Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Penyakit diare sampai saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama
kesakitan dan kematian. Hampir di seluruh daerah di dunia dan semua kelompok usia
diserang oleh diare, tetapi kebanyakan yang menjadi sasaran penyakit ini adalah bayi
dan anak balita, dimana mereka mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian diare per tahun,
akan tetapi di beberapa tempat terjadi lebih dari 9 kali kejadian diare per tahun atau
hampir 15-20% waktu hidup anak dihabiskan untuk diare (Soebagyo, 2008).
Menurut World Health Organization (WHO), tidak kurang dari satu milyar
episode diare terjadi setiap tahun di seluruh dunia, 25-35 juta diantaranya terjadi di
Indonesia (Zein, 2001). Di Indonesia, penyakit diare merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama, hal ini disebabkan karena masih tingginya angka
Hal ini dilaporkan terdapat 1,6 sampai 2 kejadian diare per tahun pada balita, sehingga
secara keseluruhan diperkirakan kejadian diare pada balita berkisar antara 40 juta
Menurut Widoyono (2008), pada tahun 2008 jumlah penderita diare pun
meningkat menjadi 8.443 kasus dengan kematian 184 orang dengan CFR sebesar 2,94%.
Lebih tinggi dengan target CFR saat Kejadian Luar Biasa (KLB) yang diharapkan < 1%.
1
Penyakit diare bisa diakibatkan dari beberapa faktor. Menurut Sander (2005),
penyebab terjadinya diare bisa dari kurang memadainya ketersediaan air bersih, airnya
tercemar oleh tinja, kekurangan sarana kebersihan, pembuangan tinja yang tidak
higienis, kebersihan perorangan dan lingkungan yang jelek, serta penyiapan dan
Dari beberapa faktor yang ada, penyakit ini berhubungan langsung dengan
faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan
perilaku manusia yang tidak sehat pula, maka penularan diare dengan mudah dapat
Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu dari 8 kota atau kabupaten di
Provinsi Banten. Penderita diare di Kota Tangerang Selatan sampai pada pertengahan
tahun 2012 mengalami peningkatan 30% dari tahun sebelumnya dengan jumlah yang
tercatat sebanyak 1.861 penderita sepanjang tahun tersebut (Dinkes Tangsel, 2013).
Hal ini dibuktikan dengan adanya rekapan data mengenai 30 besar penyakit per
puskesmas se-Tangerang Selatan tahun 2012 (Dinkes Tangsel, 2013). Dari data tersebut
dengan jumlah kasus sebesar 2.298 kasus diare sepanjang tahun 2012.
diare pada balita sepanjang tahun 2012 sebanyak 206 penderita, sedangkan di tahun
2013, mulai dari bulan Januari sampai Maret, sudah terdapat 33 balita yang terkena
diare. Daerah dengan penderita diare paling banyak adalah Kelurahan Keranggan
dengan jumlah kasus diare pada balita pada tahun 2012 sebanyak 143 penderita. (Profil
Sementara dari hasil pemeriksaan kepemilikan sarana sanitasi dasar dan laporan
PHBS Puskesmas Keranggan tahun 2012 mengenai akses penggunaan air bersih
sebanyak 84,2% (belum diketahui apakah sudah sesuai dengan syarat yang telah
ditetapkan) dan untuk penggunaan jamban, dari 20 kepala keluarga (kk) yang diperiksa,
hanya 15 kepala keluarga yang memiliki jamban dan hanya 5 kepala keluarga yang
memiliki jamban yang sehat. Hal ini menggambarkan bahwa masih banyak penduduk di
wilayah Puskesmas Keranggan yang belum memiliki sarana jamban yang sehat dan
air bersih yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko balitanya untuk
terkena diare akut 1,310 lebih besar dibandingkan dengan penggunaan sarana air bersih
modifikasi lingkungan dapat mengurangi angka kejadian diare sampai dengan 94%.
Pengolahan air yang aman dan penyimpanannya di tingkat rumah tangga dapat
mengurangi angka kejadian diare sebesar 32% dan upaya meningkatkan penyediaan air
bersih dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 25%. Selain itu, melakukan
praktek mencuci tangan yang efektif dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar
45%.
Untuk itulah peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai hubungan sarana
sanitasi air bersih dan perilaku ibu terhadap kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan
di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013.
Diare masih merupakan masalah kesehatan utama pada anak balita, khusunya di
kejadiannya, dimana salah satunya adalah faktor lingkungan dan perilaku. Faktor
lingkungan yang berperan penting salah satunya adalah sarana sanitasi air bersih. Air
bersih merupakan salah satu media penularan diare, dimana jika sanitasi yang tersedia
dan metode pengolahan yang tidak tepat maka potensi menularkan penyakit diare
sangatlah besar. Tidak terkecuali di wilayah Puskesmas Keranggan yang memiliki kasus
Maka dari uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimana hubungan antara sarana sanitasi air bersih dan perilaku ibu terhadap
kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan
diantaranya adalah:
1. Bagaimana gambaran kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di wilayah
3. Bagaimana gambaran perilaku ibu (memasak air, penggunaan jamban, dan perilaku
4. Apakah ada hubungan antara sarana sanitasi air bersih dengan kejadian diare pada
balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota
5. Apakah ada hubungan antara perilaku memasak air dengan kejadian diare pada balita
6. Apakah ada hubungan antara perilaku penggunaan jamban dengan kejadian diare
pada balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu
7. Apakah ada hubungan antara perilaku cuci tangan dengan kejadian diare pada balita
1.4.1 Umum
Untuk mengetahui hubungan antara sarana sanitasi air bersih dan perilaku
ibu terhadap kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di wilayah
tahun 2013
terutama pada balita mengenai hubungan antara sarana sanitasi air bersih dan
perilaku ibu terhadap kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di wilayah
mengenai sarana sanitasi air bersih dan perilaku ibu yang dapat mempengaruhi
kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan, sehingga masyarakat, terutama
sanitasi air bersih dan perilaku ibu terhadap kejadian diare pada balita umur 10-
Selatan.
Kota Tangerang Selatan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari Februari 2014
dengan populasi penelitian adalah balita umur 10-59 bulan yang tinggal di wilayah
hubungan sarana sanitasi air bersih dan perilaku ibu (memasak air, penggunaan jamban,
dan perilaku cuci tangan) terhadap kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan yang
diukur secara bersamaan. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan data primer
dari hasil wawancara terhadap responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner dan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare
A. Pengertian
Diarrhea berasal dari bahasa Greek, yaitu Dia berarti melalui dan rhien
berarti mengalir, istilah diarrhea digunakan untuk menyatakan buang kotoran yang
frekuensi dan jumlah cairannya abnormal. Untuk pengertian diare sendiri adalah
penyakit yang ditandai bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (> 3
kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan atau tanpa darah
Menurut Depkes RI (2000), diare adalah buang air besar lembek atau cair
dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali
atau lebih dalam sehari). Berdasarkan waktu serangannya terbagi menjadi dua, yaitu
diare akut (< 2 minggu) dan diare kronik ( 2 minggu) (Widoyono, 2008).
Sedangkan menurut Widjaja (2002), diare diartikan sebagai buang air encer lebih
dari empat kali sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak.
peringkat pertama di Indonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik
balita, anak-anak, dan orang dewasa. Tetapi penyakit diare berat dengan kematian
yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita (Zubir, 2006).
B. Klasifikasi
1. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang
dari 7 hari). Akibat diare akut adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan
2. Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah
3. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan
metabolisme.
4. Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare (diare akut dan
diare persisten), mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti demam,
a. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang
sebelumnya sehat.
b. Diare kronik, yaitu diare yang berlanjut sampai dua minggu atau lebih dengan
kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama masa diare
tersebut.
C. Etiologi
Faktor infeksi
Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak.
(kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan patogenik,
seperti pseudomonas.
6) Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis, dan radang
tenggorokan, dan
7) Keracunan makanan.
Faktor malabsorpsi
berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut.
Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang
terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak tidak terserap
dengan baik.
Faktor makanan
beracun, terlalu banyak lemak, mentah (seperti sayuran), dan kurang matang.
Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak-
Faktor psikologis
Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan
diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita, umumnya terjadi pada anak
D. Gejala
1) Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun meninggi
4) Anusnya lecet
8) Dehidrasi
Dehidarsi dibagi menjadi 3 macam, yaitu dehidrasi ringan, dehidrasi sedang
dan dehidarsi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang 5%. Jika
cairan yang hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat. Pada dehidrasi berat,
volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah cepat tetapi melemah,
tekanan darah merendah, penderita lemah, kesadaran menurun, dan penderita sangat
pucat.
