You are on page 1of 19

ANALISA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER

DAYA AIR DITINJAU DARI PRINSIP HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

PENDAHULUAN.

Air merupakan salah satu sumber kehidupan mutlak untuk mahkluk hidup.
Ketersediaan dan kebutuhan harus seimbang untuk menjamin keberlanjutan
sumber daya air. Kelebihan air terutama di musim hujan di suatu tempat bisa
menjadi masalah seperti banjir atau longsor. Namun kekurangan air terutama pada
musim kemarau juga menimbulkan masalah, yaitu timbulnya bencana kekeringan.
Keberadaaan, ketersediaan, kebutuhan dan penggunaan sumber daya air
tergantung dari banyak aspek yang saling mempengaruhi saling memberikan
dampak baik yang positif maupun negatif. Sejarah terbitnya Undang-Undang
Sumber Daya Air ini merupakan suatu proses yang cukup panjang. Ada yang pro
maupun ada yang kontra untuk diterbitkan. Isu-isu timbul selama proses
penerbitannya, antara lain privatisasi, ekspor air, peningkatan fungsi ekonomi dan
berkurangnya fungsi sosial yang akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Hal
ini sekaligus membuktikan bahwa air merupakan kepentingan semua pihak (water
is everyone's business).

Air dalam sejarah kehidupan manusia memiliki posisi sentral dan merupakan
jaminan keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi. Air yang
keberadaannya merupakan amanat dan karunia sang Pencipta untuk dimanfaatkan
juga seharusnya dijaga kelestariannya demi kelangsungan hidup manusia itu
sendiri. Maka pengelolaan dan penguasaan dan pemilikan atas sumber-sumber air
seharusnya juga diusahakan bersama. Melihat pentingnya fungsi air bagi kehidupan
dan keberlangsungan manusia dan kesadaran bahwa selamanya air akan menjadi
barang publik karena harus dikuasai bersama tidaklah salah bila para pendiri
Negara ini dalam menyusun Undang-Undang Dasar menetapkan dalam salah satu
pasalnya yaitu pasal 33 UUD 45 yang berisi[1]:
"Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara; Bumi, air, dan segala kekayaan yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat; Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Sementara itu, permasalahan hukum lingkungan hidup yang tumbuh dan


berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi
menjamin kepastian hukum. Di sisi lain, perkembangan sumber daya air akan makin
mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia. Dalam mencermati
perkembangan keadaan tersebut, dipandang perlu untuk menyempurnakan
ketentuan yang mengatur tentang sumber daya air agar sesuai dengan prinsip-
prinsip hukum pengelolaan sumber daya alam.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air harus sesuai dengan
prinsip hukum pengelolaan sumber daya alam yang menyebutkan bahwa
pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-
prinsip[2]:

1. Good governance principle,

2. Subsidiary principle,

3. Equity principle,
4. Priority use principle,

5. Prior appropriation principle,

6. Sustainable development principle,

7. Good sustainable development governance,

8. Principle of participatory development.

SEJARAH PENGATURAN KEBIJAKAN AIR DI INDONESIA.

Sejarah pengaturan kebijakan air di Indonesia selama masa penjajahan Belanda


ditetapkan dalam Algemeen Waterreglament (AMR) di tahun 1936 tentang
peraturan perairan umum. Pada masa itu pemerintah Belanda tidak membebani
masyarakat pengguna air untuk membayar iuran namun hanya ditekankan pada
masalah pemeliharaan bersama. Walaupun pelaksanaan peraturan tersebut lebih
diuntukkan untuk kepentingan penjajah, namun pada masa itu air belum menjadi
komoditas yang bisa diperjualbelikan.

Pada masa orde lama keluarlah Undang-undang Pokok Agraria (yang selanjutnya
populer dengan sebutan UUPA) di tahun 1960. Pengaturan air dalam UUPA dapat
dilihat dalam pasal 1 ayat 2 dan 3. Ayat 2 : " Seluruh bumi, air dan ruang angkasa
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah RI, sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan kekayaan nasional." Ayat 3 : " Hubungan
antar bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk dalam ayat
2 adalah hubungan yang bersifat abadi"[3].

Pada era pemerintahan Sokearno tersebut pemerintah tetap mengakui keberadaan


swasta yang dikelola oleh putra bangsa atau swasta nasional dan dilarang keras
untuk melakukan monopoli. UUPA sendiri secara konsepsi mampu memberikan
pencerahan kepada kehidupan petani karena menjanjikan penataan sumber-sumber
agraria umumnya dan pengelolaan air secara khusus untuk memenuhi kebutuhan di
bidang pertanian. Beberapa kenyataan diatas mengindikasikan bahwa pemanfaatan
air masih seputar untuk mendukung kebijakan pertanian.

