You are on page 1of 128

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit diare sampai saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama

kesakitan dan kematian. Hampir di seluruh daerah di dunia dan semua kelompok usia

diserang oleh diare, tetapi kebanyakan yang menjadi sasaran penyakit ini adalah bayi

dan anak balita, dimana mereka mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian diare per tahun,

akan tetapi di beberapa tempat terjadi lebih dari 9 kali kejadian diare per tahun atau

hampir 15-20% waktu hidup anak dihabiskan untuk diare (Soebagyo, 2008).

Menurut World Health Organization (WHO), tidak kurang dari satu milyar

episode diare terjadi setiap tahun di seluruh dunia, 25-35 juta diantaranya terjadi di

Indonesia (Zein, 2001). Di Indonesia, penyakit diare merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat yang utama, hal ini disebabkan karena masih tingginya angka

kesakitan diare yang menimbulkan banyak kematian terutama pada balita.

Angka kesakitan diare di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat.

Hal ini dilaporkan terdapat 1,6 sampai 2 kejadian diare per tahun pada balita, sehingga

secara keseluruhan diperkirakan kejadian diare pada balita berkisar antara 40 juta

setahun dengan kematian sebanyak 200.000 - 400.000 balita (Soebagyo, 2008).

Menurut Widoyono (2008), pada tahun 2008 jumlah penderita diare pun

meningkat menjadi 8.443 kasus dengan kematian 184 orang dengan CFR sebesar 2,94%.

Lebih tinggi dengan target CFR saat Kejadian Luar Biasa (KLB) yang diharapkan < 1%.

1
Penyakit diare bisa diakibatkan dari beberapa faktor. Menurut Sander (2005),

penyebab terjadinya diare bisa dari kurang memadainya ketersediaan air bersih, airnya

tercemar oleh tinja, kekurangan sarana kebersihan, pembuangan tinja yang tidak

higienis, kebersihan perorangan dan lingkungan yang jelek, serta penyiapan dan

penyimpanan makanan yang tidak semestinya.

Dari beberapa faktor yang ada, penyakit ini berhubungan langsung dengan

lingkungan dan perilaku perorangan, dimana keduanya saling berinteraksi. Apabila

faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan

perilaku manusia yang tidak sehat pula, maka penularan diare dengan mudah dapat

terjadi (Depkes RI, 2005).

Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu dari 8 kota atau kabupaten di

Provinsi Banten. Penderita diare di Kota Tangerang Selatan sampai pada pertengahan

tahun 2012 mengalami peningkatan 30% dari tahun sebelumnya dengan jumlah yang

tercatat sebanyak 1.861 penderita sepanjang tahun tersebut (Dinkes Tangsel, 2013).

Hal ini dibuktikan dengan adanya rekapan data mengenai 30 besar penyakit per

puskesmas se-Tangerang Selatan tahun 2012 (Dinkes Tangsel, 2013). Dari data tersebut

didapatkan kasus penyakit diare tertinggi terdapat di wilayah Puskesmas Keranggan

dengan jumlah kasus sebesar 2.298 kasus diare sepanjang tahun 2012.

Puskesmas Keranggan merupakan salah satu puskesmas yang ada di wilayah

Muncul, Tangerang Selatan. Wilayah puskesmas ini mencakup 2 kelurahan, yaitu

Kelurahan Keranggan dan Kademangan. Berdasarkan data Puskesmas Keranggan, kasus

diare pada balita sepanjang tahun 2012 sebanyak 206 penderita, sedangkan di tahun

2013, mulai dari bulan Januari sampai Maret, sudah terdapat 33 balita yang terkena
diare. Daerah dengan penderita diare paling banyak adalah Kelurahan Keranggan

dengan jumlah kasus diare pada balita pada tahun 2012 sebanyak 143 penderita. (Profil

Puskesmas Kranggan, 2012)

Sementara dari hasil pemeriksaan kepemilikan sarana sanitasi dasar dan laporan

PHBS Puskesmas Keranggan tahun 2012 mengenai akses penggunaan air bersih

sebanyak 84,2% (belum diketahui apakah sudah sesuai dengan syarat yang telah

ditetapkan) dan untuk penggunaan jamban, dari 20 kepala keluarga (kk) yang diperiksa,

hanya 15 kepala keluarga yang memiliki jamban dan hanya 5 kepala keluarga yang

memiliki jamban yang sehat. Hal ini menggambarkan bahwa masih banyak penduduk di

wilayah Puskesmas Keranggan yang belum memiliki sarana jamban yang sehat dan

penggunaan air bersih yang memenuhi syarat.

Padahal berdasarkan hasil penelitian Ratnawati, dkk (2009), penggunaan sarana

air bersih yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko balitanya untuk

terkena diare akut 1,310 lebih besar dibandingkan dengan penggunaan sarana air bersih

yang memenuhi syarat.

Kemudian, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2006 juga

mengeluarkan data yang menunjukkan bahwa berbagai intervensi perilaku melalui

modifikasi lingkungan dapat mengurangi angka kejadian diare sampai dengan 94%.

Pengolahan air yang aman dan penyimpanannya di tingkat rumah tangga dapat

mengurangi angka kejadian diare sebesar 32% dan upaya meningkatkan penyediaan air

bersih dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 25%. Selain itu, melakukan

praktek mencuci tangan yang efektif dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar

45%.
Untuk itulah peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai hubungan sarana

sanitasi air bersih dan perilaku ibu terhadap kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan

di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013.

1.2 Rumusan Masalah

Diare masih merupakan masalah kesehatan utama pada anak balita, khusunya di

negara berkembang seperti Indonesia. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi

kejadiannya, dimana salah satunya adalah faktor lingkungan dan perilaku. Faktor

lingkungan yang berperan penting salah satunya adalah sarana sanitasi air bersih. Air

bersih merupakan salah satu media penularan diare, dimana jika sanitasi yang tersedia

dan metode pengolahan yang tidak tepat maka potensi menularkan penyakit diare

sangatlah besar. Tidak terkecuali di wilayah Puskesmas Keranggan yang memiliki kasus

diare tertinggi tahun 2012 di Kota Tangerang Selatan.

Maka dari uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini

adalah bagaimana hubungan antara sarana sanitasi air bersih dan perilaku ibu terhadap

kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan

Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi pertanyaan penelitian

diantaranya adalah:
1. Bagaimana gambaran kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di wilayah

Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2013


2. Bagaimana gambaran sarana sanitasi air bersih di wilayah Puskesmas Keranggan

Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2013

3. Bagaimana gambaran perilaku ibu (memasak air, penggunaan jamban, dan perilaku

cuci tangan) di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang

Selatan tahun 2013

4. Apakah ada hubungan antara sarana sanitasi air bersih dengan kejadian diare pada

balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota

Tangerang Selatan tahun 2013

5. Apakah ada hubungan antara perilaku memasak air dengan kejadian diare pada balita

umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota

Tangerang Selatan tahun 2013

6. Apakah ada hubungan antara perilaku penggunaan jamban dengan kejadian diare

pada balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu

Kota Tangerang Selatan tahun 2013

7. Apakah ada hubungan antara perilaku cuci tangan dengan kejadian diare pada balita

umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota

Tangerang Selatan tahun 2013

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Umum
Untuk mengetahui hubungan antara sarana sanitasi air bersih dan perilaku

ibu terhadap kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di wilayah

Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2013.


1.4.2 Khusus

a. Mengetahui gambaran kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di

wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan

tahun 2013

b. Mengetahui gambaran sarana sanitasi air bersih di wilayah Puskesmas

Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2013

c. Mengetahui gambaran perilaku ibu (memasak air, penggunaan jamban, dan

perilaku cuci tangan) di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu

Kota Tangerang Selatan tahun 2013

d. Mengetahui hubungan antara sarana sanitasi air bersih dengan kejadian

diare pada balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan

Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2013

e. Mengetahui hubungan antara perilaku memasak air dengan kejadian diare

pada balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan

Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2013

f. Mengetahui hubungan antara perilaku penggunaan jamban dengan kejadian

diare pada balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan

Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2013

g. Mengetahui hubungan antara perilaku cuci tangan dengan kejadian diare

pada balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan

Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2013


1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Peneliti

Memberikan pengalaman dalam melaksanakan penelitian di masyarakat

umum dan menambah wawasan serta pengetahuan mengenai penyakit diare,

terutama pada balita mengenai hubungan antara sarana sanitasi air bersih dan

perilaku ibu terhadap kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di wilayah

Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan.

1.5.2 Bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat, terutama kepada orang tua

mengenai sarana sanitasi air bersih dan perilaku ibu yang dapat mempengaruhi

kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan, sehingga masyarakat, terutama

orang tua dapat melakukan tindakan preventif/pencegahan dan adanya upaya

perlindungan anak dari serangan penyakit diare.

1.5.3 Bagi Instansi Terkait

Sebagai bahan masukan dalam upaya peningkatan penanganan terhadap

penyakit diare pada balita, khususnya mengenai hubungan antara sarana

sanitasi air bersih dan perilaku ibu terhadap kejadian diare pada balita umur 10-

59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang

Selatan.

1.5.4 Bagi Peneliti Lain


Menjadi sumber referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti

pada bidang kajian sejenis sehingga hasilnya nanti diharapkan dapat

memperbaharui dan menyempurnakan penelitian ini.


1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu

Kota Tangerang Selatan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari Februari 2014

dengan populasi penelitian adalah balita umur 10-59 bulan yang tinggal di wilayah

Puskesmas Kranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, dimana membahas

hubungan sarana sanitasi air bersih dan perilaku ibu (memasak air, penggunaan jamban,

dan perilaku cuci tangan) terhadap kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan yang

diukur secara bersamaan. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan data primer

dari hasil wawancara terhadap responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner dan

lembar observasi, serta melakukan observasi lapangan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare

A. Pengertian

Diarrhea berasal dari bahasa Greek, yaitu Dia berarti melalui dan rhien

berarti mengalir, istilah diarrhea digunakan untuk menyatakan buang kotoran yang

frekuensi dan jumlah cairannya abnormal. Untuk pengertian diare sendiri adalah

penyakit yang ditandai bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (> 3

kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan atau tanpa darah

atau lendir (Suraatmaja, 2007).

Menurut Depkes RI (2000), diare adalah buang air besar lembek atau cair

dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali

atau lebih dalam sehari). Berdasarkan waktu serangannya terbagi menjadi dua, yaitu

diare akut (< 2 minggu) dan diare kronik ( 2 minggu) (Widoyono, 2008).

Sedangkan menurut Widjaja (2002), diare diartikan sebagai buang air encer lebih

dari empat kali sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak.

Hingga kini diare masih menjadi child killer (pembunuh anak-anak)

peringkat pertama di Indonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik

balita, anak-anak, dan orang dewasa. Tetapi penyakit diare berat dengan kematian

yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita (Zubir, 2006).
B. Klasifikasi

Menurut Depkes RI (2000), jenis diare dibagi menjadi 4, yaitu:

1. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang

dari 7 hari). Akibat diare akut adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan

penyebab utama kematian bagi penderita diare.

2. Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah

anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan kemungkinan terjadinya

komplikasi pada mukosa.

3. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus

menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan

metabolisme.

4. Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare (diare akut dan

diare persisten), mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti demam,

gangguan gizi atau penyakit lainnya.

Menurut Suraatmaja (2007), jenis diare dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang

sebelumnya sehat.

b. Diare kronik, yaitu diare yang berlanjut sampai dua minggu atau lebih dengan

kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama masa diare

tersebut.
C. Etiologi

Menurut Widjaja (2002), diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorpsi

(gangguan penyerapan zat gizi), makanan, dan faktor psikologis.

Faktor infeksi

Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak.

Jenis-jenis infeksi yang umumnya menyerang, antara lain:

1) Infeksi oleh bakteri: Escherichia coli, Salmonella thyposa, Vibrio cholerae

(kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan patogenik,

seperti pseudomonas.

2) Infeksi basil (disentri)

3) Infeksi virus rotavirus

4) Infeksi parasit oleh cacing (Ascaris lumbricoides)

5) Infeksi jamur (Candida albicans)

6) Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis, dan radang

tenggorokan, dan

7) Keracunan makanan.

Faktor malabsorpsi

Faktor malabsorpsi dibagi menjadi 2, yaitu malabsorpsi karbohidrat dan

lemak. Malabsorpsi karbohidrat, biasanya pada bayi memiliki kepekaan terhadap

lactoglobulis dalam susu formula sehingga dapat menyebabkan diare. Gejalanya

berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut.
Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang

disebut triglyserida. Triglyserida dengan bantuan kelenjar lipase mengubah


lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika tidak ada lipase dan

terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak tidak terserap

dengan baik.

Faktor makanan

Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi,

beracun, terlalu banyak lemak, mentah (seperti sayuran), dan kurang matang.

Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak-

anak dan balita.

Faktor psikologis

Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan

diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita, umumnya terjadi pada anak

yang lebih besar.

D. Gejala

Menurut Widjaja (2002), gejala diare pada balita, yaitu:

1) Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun meninggi

2) Tinja bayi encer, berlendir atau berdarah

3) Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu

4) Anusnya lecet

5) Gangguan gizi akibat asupan makanan yang kurang

6) Muntah sebelum atau sesudah diare


7) Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah)

8) Dehidrasi
Dehidarsi dibagi menjadi 3 macam, yaitu dehidrasi ringan, dehidrasi sedang

dan dehidarsi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang 5%. Jika

cairan yang hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat. Pada dehidrasi berat,

volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah cepat tetapi melemah,

tekanan darah merendah, penderita lemah, kesadaran menurun, dan penderita sangat

pucat.

E. Epidemiologi

Epidemiologi penyakit diare, adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2005):

1) Penyebaran kuman yang menyebabkan diare biasanya menyebar melalui fecal

oral, antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau

kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku yang dapat

menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya

diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4 atau 6 bulan pada

pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada

suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan

dengan sabun sesudah buang air besar atau sesudah membuang tinja anak atau

sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan benar.

2) Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare. Beberapa faktor

pada penjamu yang dapat meningkatkan beberapa penyakit dan lamanya diare,

yaitu tidak memberikan ASI sampai dua tahun, kurang gizi, campak,
immunodefisiensi, dan secara proporsional diare lebih banyak terjadi pada

golongan balita.
3) Faktor lingkungan dan perilaku. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit

yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan

pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku manusia.

Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta

berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan

minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare.

F. Distribusi

Distribusi penyakit diare berdasarkan orang (umur) sekitar 80% kematian

diare tersebut terjadi pada anak di bawah usia 2 tahun. Data tahun 2004

menunjukkan bahwa dari sekitar 125 juta anak usia 0-11 bulan dan 450 juta anak

usia 1-4 tahun yang tinggal di negara berkembang, total episode diare pada balita

sekitar 1,4 milyar kali per tahun. Dari jumlah tersebut total episode diare pada bayi

usia di bawah 0-11 bulan sebanyak 475 juta dan anakusia 1-4 tahun sekitar 925 juta

kali per tahun (Amiruddin, 2007).