E. Epidemiologi
oral, antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau
diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4 atau 6 bulan pada
suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan
dengan sabun sesudah buang air besar atau sesudah membuang tinja anak atau
sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan benar.
pada penjamu yang dapat meningkatkan beberapa penyakit dan lamanya diare,
yaitu tidak memberikan ASI sampai dua tahun, kurang gizi, campak,
immunodefisiensi, dan secara proporsional diare lebih banyak terjadi pada
golongan balita.
3) Faktor lingkungan dan perilaku. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit
yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan
pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku manusia.
Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta
berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan
F. Distribusi
diare tersebut terjadi pada anak di bawah usia 2 tahun. Data tahun 2004
menunjukkan bahwa dari sekitar 125 juta anak usia 0-11 bulan dan 450 juta anak
usia 1-4 tahun yang tinggal di negara berkembang, total episode diare pada balita
sekitar 1,4 milyar kali per tahun. Dari jumlah tersebut total episode diare pada bayi
usia di bawah 0-11 bulan sebanyak 475 juta dan anakusia 1-4 tahun sekitar 925 juta
G. Penularan
Penularan penyakit diare disebabkan oleh infeksi dari agen penyebab dimana
penderita diare. Akan tetapi, penularan penyakit diare adalah kontak dengan tinja
(WHO, 2006)
Gambar 2.2 Proses Penularan Penyakit Diare
II
(WHO, 2006)
H. Penanggulangan
pengobatan pada keadaan tertentu misalnya lokasi KLB jauh dari puskesmas atau rumah
sakit.
Tersedianya segala sesuatu yang dibutuhkan oleh penderita pada saat terjadinya
KLB diare.
Kegiatan yang bertujuan untuk pemutusan mata rantai penularan dan pengamatan
Upaya pemutusan rantai penularan penyakit diare pada saat KLB diare meliputi
I. Pencegahan
Diare termasuk penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting
disease). Meskipun demikian, jangan remehkan diare karena dapat mengancam jiwa.
Dua pembunuh terbesar anak-anak balita adalah diare dan radang paru-paru. Diare
umumnya ditularkan melalui 4F, yaitu Food, Feces, Fly, dan Finger. Oleh karena
itu, upaya pencegahan diare yang praktis adalah dengan memutus rantai penularan
tidak terserang diare. Sebab, upaya pencegahan penyakit ini bersumber pada
Ada cara yang mudah untuk mencegah terkena diare, yaitu mencuci tangan
diterapkan secara luas akan menyelamatkan lebih dari satu juta orang di seluruh
Tak kalah penting adalah pemberian ASI minimal 6 bulan. Sebab, di dalam ASI
ASI eksklusif jarang menderita diare. Selain ASI, imunisasi campak ternyata bisa
mencegah diare.
tempat, maka kuman-kuman diare akan masuk ke dalam tubuh orang yang
kebetulan lewat dan menghirup udara sekitarnya ataupun membuang kotoran di
Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal
dari rumah tangga atau hasil proses industri. Sampah-sampah itu dapat
Makanan hendaknya ditutup agar serangga seperti lalat, kecoa atau vektor
karena semakin mahal dan terbatasnya lahan yang tersedia untuk pemukiman.
teratur, kondisi ventilasinya buruk, dan sanitasi lingkungan tidak terlalu baik
menular. Karena itu, berbagai infeksi penyakit sering terjadi pada para penghuni
kawasan kumuh.
karena botol susu yang kurang bersih dan mengandung bakteri yang
menyebabkan sakit perut dan diare atau karena air susu yang sudah tidak layak
lagi dikonsumsi (basi) diberikan oleh ibu atau pengasuh yang kurang teliti.
Maka, hendaklah berhati-hati dalam memberikan makanan kepada bayi dan anak
balita, karena pada bayi dan anak balita keadaan fisiknya belum begitu kuat
Ada 3 tahapan dalam program pemberantasan penyakit diare pada anak, yaitu
diare.
penyakit diare secara kuantitatif di wilayah kerja, yang meliputi target kebutuhan
pada anak), penderita harus segera dibawa ke petugas kesehatan atau sarana
kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat dengan oralit.
b. Zinc
Lebih dari 300 macam enzim dalam tubuh memerlukan zinc sebagai
ini dalam tubuh berkurang. Pada proses inflamasi, kadar radikal bebas
(Black, 2003).
Zinc diberikan pada setiap diare dengan dosis untuk anak berumur
kurang dari 6 bulan diberikan 10 mg (1/2 tablet zinc per hari), sedangkan
untuk anak berumur lebih dari 6 bulan diberikan 20 mg (1 tablet) zinc per
bulan ke depan. Cara pemberian tablet zinc adalah dengan melarutkan tablet
c. Pemberian ASI/makanan
pada penderita, terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh, serta
mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus
lebih sering diberi ASI. Anak yang minum susu formula diberikan lebih
sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah
sedikit demi sedikit tetapi sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan
anak.
pada anak dengan diare berdarah (sebagian besar karena shigellosis), suspek
banyak ditemukan.
e. Pemberian nasihat
Ibu atau keluarga yang berhubungan erat dengan balita harus diberi
nasihat tentang:
lebih sering, muntah berulang, sangat haus, makan atau minum sedikit,
Tujuan tercapainya tata laksana penderita diare yang tepat dan efektif adalah
sebagai berikut:
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari akan menjadi
air minum setelah dimasak terlebih dahulu. Sebagai batasannya, air bersih adalah air
yang memenuhi persyaratan bagi sistem penyediaan air minum. Adapun persyaratan
yang dimaksud adalah persyaratan dari segi kualitas air yang meliputi kualitas fisik,
kimia, biologi, dan radiologis, sehingga apabila dikonsumsi tidak menimbulkan efek
Sarana air bersih adalah bangunan beserta peralatan dan perlengkapannya yang
menyediakan dan mendistribusikan air tersebut kepada masyarakat. Sarana air bersih
harus memenuhi persyaratan kesehatan, agar tidak mengalami pencemaran sehingga
dapat diperoleh kualitas air yang baik sesuai dengan standar kesehatan. Ada berbagai
jenis sarana air bersih yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, seperti sumur gali (SGL), sumur pompa tangan (SPT), perpipaan, dan
penampungan air hujan (PAH). (Depkes RI, 1977 dalam Marjuki, 2008)
Pengertian dari sumur gali adalah salah satu jenis sarana penyediaan air
bersih yang dibuat dengan cara menggali tanah sampai pada kedalaman tertentu
sampai keluar mata airnya. Pernyataan teknis sumur gali dari segi kesehatan
1) Apabila letak sumber pencemaran lebih tinggi dari sumur gali, maka jarak
minimal sumur gali terhadap sumber pencemaran adalah 11 meter, jika letak
sumber pencemaran sama atau lebih rendah dari sumur gali maka jarak
2) Lantai harus kedap air minimal 1 meter dari sumur, tidak retak atau bocor
4) Tinggi bibir sumur minimal 80 cm dari lantai terbuat dari bahan yang kuat
5) Dinding sumur minimal sedalam 3 meter dari permukaan tanah, dibuat dari
lantai.
Sumur pompa tangan terdiri dari sumur pompa tangan dangkal, sedang,
1. Jarak SPT minimal 11 meter dari sumber pencemar, seperti jamban, air
2. Lantai harus kedap air, minimal 1 meter dari sumur, tidak retak/bocor, mudah
5%.
3. Saluran pembuangan air limbah (SPAL) harus kedap air, tidak menimbulkan
4. Pipa penghisap dilindungi dengan casing atau coran rapat air sekurang-
5. Ujung pipa bawah saringan dipasang dop, bagian luar saringan diberi kerikil
sebesar biji jagung yang berukuran kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian
pompa, klep, dan karet penghisap harus bekerja dengan baik agar tidak
memerlukan air pancingan, serta dudukan pompa harus kuat, rapat air, dan
tidak retak.
Perpipaan
2) Pipa yang baik harus tidak melarut dalam air atau tidak mengandung bahan
kimia yang dapat membahayakan kesehatan dan angka kebocoran pipa tidak
lebih dari 5%. Pemasangan pipa tidak boleh terendam dalam air kotor atau air
sungai. Bak penampungan harus rapat air dan tidak dapat dicemari oleh
melalui kran.
Sedangkan untuk kran umum, lantai mudah dibersihkan dan harus kedap
2
air, luas lantai minimal 1m , tidak tergenang air, dan kemiringan lantai 1-5%.
