You are on page 1of 33

1.

KECENDRUNGAN UNMETNEED DI INDONESIA

Kehamilan tidak diinginkan dan kehamilan tidak tepat waktu (mistimed pregnancy) dapat
dikategorikan sebagai kasus unmet need (kebutuhan KB tidak terpenuhi) apabila sebelum terjadinya
kehamilan, seorang wanita menikah tidak menggunakan kontrasepsi. Kebutuhan KB tidak
terpenuhi (unmet need) adalah kondisi yang dapat terjadi pada wanita menikah dalam usia
reproduksi. Seorang wanita yang tidak ingin hamil namun tidak mau memakai kontrasepsi
termasuk dalam kategori kebutuhan KB tidak terpenuhi (unmet need). Beberapa faktor yang
diperkirakan berpengaruh terhadap unmet, antara lain umur, pendidikan, jumlah anak masih hidup,
sikap suami terhadap KB, pernah pakai KB, aktivitas ekonomi dan indeks kesejahteraan hidup.

Analisis dengan menggunakan rasio kecenderungan (odd ratio) berdasarkan regresi faktor.
Pada masing-masing faktor karakteristik diambil satu kelompok yang digunakan sebagai kategori
referensi dengan nilai odd ratio atau rasio kecenderungan sebesar 1,00. Data yang digunakan
adalah data hasil Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 untuk tingkat
nasional. Studi tentang unmet need unit analisisnya adalah wanita menikah usia 15-49 tahun

Pada umumnya (50 persen) dari wanita menikah di Indonesia berkeinginan untuk tidak
mempunyai anak lagi. Persentase wanita menikah yang berkeinginan untuk tidak mempunyai anak
lagi, lebih tinggi di daerah perdesaan (5 persen) daripada di perkotaan (2,1 persen). Hasil analisis
studi unmet need, di wilayah perdesaan, hampir semua kategori pada setiap variabel, dengan tingkat
signifikan 0,001, 1 persen dan 5 persen, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan, kecuali
variabel pendidikan untuk kategori Tidak Tamat dan Tamat SD dan variabel aktivitas ekonomi.
Sementara itu, rasio kecenderungan dari variabel jumlah anak masih hidup menunjukkan bahwa
semakin banyak jumlah anak masih hidup yang dimiliki maka semakin tinggi pula kecenderungan
terjadinya unmet need. Demikian pula untuk variable pendidikan pada tingkat pendidikan lebih
tinggi, maka kecenderungan terjadinya unmet need semakin tinggi pula. Sebaliknya, untuk variabel
umur, semakin tinggi umur maka kecenderungan terjadinya unmet need semakin kecil. Demikian
pula bagi wanita menikah yang pernah pakai KB, suaminya setuju KB, dan indeks kekayaan kuantil
berada pada ranking menengah, menengah atas dan teratas, memiliki kecenderungan lebih kecil
untuk terjadinya kasus unmet need dibandingkan wanita menikah yang tidak pernah pakai KB,
suaminya tidak setuju KB, dan indeks kekayaan kuantil berada pada ranking terbawah dan,
menengah bawah . Di wilayah perkotaan, pada kasus unmet need, hampir semua kategori pada
masing-masing variabel demografi, KB, dan sosio-ekonomi berpengaruh secara signifikan dengan
tingkat signifikan 0,001, 1 persen dan 5 persen. Studi menunjukkan bahwa di perkotaan, wanita
menikah umur 25 tahun memiliki kecenderungan unmet need lebih kecil dibandingkan umur 24
tahun.. Sebaliknya, sama dengan di perdesaan, semakin banyak jumlah anak masih hidup yang
dimiliki wanita menikah di perkotaan semakin besar pula kecenderungan terjadinya kasus unmet
need. Demikian pula untuk wanita menikah yang pernah pakai KB, suami setuju KB, dan wanita
menikah dengan indeks kekayaan kuantil berada pada ranking menengah, menengah atas dan
teratas, memiliki kecenderungan lebih kecil untuk terjadinya kasus unmet need dibandingkan
wanita menikah yang tidak pernah pakai KB, suami tidak setuju KB, dan indeks kekayaan kuantil
berada pada ranking terbawah dan menengah bawah. Sementara itu, untuk variabel aktivitas
ekonomi, yang berpengaruh sangat signifikan, kecenderungan unmet need lebih tinggi pada wanita
menikah yang tidak bekerja dibandingkan yang bekerja.

Sumber :
Dewi Prihastuti dkk, Analisis Lanjut SDKI 2002-2003, Kecenderungan Prefernsi Fertilitas, Unmetneed dan
Kehamilan Tidak Diharpkan di Idnonesia, BKKBN, 2004

1
2. KECENDRUNGAN UNINTENDED PREGNANCY DI INDONESIA

Upaya peningkatan kualitas program Keluarga Berencana salah satunya ditujukan untuk
menurunkan jumlah kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy). Kehamilan tidak
diinginkan (unwanted pregnancy) dan kehamilan tidak tepat waktu (mistimed pregnancy) dapat
dikategorikan sebagai kasus unmet need (kebutuhan KB tidak terpenuhi) apabila sebelum terjadinya
kehamilan, seorang wanita menikah tidak menggunakan kontrasepsi. Analisis dengan
menggunakan rasio kecenderungan (odd ratio) berdasarkan regresi faktor. Data yang digunakan
adalah data hasil Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003. Studi tentang
unintended pregnancy adalah wanita menikah usia 15-49 tahun yang hamil pada saat survai
(current pregnant).

Unintended pregnancy, menunjukkan bahwa di wilayah perkotaan, variabel yang


berasosiasi atau berhubungan secara signifikan dengan tingkat signifikan 0,001, 1 persen dan 5
persen antara lain variabel umur kategori umur 30-39 tahun dan variabel anak masih hidup untuk
semua kategori. Ini artinya adanya perbedaan kategori umur 24 tahun dan umur 30-39 tahun,
berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya unintended pregnancy. Sebaliknya, variabel yang
tidak berhubungan secara signifikan atau dengan kata lain, adanya perbedaan kategori pada variabel
tersebut tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan, antara lain variabel aktivitas
ekonomi ibu hamil, alasan berhenti / ganti alat kontrasepsi, variabel pernah pakai KB, variabel
umur dengan kategori umur 40-49 tahun dan umur 25-29 tahun. Di wilayah perdesaan, variabel
yang berasosiasi atau berhubungan sangat signifikan dengan tingkat signifikan 0,001, 1 persen dan
5 persen antara lain variabel umur untuk kategori umur 25-29 tahun dan umur 30-39 tahun dan
variabel pernah pakai KB. Selain itu, variabel anak masih hidup untuk kategori 3-4 anak masih
hidup, dan 5 atau lebih anak masih hidup. Untuk variabel jumlah anak masih hidup dengan kategori
2 anak masih hidup dan variabel alasan berhenti / ganti alkon, masing-masing mempunyai nilai
signifikan 0,08, dan variabel aktivitas ekonomi ibu hamil dengan tinagkat signifikan 15 persen.
Variabel yang tidak berhubungan secara signifikan atau dengan kata lain, adanya perbedaan
kategori pada variabel tersebut tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan, antara lain
variabel indeks kekayaan kuantil, variabel pendidikan untuk semua kategori, variabel umur kategori
umur 40-49 tahun. Selanjutnya, menurut hasil studi tentang unintended pregnancy di wilayah
perkotaan, berkaitan dengan variabel yang berhubungan secara signifikan menunjukkan bahwa (1)
ada kecenderungan yang semakin tinggi untuk terjadinya kasus unintended pregnancy sejalan
dengan semakin banyaknya jumlah anak masih hidup yang dimiliki; (2) Variabel umur pada
kategori umur 30-39 tahun memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk terjadinya unintended
pregnancy dibandingkan umur 24 tahun; (3) semakin tinggi pendidikan ibu hamil di perkotaan,
semakin kecil kecenderungan untuk terjadinya unintended pregnancy; (4) pada variabel indeks
kekayaan kuantil kategori menengah, menengah atas dan teratas, memiliki kecenderungan lebih
kecil untuk terjadinya unintended pregnancy dibandingkan kategori terbawah dan menengah
bawah. Di perdesaan, hasil analisis studi unintended pregnancy untuk variabel yang berhubungan
secara signifikan menunjukkan bahwa (1) ada kecenderungan semakin banyak jumlah anak yang
dimiliki maka semakin besar pula kecenderungan terjadinya unintended pregnancy (2) pada
variabel umur, ada kecenderungan semakin tinggi umur semakin tinggi pula kecenderungan
terjadinya unintended pregnancy. Variabel-variabel lain yang berhubungan secara signifikan adalah
pernah pakai KB. Hasil analisis studi menunjukkan bahwa ibu hamil yang pernah pakai KB
memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk terjadinya unintended pregnancy.

Sumber :
Dewi Prihastuti dkk, Analisis Lanjut SDKI 2002-2003, Kecenderungan Prefernsi Fertilitas, Unmetneed dan
Kehamilan Tidak Diharpkan di Idnonesia, BKKBN, 2004

2
3.FAKTOR PENENTU FERTILITAS

Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 menunjukkan bahwa
tingkat fertilitas Indonesia adalah 2,6 anak per wanita. Tingkat fertilitas Indonesia terus mengalami
penurunan dengan laju penurunan yang terus melambat. Pada 10 tahun terakhir, tingkat fertilitas
hanya turun sebesar 29 persen (hasil Sensus Penduduk 1990 dan Sensus Penduduk 2000). Data
SDKI menunjukkan penurunan yang lebih lambat, yaitu 14 persen dalam kurun waktu 10 tahun
(SDKI 1991 dan SDKI 2002-2003). Melambatnya kecepatan penurunan tingkat fertilitas ini
kemungkinan berhubungan dengan sudah rendahnya tingkat fertilitas yang sudah dicapai akhir-
akhir ini. Di sisi lain, terjadi pergeseran puncak angka fertilitas menurut umur (Age Specific
Fertility Rate/ASFR) dari kelompok umur 20-24 tahun menjadi kelompok umur 25-29 tahun sejak
tahun 1997. Pergeseran puncak ASFR ini mengindikasikan telah terjadinya kenaikan umur
perkawinan yang berhubungan dengan peningkatan tingkat pendidikan wanita dan selanjutnya
berakibat pada kenaikan umur persalinan pertama.

Tingkat fertilitas dan rata-rata paritas wanita yang pernah memakai/sedang memakai
alat/cara KB lebih tinggi dari pada wanita yang tidak pernah/tidak sedang memakai alat/cara KB.
Daerah tempat tinggal mempunyai pengaruh pada tingkat fertilitas dan rata-rata paritas, wanita
yang bertempat tinggal di daerah perkotaan mempunyai tingkat fertilitas dan rata-rata paritas lebih
rendah dari wanita daerah perdesaan. Pendidikan mempunyai hubungan seperti huruf U terbalik
dengan puncak fertilitas dan rata-rata paritas pada kelompok wanita dengan pendidikan tamat SD.

Dalam analisa hubungan antara umur kumpul pertama dan TFR terlihat adanya hubungan
seperti huruf U terbalik. Namun, terlihat adanya hubungan negatif antara umur kumpul pertama
dengan rata-rata paritas. Semakin muda umur kumpul pertama, semakin tinggi rata-rata paritas.
Dalam analisa hubungan antara jumlah perkawinan dan TFR hanya terlihat sedikit perbedaan
tingkat fertilitas antara wanita yang menikah sekali dan wanita yang menikah lebih dari sekali.
Namun dalam analisa antara rata-rata paritas dan jumlah perkawinan ditemukan perbedaan yang
nyata. Rata-rata paritas wanita yang menikah hanya sekali lebih kecil daripada wanita yang ,
menikah lebih dari sekali. Hubungan yang sangat kuat juga ditemukan atara indeks kekayaan
kuantil dan tingkat fertilitas dan rata-rata paritas. Wanita dari golongan teratas cenderung untuk
mempunyai tingkat fertilitas dan paritas yang terendah, sedangkan wanita dari golongan terbawah
mempunyai tingkat fertilitas dan rata-rata paritas tertinggi. Hasil analisis multi regresi menunjukkan
bahwa jumlah anak meninggal merupakan faktor determinan utama dalam menjelaskan perubahan
pada jumlah anak lahir hidup di antara wanita pernah kawin, baik di perkotaan maupun di pedesaan
Indonesia. Sedangkan faktor-faktor lainnya, termasuk pendidikan dan penggunaan kontrasepsi KB,
hanya memberikan kontribusi yang kurang signifikan secara statistik dalam mempengaruhi jumlah
anak lahir hidup di Indonesia.

Sumber :
Tati Irawati Irawan , Analisis Lanjut SDKI 2002-2003, Faktor Penentu Fertilitas , BKKBN, 2004

3
4. SDKI PRIA : KEINGINAN MEMPUNYAI ANAK

Informasi mengenai keinginan pria/suami untuk mempunyai anak merupakan hal yang
sangat penting dalam Program KB Nasional, karena dari keinginan ini akan dapat diketahui
kebutuhan akan pelayanan KB yang diinginkan, dan banyaknya angka kelahiran yang tercegah
yang akan memberi dampak pada angka fertilitas.

