You are on page 1of 6

A.

MOBILITAS PENDUDUK dan PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA

Mobilitas penduduk merupakan salah satu usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
yaitu yang pertama melalui usaha manusia atau penduduk mencari sesuatu yang baru dikenal atau
dengan istilah innovative migration. Kedua, melalui usaha mempertahankan yang di miliki atau
conservative migration (Pryor, 1975). Target dari usaha tersebut adalah mendapatkan pekerjaan di
daerah tujuan, atau memperoleh akses untuk menikmati hidup yang lebih baik.

Pada umumnya, teori migrasi mempersoalkan faktor-faktor yang mendorong untuk bermigrasi atau
yang mendorong orang untuk mengambil keputusan untuk bermigrasi. Salah satu daya tarik mobilitas
adalah kondisi sosial budaya, yang muncul dan berkembang sebagai akibat dari intervensi manusia
melalui proses pembangunan. Harus di akui bahwa pembangunan selama ini telah mendatangkan
perubahan sosial baik di daerah tujuan maupun di daerah asal dan perubahan tersebut telah banyak
mendorong mobilitas penduduk.

Memang di akui bahwa mobilitas penduduk itu sendiri dapat mendatangkan perubahan sosial baik di
daerah asal maupun di daerah tujuan. Dalam proses mobilitas terjadi kontak dengan lingkungan yang
lain, yang memungkinkan adanya transfer of knowledge dan values pada migran. Migran yang telah
terpengaruh oleh lingkungan yang lain seringkali menjadi pelaku perubahan. Mereka membawa
berbagai pengetahuan dan nilai-nilai baru ke tempat tujuan sehingga mendorong perubahan sosial.
Khusus untuk daerah tujuan, reemittan seringkali merupakan sarana pokok untuk melakukan
perubahan sosial.

Findley (1977) pernah mengungkapkan dampak sosial dari migrasi, dan hal ini tidak dapat di pisahkan
secara jelas dari perubahan ekonomi yang terjadi. Perubahan ini mencakup antara lain perubahan
dalam jaringan, pola dan sikap terhadap hubungan sosial yang ada. Hal ini dapat berkaitan dengan
perubahan peranan dalam keluarga, hubungan dengan orang lain serta tetangga. Sementara itu lipshitz
(1993) mengungkapkan bahwa ada beberapa kemungkinan perubahan sosial yang terjadi sebagai
akibat dari migrasi penduduk baik dari daerah padat penduduknya ke daerah yang masih jarang jarang
penduduknya atau sebaliknya.

Mobilitas secara tidak langsung, cepat atau lambat dapat membawa dampak lanjutan yang cukup luas
pada tingkat individu, daerah maupun nasional. Dalam hal perpindahan dari daerah yang padat ke
daerah yang jarang penduduknya terjadi dua kemungkinan. Pertama, bila yang yang pindah dari
daerah yang padat ke daerah yang masih jarang adalah migran yang memiliki kualitas sumber daya
manusia tinggi maka dalam hal ini akan terjadi apa yang di sebut dengan dispersi penduduk dan
pembangunan. Dalam konteks itu, perpindahan penduduk dari daerah padat ke daerah yang masih
jarang penduduknya bukan hanya merupakan usaha penyebaran penduduk saja, tetapi juga
pembangunan. Migran yang pindah dapat mengurangi beban pembangunan pada daerah asal yang
padat dan sekaligus dapat melakukan perubahan sosial ekonomi pada daerah tujuan.

Kemungkinan kedua, yang pindah dari daerah yang jarang penduduknya ke daerah yang padat adalah
mereka yang berkualitas rendah. Dalam hal ini memang terjadi dispersi penduduk tetapi bukan
dispersi pembangunan atau kegiatan sosial ekonomi. Perpindahan tersebut justru mendatangkan
polarisasi pembangunan pada daerah asal.

Perpindahan penduduk dari daerah yang masih jarang ke daerah yang padat penduduknya berkenaan
dengan kemungkinan ketiga dan keempat. Kemungkinan ketiga berkaitan dengan perpindahan migran
yang berkualitas tinggi sehingga terjadi polarisasi penduduk sekaligus polarisasi pembangunan pada
daerah tujuan yang sudah padat penduduknya. Mereka yang pindah tersebut ikut memberikan
sumbangan terhadap peningkatan konsenstrasi penduduk, juga meningkatkan konsentrasi
pembangunan di daerah tujuan yang telah padat penduduknya.

