. mengetahui definisi hipospadia;
c. mengetahui epidemiologi hipospadia;
d. mengetahui etiologi hipospadia;
e. mengetahui klasifikasi hipospadia;
f. mengetahui tanda dan gejala hipospadia;
g. mengetahui patofisiologi hipospadia;
h. mengetahui komplikasi dan prognosis hipospadia;
i. mengetahui penatalaksanaan hipospadia;
j. mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan hipospadia.
1.3 Implikasi Keperawatan
a. Perawat sebagai care giver
Perawat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien dengan kelainan
hipospadia.
b. Perawat sebagai konselor
a. Perawat menjelaskan tentang kelainan yang terjadi pada pasien kepada keluarga pasien;
b. Perawat memberikan penjelasan tentang penatalaksanaan dan pengobatan kepada keluarga
pasien.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Fisiologi Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari buli-buli melalui proses miksi.
Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan sperma. Uretra diperlengkapi
dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dan sfingter
uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Secara anatomis
uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Uretra pars anterior, yaitu uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis, terdiri
dari: pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikulare, dan meatus uretra eksterna.
2. Uretra pars posterior, terdiri dari uretra pars prostatika, yaitu bagian uretra yang dilengkapi
oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea.
Uretra merupakan sebuah saluran yang berjalan dari leher kandung kencing ke lubang luar,
dilapisi membran mukosa yang bersambung dengan membran yang melapisi kandung
kencing. Meatus urinarius terdiri atas serabut otot lingkar yang membentuk sfingter uretra
(Pearce, 2006). Uretra mengalirkan urin dari kandung kencing ke bagian eksterior tubuh.
Uretra laki-laki panjangnya mencapai 20 cm dan melalui kalenjar prostat dan penis. Ada tiga
bagian uretra (Sloane, 2003), yaitu:
1. Uretra prostatik
Dikelilingi oleh kalenjar prostat. Uretra ini menerima dua duktus ejakulator yang masing-
masing terbentuk dari penyatuan duktus deferen dan duktus kalenjar vesikel seminal, serta
menjadi tempat bermuaranya sejumlah duktus dari kalenjar prostat.
2. Uretra membranosa
Bagian yang terpendek (1 cm sampai 2 cm). Bagian ini berdinding tipis dan dikelilingi oleh
otot rangka sfingter uretra eksternal.
3. Uretra kavernous (penile, bersepons)
Merupakan bagian yang terpanjang. Bagian ini menerima duktus kalenjar bulbouretra dan
merentang sampai orifisium uretra eksternal pada ujung penis. Tepat sebelum mulut penis,
uretra membesar untuk membentuk suatu dilatasi kecil, fosa navicularis. Uretra kavernous
dikelilingi korpus spongiosum, yaitu suatu kerangka ruang vena yang besar.
Uretra terbentuk dari penyatuan lipatan uretra sepanjang permukaan ventral penis. Glandula
uretra terbentuk dari kanalisasi funikulus ektoderm yang tumbuh melalui glands untuk
menyatu dengan lipatan uretra yang menyatu. Hipospadia terjadi bila penyatuan di garis
tengah lipatan uretra tidak lengkap sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral penis.
Ada beberapa derajat kelainan pada glandular (letak meatus yang salah pada glands), korona
(pada sulkus korona), penis (di sepanjang batang penis), penoskrotal (pada pertemuan ventral
penis dan skrotum), dan perineal (pada perineum).
2.2 Definisi
Hipospadia berasal dari dua kata yaitu hypo yang berarti dibawah dan spadon yang
berarti keratan yang panjang. Hipospadia merupakan suatu kelainan bawaan dimana meatus
uretra eksternus (lubang kencing) terletak di bagian bawah dari penis dan letaknya lebih
kearah pangkal penis dibandingkan normal. Menurut Corwin (2009), Hipospadia adalah
kelainan kongenital berupa kelainan letak lubang uretra pada pria dari ujung penis ke sisi
ventral.
Hipospadia merupakan kelainan kelamin sejak lahir. Keadaan ini dapat ringan atau ekstrem.