Separo pria berstatus kawin (50 persen), mengaku sudah tidak ingin mempunyai anak lagi,
41 persen masih menginginkan. Bagi yang masih ingin anak lagi, 15 persen di antaranya ingin anak
segera, dan sisanya ingin anak tapi untuk jangka waktu lebih dari 2 tahun. Sebagian besar
responden pria (98,6 persen) atau 8.167 orang tercatat tidak menggunakan alat kontrasepsi. Suami
yang berkeinginan untuk menggunakan alat/cara KB dalam waktu 12 bulan dengan tujuan untuk
menjarangkan atau membatasi kelahiran tercatat hanya 1,3 persen atau 106 orang. Sedangkan
PASUTRI yang menggunakan alat/cara KB dalam waktu 12 bulan baik untuk tujuan penjarangan
maupun pembatasan tercatat jauh lebih rendah yaitu hanya 0,1 persen atau 6 PASUTRI. Rata-rata
jumlah anak ideal yang diinginkan pria adalah 3,3 anak. Jumlah anak ideal 1 atau 2 orang tercatat
41 persen. Sekitar separo dari kelahiran (50 persen), sebenarnya sudah tidak diinginkan lagi oleh
para suami, hanya 31 persen kelahiran yang sesunggguhnya diinginkan sesuai dengan rencana, dan
7 persen kelahiran diinginkan tetapi tidak saat itu (2 tahun kemudian). Hanya 6 persen pria, yang
saat wawancara tidak menggunakan alat/cara KB berkeinginan untuk menggunakan alat/cara KB di
waktu yang akan datang. Persentase pria yang tidak berkeinginan untuk mengunakan alat/cara KB
tercatat masih sangat tinggi yaitu 86 persen, dan sisanya menyatakan tidak yakin atau masih ragu-
ragu apakah di waktu mendatang akan memakai alat/cara KB atau tidak. Di kalangan pria yang
tidak ingin pakai alat/cara KB yang akan datang, umumnya mengemukakan alasan yang berkaitan
dengan alat/cara KB ( 21 persen); berikutnya karena alasan fertilitas (10 persen); alasan karena
kurang pengetahuan (7 persen) dan alasan karena menentang untuk memakai (5 persen). Pria yang
berkeinginan untuk menggunakan alat/cara KB di waktu mendatang,lebih dari separo (52 persen)
berkeinginan untuk memakai kondom; yang berkeinginan untuk menggunakan cara KB mantap
(vasektomi) tercatat hanya 14 persen; dan 15 persen pria hanya berkeinginan untuk mengunakan
cara-cara tradisional yaitu pantang berkala dan sanggama terputus. Selain itu, satu dari delapan pria
status kawin (12 persen), berkeinginan mengunakan alat/cara KB lain yang merupakan cara/alat
KB wanita.

Sumber :
Sri Wahyuni, SDKI 2002-2003 : Pria , Keinginan Mempunyai Anak, BKKBN, 2004

4
5. SDKI PRIA : KELUARGA BERENCANA

Dalam upaya Peningkatan partisipasi pria dalam ber-KB dan Kesehatan Reproduksi,
maka bahasan tentang tentang KB dan Kesehatan Reproduksi di kalangan pria merupakan hal
yang sangat strategis. Data yang digunakan dalam penulisan ini bersumber dari hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesai (SDKI) tahun 2002-2003.

Pengetahuan tentang alat/cara KB telah meluas di kalangan pria. Hampir semua pria kawin
sedikitnya mengetahui satu jenis alat/cara KB. Proporsi terbesar pria mengetahui sumber pelayanan
KB adalah puskesmas. Sumber informasi KB yang dominan dikemukakan pria adalah TV, dan
Koran/majalah. Secara umum di antara berbagai pernyataan pria tentang sikap dalam keluarga
berencana, yang menonjol adalah KB merupakan urusan wanita serta wanita yang seharusnya
disterilisasi. Sikap lainnya adalah sterilisasi pria sama dengan dikebiri dan terendah adalah wanita
yang disterilisasi dapat berganti-ganti pasangan seksual. Secara umum angka kesertaan KB pria
masih relatif rendah. Angka pemakaian suatu cara KB pria tercatat 5 persen, yang meliputi
pemakaian suatu cara KB modern 2 persen, dan suatu cara KB tradisional 3 persen. Angka
kesertaan dengan menggunakan suatu alat/cara KB modern terdiri dari pemakaian cara KB
sterilisasi pria 0,5 persen dan pemakaian kondom 1 persen. Pemakaian cara KB tradisional,
meliputi pemakaian cara KB pantang berkala 1,9 persen dan pemakaian metode sanggama terputus
1,5 persen. Bila dibandingkan de-ngan angka kesertaan pria menurut penga-kuan wanita
menunjukkan kecenderungan sama, namun dengan persentase sedikit lebih rendah.Pemakaian
alat/cara KB pria lebih banyak terjadi pada pria yang tinggal perkotaan, pria yang bekerja,
mempunyai anak relatif banyak, serta pada pria dengan tingkat sosial ekonomi relatif tinggi.

Di antara pria yang pernah mendengar dan pernah memakai kondom, hanya 12 persen yang
selalu menggunakan kondom, dan 31 persen mengaku kadang-kadang memakai kondom ketika
berhubungan intim. Sementara itu sebagian besar pria sama sekali tidak menggunakan kondom
pada saat-saat serupa. Permasalahan dalam pemakaian kondom ditanyakan pada pria yang pernah
mendengar kondom, pernah pakai kondom, serta selalu atau kadang-kadang memakai kondom pada
setiap berhubungan seksual. Sebagian besar (64 persen) pria melaporkan bahwa mereka tidak
menemui permasalahan berkaitan dengan pemakaian kondom. Masalah yang dominan
dikemukakan pria adalah kondom mengurangi kenyamanan dalam berhubungan seksual.
Masyarakat secara umum mampu menjangkau harga kondom. Di antara seluruh pria kawin,
proporsi yang pernah mempertimbangkan untuk melakukan sterilisasi pria hanya 2 persen, atau 7
persen di antara pria yang pernah mendengar sterilisasi. Sementara itu proporsi yang tidak
mempertimbangkan untuk melakukan sterilisasi di waktu mendatang cukup besar yaitu 28 persen,
atau 87 persen di antara pria yang pernah mendengar steril. Sementara itu sebagian besar pria tidak
mempertimbangkan untuk melakukan sterilisasi (87 persen) di waktu yang akan datang. Berbagai
alasan yang dominan dikemukakan pria mengapa pria tidak mempertimbangkan untuk melakukan
steri-lisasi adalah masih tersedia alat/cara kon-trasepsi lain (45 persen), kemungkinan
menginginkan anak lagi (19 persen), dan sterilisasi pria tak baik untuk kesehatan (13 persen).

Sumber :
Endah Winarni, SDKI 2002-2003 : Pria , Keluarga Berencana, BKKBN, 2004

5
6. PENGGUNAAN KONTRASEPSI PIL, SUNTIK DAN
IMPLANT PADA IBU MENYUSUI DAN LAMA MENYUSUI PADA
BALITA DI INDONESIA

Profil Kesehatan Indonesia tahun 1999 menunjukkan angka kematian bayi di Indonesia masih
cukup tinggi yaitu pada tahun 1996 sebesar 51 per 1000 kelahiran hidup dan pada tahun 1997
sebesar 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Penyebab tingginya angka kematian bayi ini salah satunya
adalah keadaan gizi bayi buruk. Penelitian yang dilakukan berbagai negara menunjukkan bahwa
kematian bayi akan menjadi lebih tinggi jika jumlah anak penderita gizi buruk meningkat. Status
gizi dan kekebalan tubuh bayi terhadap berbagai penyakit sangat dipengaruhi oleh pemberian ASI.

Setiap cara atau metode KB mempunyai keuntungan dan kekurangan yang khusus. Metode
yang paling tepat untuk tiap wanita tergantung pada banyak faktor termasuk apakah ia sedang
menyusui atau tidak. Wanita yang menyusui membutuhkan alat kontrasepsi yang berbeda secara
significan dengan wanita yang tidak menyusui. Metode non hormonal (seperti kondom, diagfragma,
dan spermisida serta IUD) tidak mempunyai efek yang berlawanan dengan produksi air susu
ataupun kesehatan bayi dan metode ini tepat untuk ibu yang menyusui. Metode hormonal yang
mengandung estrogen mempunyai efek yang berlawanan dengan volume air susu, lama menyusui,
berat badan serta kesehatan bayi.

Tujuan dari penelitian adalah ingin mengetahui distribusi lama menyusui menurut jenis
kontrasepsi yang digunakan dan distribusi kontrasepsi pada ibu menyusui serta faktor-faktor yang
mempengaruhi lama menyusui dan penggunaan kontrasepsi pada ibu menyusui. Rancangan
penelitian menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dan data yang digunakan
adalah data sekunder dari hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 1997. Variabel yang
diteliti antara lain lama menyusui, penggunaan kontrasepsi, umur ibu, status kerja ibu, status
ekonomi (pengeluaran), jumlah anak lahir hidup dan daerah tempat tinggal.

Hasil dari penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara penggunaan
kontrasepsi pil, suntik, dan Implant dengan lama menyusui, antara status kerja dengan penggunaan
kontrasepsi pil, suntik dan Implant. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pada ibu menyusui
sebagian besar (70,86 %) memakai kontrasepsi hormonal dan diantara ibu-ibu yang memakai
kontrasepsi hormonal 70,52 % dari mereka lama menyusuinya lebih dari 12 bulan. Penggunaan
kontrasepsi hormonal pada ibu-ibu menyusui tidak menyebabkan lama menyusuinya menjadi lebih
pendek. Hal ini disebabkan karena kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen relatif rendah
jumlah pemakaiannya dibandingkan dengan yang mengandung progesteron. Selain itu adanya
rentang waktu antara postpartum dengan penggunaan kontrasepsi sehingga proses menyusui relatif
tidak terpengaruh oleh hal tersebut. Perlu dilakukan penelitian sejenis dengan metode yang lebih
spesifik.

Sumber
Heni Hendriyani, Penggunaan Kontrasepsi Pil, suntik dan Implant pada ibu menyusui dan lama menyusui
pada balita di Indonesia (Analisis Lanjut SDKI 1997), FKM UI, Depok, 2001.

6
7. PENGARUH KIE DAN PEMBERIAN INFOMRASI LENGKAP TENTANG
KB TERHADAP PELAYANAN KB DI INDONESIA

Analisis bertujuan untuk mengetahui pengaruh KIE dan pemberian informasi lengkap
tentang KB terhadap pelayanan KB. Hasil menunjukkan bahwa media massa mempunyai pengaruh
terhadap pemberian KIE tentang KB. Wanita yang mengaku dalam 6 bulan terakhir tidak
membaca penerangan tentang KB melalui poster/pamflet mempunyai peluang 1,2 kali tidak
menjadi peserta KB dibanding dengan mereka yang mendapat penerangan KB melalui
poster/pamflet. Sedangkan wanita yang dalam 6 bulan terakhir tidak mendapat penerangan tentang
KB melalui televisi berpeluang 0,7 kali tidak menjadi peserta KB disbanding. Pemberian KIE
tentang KB oleh petugas medis (dokter, bidan, paramedis) juga memberi pengaruh yang sangat
signifikan terhadap kesertaan ber KB. Wan ita yang dalam 6 bulan terakhir menyatakan tidak
mendapat penerangan tentang KB dari petugas medis mempunyai peluang 0,5 kali tidak menjadi
peserta KB dibanding mereka yang mendapat penerangan KB (p<0,05; p=0.00). Demikian halnya
dengan adanya kunjungan PLKB dalam 6 bulan terakhir kepada klien pengaruhnyajuga signifikan
terhadap kesertaan ber KB. Wanita yang dalam 6 bulan terakhir tidak mendapat kunjungan PLKB
yang memberi penerangan tentang KB mempunyai peluang 1,2 kali tidak menjadi peserta KB
dibanding mereka yang mendapat kunjungan PLKB (p<0,05; p=0,018), oleh karena itu peran
petugas KB setelah otonomi daerah perlu mendapat perhatian. Selanjutnya, wanita yang dalam 6
bulan terakhir mengaku tidak ada petugas kesehatan yang berbicara ten tang alatlcara KB beresiko
0,5 kali tidak menjadi peserta KB dibanding dengan mereka yang menyatakan ada petugas
kesehatan yang berbicara tentang alatlcara KB dan pengaruhnya sangat bermakna (p<0,05 ;
p=0.00). KIE tentang KB yang diberikan melalui unit mobil penerangan dan kesenian tradisional
mempunyai pengaruh terhadap kesertaan ber KB, namun peranan kesenian tradisional terlihat
lebih berpengaruh dan sangat signifikan. Wanita yang dalam 6 bulan terakhir tidak mendapat
penerangan tentang KB melalui kesenian tradisional mempunyai resiko 1,4 kali tidak menjadi
peserta KB dibandingkan mereka yang mendapat penerangan KB melalui kesenian tradisional
(p<0,05; p=0,056). Oleh karena itu pemanfaatan kesenian tradisional untuk KIE KB dapat lebih
digalakkan, dapat melalui radio atau televisi dengan kemasan yang menarik. Pemberian KIE dari
semua petugas berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bersama (suami dan isteri) untuk ber
KB, akan tetapi yang pengaruhnya secara statistik signifikan adalah dari petugas medis (OR=0,9;
p<0,05; p=0,043), sedangkan dari petugas KB pengaruhnya tidak bermakna (OR=l,l; p>0,05;
p=159). Oleh karena itu dengan memanfaatkan petugas medis untuk melakukan KIE akan
lebih tepat untuk menjelaskan pentingnya pengambilan keputusan bersama suami dan
isteri. Untuk kemandirian ber KB, peran petugas KB sangat efektif dan sangat bermakna
sebagai petugas yang memberi KIE kepada peserta KB. Peserta KB modern yang dalam 6
bulan terakhir tidak dikunjungi petugas KB yang menerangkan tentang KB mempunyai
resiko 2 kali tidak bersedia membayar pelayanan KB dibanding dengan peserta KB yang
dikunjungi petugas KB (p<0,05; p=0.00), namun yang menjadi masalah adalah mengenai
status dan keberadaannya sekarang setelah otonomi daerah, untuk itu perlu ada perhatian
dan kajian khusus tentang hal ini.