Kemungkinan keempat berkenaan dengan perpindahan dari migran yang berkulaitas rendah. Dalam
hal ini di daerah tujuan yang sudah padat akan terjadi penambahan konsentrasi penduduk atau
polarisasi penduduk. Oleh karena yang pindah adalah mereka yang berkualitas rendah, maka yang
timbul adalah dispersi pembangunan.

Migrasi dapat juga mengakibatkan berkurangnya tingkat homoginitas atau sebaliknya. Meningkatnya
gejala pluralitas. Daerah dan negara yang homoginitas sifatnya semakin lama semakin berkurang. Hal
ini merupakan kecenderungan pada dua abad terakhir dan akan berlangsung terus di masa mendatang
(Castle,1993). Kecenderungan ini juga akan terjadi di indonesia.

Perubahan sosial budaya dapat juga terwujud dalam berbagai bentuk inovasi dan orientasi nilai-nilai
globalisasi. Para migran yang tersentuh oleh berbagai bentuk inovasi di tempat tjuan seperti DKI
Jakarta akan mengalami perubahan orientasi nilai dalam dirinya. Daerah-daerah tujuan yang telah
modern dapat menulari nilai-nilai globalisasi langsung kepada para migran yang selanjutnya akan di
tularkan ke daerah asalnya. Nilai menghemat, individualistis, orientasi ke masa depan, terus terang
dan sebagainya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisional di desa mungkin akan mendominasi
atau mempengaruhi sikap dan tingkah laku para migran.

Dampak lain yang cukup mencolok di darah perkotaan atau tujuan migran adalah munculnya
kelompok-kelompok yang berasal dari daerah yang sama. Mereka secara berkelompok berkomunikasi
dalam bahasa yang sama, memiliki kelompok solidaritas yang tinggi, saling tolong-menolong
(Soemardjan, 1988). Bentuk kelompok yang paling terkenal adalah paguyuban dimana kelompok
migran tertentu berusaha menciptakan kemudahan untuk bertahan hidup (Sutomo, 1995). Bila hal ini
dilakukan oleh berbagai kelompok etnis yang berada di daerah perkotaan, maka tingkat heterogenitas
di kota semakin tinggi.

B. Gambaran Umum Mobilitas Internasional

1. Mobilitas Penduduk di Negara-negara maju

Mobilitas penduduk di negara-negara maju pada umumnya lebih rendah daripada di


negara-negara sedang berkembang. Menurut Appleyard (1991) sekitar 15 juta orang
memasuki Eropa Barat sebagai pelaku migrasi antara tahun 1980 dan 1992. Banyak negara
Eropa kini-menurut istilah Demitrios Papademitriou-merupakan negeri migrasi yang
penting.

Penduduk asing di negara-negara Masyarakat Eropa di tahun 1990 berjumlah 13 juta


orang, atau 4 persen dari jumlah penduduknya. Angka ini tidak termasuk dari mereka yang
lahir diperantauan yang telah menjadi warga negara melalui naturalisasi. Dari 13 juta itu,
sebesar 8 juta diantaranya datang dari Masyarakat eropa. Lima puluh persen diantaranya
berasal dari Afrika Utara, Turki, dan Yugoslavia (sebelum pecah perang). Presentase
pelaku migrasi dari Asia dan Afrika Sub-Sahara kini meningkat dari keseluruhan jumlah
pelaku migrasi internasional.

Castle (1993) menemukan bahwa di bekas negara Jerman Barat, jumlah penetap asing
telah meningkat dari 4,5 juta orang di tahun 1980 menjadi 5,2 juta orang di tahun 1990.
Jumlah ini mencapai 8,4 persen dari jumlah penduduk Jerman Barat. Angka terbesar
penetap asing luar Masyarakat Eropa terdiri bangsa Turki (1,7 juta orang), Yugoslavia (625
ribu orang) dan Polandia (241 ribu orang).

