Professional Documents
Culture Documents
3 . Klasifikasi
1. Fraktur berdasarkan derajat atau luas garis fraktur terbagi menjadi :
a. Fraktur complete : tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen) atau lebih.
b. Fraktur incomplete (parsial). Fraktur parsial terbagi lagi menjadi :
1) Fissure/Crack/Hairline, tulang terputus seluruhnya tetapi masih di tempat, biasa terjadi di
tulang pipih.
2) Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan pada os. radius, ulna, clavikula dan
costae.
3) Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat ke dalam.
2. Berdasarkan garis patah atau konfigurasi tulang:
a. Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-1000 dari sumbu tulang)
b. Oblik, garis patah tulang melintang sumbu tulang (<800 atau >1000 dari sumbu tulang)
c. Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang
d. Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih
e. Comminuted, terdapat dua atau lebih garis fraktur.
3. Berdasarkan hubungan antar fragman fraktur :
a. Undisplace, fragment tulang fraktur masih terdapat pada tempat anatomisnya
b. Displace, fragmen tulang fraktur tidak pada tempat anatomisnya, terbagi atas:
1) Shifted Sideways, menggeser ke samping tapi dekat
2) Angulated, membentuk sudut tertentu
3) Rotated, memutar
4) Distracted, saling menjauh karena ada interposisi
5) Overriding, garis fraktur tumpang tindih
6) Impacted, satu fragmen masuk ke fragmen yang lain.
4. Secara umum berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur dengan dunia
luar, fraktur juga dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Fraktur tertutup, apabila kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh
b. Fraktur terbuka, apabila kulit diatasnya tertembus dan terdapat luka yang menghubungkan
tulang yang fraktur dengan dunia luar yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke
dalam luka sampai ke tulang, terbai atas :
1) Derajat I
a) Luka kurang dari 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
c) Kraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
d) Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
a) Laserasi lebih dari 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
c) Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta
kontaminasi derajat tinggi.
4. Manifestasi klinis
1. Deformitas
2. Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan
keseimbangan dan contur terjadi seperti : rotasi pemendekan tulang, Penekanan tulang
3. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan
yang berdekatan dengan fraktur.
4. Echumosis dan perdarahan subculaneus
5. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
6. Tendernes atau keempuka
7. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan
struktur di daerah yang berdekatan.
8. Kehilangan sensasi (Mati rasa, munkin terjadi dari rusaknya saraf atau perdarahan).
9. Pergerakan abnormal
10. Syock hipovolemik dari hilangnya hasil darah.
11. Krepitasi
5. Pemeriksaan diagnostik
1. Foto Rontgen : Untuk mengetahui lokasi, tipe fraktur dan garis fraktur secara
langsung. Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses
penyembuhan secara periodik
2. Skor tulang tomography, skor C1, MRI : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun.
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera
hati.
6. Penatalaksanaan
1. Rekognasi
Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovascular ekstremitas. Karena
itu begitu diketahui kemungkinan fraktur tulang panjang, maka ekstremitas yang cedera harus
dipasang bidai untuk melindunginya dari kerusakan.
2. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan
bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
a. Skin Traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plester
langsung pada kulit dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b. Skeletal traksi adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi
panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang.
3. Reduksi
a. Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
b. Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
4. Imobilisasi Fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi
dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna.
7. Perawatan Perioperatif
1. Perawatan Pre Operasi:
a. Persiapan Pre Operasi:
1) Pasien sebaiknya tiba di ruang operasi dengan daerah yang akan di operasi sudah
dibersihkan (di cukur dan personal hygiene)
2) Kateterisasi
3) Puasa mulai tengah malam sebelum operasi esok paginya (pada spinal anestesi dianjurkan
untuk makan terlebih dahulu)
4) Informed Consent
5) Pendidikan Kesehatan mengenai tindakan yang dilakukan di meja operasi
2. Perawatan intra Operasi:
a. Menerima Pasien dan memeriksa kembali persiapan pasien
b. Identitas pasien
c. Surat persetujuan operasi
d. Pemeriksaan laboratorium darah, rontgen, EKG.
e. Mengganti baju pasien
f. Menilai KU dan TTV
g. Memberikan Pre Medikasi : Mengecek nama pasien sebelum memberikan obat dan
memberikan obat pre medikasi.
h. Mendorong pasien kekamar tindakan sesuai jenis kasus pembedahan
i. Perawatan dilakukan sejak memindahkan pasien ke meja operasi samapai selesai
8. Komplikasi
1. Dini
a. Compartement syndrome : Merupakan komlikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Tekanan intracompartement dapat
dibuka langsung dengan cara whitesides. Penanganan: dalam waktu kurang 12 jam harus
dilakukan fascioterapi.
b. Infeksi : Pada trauma orthopedic infeksi di mulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi juga bisa karena penggunaan bahan
lain dalam pembedahan seperti pin dan plat
c. Avaskuler nekrosis : Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ketulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans
Ischemia
d. Shock : karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi.
e. Kekakuan sendi: Hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama. Pada
persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak, hal ini dapat diatasi dengan
fisiotherapi .