Pada kasus paling ringan, meatus uretra bermuara pada bagian ventral glans penis, terdapat
berbagai derajat malformasi glans dan kulup zakar tidak sempurna pada sisi ventral dengan
penampilan suatu kerudung dosal. Dengan bertambahnya tingkat keparahan, penis berbelok
kearah ventral (chordee) dan uretra penis lebih pendek secara progresif, tetapi jarak antara
meatus dan glans tidak dapat bertambah secara signifikan sampai chordee dikoreksi.
Karenanya, klasifikasi hipospadia semata-mata didasarkan atas dasar meatus. Pada beberapa
kasus, meatus terletak pada sambungan penoskrotal. Pada kasus ekstrem, uretra bermuara
pada perineum, skrotum bifida dan kadang-kadang meluas ke basis dorsal penis (transposisi
skrotum) dan chordee (pita jaringan fibrosa). Pada 10 % anak laki-laki dengan hipospadia
testis tidak turun.
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan hasil survey diketahui bahwa hipospadia hanya terjadi pada laki-laki yang
dibawa sejak lahir. Angka kejadian diperkirakan 1 diantara 500 bayi baru lahir dan
merupakan anomali penis yang ditemukan. Insidensi kasus hipospadia. Terbanyak adalah
Eropa dilaporkan dari Amerika Serikat, Inggris, Hungaria telah menunjukkan peningkatan. Di
Amerika Serikat, hipospadia terjadi pada setiap 300-350 kelahiran bayi laki-laki hidup.
Berdasarkan data yang dicatat oleh Metropolitan Atlanta Congenital Defect Program
(MACDP) dan Birth Defect Monitoring Program (BDMP) menyatakan bahwa insidensi
hipospadia mengalami dua kali lipat peningkatan antara 1970-1990. Prevalensi dilaporkan
antara 0,3% menjadi 0,8% sejak tahun 1970an. Insidensi hipospadia meningkat dari 20,2 per
10.000 kelahiran hidup pada 1.970 menjadi 39,7 per 10.000 kelahiran hidup pada tahun 1993.
Kajian populasi yang dilakukan di empat kota Denmark tahun 1989-2003 (North Jutland,
Aarhus, Viborg dan Ringkoebing) tercatat 65.383 angka kelahiran bayi laki-lakidengan
jumlah kelainan alat kelamin (hipospadia) sebanyak 319 bayi.
2.4 Etiologi
Penyebab hipospadia sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui
penyebab pasti. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dan dianggap paling
berpengaruh antara lain:
1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormon
Faktor hormon androgen sangat berpengaruh terhadap kejadian hipospadia karena
berpengaruh terhadap proses maskulinisasi masa embrional. Androgen dihasilkan oleh testis
dan placenta karena terjadi defisiensi androgen akan menyebabkan penurunan produksi
dehidrotestosterone (DHT) yang dipengaruhi oleh 5 reduktase yang berperan dalam
pembentukan penis sehingga apabila terjadi defisiensi androgen akan menyebabkan
kegagalan pembentukan bumbung uretra yang disebut hipospadia. Hormone yang dimaksud
adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria) atau karena reseptor
hormone androgen di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone
androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja
tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya atau enzim yang berperan dalam sintesis
hormone androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
2. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen
yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi. 12
% berpengaruh terhadap kejadian hipospadia bila punya riwayat keluarga yang menderita
hipospadia. 50 % berpengaruh terhadap kejadian hipospadia bila bapaknya menderita
hipospadia.
3. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat
teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi. Pencemaran limbah industri berperan sebagai
endocrin discrupting chemicals baik bersifat eksogenik maupun anti androgenik seperti
polychorobiphenyls, dioxin, furan, peptisida, organochlorin, alkiphenol polyethoxsylates dan
phtalites. Seperti yang telah diketahui bahwa setelah tingkat indefenden maka perkembangan
genital eksterna laki-laki selanjutnya dipengaruhi oleh estrogen yang dihasilkan oleh testis
primitif. Suatu hipotesis mengemukakan bahwa kekurangan estrogen atau terdapat anti
androgen akan mempengaruhi pembentukan genetalia eksterna laki-laki.