Tinggi kran minimal 50-70 cm dari lantai. Kran umum dilengkapi dengan
saluran pembuangan air limbah (SPAL) rapat air, kemiringan minimal 2%, air
Menurut Mann, H.T (1993), bahan pipa yang biasa digunakan untuk
a. Pipa Baja
Sekarang ini banyak terdapat pipa baja, baik pipa baja hitam maupun yang
6 inchi). Pipa yang disepuh kualitasnya lebih baik, karena tahan terhadap
karat.
b. Pipa Besi
inchi), tetapi pipa besi ini lebih tahan karat dibandingkan dengan baja.
c. Pipa Asbes
Pipa ini mempunyai ukuran yang hampir sama dengan pipa besi, tetapi pipa
d. Pipa PVC
e. Pipa Polythene
merupakan pipa yang paling baik digunakan untuk pipa bor. Mempunyai
sebagai berikut:
a. Talang air yang masuk ke bak PAH harus dapat diatur posisinya agar air
b. Tinggi bak saringan minimal 40 cm, terbuat dari bahan yang kuat dan rapat
c. Pipa peluap (over flow) harus dipasang kawat kassa rapat nyamuk.
d. Tinggi kran dari lantai 50-60 cm, lantai bak pengambilan berfungsi sebagai
resapan dengan susunan batu, pasir setebal minimal 0,6 dari lantai (volume
3
0,6 x 0,6 x 0,6 m ).
e. Kemiringan lantai bak PAH mengarah ke pipa penguras dan mudah
sarana penyediaan air bersih tidak memenuhi syarat dan tidak diare yaitu sebanyak
79 responden (52,7%), hal ini dikarenakan walaupun air yang dikonsumsi tidak
memenuhi syarat penyediaan air bersih namun untuk keperluan minum, responden
terlebih dahulu memasak airnya hingga mendidih dan sebagian besar responden
selalu menampung air untuk keperluan minum dan memasak dalam wadah tertutup
kejadian diare.
penyediaan air bersih memenuhi syarat namun menyebabkan diare. Hal ini
dikarenakan sebagian responden masih ada yang menampung air untuk keperluan
minum dan memasak dalam wadah terbuka dan masih banyak pula yang jarak
jamban keluarga dengan sumber air bersihnya kurang dari 10 meter sehingga besar
b) Perilaku Ibu
Perilaku merupakan cerminan dari sikap, hasil distribusi frekuensi sikap yang
baik atau positif, sikap yang positif maka perilaku yang dilaksanakan kearah positif
atau baik.
individu dan masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor perilaku dan
faktor-faktor di luar perilaku (non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan oleh tiga
faktor; yaitu faktor predisposisi adalah faktor yang mencakup pengetahuan, sikap,
keyakinan, nilai, dan persepsi seseorang atau kelompok untuk bertindak; lalu faktor
pemungkin (enabling factor) yaitu berbagai keterampilan dan sumber daya yang
diperlukan untuk melakukan perilaku kesehatan; dan faktor perilaku yang terakhir
adalah faktor penguat (reinforcing factor) adalah faktor yang menentukan tindakan
kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang
sebagainya.
kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare adalah sebagai berikut:
1. Memasak Air
Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa pengolahan
dan wadah air harus bersih dan tertutup. Air yang tidak dikelola dengan standar
Salah satu bentuk pengolahan air minum rumah tangga yang sederhana dan
2. Penggunaan Jamban
adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus
(2003), suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan, apabila memenuhi
Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat, kecoak, dan binatang-
binatang lainnya
Sederhana desainnya
Murah
besar dan tempat pembuangan akhir tinja yang digunakan keluarga sehari-hari
(MDGs, 2010). Menurut Entjang (2000), macam-macam kakus atau tempat
Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan
atau bata, dan dapat ditembok ataupun tidak agar tidak mudah ambruk. Lama
penuh. Cubluk yang penuh ditimbun dengan tanah. Ditunggu 9-12 bulan.
kembali.
Jamban ini terdiri dari bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai
tinja dalam air kali. Untuk kakus ini, agar berfungsi dengan baik, perlu
Jamban jenis ini merupakan jamban yang paling memenuhi persyaratan. Oleh
sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Pada kakus
ini closetnya berbentuk leher angsa, sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air
ini gunanya sebagai sumbat, sehingga bau busuk dari cubluk tidak tercium di
permukaan (meluap).
Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian dibuang di
tempat lain, misalnya untuk penderita yang tak dapat meninggalkan tempat
tidur. Sistem jamban keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah besar,
umum, misalnya pesawat udara atau kereta api. Dapat pula digunakan dalam
rumah sebagai pembersih tidak dipergunakan air, tetapi dengan kertas (toilet
paper).
yang terbanyak digunakan pada kelompok kasus adalah jenis leher angsa
meningkatkan risiko terjadinya diare pada anak balita sebesar dua kali lipat
Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Zubir (2006) tentang
faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada anak 0-35 bulan (Batita) di
pembuangan tinja mempengaruhi terjadinya diare akut dengan nilai p < 0,05,
(OR) = 1,24.
dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
menyuapi makan anak, dan sesudah makan mempunyai dampak dalam kejadian
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Riki N.P (2013) yang menunjukkan
bahwa ada hubungan antara mencuci tangan dengan sabun sebelum menyuapi
anak makan dengan kejadian diare pada balita dimana nilai p.value = 0,015.
Hasil penelitian Anup K.C. (2012) juga menyatakan bahwa ada hubungan
(menyiapkan makanan, pada saat makan, menyuapi anak, selesai bekerja, dan
melakukan kegiatan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012, ASI (Air Susu Ibu)
eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6
minuman lain.
ASI Eksklusif harus diberikan secara penuh selama 4 sampai 6 bulan. Pada bayi
yang tidak diberi ASI risiko untuk menderita diare lebih besar dari pada bayi
yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih
besar. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai
Hal ini didukung pula dengan hasil penelitian Karki T, dkk (2010) bahwa
memiliki 26,32% terkena diare dengan resiko terkena diare 1,95 kali
campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu segera memberikan anak
campak dalam tubuh bayi usia antara 9 sampai 11 bulan dan pada usia 6 sampai
7 tahun.
Diare sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang sedang
menderita campak, hal ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan tubuh
signifikan antara imunisasi campak dengan kejadian diare pada balita yang tidak
mendapatkan imunisasi campak akan beresiko 5,4 kali terkena diare daripada
yang signifikan antara proses pencucian botol susu dengan kejadian diare pada
balita yang mengkonsumsi susu formula. Hal ini dikarenakan dari hasil
pengamatan selama satu bulan, proses pencucian botol susu yang dilakukan oleh
para ibu hanya sebesar 43% yang memenuhi syarat, sedangkan sisanya masih
kurang benar.
2.3 Kerangka Teori
Berdasarkan teori dan penelitian di atas, maka diperoleh kera
Perilaku Ibu Memasak Air Penggunaan Jamban Kebiasaan Cuci Tangan Pemberian
Pemberian Imunisasi Campak Penggunaan Botol Susu Kejad
Depkes RI (2005), Depkes RI (2008), Zubir (2006), Karti T (2010), Riki N.P (2013),
Anup K.C (2012), dan Olyfta A. (2010)
BAB III
HIPOTESIS
Kerangka konsep pada penelitian ini mengacu pada modifikasi teori dan
penelitian dari Septian Bumolo (2012), Notoatmodjo (2003), Depkes RI (2005), Depkes
RI (2008), Zubir (2006), Karti T (2010), Riki N.P (2013), Anup K.C (2012), dan Olyfta
A. (2010). Berdasarkan teori dan penelitian yang ada, faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya diare pada balita, yaitu sarana air bersih dan perilaku ibu seperti memasak air,
Pada penelitian ini terdapat beberapa variabel yang tidak diteliti, yaitu variabel
penggunaan botol susu, variabel pemberian ASI eksklusif dan variabel pemberian
imunisasi campak. Hal ini dikarenakan peneliti hanya ingin meneliti variabel-variabel
Kerangka konsep terdiri dari variabel terikat (dependen) dan variabel bebas
(independen). Pada penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah sarana
sanitasi air bersih dan perilaku pengguna ibu, yaitu memasak air, penggunaan jamban,
dan kebiasaan cuci tangan, sedangkan variabel dependen yaitu kejadian diare pada
balita.