Dibawah rezim orde baru konsep "pembangunan" menjadi agenda penting


kebijakan ekonomi pemerintahan Soeharto. Konsep bahwa politik adalah panglima
di masa orde lama digantikan menjadi ekonomi adalah panglima. Keberhasilan
pembangunan di kaitkan dengan kenaikkan GNP (Gross National Product). Di
Indonesia ideologi dan teori pembangunan tersebut dilaksanakan dengan kontrol
yang ketat oleh pemerintah. Kontrol ketat tersebut dimaksudkan supaya
pembangunan yang bertumpu pada bantuan hutang luar negeri dan investasi dari
perusahaan transnasional lainnya dapat berjalan mulus. Karena persyaratan agar
modal dan investasi asing bisa masuk ke Indonesia adalah dengan terjaminya
stabilitas politik dan keamanan disamping tersedianya tenaga buruh murah dan
lemahnya UU lingkungan hidup. Hal tersebut mendorong aktifnya peran swasta
dalam setiap sektor-sektor pembangunan di Indonesia.

Masuknya hutang luar negeri di sektor air dimulai pada periode 1970-an saat
Soeharto mencanangkan program revolusi hijau atau swasembada pangan.
Kebijakan tersebut memang berhasil membawa Indonesia kepada keberhasilan
swasembada beras di tahun 1984, tetapi keberhasilan tersebut harus dibayar mahal
dengan "keharusan" masuknya bisnis swasta ke sektor air karena program
swasembada pangan tersebut dibiayai oleh hutang luar negeri. Hal itu juga yang
mendorong pemerintah mengeluarkan UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan.
Penguasaan negara pemerintah untuk mengelola sendiri persoalan pengelolaan
sumberdaya air ternyata menimbulkan persoalan tersendiri, karena terbukti bahwa
Negara tidak mempunyai sumberdaya yang memadai untuk pengelolaan tersebut.
Maka pemerintah-pun beralih ke paham selanjutnya yaitu meningkatkan peran
serta masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumberdaya air tersebut[4].

Mulai awal tahun 1980-an tampak upaya dilakukan pemerintah untuk mendorong
dan mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya air,
khususnya dalam sektor sub-irigasi dan penyediaan air bersih. Setelah itu pada
dekade 1990-an, upaya menarik minat dan menggandeng swasta dalam sektor
pengairan tampak semakin gencar dilakukan. Upaya penarikan pihak swasta
terhadap pengelolaan SDA tidaklah terlepas dari kebijakan pemerintahan orde baru
waktu itu yang dikendalikan oleh kekuatan modal asing. Kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh Negara semasa orde baru tidak lain bertujuan untuk memuluskan
program pembangunan yang bertumpu pada bantuan dan hutang luar negeri serta
investasi dari perusahaan transnasional lainnya. Kebijakan pemerintah orde baru
menyeret ketergantungan Negara kepada bantuan asing yang selalu meningkat
dalam setiap repelita.

Masa reformasi ternyata belum bisa merubah substansi kebijakan di sektor air, hal
tersebut tidak bisa dilepaskan dengan jeratan hutang yang menimpa bangsa
Indonesia akibat politik "pembangunan" di masa lalu. Hal tersebut tercermin dari
kelahiran UU No. 7 tahun 2004 yang diindikasikan banyak pasalnya yang
melanggengkan usaha privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air. Sebagaimana
telah diketahui pada tanggal 19 Februari 2004, DPR telah mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Sumberdaya Air menjadi undang-undang baru. Undang-undang ini
menggantikan UU No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Kelahiran Undang-Undang
No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air tersebut mendapat banyak tantangan
dari berbagai kalangan. Sebuah undang-undang, yang mengatur pengelolaan air
lebih terpadu, memperhatikan fungsi konservasi, dan menawarkan mekanisme
penyelesaian yang adil atas konflik pemanfaatan air, memang sangat dibutuhkan
tetapi pada kenyataannya Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air tersebut tampak didominasi oleh kepentingan ekonomis, air yang seharusnya
memiliki fungsi sosial dan seharusnya dikuasai dan dikelola bersama karena
bersangkutan dengan hajat hidup orang banyak justru dikomersialisasikan karena
ada pandangan yang melihat bahwa air merupakan komoditas yang memiliki
potensi ekonomi tinggi.

Untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam


Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang
sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan
sebagaimana yang terdapat dalam konsideran Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Republik Indonesia No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam[5].

ANALISA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG


SUMBERDAYA AIR DITINJAU DARI PRINSIP HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA
ALAM.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka berikut dibawah ini akan dikemukakan hasil
analisa ada atau tidak termuat prinsip-prinsip tersebut dalam redaksional pasal atas
Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang ditinjau dari ke-
delapan prinsip hukum pengelolaan sumber daya alam.

1. Good governance principle.

Sesuai dengan konstitusi yang ada, pemerintah yang legitimate diberi


kewenangan untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup sesuai
dengan amanat konstitusi. Dalam hal kewenangan ini, memberikan berbagai
interpretasi dari kalangan lain yang umumnya menterjemahkan bahwa
pemerintahlah yang menguasai sumber-sumber daya alam tersebut, padahal dalam
amanat tersebut pemerintah diberi wewenang untuk mengelola dan hasilnya adalah
semata-mata untuk rakyat Indonesia.

Agar supaya pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilaksanakan guna sebesar-


besarnya kemakmuran rakyat, pemerintah yang dalam hal ini diberi kewenangan
untuk mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup mempunyai kewenangan
untuk memberi hak ekonomi kepada orang atau kelompok. Sehingga dengan
demikian pemerintah tetap dibantu oleh rekan-rekan kerja dari pihak swasta
sebagai stakeholder dan tentunya dengan pengawasan dari pengelola yang dalam
hal ini adalah pemerintah.

Dalam keterkaitannya dengan lingkungan, maka terdapat beberapa kriteria yang


harus dilakukan dalam melaksanakan good governance yang dikatakan sebagai
environmental governance, antara lain[6]:

a. Transparansi.

Adanya rumusan kebijakan yang terkait dengan masalah keterbukaan dan


kerahasiaan informasi. Wajib menyampaikan kebijakan/informasi secara berkala
(contoh pada Laporan Tahunan dan Laporan keuangan) kepada stakeholder dengan
tepat waktu, akurat, objektif, mudah dimengerti, setara dan sesuai dengan kaidah
baku akuntansi, sehingga pihak-pihak yang terkait dapat melihat dan memahami
bagaimana dan atas dasar apa keputusan-kepututusan tertentu dibuat dan
bagaimana suatu perusahaan dikelola.
b. Akuntabilitas.

Adanya sistem pemantauan pelaksanaan fungsi,tugas dan tanggung jawab Dewan


Komisaris, Komisaris Independen, Direksi, Komisi Audit, Komisi Nominasi dan
Remunerasi, Komisaris/Direksi/Manager serta melakukan evaluasi (audit) terhadap
kinerjanya, Fit and Proper Test, Assesment ; Kepastian bahwa kebijakan perusahaan
dan SOP telah dijalankan dengan benar ; Mutasi dan pelatihan pegawai secara
regular, dll.

c. Fairness.

Keadilan dan kesetaraan perlakuan terhadap pihak yang berkepentingan.


Menjunjung tinggi persaingan yang fair, nilai sportifitas dan profesionalisme. Tender
dilakukan secara terbuka dan sesuai prosedur, menetapkan etika kerja dan
pedoman perilaku serta melaksanakan survey tingkat kepuasan.

d. Independent.

Sebuah korporat bebas dari pengaruh atau tekanan pihak lain yang tidak sesuai
dengan mekanisme korporasi. Adakalanya kepentingan politis dari sekelompok atau
sebagian orang yang mencoba mengatasnamakan pemerintah menginterfensi
kebijakan-kebijakan strategis. Untuk itulah fungsi Komisaris dan Komite Audit harus
benar-benar Independen agar fungsi pengawasan berjalan dengan baik.

e. Responsibilitas.
Setiap korporat harus mengimplementasikan Corporate Social Responsibility,
memiliki kepekaan pada stakeholders dan lingkungannya, membangun industri
penunjang, menciptakan dan memelihara nilai tambah produk dan jasa.

Dalam hal ini pada Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
telah termuat ketentuan prisip hukum Good governance principle dalam pasal-
pasalnya, antara lain oleh penulis diketahui Pasal 1 butir 2, pasal 2, pasal 4.