G. Penularan

Penularan penyakit diare disebabkan oleh infeksi dari agen penyebab dimana

akan terjadi bila memakan makanan/air minum yang terkontaminasi tinja/muntahan

penderita diare. Akan tetapi, penularan penyakit diare adalah kontak dengan tinja

yang terinfeksi secara langsung, seperti:


Makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi, baik yang sudah dicemari
oleh serangga atau terkontaminasi oleh tangan yang kotor.
Bermain dengan mainan yang terkontaminasi, apalagi pada bayi sering
memasukan tangan/mainan apapun ke dalam mulut. Hal ini dikarenakan virus
ini dapat bertahan di permukaan udara sampai beberapa hari.
Penggunaan sumber air yang sudah tercemar dan tidak memasak air dengan benar.
Pencucian dan pemakaian botol susu yang tidak bersih.
Tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air besar atau
membersihkan tinja anak yang terinfeksi, sehingga mengkontaminasi perabotan
dan alat-alat yang dipegang. Seperti gambar yang ada di bawah ini:

Gambar 2.1 Proses Penularan Penyakit Diare I

(WHO, 2006)
Gambar 2.2 Proses Penularan Penyakit Diare
II

(WHO, 2006)

H. Penanggulangan

Menurut Depkes RI (2005), penanggulangan diare, antara lain:

1) Pengamatan intensif dan pelaksanaan SKD (Sistem Kewaspadaan Dini)


Pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh data tentang jumlah penderita dan
kematian serta penderita baru yang belum dilaporkan dengan melakukan pengumpulan data
secara harian pada daerah fokus dan daerah sekitarnya yang diperkirakan mempunyai
risiko tinggi terjangkitnya penyakit diare. Sedangkan pelaksanaan SKD merupakan salah satu
kegiatan dari surveilance epidemiologi yang kegunaanya untuk mewaspadai gejala akan timbulnya
KLB (Kejadian Luar Biasa) diare.

2) Penemuan kasus secara aktif


Tindakan untuk menghindari terjadinya kematian di lapangan karena diare pada
saat KLB di mana sebagian besar penderita berada di masyarakat.

3) Pembentukan pusat rehidrasi


Tempat untuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan

pengobatan pada keadaan tertentu misalnya lokasi KLB jauh dari puskesmas atau rumah

sakit.

4) Penyediaan logistik saat KLB

Tersedianya segala sesuatu yang dibutuhkan oleh penderita pada saat terjadinya

KLB diare.

5) Penyelidikan terjadinya KLB

Kegiatan yang bertujuan untuk pemutusan mata rantai penularan dan pengamatan

intensif baik terhadap penderita maupun terhadap faktor risiko.

6) Pemutusan rantai penularan penyebab KLB

Upaya pemutusan rantai penularan penyakit diare pada saat KLB diare meliputi

peningkatan kualitas kesehatan lingkungan dan penyuluhan kesehatan.

I. Pencegahan

Diare termasuk penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting

disease). Meskipun demikian, jangan remehkan diare karena dapat mengancam jiwa.

Dua pembunuh terbesar anak-anak balita adalah diare dan radang paru-paru. Diare

umumnya ditularkan melalui 4F, yaitu Food, Feces, Fly, dan Finger. Oleh karena

itu, upaya pencegahan diare yang praktis adalah dengan memutus rantai penularan

tersebut. Beberapa upaya pencegahan yang mudah diterapkan adalah:

1) Penyiapan makanan yang higienis dan air minum yang bersih


Penyebab utama diare pada manusia adalah bakteri yang mengkontaminasi

makanan dan minuman, sehingga mencegah diare adalah dengan memperhatikan


kebersihan makanan dan minuman. Jadi pilihlah makanan yang tetap dalam

keadaan baik dan meminum air yang bersih dan matang.

2) Kesadaran pada perorangan akan pentingnya kebersihan

Berkembangnya perilaku pencegahan ini sangat tergantung pada kondisi pribadi

masing-masing individu, termasuk persepsi individu bersangkutan dalam

memandang diare. Dengan kata lain, jika seseorang mempersepsikan diare

adalah penyakit yang membahayakan maka yang bersangkutan dapat

diproyeksikan akan semakin berusaha keras untuk melakukan pencegahan agar

tidak terserang diare. Sebab, upaya pencegahan penyakit ini bersumber pada

seluruh aktivitas manusia yang berkaitan dengan upaya preventif.

3) Biasakan cuci tangan

Ada cara yang mudah untuk mencegah terkena diare, yaitu mencuci tangan

dengan sabun. Kebiasaan sederhana mencuci tangan dengan sabun, jika

diterapkan secara luas akan menyelamatkan lebih dari satu juta orang di seluruh

dunia, khususnya balita.

4) Pemberian ASI eksklusif

Tak kalah penting adalah pemberian ASI minimal 6 bulan. Sebab, di dalam ASI

terdapat antirotavirus, yaitu imunoglobulin. Makanya, anak-anak yang minum

ASI eksklusif jarang menderita diare. Selain ASI, imunisasi campak ternyata bisa

mencegah diare.

5) Buang air besar pada tempatnya (WC atau toilet)


Apabila penderita diare buang air besar tidak pada tempatnya atau di sembarang

tempat, maka kuman-kuman diare akan masuk ke dalam tubuh orang yang
kebetulan lewat dan menghirup udara sekitarnya ataupun membuang kotoran di

jamban-jamban di tepi sungai, dimana orang sekitarnya akan menggunakan air

tersebut untuk keperluan rumah tangganya.

6) Tempat buang sampah yang memadai

Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal

dari rumah tangga atau hasil proses industri. Sampah-sampah itu dapat

menularkan berbagai penyakit, jika tempatnya tidak diatur dengan baik.

7) Berantas lalat agar tidak menghinggapi makanan

Makanan hendaknya ditutup agar serangga seperti lalat, kecoa atau vektor

pembawa penyakit lainnya tidak hinggap di makanan kita.

8) Lingkungan hidup yang sehat

Pemukiman kumuh merupakan kawasan yang menjadi tempat berkembangnya

diare. Padahal di perkotaan seperti Jakarta, kawasan kumuh terus berkembang,

karena semakin mahal dan terbatasnya lahan yang tersedia untuk pemukiman.

Kerapatan, bangunannya sangat tinggi (walaupun bangunannya permanen), tidak

teratur, kondisi ventilasinya buruk, dan sanitasi lingkungan tidak terlalu baik

merupakan ciri pemukiman kumuh. Lingkungan yang buruk disertai rendahnya

tingkat kesadaran masyarakat untuk berperilaku sehat menjadikan kawasan

kumuh sebagai kawasan yang rawan akan penyebaran penyakit. Lingkungan

yang buruk menjadi penyebab berkembangbiaknya berbagai virus penyakit

menular. Karena itu, berbagai infeksi penyakit sering terjadi pada para penghuni

kawasan kumuh.

9) Mencuci botol susu anak hingga bersih


Pada anak dan bayi yang menggunakan susu botol, diare dapat disebabkan

karena botol susu yang kurang bersih dan mengandung bakteri yang

menyebabkan sakit perut dan diare atau karena air susu yang sudah tidak layak

lagi dikonsumsi (basi) diberikan oleh ibu atau pengasuh yang kurang teliti.

Maka, hendaklah berhati-hati dalam memberikan makanan kepada bayi dan anak

balita, karena pada bayi dan anak balita keadaan fisiknya belum begitu kuat

untuk mempertahankan keadaan penyakit, sehingga mereka masih sangat rentan

terhadap berbagai penyakit.

J. Pemberantasan Penyakit Diare (P2D)

Ada 3 tahapan dalam program pemberantasan penyakit diare pada anak, yaitu

perencanaan dan penyusunan target, tatalaksana penderita diare dan pencegahan

diare.

1. Perencanaan adalah tersusunnya rencana kegiatan program pemberantasan

penyakit diare secara kuantitatif di wilayah kerja, yang meliputi target kebutuhan

logistik rutin dan saat Kejadian Luar Biasa (KLB).

2. Target adalah sesuatu yang ditetapkan sebelumnya dalam bentuk kuantitatif.

Hendaknya diperhitungkan secara rasional sehingga dapat dikerjakan dan dicapai

dalam waktu yang sudah direncanakan.

3. Tatalaksana penderita diare.

Prinsip tatalaksana penderita diare adalah LINTAS Diare (Lima Langkah

Tuntaskan Diare) yang terdiri dari:


a. Oralit dengan osmolaritas rendah
Mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah

dengan memberikan oralit. Bila tidak bersedia, berikan minuman lebih

banyak cairan rumah tangga yang mempunyai osmolaritas rendah yang

dianjurkan, seperti air tajin, kuah sayur, dan air matang.

Macam-macam cairan yang digunakan bergantung pada kebiasaan

setempat dalam mengobati diare, tersedianya cairan sari makanan yang

cocok, dan jangkauan pelayanan kesehatan. Bila terjadi dehidrasi (terutama

pada anak), penderita harus segera dibawa ke petugas kesehatan atau sarana

kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat dengan oralit.

b. Zinc

Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh.

Lebih dari 300 macam enzim dalam tubuh memerlukan zinc sebagai

kofaktornya, termasuk enzim superoksida dismutase. Enzim ini berfungsi

untuk metabolisme radikal bebas superoksida sehingga kadar radikal bebas

ini dalam tubuh berkurang. Pada proses inflamasi, kadar radikal bebas

superoksida meningkat, sehingga dapat merusak berbagai jenis jaringan,

termasuk jaringan epitel dalam usus (Cousins et al, 2006).

Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan

keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume

tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya

(Black, 2003).

Zinc diberikan pada setiap diare dengan dosis untuk anak berumur

kurang dari 6 bulan diberikan 10 mg (1/2 tablet zinc per hari), sedangkan
untuk anak berumur lebih dari 6 bulan diberikan 20 mg (1 tablet) zinc per

hari. Pemberian zinc diteruskan sampai 10 hari walaupun sudah membaik.

Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kejadian diare selanjutnya selama 3

bulan ke depan. Cara pemberian tablet zinc adalah dengan melarutkan tablet

dalam 1 sendok makan air matang ataupun ASI.

c. Pemberian ASI/makanan

Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi

pada penderita, terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh, serta

mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus

lebih sering diberi ASI. Anak yang minum susu formula diberikan lebih

sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah

mendapat makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna

sedikit demi sedikit tetapi sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan

ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan

anak.

d. Pemberian antibiotik hanya atas indikasi

Antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin karena kejadian diare

yang memerlukan antibiotik kurang lebih 8,4%. Antibiotik hanya bermanfaat

pada anak dengan diare berdarah (sebagian besar karena shigellosis), suspek

kolera, dan infeksi-infeksi di luar saluran pencernaan yang berat, seperti

pneumonia. Walaupun demikian pemberian antibiotik yang irasional masih

banyak ditemukan.
e. Pemberian nasihat

Ibu atau keluarga yang berhubungan erat dengan balita harus diberi

nasihat tentang:

Cara memberikan cairan dan obat di rumah.

Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan, seperti diare

lebih sering, muntah berulang, sangat haus, makan atau minum sedikit,

timbul demam, tinja berdarah, dan tidak membaik dalam 3 hari.

Tujuan tercapainya tata laksana penderita diare yang tepat dan efektif adalah

mencegah terjadinya dehidrasi, mengobati dehidrasi, memberi makanan/minuman,

mengobati masalah lain.

2.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita adalah

sebagai berikut:

a) Sarana Air Bersih

Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari akan menjadi

air minum setelah dimasak terlebih dahulu. Sebagai batasannya, air bersih adalah air

yang memenuhi persyaratan bagi sistem penyediaan air minum. Adapun persyaratan

yang dimaksud adalah persyaratan dari segi kualitas air yang meliputi kualitas fisik,

kimia, biologi, dan radiologis, sehingga apabila dikonsumsi tidak menimbulkan efek

samping (Kep.Men.Kes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990).

Sarana air bersih adalah bangunan beserta peralatan dan perlengkapannya yang

menyediakan dan mendistribusikan air tersebut kepada masyarakat. Sarana air bersih
harus memenuhi persyaratan kesehatan, agar tidak mengalami pencemaran sehingga
dapat diperoleh kualitas air yang baik sesuai dengan standar kesehatan. Ada berbagai

jenis sarana air bersih yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari, seperti sumur gali (SGL), sumur pompa tangan (SPT), perpipaan, dan

penampungan air hujan (PAH). (Depkes RI, 1977 dalam Marjuki, 2008)

Sumur Gali (SGL)

Pengertian dari sumur gali adalah salah satu jenis sarana penyediaan air

bersih yang dibuat dengan cara menggali tanah sampai pada kedalaman tertentu

sampai keluar mata airnya. Pernyataan teknis sumur gali dari segi kesehatan

(Depkes RI Dirjen PPM & PLP, 1995) adalah:

1) Apabila letak sumber pencemaran lebih tinggi dari sumur gali, maka jarak

minimal sumur gali terhadap sumber pencemaran adalah 11 meter, jika letak

sumber pencemaran sama atau lebih rendah dari sumur gali maka jarak

minimal sumur gali tersebut adalah 9 meter, yang termasuk sumber

pencemaran adalah: jamban, air kotor atau comberan, tempat pembuangan

sampah, kandang ternak, dan sumur saluran resapan.

2) Lantai harus kedap air minimal 1 meter dari sumur, tidak retak atau bocor

mudah dibersihkan, dan tidak tergenang air (kemiringan 1-5%).

3) Saluran pembuangan air limbah harus kedap air, tidak menimbulkan

genangan, dan kemiringan minimal 2%.

4) Tinggi bibir sumur minimal 80 cm dari lantai terbuat dari bahan yang kuat

dan rapat air.

5) Dinding sumur minimal sedalam 3 meter dari permukaan tanah, dibuat dari

bahan kedap air dan kuat.


6) Jika pengambilan air dengan timba harus ada timba khusus. Untuk mencegah

pencemaran, timba harus selalu digantung dan tidak boleh diletakkan di

lantai.

Sumur Pompa Tangan (SPT)

Sumur pompa tangan terdiri dari sumur pompa tangan dangkal, sedang,

dan dalam. Adapun persyaratannya adalah sebagai berikut:

1. Jarak SPT minimal 11 meter dari sumber pencemar, seperti jamban, air

kotor/comberan, tempat pembuangan sampah, kandang ternak, dan lain-lain.

2. Lantai harus kedap air, minimal 1 meter dari sumur, tidak retak/bocor, mudah

dibersihkan, dan tidak tergenang air dengan kemiringan antara 1% sampai

5%.