1. Pengkajian
1. Identitas Pasien
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri pada daerah Fraktur, Kondisi fisik yang lemah, tidak bisa melakukan banyak aktivitas,
mual, muntah, dan nafsu makan menurun, (Brunner & suddarth, 2002)
b. Riwayat Penyakit dahulu
Ada tidaknya riwayat DM pada masa lalu yang akan mempengaruhi proses perawatan post
operasi, (Sjamsuhidayat & Wim Dejong)
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Fraktur bukan merupakan penyakit keturunan akan tetapi adanya riwayat keluarga dengan DM
perlu di perhatikan karena dapat mempengaruhi perawatan post operasi
2. Pola Kebiasan
a. Pola Nutrisi : Tidak mengalami perubahan, namun beberapa kondisi dapat menyebabkan
pola nutrisi berubah, seperti nyeri yang hebat, dampak hospitalisasi
b. Pola Eliminasi : Pasien dapat mengalami gangguan eliminasi BAB seperti konstipasi dan
gangguan eliminasi urine akibat adanya program eliminasi
c. Pola Istirahat : Kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami perubahan yang
berarti, namun ada beberapa kondisi dapat menyebabkan pola istirahat terganggu atau berubah
seperti timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitali
d. Pola Aktivitas : Hampir seluruh aktivitas dilakukan ditempat tidur sehingga aktivitas pasien
harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang sifatnya ringan pasien masih dapat
melakukannya sendiri, (Doenges, 2000)
e. Personal Hygiene : Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus ada
bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien ditempat tidur.
f. Riwayat Psikologis : Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas, selain itu dapat juga terjadi
ganggguan konsep diri body image, psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih dalam
perawatan dirumah sakit.
g. Riwayat Spiritual : Pada pasien post operasi fraktur tibia riwayat spiritualnya tidak
mengalami gangguan yang berarti
h. Riwayat Sosial : Adanya ketergantungan pada orang lain dan sebaliknya pasien dapat juga
menarik diri dari lingkungannya karena merasa dirinya tidak berguna
i. Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan setelah riwayat kesehatan
dikumpulkan, pemeriksaan fisik yang lengkap biasanya dimulai secara berurutan dari kepala
sampai kejari kaki.
3. Inspeksi : Pengamatan lokasi pembengkakan, kulit pucat, laserasi, kemerahan mungkin
timbul pada area terjadinya faktur adanya spasme otot dan keadaan kulit.
4. Palpasi : Pemeriksaan dengan perabaan, penolakan otot oleh sentuhan kita adalah nyeri
tekan, lepas dan sampai batas mana daerah yang sakit biasanya terdapat nyeri tekan pada area
fraktur dan di daerah luka insisi.
5. Perkusi : Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasus fraktur.
6. Auskultasi ; Pemeriksaan dengan cara mendengarkan gerakan udara melalui struktur
berongga atau cairan yang mengakibatkan struktur solit bergerak. Pada pasien fraktur
pemeriksaan ini pada areal yang sakit jarang dilakukan, (Brunner & Suddarth, 2002)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang dapat ditemukan pada klien pasca operasi ortopedi adalah sebagai
berikut.
1. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan imobilisasi.
2. Risiko perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang
mengikat, gangguan peredaran darah.
3. Perubahan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan kehilangan kemandirian.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan,
adanya alat imobilisasi (misal bidai, traksi, gips).
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya prosedur invasive.
3. Rencana Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan pada klien postoperatif ortopedi disusun seperti berikut :
1. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan imobilisasi.
Tujuan nyeri berkurang atau hilang dengan
Kriteria Hasil :
1. Klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang
2. Meninggikan ekstremitas untuk mengontrol pembengkakan dan ketidaknyamanan.
3. Bergerak dengan lebih nyaman
Intervensi :
a. Lakukan pengkajian nyeri meliputi skala, intensitas, dan jenis nyeri.
R/ Untuk mengetahui karakteristik nyeri agar dapat menentukan diagnosa selanjutnya.
b. Kaji adanya edema, hematom, dan spasme otot.
R/ Adanya edema, hematom dan spasme otot menunjukkan adanya penyebab nyeri
c. Tinggikan ekstremitas yang sakit.
R/ Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri.
d. Berikan kompres dingin (es).
R/ Menurunkan edema dan pembentukan hematom
e. Ajarkan klien teknik relaksasi, seperti distraksi, dan imajinasi terpimpin.
R/ Menghilangkan atau mengurangi nyeri secara non farmakologis
2. Risiko perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang
mengikat, gangguan peredaran darah.
Tujuan tidak terjadi kerusakan / pembengkakan
Kriteria hasil :
1. Klien memperlihatkan perfusi jaringan yang adekuat:
2. Warna kulit normal dan hangat.
3. Respons pengisian kapiler normal (crt 3 detik).
Intervensi :
a. Kaji status neurovaskular (misal warna kulit, suhu, pengisian kapiler, denyut nadi, nyeri,
edema, parestesi, gerakan).
R/ Untuk menentukan intervensi selanjutnya
b. Tinggikan ekstremitas yang sakit.
R/ Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri
c. Balutan yang ketat harus dilonggarkan.
R/ Untuk memperlancar peredaran darah.
d. Anjurkan klien untuk melakukan pengeseran otot, latihan pergelangan kaki, dan
"pemompaan" betis setiap jam untuk memperbaiki peredaran darah.
R/ Latihan ringan sesuai indikasi untuk mencegah kelemahan otot dan memperlancar peredaran
darah
4. Evaluasi
1. Nyeri berkurang sampai dengan hilang
2. Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan perifer
3. Pemeliharaan kesehatan terjaga dengan baik
4. Dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri.
5. Tidak terjadi perubahan konsep diri; citra diri, harga diri dan peran diri
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Sylvia Price. 2001. Pathofisiologi Konsep Klinisk Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC.
Doengoes, Marylinn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
FKUI.
Muttaqin, Arif. 2005. Ringkasan Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskletal. Edisi 1.