Sumber :
Iswarati, Analisa Lanjut SDKI 2002-2003 Pengaruh KIE dan Pemberian Informasi Lengkap Tentang KB
terhadap Pelayanan KB di Indonesia, BKKBN , 2004

7
8. KEBUTUHAN PELAYANAN KB BAGI REMAJA, JUMLAH ANAK YANG
DIINGINKAN DAN KEINGINKAN PEMAKAIAN KB DI MASA
1. MENDATANG

Untuk mengetahui sejauh mana masalah KB dan kesehatan reproduksi dipahami oleh para
remaja, pada analisis lanjut ini, melihat lebih dalam mengenai pendapat remaja tentang perlunya
disediakan pe1ayanan KB bagi remaja, keinginan jumlah anak yang dimiliki oleh remaja dimasa
mendatang, dan keinginan untuk penggunaan KB dimasa mendatang. Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tentang pendapat remaja perlunya disediakan
pe1ayanan KB bagi remaja, keinginan remaja dalam hal jumlah anak yang ingin dimiliki, dan
keinginan remaja dalam hal pemakaian KB dimasa mendatang. Hasil analisis menunjukkan bahwa
rata-rata anak yang diinginkan oleh rerr anak) lebih tinggi daripada rata-rata jumlah anak yang
diinginkan oleh remaja. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna (p <
0,01). Sedangkan yang mempengaruhi keinginan jumlah anak yang dimiliki pada remaja laki-Iaki
2 tinggal, umur remaja laki-laki, pendidikan remaja, akses terhadap media televisi mereka tentang
jarak antara dua kelahiran yang aman. Faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan jumlah anak
dimasa mendatang oleh remaja perempuan antara lain adalah akses mereka terhadap perihal
pelajaran tentang Kesehatan Reproduksi yang diterima ketika di sekolah mereka tentang jarak
antara dua kelahiran yang terbaik. Jika dilihat secara umum laki-Iaki maupun perempuan terlihat
bahwa akses remaja terhadap media televisi mereka tentang berapa sebaiknya jarak antara dua
kelahiran yang terbaik paling besar memberikan pengaruh terhadap keinginan remaja dalam hal
jumlah anak. Mengenai pendapat perlunya disediakan pelayanan KB bagi remaja bahwa remaja
laki-Iaki lebih banyak yang memerlukan pelayanan KB dibandingkan perempuan (27 persen
dibanding 25 persen). Hasil uji statistik kedua kelompo menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna (p<0,05). Faktor-faktor yang menunjukkan hubungan dengan pendapat pelayanan KB
pada remaja laki-laki, terdapat tiga faktor yang menunjukkan perbedaan bermakna. Ketiga faktor
tersebut yaitu tempat tinggal, kehadiran mereka dalam pert yang membahas tentang Kesehatan
Reproduksi dan pendapat mereka tentang aborsi menikah. Sedangkan pada remaja perempuan
terdapat empat variabel yang tert bermakna dengan pendapat mereka perihal perlunya disediakan
pelayanan KB tingkat kesejahteraan sosial remaja, akses mereka dengan radio, pelajaran 1
reproduksi yang pernah diperoleh pada saat sekolah dan pendapat mereka tentang menikah.
Gambaran tentang keinginan menggunakan KB di masa mendatang antara n remaja perempuan
menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,001). Ada kecenderungan pemahaman tentang
Kesehatan Reproduksi pada remaja lebih tinggi dibanding remaja laki-laki. Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap keinginan menggunakan KB di pada remaja laki-Iaki dipengaruhi oleh
kehadiran mereka dalam pertemuan membahas tentang Kesehatan Reproduksi dan pendapat
mereka tentang aborsi 1 menikah. Sedangkan pada remaja perempuan keinginan menggunakan KB
di dipengaruhi oleh tempat tinggal dan pelajaran tentang KR yang pernah diperoleh kctika di
sekolah. Terlihat bahwa informasi bagi remaja tentang Kesehatan Reproduksi sangat diperlukan
meskipun media penyampaian untuk kedua kelompok tersebut berbeda yaitu untuk remaja laki-Iaki
dalam bentuk pertemuan masyarakat sedangkan untuk remaja perempuan dapat diberikan melalui
pelajaran di sekolah. Jumlah anak yang diinginkan oleh remaja perempuan (2,55 anak) lebih
rendah dari pada jumlah anak ideal yang diinginkan oleh wanita usia subur 15-49 tahun yaitu 2,9
anak. Begitu juga jumlah anak yang diinginkan oleh remaja laki-Iaki (2,7 anak) lebih rendah
daripada jumlah anak ideal yang diinginkan oleh pria kawin yaitu 3,3 anak.

Sumber :
Flourisa Juliaan & Maria Anggraeni, Kebutuhan Pelayanan KB Bagi Remaja, Jumlah Anak Yang
Diinginkan Dan Keinginkan Pemakaian KB Di Masa Mendatang, BKKBN, 2005

8
9. PERBANDINGAN PIL VALENOR-2 DAN PIL POSTINEOR SEBAGAI
PIL KONTRASEPSI DARURAT

Dalam rangka menambah variasi pilihan jenis pil kontrasepsi darurat (emergency
contraception) akan diperkenalkan Pil Valenor_2. Pil Valenor_2 merupakan pil yang sama dengan
dosis terbagi (teridiri dari 2 pil) masing-masing mengandung @ 0,75 mg levonorgestrel. Pil
Valenor ini direncanakan akan didaftarkan pemasarannya ke badan POM sebagai pil untuk
mencegah kehamilan yang bersifat darurat. Untuk itu perlu adanya dukungan hasil penelitian yang
dapat dipakai untuk rekomendasi pemakaiannya secara lebih luas di Indonesia.

Secara umum tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas, keamanan,
dan penerimaan dari obat/pil Valenor_2, dan Postinor dalam mencegah kehamilan. Desain
penelitian ini adalah double blind randomizes clinical trial, comparative antara pil Valenor dosis
terbagi (@ 0,75 mg levonorgestrel) dan Pil Postinor yang dilakukan secara multisenter di 10
senter penelitian : Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, D.I.
Yogyakarta, Denpasar dan Manado.

Hasil menyatakan bahwa karakteristik subyek yang mengikuti dalam penelitian ini secara
umum cukup homogen, tidak berbeda bermakna. Kesan haid sebelum menggunakan obat/pil
sebagian besar menunjukkan siklus haid normal. Secara umum subyek melakukan hubungan
seksual seperti biasa dan sebagian besar menggunakan kondom seperti yang disarankan dalam
protokol. Keluhan yang paling banyak dialami baik pada kunjungan ulang ke I (satu minggu)
maupun pada kunjungan ke II. (satu bulan) setelah menggunakan obat/pil, sebagian besar adalah
mual, pusing/sakit kepala dan gangguan haid. Gambaran keluhan pada kunjungan 1 bulan lebih
sedikit daripada kunjungan 1 minggu. Tidak ada perbedaan keluhan yang ada dari dua kelompok
pemakaian pil/obat. Kesan mengenai haid setelah satu bulan menggunakan obat/pil sebagian besar
normal, baik pada perlakuan obat Postinor maupun Valenor-2, tidak adaperbedaan secara statitik
dalam hal gangguan haid.Kehamilan yang terjadi setelah satu bulan menggunakan obat/pil, terdapat
enam subyek yang dinyatakan hamil, dan empat subyek diduga hamil. Kelompok perlakukan
Valenor-2 kehamilan 0.2 persen dan kelompok Postinor 0.3 persen. Secara statistik tidak ada
perbedaan bermakna dari terjadinya kehamilan diantara 2 kelompok pemakai pil.Kesan subyek dari
pemakaian obat/pil secara umum menyatakan mudah penggunaannya, dan umumnya menyukai
obat/pil tersebut, akan menganjurkan kepada teman yang lain untuk menggunakannya, dan juga
umumnya ingin pakai lagi. Secara statistoik untuk penerimaan juga tidak adaperbedaan diantara
penerima kedua obat/pil

Sumber :
Biran Affandi, Perbandingan Pil Valenor-2 dan Pil Postinor Sebagai Pil Kontrasepsi Darurat , BKKBN, 2007

9
10.PROFIL PRIA/SUAMI TIDAK IKUT KB

Analisis bertujuan untuk mengetahui profil pria yang tidak ikut KB berdasarkan ciri-ciri
karakteristik latar belakang . Data bersumber dari SDKI: Pria 2002-2003. Hasil analisis Pria tidak
ikut KB lebih banyak dijumpai di wilayah perdesaan, berusia kurang dari 25 tahun, dan 40 tahun ke
atas, berpendidikan rendah atau tidak sekolah, belum memiliki anak dan telah memiliki anak
banyak, dan tergolong tidak mampu. Pria tidak ikut KB dan tidak akses dengan media, lebih
banyak dijumpai di kalangan pria perdesaan, berusia relatif tua (25 tahun ke atas), berpendidikan
rendah atau tidak sekolah, memiliki 2 anak atau lebih, dan tergolong tidak mampu secara ekonomi.
Pria tidak ikut Kb dan tidak terpapar dengan info KB melalui media, lebih banyak dijumpai pada
pria di perdesaan, berusia tergolong muda, dan tergolong tua; berpendidikan rendah atau tidak
sekolah, memiliki 2 anak atau lebih, dan dari golongan tidak mampu. Pria Tidak Ikut KB dan
Pengetahuan tentang KB (cara, sumber, masa subur, dan persepsi bahwa KB adalah urusan
wanita).Pria tidak ikut KB dan tidak tahu cara/alat KB, jauh lebih banyak dijumpai di perdesaan,
pada kelompok umur tua (44 tahun ke atas). tidak berpendidikan, memiliki anak banyak, dan
tergolong keluarga miskin. Pria tidak ikut KB dan tidak tahu sember pelayanan KB, jauh lebih
banyak teIjadi pada pria di perdesaan, berusia 45 tahun ke atas, berpendidikan rendah atau tidak
sekolah, di semua kalangan (belum memiliki anak maupun telah mempunyai anak banyak), dan
termasuk keluarga kurang mampu. Kurangnya pengetahuan mengenai masa subur, lebih banyak
teIjadi pada pria tidak ikut KB yang tinggal di desa, berusia muda da relatif tua, berpendidikan
rendah atau tidak sekolah, memiliki anak dua atau lebih, dan hampir merata di semua strata indeks
kekayaan.Pendapat bahwa KB adalah urusan wanita lebih banyak dinyatakan oleh pasutri yang
tidak ikut KB di wilayah perdesaan, pada kelompok umur dibawah 25 tahun dan diatas 40 tahun,
berpendidikan sekolah dasar, memiliki 1-2 anak, dan tergolong kurang mampu. Pria Tidak Ikut KB
dan Pendapat Mengenai Kondom (kurang nikmat; tidak nyaman; dapat dipakai ulang; dan
perempuan tidak berhak meminta pria memakai kondom ). . Pendapat kondom kurang nikmat dan
kurang nyaman, jauh lebih banyak dikemukakan oleh pria tidak ikut KB yang tinggal di perkotaan,
berusia relatif muda (40 tahun ke bawah), belum memiliki anak atau memiliki sekurang-kurangnya
2 anak, dan tergolong keluarga mampu. Pendapat kondom dapat dipakai ulang, merata
dikemukakan oleh pria tida desa maupun di kota, di semua kelompok umur, berpendidikan SD atau
k baik pada pria yang belum memiliki anak, maupun pada pria yan telah men dan merata baik dari
golongan mampu maupun tida mampu. Pendapat bahwa perempuan tidak berhak meminta pria
untuk memakai kondc dinyatakan oleh pria kota, berusia 25 hingga 45 tahun, berpendidik
mempunyai anak atau sekurang-kurangnya telah memiliki 2 anak, dan tergolong dan mampu. Pria
Tidak Ikut KB dan Pendapat Mengenai Sterilisasi (wanita steril da~ pasangan, dan steril pria sarna
dengan dikebiri). Pria yang berpendapat bahwa sterilisas pria sarna engan dikebiri, lebih bany: pria
di perkotaan, berusia 25 tahun ke atas, pada semua jenjang pendidika anak atau telah mempunyai
anak, dan termasuk keluarga mampu. Keinginan untuk tidak ikut KB di waktu yang akan datang,
lebih banyak di di perdesaan, hampir merata di semua kelompok umur, berpendidikan memiliki 2
anak atau lebih, dan di semua strata kekayaan, dari kelompok y hingga yang paling kaya.
Keinginan pria tidak ikut KB dan tidak ingin anak lagi merata di semua v atas 30 tabun, berasal
dari kalangan pria yang berpendidikan maupun Yi memiliki 2 anak atau lebih, dan merata pada
semua golongan baik yang mampu maupun y:ang kaya raya.

Sumber :
Endah Winarni & Sri Wahyuni, Profil Pria/Suami Tidak Ikut KB, , BKKBN, 2007

10
11.FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP TERHADAP
PERILAKU SEKSUAL PRIA NIKAH PADA REMAJA DI INDONESIA

Analisis secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi predictor
sikap dan perilaku melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Data yang dianalisis adalah
data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI), dengan jumlah sampel 1.815
perempuan belum kawin dan 2.341 pria belum kawin.

Hasil menunjukkan bahwa remaja perempuan lebih banyak tahu tentang masa subur
dibanding remaja laki-laki. Remaja laki-laki dan perempuan berumur lebih tua, tinggal di
perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang mengetahui masa subur dibanding
remaja berumur lebih muda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah. Remaja
perempuan lebih banyak tahu tentang resiko hamil dengan sekali berhubungan seksual dibanding
remaja pria. Remaja berumur lebih tua, tinggal di perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih
banyak yang mengetahui resiko hamil bila berhubungan seksual dibanding remaja pria, berumur
lebih muda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah. Remaja berumur lebih tua,
tinggal di perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang mengetahui HIV/AIDS
dibanding remaja berumur lebih muda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah.
Rernaja laki-laki lebih banyak tahu tentang penyakit infeksi rnenular seksual dibanding rernaja
perernpuan. Rernaja berurnur lebih tua, tinggal di perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih
banyak yang rnengetahui penyakit infeksi rnenular seksual (IMS) dibanding rernaja berurnur lebih
rnuda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah. Rernaja perernpuan lebih banyak tahu
tentang salah satu alatlcara KB dibanding rernaja pria. Rernaja berurnur lebih tua, tinggal di
perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang rnengetahui salah satu alatlcara KB
dibanding remaja pria, berurnur lebih rnuda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah.
Rernaja perernpuan lebih banyak yang sudah atau pernah pacaran dibanding rernaja pria.. Rernaja
berurnur lebih tua, tinggal di kota, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang sudah atau
pernah pacaran dibanding rernaja usia lebih muda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih
rendah..Rernaja perernpuan sedikit lebih banyak yang rnengetahui seseorang dari ternan rnereka
yang pernah rnelakukan hubungan seksual pra nikah dibanding rernaja pria. Responden perernpuan
dan pria lebih setuju bila hubungan seksual pra nikah dilakukan oleh pria daripada perernpuan.
Remaja pria lebih banyak yang rnelakukan hubungan seksual pra nikah dibanding rernaja
perempuan.Rernaja pria urnur lebih tua, tinggal di perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih
banyak yang melakukan hubungan seksual pra nikah dibanding rernaja pria umur lebih rnuda,
tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah. Rernaja berasal dari keluarga dengan tingkat
kesejahteraan menengah ke atas lebih banyak rnengetahui rnasa subur, resiko hamil dengan sekali
hubungan seksual, alatlcara KB, HIV/AIDS, dan penyakit IMS dibanding remaja dari keluarga
rniskin. Hasil analisis rnultivariat rnenunjukkan bahwa variabel jenis kelamin,ternpat tinggal.
punya ternan yang telah melakukan hubungan seksual pra nikah, dan adanya dorongan dari ternan
yang pernah melakukan hubungan seksual pra nikah rnerupakan variabel paling berpengaruh secara
bermakna terhadap sikap remaja melakukan hubungan seksual pra nikah. Variabel lain seperti
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ternyata tidak berpengaruh terhadap sikap remaja
melakukan hubungan seksual pra nikah, artinya remaja yang tahu atau tidak tahu tentang kesehatan
reproduksi tidak berpengaruh terhadap sikap remaja melakukan hubungan seksual pra nikah.