3. Saluran pembuangan air limbah (SPAL) harus kedap air, tidak menimbulkan

genangan. Panjang SPAL dengan sumur resapan minimal 11 meter dengan

kemiringan minimal 2%.

4. Pipa penghisap dilindungi dengan casing atau coran rapat air sekurang-

kurangnya 3 meter dari permukaan tanah.

5. Ujung pipa bawah saringan dipasang dop, bagian luar saringan diberi kerikil

sebesar biji jagung yang berukuran kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian

pompa, klep, dan karet penghisap harus bekerja dengan baik agar tidak

memerlukan air pancingan, serta dudukan pompa harus kuat, rapat air, dan

tidak retak.

Perpipaan

Adapun syarat perpipaan yang baik adalah sebagai berikut:


1) Sumber air baku harus diolah terlebih dahulu sebelum didistribusikan.

2) Pipa yang baik harus tidak melarut dalam air atau tidak mengandung bahan

kimia yang dapat membahayakan kesehatan dan angka kebocoran pipa tidak

lebih dari 5%. Pemasangan pipa tidak boleh terendam dalam air kotor atau air

sungai. Bak penampungan harus rapat air dan tidak dapat dicemari oleh

sumber pencemar serta pengambilan air melalui sarana perpipaan harus

melalui kran.

Sedangkan untuk kran umum, lantai mudah dibersihkan dan harus kedap

2
air, luas lantai minimal 1m , tidak tergenang air, dan kemiringan lantai 1-5%.

Tinggi kran minimal 50-70 cm dari lantai. Kran umum dilengkapi dengan

saluran pembuangan air limbah (SPAL) rapat air, kemiringan minimal 2%, air

buangan disalurkan ke sumur/saluran resapan atau saluran sumur lainnya.

Menurut Mann, H.T (1993), bahan pipa yang biasa digunakan untuk

pendistribusian air adalah:

a. Pipa Baja

Sekarang ini banyak terdapat pipa baja, baik pipa baja hitam maupun yang

disepuh dengan diameternya berkisar antara 10 sampai 150 mm (1/2 sampai

6 inchi). Pipa yang disepuh kualitasnya lebih baik, karena tahan terhadap

karat.

b. Pipa Besi

Terdapat pipa besi berukuran antara 75 sampai dengan 150 mm (3 sampai 6

inchi), tetapi pipa besi ini lebih tahan karat dibandingkan dengan baja.
c. Pipa Asbes
Pipa ini mempunyai ukuran yang hampir sama dengan pipa besi, tetapi pipa

asbes lebih tahan karat dibandingkan dengan pipa besi.

d. Pipa PVC

Biasanya berdiameter antara 50 sampai 150 mm (2 sampai 6 inchi) atau

lebih. Pipa ini ringan dan tahan karat.

e. Pipa Polythene

Biasanya berdiameter antara 10 sampai 75 mm (1/2 sampai 3 inchi),

merupakan pipa yang paling baik digunakan untuk pipa bor. Mempunyai

beberapa keunggulan, yaitu murah, ringan, dan jarang terjadi kebocoran.

Kelemahannya adalah tidak tahan terhadap gigitan tikus.

Penampungan Air Hujan (PAH)

Persyaratan sarana air bersih berupa penampungan air hujan adalah

sebagai berikut:

a. Talang air yang masuk ke bak PAH harus dapat diatur posisinya agar air

hujan pada 5 menit pertama tidak masuk ke dalam bak.

b. Tinggi bak saringan minimal 40 cm, terbuat dari bahan yang kuat dan rapat

nyamuk, susunan saringan terdiri dari pasir dan ijuk.

c. Pipa peluap (over flow) harus dipasang kawat kassa rapat nyamuk.

d. Tinggi kran dari lantai 50-60 cm, lantai bak pengambilan berfungsi sebagai

resapan dengan susunan batu, pasir setebal minimal 0,6 dari lantai (volume

3
0,6 x 0,6 x 0,6 m ).
e. Kemiringan lantai bak PAH mengarah ke pipa penguras dan mudah

dibersihkan (tidak terdapat sudut mati).


f. Untuk meningkatkan mineral, air hujan dialirkan pada saringan pasir, dan

untuk meningkatkan pH ditambahkan kapur.

Hasil penelitian Septian Bumulo (2012) menunjukkan bahwa responden yang

sarana penyediaan air bersih tidak memenuhi syarat dan tidak diare yaitu sebanyak

79 responden (52,7%), hal ini dikarenakan walaupun air yang dikonsumsi tidak

memenuhi syarat penyediaan air bersih namun untuk keperluan minum, responden

terlebih dahulu memasak airnya hingga mendidih dan sebagian besar responden

selalu menampung air untuk keperluan minum dan memasak dalam wadah tertutup

sehinga sedikit kemungkinan untuk terkontaminasi dengan bakteri penyebab

kejadian diare.

Di samping itu diperoleh sebanyak 32 responden (29,4%) yang sarana

penyediaan air bersih memenuhi syarat namun menyebabkan diare. Hal ini

dikarenakan sebagian responden masih ada yang menampung air untuk keperluan

minum dan memasak dalam wadah terbuka dan masih banyak pula yang jarak

jamban keluarga dengan sumber air bersihnya kurang dari 10 meter sehingga besar

kemungkinan untuk terkontaminasi dengan bakteri penyebab kejadian diare.

b) Perilaku Ibu

Perilaku merupakan cerminan dari sikap, hasil distribusi frekuensi sikap yang

baik atau positif, sikap yang positif maka perilaku yang dilaksanakan kearah positif

atau baik.

Menurut teori Green et al (1999) dalam Notoatmodjo (2003), kesehatan

individu dan masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor perilaku dan
faktor-faktor di luar perilaku (non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan oleh tiga

faktor; yaitu faktor predisposisi adalah faktor yang mencakup pengetahuan, sikap,

keyakinan, nilai, dan persepsi seseorang atau kelompok untuk bertindak; lalu faktor

pemungkin (enabling factor) yaitu berbagai keterampilan dan sumber daya yang

diperlukan untuk melakukan perilaku kesehatan; dan faktor perilaku yang terakhir

adalah faktor penguat (reinforcing factor) adalah faktor yang menentukan tindakan

kesehatan memperoleh dukungan atau tidak.

Menurut Becker (1979) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku

kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang

dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk tindakan-tindakan

untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan

sebagainya.

Menurut Depkes RI (2005), perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran

kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare adalah sebagai berikut:

1. Memasak Air

Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa pengolahan

yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum (Kep.Men.Kes RI

No. 907/Menkes/SK/VII/2002). Air untuk minum harus diolah terlebih dahulu

dan wadah air harus bersih dan tertutup. Air yang tidak dikelola dengan standar

pengelolaan air minum rumah tangga (PAM-RT) dapat menimbulkan penyakit

(Dirjend P2PL, 2008).

Salah satu bentuk pengolahan air minum rumah tangga yang sederhana dan

sering digunakan adalah dengan cara memasak. Memasak merupakan proses


mematikan mikroorganisme (virus, bakteri, spora bakteri, jamur protozoa)

penyebab penyakit dengan cara pemanasan (Depkes RI, 2008).

2. Penggunaan Jamban

Penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penularan risiko

terhadap penyakit diare. Jamban adalah tempat pembuangan kotoran manusia

adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus

dikeluarkan dari dalam tubuh (Notoatmodjo, 2007). Menurut Notoatmodjo

(2003), suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan, apabila memenuhi

persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban tersebut

Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya

Tidak mengotori air tanah di sekitarnya

Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat, kecoak, dan binatang-

binatang lainnya

Tidak menimbulkan bau

Mudah digunakan dan dipelihara

Sederhana desainnya

Murah

Dapat diterima oleh pemakainya


Tempat pembuangan tinja adalah sarana yang digunakan untuk buang air

besar dan tempat pembuangan akhir tinja yang digunakan keluarga sehari-hari
(MDGs, 2010). Menurut Entjang (2000), macam-macam kakus atau tempat

pembuangan tinja, yaitu:

Pit-privy (Cubluk/Jamban Cemplung)

Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan

diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 meter. Dindingnya diperkuat dengan batu

atau bata, dan dapat ditembok ataupun tidak agar tidak mudah ambruk. Lama

pemakaiannya antara 5-15 tahun. Bila permukaan penampungan tinja sudah

mencapai kurang lebih 50 cm dari permukaan tanah, dianggap cubluk sudah

penuh. Cubluk yang penuh ditimbun dengan tanah. Ditunggu 9-12 bulan.

Isinya digali kembali untuk pupuk, sedangkan lubangnya dapat dipergunakan

kembali.

Jamban air (Water latrine)

Jamban ini terdiri dari bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai

tempat pembuangan tinja. Proses pembusukkannya sama seperti pembusukan

tinja dalam air kali. Untuk kakus ini, agar berfungsi dengan baik, perlu

pemasukan air setiap hari, baik sedang dipergunakan atau tidak.

Jamban leher angsa (Angsa latrine)

Jamban jenis ini merupakan jamban yang paling memenuhi persyaratan. Oleh

sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Pada kakus

ini closetnya berbentuk leher angsa, sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air

ini gunanya sebagai sumbat, sehingga bau busuk dari cubluk tidak tercium di

ruangan rumah kakus.


Jamban bor (Bored hole latrine)
Tipe ini sama dengan jamban cemplung hanya ukurannya lebih kecil karena

untuk pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan sementara.

Kerugiannya bila air permukaan banyak mudah terjadi pengotoran tanah

permukaan (meluap).

Jamban keranjang (Bucket latrine)

Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian dibuang di

tempat lain, misalnya untuk penderita yang tak dapat meninggalkan tempat

tidur. Sistem jamban keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah besar,

tidak di lokasi jambannya, tetapi di sepanjang perjalanan ke tempat

pembuangan. Penggunaan jenis jamban ini biasanya menimbulkan bau.

Jamban parit (Trench latrine)

Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30-40 cm untuk tempat defaecatie.

Tanah galiannya dipakai untuk menimbunnya. Penggunaan jamban parit

sering mengakibatkan pelanggaran standar dasar sanitasi, terutama yang

berhubungan dengan pencegahan pencemaran tanah, pemberantasan lalat,

dan pencegahan pencapaian tinja oleh hewan.

Jamban empang / gantung (Overhung latrine)

Jamban ini semacam rumah-rumahan dibuat di atas kolam, selokan, kali,

rawa dan sebagainya. Kerugiannya mengotori air permukaan sehingga bibit

penyakit yang terdapat di dalamnya dapat tersebar kemana-mana dengan air

yang dapat menimbulkan wabah

Chemical toilet (Chemical closet)


Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi kaustik soda sehingga

dihancurkan sekalian didesinfeksi. Biasanya dipergunakan dalam kendaraan

umum, misalnya pesawat udara atau kereta api. Dapat pula digunakan dalam

rumah sebagai pembersih tidak dipergunakan air, tetapi dengan kertas (toilet

paper).

Berdasarkan hasil penelitian Wibowo (2004), jenis tempat pembuangan tinja

yang terbanyak digunakan pada kelompok kasus adalah jenis leher angsa

(68,3%), sedangkan 7,9% menggunakan jenis plengsengan dan 23,8% tidak

memiliki jamban. Lalu Wibowo (dalam Wulandari 2009:19) menjelaskan bahwa

tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan

meningkatkan risiko terjadinya diare pada anak balita sebesar dua kali lipat

dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya

yang memenuhi syarat sanitasi.

Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Zubir (2006) tentang

faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada anak 0-35 bulan (Batita) di

Kabupaten Bantul, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tempat

pembuangan tinja mempengaruhi terjadinya diare akut dengan nilai p < 0,05,

(OR) = 1,24.

3. Kebiasaan Cuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting

dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan

sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
menyuapi makan anak, dan sesudah makan mempunyai dampak dalam kejadian

diare (Depkes, 2005).

Hal ini didukung oleh hasil penelitian Riki N.P (2013) yang menunjukkan

bahwa ada hubungan antara mencuci tangan dengan sabun sebelum menyuapi

anak makan dengan kejadian diare pada balita dimana nilai p.value = 0,015.

Hasil penelitian Anup K.C. (2012) juga menyatakan bahwa ada hubungan

antara mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatan

(menyiapkan makanan, pada saat makan, menyuapi anak, selesai bekerja, dan

selesai memandikan anak) dimana hanya 2% anak-anak ditemukan terinfeksi

diare yang orang tuanya mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah

melakukan kegiatan sedangkan 26 (20,5%) anak-anak ditemukan terinfeksi diare

karena orang tuanya tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah

melakukan kegiatan.

4. Pemberian ASI Eksklusif

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012, ASI (Air Susu Ibu)

eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6

(enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau

minuman lain.

Menurut Depkes (2005), ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare.

ASI Eksklusif harus diberikan secara penuh selama 4 sampai 6 bulan. Pada bayi

yang tidak diberi ASI risiko untuk menderita diare lebih besar dari pada bayi

yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih
besar. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya

lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai

dengan susu formula.

Hal ini didukung pula dengan hasil penelitian Karki T, dkk (2010) bahwa

balita yang mengkonsumsi susu formula selama 6 bulan di awal kelahiran

memiliki 26,32% terkena diare dengan resiko terkena diare 1,95 kali

dibandingkan dengan balita yang mengkonsumsi ASI eksklusif.

5. Pemberian Imunisasi Campak

Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi

campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu segera memberikan anak

imunisasi campak setelah berumur 9 bulan. Imunisasi campak adalah suatu

keadaan tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin

campak dalam tubuh bayi usia antara 9 sampai 11 bulan dan pada usia 6 sampai

7 tahun.

Diare sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang sedang

menderita campak, hal ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan tubuh

penderita (Depkes, 2005).

Hal penelitian Olyfta A. (2010) menyebutkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara imunisasi campak dengan kejadian diare pada balita yang tidak

mendapatkan imunisasi campak akan beresiko 5,4 kali terkena diare daripada

balita yang mendapatkan imunisasi campak.