Hubungan antara variabel dependen dan variabel independen tersebut dap
Penggunaan Jamban
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
3.2 Definisi Operasional
mencret-mencret, 3
kali sehari, dan bentuk
kotoran seperti biasa
Variabel Definisi Cara Alat Ukur Hasil Skala
Independent Ukur
40
Sarana Sanitasi Air Bangunan beserta peralatan dan Wawancara & Wawancara 1. Tidak memenuhi syarat Ordinal
Bersih perlengkapannya yang menyediakan dan Observasi & Lembar kesehatan, jika skor yang
41
mendistribusikan air bersih yang memenuhi Observasi didapatkan dari hasil
syarat kesehatan observasi pada masing-
masing SAB adalah:
SGL: 6
SP: 6
PDAM: 2
2. Memenuhi syarat
kesehatan, jika skor yang
didapatkan dari hasil
observasi pada masing-
masing SAB adalah:
SGL: 5
SP: 5
PDAM: 1
Perilaku Pengguna Air Bersih
Memasak Air Proses mematikan mikroorganisme (virus, Wawancara Kuesioner 1. Tidak, jika tidak memasak Ordinal
bakteri, spora bakteri, jamur protozoa) air sampai mendidih
penyebab penyakit dengan cara pemanasan sebelum dikonsumsi
sampai mendidih 2. Ya, jika memasak air
sampai mendidih sebelum
dikonsumsi
Penggunaan Jamban Sarana atau tempat untuk buang air besar dan Wawancara & Wawancara 1. Tidak memenuhi syarat Ordinal
tempat pembuangan akhir tinja yang Observasi & Lembar jamban sehat, jika skor
memenuhi syarat jamban sehat, contohnya Obsservasi yang didapatkan dari hasil
jamban leher angsa observasi adalah 1
2. Memenuhi syarat jamban
sehat, jika menggunakan
jamban leher angsa dan
skor yang didapatkan dari
hasil observasi adalah 0
Kebiasaan Cuci Kebiasaan yang berhubungan dengan Wawancara Kuesioner 1. Tidak, jika tidak mencuci Ordinal
Tangan kebersihan perorangan untuk mencuci tangan tangan dengan sabun
dengan sabun sebelum atau sesudah sebelum/sesudah
melakukan kegiatan melakukan kegiatan
2. Ya, jika mencuci tangan
dengan sabun
sebelum/sesudah
melakukan kegiatan
3.3 Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara sarana sanitasi air bersih dengan kejadian diare pada balita
2. Ada hubungan antara perilaku memasak air dengan kejadian diare pada balita
3. Ada hubungan antara perilaku penggunaan jamban dengan kejadian diare pada
balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota
4. Ada hubungan antara perilaku kebiasaan cuci tangan dengan kejadian diare pada
balita umur 10-59 bulan di wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota
43
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
cross sectional, dimana variabel independen dan variabel dependen diamati pada waktu
yang bersamaan (satu waktu). Desain ini digunakan karena mudah dilaksanakan,
sederhana, menghemat waktu, dan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat (Notoatmodjo,
2010).
Variabel Independen dalam penelitian ini adalah sarana sanitasi air bersih dan
perilaku ibu yang terdiri dari memasak air, penggunaan jamban, dan kebiasaan cuci
Kota Tangerang Selatan dan untuk waktu penelitiannya dilaksanakan pada bulan Januari
- Februari 2014.
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita usia 1059 bulan yang
Selatan.
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah balita umur 10-59 bulan, sedangkan
digunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi karena untuk mengetahui
Keterangan:
tertentu
tertentu
Z1-/2 : derajat kemaknaan, pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5 % =
1.96
jumlah sampel minimal sebanyak 45 responden, karena besar sampel yang digunakan adalah uji hipo
tangan tidak memenuhi syarat dengan kejadian diare dan P2 = proporsi
desain umum yang digunakan dalam cluster random sampling berkisar 2 dan
Keranggan Kademangan
T T
eratai eratai
M M K F D M C B A P S A M K M C A
a a e l a e e e s r a n a e e e s
w t n a h l m r t o k g w n l m o
a a a m l a p i e t u g a a a p k
r rh r yb i t a
a
n
i r io r r
k r n t a a
ia i aon a i k g
n t na a e g i k
a a
Bagan 4.1
Sampling Frame Posyandu Dalam Penentuan Posyandu Sebagai Lokasi Penelitian
Keranggan Kademangan
15 15 15 15 15 15
Bagan 4.2
Sampling Frame Sampel Dalam Penentuan Sampel Penelitian
Instrumen Penelitian
Kuesioner yang akan digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji coba. Dari
hasil uji coba, kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada
jamban.
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa
a. Data Primer
mengenai sarana sanitasi air bersih dan perilaku ibu terhadap kejadian
diare.
jamban.
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti hasil penelitian
Dalam proses pengolahan data, ada beberapa kegiatan yang dilakukan peneliti,
yaitu:
kuesioner apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah lengkap, jelas, relevan, dan
konsekuen.
2. Coding, merupakan kegiatan untuk merubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka/bilangan.
Bersih kesehatan
Ya,
[2]
Penggunaan Jamban Tidak memenuhi syarat Memenu
jamban sehat hi
syarat jamban [1]
sehat
[2]
Kebiasaan Cuci Tidak [1]
Tangan Ya [2]
3. Processing, pemprosesan dilakukan dengan cara mengentri data dari kuesioner ke
4. Cleaning, merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entri, apakah
5. Manajemen data, proses memanipulasi atau merubah bentuk data dari bentuk
6. Analisis data, proses pengolahan data serta menyusun hasil yang akan dilaporkan.
(Depkes, 2004)
1. Analisis Univariat
masing variabel, baik variabel bebas (sarana sanitasi air bersih dan perilaku ibu),
variable terikat (kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan) maupun deskripsi
karakteristik responden.
kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut
Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Syarat uji chi
square antara lain jumlah sampel harus cukup besar, pengamatan harus bersifat
independen, dan hanya dapat digunakan pada data deskrit atau data kontinyu yang
95%:
a) Jika nilai P-value > (0,05), maka hipotesis penelitian (Ha) ditolak.
HASIL PENELITIAN
Setu memiliki 3 Puskesmas, yaitu Puskesmas Setu, Puskesmas Bakti Jaya, dan
adalah 217 Ha dengan jumlah penduduk sebesar 6.229 jiwa dengan 17 RT dan 6 RW.
Jadi, luas wilayah Puskesmas Keranggan secara keseluruhan adalah 539 Ha,
2
sedangkan bangunan Puskesmas berada di atas tanah seluas 1.000 m dan jumlah
Kecamatan Setu, bagian barat Kota Tangerang Selatan. Adapun batas wilayah kerja
balita umur 10-59 bulan, sarana air bersih, memasak air, penggunaan jamban, dan
Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Umur di Wilayah Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
rata-rata umur responden adalah 29 tahun dengan standar deviasi 6,11. Umur
tahun.
Tabel 5.2
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di Wilayah Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
(12,2%).
Tabel 5.3
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Wilayah
Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun
2013
banyak ibu memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 69
Hasil penelitian mengenai kejadian diare pada balita diperoleh dari wawancara
kepada responden. Variabel kejadian diare pada balita dikategorikan menjadi dua,
yaitu diare dan tidak diare. Adapun hasil yang diperoleh mengenai kejadian diare
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Kejadian Diare Pada Balita Umur 10-59 Bulan di
Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.4, dari hasil analisis gambaran kejadian diare pada balita
diperoleh bahwa dari 90 balita, 32 balita (35,6%) mengalami diare dan 58 balita
(64,4%) tidak mengalami diare. Dari tabel tersebut terlihat bahwa lebih banyak
Variabel sarana sanitasi air bersih merupakan salah satu variabel yang dapat
mempengaruhi kejadian diare pada balita. Di bawah ini akan dijelaskan gambaran
distribusi sarana sanitasi air bersih yang digunakan responden untuk keperluan
Tabel 5.5
Distribusi Balita Menurut Sarana Sanitasi Air Bersih yang Digunakan di
Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013
menggunakan sarana air bersih sumur gali (6,7%) dan 3 responden menggunakan
Sedangkan, kondisi sarana air bersih dalam penelitian ini merupakan kondisi
Tabel 5.6
Distribusi Balita Menurut Kondisi Sarana Sanitasi Air Bersih di Wilayah
Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6, diketahui bahwa kondisi sarana
yang tidak memenuhi syarat, sedangkan 48 (53,3%) sarana yang memenuhi syarat.
Variabel memasak air merupakan salah satu bentuk pengolahan air minum
yang umum dilakukan oleh masyarakat. Di bawah ini akan dijelaskan sumber air
Tabel 5.7
Distribusi Balita Menurut Sumber Air Minum di Wilayah Puskesmas Keranggan
Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.7, sumber air minum yang paling banyak digunakan
responden adalah air dari sumur pompa sebanyak 46 (51,1%). Selain itu, dapat
menggunakan air minum yang bersumber dari sumur gali (3,3%) dan PDAM
(3,3%), dan 38 responden yang menggunakan air minum yang bersumber dari air
Tabel 5.8
Distribusi Sumber Air Minum Sumur Pompa dan Air Isi Ulang (Galon) di
Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang
balitanya mengalami diare adalah yang menggunakan air isi ulang (galon). Dari 29
dikonsumsi.