2. Subsidiary principle.

Subsidiaras di dalam manajemen sumber daya air adalah suatu yang jargon
mengacu pada suatu situasi di mana suatu pengambilan keputusan menggerakkan
untuk pemanfaatan sumber alam perlu dan utama pertama, bagi pribadi kepada
pemerintah tingkatan yang paling rendah sebagai suatu otonomi. Jika pemerintah
tingkatan yang paling rendah, sebagai contoh kotamadya, tidak bisa melaksanakan
kemudian diwarisi kepada atasan yang segera, khususnya menyatakan atau
pemerintah provinsi dan akhirnya kepada pemerintah nasional atau yang
pemerintah pusat.

Sama halnya dengan prinsip Good governance principle, prinsip hukum ini juga
telah dimuat seperti yang dijelasakan diatas dalam pasal-pasal Undang-undang No.
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yaitu terdapat dalam pasal-pasal pada Bab
II dan Pasal 53,54,55. Bab ini menjelaskan tentang wewenang dan tanggung jawab
pemerintahan mulai dari tingkat yang rendah hingga ke tingkat pusat.

Pada Bab II UU Sumber Daya Air mengenai Wewenang dan Tanggung Jawab
terutama Pasal 18 ayat 2 menyebutkan bahwa Pemerintah di atasnya dapat
mengambil peran penyelesaian masalah dalam pelaksanaan sebagian wewenang
pengelolaan sumberdaya air oleh pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dan 15 dalam hurup a. Terjadinya bencana alam berskala nasional
yang terkait dengan air; atau

Pasal ini mencoba menegaskan bahwa jika pemerintah daerah tidak dapat
melaksanakan tugasnya dalam hal terjadi bencana alam maka pemerintah yang
diatasnya dapat mengambil alih peran tersebut.

Sementara Pasal 53 menyebutkan kembali soal pencegahan kerusakan dan


bencana akibat daya rusak air antara lain terdapat dalam ayat 4 : Ketentuan
mengenai pencegahan kerusakan dan bencana akibat daya rusak air diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya pada Pasal 54 diatur tentang penanggulangan daya rusak air dengan
cara mitigasi bencana, aktor serta pengaturan lebih lanjut dalam turunan UU ini,
antara lain:

1. Penanggulangan daya rusak air sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 51


ayat (1)dilakukan dengan mitigasi bencana.

2. Penanggulangan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara


terpadu oleh instansiinstansi terkait dan masyarakat melalui badan koordinasi
penanggulangan bencana pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;

3. Badan koordinasi sebagimana dimaksud dalam ayat (2) pada tingkat nasional
ditetapkan oleh Presiden, di tingkat provinsi oleh Gubernur dan di tingkat
kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota.
4. Ketentuan mengenai penanggulangan kerusakan dan atau bencana akibat air
sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal ini mulai berbicara tentang penanganan jika terjadi bencana yang terkait
dengan air.

Sementara itu pada Pasal 55 kembali ditegaskan seperti yang tertuang dalam UU
Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa penanngulangan bencana akibat air yang
berskala nasional menjadi ytanggung jawab pemerintah dan diputuskan dalam
keputusan presiden. Perhatiakan ayat (1) ini : Penanggulangan bencana akibat air
yang berskala nasional menjadi tanggung jawab Pemerintah. (2)Bencana berskala
nasional akibat air ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

3. Priority use principle.

Priority use principle atau prinsip penggunaan prioritas adalah prinsip yang dalam
pelaksaan ketentuan undang-undang haruslah berpedoman kepada kebutuhan
manusia, penting harus mendukung kehidupan manusia. Ketentuan tersebut kita
lihat dalam Pasal 2, 3, 4, 5,21,23,25.

4. Equity principle dan Prior appropriation principle.

Prinsip equity merupakan prinsip yang menjamin hak masyarakat untuk menerima
(share) hasil dari pengelolaan dan pengembangan lingkungan hidup dan sumber
daya alam di lingkungan masyarakat itu sendiri.
Prinsip prior appropriation, adalah prinsip yang memberikan hak kepada
masyarakat sebagai pendahulu (orang pertama) yang pertama kali menempati
suatu wilayah yang mengandung suatu kekayaan sumber daya alam, first in time-
first in right principle.