6. Penggunaan Botol Susu

Penggunaan botol susu memudahkan pencemaran oleh kuman, karena botol

susu susah dibersihkan. Penggunaan botol untuk susu formula, biasanya

menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga mengakibatkan terjadinya gizi

buruk. (Depkes, 2005)

Hasil penelitian Wibowo, dkk (2004) menyebutan bahwa adanya hubungan

yang signifikan antara proses pencucian botol susu dengan kejadian diare pada

balita yang mengkonsumsi susu formula. Hal ini dikarenakan dari hasil

pengamatan selama satu bulan, proses pencucian botol susu yang dilakukan oleh

para ibu hanya sebesar 43% yang memenuhi syarat, sedangkan sisanya masih

kurang benar.
2.3 Kerangka Teori
Berdasarkan teori dan penelitian di atas, maka diperoleh kera

Sarana Sanitasi Air Bersih

Perilaku Ibu Memasak Air Penggunaan Jamban Kebiasaan Cuci Tangan Pemberian
Pemberian Imunisasi Campak Penggunaan Botol Susu Kejad

Bagan 2.1. Kerangka Teori


Modifikasi teori dan penelitian dari Septian Bumolo (20

Depkes RI (2005), Depkes RI (2008), Zubir (2006), Karti T (2010), Riki N.P (2013),
Anup K.C (2012), dan Olyfta A. (2010)
BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN

HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini mengacu pada modifikasi teori dan

penelitian dari Septian Bumolo (2012), Notoatmodjo (2003), Depkes RI (2005), Depkes

RI (2008), Zubir (2006), Karti T (2010), Riki N.P (2013), Anup K.C (2012), dan Olyfta

A. (2010). Berdasarkan teori dan penelitian yang ada, faktor yang dapat menyebabkan

terjadinya diare pada balita, yaitu sarana air bersih dan perilaku ibu seperti memasak air,

penggunaan jamban, kebiasaan cuci tangan, pemberian ASI eksklusif, pemberian

imunisasi campak, dan penggunaan botol susu.

Pada penelitian ini terdapat beberapa variabel yang tidak diteliti, yaitu variabel

penggunaan botol susu, variabel pemberian ASI eksklusif dan variabel pemberian

imunisasi campak. Hal ini dikarenakan peneliti hanya ingin meneliti variabel-variabel

lingkungan yang mempengaruhi kejadian diare.

Kerangka konsep terdiri dari variabel terikat (dependen) dan variabel bebas

(independen). Pada penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah sarana

sanitasi air bersih dan perilaku pengguna ibu, yaitu memasak air, penggunaan jamban,

dan kebiasaan cuci tangan, sedangkan variabel dependen yaitu kejadian diare pada

balita.
Hubungan antara variabel dependen dan variabel independen tersebut dap

dilihat pada bagan 3.1 sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Sarana Sanitasi Air Bersih

Memasak Air Kejadian Diare


Pada Balita

Penggunaan Jamban

Kebiasaan Cuci Tangan

Bagan 3.1

Kerangka Konsep
3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Alat Ukur Hasil Skala


Dependent Ukur
Diare Pada Balita Suatu keadaan dimana balita pada umur 10-59 Wawancara Kuesioner 1. Diare, jika: Ordinal
bulan mengalami buang air besar lembek dan Balita mengalami
cair atau dapat berupa air saja yang mencret-mencret, > 3 kali
frekuensinya lebih sering dari biasanya sehari, dan bentuk kotoran
(biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari) lembek atau cair atau
berupa air saja
2. Tidak diare, jika:
Balita tidak mengalami

mencret-mencret, 3
kali sehari, dan bentuk
kotoran seperti biasa
Variabel Definisi Cara Alat Ukur Hasil Skala
Independent Ukur

40
Sarana Sanitasi Air Bangunan beserta peralatan dan Wawancara & Wawancara 1. Tidak memenuhi syarat Ordinal
Bersih perlengkapannya yang menyediakan dan Observasi & Lembar kesehatan, jika skor yang

41
mendistribusikan air bersih yang memenuhi Observasi didapatkan dari hasil
syarat kesehatan observasi pada masing-
masing SAB adalah:
SGL: 6
SP: 6
PDAM: 2
2. Memenuhi syarat
kesehatan, jika skor yang
didapatkan dari hasil
observasi pada masing-
masing SAB adalah:
SGL: 5
SP: 5
PDAM: 1
Perilaku Pengguna Air Bersih
Memasak Air Proses mematikan mikroorganisme (virus, Wawancara Kuesioner 1. Tidak, jika tidak memasak Ordinal
bakteri, spora bakteri, jamur protozoa) air sampai mendidih
penyebab penyakit dengan cara pemanasan sebelum dikonsumsi
sampai mendidih 2. Ya, jika memasak air
sampai mendidih sebelum
dikonsumsi
Penggunaan Jamban Sarana atau tempat untuk buang air besar dan Wawancara & Wawancara 1. Tidak memenuhi syarat Ordinal
tempat pembuangan akhir tinja yang Observasi & Lembar jamban sehat, jika skor
memenuhi syarat jamban sehat, contohnya Obsservasi yang didapatkan dari hasil
jamban leher angsa observasi adalah 1
2. Memenuhi syarat jamban
sehat, jika menggunakan
jamban leher angsa dan
skor yang didapatkan dari
hasil observasi adalah 0
Kebiasaan Cuci Kebiasaan yang berhubungan dengan Wawancara Kuesioner 1. Tidak, jika tidak mencuci Ordinal
Tangan kebersihan perorangan untuk mencuci tangan tangan dengan sabun
dengan sabun sebelum atau sesudah sebelum/sesudah
melakukan kegiatan melakukan kegiatan
2. Ya, jika mencuci tangan
dengan sabun
sebelum/sesudah
melakukan kegiatan
3.3 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara sarana sanitasi air bersih dengan kejadian diare pada balita

umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota

Tangerang Selatan tahun 2013.

2. Ada hubungan antara perilaku memasak air dengan kejadian diare pada balita

umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota

Tangerang Selatan tahun 2013.

3. Ada hubungan antara perilaku penggunaan jamban dengan kejadian diare pada

balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota

Tangerang Selatan tahun 2013.

4. Ada hubungan antara perilaku kebiasaan cuci tangan dengan kejadian diare pada

balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota

Tangerang Selatan tahun 2013.

43
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan bentuk desain studi

cross sectional, dimana variabel independen dan variabel dependen diamati pada waktu

yang bersamaan (satu waktu). Desain ini digunakan karena mudah dilaksanakan,

sederhana, menghemat waktu, dan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat (Notoatmodjo,

2010).

Variabel Independen dalam penelitian ini adalah sarana sanitasi air bersih dan

perilaku ibu yang terdiri dari memasak air, penggunaan jamban, dan kebiasaan cuci

tangan. Sedangkan variabel dependen yaitu kejadian diare pada balita.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu

Kota Tangerang Selatan dan untuk waktu penelitiannya dilaksanakan pada bulan Januari

- Februari 2014.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita usia 1059 bulan yang

berada di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang

Selatan.
4.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah balita umur 10-59 bulan, sedangkan

untuk respondennya adalah ibu dari balita. Dalam pengambilan sampel

digunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi karena untuk mengetahui

suatu hubungan di setiap variabelnya. Rumus ujinya adalah: (Ariawan, 1998)

Keterangan:

n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan

P1 : Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok

tertentu

P2 : Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok

tertentu

P : Rata-rata proporsi ((P1+P2)/2)

Z1-/2 : derajat kemaknaan, pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5 % =

1.96

Z1- : Kekuatan uji 1-, yaitu sebesar 95%

Perhitungan sampel dilakukan berdasarkan beberapa hasil penelitian

terdahulu dengan menggunakan rumus uji hipotesis dua proporsi yang

kemudian diperoleh hasil seperti pada tabel 4.1 berikut:


Hasil Penghitungan Sampel Berdasarkan Uji Hi

Variabel Diketahui p Sampel Total


Sarana Penyediaan Air Bersih P1 = 0,473 0,3835 115 x 2 = 230
(Septian B., 2012) P2 = 0,294
Penggunaan Jamban P1 = 0,511 0,3905 64 x 2 = 128
(Septian B., 2012) P2 = 0,270
Kebiasaan Cuci Tangan P1 = 0,205 0,1125 45 x 2 = 90
(Anup K.C, 2012) P2 = 0,02

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus di atas didapatkan

jumlah sampel minimal sebanyak 45 responden, karena besar sampel yang digunakan adalah uji hipo
tangan tidak memenuhi syarat dengan kejadian diare dan P2 = proporsi

hubungan kebiasaan cuci tangan yang memenuhi syarat dengan kejadian

diare). Penentuan besar sampel yang berjumlah 90 responden didasarkan pada

penyesuaian terhadap waktu, tenaga, dan biaya.

4.3.3 Teknik Sampling


Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik

cluster random sampling, sehingga perlu memperhatikan efek desain. Efek

desain umum yang digunakan dalam cluster random sampling berkisar 2 dan

4 (Ariawan, 1998). Untuk menentukan lokasi dan elemen sampel terpilih


digunakan cluster random sampling pada tingkat Kelurahan dengan sampling

frame Kelurahan dan sampling frame sampel, berikut langkah-langkahnya:

1. Wilayah Puskesmas Keranggan terdiri dari 2 Kelurahan, yaitu Kelurahan

Keranggan dan Kademangan. Dari 2 Kelurahan, ditentukan ada berapa

banyak posyandu pada masing-masing Kelurahan. Kemudian dari

posyandu tersebut dibuat sampling frame posyandu.

2. Sampling frame posyandu dari masing-masing Kelurahan tersebut

kemudian dibagi secara proporsional, dimana tiap Kelurahan masing-

masing memilih 3 posyandu secara acak. (Gambar 4.1)

3. Setelah terpilih 3 posyandu secara acak di masing-masing Kelurahan,

maka dibagi lagi secara proporsional, dimana tiap posyandu menentukan

15 sampel secara acak. (Gambar 4.2)

4. Setelah diperoleh jumlah sampel pada masing-masing posyandu,

kemudian secara acak sederhana terpilihlah sampel yang akan diambil.

Wilayah Puskesmas Keranggan

Keranggan Kademangan

T T
eratai eratai
M M K F D M C B A P S A M K M C A
a a e l a e e e s r a n a e e e s
w t n a h l m r t o k g w n l m o
a a a m l a p i e t u g a a a p k
r rh r yb i t a
a
n
i r io r r
k r n t a a
ia i aon a i k g
n t na a e g i k
a a
Bagan 4.1
Sampling Frame Posyandu Dalam Penentuan Posyandu Sebagai Lokasi Penelitian

Keranggan Kademangan

Dahlia Cempaka Beringin Anggrek Mawar Kenanga

15 15 15 15 15 15

Bagan 4.2
Sampling Frame Sampel Dalam Penentuan Sampel Penelitian

Instrumen Penelitian dan Pengumpulan Data

Instrumen Penelitian

Uji Coba Kuesioner

Kuesioner yang akan digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji coba. Dari

hasil uji coba, kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada

pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner hasil uji coba tersebut. Selanjutnya

dilakukan revisi terhadap kuesioner tersebut. Uji coba kuesioner tersebut

dilakukan kepada 10 responden dengan karakteristik sama, namun di lokasi

yang berbeda dengan lokasi penelitian untuk menghindari terpilihnya

kembali responden sebagai responden penelitian.


b. Kuesioner

Kuesioner dalam penelitian ini mencakup beberapa item pertanyaan

mengenai perilaku memasak air, kebiasaan cuci tangan, pemberian ASI

eksklusif, dan pemberian imunisasi campak, serta lembar observasi

mengenai sarana sanitasi air bersih yang digunakan dan penggunaan

jamban.

4.4.2 Pengumpulan Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa

data primer dan data sekunder:

a. Data Primer

Data primer diperoleh langsung dari hasil wawancara

menggunakan kuesioner dan observasi langsung kepada responden

mengenai sarana sanitasi air bersih dan perilaku ibu terhadap kejadian

diare.

Variabel yang terdapat di kuesioner adalah variabel memasak air,

kebiasaan cuci tangan, pemberian ASI eksklusif, dan pemberian

imunisasi campak. Sedangkan, variabel yang dilakukan dengan

observasi adalah variabel sarana sanitasi air bersih dan penggunaan

jamban.

b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti hasil penelitian

terdahulu, hasil studi pustaka, laporan serta dokumen dari berbagai


instansi yang berhubungan dengan topik yang dikaji, seperti Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Puskesmas Keranggan, Kecamatan

Setu dan beberapa Kelurahan di wilayah Puskesmas Keranggan. .

4.5 Pengolahan Data

Dalam proses pengolahan data, ada beberapa kegiatan yang dilakukan peneliti,

yaitu:

1. Editing, merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau

kuesioner apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah lengkap, jelas, relevan, dan

konsekuen.

2. Coding, merupakan kegiatan untuk merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka/bilangan.

Diare pada balita Diare [1]

Tidak diare [2]


Sarana Sanitasi Air Tidak memenuhi syarat [1]

Bersih kesehatan

Memenuhi syarat kesehatan


[2]

Memasak Air Tidak [1]

Ya,
[2]
Penggunaan Jamban Tidak memenuhi syarat Memenu

jamban sehat hi
syarat jamban [1]

sehat

[2]
Kebiasaan Cuci Tidak [1]

Tangan Ya [2]
3. Processing, pemprosesan dilakukan dengan cara mengentri data dari kuesioner ke

komputer dengan paket program komputer.

4. Cleaning, merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entri, apakah

ada kesalahan atau tidak.

5. Manajemen data, proses memanipulasi atau merubah bentuk data dari bentuk

numerik ke bentuk kategorik.

6. Analisis data, proses pengolahan data serta menyusun hasil yang akan dilaporkan.

(Depkes, 2004)

4.6 Analisis Data

Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan program SPSS.

Analisis data meliputi:

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing-

masing variabel, baik variabel bebas (sarana sanitasi air bersih dan perilaku ibu),

variable terikat (kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan) maupun deskripsi

karakteristik responden.

Fungsi analisis univariat sebenarnya adalah menyederhanakan atau meringkas

kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut

berubah menjadi informasi yang berguna. Peringkasan tersebut berupa ukuran-

ukuran statistik, tabel dan juga grafik. (Hastono, 2007)


2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Syarat uji chi

square antara lain jumlah sampel harus cukup besar, pengamatan harus bersifat

independen, dan hanya dapat digunakan pada data deskrit atau data kontinyu yang

telah dikelompokkan menjadi kategori (Budiarto, 2001). Dasar pengambilan

keputusan penerimaan hipotesis berdasarkan tingkat signifikan (nilai ) sebesar

95%:

a) Jika nilai P-value > (0,05), maka hipotesis penelitian (Ha) ditolak.

b) Jika nilai P-value (0,05), maka hipotesis penelitian (Ha) diterima.


BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian

Puskesmas Keranggan masuk di wilayah Kecamatan Setu, adapun Kecamatan

Setu memiliki 3 Puskesmas, yaitu Puskesmas Setu, Puskesmas Bakti Jaya, dan

Puskesmas Keranggan. Binaan Puskesmas Keranggan terdiri dari 2 Kelurahan, yaitu

Kelurahan Keranggan dan Kelurahan Kademangan. Luas wilayah Kelurahan Keranggan

adalah 217 Ha dengan jumlah penduduk sebesar 6.229 jiwa dengan 17 RT dan 6 RW.