Sumber :
Iswarati & Prihyugiarto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Terhadap Perilaku Seksual Pria Nikah
Pada Remaja Di Indonesia, BKKBN, 2005

11
12.UJI KLINIK PEMAKAIAN ORAL KONTRASEPSI PLANAK

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas, keamanan dan akseptabilitas


penggunaan pil oral kontrasepsi buatan PLANAK berkadar hormon rendah dibandingkan dengan
Pil Microgynon, dengan Design Randomized Clinical Trial dan dilakukan di wilayah Manado dan
Yogyakarta.

Hasil uji klinik memperlihatkan bahwa Terdapat penurunan pengaruh samping setelah 3
bulan pemakaian pi! kontrasepsi Planak dan Pil Microgynon. Keluhan rasa sakit waktu haid,
perdarahan abnormal, gangguan penglihatan, rasa pusing, rasa mual dan sakit kepala adalah
menurun bermakna, baik secara statistik mapun klinik dan tidak terdapat perbedaan bermakna
keluhan tersebut pada pil Planak vs pil Microgynon. Sedangkan keluhan keputihan terjadi
penurunan yang secara klinik adalah bermakna akan tetapi secara statistik tidak bermakna. Status
gizi yang diukur dengan pemeriksaan antropometri selama 12 bulan pemberian pi! Planak dan pi!
Microgynon tidak terjadi perubahan mengenai berat badan, BMI, lingkar lengan atas ibu, dan tebal
lemak bawah kulit lengan dan kulit perut yang secara klinik maupun statistik adalah tidak
bermakna. Sedangkan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik mengalami perubahan
yang secara statistik dan klinik tidak bermakna pada pi! Planak vs. Pil Microgynon. Perubahan
status gizi terse but adalah masih dalam ukuran status gizi nomal.Status hormone estradiol selama
12 bulan pemberian adalah tidak terdapat perbedaan yang bermakna pengaruh pil kontrasepsi
Microgynon dan pil Planak terhadap fungsi ovarium. Pada kedua kelompok tersebut profil
hormonnya menunjuk pada status tidak terjadinya ovulasi dan over suppression syndrome", yaitu
tidak terjadi pemasakan folikel primordial menjadi folikel DeGraf..Fungsi Hepar yang diukur
dengan kadar SGOT dan SGPT tidak dijumpai perubahan dan perbedaan bermakna selam 12 bulan
penggunaan pil Planak dan Microgynon, sedang kadar peroksida Malon Dehaldehyde mengalami
penurunan sampai 3 bulan pemakaian pil kontrasepsi; penurunan tersebut secara statistik dan klinik
adalah tidak bermakna dan penurunan berkisar 1.5; kadar tersebut adalah dibawah batas
normal.Metabolisme karbohidrat yang diukur dengan kadar gula darah tidak dijumpai perbedaan
bermakna baik secara statistik maupun klinik kadar gula darah sampai 12 bulan penggunaan.
Planak versus Microgynon, walaupun kadar gula darah kelompok Microgynon adalah lebih t1nggi
tetapi secara klinik masih dalam batas normal. Metabolisme lemak dan lipoprotein yang diukur
dengan kadar kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL adalah sebanding (homogen) pada kelompok
Planak dan kelompok Microgynon. Setelah 12 bulan penggunaan Planak dan Microgynon kadar
metabolisme lemak terse but diatas tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik dan secara
klinik. Kadar metabolisme lemak dan lipoprotein pada kedua kelompok masing-masing dalam
batas normal .Tidak terdapat perbedaan bermakna terjadinya "drop-out" maupun "withdrawal" pada
kelompok pil "Planak vs. pi! Microgynon, walaupun terjadi 1 kehamilan pada akseptor pil
Microgynon pada bulan ke 5 karena lupa mengkonsumsi pil.

Sumber :
Djaswadi dkk, Uji Klinik Pemakaian Pil Oral Kontrasepsi Planak, BKKBN, 2005

12
13. STUDI PERBANDINGAN INDOPLANT DAN NORPLANT DI
INDONESIA

Levonorgestrel bekerja menghambat reseptor progesterone (protein khusus di dalam sel


endometrium yang mengikat progesteron). Mekanisme kerja ini menyebabkan sel endometrium
yang melapisi cavum uteri menjadi lebih sedikit, kelenjar menjadi lebih kecil dengan fungsi yang
sangat berkurang (aktifitas sekresi menurun). Efek dari LNG ini mengurangi kemungkinan
keberhasilan implantasi dan inilah efek sekunder yang penting pada pemakaian Implant LNG. Alat
kontrasepsi bawah-kulit Indoplant merupakan salah satu kontrasepsi Implant yang terdiri dari dua
batang yang lentur berisi levonorgestrel. Kontrasepsi Indoplant mempunyai efektifitas sebagai
kontrasepsi selama 36 bulan, dengan kelebihan antara lain pemasangan ataupun pencabutannya
lebih mudah, dengan kemungkinan terjadinya infeksi dan efek samping yang relatif kecil. Namun,
karena Indoplant ini merupakan kontrasepsi baru yang akan dikembangkan di Indonesia, maka
perlu dilakukan penelitian klinik sebelum kontrasepsi tersebut digunakan secara luas.

Kontrasepsi Implant Norplant merupakan satu-satunya kontrasepsi Implant 6-batang yang


sudah diperkenalkan dalam program KB nasional dan telah ter-registrasi di Ditjen POM Depkes.
Sejak diperkenalkan pada bulan Mei 1981, jumlah akseptor Implant Norplant terus meningkat.
Pada bulan Maret 1997 jumlah pemakai ini telah mencapai lebih dari 2,4 juta atau kurang lebih tiga
per empat dari seluruh pemakai Implant Norplant di seluruh dunia. Secara umum studi ini bertujuan
untuk melihat efficacy, safety dan acceptability dari kontrasepsi Implant Indoplant dibandingkan
dengan Norplant.

Studi ini merupakan uji klinik phase IV multicenter randomized clinical trial, perbandingan
antara implant Indoplant dan Norplant, dilakukan di lima senter penelitian yaitu Padang, Jakarta,
Bandung, Banjarmasin, dan Malang. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
1. Implant Indoplant cukup aman dan efektif untuk mencegah kehamilan, angka kegagalan
sampai bulan ke 36 sebesar 0.7 per 100 perempuan.
2. Efek samping yang dikeluhkan subyek pemakai Indoplant selama pemakaian tidak berbeda
dengan subyek pemakai Implant Norplant. Keluhan yang dilaporkan antara lain masalah
perdarahan, pusing-pusing dan sakit kepala. Persentase keluhan efek samping terjadi pada
awal-awal bulan pemakaian dan mempunyai kecenderungan menurun setelah pemakaian
satu tahun.
3. Pola perdarahan Indoplant dengan Norplant tidak berbeda secara bermakna.
4. Tidak ada perbedaan yang bermakna terjadinya drop out maupun withdralwal pada
kelompok Indoplant dan Norplant.

Sumber :
Biran Affandi, Studi Perbandingan Indopalnt dan Norplant di Indonesia, BKKBN , 2005

13
14. PENGAMBILAN KEPUTUSAN TERHADAP KONTRASEPSI MANTAP
(VASEKTOMI) DALAM KELUARGA
(Sebuah Penelitian Kualitatif di Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka,
Propinsi Nusa Tenggara Timur, tahun 2001).

Sampai saat ini partisipasi pria dalam kontrasepsi, khususnya dalam hal pengambilan
keputusan untuk vasektomi masih sangat rendah. Rendahnya penerimaan vasektomi ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor, misalnya faktor sosial dan budaya, agama serta psikologi. Disamping itu,
dengan tumbuhnya berbagai konsepsi negatif seputar vasektomi, semakin mempengaruhi keputusan
keluarga terutama laki-laki dalam menerima vasektomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap pengambilan keputusan vasektomi
dan bagaimana pengaruh pandangan agama yang dianut terhadap keputusan vasektomi.

Penelitian merupakan studi kualitatif, dengan mempergunakan metode wawancara mendalam


(indepth interview) dalam mengumpulkan data. Informan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang,
yaitu pasangan akseptor vasektomi berjumlah 2 orang serta pasangan akseptor tubektomi berjumlah
2 orang, 1 orang Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) serta seorang tokoh agama
Katolik, mengingat semua informan dalam penelitian ini beragama Katolik. Penelitian berlangsung
di Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Hasil penelitian menunjukkan hal utama yang berperan dalam menentukan kesediaan
informan vasektomi dalam menerima vasektomi adalah adanya perhatian informan terhadap
masalah kesehatan istri terutama kesehatan reproduksi istri dan kesadaran bahwa tugas dan
tanggung jawab ber KB adalah tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Selain itu, alasan
ekonomi dan jumlah anak juga menjadi faktor pendorong dalam penerimaan vasektomi. Dalam
penelitian ini juga diketahui bahwa pandangan agama yang menolak terhadap adanya vasektomi
sama sekali tidak mempengaruhi keputusan para informan.

Hambatan terhadap penerimaan vasektomi berdasarkan hasil penelitian ini berasal dari faktor
sosial budaya, yaitu anggapan bahwa masalah penggunaan KB adalah tugas dan tanggung jawab
perempuan sedangkan tugas dan tanggung jawab laki-laki adalah untuk mencari nafkah. Hambatan
terhadap pengambilan keputusan untuk menerima vasektomi juga datang dari adanya kepercayaan
informan terhadap berbagai konsepsi negatif terhadap vasektomi. Adanya faktor-faktor seperti
inilah yang mendorong suami akseptor tubektomi untuk tidak memilih dirinya yang disteril tetapi
lebih mendorong istri untuk disteril pada saat pengambilan keputusan. Dengan adanya kenyataan
ini, bias gender sangat terasa pada saat pengambilan keputusan. Beberapa hal yang dapat
disarankan berdasarkan temuan dalam penelitian ini antara lain peningkatan akses informasi
terhadap vasektomi dalam rangka memperkaya wawasan dan pengetahuan para suami dan para pria
umumnya tentang vasektomi sehingga dapat menjadi landasan bagi mereka untuk mampu
mengambil keputusan dalam menerima vasektomi, sekaligus dapat mengurangi efek gender pada
saat pengambilan keputusan. Selain itu, perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan tokoh-tokoh
agama dalam menyamakan persepsi terhadap kontrasepsi mantap berdasarkan pertimbangan
rasional.

Sumber :
Apriany Fredinata Refanita : Studi Pengambilan Keputusan terhadap Kontrasepsi Mantap (Vasektomi) dalam
Keluarga (Sebuah Penelitian Kualitatif di Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, Propinsi Nusa Tenggara
Timur, tahun 2001), FKM UI, Depok ,2002.

14
15. PANDANGAN KIAI TERHADAP KONTRASEPSI MANTAP (STUDI
KUALITATIF DI PONDOK PESANTREN NAHDLATUL WATHAN (NW)
PANCOR, LOMOK TIMUR)

Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pandangan di antara para kiai mengenai
kontrasepsi mantap (kontap). Ada kiai yang membenarkan kontap dengan berbagai alasan dan ada
juga yang menolak dengan tegas, kecuali dengan alasan darurat.

Tujuan studi adalah untuk mengidentifikasi hal-hal yang melatar belakangi pandangan kiai
terhadap kontap, mengetahui gambaran pengetahuan kiai tentang kontap dan mengetahui
pandangan kiai terhadap kontap.

Penelitian ini merupakan studi kaulitatif, dan metode pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara mendalam (indepth-interview). Informan dalam penelitian ini berjumlah enam
orang, yaitu kiai-kiai yang berpengaruh dalam masyarakat dan sering memberikan ceramah atau
pengajian sampai ke pelosok-pelosok desa. Lokasi penelitian ini di pondok pesantren Nahdlatul
Wathan (NW) Pancor, Lombok Timur.

Hasil penelitian menemukan bahwa hal yang berperanan dalam pandangan kiai adalah
faktor akses informasi dan pengetahuan kiai tentang kontap. Hasil penelitian juga menemukan
bahwa pengetahuan kiai mengenai kontap masih terbatas dan hampir sama untuk seluruh kiai yang
dijadikan sebagai informan. Pandangan kiai tentang kontap cukup bervariasi, ada yang setuju
dengan kontap dan ada yang tidak setuju, ada yang menerima alasan ekonomi sebagai alasan
dibolehkannya kontap dan ada yang tidak. Selain itu, di kalangan kiai masih terdapat pandangan
negatif mengenai kontap, yaitu kontap dianggap sama dengan pengebirian dan merupakan usaha
pemandulan. Saran yang disampaikan berdasarkan hasil penelitian antara lain peningkatan akses
pengetahuan dan informasi mengenai kontap dalam rangka memperkaya wawasan dan
meningkatkan pemahaman kiai. Selain itu, perlu juga peningkatan keterlibatan toga seperti kiai
dalam kegiatan diskusi atau seminar tentang kontap, perlu kombinasi pendekatan struktural dengan
pendekatan terhadap aspek-aspek sosial masyarakat, serta perlu peningkatan kerjasama yang baik
dari semua pihak.

