Professional Documents
Culture Documents
Abstract
Oral anticoagulant drugs is most widely prescribed drugs in the elderly with atrial fibrillation (AF).
Oral anticoagulation although of proven benefit in a number of disorders can be dangerous without
careful monitoring. Managing long term oral anticoagulant therapy in elderly is a complex task
requiring carefully timed laboratory testing with appropriate dosage adjustment and prompt
diagnosis and management of thromboembolic or hemorrhagic complications. Since oral
anticoagulant drugs possess a narrow therapeutic index, therapeutic control is difficult. The
appropriate use of oral anticoagulant drugs in the elderly requires knowledge of age-related
physiological changes, the effects of concomitant diseases that alter the pharmacokinetic and
pharmacodynamic effects of cardiovascular drugs, and drugs interactions. Nevertheless,
anticoagulation treatment is still underused in elderly patients with AF. In a recent study, the use of
warfarin was 54% even amongst those patients considered to be at highest risk. Careful pre-
therapeutic assessment of patients before initiating anticoagulant therapy, establishment of a
centralized anticoagulant clinic, strict adherence to standard management guidelines and better
patient education can help greatly in optimizing treatment in the elderly on long term anticoagulant.
Pendahuluan
Awal abad ke-21 terdapat lebih banyak lansia yang hidup di bumi ini, dan
peningkatannya merupakan yang terbesar yang pernah dicapai dalam sejarah. Proporsi
penduduk Amerika Serikat dengan usia 65 tahun ke atas diproyeksikan akan meningkat dari
12,4% (35 juta) populasi pada tahun 2000 menjadi 19,6% (71 juta) pada tahun 2030 serta
akan meningkat menjadi 82 juta penduduk pada tahun 2050. Menurut prediksi serta laporan
data demografi penduduk internasional yang dikeluarkan oleh Bureau of the consensus
USA 1993 menyebutkan bahwa periode tahun 1990 sampai 2025, jumlah lansia Indonesia
akan mengalami peningkatan tertinggi di seluruh dunia yaitu sebesar 414%. Sebagai
perbandingan : Kenya 347%, Brazilia 225%, India 242%, China 220%, Jepang 129%,
Jerman 66%, dan Swedia 33%.1,2
Penyakit kardiovarkuler merupakan penyebab terbesar morbiditas dan mortalitas
pada lansia, dan obat-obatan kardiovaskuler banyak sekali digunakan pada populasi ini.
Seperti telah diketahui bahwa beberapa obat kardiovaskuler mempunyai rentang terapi yang
sempit pada lansia, oleh karena itu penggunaannya memerlukan pengetahuan tentang
perubahan fisiologis terkait dengan meningkatnya usia, efek penyakit penyerta yang dapat
merubah farmakodinamik serta farmakokinetik obat kardiovaskuler serta pengetahuan
adanya interaksi obat.1,3
Proses Penuaan
Proses penuaan adalah suatu proses yang progresif dari menurunnya kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya,
sehingga tidak mampu bertahan terhadap jejas atau trauma dan memperbaiki kerusakan
yang terjadi.2
Penurunan kapasitas fungsional organ-organ tubuh ini sudah dimulai sejak usia
kurang lebih 30 tahun, dan akan terjadi penurunan fungsi secara terus-menerus sebesar 1%
setiap 1 tahun pertambahan usia. Berbagai teori telah dikemukakan untuk menjelaskan
proses terjadinya proses menua, antara lain:
1. Teori Genetic clock
Proses penuaan diatur secara genetik dan terdapat perbedaan waktu pengaturan pada
setiap spesies. Menurut teori ini, di dalam inti sel terdapat suatu jam genetik yang telah
diputar menurut suatu replikasi tertentu.1
2. Teori mutasi somatik
Proses penuaan terjadi oleh karena mutasi somatik yang disebabkan karena pengaruh
lingkungan yang jelek. Kesalahan terjadi dalam proses transkripsi DNA-RNA dan
translasi RNA. Kesalahan ini terjadi terus-menerus, sehingga akan terjadi penurunan
fungsi organ atau sebaliknya justru terjadi penebalan sel menjadi sel-sel kanker.1
3. Teori sistem imun tubuh
Mutasi berulang dapat menyebabkan hilangnya pengenalan sistem imun tubuh terhadap
dirinya sendiri, jika hal ini terjadi pada membran sel, maka membran sel sendiri akan
dirusak oleh sistem imun tubuh. Menurut Goldstein, hal ini merupakan penyebab dari
meningkatnya angka kejadian penyakit autoimun pada orang tua.1
4. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas ataupun di dalam tubuh sebagai hasil
proses metabolisme ataupun pernafasan di dalam mitokondria. Radikal bebas
Tabel 2. Differentiation between Age-associated Changes & Cardiovascular Disease in Older People
Bioavailabilitas
Bioavailabilitas obat-obat kardiovaskuler tergantung terhadap derajad absorbsi obat
serta metabolisme lintas pertama oleh hepar dan dinding saluran gastrointestinal. Pada
lansia, bioavailabilitas absolut dari obat-obatan seperti propranolol, verapramil, dan
labetolol akan meningkat, dan hal tersebut disebabkan karena penurunan ekstraksi hepar
lintas pertama.3, 6
Metabolisme Obat
Pada lansia terjadi penurunan aliran darah hepar, massa hepar, volume hepar serta
kapasitas metabolik hepar. Sebagian besar penelitian menunjukkan penurunan clearance
atau metabolisme oksidatif obat oleh sistem enzim sitokrom p450 (CYP) dengan
meningkatnya usia. Perubahan tersebut akan meningkatkan konsentrasi serum obat yang
dimetabolisme di hepar seperti propanolol, lidokain, labetolol, verapramil, diltiazem, nitrat,
serta warfarin. Hal tersebut menunjukkan perlunya penurunan jumlah obat yang diberikan
per unit waktu (per hari) pada lansia dibandingkan usia muda.3, 6
Ekskresi Obat
Proses penuaan disertai dengan penurunan jumlah total dari nephron yang
fungsional sebanding dengan penurunan glomerular filtration rate dan renal plasma flow.