Sedangkan luas wilayah Kelurahan Kademangan adalah 322 Ha dengan jumlah

penduduk sebesar 20.759 jiwa dengan 55 RT dan 7 RW.

Jadi, luas wilayah Puskesmas Keranggan secara keseluruhan adalah 539 Ha,

2
sedangkan bangunan Puskesmas berada di atas tanah seluas 1.000 m dan jumlah

penduduk keseluruhan di wilayah Puskesmas Keranggan sebanyak 26.988 jiwa.

Puskesmas Keranggan terletak di Jalan Baru Lingkar Selatan, Desa Keranggan,

Kecamatan Setu, bagian barat Kota Tangerang Selatan. Adapun batas wilayah kerja

Puskesmas Keranggan adalah:

a. Utara : Wilayah kerja Puskesmas Serpong

b. Selatan : Wilayah kerja Puskesmas Gunung Sindur Bogor

c. Barat : Wilayah kerja Puskesmas Cisauk dan Suradita Kabupaten Tangerang

d. Timur : Wilayah kerja Puskesmas Setu


5.2 Analisis Univariat

Analisis univariat mendiskripsikan karakteristik responden, kejadian diare pada

balita umur 10-59 bulan, sarana air bersih, memasak air, penggunaan jamban, dan

kebiasaan cuci tangan.

5.2.1 Gambaran Karakteristik Responden

Deskripsi karakteristik responden mencakup umur, pendidikan dan pekerjaan

ibu yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Distribusi Umur Responden

Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Umur di Wilayah Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

Variabel Mean SD Min-Max


Umur 29,39 6,11 18-42

Berdasarkan tabel 5.1, diperoleh hasil analisis bahwa dari 90 responden

rata-rata umur responden adalah 29 tahun dengan standar deviasi 6,11. Umur

responden termuda adalah 18 tahun sedangkan umur ibu tertua adalah 42

tahun.

b. Distribusi Pendidikan Responden

Tabel 5.2
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di Wilayah Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

Kategori Frekuensi Persentase (%)


Tidak Sekolah 0 0,0
SD 18 20,0
SMP 21 23,3
SMA 40 44,4
Perguruan Tinggi 11 12,2
Jumlah 90 100
Berdasarkan tabel 5.2 diperoleh distribusi tingkat pendidikan responden,

paling banyak responden memiliki pendidikan SMA yaitu 40 responden

(44,4%) sedangkan untuk responden yang memiliki latar belakang pendidikan

tidak sekolah, SD, SMP, dan perguruan tinggi masing-masing adalah 0

responden (0%), 18 responden (20%), 21 responden (23,3%), dan 11 responden

(12,2%).

c. Distribusi Pekerjaan Responden

Tabel 5.3
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Wilayah
Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun
2013

Kategori Frekuensi Persentase (%)


Ibu Rumah Tangga 69 76,7
Karyawan 11 12,2
Bidan/Petugas Kesehatan 4 4,4
Wiraswasta 6 6,7
Lain-lain 0 0,0
Jumlah 90 100

Berdasarkan tabel 5.3 diperoleh distribusi jenis pekerjaan ibu, paling

banyak ibu memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 69

orang (76,7%) sedangkan ibu yang bekerja sebagai karyawan, bidan/petugas

kesehatan, wiraswasta, dan lain-lain masing-masing sebanyak 11 orang

(12,2%), 4 orang (4,4%), 6 orang (6,7%), dan lain-lain 0 orang (0%).

5.2.2 Gambaran Kejadian Diare Pada Balita

Hasil penelitian mengenai kejadian diare pada balita diperoleh dari wawancara

kepada responden. Variabel kejadian diare pada balita dikategorikan menjadi dua,
yaitu diare dan tidak diare. Adapun hasil yang diperoleh mengenai kejadian diare

pada balita dapat dilihat dari tabel 5.4 berikut:

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Kejadian Diare Pada Balita Umur 10-59 Bulan di
Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013

Kejadian Diare Frekuensi Persentase (%)


Diare 32 35,6
Tidak Diare 58 64,4
Jumlah 90 100

Berdasarkan tabel 5.4, dari hasil analisis gambaran kejadian diare pada balita

diperoleh bahwa dari 90 balita, 32 balita (35,6%) mengalami diare dan 58 balita

(64,4%) tidak mengalami diare. Dari tabel tersebut terlihat bahwa lebih banyak

responden yang balitanya tidak mengalami diare.

5.2.3 Gambaran Sarana Sanitasi Air Bersih

Variabel sarana sanitasi air bersih merupakan salah satu variabel yang dapat

mempengaruhi kejadian diare pada balita. Di bawah ini akan dijelaskan gambaran

distribusi sarana sanitasi air bersih yang digunakan responden untuk keperluan

masak, mencuci, dan lain-lain.

Tabel 5.5
Distribusi Balita Menurut Sarana Sanitasi Air Bersih yang Digunakan di
Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013

Sarana Sanitasi Air Bersih Frekuensi Persentase (%)


Sumur Gali 6 6,7
Sumur Pompa 81 90,0
PDAM 3 3,3
Lain-lain 0 0,0
Jumlah 90 100
Dari tabel 5.5 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden menggunakan

sarana sumur pompa. Berdasarkan tabel di atas, dari 90 responden, 6 responden

menggunakan sarana air bersih sumur gali (6,7%) dan 3 responden menggunakan

sarana PDAM (3,3%).

Sedangkan, kondisi sarana air bersih dalam penelitian ini merupakan kondisi

fisik sarana air bersih di rumah tempat tinggal balita.

Tabel 5.6
Distribusi Balita Menurut Kondisi Sarana Sanitasi Air Bersih di Wilayah
Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

Kondisi Sarana Sanitasi Air Bersih Frekuensi Persentase (%)


Tidak Memenuhi Syarat 42 46,7
Memenuhi Syarat 48 53,3
Jumlah 90 100

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6, diketahui bahwa kondisi sarana

sanitasi air bersih di Wilayah Puskesmas Keranggan sebanyak 42 sarana (46,7%)

yang tidak memenuhi syarat, sedangkan 48 (53,3%) sarana yang memenuhi syarat.

5.2.4 Gambaran Memasak Air

Variabel memasak air merupakan salah satu bentuk pengolahan air minum

yang umum dilakukan oleh masyarakat. Di bawah ini akan dijelaskan sumber air

minum yang digunakan responden untuk dikonsumsi.

Tabel 5.7
Distribusi Balita Menurut Sumber Air Minum di Wilayah Puskesmas Keranggan
Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

Sumber Air Minum Frekuensi Persentase (%)


Sumur Gali 3 3,3
Sumur Pompa 46 51,1
PDAM 3 3,3
Air Isi Ulang (Galon) 38 42,2
Jumlah 90 100

Berdasarkan tabel 5.7, sumber air minum yang paling banyak digunakan

responden adalah air dari sumur pompa sebanyak 46 (51,1%). Selain itu, dapat

diketahui bahwa dari 90 responden, terdapat masing-masing 3 responden yang

menggunakan air minum yang bersumber dari sumur gali (3,3%) dan PDAM

(3,3%), dan 38 responden yang menggunakan air minum yang bersumber dari air

isi ulang (galon) (42,2%).

Tabel 5.8
Distribusi Sumber Air Minum Sumur Pompa dan Air Isi Ulang (Galon) di
Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013

Kejadian Diare pada Balita


Sumber Air Minum DiareTidak Diare n
% n%
Sumur Pompa 14 30,4 32 69,6
Air Isi Ulang (Galon) 15 39,5 23 60,5

Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang

balitanya mengalami diare adalah yang menggunakan air isi ulang (galon). Dari 29

responden, 15 responden (39,5%) yang menggunakan air isi ulang mengalami

kejadian diare pada balitanya, sedangkan 14 responden (30,4%) lainnya yang

menggunakan air sumur pompa mengalami kejadian diare pada balitanya.


Tabel 5.9
Distribusi Balita Menurut Pengolahan Memasak Air di Wilayah Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

Memasak Air Frekuensi Persentase (%)


Tidak 34 37,8
Ya 56 62,2
Jumlah 90 100

Berdasarkan tabel 5.9, dapat diketahui bahwa dari 90 responden, sebanyak 56

responden (62,2%) memasak air sampai mendidih sebelum dikonsumsi, sedangkan

34 responden (37,8%) tidak memasak airnya sampai mendidih sebelum

dikonsumsi.

5.2.5 Gambaran Penggunaan Jamban

Hasil penelitian mengenai penggunaan jamban diperoleh dari wawancara dan

observasi ke tempat responden. Adapun hasil yang diperoleh mengenai

penggunaan jamban dapat dilihat dari tabel 5.10 berikut:

Tabel 5.10
Distribusi Jenis Jamban yang Digunakan Responden di Wilayah Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

Jenis Jamban Frekuensi Persentase (%)


Jamban Empang 6 6,7
Jamban Leher Angsa 84 93,3
Jumlah 90 100

Berdasarkan tabel 5.10, dapat diketahui bahwa dari 90 responden, sebanyak 6

responden (6,7%) masih menggunakan jenis jamban empang, sedangkan 84

responden (93,3%) sudah menggunakan jenis jamban leher angsa.


Tabel 5.11
Distribusi Balita Menurut Penggunaan Jamban di Wilayah Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

Penggunaan Jamban Frekuensi Persentase (%)


Tidak Memenuhi Syarat 56 62,2
Memenuhi Syarat 34 37,8
Jumlah 90 100

Berdasarkan tabel 5.11, pada variabel di atas, jamban yang tidak memenuhi

syarat sebanyak 56 (62,2%) jamban sedangkan jamban yang memenuhi syarat

sebanyak 34 jamban (37,8%).

5.2.6 Gambaran Kebiasaan Cuci Tangan

Variabel kebiasaan cuci tangan merupakan salah satu variabel yang dapat

mempengaruhi kejadian diare pada balita. Adapun hasil yang diperoleh mengenai

perilaku kebiasaan cuci tangan dapat dilihat dari tabel 5.12 berikut ini:

Tabel 5.12
Distribusi Balita Menurut Kebiasaan Cuci Tangan di Wilayah Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

Kebiasaan Cuci Tangan Frekuensi Persentase (%)


Tidak 49 54,4
Ya 41 45,6
Jumlah 90 100

Berdasarkan hasil dari tabel di atas didapatkan sebanyak 49 responden

(54,4%) yang tidak mencuci tangannya menggunakan sabun sebelum/sesudah

melakukan kegiatan, sedangkan 41 responden (45,6%) mencuci tangannya

menggunakan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatan.


5.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui uji hipotesis antara variabel

2
independen dengan variabel dependen dengan uji statistik berupa chi-square (X ).

sehingga dapat diketahui nilai P-value dimana untuk penelitian cross sectional, nilai P-

value menunjukkan hubungan variabel independen (sarana sanitasi air bersih, memasak

air, penggunaan jamban, dan kebiasaan cuci tangan) terhadap variabel dependen

(kejadian diare pada balita).

5.3.1 Hubungan Sarana Sanitasi Air Bersih dengan Kejadian Diare pada Balita

Hasil pengujian statistik antara variabel sarana sanitasi air bersih dengan

kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan

Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013 sebagai berikut:

Tabel 5.13
Analisis Hubungan antara Sarana Sanitasi Air Bersih dengan Kejadian Diare
Pada Balita Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan
Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

Kejadian Diare pada Balita


Sarana Sanitasi Air Jumlah P-value
Bersih Diare Tidak Diare
n % n % n %
Tidak Memenuhi Syarat 19 45,2 23 54,8 42 100
Memenuhi Syarat 13 27,1 35 72,9 48 0,082
100
Total 32 35,6 58 64,4 90 100

Dari tabel 5.15 diketahui responden dengan kondisi sarana sanitasi air bersih

yang tidak memenuhi syarat dan mengalami kejadian diare pada balitanya

sebanyak 19 responden (45,2%), sedangkan responden dengan kondisi sarana


sanitasi air bersih yang memenuhi syarat dan mengalami kejadian diare pada

balitanya sebanyak 13 responden (27,1%).

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sarana

sanitasi air bersih dengan kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah

Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013,

karena nilai P-value sebesar 0,082 pada 5%.

5.3.2 Hubungan Perilaku Memasak Air dengan Kejadian Diare Pada Balita

Hasil uji statistik antara variabel memasak air dengan kejadian diare pada

balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013 sebagai berikut:

Tabel 5.14
Analisis Hubungan antara Perilaku Memasak Air dengan Kejadian Diare
Pada Balita Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan
Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

Perilaku Kejadian Diare pada Balita Jumlah


Memasak Air Diare Tidak Diare P-value
N % n % n %
Tidak 12 35,3 22 64,7 34 100
1,000
Ya 20 35,7 36 64,3 56 100
Total 32 35,6 58 64,4 90 100

Berdasarkan tabel 5.16 diketahui bahwa responden yang tidak memasak

airnya dan mengalami kejadian diare pada balitanya sebanyak 12 responden

(35,3%), sedangkan responden yang memasak airnya dan mengalami kejadian

diare pada balitanya sebanyak 20 responden (35,7%).


Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 1,000, yang

artinya pada 5% tidak ada hubungan antara perilaku memasak air dengan

kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan

Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013.

5.3.3 Hubungan Perilaku Penggunaan Jamban dengan Kejadian Diare Pada Balita

Hasil pengujian statistik antara variabel penggunaan jamban dengan kejadian

diare pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan

Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013 sebagai berikut:

Tabel 5.15
Analisis Hubungan antara Perilaku Penggunaan Jamban dengan Kejadian
Diare Pada Balita Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan
Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

Perilaku Penggunaan Kejadian Diar e Balita Jumlah


Diare pada
Tidak Diare P-value
Jamban
n % n % n %
Tidak Memenuhi Syarat 25 44,6 31 55,4 56 100
0,024
Memenuhi Syarat 7 20,6 27 79,4 34 100

Total 32 35,6 58 64,4 90 100

Dari tabel 5.17 diketahui responden dengan kondisi jamban yang tidak

memenuhi syarat dan mengalami kejadian diare pada balitanya sebanyak 25

responden (44,6%), sedangkan responden dengan kondisi jamban yang memenuhi

syarat dan mengalami kejadian diare pada balitanya sebanyak 7 responden

(20,6%).

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara penggunaan
jamban dengan kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013, karena nilai P-

value sebesar 0,024 pada 5%.