Sumber
Syafaatun Nahdiah : Pandangan Kiai terhadap Kontrasepsi Mantap (Studi Kualitatif di Pondok Pesantren
Nahdlatul Wathan (NW) Pancor Lombok Timur Tahun 2001), FKM UI, Depok, 2001.

15
16. PENGETAHUAN TENTANG KONDOM DAN AIDS

Untuk menghindari AIDS, orang-orang yang aktif berhubungan seks yang tidak memiliki
pasangan tetap harus menyadari keberadaan AIDS, mengetahui tentang kondom, bahwa kondom
dapat mencegah AIDS, mengetahui cara mendapatkan dan mengetahui bagaimana cara
penggunaannya. Population Reports telah melakukan analisa penemuan baru bersama Demographic
and Health Surveys (DHS) pada 27 negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Data-data yang
diambil dan studi-studi yang dilakukan menyimpulkan, bahwa jika masyarakat bermaksud
melindungi diri dan pasangannya dari AIDS, mereka harus mengetahui dengan baik tentang AIDS.
Hampir kebanyakan negara telah mendengar tentang AIDS. Begitu juga dengan pengetahuan
mengenai kondom.

Dua pertanyaan yang diajukan DHS menyingggung mengenai AIDS. Salah satu
pertanyaan, tanpa menyebutkan AIDS, ditanyakan kepada semua responden untuk merinci semua
penyakit yang bias ditularkan melalui seks yang mereka ketahui. Dan pertanyaan lainnya
menyebutkan penyakit: Sudahkah Anda mendengar salah satu penyakit yang disebut AIDS?
Ketika pertanyaan tersebut diajukan, sebagian besar responden di setiap negara mengatakan bahwa
mereka sudah pernah mendengar tentang AIDS. Bagaimanapun juga, dengan respon yang seperti
ini tidak lantas berarti bahwa mereka mengetahui bagaimana proses penularan AIDS, atau juga cara
pencegahannya dengan menggunakan kondom. Sehingga tidak mengherankan ketika pertanyaan
pertama diajukan, secara cepat responden langsung menyebutkan AIDS. Di Mali, 70% responden
pria menikah secara spontan menyebutkan AIDS sedangkan 97% mengatakan mereka sudah pernah
mendengar tentang AIDS sebelumnya (122). Di Haiti, 77% wanita lajang spontan menyebutkan
AIDS sedangkan 97% mengatakan sudah pernah mendengar tentang AIDS (87). Kebanyakan orang
yang sudah pernah mendengar tentang AIDS juga mengetahui kondom. Pada umumnya, hal itu
diketahui oleh orang yang sudah menikah, dan pria jauh lebih mengetahui tentang kondom
dibandingkan wanitanya. Kebanyakan pria dan wanita yang sudah pernah mendengar tentang
AIDS, pria lajangmerupakan kelompok orang yang beresiko tinggi terhadap AIDSlebih
mengetahui tentang kondom. Seseorang yang mengetahui kondom belum tentu mengetahui
kondom dengan baik, termasuk bagaimana menggunakan kondom dengan benar. Sebuah studi
yang dilakukan di Uganda pada 1993 menyebutkan bahwa sebenarnya responden sudah pernah
mendengar tentang kondom, tapi hanya satu diantara 10 orang yang tahu bagaimana cara
penggunaannya (283). Sebuah penelitian kualitatif yang dilakukan di Ghana pada 1997
menyebutkan bahwa banyak wanita lajang yang menolak penggunaan kondom tanpa alasan jelas
meski itu sekedar bahwa kondom tidak efektif dan meski dengan demikian akan menyebabkan
permasalahan kesehatan (214). Studi yang dilakukan di Gujarat, India, pada 1997 melaporkan
bahwa 15% responden mengetahui bahwa sebaiknya kondom tidak digunakan ulang, dan hanya 7%
yang mengetahui fungsi minyak dengan kondom lateks Di DHS, tanpa menyebutkan kondom,
salah satu pertanyaan yang diajukan kepada pernah mereka mendengar AIDS adalah bagaimana
mencegah terjadinya AIDS. Hasilnya adalah, pria lajang dan wanita lebih jauh mengetahui bahwa
kondom dapat mencegah AIDS daripada yang sudah menikah. Namun hal tersebut belum tentu
berlaku di beberapa negara surveyBenin, Chad, Mozambique, dan Ugandadimana hanya
sedikit pria lajang yang pernah mendengar tentang AIDS dan bahwa kondom dapat mencegah
AIDS. Di semua negara survey, sebagian pria lajang yang sudah mendengar tentang AIDS juga
mengetahui tentang kondom dan sumbernya. Hal yang sama juga terjadi pada wanita lajang di 11
dari 13 negara survey bahkan mereka sedikit mengetahui sumbernya.

Sumber: Population Reports, Series H No. 9, Barrier Methods

16
17. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMAKAIAN
METODE KONTRASEPSI JANGKA PANJANG PADA AKSEPTOR KB DI
PROPINSI MALUKU DAN PAPUA PADA TAHUN 2001

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pemakaian Metode Kontrasepsi


Jangka anjang (MKJP) dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pemakaian metode terkait di
Propinsi Maluku dan Papua pada tahun 2001.

Analisis data sekunder ini bersumber dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2001
yang menggunakan rancangan studi potong lintang. Populasi penelitian adalah wanita berstatus
kawin umur 15 44 tahun di Propinsi Maluku dan Papua. Sampel penelitian sebesar 2.145
responden yang sedang memakai kontrasepsi. Analisis datanya adalah analisis univariat dan
bivariat, sedang uji statistik yang digunakan analisis bivariat adalah regresi logistik, dengan batas
kemaknaan 0.05.

Hasil analisis univariat memperlihatkan gambaran akseptor KB yang sedang memakai


MKJP, proporsi terbesar terdapat pada wanita berumur 36 49 tahun (19,92%) yang tidak bekerja
(16,52%), bertempat tinggal di perkotaan (19,35%), memiliki anak masih hidup lebih dari 2 orang
(17,34%), memilih tempat pelayanan pemerintah (17,92%) dan mengeluarkan biaya lebih dari
Rp.15.000 (40,83%). Dari hasil uji bivariat terlihat ada hubungan yang bermakna antara pemakaian
MKJP dengan umur, status pekerjaan, daerah tempat tinggal, jumlah anak lahir hidup, jumlah anak
masih hidup, dan biaya pelayanan KB; sedangkan umur kawin pertama dan tempat pelayanan KB
tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan pemakaian MKJP.

Sumber :
Mira Amiranty, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 2003

17
18. Pengaruh Faktor Sosiodemografi dan Biaya Pelayanan KB Terhadap
Pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) pada
Wanita Pasangan Usia Subur (PUS) di Propinsi Kalimantan Selatan
Tahun 2001

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor sosiodemografi dan biaya
pelayanan KB dengan pemakaian kontrasepsi jangka panjang; dan mengetahui faktor yang paling
berpengaruh terhadap pemakaian MKJP pada wanita PUS di Propinsi Kalimantan Selatan.

Analisis data sekunder ini bersumber dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
tahun 2001 yang menggunakan rancangan studi potong lintang. Populasi penelitian adalah PUS
yang sedang memakai kontrasepsi di Propinsi Kalimantan Selatan. Sampel penelitian adalah wanita
PUS yang memakai kontrasepsi dan terpilih sebagai responden pada susenas 2001 di Propinsi
Kalimantan Selatan. Sampel penelitian berjumlah 2.995 yang terdiri dari 374 (11,1%) pemakai
MKJP dan 2.651 pemakai non MKJP. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan
multivariat. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik
sederhana dengan derajat kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (45,6%) responden mengeluarkan


biaya untuk pelayanan KB lebih dari 10,000 rupiah. Ada hubungan yang bermakna antara
pemakaian MKJP dengan umur wanita, status pekerjaan wanita, jumlah anak masih hidup maupun
biaya pelayanan KB. Namun tidak ada hubungan yang bermakna antara pemakaian MKJP dengan
tingkat pendidikan wanita, wilayah tempat tinggal, anak lahir masih hidup dan usia saat perkawinan
pertama. Terlihat ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap pemakaian MKJP yaitu status
pekerjaan, jumlah anak masih hidup, dan biaya pelayanan KB. Biaya pelayanan KB merupakan
faktor yang paling berpengaruh terhadap pemakaian MKJP

Sumber :
Kemala, Sukma, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 2002

18
19. Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Pemakaian Kontrasepsi pada
Wanita Kawin Usia 15 49 Tahun di Propinsi Nusa Tenggara Timur
2001 (Analisis Data Sekunder Susenas 2001)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pemakaian kontrasepsi dan hubungan antara
faktor sosiodemografi dengan pemakaian kontrasepsi di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian
ini merupakan analisa data sekunder. Data yang digunakan adalah data dari survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) 2001. Rancangan Susenas adalah cross sectional, Populasi penelitian adalah
seluruh wanita kawin berusia 15 49 tahun di Propinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 484.189
orang. Sampel minimum penelitian diambil dengan menggunakan estimasi proporsi dengan presisi
mutlak sebesar 61 responden, sampel analisis telah melebihi sampel minimum yaitu sebesar 4.841.
Analisis yang dilakukan adalah analisis univariat dan analisis bivariat.

Hasi analisis menunjukkan bahwa sebanyak 31,61% responden sedang menggunakan kontrasepsi.
Dari seluruh pemakai kontrasepsi, 74,82% diantaranya memakai kontrasepsi hormonal, sedang
proporsi terbesar (49,9%) adalah pada pemakai kontrasepsi suntikan, pemakai kontrasepsi non
hormonal 4,33%, pemakai metode operasi 3,76%, dan 3,76% menggunakan alat/cara KB
tradisional. Ditemukan hubungan yang bermakna antara faktor sosiodemografi dengan pemakaian
alat/cara kontrasepsi. Faktor sosiodemografi yang berpengaruh adalah pendidikan responden,
pendidikan suami responden, usia responden, jumlah anak masih hidup, daerah tempat tinggal dan
pengeluaran rumah tangga sebulan.

Sumber :
Dimitri, Seruni, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta 2002

19
20. Faktor Sosiodemografi Ekonomi serta Kontrasepsi yang
Mempengaruhi Fertilitas Wanita Kawin (15 19 tahun), di Jawa
Barat Tahun 2001 (Analis Data Sekunder Survei Sosial Ekonomi
Nasional Tahun 2001)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor sosiodemografi ekonomi serta kontrasepsi
yang mempengaruhi fertilitas pada wanita kawin di Jawa Barat Tahun 2001. Khususnya bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara fertilitas wanita kawin dengan faktor sosiodemografi (umur ibu,
usia kawin pertama, jumlah anak dan tempat tinggal). Mengetahui hubungan antara fertilitas wanita
kawin dengan faktor sosioekonomi (pendidikan, pekerjaan dan pendapatan); dan mengetahui
hubungan antara fertilitas wanita kawin dengan penggunaan kontrasepsi di Jawa Barat tahun 2001.

Studi ini merupakan analisa data sekunder yang bersumber pada hasil survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2001, Populasi penelitian adalah wanita kawin umur 15 49
tahun di Jawa Barat, sedang sampel yang diambil sebesar 14 376 responden. Analisis data yang
dilakukan adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukan dengan teknik
uji korelasi regresi, independent sample T test, dan anova

Hasil penelitian memperlihatkan rata-rata jumlah anak lahir hidup sebesar 2,52 orang anak.
Faktor sosiodemografi yang mempunyai hubungan bermakna dengan fertilitas adalah umur ibu,
umur kawin pertama, dan jumlah anak meninggal. Faktor sosioekonomi yang mempunyai
hubungan bermakna dengan fertilitas adalah pendidikan, pekerjaan dan pendapatan dan kontrasepsi
juga mempunyai hubungan yang bermakna dengan fertilitas.

Sumber :
Fathimah, Anissatul, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 2002

20
21. Gambaran Karakteristik Pemakaian Alat Kontrasepsi Suntik dan Pil di
Puskesmas Kiaracondong, Bandung Tahun 2002

Penelitian ini utuk mengetahui karakteristik pemakai alat kontrasepsi suntik pada wanita
pasangan usia subur yang berkunjung ke Puskesmas Kiaracondong, Kelurahan Kebon Waru,
Kecamatan Batunnungal, Bandung secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
proporsi wanita PUS yang memakai kontrasepsi suntikan; mengetahui hubungan antara umur,
tingkat pendidikan, pekerjaan, lamanya berstatus kawin, kelahiran hidup dan kelahiran mati, tingkat
pengetahuan dan kunjungan petugas Puskesmas dan PLKB dengan pemakaian kontrasepsi
suntikan.

Rancangan penelitian adalah cross sectional. Sumber data adalah data sekunder Puskesmas
Kiaracondong, Bandung, tahun 2003. Lokasi penelitian adalah wilayah binaan Puskesmas
Kiaracondong, Bandung yang meliputi 3 kelurahan Populasi penelitian adalah wanita PUS yang
berkunjung ke Puskesmas Kiaracondong, Bandung dan ketika berkunjung sedang memakai
kontrasepsi suntikan. Sampel diambil dengan menggunakan teknik sample random sampling
diperoleh sebesar 79 orang. Data penelitian dikumpulkan dengan cara wawancara yang
menggunakan kuesioner. Data penelitian dianalisis dengan analisis univariat dan analisis bivariat.
Uji statistik yang digunakan adalah uji chi square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari responden yang memakai metode non MKJP,
pemakai suntikan memiliki proporsi terbesar (82,9%), sedang pil 17,1%. Ada hubungan yang
bermakna antara pekerjaan responden, kelahiran hidup dan kelahiran mati dengan pemakaian alat
kontrasepsi jenis suntikan. Tidak ada hubungan yang bermakna antara umur responden, tingkat
pendidikan, lama status kawin, tingkat pengetahuan responden dan kunjungan petugas Puskesmas
dan PLKB dengan pemakaian kontrasepsi suntikan.