Tabel 5.10
Distribusi Jenis Jamban yang Digunakan Responden di Wilayah Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.11, pada variabel di atas, jamban yang tidak memenuhi
Variabel kebiasaan cuci tangan merupakan salah satu variabel yang dapat
mempengaruhi kejadian diare pada balita. Adapun hasil yang diperoleh mengenai
perilaku kebiasaan cuci tangan dapat dilihat dari tabel 5.12 berikut ini:
Tabel 5.12
Distribusi Balita Menurut Kebiasaan Cuci Tangan di Wilayah Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
2
independen dengan variabel dependen dengan uji statistik berupa chi-square (X ).
sehingga dapat diketahui nilai P-value dimana untuk penelitian cross sectional, nilai P-
value menunjukkan hubungan variabel independen (sarana sanitasi air bersih, memasak
air, penggunaan jamban, dan kebiasaan cuci tangan) terhadap variabel dependen
5.3.1 Hubungan Sarana Sanitasi Air Bersih dengan Kejadian Diare pada Balita
Hasil pengujian statistik antara variabel sarana sanitasi air bersih dengan
kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan
Tabel 5.13
Analisis Hubungan antara Sarana Sanitasi Air Bersih dengan Kejadian Diare
Pada Balita Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan
Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
Dari tabel 5.15 diketahui responden dengan kondisi sarana sanitasi air bersih
yang tidak memenuhi syarat dan mengalami kejadian diare pada balitanya
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sarana
sanitasi air bersih dengan kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah
5.3.2 Hubungan Perilaku Memasak Air dengan Kejadian Diare Pada Balita
Hasil uji statistik antara variabel memasak air dengan kejadian diare pada
balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota
Tabel 5.14
Analisis Hubungan antara Perilaku Memasak Air dengan Kejadian Diare
Pada Balita Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan
Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
artinya pada 5% tidak ada hubungan antara perilaku memasak air dengan
kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan
5.3.3 Hubungan Perilaku Penggunaan Jamban dengan Kejadian Diare Pada Balita
diare pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan
Tabel 5.15
Analisis Hubungan antara Perilaku Penggunaan Jamban dengan Kejadian
Diare Pada Balita Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan
Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
Dari tabel 5.17 diketahui responden dengan kondisi jamban yang tidak
(20,6%).
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara penggunaan
jamban dengan kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013, karena nilai P-
5.3.4 Hubungan Perilaku Kebiasaan Cuci Tangan dengan Kejadian Diare Pada
Balita
Hasil uji statistik antara variabel kebiasaan cuci tangan dengan kejadian diare
pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu
Tabel 5.16
Analisis Hubungan antara Perilaku Kebiasaan Cuci Tangan dengan Kejadian
Diare Pada Balita Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan
Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
PEMBAHASAN
1. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain studi cross sectional. Dalam
sebab akibat. Meskipun demikian, desain ini dipilih karena paling sesuai dengan
2. Secara teoritis terdapat banyak faktor yang berhubungan dengan kejadian diare.
Namun, karena keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti, maka peneliti hanya
kejadian diare, yaitu sarana sanitasi air bersih, perilaku memasak air, perilaku
dari sisi lingkungan, sehingga masih terdapat variabel-variabel lain yang belum
diare. Menurut Widoyono (2008), terdapat beberapa gejala dan tanda untuk
menentukan penyakit diare, sehingga memerlukan diagnosa dari dokter. Namun
dikarenakan keterbatasan biaya dan waktu penelitian, akhirnya penelitian ini hanya
penyakit diare menurut Departemen Kesehatan RI. Walaupun begitu, kuesioner ini
telah digunakan pada penelitian sebelumnya yang telah diuji secara statistik.
5. Adanya kebiasan terdapat pada saat observasi sarana air bersih dan keadaan jamban
yang digunakan responden dikarenakan peneliti tidak didampingi oleh orang yang
lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair),
dengan atau tanpa darah atau lendir (Suraatmaja, 2007). Sedangkan menurut Depkes RI
(2000), diare adalah buang air besar lembek atau cair dapat berupa air saja yang
frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari).
Berdasarkan waktu serangannya terbagi menjadi dua, yaitu diare akut (< 2 minggu) dan
Kejadian diare dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan kuesioner yang
karena itu, bias informasi mungkin terjadi pada saat dilakukan wawancara. Bias pada
saat menjawab pertanyaan dari pewawancara dikarenakan responden pada penelitian ini
sulit mengingat dengan tepat kapan terjadi diare pada balitanya. Selain itu, kejadian
diare hanya diukur menggunakan instrumen dari kuesioner berdasarkan pengertian diare.
Padahal terdapat gejala-gejala klinis untuk penentuan penyakit diare yang didiagnosa
oleh dokter.
Dari hasil penelitian yang terdapat pada tabel 5.4 diketahui bahwa sebagian besar
balita umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota
Tangerang Selatan tidak mengalami diare, yaitu sebesar 64,4% dari 90 responden. Hal
ini sejalan dengan penelitian Wulandari (2009) yang mendapatkan hasil penelitian
bahwa balita yang tidak mengalami kejadian diare lebih banyak dibandingkan dengan
balita yang mengalami kejadian diare sebesar 54,3%. Selain itu, hasil penelitian Karki
(2010) sebesar 78,77% responden yang diteliti tidak mengalami kejadian diare.
tidak mengalami kejadian diare, apabila tidak ditangani secara serius oleh petugas
penyakati diare ke daerah lain. Untuk itu petugas kesehatan setempat dalam
Langkah Tuntaskan diare) yang ditujukan bagi penderita diare yang bertujuan utuk
makanan selama dan sesudah diare serta memperpendek lamanya sakit dan mencegah
penularan melalui penyuluhan mengenai air bersih, cara mencuci tangan yang benar,
6.3 Hubungan antara Sarana Sanitasi Air Bersih yang Digunakan dengan
masyarakat. Sarana air bersih harus memenuhi persyaratan kesehatan, agar tidak
mengalami pencemaran sehingga dapat diperoleh kualitas air yang baik sesuai dengan
standar kesehatan. Sarana sanitasi air bersih meliputi sarana yang digunakan,
persyaratan konstruksi, dan jarak minimal dengan sumber pencemar. Hasil penelitian
pada tabel 5.6 menunjukkan sebagian besar responden memiliki kondisi sarana sanitasi
air bersih yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 48 responden (53,3%) dan responden
dengan kondisi sarana sanitasi air bersih yang tidak memenuhi syarat sebanyak 42
responden (46,7%).
mengalami kejadian diare pada balitanya adalah balita dengan presentase kondisi sarana
sanitasi air bersih yang tidak memenuhi syarat, yaitu sebanyak 19 responden (45,2%).
Sedangkan balita dengan presentase kondisi sarana sanitasi air bersih yang memenuhi
syarat dan menderita diare hanya sebanyak 13 responden (27,1%). Hasil analisis bivariat
menunjukkan nilai P-value sebesar 0,082 artinya pada 5% tidak ada hubungan yang
signifikan antara sarana sanitasi air bersih dengan kejadian diare pada balita umur 10-59
bulan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Riki N.P (2013) pada balita di
tidak ada hubungan bermakna antara sarana sanitasi air bersih dengan kejadian diare
pada balita.
Selain itu, hasil penelitian Septian Bumulo (2012) juga menunjukkan bahwa
responden yang sarana penyediaan air bersih tidak memenuhi syarat dan tidak diare
yaitu sebanyak 79 responden (52,7%), hal ini dikarenakan walaupun air yang
dikonsumsi tidak memenuhi syarat penyediaan air bersih namun untuk keperluan
minum, responden terlebih dahulu memasak airnya hingga mendidih dan sebagian besar
responden selalu menampung air untuk keperluan minum dan memasak dalam wadah
kejadian diare.
Sarana sanitasi air bersih harus memenuhi persyaratan kesehatan, agar tidak
mengalami pencemaran sehingga dapat diperoleh kualitas air yang baik sesuai dengan
standar kesehatan. Menurut Depkes RI (1977) dalam Marjuki (2008), setiap sarana
sanitasi air bersih memiliki masing-masing persyaratan yang berbeda-beda, tetapi dari
setiap persyaratan yang ada, syarat utama yang harus diperhatikan adalah jarak antara
sumber air bersih dengan tempat pembuangan tinja (septic tank) tidak boleh kurang dari
10 meter. Hal ini agar sumber air bersih yang digunakan tidak terkontaminasi oleh
kotoran tinja yang mengandung banyak bakteri dan cacing yang dapat menyebabkan
penyakit diare.