5.3.4 Hubungan Perilaku Kebiasaan Cuci Tangan dengan Kejadian Diare Pada

Balita

Hasil uji statistik antara variabel kebiasaan cuci tangan dengan kejadian diare

pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013 sebagai berikut:

Tabel 5.16
Analisis Hubungan antara Perilaku Kebiasaan Cuci Tangan dengan Kejadian
Diare Pada Balita Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan
Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

Perilaku Kebiasaan Kejadian Diare pada Balita Jumlah


Cuci Tangan Diare Tidak Diare P-value
n % n % n %
Tidak 22 44,9 27 55,1 49 100
0,050
Ya 10 24,4 31 75,6 41 100

Total 32 35,6 58 64,4 90 100

Berdasarkan tabel 5.18 diketahui bahwa responden yang tidak melakukan

kebiasaan cuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatannya dan

mengalami kejadian diare pada balitanya sebanyak 22 responden (44,9%),

sedangkan responden yang melakukan kebiasaan cuci tangan dengan sabun

sebelum/sesudah melakukan kegiatannya dan mengalami kejadian diare pada

balitanya sebanyak 10 responden (24,4%).


Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0,050, yang artinya
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan penelitian,

diantaranya sebagai berikut:

1. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain studi cross sectional. Dalam

desain ini hanya menjelaskan hubungan keterkaitan, tidak menjelaskan hubungan

sebab akibat. Meskipun demikian, desain ini dipilih karena paling sesuai dengan

tujuan penelitian dan efektif dari segi waktu.

2. Secara teoritis terdapat banyak faktor yang berhubungan dengan kejadian diare.

Namun, karena keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti, maka peneliti hanya

meneliti beberapa variabel lingkungan saja yang diduga berhubungan dengan

kejadian diare, yaitu sarana sanitasi air bersih, perilaku memasak air, perilaku

penggunaan jamban, kebiasaan cuci tangan.

3. Kerangka konsep yang digunakan pada penelitian ini hanya menghubungkan

variabel-variabel yang diperkirakan memiliki hubungan dengan variabel dependen

dari sisi lingkungan, sehingga masih terdapat variabel-variabel lain yang belum

masuk dalam kerangka konsep, seperti pemberian ASI eksklusif, pemberian

imunisasi campak, dan penggunaan botol susu.


4. Variabel dependen dalam penelitian ini, yaitu kejadian diare hanya diukur melalui

wawancara menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan sesuai dengan definisi

diare. Menurut Widoyono (2008), terdapat beberapa gejala dan tanda untuk
menentukan penyakit diare, sehingga memerlukan diagnosa dari dokter. Namun

dikarenakan keterbatasan biaya dan waktu penelitian, akhirnya penelitian ini hanya

menggunakan wawancara dengan kuesioner yang berisi pertanyaan dari definisi

penyakit diare menurut Departemen Kesehatan RI. Walaupun begitu, kuesioner ini

telah digunakan pada penelitian sebelumnya yang telah diuji secara statistik.

5. Adanya kebiasan terdapat pada saat observasi sarana air bersih dan keadaan jamban

yang digunakan responden dikarenakan peneliti tidak didampingi oleh orang yang

ahli di bidang kesehatan lingkungan, sehingga saat observasi, peneliti hanya

berlandaskan dari formulir inspeksi sanitasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

mengenai pengawasan kualitas air bersih dan jamban.

6.2 Kejadian Diare

Definisi diare adalah penyakit yang ditandai bertambahnya frekuensi defekasi

lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair),

dengan atau tanpa darah atau lendir (Suraatmaja, 2007). Sedangkan menurut Depkes RI

(2000), diare adalah buang air besar lembek atau cair dapat berupa air saja yang

frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari).

Berdasarkan waktu serangannya terbagi menjadi dua, yaitu diare akut (< 2 minggu) dan

diare kronik ( 2 minggu) (Widoyono, 2008).

Kejadian diare dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan kuesioner yang

berisi pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan definisi penyakit diare. Oleh

karena itu, bias informasi mungkin terjadi pada saat dilakukan wawancara. Bias pada

saat menjawab pertanyaan dari pewawancara dikarenakan responden pada penelitian ini
sulit mengingat dengan tepat kapan terjadi diare pada balitanya. Selain itu, kejadian

diare hanya diukur menggunakan instrumen dari kuesioner berdasarkan pengertian diare.

Padahal terdapat gejala-gejala klinis untuk penentuan penyakit diare yang didiagnosa

oleh dokter.

Dari hasil penelitian yang terdapat pada tabel 5.4 diketahui bahwa sebagian besar

balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota

Tangerang Selatan tidak mengalami diare, yaitu sebesar 64,4% dari 90 responden. Hal

ini sejalan dengan penelitian Wulandari (2009) yang mendapatkan hasil penelitian

bahwa balita yang tidak mengalami kejadian diare lebih banyak dibandingkan dengan

balita yang mengalami kejadian diare sebesar 54,3%. Selain itu, hasil penelitian Karki

(2010) sebesar 78,77% responden yang diteliti tidak mengalami kejadian diare.

Meskipun sebagian besar balita responden di Wilayah Puskesmas Keranggan

tidak mengalami kejadian diare, apabila tidak ditangani secara serius oleh petugas

kesehatan maka dapat menimbulkan keparahan bagi penderitanya dan penularan

penyakati diare ke daerah lain. Untuk itu petugas kesehatan setempat dalam

menanggulangi kejadian diare dapat dengan meningkatkan sosialisasi kepada

masyarakat mengenai tatalaksana diare pada anak yang direkomendasikan oleh

Kemernterian Kesehatan. Prinsip tatalaksana diare adalah LINTAS DIARE (Lima

Langkah Tuntaskan diare) yang ditujukan bagi penderita diare yang bertujuan utuk

mencegah dan mengobati dehidrasi, mencegah gangguan nutrisi dengan memberikan

makanan selama dan sesudah diare serta memperpendek lamanya sakit dan mencegah

diare menjadi berat.


Selain itu, harus dilakukan pula tindakan pencegahan untuk memutus rantai

penularan melalui penyuluhan mengenai air bersih, cara mencuci tangan yang benar,

penggunaan jamban, dan cara membuang tinja bayi yang benar.

6.3 Hubungan antara Sarana Sanitasi Air Bersih yang Digunakan dengan

Kejadian Diare pada Balita Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas

Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan

Sarana sanitasi air bersih merupakan bangunan beserta peralatan dan

perlengkapannya yang menyediakan dan mendistribusikan air tersebut kepada

masyarakat. Sarana air bersih harus memenuhi persyaratan kesehatan, agar tidak

mengalami pencemaran sehingga dapat diperoleh kualitas air yang baik sesuai dengan

standar kesehatan. Sarana sanitasi air bersih meliputi sarana yang digunakan,

persyaratan konstruksi, dan jarak minimal dengan sumber pencemar. Hasil penelitian

pada tabel 5.6 menunjukkan sebagian besar responden memiliki kondisi sarana sanitasi

air bersih yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 48 responden (53,3%) dan responden

dengan kondisi sarana sanitasi air bersih yang tidak memenuhi syarat sebanyak 42

responden (46,7%).

Berdasarkan hasil analisis hubungan diketahui responden yang lebih banyak

mengalami kejadian diare pada balitanya adalah balita dengan presentase kondisi sarana

sanitasi air bersih yang tidak memenuhi syarat, yaitu sebanyak 19 responden (45,2%).

Sedangkan balita dengan presentase kondisi sarana sanitasi air bersih yang memenuhi

syarat dan menderita diare hanya sebanyak 13 responden (27,1%). Hasil analisis bivariat

menunjukkan nilai P-value sebesar 0,082 artinya pada 5% tidak ada hubungan yang
signifikan antara sarana sanitasi air bersih dengan kejadian diare pada balita umur 10-59

bulan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Riki N.P (2013) pada balita di

Kelurahan Sumurejo Kecamatan Gunungpati Kota Semarang yang menunjukkan bahwa

tidak ada hubungan bermakna antara sarana sanitasi air bersih dengan kejadian diare

pada balita.

Selain itu, hasil penelitian Septian Bumulo (2012) juga menunjukkan bahwa

responden yang sarana penyediaan air bersih tidak memenuhi syarat dan tidak diare

yaitu sebanyak 79 responden (52,7%), hal ini dikarenakan walaupun air yang

dikonsumsi tidak memenuhi syarat penyediaan air bersih namun untuk keperluan

minum, responden terlebih dahulu memasak airnya hingga mendidih dan sebagian besar

responden selalu menampung air untuk keperluan minum dan memasak dalam wadah

tertutup sehinga sedikit kemungkinan untuk terkontaminasi dengan bakteri penyebab

kejadian diare.

Sarana sanitasi air bersih harus memenuhi persyaratan kesehatan, agar tidak

mengalami pencemaran sehingga dapat diperoleh kualitas air yang baik sesuai dengan

standar kesehatan. Menurut Depkes RI (1977) dalam Marjuki (2008), setiap sarana

sanitasi air bersih memiliki masing-masing persyaratan yang berbeda-beda, tetapi dari

setiap persyaratan yang ada, syarat utama yang harus diperhatikan adalah jarak antara

sumber air bersih dengan tempat pembuangan tinja (septic tank) tidak boleh kurang dari

10 meter. Hal ini agar sumber air bersih yang digunakan tidak terkontaminasi oleh

kotoran tinja yang mengandung banyak bakteri dan cacing yang dapat menyebabkan

penyakit diare.
Menurut Depkes RI (1995), salah satu upaya untuk mengetahui kualitas sarana

penyediaan air bersih diantaranya dengan cara melakukan pengawasan atau inspeksi

terhadap kualitas sumber air. Tujuan inspeksi ini adalah untuk mengidentifikasi sumber-

sumber yang berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran.

6.4 Hubungan antara Memasak Air dengan Kejadian Diare pada Balita Umur 10-

59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang

Selatan

Memasak air dalam penelitian ini merupakan salah satu perilaku pengolahan air

minum yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat umum. Berdasarkan hasil

penelitian ini, diketahui bahwa hampir sebagian responden (62,2%) memasak airnya

sampai mendidih sebelum dikonsumsi sedangkan 34 responden (37,8) tidak memasak

airnya sampai mendidih sebelum dikonsumsi.

Dari hasil analisis chi square menunjukkan bahwa 35,3% responden yang tidak

memasak airnya sampai mendidih memiliki balita yang mengalami kejadian diare,

sedangkan 64,3% responden yang memasak airnya sampai mendidih. Berdasarkan hasil

analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku

memasak air dengan kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan dengan nilai P-value

sebesar 1,000.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rosa (2011) pada balita di

Puskesmas Cipayung Kota Depok yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara pengolahan air minum rumah tangga dengan kejadian diare pada balita.
Menurut Direktur Jenderal P2PL (2008), Air untuk minum harus diolah terlebih

dahulu dan wadah air harus bersih dan tertutup. Air yang tidak dikelola dengan standar

pengelolaan air minum rumah tangga (PAM-RT) dapat menimbulkan penyakit. Salah

satu bentuk pengolahan air minum rumah tangga yang sederhana dan sering digunakan

adalah dengan cara memasak. Memasak merupakan proses mematikan mikroorganisme

(virus, bakteri, spora bakteri, jamur protozoa) penyebab penyakit dengan cara

pemanasan (Depkes RI, 2008).

Memasak air merupakan cara paling baik untuk proses purifikasi air di rumah.

Agar proses purifikasi menjadi lebih efektif, maka air dibiarkan mendidih antara 5-10

menit. Hal tersebut bertujuan agar semua kuman, spora, kista, dan telur mati sehingga air

bersifat steril. Selain itu, proses pendidihan juga dapat mengurangi kesadahan karena

dalam proses pendidihan terjadi penguapan CO2 dan pengendapan CaCO3 (Chandra,

2007).

Tidak adanya hubungan yang bermakna antara pengolahan air minum dengan

kejadian diare dapat disebabkan karena sebagian besar responden yang tidak mengolah

air minumnya dengan cara memasaknya sampai mendidih adalah responden yang

mengonsumsi air jenis air minum isi ulang (galon). Walaupun masyarakat yang

menggunakan air isi ulang (galon) tidak memasak airnya terlebih dahulu, pada depot air

minum isi ulang (galon) telah dilakukan proses pengolahan air minum menggunakan

sinar ultraviolet dan filtrasi (Sandra, 2007).

Walaupun demikian, pada tabel silang 5.8 mengenai persentase kejadian diare

pada responden yang menggunakan sumber air dari sumur pompa dan air isi ulang

(galon) didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden yang menggunakan air isi
ulang (galon) mengalami kejadian diare pada balitanya. Terdapat 15 responden (39,5%)

yang menggunakan air minum isi ulang (galon) dan balitanya mengalami kejadian diare

meskipun air isi ulang (galon) sebelum dikonsumsi oleh masyarakat telah melewati

berbagai proses di depot AMIU (Air Minum Isi Ulang), masyarakat juga perlu

melakukan pencegahan dengan memasak air terlebih dahulu. Menurut Titik Wahyudjati,

mengkonsumsi air minum isi ulang yang berumur lebih dari 2 jam harus dimasak

terlebih dahulu, hal tersebut merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap penyakit

yang mungkin timbul akibat air yang tidak sehat (Sandra, 2007).

6.5 Hubungan antara Penggunaan Jamban dengan Kejadian Diare pada Balita

Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota

Tangerang Selatan

Penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penularan risiko

terhadap penyakit diare. Jamban adalah tempat pembuangan kotoran manusia adalah

semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari

dalam tubuh (Notoatmodjo, 2007). Jenis jamban yang banyak digunakan oleh

masyarakat adalah jamban leher angsa, karena jamban jenis ini merupakan jamban yang

paling memenuhi syarat (Entjang, 2000).

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa hampir sebagian responden

tidak memiliki jamban yang memenuhi syarat (62,2%), sedangkan 34 responden

(37,8%) memiliki jamban yang memenuhi syarat.

Dari hasil analisis chi square menunjukkan bahwa 44,6% responden yang

jambannya tidak memenuhi syarat memiliki balita yang diare, sedangkan 79,4%
responden yang jambannya memenuhi syarat. Berdasarkan hasil analisis bivariat

menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku penggunaan jamban

dengan kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan dengan nilai P-value sebesar 0,024.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Septian Bumolo (2012) pada balita

di Wilayah Kerja Puskesmas Pilolodaa Kecamatan Kota Barat Kota Gorontalo yang

menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan jamban keluarga

dengan kejadian diare pada balita dengan P-value sebesar 0,000.

Wibowo (dalam Wulandari, 2009:19) juga menjelaskan bahwa tempat

pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko

terjadinya diare pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan keluarga

yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi.

Menurut Entjang (2000), jenis-jenis jamban (tempat pembuangan tinja) ada 8,

yaitu jamban cemplung, jamban air, jamban leher angsa, jamban bor, jamban keranjang,

jamban parit, jamban empang, dan chemical toilet. Tetapi, hanya jenis jamban leher

angsa yang sesuai dengan jenis jamban sehat dan memenuhi persyaratan. Dan saat ini

kebanyakan jenis jamban yang digunakan oleh masyarakat adalah jamban leher angsa.