Di perancis penetap asing mencapai 6,4 persen dari jumlah penduduk di tahun 1990.
Mereka terdiri atas bangsa Aljazair (620 ribu orang), Maroko (585 ribu orang) dan
Portugis (646 ribu orang). Di antara penetap asing tersebut terdapat satu juta lebih pelaku
migrasi yang telah mendapatkan kewarganegaraannya, disamping setengah juta warga
negara Perancis asal wilayah seberang lautan di Afrika, Ksribia, dan di Pasifik.

Jepang sebagai satu-satunya negara dengan perekonomian industri maju yang besar di
kawasan Asia telah menjadi incaran utama bagi migrasi internasional sejak pertengahan
tahun 1980-an, khususnya sejak kebutuhan akan tenaga ker ja asing mulai menurun di
negara-negara penghasil minyak di kawasan teluk.

2. Mobilitas Penduduk di Negara-negara Berkembang

Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi serta kemiskinan yang banyak terdapar di
kota-kota di negara-negara berkembang merupakan salah satu pemicu mobilitas penduduk.
Hal ini juga diperkuat oleh Skeldon (1990) yang menyatakan bahwa perubahan-perubahan
besar dalam pola migrasi yang terjadi di negara-negara ekonomi industri baru (NIES) di
kawasan Asia Timur telah terjadi dengan adanya laju pertumbuhan ekonomi yang terus
meningkat. Percepatan pertumbuhan ekonomi tersebut diiringi oleh suatu lintasan
demografi yang tidak terlalu cepat. Gabungan antara perekonomian yang dinamis dan laju
pertumbuhan angkatan kerja yang lambat ini memberikan implikasi berupa kenaikan upah
serta kekurangan yenaga kerja dalam beberapa sektor.

Shah (1993) menyatakan bahwa di republik Korea upah buruh meningkat sebesar 50
persen selama periode 1987-1992. Ekspor tenaga kerja terutama ke negara-negara arab
penghasil minyak yang mencapai puncaknya di tahun 1982 dengan jumlah 150.000 orang,
turun menjadi 21.000orang di tahun 1988. Singapura pernah menggunakan banyak tenaga
kerja asing dalam usahanya untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja,seperti halnya di
Republik Korea. Laju pertumbuhan angkatan kerja yang lambat telah mengakibatkan
kekurangan tenaga kerja dalam berbagai sektor di Singapura. Belakangan ini terdapat kira-
kira 175.000 tenaga kerja asing yang merupakan 15 persen dari angkatan kerja.

Far East Economic Review (1992) menyatakan bahwa di Asia Selatan dan Iran,
pelaku migrasi merupakan suatu sumber yang penting untuk segala macam kebutuhan di
seluruh kawasan di dunia. Dalam dua tahun terakhir pelaku migrasi dalam jumlah yang
cukup dari anak benua India ke Jepang untuk melakukan pekerjaan dalam bidang
manufaktur dan konstruksi. Jumlah mereka yang lebih kecil telah pula memasuki ikatan
perjanjian kerja di Taiwan dan Republik Korea.

3. Mobilitas Penduduk di Negara-negara Industri Baru

Dinamika mobilitas di negara-negara industri baru menjadi amat penting untuk


diperhatikan mengingat mereka memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi
ekonomi dan kependudukan di Indonesia. dari segi geografis, mereka sama-sama berada di
wilayah Asia Tenggara dan dekat sekali dengan Asia Timur. Selain itu, selama satu dekade
terakhir setelah Indonesia lebih terbuka dalam menerima masuknya modal asing ke dalam
negeri, banyak migran pekerja masuk ke Indonesia dari negara-negara tetangga dan
sebaliknya banyak migran Indonesia masuk ke negara-negara tetangga, terutama Malaysia.

Meskipun pengaruh migrasi pekerja yang masuk dan keluar dari dan ke Indonesia
sampai saat ini masih belum banyak mempengaruhi besar kecilnya dinamika kependudukan
di Indonesia secara total, namun dimasa-masa mendatang diperkirakan fenomena ini akan
memiliki pengaruh yang signifikan seiring dengan perkembangan perekonomian di Indonesia
dan negara-negara tetangganya.