Menurut Depkes RI (1995), salah satu upaya untuk mengetahui kualitas sarana
penyediaan air bersih diantaranya dengan cara melakukan pengawasan atau inspeksi
terhadap kualitas sumber air. Tujuan inspeksi ini adalah untuk mengidentifikasi sumber-
6.4 Hubungan antara Memasak Air dengan Kejadian Diare pada Balita Umur 10-
Selatan
Memasak air dalam penelitian ini merupakan salah satu perilaku pengolahan air
minum yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat umum. Berdasarkan hasil
penelitian ini, diketahui bahwa hampir sebagian responden (62,2%) memasak airnya
Dari hasil analisis chi square menunjukkan bahwa 35,3% responden yang tidak
memasak airnya sampai mendidih memiliki balita yang mengalami kejadian diare,
sedangkan 64,3% responden yang memasak airnya sampai mendidih. Berdasarkan hasil
analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku
memasak air dengan kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan dengan nilai P-value
sebesar 1,000.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rosa (2011) pada balita di
Puskesmas Cipayung Kota Depok yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara pengolahan air minum rumah tangga dengan kejadian diare pada balita.
Menurut Direktur Jenderal P2PL (2008), Air untuk minum harus diolah terlebih
dahulu dan wadah air harus bersih dan tertutup. Air yang tidak dikelola dengan standar
pengelolaan air minum rumah tangga (PAM-RT) dapat menimbulkan penyakit. Salah
satu bentuk pengolahan air minum rumah tangga yang sederhana dan sering digunakan
(virus, bakteri, spora bakteri, jamur protozoa) penyebab penyakit dengan cara
Memasak air merupakan cara paling baik untuk proses purifikasi air di rumah.
Agar proses purifikasi menjadi lebih efektif, maka air dibiarkan mendidih antara 5-10
menit. Hal tersebut bertujuan agar semua kuman, spora, kista, dan telur mati sehingga air
bersifat steril. Selain itu, proses pendidihan juga dapat mengurangi kesadahan karena
dalam proses pendidihan terjadi penguapan CO2 dan pengendapan CaCO3 (Chandra,
2007).
Tidak adanya hubungan yang bermakna antara pengolahan air minum dengan
kejadian diare dapat disebabkan karena sebagian besar responden yang tidak mengolah
air minumnya dengan cara memasaknya sampai mendidih adalah responden yang
mengonsumsi air jenis air minum isi ulang (galon). Walaupun masyarakat yang
menggunakan air isi ulang (galon) tidak memasak airnya terlebih dahulu, pada depot air
minum isi ulang (galon) telah dilakukan proses pengolahan air minum menggunakan
Walaupun demikian, pada tabel silang 5.8 mengenai persentase kejadian diare
pada responden yang menggunakan sumber air dari sumur pompa dan air isi ulang
(galon) didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden yang menggunakan air isi
ulang (galon) mengalami kejadian diare pada balitanya. Terdapat 15 responden (39,5%)
yang menggunakan air minum isi ulang (galon) dan balitanya mengalami kejadian diare
meskipun air isi ulang (galon) sebelum dikonsumsi oleh masyarakat telah melewati
berbagai proses di depot AMIU (Air Minum Isi Ulang), masyarakat juga perlu
melakukan pencegahan dengan memasak air terlebih dahulu. Menurut Titik Wahyudjati,
mengkonsumsi air minum isi ulang yang berumur lebih dari 2 jam harus dimasak
terlebih dahulu, hal tersebut merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap penyakit
yang mungkin timbul akibat air yang tidak sehat (Sandra, 2007).
6.5 Hubungan antara Penggunaan Jamban dengan Kejadian Diare pada Balita
Tangerang Selatan
terhadap penyakit diare. Jamban adalah tempat pembuangan kotoran manusia adalah
semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari
dalam tubuh (Notoatmodjo, 2007). Jenis jamban yang banyak digunakan oleh
masyarakat adalah jamban leher angsa, karena jamban jenis ini merupakan jamban yang
Dari hasil analisis chi square menunjukkan bahwa 44,6% responden yang
jambannya tidak memenuhi syarat memiliki balita yang diare, sedangkan 79,4%
responden yang jambannya memenuhi syarat. Berdasarkan hasil analisis bivariat
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku penggunaan jamban
dengan kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan dengan nilai P-value sebesar 0,024.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Septian Bumolo (2012) pada balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Pilolodaa Kecamatan Kota Barat Kota Gorontalo yang
menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan jamban keluarga
pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko
terjadinya diare pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan keluarga
yaitu jamban cemplung, jamban air, jamban leher angsa, jamban bor, jamban keranjang,
jamban parit, jamban empang, dan chemical toilet. Tetapi, hanya jenis jamban leher
angsa yang sesuai dengan jenis jamban sehat dan memenuhi persyaratan. Dan saat ini
kebanyakan jenis jamban yang digunakan oleh masyarakat adalah jamban leher angsa.
Pada penelitian ini, jenis jamban dibedakan menjadi jenis jamban empang dan
jenis jamban leher angsa. Jenis jamban empang adalah jenis jamban seperti rumah-
rumahan yang dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan sebagainya. Kerugiannya
mengotori air permukaan sehingga bibit penyakit yang terdapat di dalamnya dapat
tersebar kemana-mana dengan air yang dapat menimbulkan wabah. Sedangkan jamban
leher angsa merupakan jamban yang paling memenuhi persyaratan. Oleh sebab itu cara
pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Pada kakus ini closetnya berbentuk
leher angsa, sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air ini gunanya sebagai sumbat,
sehingga bau busuk dari cubluk tidak tercium di ruangan rumah kakus. Menurut Sukarni
(2003) jamban leher angsa memiliki keuntungan antara lain aman untuk anak-anak dan
di wilayah Puskesmas Keranggan, terutama di sekitar Posyandu Mawar masih ada yang
menggunakan jenis jamban empang, karena di sekitar rumah mereka masih terdapat
empang dan juga sungai, serta hampir semua responden juga sudah menggunakan
jamban leher angsa. Jadi dari 15 responden di sekitar Posyandu Mawar terdapat 6
responden yang masih menggunakan jamban empang. Jenis jamban empang ini letaknya
ada yang disamping rumah, di belakang rumah warga, dan sungai. kebanyakan dari
Bila dilihat dari perilaku responden, masih ada sebagian responden yang tidak
membuang tinja balita dengan benar (kotoran dibuang ke jamban). Kebanyakan dari
mereka membuang tinja balitanya ke kebun dan tempat sampah. Hal ini dikarenakan
tinja balita dibuang bersamaan dengan pampers yang dipakai, tapi ada sebagian
responden yang membuang kotoran balitanya ke jamban, lalu mencuci pampersnya, baru
kemudian dibuang. Mereka juga beranggapan bahwa tinja balita tidak berbahaya.
Padahal menurut Depkes (2000), tinja balita juga berbahaya karena mengandung virus
atau bakteri dalam jumlah besar. Tinja balita juga dapat menularkan penyakit pada balita
dan berkembang biak. Lalu, berperan dalam penularan penyakit melalui tinja
(faecal
borne disease), lalat senang menempatkan telurnya pada kotoran manusia yang terbuka,
kemudian lalat tersebut hinggap di kotoran manusia dan hinggap pada makanan
manusia.
6.6 Hubungan antara Kebiasaan Cuci Tangan dengan Kejadian Diare pada Balita
Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota
Tangerang Selatan
penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama
sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyuapi makan anak,
dan sesudah makan mempunyai dampak dalam kejadian diare (Depkes, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa 49 responden (54,4%) tidak mencuci
Dari hasil analisis chi square menunjukkan bahwa 44,9% responden yang tidak
yang mengalami kejadian diare, sedangkan 75,6% responden yang mencuci tangannya
mengalami kejadian diare. Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara perilaku kebiasaan cuci tangan dengan sabun
sebelum/sesudah melakukan kegiatannya kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan
Nawalparasi (Nepal) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
perilaku mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatan dengan
kejadian diare pada balita dimana nilai P-value yang didapat sebesar 0,002.
Kebiasaan cuci tangan merupakan salah satu perilaku yang berhubungan dengan
kebersihan dan berperan penting dalam pemindahan kuman diare. Kurangnya kesadaran
akan kebersihan pada setiap orang menyebabkan kasus diare meluas. Budaya cuci
tangan dengan sabun sebelum atau sesudah melakukan kegiatan merupakan sarana
Tangan yang mengandung kuman penyakit jika tidak dibersihkan dengan benar
dapat menjadi media masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh manusia, baik melalui
kontak langsung dengan mulut ataupun kontak dengan makanan dan minuman. Hal ini
juga mengaku membiasakan anak mereka untuk mencuci tangan sebelum makan.