Pada penelitian ini, jenis jamban dibedakan menjadi jenis jamban empang dan

jenis jamban leher angsa. Jenis jamban empang adalah jenis jamban seperti rumah-

rumahan yang dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan sebagainya. Kerugiannya

mengotori air permukaan sehingga bibit penyakit yang terdapat di dalamnya dapat

tersebar kemana-mana dengan air yang dapat menimbulkan wabah. Sedangkan jamban

leher angsa merupakan jamban yang paling memenuhi persyaratan. Oleh sebab itu cara

pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Pada kakus ini closetnya berbentuk
leher angsa, sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air ini gunanya sebagai sumbat,

sehingga bau busuk dari cubluk tidak tercium di ruangan rumah kakus. Menurut Sukarni

(2003) jamban leher angsa memiliki keuntungan antara lain aman untuk anak-anak dan

dapat dibuat di dalam rumah karena tidak menimbulkan bau.

Hal ini dikarenakan hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat

di wilayah Puskesmas Keranggan, terutama di sekitar Posyandu Mawar masih ada yang

menggunakan jenis jamban empang, karena di sekitar rumah mereka masih terdapat

empang dan juga sungai, serta hampir semua responden juga sudah menggunakan

jamban leher angsa. Jadi dari 15 responden di sekitar Posyandu Mawar terdapat 6

responden yang masih menggunakan jamban empang. Jenis jamban empang ini letaknya

ada yang disamping rumah, di belakang rumah warga, dan sungai. kebanyakan dari

mereka biasanya menggunakannya pada malam hari.

Bila dilihat dari perilaku responden, masih ada sebagian responden yang tidak

membuang tinja balita dengan benar (kotoran dibuang ke jamban). Kebanyakan dari

mereka membuang tinja balitanya ke kebun dan tempat sampah. Hal ini dikarenakan

tinja balita dibuang bersamaan dengan pampers yang dipakai, tapi ada sebagian

responden yang membuang kotoran balitanya ke jamban, lalu mencuci pampersnya, baru

kemudian dibuang. Mereka juga beranggapan bahwa tinja balita tidak berbahaya.

Padahal menurut Depkes (2000), tinja balita juga berbahaya karena mengandung virus

atau bakteri dalam jumlah besar. Tinja balita juga dapat menularkan penyakit pada balita

itu sendiri dan juga pada orang tuanya.


Tinja yang dibuang di tempat terbuka dapat digunakan oleh lalat untuk bertelur

dan berkembang biak. Lalu, berperan dalam penularan penyakit melalui tinja

(faecal
borne disease), lalat senang menempatkan telurnya pada kotoran manusia yang terbuka,

kemudian lalat tersebut hinggap di kotoran manusia dan hinggap pada makanan

manusia.

6.6 Hubungan antara Kebiasaan Cuci Tangan dengan Kejadian Diare pada Balita
Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota
Tangerang Selatan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam

penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama

sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyuapi makan anak,

dan sesudah makan mempunyai dampak dalam kejadian diare (Depkes, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa 49 responden (54,4%) tidak mencuci

tangan sebelum/sesudah melakukan kegiatan, sedangkan 41 responden (45,6%) mencuci

tangannya menggunakan sebelum/sesudah melakukan kegiatan.

Dari hasil analisis chi square menunjukkan bahwa 44,9% responden yang tidak

mencuci tangannya dengan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatan memiliki balita

yang mengalami kejadian diare, sedangkan 75,6% responden yang mencuci tangannya

dengan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatan memiliki balita yang tidak

mengalami kejadian diare. Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara perilaku kebiasaan cuci tangan dengan sabun

sebelum/sesudah melakukan kegiatannya kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan

dengan nilai P-value sebesar 0,050.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Anup (2012) di Wilayah

Nawalparasi (Nepal) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
perilaku mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatan dengan

kejadian diare pada balita dimana nilai P-value yang didapat sebesar 0,002.

Kebiasaan cuci tangan merupakan salah satu perilaku yang berhubungan dengan

kebersihan dan berperan penting dalam pemindahan kuman diare. Kurangnya kesadaran

akan kebersihan pada setiap orang menyebabkan kasus diare meluas. Budaya cuci

tangan dengan sabun sebelum atau sesudah melakukan kegiatan merupakan sarana

penghindar penyakit diare.

Tangan yang mengandung kuman penyakit jika tidak dibersihkan dengan benar

dapat menjadi media masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh manusia, baik melalui

kontak langsung dengan mulut ataupun kontak dengan makanan dan minuman. Hal ini

sesuai dengan hasil penelitian ini.

Kebiasaan mencuci tangan sudah banyak diterapkan oleh responden. Mereka

juga mengaku membiasakan anak mereka untuk mencuci tangan sebelum makan.

Namun, banyak dari para responden yang jarang mencuci tangan dan hanya mengelap

tangan mereka ke pakaian mereka atau lap jika dirasa kotor dan adapun mereka mencuci

tangan tetapi jarang yang menggunakan sabun. Karena para responden merasa jika

sudah mencuci atau membilas tangan menggunakan air dirasa sudah bersih.

Salah satu pencegahan diare yang dibuat pemerintah salah satunya adalah PHBS

(Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dimana didalamnya terdapat perilaku mencuci tangan

menggunakan sabun. Upaya mudah dan murah ini akan menghindarkan manusia dari

sejumlah penyakit menular yang dapat secara langsung terpapar pada tubuh manusia,

seperti diare, kolera, tifus, hingga flu burung (Nugraheni, 2012).


BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Hasil penelitian tentang kejadian diare pada balita seperti yang sudah diuraikan

pada Bab Hasil dan Pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Distribusi responden berdasarkan umur memiliki rata-rata umur responden adalah 29

tahun, dimana umur yang termuda adalah 18 tahun sedangkan umur ibu tertua adalah

42 tahun.

2) Distribusi tingkat pendidikan responden terbanyak adalah SMA sebanyak 40

responden (44,4%).

3) Distribusi jenis pekerjaan responden terbanyak adalah sebagai ibu rumah tangga

sebanyak 69 orang (76,7%).

4) Gambaran kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan diperoleh bahwa 32 balita

(35,6%) mengalami diare dan 58 balita (64,4%) tidak mengalami diare, maka

disimpulkan bahwa lebih banyak responden yang balitanya tidak mengalami diare.

5) Gambaran sarana sanitasi air bersih di Wilayah Puskesmas Keranggan diketahui

bahwa sebagian besar responden menggunakan sarana sumur pompa (81 orang atau

90%). Kemudian kondisi sarana sanitasi air bersihnya sebanyak 42 sarana (46,7%)

yang tidak memenuhi syarat, sedangkan ada 48 (53,3%) sarana yang memenuhi

syarat.

6) Gambaran perilaku pengguna air bersih diketahui bahwa:


Sumber air minum yang paling banyak digunakan responden adalah air dari

sumur pompa sebanyak 46 orang (51,1%) dan yang menggunakan air isi ulang

(galon) sebanyak 38 orang (42,2%). Dari kedua sumber air minum, pengguna air

isi ulang (galon) lah yang sebagian besar balitanya mengalami diare. Kemudian

sebanyak 56 responden (62,2%) memasak air sampai mendidih sebelum

dikonsumsi, sedangkan 34 responden (37,8%) tidak memasak airnya sampai

mendidih sebelum dikonsumsi.

Jenis jamban yang paling banyak digunakan responden adalah jenis jamban leher

angsa sebanyak 84 orang (93,3%). Dan kondisi jamban yang tidak memenuhi

syarat sebanyak 56 (62,2%) jamban sedangkan jamban yang memenuhi syarat

sebanyak 34 jamban (37,8%).

Perilaku kebiasaan cuci tangan di Wilayah Puskesmas Keranggan sebanyak 49

responden (54,4%) yang tidak mencuci tangannya menggunakan sabun

sebelum/sesudah melakukan kegiatan, sedangkan 41 responden (45,6%) mencuci

tangannya menggunakan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatan.

7) Tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel sarana sanitasi air bersih dan

perilaku memasak air terhadap kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di

Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun

2013.

8) Ada hubungan yang bermakna antara variabel penggunaan jamban dan kebiasaan

cuci tangan terhadap kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah

Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013.


7.2 Saran

A. Bagi Pihak Puskesmas Keranggan

1) Petugas puskesmas harus selalu memberikan penyuluhan kesehatan, terutama

kesehatan lingkungan dan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) kepada

masyarakat di Wilayah Puskesmas Keranggan, terutama kepada para kader.

2) Perlu dilakukan perbaikan sistem pengolahan dan penyimpanan data di

Puskesmas Keranggan agar tidak terjadi data hilang ataupun rusak.

3) Perlu adanya kerjasama dan komunikasi yang kuat antara pihak puskesmas

dengan masyarakat sehingga masyarakat mudah mendapatkan informasi

mengenai pentingnya kesehatan, terutama kesehatan lingkungan dan perilaku

untuk hidup bersih dan sehat.

B. Bagi Penelitian Selanjutnya

1) Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat menambah variabel-variabel

lingkungan lainnya yang diduga berhubungan dengan kejadian diare pada

balita yang tidak diteliti pada penelitian ini.

2) Diperlukan penelitian lebih lanjut agar menjawab seluruh permasalahan diare

pada balita dengan perhitungan sampel yang sesuai dengan desain penelitian,

agar kekuatan tes lebih baik sebagai validasi kebutuhan analisis bivariat.

3) Diharapkan penelitian selanjutnya mulai banyak yang menganalisis sampai

tahap analisis multivariat agar dapat mengetahui faktor-faktor yang paling


berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita sehingga dapat dilakukan

langkah preventif yang tepat.


DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin R. 2007. Current Issue Kematian Anak Karena Penyakit Diare (Skripsi).
Universitas Hasanuddin Makassar
Anup K.C. 2012. A Descriptive Study On Water Sanitation Hygiene and Diarrhoeal
Morbidity Among Under Five Years Children at Community LED Total
Sanitation Elicited Area In Nawalparasi. Department of Public Health, School of
Health and Allied Sciences, Pokhara University, Kaski, Nepal 2012
Anwar, Athena & Anwar Musadad. 2009. Pengaruh Akses Penyediaan Air Bersih
Terhadap Kejadian Diare Pada Balita. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 8, No. 2,
Juni 2009: 953-963
Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel Penelitian Kesehatan. Depok: Jurusan
Biostatistika dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia
Basyir, M. 2007. Hubungan Penyediaan Air Bersih dan Sarana Sanitasi Dengan
Kejadian Diare Tahun 2006. Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Skripsi. Depok: UI
Bintoro, Bhakti Rochman Tri. 2010. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Dengan
Kejadian Diare Pada Balita di Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar.
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan. Skripsi.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Black MM. 2003. The Evidence Linking Zinc Deficiency With Childrens Cognitive and
Motor Functioning. J Nutr. 133 (5 Suppl 1) 14735-65
Budiarto, E. 2001. Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC
Bumulo, Septian. 2012. Hubungan Sarana Penyediaan Air Bersih dan Jenis Jamban
Keluarga Dengan Kejadian Diare Pada Anak Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Pilolodaa Kecamatan Kota Barat Kota Gorontalo Tahun 2012.
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan
Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo
Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta
Cousins, R.J., Liuzzi, J.P. & Lichten, L.A. 2006. Mammalian Zinc Transport,
Trafficking, and Signals, J Biol Chem, Vol. 281, No. 34. Aug 25, pp. 24085-
24089, Issn 0021-9258 (Print) 0021-9258 (Linking)
Depkes RI. 1995. Pelatihan Penyehatan Air, Ditjen PPM & PLP, Jakarta: Depkes RI
Depkes RI. 2000. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta: Depkes RI
Depkes RI. 2004. Masalah Diare dan Penanggulangannya. Biro Hukum dan Hubungan
Masyarakat Depkes RI. Jakarta
Depkes RI. 2005. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta: Depkes RI
Depkes RI. 2008. Pedoman Pengelolaan Promosi Kesehatan Dalam Pencapaian
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jakarta: Depkes RI
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2013. Profil Kesehatan Kota Tangerang
Selatan
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Penyelenggaraan Hygiene Sanitasi Depot Air Minum
Dr. Suririnah. 2011. Diare Mendadak dan Penanganannya. Diakses pada 20 Maret 2011
dari http://www.infoibu.com/tipsinfosehat/diare.htm
Entjang, I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Cetakan Ke XIII. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti
Feliciana V.S.C.W. 2004. Hubungan Sarana Air Bersih, Jamban, dan Sarana
Pembuangan Air Limbah Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Kabupaten
Tangerang Tahun 2003. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Skripsi. Depok: UI
Hardi, Amin Rahman, Masni, Rahma. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Diare Pada Batita di Wilayah Kerja Puskesmas Baranglompo
Kecamatan Ujung Tanah Tahun 2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Penelitian. Makassar: Universitas Hasanudin.
Hastono, Susanto. 2007. Statistik Kesehatan. Rajawali Press: Jakarta
Iskandar, Komar. 2005. Hubungan Kejadian Diare Pada Balita Dengan Perilaku Hidup
Bersih, Sarana Air Bersih, dan Jamban di Wilayah Puskesmas Kasomalang
Kecamatan Jalan Cagak Kabupaten Subang Bulan Maret Juni Tahun 2005.
Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat. Skripsi.
Depok: UI.
Isnaini, Ustad Ari. 2011. Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Praktik Kesehatan Ibu
Dengan Kejadian Diare Pada Anak Toddler di Desa Jatirejo Kecamatan Sawit
Kabupaten Boyolali. Fakultas Ilmu Kesehatan. Skripsi. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Johar. 2004. Hubungan Jenis Sarana Sumber Air Penduduk dengan Kejadian Diare
Pada Balita di Sekitar TPA SAmpah Kecamatan Bantar Gebang Kota Bekasi.
Skripsi. Universitas Indonesia
Karki T, Srivanichakom S, Chompikul J. 2010. Factors Related To The Occurrence of
Diarrheal Disease Among Under-Five Children in Lalitpur District of Nepal.
Journal of Public Health and Development. Vol. 8 No. 3: 237-51
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990
Tentang Syarat Syarat Kualitas Air Bersih
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002
Tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum
. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Kurniati, Siti Istiana. 2010. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Perilaku Ibu
Dengan Kejadian Diare Pada Anak Balita di Desa Penusupan Kecamatan
Pejawaran Banjarnegara. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu
Kesehatan. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Mann, H.T & Williamson, D. 1993. Water Treatment and Sanitation. Nottingham
Russel Press Ltd
Marjuki, Adikuri Dini. 2008. Hubungan Kualitas Sumber Air Bersih (Inspeksi Sanitasi)
Serta Faktor Risiko Lain Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Puskesmas
Plumbon Kabupaten Cirebon Tahun 2008. Skripsi. Universitas Indonesia
The Millenium Development Goals (MDGs) Report 2010. 2010. United Nations. New
York
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar.
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Nugraheni, Devi. 2012. Hubungan Kondisi Fasilitas Sanitasi Dasar dan Personal
Hygiene Dengan Kejadian Diare di Kecamatan Semarang Utara Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1, No. 2, Tahun 2012: 922-933.
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm
Olyfta, Asny. 2010. Analisis Kejadian Diare Pada Anak Balita di Kelurahan
Tanjungsari Kecamatan Medan Selayang Tahun 2010. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 Tentang Syarat-Syarat dan
Pengawasan Kualitas Air
Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian ASI Eksklusif
Pratama, Riki Nur. 2013. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene
Ibu Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Kelurahan Sumurejo Kecamatan
Gunung Pati Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 2, No. 1,
Tahun 2013. Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm
Primadani, Winda, dkk. 2012. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare
Diduga Akibat Infeksi di Desa Gondosuli Kecamatan Bulu Kabupaten
Temanggung. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1, No. 2, Tahun 2012: 535-541.
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm
Purbasari, Endah. 2009. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu Dalam
Penanganan Awal Diare Pada Balita di Puskesmas Kecamatan Ciputat,
Tangerang Selatan, Banten Pada Bulan September Tahun 2009. Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Laporan
Penelitian. Jakarta: UIN Jakarta
Puskesmas Keranggan. 2012. Profil Pusksesmas Keranggan 2012. Tangerang Selatan:
Puskesmas Keranggan
Ratnawati D, Trisno A.W, Solikhah. 2009. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Akut Pada
Balita di Kabupaten Kulonprogo. Penelitian Skripsi. UNS. Surakarta
Rosa, Syaefty Dewi. 2011. Hubungan Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga dan
Perilaku Sehat Ibu Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Puskesmas Cipayung
Kota Depok Tahun 2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat Peminatan Kebidanan
Komunitas. Skripsi. Depok: UI
Sander, M. A. 2005. Hubungan Faktor Sosio Budaya Dengan Kejadian Diare di Desa
Candinegoro Kecamatan Wonayu Sidoarjo. Jurnal Medika. Vol 2. No 2. Juli-
Desember 2005 : 163-193
Sandra, Christyana. 2007. Hubungan Pengetahuan dan Kebiasaan Konsumen Air
Minum Isi Ulang dengan Penyakit Diare. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 3,
No.2
Santoso. Metode Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data. Diakses pada 21
Januari 2013 dari http://ssantoso.umpo.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/BAB-
III.-METODE-PENGAMBILAN-SAMPEL-DAN-PENGUMPULAN-
DATA.pdf
Soebagyo. 2008. Diare Akut Pada Anak. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press
Soemirat, S.J. 2000. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Bulaksumur.
Yogyakarta
Suraatmaja S. 2007. Kapita Selekta Gastroentrologi. Jakarta: CV. Sagung Seto
Sukarni, Mariati. 2003. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor
Umarotuzuhro. 2011. Studi Deskriptif Upaya Keluarga dalam Pencegahan Terjadinya
Penyakit Diare pada Balita di Desa Brambang RW 01 Kecamatan Karangawen
Kabupaten Demak. Skripsi: Universitas Muhammadiyah Semarang
Umiati, Badar Kirwono, Dwi Astuti. 2010. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan
Dengan Kejadian Diare Pada Balita. Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621, Vol. 3,
No.1, Juni 2010: 41-47
WHO & UNICEF. 2006. Joint Monitoring Programme for Water Supply & Sanitation.
Wibowo T, Soenarto S & Pramono D. 2004. Faktor-Faktor Resiko Kejadian Diare