Dalam satu dekade terakhir ini, negara-negara Asia Timur dan Tanggara-yang di
antaranya merupakan negara-negara industri baru-telah banyak menarik berbagai kalangan
pemerhati ekonomi sebagai akibat dari keberhasilan mereka yang begitu spektakuler. Negara-
negara industri baru yang juga dikenal sebagai Macan Asia muncul secara mengejutkan di
balntika dunia sebagai negara-negara yang secara ekonomis perlu diperhitungkan
keberadaannya di antara negara-negara industri yang telah ada. Negara-negara industri baru
itu adalah Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Sementara itu beberapa negara
Asia Tenggara lainnya segera akan menyusul untuk mencapai kedudukan terhormat
tersebut, yaitu di antaranya Thailand dan Malaysia.

Keberhasilan negara-negara industri baru di Asia Timur di bidang perekonomian


menyebabkan terjadinya transisi mobilitas yang berlangsung dalam tempo yang relatif
singkat. Transisi Mobilitas itu meliputi turunnya migrasi netto secara absolut dari negara-
negara tersebut segera setelah terjadinya full employment.

Jepang merupakan contoh klasik. Negara ini merupakan pengirim migran pekerja ke
luar negeri pad aseparuh abad terakhir sampai dengan sepuluh tahun setelah selesainya
perang dunia kedua. Tetapi kemudian, setelah mereka mencapai full employment pada
pertengahan tahun 1969-an, tekanan migrasi pekerja keluar negeri mulai berkurang, dan kini
menjadi negara pengimpor tenaga kerja dari luar negeri.

Republik Korea juga mengalami transisi yang sama seperti Jepang di periode 1980-an, satu
dekade setelah mereka mencapai full employment dan dewasa ini Thailand juga telah
mencapai full employment. Di Thailand memperlihatkan bahwa emigran pekerja-pekerja
Thai yang bekerja diluar negeri ternyata lebih kecil daripada migran pekerja-pekerja dari
negara-negara lain yang masuk ke Thailand.

Pengalaman-pengalaman tersebut memberi kesan bahwa negara-negara yang


sebelumnya merupakan pengirim migran pekerja ke luar negeri, tidak dapat dihindari akan
mencapai titik balik menjadi negara pengimpor migran pekerja dari negara lain segera begitu
negara tersebut telah melalui suatu proses pembangunan ekonomi yang ditandai dengan
terjadinya full employment.
Di Asia, pengalaman-pengalaman migrasi tiap-tiap negara hamper berbeda
karakteristiknya satu dengan lainnya. Dua negara berpenduduk besar, Cina dan India secara
historis merupakan pengirim migran terbesar ke luar negeri. Migrasi keluar dari dua negara
tersebut menciptakan etnis Cina dan India perantauan pada beberapa masyarakat Asia
Tenggara.

Pengalaman jepang yang pernah mengalirkan penduduknya ke Amerika Serikat pada


akhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20, tidak menarik pekerja-pekerja tidak
terampil yang jumlahnya cukup besar (dan illegal) ke dalam negaranya hingga akhir tahun
1980-an lebih dari satu decade setelah perekonomian mereka mencapai taraf full
employment.

Hampir sama dengan pengalaman Jepang, Taiwan meskipun tidak mengirim pekerja
dalam jumlah yang besar ke luar negeri sebelum industrialisasi mereka mencapai tahap
kemajuan yang cepat, tetapi negara ini merupakan suatu negara tujuan yang penting bagi
migran pekerja dari luar negaranya di akhir tahun 1980-an, yaitu satu dekade setelah
terjadinya full employment dan setelah perusahaan-perusahaan mereka mengarahkan
produksinya ke Asia Tenggara dan Cina. Di akhir tahun 1980-an mereka menarik kembali
penduduknya yang pada tahun 1960-an dan 1970-an melakukan studi-studi lanjutan dan
bekerja di luar negeri, khususnya di Amerika Serikat.