Namun, banyak dari para responden yang jarang mencuci tangan dan hanya mengelap
tangan mereka ke pakaian mereka atau lap jika dirasa kotor dan adapun mereka mencuci
tangan tetapi jarang yang menggunakan sabun. Karena para responden merasa jika
sudah mencuci atau membilas tangan menggunakan air dirasa sudah bersih.
Salah satu pencegahan diare yang dibuat pemerintah salah satunya adalah PHBS
(Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dimana didalamnya terdapat perilaku mencuci tangan
menggunakan sabun. Upaya mudah dan murah ini akan menghindarkan manusia dari
sejumlah penyakit menular yang dapat secara langsung terpapar pada tubuh manusia,
7.1 Kesimpulan
Hasil penelitian tentang kejadian diare pada balita seperti yang sudah diuraikan
tahun, dimana umur yang termuda adalah 18 tahun sedangkan umur ibu tertua adalah
42 tahun.
responden (44,4%).
3) Distribusi jenis pekerjaan responden terbanyak adalah sebagai ibu rumah tangga
4) Gambaran kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan diperoleh bahwa 32 balita
(35,6%) mengalami diare dan 58 balita (64,4%) tidak mengalami diare, maka
disimpulkan bahwa lebih banyak responden yang balitanya tidak mengalami diare.
bahwa sebagian besar responden menggunakan sarana sumur pompa (81 orang atau
90%). Kemudian kondisi sarana sanitasi air bersihnya sebanyak 42 sarana (46,7%)
yang tidak memenuhi syarat, sedangkan ada 48 (53,3%) sarana yang memenuhi
syarat.
sumur pompa sebanyak 46 orang (51,1%) dan yang menggunakan air isi ulang
(galon) sebanyak 38 orang (42,2%). Dari kedua sumber air minum, pengguna air
isi ulang (galon) lah yang sebagian besar balitanya mengalami diare. Kemudian
Jenis jamban yang paling banyak digunakan responden adalah jenis jamban leher
angsa sebanyak 84 orang (93,3%). Dan kondisi jamban yang tidak memenuhi
7) Tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel sarana sanitasi air bersih dan
perilaku memasak air terhadap kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di
2013.
8) Ada hubungan yang bermakna antara variabel penggunaan jamban dan kebiasaan
cuci tangan terhadap kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di Wilayah
kesehatan lingkungan dan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) kepada
3) Perlu adanya kerjasama dan komunikasi yang kuat antara pihak puskesmas
pada balita dengan perhitungan sampel yang sesuai dengan desain penelitian,
agar kekuatan tes lebih baik sebagai validasi kebutuhan analisis bivariat.
Amiruddin R. 2007. Current Issue Kematian Anak Karena Penyakit Diare (Skripsi).
Universitas Hasanuddin Makassar
Anup K.C. 2012. A Descriptive Study On Water Sanitation Hygiene and Diarrhoeal
Morbidity Among Under Five Years Children at Community LED Total
Sanitation Elicited Area In Nawalparasi. Department of Public Health, School of
Health and Allied Sciences, Pokhara University, Kaski, Nepal 2012
Anwar, Athena & Anwar Musadad. 2009. Pengaruh Akses Penyediaan Air Bersih
Terhadap Kejadian Diare Pada Balita. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 8, No. 2,
Juni 2009: 953-963
Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel Penelitian Kesehatan. Depok: Jurusan
Biostatistika dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia
Basyir, M. 2007. Hubungan Penyediaan Air Bersih dan Sarana Sanitasi Dengan
Kejadian Diare Tahun 2006. Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Skripsi. Depok: UI
Bintoro, Bhakti Rochman Tri. 2010. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Dengan
Kejadian Diare Pada Balita di Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar.
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan. Skripsi.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Black MM. 2003. The Evidence Linking Zinc Deficiency With Childrens Cognitive and
Motor Functioning. J Nutr. 133 (5 Suppl 1) 14735-65
Budiarto, E. 2001. Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC
Bumulo, Septian. 2012. Hubungan Sarana Penyediaan Air Bersih dan Jenis Jamban
Keluarga Dengan Kejadian Diare Pada Anak Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Pilolodaa Kecamatan Kota Barat Kota Gorontalo Tahun 2012.
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan
Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo
Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta
Cousins, R.J., Liuzzi, J.P. & Lichten, L.A. 2006. Mammalian Zinc Transport,
Trafficking, and Signals, J Biol Chem, Vol. 281, No. 34. Aug 25, pp. 24085-
24089, Issn 0021-9258 (Print) 0021-9258 (Linking)
Depkes RI. 1995. Pelatihan Penyehatan Air, Ditjen PPM & PLP, Jakarta: Depkes RI
Depkes RI. 2000. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta: Depkes RI
Depkes RI. 2004. Masalah Diare dan Penanggulangannya. Biro Hukum dan Hubungan
Masyarakat Depkes RI. Jakarta
Depkes RI. 2005. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta: Depkes RI
Depkes RI. 2008. Pedoman Pengelolaan Promosi Kesehatan Dalam Pencapaian
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jakarta: Depkes RI
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2013. Profil Kesehatan Kota Tangerang
Selatan
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Penyelenggaraan Hygiene Sanitasi Depot Air Minum
Dr. Suririnah. 2011. Diare Mendadak dan Penanganannya. Diakses pada 20 Maret 2011
dari http://www.infoibu.com/tipsinfosehat/diare.htm
Entjang, I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Cetakan Ke XIII. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti
Feliciana V.S.C.W. 2004. Hubungan Sarana Air Bersih, Jamban, dan Sarana
Pembuangan Air Limbah Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Kabupaten
Tangerang Tahun 2003. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Skripsi. Depok: UI
Hardi, Amin Rahman, Masni, Rahma. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Diare Pada Batita di Wilayah Kerja Puskesmas Baranglompo
Kecamatan Ujung Tanah Tahun 2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Penelitian. Makassar: Universitas Hasanudin.
Hastono, Susanto. 2007. Statistik Kesehatan. Rajawali Press: Jakarta
Iskandar, Komar. 2005. Hubungan Kejadian Diare Pada Balita Dengan Perilaku Hidup
Bersih, Sarana Air Bersih, dan Jamban di Wilayah Puskesmas Kasomalang
Kecamatan Jalan Cagak Kabupaten Subang Bulan Maret Juni Tahun 2005.
Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat. Skripsi.
Depok: UI.
Isnaini, Ustad Ari. 2011. Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Praktik Kesehatan Ibu
Dengan Kejadian Diare Pada Anak Toddler di Desa Jatirejo Kecamatan Sawit
Kabupaten Boyolali. Fakultas Ilmu Kesehatan. Skripsi. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Johar. 2004. Hubungan Jenis Sarana Sumber Air Penduduk dengan Kejadian Diare
Pada Balita di Sekitar TPA SAmpah Kecamatan Bantar Gebang Kota Bekasi.
Skripsi. Universitas Indonesia
Karki T, Srivanichakom S, Chompikul J. 2010. Factors Related To The Occurrence of
Diarrheal Disease Among Under-Five Children in Lalitpur District of Nepal.
Journal of Public Health and Development. Vol. 8 No. 3: 237-51
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990
Tentang Syarat Syarat Kualitas Air Bersih
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002
Tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum
. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Kurniati, Siti Istiana. 2010. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Perilaku Ibu
Dengan Kejadian Diare Pada Anak Balita di Desa Penusupan Kecamatan
Pejawaran Banjarnegara. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu
Kesehatan. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Mann, H.T & Williamson, D. 1993. Water Treatment and Sanitation. Nottingham
Russel Press Ltd
Marjuki, Adikuri Dini. 2008. Hubungan Kualitas Sumber Air Bersih (Inspeksi Sanitasi)
Serta Faktor Risiko Lain Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Puskesmas
Plumbon Kabupaten Cirebon Tahun 2008. Skripsi. Universitas Indonesia
The Millenium Development Goals (MDGs) Report 2010. 2010. United Nations. New
York
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar.
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Nugraheni, Devi. 2012. Hubungan Kondisi Fasilitas Sanitasi Dasar dan Personal
Hygiene Dengan Kejadian Diare di Kecamatan Semarang Utara Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1, No. 2, Tahun 2012: 922-933.
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm
Olyfta, Asny. 2010. Analisis Kejadian Diare Pada Anak Balita di Kelurahan
Tanjungsari Kecamatan Medan Selayang Tahun 2010. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 Tentang Syarat-Syarat dan
Pengawasan Kualitas Air
Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian ASI Eksklusif
Pratama, Riki Nur. 2013. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene
Ibu Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Kelurahan Sumurejo Kecamatan
Gunung Pati Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 2, No. 1,
Tahun 2013. Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm
Primadani, Winda, dkk. 2012. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare
Diduga Akibat Infeksi di Desa Gondosuli Kecamatan Bulu Kabupaten
Temanggung. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1, No. 2, Tahun 2012: 535-541.