Sumber :
Herawati, Heti, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 2003

21
22. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Kontrasepsi
Implant, Pada Wanita Usia Subur, Akseptor Keluarga Berencana Aktif
di Kecamatan Teluk Betung Utara, Kotamadia Bandar Lampung

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan


penggunaan metode implant pada wanita usia subur akseptor KB aktif. Secara khusus bertujuan
untuk memperoleh informasi tentang hubungan antara foktor sosiodemografi, pengetahuan, sikap
terhadapap KB, persepsi terhadap biaya pemasangan kontrasepsi, jarak ke tempat pelayanan
kesehatan, persepsi terhadap pelayanan petugas kesehatan, dorongan lingkungan, dan keterpaparan
media dengan penggunaan kontrasepsi implant pada wanita usia subur akseptor KB aktif.

Penelitian ini bersifat deskriptif yang dirancang secara cross sectional dengan pendekatan
one point time. Lokasi penelitian adalah Kelurahan Kupang Raya, Kupang Teba, Kupang Kota,
GulakGalik, Pengajaran, Gunung Mas, Sumur Putri, Sumur Batu, dan Pahoman, Kecamatan Teluk
Betung Utara Kotamadia Bandar Lampung. Populasi penelitian adalah wanita usia subur yang
sedang memakai kontrasepsi hormonal, sampel diambil dengan cara proporsional, stratified
random sampling, sedang besarnya dihitung dengan rumus Iwan Ariawan, sehingga diperoleh
sampel minimal 75, dalam penelitian ini diwawancari 150 responden dengan menggunakan
kuesioner. Data dianalisis dengan analisis univariat dan analisis bivariat dengan menggunakan uji
Chi Square dengan derajat kemaknaan 0,05.

Hasil penelitian menujukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan
penggunaan kontrasepsi implant, semakin tinggi usia wanita semakin besar kemungkinan
menggunakan implant, semakin rendah pendidikan wanita semakin besar kemungkinannya
memakai implant. Responden yang bekerja lebih besar peluangnya untuk menggunakan implant.
Responden yang memiliki anak lebih dari 2 berpeluang lebih besar menggunakan implant. Ada
hubungan yang bermakna antara persepsi biaya yang dikeluarkan dengan penggunaan implant.
Tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi terhadap pelayanan petgugas, dorongan
lingkungan, keterpaparan media informasi dengan penggunaan kontrasepsi implant.

Sumber
Pembayun, Rahma, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 2002

22
23.Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Fertilitas Pada Keluarga
Nelayan di Jakarta Utara Tahun 2001

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan fertilitas
keluarga nelayan di Jakarta Utara. secara khusus bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
faktor sosiodemografi, faktor sosioekonomi, penggunaan kontrasepsi, dan nilai anak dengan
fertilitas

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian potong lintang dengan prosedur


perhitungan sampel secara acak sederhana. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan
menggunakan kuesioner. Populasi penelitian adalah wanita usia subur yang pernah kawin dan
pernah melahirkan, dan keluarganya bekerja di sektor perikanan (nelayan, pedagang ikan dan
pengairan). Besar sampel penelitian dihitung dengan rumus estimasi proporsi pada sampel acak
sederhana dengan presisi mutlak sebesar 8%, diperoleh hasil penghitungan sebesar 137. Lokasi
penelitian adalah Kelurahan Rawa Badak Utara, Penjaringan, Kamal Muara, Cilincing, Marunda,
Kalibaru, Semper Barat, Pluit dan Ancol. Analisis datanya adalah analisis univariat dan analisis
bivariat dengan menggunakan uji T, uji Anova, uji korelasi dan regresi linier sederhana.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa separuh dari wanita keluarga nelayan memiliki anak
sebanyak 4 orang, rata-rata responden menikah pada umur 16,29 tahun (termuda umur 10 tahun,
paling tua 35 tahun). Median kematian anak 1 orang, sebanyak 59,2% responden berpendidikan
tidak tamat SD, dan 66,9% tidak bekerja, Rata-rata pendapatan Rp. 407.834,40. Pemakaian
kontrasepsi, sedang memakai 72,8%; dari yang memakai kontrasepsi 72,8% memakai suntikan dan
40,8% memakai pil sebanyak 70,7% responden memiliki jumlah anak ideal dengan median 4 anak.
Faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan fertilitas adalah umur ibu, umur kawin pertama,
dan jumlah kematian anak. Faktor sosioekonomi yang berhubungan dengan fertilitas adalah lama
penggunaan metode kontrasepsi dan jenis metode kontrasepsi, faktor nilai anak yang
berhubungan dengan fertilitas adalah nilai negatif anak dan jumlah anak ideal.

Sumber :
Utari, Retno, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 2002

23
24. Analisis terhadap perilaku akseptor KB dalam melakukan kontrol ulang
Pasca Pemasangan alat kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) di wilayah
kota Banda Aceh Tahun 2001

Metode kontrasepsi yang diminati akseptor antara lain, pil sebagai pilihan pertama, suntik
pilihan kedua dan AKDR pilihan ketiga. Hasil SDKI (1997), menemukan sekitar 12 % peserta
AKDR berhenti menggunakan AKDR dengan alasan karena efek samping. Hasil penelitian
BKKBN (2000) di propinsi Jatim, Bali, Sumbar dan Bengkulu menemukan bahwa pemeriksaan
(kontrol) setelah pemasangan IUD, dilakukan oleh akseptor pada waktu 1-7 hari setelah
pemasangan dan ada sebagian yang tidak melakukan kontrol dengan alasan tidak tahu, tidak ada
anjuran petugas dan tidak ada keluhan. Untuk D.I. Aceh, jumlah peserta aktif mencapai 334.434
peserta. Sedangkan untuk kota Banda Aceh akseptor yang menggunakan AKDR sebanyak 3.509
peserta. Akseptor yang mengalami komplikasi AKDR baik ringan maupun berat sebanyak 74
peserta, kegagalan 2 peserta. Sementara informasi dari petugas tentang perilaku akseptor
melakukan kontrol ulang pasca pemasangan AKDR sangat bervariasi. Jika banyak keluhan
kontrolnya lebih dari 5 kali dan ada juga yang tidak pernah kontrol karena tidak ada keluhan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang perilaku akseptor KB
dalam melakukan kontrol ulang pasca pemasangan AKDR yang dilihat dari variabel internal
(pengetahuan, sikap, motivasi) dan variabel eksternal (dukungan petugas, dorongan suami). Hal ini
didasarkan pada dugaan adanya kaitan antara kedua faktor tersebut dengan perilaku kontrol ulang
pasca pemasangan AKDR. Lokasi penelitian di kota Banda Aceh karena wilayah ini mempunyai
peserta AKDR mencapai 28 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun akseptor memiliki pengetahuan yang cukup
tentang AKDR, namun tidak semua akseptor bersedia melakukan kontrol ulang, disebabkan karena
adanya perasaan malu dan stres bila mengingat diperiksa pada alat genital. Sebagian besar akseptor
mempunyai sikap positif terhadap perlunya kontrol ulang pasca pemasangan AKDR, tetapi
kenyataannya tidak semua akseptor melakukannya. Motivasi akseptor melakukan kontrol ulang
terutama karena ada keluhan, ada juga karena anjuran petugas, keinginan sendiri. Mereka
menyadari bahwa kontrol perlu dilakukan, namun karena ada perasaan malu dan stres yang
menyebabkan akseptor enggan melakukan kontrol. Dukungan petugas untuk kontrol ulang terutama
bila ada keluhan, hal ini menyebabkan akseptor cenderung melakukan kontrol ulang bila ada
keluhan yang dianggap berat. Dorongan para suami untuk melakukan kontrol ulang cukup baik,
namun kesediaan untuk kontrol ulang sangat tergantung dari minat dan motivasi akseptor sendiri.
Perilaku kontrol dari akseptor sangat bervariasi. Jika banyak keluhan frekuensi lebih dari 4 kali
tetapi bila tidak ada keluhan mereka tidak kontrol sama sekali. Tidak ada perbedaan pengetahuan
tentang AKDR antara akseptor yang melakukan kontrol ulang dengan yang tidak melakukan
kontrol ulang. Sikap yang ditunjukkan terhadap kontrol ulang cukup positif, namun ada yang
mempunyai sikap negatif karena alasan merepotkan dan malu untuk diperiksa. Umumnya motivasi
akseptor melakukan kontrol ulang karena ada keluhan. Dukungan petugas untuk kontrol ulang
terutama bila ada keluhan. Umumnya dorongan dari para suami untuk kontrol ulang cukup baik.
Untuk itu disarankan perlu adanya pelatihan petugas dan buku panduan untuk meningkatkan
kualitas konseling. Perlu adanya pengawasan dan bimbingan dari Kepala Puskesmas kepada
petugas dalam memotivasi akseptor melakukan kontrol ulang. Perlu adanya pendekatan spiritual
dan kebudayaan serta pengawasan dari petugas kepada akseptor untuk melakukan kontrol ulang.

Sumber :
Meutia Yusuf, Analisis terhadap perilaku akseptor KB dalam melakukan kontrol ulang pasca pemasangan
alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) di wilayah kota Banda Aceh tahun 2001, oleh : Depok, 2001

24
25. ANGKA KELANGSUNGAN PENGGUNAAN KONTRASEPSI NORPLANT
DI INDONESIA

Norplant merupakan salah satu jenis kontrasepsi yang banyak diminati oleh para wanita di
Indonesia. Studi awal dilakukan pada Mei 1981 di Indonesia di klinik Raden Saleh dan RS. Hasan
Sadikin. Sejak teregistrasi di Indonesia pada Januari 1986, peserta Norplant mengalami
peningkatan terus. Pada tahun 1987 hanya 0,4 % dari wanita kawin di Jawa dan Bali menggunakan
Norplant, sedangkan pada tahun 1994, hampir 5 % dari wanita kawin usia reproduksi menggunakan
Norplant. Untuk menghitung angka kelangsungan penggunaan kontrasepsi Norplant digunakan dua
sumber data yaitu SDKI 1994 dan Studi Dinamika penggunaan Norplant tahun 1992 .

Berdasarkan hasil per hitungan dengan meng gunakan data SDKI 1994 ditemukan bahwa
angka ke langsungan kumulatif setelah 48 bulan adalah 84 %. Alasan utama berhenti dari
penggunaan Norplant adalah karena efek samping yang timbul (berkisar antara 3,5 % setelah 12
bulan insersi sampai dengan 11,9 % setelah 48 bulan insersi). Angka ketidak langsungan karena
kegagalan alkon adalah 0,5 %
Tabel 1. Angka Kelangsungan Kumulatid Norplant, menurut
setelah 24 bulan insersi.
sumber data, Indonesia
Sedangkan menurut hasil studi Sumber data 12 bln 24 bln 36 bln 48 bln 60 bln
Dinamika penggunaan Norplant, SDKI 1994 95,7 91,4 86,7 83,5 Na
angka kelangsungan penggunaan Studi Dinamika
setelah 4 tahun insersi adalah 81 Sumbar 96,5 93,2 88,4 80,8 33,0
Jabar 95,8 91,2 86,8 82,6 55,0
% di Jabar dan 83 % di Sumbar.
Sumber :Tabulasi khusus oleh DHS/Macro Internasional; CBS et al.
Angka kelangsungan setelah 5 (1995: Tabel 7.1, p.87)
tahun insersi adalah 33 % di Jabar
dan 55 % di Sumbar. Ini berarti bahwa sebagian besar akseptor melakukan pencabutan pada tahun
kelima atau setelah mendekati 5 tahun insersi. Angka ketidaklangsungan karena kehamilan selama
4 tahun penggunaan dibawah 1 % untuk kedua propinsi, namun angka ketidaklangsungan
meningkat menjadi 2 % setelah 5 tahun penggunaan di propinsi Sumbar. Angka kelangsungan
pemakai Norplant lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka kelangsungan metoda jangka
panjang yang lain. Menurut SDKI 1994, angka ketidak langsungan pada 12 bulan pemakai IUD
hampir 4 kali lebih besar dari
pemakai Norplant (lihat Tabel 2). Tabel 2. Angka Ketidak langsungan setelag 12 bulan ipenggunaan,
Hasil analisa tentang tingginya menurut alasan berhenti dan metoda terakhir dipakai, Indonesia.
angka kelangsungan pemakaian Jenis KB Kegagalan Ingin Efek Alasan Seluruh
Metoda hamil samping lainnya Alasan
Norplant disebabkan oleh salah
satunya karena hanya sedikit Norplant 0,3 0,1 1,8 2,2 4,4
provider yang dapat melakukan IUD 1,8 0,9 8,4 4,1 15,2
pencabutan, namun analisa ini Pil 4,1 10,7 10,9 8,1 33,8
tidak ditunjang dengan rendahnya Suntikan 1,6 4,5 15,0 8,0 29,1
Sumber : CBS et al. (1995; Tabel 7.1,p.111)
angka kelangsungan penggunaan
setelah 5 tahun. Sebagian provider menyatakan bahwa mereka menolak melakukan pencabutan
sebelum 5 tahun insersi, namun penjelasan ini tidak didukung dengan perhitungan perbedaan angka
kelangsungan untuk metoda yang lain. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tingginya
angka ke langsungan penggunaan Nor plant adalah banyaknya wanita yang tidak mengetahui
bahwa Nor plant dapat dicabut sebe lum masa pakainya habis. Studi sebelumnya menun jukkan
bahwa konseling, informasi dan tersedianya pelayanan pencabutan juga mempengaruhi
kelangsungan penggunaan.
Sumber :
Jayanti Tuladar et al.
Studies in Family Planning vol 29, no.3, September 1998, p 291-299, The Introduction and Use of Norplant
Implant in Indonesia,