85
Berdarah Pada Balita di Kabupaten Sleman. Berita Kedokteran Masyarakat.
Vol.20, No.1, Maret 2004: 41-48

86
Widjaja. 2002. Mengatasi Diare dan Keracunan Pada Balita. Jakarta: Kawan Pustaka
Widoyono. 2008. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasan Penyakit
Tropis. Jakarta: Erlangga
Wulandari, Anjar Purwidiana. 2009. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Faktor
Sosiodemografi Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Desa Blimbing
Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen Tahun 2009. Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan. Skripsi. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Yusuf, Muhammad AM. Naufal, 2003. Analisis Data Multivariat: Konsep dan Aplikasi
Regresi Linear Ganda. Modul Terapan. Depok
Zein T.M. 2001. Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Ibu Dalam
Penanggulangan Dini Diare Pada Balita di Kecamatan Baiturrahman Tahun
2000. Jurnal Kesehatan. Vol. 1 No. 1 Agustus 2001: 11-17
Zubir, Juffrie M, dan Wibowo T. 2006. Faktor-Faktor Resiko Kejadian Diare Akut Pada
Anak 0-35 Bulan (BATITA) di Kabupaten Bantul. Sains Kesehatan. Vol 19. No 3.
Juli 2006. ISSN 1411-6197 : 319-332.
Lampiran 1

PENELITIAN

HUBUNGAN SARANA SANITASI AIR BERSIH DAN PERILAKU IBU TERHADAP KEJADIAN

DIARE PADA BALITA UMUR 10-59 BULAN DI WILAYAH PUSKESMAS KERANGGAN

KECAMATAN SETU KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013

PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Alamat :

Dengan ini menyatakan kesediaannya menjadi responden penelitian yang dilakukan oleh Roya

Selaras Cita, mahasiswi S1 dari Program Studi Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya-benarnya agar dapat digunakan

sebagaimana mestinya.

Tangerang Selatan, Januari 2014

Responden

87
( )

88
Lampiran 2
Kode Responden

KUESIONER SARANA SANITASI AIR BERSIH DAN PERILAKU IBU


TERHADAP KEJADIAN DIARE PADA BALITA UMUR 10-59 BULAN

A. Identitas Anak
No. Pertanyaan Jawaban Kode
1. Nama Anak A1
2. Umur A2
3. Jenis Kelamin A3

B. Identitas Responden
No. Pertanyaan Jawaban Kode
4. Nama Ibu B1
5. Umur B2
6. RT RW No. rumah B3
7. Pendidikan 1. Tidak sekolah B4
2. SD
3. SMP
4. SMA
5. Perguruan tinggi
8. Pekerjaan 1. Ibu rumah tangga B5
2. Karyawan
3. Bidan / Petugas kesehatan
4. Wiraswasta
5. Lain-lain

C. Kejadian Diare
No. Pertanyaan Jawaban Kode
9. Apakah anak balita anda pernah 1. Ya C1
menderita diare dalam kurun 2. Tidak
waktu tiga bulan terakhir? (Lanjut ke pertanyaan no. 13)
10. Apakah anak balita anda dalam 1. Ya C2
satu hari menderita diare lebih 2. Tidak
dari tiga kali?
11. Apakah tinja anak balita anda 1. Ya C3
cair (lembek) dengan atau tanpa 2. Tidak
lendir dan darah?
12. Apa yang anda lakukan bila 1. Dibiarkan saja C4
balita anda terkena diare? 2. Diobati sendiri
3. Dibawa ke Puskesmas/Dokter/Bidan

D. Sarana Air
No. Pertanyaan Jawaban Kode
13. Darimanakah anda memperoleh air 1. Sumur gali D1
bersih untuk kebutuhan sehari-hari? 2. Sumur pompa
3. PDAM
4. Dan lain-lain, sebutkan _
14. Milik siapakah sarana air bersih 1. Milik sendiri D2
tersebut? 2. Milik saudara
3. Milik tetangga
4. Sarana air bersih umum
15. Darimana sumber air minum yang 1. Sumur gali D3
digunakan keluarga sehari-hari? 2. Sumur pompa
3. PDAM
4. Air isi ulang (galon)
16. Untuk keperluan minum apakah Ibu 1. Tidak D5
memasak air sampai mendidih? (Lanjut ke pertanyaan no. 20)
2. Ya
17. Apakah Ibu menampung air yang 1. Tidak D6
telah dimasak di wadah tertutup? 2. Ya
18. Apakah Ibu menguras tempat 1. Tidak D7
penampungan air yang digunakan (Lanjut ke pertanyaan no. 20)
untuk keperluan minum? 2. Ya
(Lanjut ke pertanyaan no. 19)
19. Bila ya, berapa kali Ibu menguras 1. 1-2 kali dalam seminggu D8
tempat penampungan air yang 2. > 2 kali dalam seminggu
digunakan untuk keperluan minum?
20. Berapa jarak antara sumur dengan 1. < 10 m D9
tempat pembuangan tinja? 2. 10 m

E. Penggunaan Jamban
No. Pertanyaan Jawaban Kode
21. Apakah di rumah Ibu 1. Tidak E1
mempunyai jamban? (Lanjut ke pertanyaan no. 23)
2. Ya
(Lanjut ke pertanyaan no. 22)
22. Bila ya, apa jenis jamban di 1. Jamban Cemplung / jamban tanpa E2
rumah Ibu? tangki septic
2. Leher Angsa / jamban dengan tangki
septic
23. Bila tidak, kemana Ibu dan 1. Sungai/kali E3
keluarga buang air besar 2. Kebun/pekarangan
(BAB)? 3. Lain-lain, Sebutkan
24. Apakah Ibu membuang tinja 1. Tidak E4
balita ke jamban? (Lanjut ke pertanyaan no. 25)
2. Ya
(Lanjut ke pertanyaan no 26)
25. Bila tidak, kemana Ibu Sungai/kali
membuang tinja balita? Kebun/pekarangan
Lain-lain, Sebutkan
26. Apakah kondisi jamban selalu 1. Tidak E5
bersih dan bebas vektor (lalat)? 2. Ya
27. Apakah anda membersihkan 1. Tidak E6
jamban? 2. Ya
Berapa kali dalam seminggu?

F. Pemberian ASI Eksklusif


No. Pertanyaan Jawaban Kode
28. Apakah anda memberikan ASI 1. Tidak F1
eksklusif kepada anak anda selama (Lanjut ke pertanyaan no. 31)
6 bulan? 2. Ya
29. Seberapa sering anda menyusui 1. 3-5 kali F2
anak anda dalam sehari? 2. > 5 kali
30. Bagaimana anda memberikan ASI 1. Membawa anak anda bersama F3
kepada anak anda saat anda jauh anda
dari rumah? 2. ASI yang sudah disimpan
3. Lain-lain
31. Pada umur berapa anak anda 1. 6 bulan F4
berhenti menyusui? 2. > 6 bulan
32. Makanan apa yang anda berikan 1. Nasi F5
kepada anak anda saat mereka 2. Bubur bayi
sudah tidak menyusui? 3. Lain-lain
G. Imunisasi Campak
No. Pertanyaan Jawaban Kode
33. Apakah ada KMS (Kartu Menuju Sehat)? 1. Tidak ada G1
2. Ya
34. Apakah anak ibu sudah diimunisasi campak? 1. Belum G2
2. Sudah

H. Kebiasaan Cuci Tangan


No. Pertanyaan Jawaban Kode
35. Apakah Anda selalu cuci tangan dengan sabun 1. Tidak H1
setelah BAB (Buang Air Besar)? 2. Ya
36. Apakah Anda selalu cuci tangan dengan sabun 1. Tidak H2
sebelum dan sesudah melakukan kegiatan? 2. Ya
Lampiran 3
LEMBAR OBSERVASI

Beri tanda cheklist () pada kolom sesuai hasil pengamatan dan isi dengan lengkap, bila perlu

pewawancara dapat bertanya kepada responden.

A. OBSERVASI SARANA AIR BERSIH SUMUR GALI


No. Diagnosa Khusus Ya Tidak
1. Apakah ada jamban pada radius 10 m di sekitar sumur ?
2. Apakah ada sumur pencemar lain pada radius 10 m di sekitar sumur, misalnya
kotoran hewan, sampah, genangan air, dll ?
3. Apakah ada/sewaktu-waktu ada genangan air pada jarak 2 m di sekitar sumur ?
4. Apakah saluran pembuangan air limbah rusak/tidak ada?
5. Apakah lantai semen yang mengitari sumur mempunyai radius kurang dari 1 m ?
6. Apakah ada/sewaktu-waktu ada genangan air di atas lantai semen di sekeliling
sumur ?
7. Apakah bibir sumur (cincin) tidak sempurna sehingga memungkinkan air
merembes ke dalam sumur ?
8. Apakah dinding semen sedalam 3 m dari atas permukaan tanah tidak diplester
cukup rapat/tidak sempurna ?
9. Apakah kualitas fisik air kotor, berwarna, berbau, dan berasa?
JUMLAH
Skor resiko
pencemaran: 89 : Amat Tinggi (AT)
67 : Tinggi (T)
35 : Sedang (S)
02 : Rendah (R)

B. OBSERVASI SARANA AIR BERSIH SUMUR POMPA


No. Diagnosa Khusus Ya Tidak
1. Apakah ada jamban pada radius 10 m di sekitar sumur ?
2. Apakah ada sumur pencemar lain pada radius 10 m di sekitar sumur pompa,
misalnya kotoran hewan, sampah, genangan air, dll ?
3. Apakah ada/sewaktu-waktu ada genangan air pada jarak 2 m di sekitar sumur ?
4. Apakah saluran pembuangan air limbah rusak/tidak ada?
5. Apakah lantai semen yang mengitari sumur pompa mempunyai radius kurang dari
1m?
6. Apakah ada/sewaktu-waktu ada genangan air di atas lantai semen di sekeliling
sumur ?
7. Apakah ada keretakan pada lantai semen di sekeliling sumur pompa?
8. Apakah kualitas fisik air kotor, berwarna, berbau, dan berasa?
9. Apakah pada pipa distribusi ada kebocoran?
10. Apakah kran air kotor dan tidak terawat?
JUMLAH
Skor resiko
pencemaran: 8 10 : Amat Tinggi (AT)
67 : Tinggi (T)
35 : Sedang (S)
02 : Rendah (R)

C. OBSERVASI SARANA AIR BERSIH PDAM


No. Diagnosa Khusus Ya Tidak
1. Apakah kualitas fisik air kotor, berwarna, berbau, dan berasa?
2. Apakah pada pipa distribusi ada kebocoran?
3. Apakah kran air kotor dan tidak terawat?
JUMLAH
Skor resiko
pencemaran: 3 : Tinggi (T)
2 : Sedang (S)
01 : Rendah (R)

D. OBSERVASI PENGGUNAAN JAMBAN


No. Diagnosa Khusus Ya Tidak
1. Apakah jamban yang digunakan adalah jamban cemplung?
2. Apakah jarak antara sumber air minum dengan lubang penampungan kurang dari 10
m? (Pertanyaan hanya untuk responden yang menggunakan sumber air minum dari
sumur)
3. Apakah kondisi jamban yang digunakan berbau dan kotor?
4. Apakah lantai jamban tidak diplester dengan rapat?
Skor tidak memenuhi
syarat: 14 : Tidak memenuhi syarat jamban sehat
0 : Memenuhi syarat jamban sehat

96

You might also like