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm
Purbasari, Endah. 2009. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu Dalam
Penanganan Awal Diare Pada Balita di Puskesmas Kecamatan Ciputat,
Tangerang Selatan, Banten Pada Bulan September Tahun 2009. Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Laporan
Penelitian. Jakarta: UIN Jakarta
Puskesmas Keranggan. 2012. Profil Pusksesmas Keranggan 2012. Tangerang Selatan:
Puskesmas Keranggan
Ratnawati D, Trisno A.W, Solikhah. 2009. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Akut Pada
Balita di Kabupaten Kulonprogo. Penelitian Skripsi. UNS. Surakarta
Rosa, Syaefty Dewi. 2011. Hubungan Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga dan
Perilaku Sehat Ibu Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Puskesmas Cipayung
Kota Depok Tahun 2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat Peminatan Kebidanan
Komunitas. Skripsi. Depok: UI
Sander, M. A. 2005. Hubungan Faktor Sosio Budaya Dengan Kejadian Diare di Desa
Candinegoro Kecamatan Wonayu Sidoarjo. Jurnal Medika. Vol 2. No 2. Juli-
Desember 2005 : 163-193
Sandra, Christyana. 2007. Hubungan Pengetahuan dan Kebiasaan Konsumen Air
Minum Isi Ulang dengan Penyakit Diare. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 3,
No.2
Santoso. Metode Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data. Diakses pada 21
Januari 2013 dari http://ssantoso.umpo.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/BAB-
III.-METODE-PENGAMBILAN-SAMPEL-DAN-PENGUMPULAN-
DATA.pdf
Soebagyo. 2008. Diare Akut Pada Anak. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press
Soemirat, S.J. 2000. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Bulaksumur.
Yogyakarta
Suraatmaja S. 2007. Kapita Selekta Gastroentrologi. Jakarta: CV. Sagung Seto
Sukarni, Mariati. 2003. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor
Umarotuzuhro. 2011. Studi Deskriptif Upaya Keluarga dalam Pencegahan Terjadinya
Penyakit Diare pada Balita di Desa Brambang RW 01 Kecamatan Karangawen
Kabupaten Demak. Skripsi: Universitas Muhammadiyah Semarang
Umiati, Badar Kirwono, Dwi Astuti. 2010. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan
Dengan Kejadian Diare Pada Balita. Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621, Vol. 3,
No.1, Juni 2010: 41-47
WHO & UNICEF. 2006. Joint Monitoring Programme for Water Supply & Sanitation.
Wibowo T, Soenarto S & Pramono D. 2004. Faktor-Faktor Resiko Kejadian Diare
85
Berdarah Pada Balita di Kabupaten Sleman. Berita Kedokteran Masyarakat.
Vol.20, No.1, Maret 2004: 41-48
86
Widjaja. 2002. Mengatasi Diare dan Keracunan Pada Balita. Jakarta: Kawan Pustaka
Widoyono. 2008. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasan Penyakit
Tropis. Jakarta: Erlangga
Wulandari, Anjar Purwidiana. 2009. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Faktor
Sosiodemografi Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Desa Blimbing
Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen Tahun 2009. Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan. Skripsi. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Yusuf, Muhammad AM. Naufal, 2003. Analisis Data Multivariat: Konsep dan Aplikasi
Regresi Linear Ganda. Modul Terapan. Depok
Zein T.M. 2001. Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Ibu Dalam
Penanggulangan Dini Diare Pada Balita di Kecamatan Baiturrahman Tahun
2000. Jurnal Kesehatan. Vol. 1 No. 1 Agustus 2001: 11-17
Zubir, Juffrie M, dan Wibowo T. 2006. Faktor-Faktor Resiko Kejadian Diare Akut Pada
Anak 0-35 Bulan (BATITA) di Kabupaten Bantul. Sains Kesehatan. Vol 19. No 3.
Juli 2006. ISSN 1411-6197 : 319-332.
Lampiran 1
PENELITIAN
HUBUNGAN SARANA SANITASI AIR BERSIH DAN PERILAKU IBU TERHADAP KEJADIAN
Nama :
Alamat :
Dengan ini menyatakan kesediaannya menjadi responden penelitian yang dilakukan oleh Roya
Selaras Cita, mahasiswi S1 dari Program Studi Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan
Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya-benarnya agar dapat digunakan
sebagaimana mestinya.
Responden
87
( )
88
Lampiran 2
Kode Responden
A. Identitas Anak
No. Pertanyaan Jawaban Kode
1. Nama Anak A1
2. Umur A2
3. Jenis Kelamin A3
B. Identitas Responden
No. Pertanyaan Jawaban Kode
4. Nama Ibu B1
5. Umur B2
6. RT RW No. rumah B3
7. Pendidikan 1. Tidak sekolah B4
2. SD
3. SMP
4. SMA
5. Perguruan tinggi
8. Pekerjaan 1. Ibu rumah tangga B5
2. Karyawan
3. Bidan / Petugas kesehatan
4. Wiraswasta
5. Lain-lain
C. Kejadian Diare
No. Pertanyaan Jawaban Kode
9. Apakah anak balita anda pernah 1. Ya C1
menderita diare dalam kurun 2. Tidak
waktu tiga bulan terakhir? (Lanjut ke pertanyaan no. 13)
10. Apakah anak balita anda dalam 1. Ya C2
satu hari menderita diare lebih 2. Tidak
dari tiga kali?
11. Apakah tinja anak balita anda 1. Ya C3
cair (lembek) dengan atau tanpa 2. Tidak
lendir dan darah?
12. Apa yang anda lakukan bila 1. Dibiarkan saja C4
balita anda terkena diare? 2. Diobati sendiri
3. Dibawa ke Puskesmas/Dokter/Bidan
D. Sarana Air
No. Pertanyaan Jawaban Kode
13. Darimanakah anda memperoleh air 1. Sumur gali D1
bersih untuk kebutuhan sehari-hari? 2. Sumur pompa
3. PDAM
4. Dan lain-lain, sebutkan _
14. Milik siapakah sarana air bersih 1. Milik sendiri D2
tersebut? 2. Milik saudara
3. Milik tetangga
4. Sarana air bersih umum
15. Darimana sumber air minum yang 1. Sumur gali D3
digunakan keluarga sehari-hari? 2. Sumur pompa
3. PDAM
4. Air isi ulang (galon)
16. Untuk keperluan minum apakah Ibu 1. Tidak D5
memasak air sampai mendidih? (Lanjut ke pertanyaan no. 20)
2. Ya
17. Apakah Ibu menampung air yang 1. Tidak D6
telah dimasak di wadah tertutup? 2. Ya
18. Apakah Ibu menguras tempat 1. Tidak D7
penampungan air yang digunakan (Lanjut ke pertanyaan no. 20)
untuk keperluan minum? 2. Ya
(Lanjut ke pertanyaan no. 19)
19. Bila ya, berapa kali Ibu menguras 1. 1-2 kali dalam seminggu D8
tempat penampungan air yang 2. > 2 kali dalam seminggu
digunakan untuk keperluan minum?
20. Berapa jarak antara sumur dengan 1. < 10 m D9
tempat pembuangan tinja? 2. 10 m
E. Penggunaan Jamban
No. Pertanyaan Jawaban Kode
21. Apakah di rumah Ibu 1. Tidak E1
mempunyai jamban? (Lanjut ke pertanyaan no. 23)
2. Ya
(Lanjut ke pertanyaan no. 22)
22. Bila ya, apa jenis jamban di 1. Jamban Cemplung / jamban tanpa E2
rumah Ibu? tangki septic
2. Leher Angsa / jamban dengan tangki
septic
23. Bila tidak, kemana Ibu dan 1. Sungai/kali E3
keluarga buang air besar 2. Kebun/pekarangan
(BAB)? 3. Lain-lain, Sebutkan
24. Apakah Ibu membuang tinja 1. Tidak E4
balita ke jamban? (Lanjut ke pertanyaan no. 25)
2. Ya
(Lanjut ke pertanyaan no 26)
25. Bila tidak, kemana Ibu Sungai/kali
membuang tinja balita? Kebun/pekarangan
Lain-lain, Sebutkan
26. Apakah kondisi jamban selalu 1. Tidak E5
bersih dan bebas vektor (lalat)? 2. Ya
27. Apakah anda membersihkan 1. Tidak E6
jamban? 2. Ya
Berapa kali dalam seminggu?
Beri tanda cheklist () pada kolom sesuai hasil pengamatan dan isi dengan lengkap, bila perlu
96