25
26. ANALISIS KELANGSUNGAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelangsungan pemakaian alat


kontrasepsi di daerah intervensi program, yaitu di wilayah Safe Motherhood Project dan Non Safe
Motherhood Project baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, yang dilihat dari lamanya seseorang
memakai suatu alat kontrasepsi dan metode kontrasepsi yang digunakan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia 2002-2003 yang diperluas untuk wilayah Safe Motherhood di Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Metode Life Table digunakan untuk menghitung angka kelangsungan pemakaian
kontrasepsi. Hasil analisis menyatakan bahwa tinggi rendahnya angka kelangsungan pemakaian
kontrasepsi dipengaruhi oleh varibel demografi/wilayah (umur, jumlah anak, wilayah) sosio-
ekonomi (pendidikan, jenis pekerjaan, wealth index), pendekatan program (kunjungan petugas dan
tempat pelayanan) dan motivasi (informasi, konsultasi, biaya dan keputusan dalam ber-KB). Hasil
penelitian angka kelangsungan pemakaian alkon dapat dibagi menjadi dua yaitu sebagian hasil studi
mendukung hipotesis dan temuan-temuan studi sebelumnya, tapi sebagian yang lain bertentangan
dengan hipotesis yang diajukan. Hasil yang mendukung hipotesis misalnya umur dan jumlah anak.
Makin tinggi umur akseptor makin tinggi angka kelangsungan pemakaian alkon. Begitu pula,
makin banyak jumlah anak makin tinggi angka kelangsungannya. Namun angka kelangsungan
untuk tingkat pendidikan bertentangan dengan hipotesis bahwa makin tinggi tingkat pendidikan
makin tinggi angka kelangsungan. Hasil analisis menunjukkan bahwa makin tinggi tingkat
pendidikan akseptor justru makin rendah angka kelangsungannya. Hal ini berkaitan dengan
kenyataan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi masih berusia muda sehingga masih ada
keinginan untuk menambah anak karena jumlah anak yang dimiliki belum ideal. Begitu pula dalam
hal kemandirian, yang dilihat dari kemampuan membayar alkon, terlihat bahwa mereka yang tidak
membayar alkon (memperoleh alkon secara gratis) ternyata memiliki angka kelangsungan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan yang mampu membayar. Temuan ini mengindikasikan masih
perlunya pembinaan bagi akseptor dan masih perlunya memberikan subsidi bagi peserta KB yang
tidak mampu. Namun dalam jangka panjang akseptor tidak dapat lagi menggantungkan diri pada
pemerintah. Untuk itu pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan pemberdayaan bagi keluarga
miskin sehingga mereka mampu mandiri dalam ber-KB.

Sumber :
Nurhadi W, Analisis Kelangsungan Pemakaian Alat Kontrasepsi, , BKKBN, 2004

26
27. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FERTILITAS
DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR

Penelitian lanjut dengan menggunakan data SDKI 2002 dan SMPFA 2002 dengan topik
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah anak lahir hidup bertujuan untuk mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku fertilitas di kedua propinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur
dimana fertilitasnya adalah fertilitas kumulatif. Dan membandingkan fertilitas di kedua propinsi
tersebut. Responden dalam penelitian ini adalah wanita pernah kawin berusia 15-49 tahun. Jumlah
responden di Jawa Tengah-SDKI 4234 orang, di Jawa Timur-SDKI 5367 orang, di Jawa Tengah-
SMPFA 2598 orang dan di Jawa Timur-SMPFA 1881 orang. Metode analisa yang digunakan
adalah statistik deskriptif dan analisis inferensial dengan model regresi linier. Variabel yang
digunakan adalah umur, umur kawin pertama, jumlah perkawinan, kematian janin, pemakaian
kontrasepsi dan variabel sosial ekonominya adalah pendidikan dan pekerjaan responden,
pendidikan dan pekerjaan suami, akses terhadap media, status kekayaan serta tempat tinggal.

Karakteristik responden, umur kawin pertama kurang dari 19 tahun di daerah SMPFA
persentasenya lebi tinggi dibandingkan dengan di daerah SDKI. Dari jumlah anak yang dilahirkan
hidup, di propinsi Jawa Timur-SMPFA ada 12 persen dan di Jawa Timur-SDKI 10 persen, yang
belum mempunyai anak.Dan mereka yang mempunyai anak 4 orang atau lebih, persentase
terbanyak terdapat di Jawa Tengah-SMPFA 21,9 persen, dan yang tersedikit terdapat di Jawa
Timur-SDKI sebesar 10,8 persen. Di semua propinsi yang diamati terdapat sekitar 10 persen yang
mengalami kematian janin. Persentase mereka yang tidak pernah memakai kontrasepsi terbanyak di
Jawa Timur-SMPFA 27 persen, sementara di propinsi lainnya sebesar 19 persen.Tingkat
pendidikan perempuan di Jawa Tengah-SMPFA yang terendah, lalu diikuti oleh Jawa Timur-
SMPFA dan yang tertinggi adalah tingkat pendidikan perempuan di Jawa Timur-SDKI.Lebih dari
separoh perempuan bekerja.Mereka yang pernah akses terhadap media relatif sedikit yang
terbanyak terdapat di Jawa Timur-SDKI 35 persen dan yang tersedikit di wilayah SMPFA sekitar
26 persen.Persentase terbanyak perempuan yang mempunyai status kekayaan tertinggi terdapat
di Jawa Timur-SDKI 23,4 persen, lalu Jawa Tengah SDKI 15 persen, dan yang tersedikit terdapat
di Jawa Timur-SMPFA 8,5 persen.Renponden cenderung tinggal di perdesaan, lebih dari 80 persen
responden di Jawa Timur-SMPFA dan 67 persen di Jawa Tengah SMPFA tinggal di perdesaan,
sementara di Jawa Timur-SDKI 57 persen dan di Jawa Tengah-SDKI 59 persen tinggal di
perdesaan. Hasil regresi memperlihatkan bahwa umur responden mempunyai hubungan positif dan
varibel antara yaitu umur kawin pertama, jumlah perkawinan, dan pemakaian kontrasepsi
cenderung mempunyai hubungan negatif dengan jumlah ALH.Sedangkan kematian janin
mempunyai pengaruh negatif di wilayah SMPFA, dan cenderung tidak signifikan pengaruhnya
terhadap fertilitas di wilayah SMPFA. Sementara variabel sosial ekonomi mempunyai hubungan
/pengaruh yang berbeda-beda terhadap perilaku fertilitas.

Di Jawa Tengah- SDKI, dimana pendidikan,bekerja, tempat tinggal dan pernah akses
terhadap media secara konsisten mempunyai pengaruh negatif, sementara status kekayaan
mempunyai pengaruh positif terhadap fertilitas, dan di Jawa Tengah ini jumlah ALH tinggi
dibandingkan dengan wilayah lain. Jumlah ALH menjadi lebih tinggi jika perempuan mempunyai
pendidikan rendah, tinggal di perdesaan, tidak pernah akses terhadap media dan status ekonominya
bukan yang termiskin.

Di Jawa Timur SDKI, bekerja dan pernah akses terhadap media secara konsisten
mempunyai pengaruh negatif, sedangkan pendidikan cenderung mempunyai pengaruh positif, dan
27
status kekayaan serta tempat tinggal mempunyai pengaruh berbeda antara yang pernah kawin dan
yang berstatus kawin. Diantara mereka yang berstatus kawin, bekerja di perkotaan, dengan suami
berpendidikan SLTP+, suami bekerja di perkotaan mempunyai pengaruh positif terhadap jumlah
ALH sementara status kekayaan dan tempat tinggal cenderung tidak mempunyai pengaruh
terhadap fertilitas. Jumlah ALH di Jawa Timur SDKI terendah dibandingkan dengan daerah
lainnya.

Di Jawa Tengah SMPFA, tingkat pendidikan Tamat SD dan tempat tinggal secara
konsisten mempunyai pengaruh negatif terhadap fertilitas. Untuk perempuan kawin, pendidikan
Tamat SD, bekerja di perkotaan mempunyai hubungan negatif dengan fertilitas.Sementara tingkat
pendidikan SLTP+, bekerja, akses terhadap media, status kekayaan cenderung tidak berpengaruh
terhadap jumlah ALH. Jumlah ALH di Jawa Tengah-SMPFA lebih rendah dibandingkan dengan di
Jawa Tengah-SDKI.

Jawa Timur-SMPFA, tingkat pendidikan Tamat SD, bekerja di perkotaan, status


kekayaan kurang miskin dan sedang mempunyai hubungan negatif dengan fertilitas, sedangkan
tingkat pendidikan SLTP+, tempat tinggal, status kekayaan lebih dari sedang tidak mempunyai
pengaruh terhadap fertilitas. Variabel akses terhadap media mempunyai pengaruh negatif untuk
perempuan kawin. Jumlah ALH disini lebih rendah dibandingkan dengan Jawa Tengah-SDKI dan
Jawa Tengah-SMPFA.

Tempat tinggal di perdesaan sebaiknya mendapat perhatian lebih, dalam hal penyuluhan
atau pemberian informasi serta pelayanan mengenai kesehatan reproduksi dan KB, tingkat
pendidikan perempuan harus ditingkatkan baik di perdesaan maupun di perkotaan agar yang akses
terhadap media juga meningkat. Dalam hal memberikan informasi atau penyuluhan harus dalam
bentuk yang menarik dan mudah dimengerti.

Sumber :
Suci Rohani, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fertilitas Di Jawa Tengah Dan Jawa Timur, BKKBN,
2004

28
28. KEMANDIRIAN KB

Tujuan analisis untuk mengetahui hubungan antara karakteristik responden dengan


kemandirian KB dan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Tujuan Khususnya adalah (1) Untuk
mengetahui kesertaan dan kemandirian KB dalam kaitannya dengan karakteristik sosial demografi,
yang meliputi : umur; pendidikan; status pekerjaan; jumlah anak, tempat tinggal dan indeks
kesejahteraan. (2) Untuk mengetahui kesertaan dan kemandirian KB dalam kaitannya dengan :
akses media, kontak dengan petugas, akses informasi KB, pengetahuan KB, sikap terhadap KB,
diskusi KB dengan suami dan pengalaman efek samping menggunakan alat/cara KB. (3) Untuk
mengetahui kemandirian KB dalam kaitannya dengan : keputusan KB, jenis alat/cara KB yang
digunakan serta tempat memperoleh alat/cara KB.

Hasil analisis ini terlihat bahwa dalam beberapa hal karakteristik sosial demografi PUS di
wilayah SM-PFA berbeda dengan wilayah Non SM-PFA. PUS yang mempunyai suami umur 30-49
tahun lebih banyak di wilayah Non SM-PFA, sedangkan yang suaminya berusia 30 tahun dan 50
tahun ke atas lebih banyak di wilayah SM-PFA. Tingkat pendidikan PUS di wilayah SM-PFA
lebih rendah dibandingkan dengan PUS wilayah Non SM-PFA, begitu pula dengan pendidikan
suami. PUS yang mempunyai jumlah anak lahir hidup > 3 lebih banyak di wilayah SM-PFA,
sebaliknya yang mempunyai jumlah anak lahir hidup < 3 lebih banyak di wilayah Non SM-PFA.
Demikian pula dengan jumlah anak masih hidup dan jumlah anak yang diinginkan. Kemudian
untuk jumlah anak diinginkan suami, yang menginginkan jumlah anak sama dengan istri lebih
banyak di wilayah Non SM-PFA, sedangkan yang menginginkan jumlah anak lebih banyak dari
istri lebih banyak di wilayah SM-PFA. PUS yang tinggal di daerah pedesaan lebih banyak di
wilayah SM-PFA, sementara yang tinggal di perkotaan lebih banyak di wilayah Non SM-PFA.
Kondisi kesejahteraan PUS di wilayah Non SM-PFA lebih baik dari wilayah SM-PFA.

Terdapat perbedaan akses media dan kontak PUS dengan petugas antara wilayah SM-PFA
dan Non SM-PFA, dimana kondisi di wilayah Non SM-PFA lebih baik dari SM-PFA. Tetapi untuk
akses informasi KB tidak ditemukan perbedaan antar wilayah, pada umumnya hanya sesekali
mengakses informasi KB. Pengetahuan dan sikap PUS terhadap KB di wilayah SM-PFA berbeda
dengan wilayah Non SM-PFA, di wilayah Non SMP-FAkondisinya lebih baik. Namun untuk sikap
suami PUS terhadap KB tidak ditemukan perbedaan antar wilayah, umumnya suami PUS setuju
KB. Ditemukan adanya perbedaan antara wilayah SM-PFA dan Non SM-PFA berkenaan dengan
aktivitas PUS diskusi KB dengan suami, yaitu di wilayah SM-PFA lebih baik dari Non SM-PFA.
Sedangkan mengenai pengalaman efek samping menggunakan alat/cara KB, antar wilayah tidak
terdapat perbedaan, sebagian besar (78,07-81,18%) peserta KB pernah mengalami efek samping.
Terdapat perbedaan kesertaan KB antara wilayah SM-PFA dan Non SM-PFA, kondisi di wilayah
Non SM-PFA lebih baik dengan prevalensi 63,04%, sementara di wilayah SM-PFA prevalensinya
55,54%. Ditemukan perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi kesertaan KB antara wilayah SM-
PFA dan Non SM-PFA. Kesertaan KB di wilayah SM-PFA dipengaruhi oleh : 1) umur istri; 2)
pendidikan istri; 3) status pekerjaan istri; 4) jumlah anak masih hidup; 5) jumlah anak yang
diinginkan; 6) tempat tinggal; 7) indeks kesejahteraan; 8) akses informasi KB; 9) pengetahuan KB;
10) sikap suami terhadap KB; 11) diskusi KB dengan suami; dengan koefisien determinasi 0,764.
Tetapi untuk status pekerjaan istri dan pengetahuan KB pengaruhnya bersifat co-linearity.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesertaan KB di wilayah Non SM-PFA adalah : 1) umur


istri; 2) status pekerjaan istri; 3) status pekerjaan suami; 4) jumlah anak masih hidup; 5) jumlah
anak yang diinginkan; 6) akses media; 7) pengetahuan KB; dan 8) sikap suami terhadap KB;