4. Faktor eksogen yang lain adalah pajanan prenatal terhadap kokain, alcohol, fenitoin,
progestin, rubella, atau diabetes gestasional.
2.5 Klasifikasi
2.5.1 Tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/ meatus :
1) Tipe sederhana/ Tipe anterior
Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal. Pada tipe ini, meatus terletak
pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat asimtomatik dan tidak
memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan dilatasi atau
meatotomi.
2) Tipe penil/ Tipe Middle
terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal.Pada tipe ini, meatus terletak
antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak
adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau
glands penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah
secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya pada
bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan
bedah selanjutnya.
3) Tipe Posterior
Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal. Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan
penis akan terganggu, kadang disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan
umumnya testis tidak turun.
2.5.2 Klasifikasi pembagian hipospadia berdasarkan anatomi:
a) anterior: dimana meatus tampak pada bagian inferior dari glands penis. (Wang,2008)
b) coronal: dimana meatus tampak pada alur batang penis. (Wang, 2008)
c) distal: dimana meatus tampak pada bagian bawah batang penis. (Wang, 2008)
2.6 Manifestasi Klinis
1. Gland penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis
yang menyerupai meatus uretra eksternus.
2. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis.
3. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga
ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
4. Kulit penis bagian bawah sangat tipis. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum
tidak ada.
5. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari gland penis.
6. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
7. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
8. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
9. Pancaran air kencing pada saat BAK tidak lurus, bisa kearah bawah, menyebar, mengalir
melalui batang penis, sehingga anak akan jongkok saat BAK.
2.7 Patofisiologi
Perkembangan uretra in utero dimulai sekitar usia 8 mingu dan selesai dalam 15 minggu.
Uretra terbentuk dari penyatuan lipatan uretra sepanjang permukaan ventral penis. Glandula
uretra terbentuk dari kanalisasi funikulus ektoderm yang tumbuh melalui glands untuk
menyatu dengan lipatan uretra yang menyatu. Hipospadia terjadi dikarenakan fusi
(penyatuan) dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga meatus uretra
terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat kelainan letak meatus ini, dari yang
ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian disepanjang batang penis, hingga
akhirnya di perineum. Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang
menutup sisi dorsal dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi
ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral dari penis.
Tidak ada masalah fisik yang berhubungan dengan hipospadia pada bayi baru lahir atau pada
anak-anak remaja. Namun pada orang dewasa dapat menghalangi hubungan seksual.
2.8 Komplikasi dan Prognosis
Menurut Amilal, 2008 yang telah dilakukan penelitian tentang komplikasi akut pasca operaasi
hipospadia menyimpulkan bahwa rata-rata 5% komplikasi terjadi pada tipe distal hipospadia
dan rata-rata 10% komplikasi terjadi pada proksimal hipospadia. Komplikasi yang terjadi
setelah rekonstruksi Phallus meliputi:
a. Pendarahan
b. Infeksi
c. Fistel uretrokutan
d. Striktur uretra, stenosis uretra
e. Divertikel uretra
Prognosis yang terjadi pasca operasi adalah baik
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan operasi pada hipospadia adalah agar pasien dapat berkemih dengan normal, bentuk
penis normal, dan memungkinkan fungsi seksual yang normal. Hasil pembedahan yang
diharapkan adalah penis yang lurus, simetris, dan memiliki meatus uretra eksternus pada
tempat yang seharusnya, yaitu di ujung penis. Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah
tunneling Sidiq-Chaula, Thiersch-Duplay, Dennis Brown, Cecil Culp.
Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap, yaitu:
1. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang berepitel
pada gland penis. Dilakukan pada usia 1 -2 tahun. Penis diharapkan lurus, tapi meatus
masih pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian
dorsal dan kulit penis.
2. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak. Dibuat
insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari kulit
dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit preputium
dibagian sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan
setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi pertama telah matang.
Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan penis
yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang letaknya lebig ke
ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung penis
dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah. Mengingat pentingnya preputium untuk
bahan dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan
dilakukan bersamaan dengan operasi hipospadia.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Meliputi:
a. Nama : tergantung pada pasien,
b. Umur : biasanya terjadi pada bayi baru lahir,
c. Jenis kelamin : pada umumnya terjadi pada laki-laki,
d. Pendidikan: orang tua yang biasanya rendah,
e. Pekerjaan: pada orang tua yang tergolong berpenghasilan rendah,
f. Diagnosa medis: Hipospadia.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya orang tua pasien mengeluh dan ketakutan dengan kondisi anaknya karena
penis yang melengkung kebawah dan adanya lubang kencing yang tidak pada tempatnya.
3. Riwayat Kesehatan.
a. Riwayat Penyakit Sekarang.
Pada umumnya pasien dengan hipospadia ditemukan adanya lubang kencing yang tidak pada
tempatnya sejak lahir dan tidak diketahui dengan pasti penyebabnya.
b. Riwayat Penyakit Dahulu.
Adanya riwayat ibu pada saat kehamilan, misalnya adanya gangguan atau ketidakseimbangan
hormone dan factor lingkungan. Pada saat kehamilan ibu sering terpapar dengan zat atau
polutan yang bersifat tertogenik yang menyebabkan terjadinya mutasi gen yang dapat
menyebabkan pembentukan penis yang tidak sempurna.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga.
Adanya riwayat keturunan atau genetic dari orang tua atau saudara-saudara kandung dari
pasien yang pernah mengalami hipospadia.
4. Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola nyeri/kenyamanan
Pada umumnya pasien tidak mengalami gangguan kenyamanan dan tidak mengalami nyeri.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Pada umumnya pasien hipospadia nutrisi cairan dan elektrolit dalam tubuhnya tidak
mengalami gangguan.
c. Pola aktivitas
Aktifitas pasien hipospadia tidak ada masalah.
d. Pola eliminasi
Pada saat BAK ibu mengatakan anak harus jongkok karena pancaran kencing pada saat BAK
tidak lurus dan biasanya kearah bawah, menyebar dan mengalir melalui batang penis.
e. Pola tidur dan istirahat
Pada umumnya pasien dengan hipospadia tidak mengalami gangguan atau tiaak ada masalah
dalam istirahat dan tidurnya.
f. Pola sensori dan kognitif
Secara fisik daya penciuman, perasa, peraba dan daya penglihatan pada pasien hipospadia
adalan normal, secara mental kemungkinan tidak ditemukan adanya gangguan.
g. Pola persepsi diri
Adanya rasa malu pada orang tua kalau anaknya mempunyai kelainan. Pada pasien sendiri
apabila sudah dewasa juga akan merasa malu dan kurang percaya diri atas kondisi kelainan
yang dialaminya.
h. Pola hubungan dan peran
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan peraen serta
megnalami tmbahan dalam menjalankan perannya selama sakit.
i. Pola seksual
Adanya kelainan pada alat kelamin terutama pada penis pasien akan membuat pasien
mengalami gangguan pada saat berhubungan seksual karena penis yang tidak bisa ereksi.
j. Pola penanggulangan stress
Biasanya orang tua pasien akan mengalami stress pada kondisi anaknya yang mengalami
kelainan.
k. Pola higiene.