Pengalaman Malaysia dan Singapura berbeda dengan Jepang, Taiwan, dan Korea, dua
negara dengan masyarakatnya yang multi etnis ini telah dimasuki oleh pekerja-pekerja yang
tidak terampil dari luar negaranya, bahkan sebelum kedua negara tersebut mencapai taraf
ekonomi full employment. Malaysia menerima sejumlah besar (sebagian besar di antaranya
illegal atau tidak terdaftar) pekerja-pekerja dari luar negeri pada sektor-sektor pertanian dan
perkebunan di tahun 1970-an dan 1980-an, sebelum ekonomi mereka sendiri bebas dari
pekerja-pekerja yang terlatih dan terampil, dan ketika mereka sendiri masih mengirim migran
pekerjanya ke luar negeri.

Di akhir tahun 1960-an pemerintah Singapura masih memberikan kebijaksanaan yang


tidak terlalu ketat dalam penerimaan pekerja tidak terampil dari luar negeri. Ketika itu
mereka mendekati taraf full employment dan tekanan upah nyata belum meningkat. Pada saat
ini, pekerja luar negeri baik yang terampil maupun tidak, merupakan seperenam dari total
pekerja yang ada di Singapura. Proporsi ini merupakan angka terbesar di Asia, kecuali Brunei
Darussalam. Negara-negara lain di Asia seluruhnya merupakan negara pengekspor pekerja,
tetapi dampak ekonomi dari mengalirnya pekerja-pekerja bagi negara pengirim bervariasi.

Sekalipun Bangladesh, Srilanka dan Pakistan telah mengirim ribuan pekerjanya ke


Timur Tengah dan Asia Timur sejak tahun 1970-an dan 1980-an, tetapi sumbangannya
terhadap pembangunan ekonomi dari sejumlah penerimaan yang diperoleh dari pekerja-
pekerja itu dan kiriman uang ke negara mereka jumlahnya relative terbatas.

Berbeda dengan Filipina, pengiriman pekerja-pekerja mereka ke luar negeri justru


dapat membantu perekonomian negara tersebut. Uang yang masuk dari pengiriman pekerja-
pekerja mereka di luar negeri adalah salah satu yang terbesar dari jumlah penerimaan devisa.
Budaya migrasi migran Filipina ini menciptakan pembentukan komunitas migran Filipina di
banyak negara, khususnya di Amerika Serikat.

Pengalaman Thailand tampaknya berbeda dengan Filipina. Thailand selain sebagai


negara pengekspor migran pekerja juga menarik pekerja-pekerja migran tidak terlatih dari
negara-negara tetangganya, seperti Myanmar, Kamboja, dan Vietnam. Hal ini terjadi karena
cepatnya pertumbuhan ekonomi akibat dari kebijakan promosi investasi dari luar negeri dan
jaminan adanya stabilitas ekonomi makronya.

Pengiriman pekerja ke luar negeri dari Thailand ke Timur Tengah di awal 1980-an,
mulai mengalami pergeseran kea rah Asia Timur dan Tenggara di akhir tahun 1980-an.
Namun demikian jumlah pengiriman migran pekerja Thailand ke luar negeri masih jauh lebih
kecil jumlahnya dibandingkan dengan Filipina. Tidak seperti Filipina yang dari segi
perekonomiannya banyak salah urus (mis management), menyebabkan terjadinya hmbatan
pertumbuhan perekonomian mereka. Hal ini pula lah yang mendorong migran pekerja
Filipina mencari kesempatan kerja di luar negeri.

Berbagai kegiatan dari pengalaman-pengalaman migrasi di beberapa negara, mungkin


dapat dijelaskan melalui model transisi migrasinya Field (1994). Ia mengembangkan suatu
kerangka analisis untuk suatu pilihan melakukan migrasi. Migrasi netto merupakan fungsi
dari upah rill, kesempatan kerja, dan daya tarik yang tidak terukur secara moneter di negara-
negara penerima dan pengirim. Menurutnya, suatu negara akan mengalami migrasi keluar
yang lebih besar bila terdapat ekspektasi yang lebih baik secara ekonomi dan non-ekonomis
di luar negerinya.

Ekspektasi ini tercermin dalam pembangunan suatu negara yang dapat menawarkan
lebih banyak kesempatan kerja bagi warga negaranya. Pembangunan ekonomi di negara itu
menjadi lebih menarik bagi pencari kerja dari luar karena banyak perusahaan-perusahaan dari
luar negeri memindahkan produksinya ke negara tersebut meski menggunakan lebih banyak
teknologi yang bersifat labor-saving.

You might also like