29
dengan koefisien determinasi 0,716. Tetapi untuk status pekerjaan istri pengaruhnya bersifat co-
linearity. Berkenaan dengan hal ini faktor umur istri; jumlah anak diinginkan; dan pengetahuan KB
memberikan pengaruh secara terbalik, yaitu makin tua umur istri; makin banyak jumlah anak yang
diinginkan; dan makin tinggi pengetahuan KB; semakin kurang baik kesertaan KB nya. Sedangkan
untuk faktor akses media, makin baik akses media semakin baik kesertaan KB nya. Begitu pula
dengan PUS yang suaminya bekerja; mempunyai jumlah anak masih hidup lebih banyak; suaminya
bersikap lebih positif terhadap KB; cenderung kesertaan KB nya lebih baik. Adapun faktor yang
paling berpengaruh terhadap kesertaan KB adalah sikap suami terhadap KB.Terdapat perbedaan
antara wilayah SM-PFA dan Non SM-PFA tentang keputusan KB, yaitu pengambilan keputusan
yang tidak dilakukan secara bersama (suami-istri) lebih banyak di wilayah SN-PFA. Ditemukan
perbedaan mengenai alat/cara KB yang digunakan antara wilayah SM-PFA dan Non SM-PFA,
yaitu untuk yang menggunakan suntik dan pil lebih banyak di wilayah SM-PFA, sementara yang
menggunakan IUD dan MOW lebih banyak di wilayah Non SM-PFA. Terdapat perbedaan antara
wilayah SM-PFA dan Non SM-PFA berkenaan dengan tempat memperoleh alat/cara KB, yaitu
yang memperoleh dari jalur pemerintah lebih banyak di wilayah Non SM-PFA, sedangkan yang
mendapatkan dari jalur swasta dan jalur pelayanan lainnya lebih banyak di wilayah SM-PFA.
Terdapat perbedaan kemandirian KB antara wilayah SM-PFA dan Non SM-PFA, yaitu yang
mandiri lebih banyak di wilayah SM-PFA, sementara yang tidak mandiri lebih banyak di wilayah
Non SM-PFA. Ditemukan perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian KB antara
wilayah SM-PFA dan Non SM-PFA.

Kemandirian KB di wilayah SM-PFA dipengaruhi oleh : 1) umur suami; 2) pendidikan


istri; 3) jumlah anak diinginkan suami; 4) pengalaman efek samping menggunakan alat/cara KB; 5)
jenis alat/cara KB yang digunakan; serta 6) tempat memperoleh alat/cara KB. Tetapi pengaruhnya
sangat lemah karena koefisien determinasinya 0,186. Selain itu, untuk pendidikan istri dan jumlah
anak diinginkan suami pengaruhnya bersifat co-linearity. Dalam hal ini makin tua umur suami
semakin kurang baik kemandirian KB nya. Begitu pula yang tidak pernah mengalami efek samping
dalam menggunakan alat/cara KB, cenderung kemandirian KB nya kurang baik. Tetapi untuk yang
menggunakan alat/cara KB suntik, pil, dan kondom, kemandirian KB nya lebih baik dari yang
menggunakan jenis alat/cara KB yang lain. Dan yang memperoleh alat/cara KB dari jalur pelayanan
swasta juga cenderung lebih baik kemandirian KB nya. Adapun faktor yang paling berpengaruh
terhadap kemandirian KB adalah tempat memperoleh alat/cara KB.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian KB di wilayah Non SM-PFA adalah : 1)


umur istri; 2) umur suami; 3) jumlah anak yang diinginkan; 4) pengalaman efek samping
menggunakan alat/cara KB; dan 5) tempat memperoleh alat/cara KB. Namun kadar pengaruhnya
sangat lemah karena koefisien determinasinya 0,237. Disamping itu faktor umur istri pengaruhnya
bersifat co-linearity. Sehubungan dengan hal ini makin tua umur suami semakin kurang baik
kemandirian KB nya. Kemudian yang tidak pernah mengalami efek samping menggunakan
alat/cara KB juga cenderung kurang baik kemandirian KB nya. Sedangkan yang memperoleh
alat/cara KB dari jalur pelayanan swasta cenderung lebih baik kemandirian KB nya. Adapun faktor
yang paling berpengaruh terhadap kemandirian KB adalah tempat memperoleh alat/cara KB.

Sumber :
Soemarto Edy dan I.A. Sriudiyani, Kemandirian KB, BKKBN, 2004

30
29. Isu gender tentang pengetahuan,
sikap dan pengambilan keputusan KB dan KR

Konsep pengharusutamaan gender dapat juga mendukung upaya untuk meningkatkan


kesadaran keikutsertaan perempuan dan laki-laki dalam keluarga berencana dan peningkatan
kesadaran kebutuhan terhadap kesehatan reproduksi yang berkualitas. Dalam upaya mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender ini yang menjadi masalah adalah sejauh mana perempuan berperan
dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga khususnya dalam hal Keluarga Berencana (KB)
dan Kesehatan Reproduksi (KR).

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara karakteristik latang
belakang suami/ istri dengan beberapa variable yang dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap dan
pengambilan keputusan dalam KB/KR. Analisis lanjut ini menggunakan data Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia 2002/2003 dan Survei SMP-FA di 10 kabupaten, di dua propinsi yaitu
Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Timur. Unit analisisnya adalah wanita berstatus kawin.

Hasil analisis menunjukkan bahwa wanita saat ini cukup banyak yang mengatakan
bahwa wanita berhak menolak diajak kumpul, di daerah non SMP-FA maupun di daerah
SMP-FA mempunyai persentase sama yaitu 93 persen. Adapun alasan responden
mengatakan bahwa isteri berhak menolak kumpul yang terbanyak adalah karena alasan
habis melahirkan (diatas 91 persen), disusul sedang mengalami penyakit menular seksual,
adanya wanita lain dan lelah atau sedang tidak ingin.Distribusi persentase responden yang
membicarakan KB dengan suami lebih tinggi di daerah SM-PFA yaitu 65 persen dibandingkan di
daerah non SM-PFA hanya 47 persen. Persentase responden yang mengatakan suami menemani
ketika memeriksakan kehamilan terlihat bahwa di daerah non SMP-FA lebih tinggi yaitu 71 persen
sedangkan di daerah SMP-FA 59 persen. Persentase responden yang mengatakan suaminya
menemani ketika persalinan lebih tinggi di daerah SM-PFA yaitu 78 persen, sedangkan di daerah
non SMP-FA sebanyak 77 persen. Pengambilan keputusan dalam pemakaian KB lebih banyak
ditentukan secara bersama-sama antara suami dan isteri, persentasenya di daerah SM-PFA 67
persen sedangkan di daerah non SM-PFA sebanyak 66 persen, artinya 6 dari 10 responden
mengatakan bahwa keputusan dalam ber-KB ditentukan secara bersama-sama, hal ini menunjukkan
bahwa masalah penggunaan KB merupakan masalah yang harus diatasi berdua antara suami dan
isteri. Dari hasil analisis ini ditemukan bahwa pengambilan keputusan dalam pemeriksaan
kesehatan ibu lebih banyak ditentukan oleh responden sendiri, persentasenya di daerah SM-PFA
sebanyak 65 persen sedangkan di daerah non SM-PFA sebanyak 62 persen. Ada kecenderungan
pemeriksaan kesehatan ibu hamil merupakan urusan perempuan sehingga perempuanlah yang
berhak memutuskan. Pengambilan keputusan dalam pembelian barang-barang tahan lama lebih
banyak dilakukan secara bersama-sama, persentasenya di daerah non SM-PFA sebanyak 69 persen,
sedangkan di daerah SM-PFA sebanyak 63 persen.Pengambilan keputusan dalam pembelian
kebutuhan sehari-hari banyak ditentukan oleh responden sendiri, persentasenya sama 88 persen
baik di daerah SM-PFA maupun di daerah non SM-PFA. Ini berarti bahwa untuk kasus pembelian
kebutuhan sehari-hari sudah sudah sepenuhnya diserahkan kepada keputusan istri dan tidak ada
kontrol dari suami. Keputusan dalam kunjungan keluarga lebih banyak ditentukan secara bersama-
sama, persentasenya lebih tinggi di daerah non SM-PFA (70 persen), sedangkan di daerah SM-PFA
sebanyak 69 persen. Sementara keputusan dalam menentukan jenis makanan yang akan dimasak
setiap hari lebih banyak ditentukan oleh responden, persentasenya lebih tinggi di daerah non SM-
PFA (93 persen) sedangkan di daerah SM-PFA sebanyak 90 persen. Ini berarti bahwa untuk kasus

31
penentuan jenis makanan yang akan dimasak setiap hari sudah sepenuhnya diserahkan kepada
keputusan istri dan tidak ada kontrol dari suami.

Sebanyak 16 persen responden di daerah SM-PFA mengatakan bahwa suami berhak


memukul isteri, sedangkan di daerah non SM-PFA sebanyak 15 persen mengatakan bahwa suami
berhak memukul isteri. Adapun alasan kenapa suami berhak memukul istri 12 persen
mengatakan karena pergi tanpa ijin, selanjutnya diatas 10 persen mengatakan karena isteri
mengabaikan anak, diatas 3 persen karena menolak kumpul dan diatas 2 persen karena
pertengkaran.

Melihat hasil analisis ini tampak bahwa beberapa keputusan dalam KB-KR sudah
menunjukkan perbaikan, ini berarti bahwa istri sudah mempunyai posisi dalam pengambilan
keputusan untuk dirinya sendiri dalam KB-KR. Namun masih ada juga beberapa kasus suami masih
mengontrol istri dalam pengambilan keputusan untuk ber KB-KR walaupun persentasenya kecil.
Oleh karena itu perlu ada sosialisasi KB-KR untuk keluarga-keluarga baik di daerah non SM-PFA
maupun di daerah SM-PFA terutama bagi yang masih dikontrol oleh suami agar masalah KB-KR
merupakan masalah bersama antara suami dan istri, dibicarakan bersama-sama dan pengambilan
keputusan secara bersama-sama. Masih ada beberapa kasus dimana istri bersedia atau setuju
dipukul suami apabila istri melakukan kesalahan. Untuk itu perlu kita tindak lanjuti dengan
memberi pengetahuan dan wawasan yang lebih luas kepada keluarga (suami-istri) baik di daerah
non SM-PFA maupun di daerah SM-PFA bahwa kekerasan didalam keluarga sudah tidak boleh
dilakukan lagi atau sudah dihapuskan. Semua tindakan kekerasan di dalam keluarga sudah diatur
dalam Undang-Undantg, siapapun yang melanggar dapat dikenakan sangsi yang berat.

Sumber :
Ida Ayu Sriudiyani dan Flourisa J Sudradjat, Isu gender tentang pengetahuan, sikap dan pengambilan
keputusan KB dan KR, BKKBN, 2004

32
30. Hubungan Beberapa Faktor dengan Partisipasi Pria
Dalam Ber-KB dan Kesehatan Reproduksi
Di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur

Analisa bertujuan mempelajari besar hubungan antara beberapa faktor yang dikelompokkan
dalam faktor sosio-demografi (predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors), faktor
penguat (reinforcing factors), dengan partisipasi pria dalam ber-KB dan KR. Hipotesisi yang
dijukan dalam analisis ini adalah:1). Ada hubungan antara faktor sosio demografi dengan
partisipasi pria dalam KB dan KR; 2). Ada hubungan antara faktor pendukung suami dengan
partisipasi pria dalam KB dan KR; 3) Ada hubungan antara faktor penguat dengan partisipasi pria
dalam KB dan KR; 4). Ada hubungan antara factor sosio demografi, factor pendukung, dan factor
penguat dengan partisipasi pria dalam KB dan KR.

Hasil analisis menunjukkan factor yang paling dominan mempengaruhi partisipasi pria
tinggi dalam KB dan KR:1) diantara ketiga faktor yang diduga dapat mempengaruhi partisipasi pria
tinggi dalam KB dan KR, ternyata faktor sosiodemografi (predisposing factors) yang banyak keluar
sebagai faktor yang berpengaruh pada partisipasi pria tinggi dalam KB dan KR, yaitu variabel
pendidikan, umur, tempat, tinggal, dan jumlah anak lahir hidup yang dimiliki, walaupun ada sedikit
perbedaan untuk variabel terpilih tersebut antara wilayah SM-PFA dan Non SM-PFA, namun jelas
variabel tersebut memiliki hubungan yang bermakna (p<0.05) dan berpeluang besar terhadap
partisipasi pria dalam KB dan KR; 2).Variabel yang memiliki hubungan bermakna (p<0.05), dan
memberikan peluang besar pada partisipasi pria tinggi dalam KB dan KR dari faktor pendukung
adalah: keterpaparan responden pada informasi media massa, keterpaparan responden pada
informasi sumber memperoleh alkon kondom, akses informasi KB dari petugas KB, komunikasi
tentang cara pencegahan AIDS antara istri dan suami, komunikasi tentang KB yang seringkali
dilakukan antara istri dan suami, dan jumlah anak yang diinginkan suami. Kelima variabel ini
menunjukkan betapa penting komunikasi, dan informasi dalam mendorong perubahan perilaku
manusia kearah positif dengan kata lain dapat memberikan sumbangan besar dalam pengambilan
keputusan; 3). Hanya satu variabel dari faktor penguat yang memiliki hubungan bermakna (p<0.05)
dan peluang besar menjadikan pria/suami berpartisipasi tinggi dalam KB dan KR yaitu kunjungan
petugas lapangan kepada responden yang berbicara tentang KB, hal ini dapat dimengerti karena
kegiatan ini merupakan salah satu bentuk komunikasi yang bertatap muka langsung, dan memberi
kesempatan sasaran lebih leluasa mengungkapkan keingintahuan mereka terhadap sesuatu yang
belum dimengertinya.

Sumber :
Syahmida S Arsyad dan Dwi Wahyuni, Hubungan Beberapa Faktor dengan Partisipasi Pria
Dalam Ber-KB dan Kesehatan Reproduksi Di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, BKKBN, 2004

33

You might also like