Pada umumnya pola hygiene pasien tidak ada masalah.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan malformasi kongenital
2. Kecemasan berhubungan dengan prosedur pembedahan
3. Nyeri berhubungan dengan pembedahan
4. Kurangnya pengetahuan orang tua berhubungan dengan diagnosa, prosedur pembedahan
dan perawatan setelah operasi.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter

C. RENCANA TINDAKAN
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1.Gangguan body image berhubungan dengan:


Biofisika (penyakit kronis), kognitif/persepsi (nyeri kronis), kultural/spiritual, penyakit, krisis
situasional, trauma/injury, pengobatan (pembedahan, kemoterapi, radiasi)
DS:
1. Depersonalisasi bagian tubuh
2. Perasaan negatif tentang tubuh(menurut orang tua)

DO :
1. Perubahan aktual struktur dan fungsi tubuh
2. Kehilangan bagian tubuh
3. Bagian tubuh tidak berfungsi NOC:
1. Body image
2. Self esteem
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama . gangguan body image
pasien teratasi dengan kriteria hasil:
a. Body image positif
b. Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
c. Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
d. Mempertahankan interaksi sosial
NIC :
Body image enhancement
1. Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya
2. Monitor frekuensi mengkritik dirinya
3. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit
4. Dorong klien mengungkapkan perasaannya
5. Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu
6. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Rencana keperawatan


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
2.Kecemasan berhubungan dengan
Faktor keturunan, Krisis situasional, Stress, perubahan status kesehatan, ancaman kematian,
perubahan konsep diri, kurang pengetahuan dan hospitalisasi
DO/DS:
-Insomnia
-Kontak mata kurang
-Kurang istirahat
-Iritabilitas
-Takut
-Nyeri perut
-Penurunan/Peningkatan TD dan denyut nadi
-Diare, mual, lemas
-Gangguan tidur
-Gemetar
-Anoreksia, mulut kering
-Kesulitan bernafas
-Sulit berkonsentrasi
NOC :
*Kontrol kecemasan
*Koping
Setelah dilakukan asuhan selama klien kecemasan teratasi dgn kriteria hasil:
a. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
b. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas
c. Vital sign dalam batas normal
d. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan
NIC :
Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
5. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
6. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
7. Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi
8. Identifikasi tingkat kecemasan
9. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
10. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
11. Kelola pemberian obat anti cemas:..

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Rencana keperawatan


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
3.Nyeri akut berhubungan dengan:
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis), kerusakan jaringan
DS:
1. Laporan secara verbal dari orang tua
DO:
1. Posisi untuk menahan nyeri
2. Tingkah laku berhati-hati
3. Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
4. Terfokus pada diri sendiri
5. Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan
interaksi dengan orang dan lingkungan)
6. Tingkah laku distraksi, contoh: jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas
berulang-ulang)
7. Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan
dilatasi pupil)
8. Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
9. Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
10. Perubahan dalam nafsu makan dan minum
NOC :
a. Pain Level,
b. pain control,
c. comfort level
Setelah dilakukan tinfakan keperawatan selama . Pasien tidak mengalami nyeri, dengan
kriteria hasil:
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
6. Tidak mengalami gangguan tidur
NIC :
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/
dingin
8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
9. Tingkatkan istirahat
10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
11. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

4.Kurang Pengetahuan
Berhubungan dengan: keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah,
kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.
DS: Menyatakan secara verbal adanya masalah
DO: ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai
NOC:
1. Kowlwdge : disease process
2. Kowledge : health Behavior
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama . pasien menunjukkan pengetahuan
tentang proses penyakit dengan kriteria hasil:
a. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan
program pengobatan
b. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
c. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya
NIC :
1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
dan fisiologi
3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit
4. Gambarkan proses penyakit
5. Identifikasi kemungkinan penyebab
6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi
7. Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien
8. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
9. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
10. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
D. EVALUASI
S: Respon subjektif yang dirasakan pasien setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan.
O: Data objektif yang diperoleh perawat setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan
A: Hasil analisis perawat terhadap kondisi pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan
P: Rencana tindakan keperawatan selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA
Arvin, Benheman& Kliegma. 2000. Ilmu kesehatan anak Nelson Volume 3. Edisi 15. Jakarta:
EGC.
Corwin, Elizabeth. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Muscari., Mary. E. 2005. Panduan belajar: Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Pearce, Evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia.
Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M.2006. Pathofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit,
Jakarta : EGC
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Wang, M. 2008. Endocrine Disruptors, Genital Review Development, and Hypospadias.
Journal of Andrology, Vol. 29, No. 5 September/October 2008.
http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=hipospadia.pdf&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CCYQFjAB&url=http
%3A%2F%2Focw.usu.ac.id%2Fcourse%2Fdownload%2F1300000007-asuhan-kesehatan-
perinatal-neonatus-anak-dan-lingkungan-hidup-anak
%2Fdia_122_slide_hipospadia.pdf&ei=kHJiULPCM4rZrQe0ooDIBw&usg=AFQjCNF6snN
5P55bN4v5n42eEdY0PFwsaA (diakses pada tanggal 25 September 2012)
http://www.scribd.com/doc/75415798/Hipospadia-RENDRA (diakses pada tanggal 25
September 2012)

You might also like