Pada dasarnya Prior appropriation principle dan Equity principle lebih kurang sama.
Kedua prinsip ini sangat penting untuk dimuat dalam suatu ketentuan yang
mengatur tentang lingkungan hidup. Kedua prinsip ini berkaitan dengan hak
masyarakat (setempat) selaku subjek dari hukum itu sendiri yang baik secara
langsung ataupun tidak langsung mempunyai hak untuk pengelolaan, termasuk
menikmati hasil yang diberikan oleh sumber daya alam (sumber daya air) di tempat
mereka hidup. Oleh karena itu, selain prinsip-prinsip hukum yang lain, kedua prinsip
ini harus menjadi pertimbangan dalam menelorkan suatu aturan tentang
pengelolaan sumber daya air. Ketentuan mengenai prinsip ini dapat kita telaah dala
pasal Pasal 6.

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa penguasaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan
tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa
dengan itu, sepanjangan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumberdaya air tetap
diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan
daerah setempat.
Pasal 6 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.

Bentuk pengakuan hak masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa
tidak diharuskan melalui suatu peraturan daerah karena keberadaan masyarakat
hukum adat sangat tergantung pada suatu komunitas masyarakatnya sendiri.
Namun walau demikian pasal ini sudah cukup mencakup keterwakilan prinsip Equity
dan Prior appropriation principle. Selain pasaltersebut diatas pada Bab XI tentang
hak,kewajiban dan peran serta masyarakat juga mencakup keterwakilan prinsip
Equity dalam UU sumber daya air.

5. Sustainable development principle.

Pemerintah telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap


pengembangan sumber daya air khususnya system pernyediaan air minum. Sejak
akhir 1970an hingga saat ini penyediaan air minum khususnya dengan sistem
perpipaan telah dibangun dan dikembangkan menggunakan berbagai pendekatan
baik yang bersifat sektoral maupun pendekatan keterpaduan dan kewilayahan
(perkotaan dan perdesaan).

Pada awalnya pengembangan system penyediaan air minum (SPAM) banyak


dilakukan oleh pemerintah pusat. Tetapi sejalan dengan upaya desentralisasi
melalui PP No.14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah
bidang Pekerjaan Umum kepada daerah, urusan pembangunan, pemerliharaan dan
pengelolaan prasarana dan sarana air minum diserahkan kepada pemerintah
kabupaten/kota. Meskipun urusan tersebut telah diserahkan, namum pendanaannya
masih dapat dibantu sebagian oleh Pemerintah pusat. Penyerahan urusan
pembangunan, pemerliharaan dan pengelolaan prasarana dan sarana air minum
sebagai wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota tersebut.

Selanjutnya dipertegas dalam Pasal 16 Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang


Sumber Daya Air dan Pasal 40 PP No. 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum dengan rumusan memenuhi kebutuhan air minum
masyarakat di wilayahnya sesuai dengan standar pelayanan minimal yang
ditetapkan.

Hal tersebut diatas jelas menyebutkan UU sumber daya air telah memenuhi prinsip
Sustainable development atau dengan kata lain pengembangan prioritas. Dalam hal
ini pihak terkaiat (pemerintah) berusaha melakukan pengembangan sumber daya
air khusunya system pengembangan air minum tentu nya berdasarkan ketentuan
UU sumber daya air dan peraturan terkait lainnya[7].

Namun dalam selain ketentuan diatas ketentuan UU sumber daya air tidak terdapat
ketentuan yang menerangkan bahwa Pembangunan hanya boleh dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kepentingan generasi
yang akan datang dan poin tentang Sumber alam yang terbatas dalam
penggunaannya, sumber alam bisa mendukung pengintegrasian lingkungan dan
pengembangan. Seharusnya ditambahkan pasal pengaturan mengenai itu, sebagai
contoh:

Pasal
Sasaran pengelolaan sumber daya air adalah :

a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan


lingkungan hidup khususnya sumber daya air

b. terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki


sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;

c. terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;

d. tercapainya kelestarian fungsi air;

e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya air secara bijaksana;

f. terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha


dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau
perusakan sumber daya air.

6. Good sustainable development governance,

Prinsip hukum ini terdapat dalam Pasal 2, seluruh pasal yang terdapat dalam Bab II,
Bab IX tentang pemberdayaan dan pengawasan. Mengenai peradilan mandiri yang
merupakan salah satu tolak ukur dalam prinsip Good sustainable development
governance UU sumber daya air ini telah sesuai dengan prinsip hukum diketahui
dari ketentuan pasalnya dalam Bab XIII tentang penyelesaian sengketa menyatakan
jika kemudian terjadi sengketa dapat Penyelesaian sengketa sumber daya air pada
tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.

Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian di luar
pengadilan atau melalui pengadilan. Upaya penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

7. Principle of participatory development.

Di banyak negara, kendati bumi ini mengalami krisis pasokan air bersih, tapi air
bersih juga dibuka untuk diprivatisasi, komodifikasi, expor dan perdagangan. Ini
disebabkan oleh karena air, dipandang sebagai barang/komoditi (economic goods)
yang dapat diperjualbelikan dan bukan sebagai barang sosial (social goods).
Padahal, air merupakan kebutuhan esensial bagi seluruh mahluk hidup di dunia ini.
Negara harus menjamin akses rakyatnya terhadap air bersih dan air harus
dipandang sebagai barang publik. Karenanya selama ini di kebanyakan negara,
pengelolaan SDA dan pelayanan air bersih biasanya ditangani oleh perusahaan
publik, seperti kalau di Indonesia dikelola oleh PDAM. Dalam hal ini pemerintah turut
serta atau berpartisipasi dalam pengembangan pengelolaan sumber daya air
bersama pihak-pihak lain. Terkait hal demikian dapat di tehui dalam Pasal 14 (f), 15,
16, 82, 83, 84, 39, 70 yang mana ketentuan tersebut penurut saya sesuai dengan
prinsip hukum yang ada yaitu Principle of participatory development.

PENUTUP.
Dari analisis di atas, dapat ditarik suatu simpulan, bahwa prinsip-prinsip hukum
dalam pengelolaan sumber daya alam dapat berpengaruh dan merupakan pedoman
terhadap pembuatan peraturan yang berkaitan dengan lingkungan yang baik.
Dalam hal ini Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air secara
khusus dapat dikatakan telah memenuhi kriteria sebagai mana yang disebutkan
sebagai prinsip hukum pengelolaan sumber daya alam.

Sumber daya alam dikelola dan dikembangkan tidak hanya untuk kebutuhan suatu
masyarakat atau pemerintah saja, akan tetapi semua masyarakat secara
keseluruhan juga berhak menikmati termasuk masyarakat dalam arti generasi
selanjutnya, merupakan suatu yang sangat penting guna kelangsungan hidup
manusia, sebab, jika air tidak lagi dapat dimanfaatkan oleh banyak orang, maka
dapat dipastikan kelangsungan hidup akan terancam. Oleh karena itu, diperlukan
suatu kajian mendalam dalam rangka melakukan pengelolaan dan pengembangan
lingkungan demi kemaslahatan hidup bersama khususnya mengenai sumber daya
air.

DAFTAR PUSTAKA

Adhiprasetyo, 2006, Analisis Pelanggaran Konstitusi UU Sumber Daya Air,


http://adhi-prasetyo.blogspot.com/, Akses Internet Tanggal 11 januari 2010 09.01
AM.

Adi prasetejo, 2009, Good governance dan Pembangunan Berkelanjutan,


http://prasetejo.wordpress.com, Akses Internet Tanggal 11 januari 2010 08.30 PM
Slide Sukanda Husin, SH, LL.M, Hukum Dan Prinsip Hukum, yang di sampaikan pada
Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum UNAND (Universitas Andalas)
Padang angkatan 09 tanggal 03 Januari 2010

Undang-Undang Dasar Republik Inonesia Tahun 1945

Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1987 Tentang Penyerahan Sebagian Urusan


Pemerintah Dibidang Pekerjaan Umum Kepada Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem


Penyediaan Air Minum

[1] Undang-Undang Dasar Republik Inonesia Tahun 1945 Pasal 33 Ayat 2, 3, 4.

[2] Slide Sukanda Husin, SH, LL.M, Hukum Dan Prinsip Hukum, yang di sampaikan
pada Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum UNAND (Universitas
Andalas) Padang angkatan 09 tanggal 03 Januari 2010.

[3] Adhiprasetyo, 2006, Analisis Pelanggaran Konstitusi UU Sumber Daya Air,


http://adhi-prasetyo.blogspot.com/, Akses Internet Tanggal 11 januari 2010 09.01
AM.

[4] Adhiprasetyo, 2006, Ibid.


[5] Adhiprasetyo, 2006, Ibid.

[6] Adi prasetejo, 2009, Good governance dan Pembangunan Berkelanjutan,


http://prasetejo.wordpress.com, Akses Internet Tanggal 11 januari 2010 08.30 PM

[7] Depertemen Pekerjaan Umum, 2005, Rencana Stategi Badan Pendukung


Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum BPP SPAM (Pdf), Akses Internet
Tanggal 12 januari 2010 08.30 PM, Hlm 1-2

You might also like