Penurunan fungsi renal terkait dengan proses penuaan tampaknya merupakan perubahan
fisiologis terpenting yang menyebabkan perubahan farmakokinetik pada lansia. Metode
terbaik untuk menentukan fungsi renal pada lansia adalah dengan menentukan cratinie
clearance menggunakan formula Cockcroft-Gault seperti persamaan 2.
Persamaan 2.
Creatinine clearance (mL/min) = (140 age) X body weight (kg)
72 X Screat (mg/dL)
Untuk wanita, formula tersebut dikalikan dengan 0,85 karena massa otot pada wanita lebih
kecil.3, 6
Penurunan clearance beberapa obat terutama yang diekskresi melalui ginjal akan
menyebabkan waktu paruh obat tersebut akan meningkat pada lansia. Obat-obatan
kardiovaskuler yang diketahui diekskresi oleh ginjal melalui berbagai derajat filtrasi dan
sekresi tubular antara lain: digoksin, diuretik, ACE inhibitor, anti aritmia (bretilium,
Farmakologi Warfarin
Warfarin berperan sebagai antikoagulan dengan menginhibisi vitamin K di
mikrosom hepar sehingga mengganggu pembentukan faktor koagulan yang tergantung
vitamin K, yaitu faktor II, VII, IX dan X. Warfarin oral diabsorbsi secara lengkap dan cepat
serta hampir seluruhnya berikatan dengan albumin plasma dengan waktu paruh sekitar 37
jam. Metabolisme warfarin berlangsung di mikrosom hepar menghasilkan metabolit tidak
aktif untuk kemudian diekskresi melalui urin dan feses. Hubungan antara dosis dengan
respon antikoagulan dipengaruhi oleh faktor genetik, obat lain yang diminum, pola makan
serta berbagai penyakit penyerta yang diderita. Variabilitas respon antikoagulan dapat juga
disebabkan oleh pemeriksaan laboratorium yang tidak akurat, kepatuhan penderita yang
rendah, serta salah pengertian yang sering terjadi diantara pasien dan dokter. Berbagai obat
dapat mempengaruhi farmakokinetik warfarin, mengurangi absorbsi gastrointestinal,
mengganggu metabolic clearance atau menginduksi aktivitas enzimatik hepar.4, 8, 9
Terapi warfarin jangka panjang sangat sensitif terhadap fluktuasi pola diet yang
mengandung vitamin K. Resistensi terhadap warfarin terjadi pada pasien yang banyak
mengkonsumsi sayuran hijau atau suplemen yang berisi vitamin K. Penurunan asupan
vitamin K pada kondisi malabsorbsi dan pada pasien dengan terapi antibiotika akan
memperkuat efek warfarin. Disfungsi hepar akan memperkuat respon terhadap warfarin
karena adanya gangguan sintesa faktor koagulasi. Kondisi hipermetabolik karena febris
atau hipertiroid akan meningkatkan respon terhadap warfarin yang kemungkinan
disebabkan oleh katabolisme terhadap faktor koagulasi. Aspirin dan anti inflamasi non
steroid akan meningkatkan resiko perdarahan yang terkait dengan warfarin melalui inhibisi
terhadap agragasi platelet. Obat tersebut juga dapat menyebabkan erosi lambung dan oleh
karena itu akan meningkatkan perdarahan saluran pencernaan bagian atas.4, 8, 9
Persamaan 3.
INR = (patiant PT / mean normal PT) ISI
or
log INR = ISI (log observed PT ratio)
ISI : International Sensitivity Index
ISI mencerminkan tingkat respon tromboplastin yang digunakan terhadap penurunan faktor
koagulasi yang tergantung vitamin K dibandingkan dengan standar internasional. 14
Pada awal pemberian warfarin, INR harus diperiksa setiap hari sampai mencapai
target rentang terapi, kemudian interval diperpanjang 2 hari setelah target tercapai. Setelah
itu frekuensi pemeriksaan menjadi 2 sampai 3 kali setiap minggu selama 1 sampai dengan 2
minggu. Selanjutnya frekuensi menjadi lebih jarang tergantung stabilitas hasil INR. Bila
INR telah stabil, frekuensi pemeriksaan dapat dikurangi dengan interval waktu paling lama
4 minggu. Keamanan dan efektifitas terapi warfarin sangat tergantung dari keberhasilan
mempertahankan INR dalam rentang terapi. Sebuah meta analisis terhadap penelitian
tentang pencegahan primer pada pasien atrial fibrilasi menyebutkan bahwa disproporsi
kejadian perdarahan dan tromboemboli terjadi ketika rasio PT berada di luar rentang
terapi.4, 8, 9, 10, 14
Analisis subgrup terhadap sebuah penelitian kohort juga menunjukkan peningkatan
resiko perdarahan ketika INR melebihi rentang terapi serta peningkatan resiko
tromboemboli ketika INR di bawah 2,0. Tantangan terbesar dalam terapi warfarin adalah
sulitnya mempertahankan intensitas antikoagulan dalam rentang terapi yang sempit. Hal
tersebut ditunjukkan pada sebuah meta analisis pencegahan primer pada atrial fibrilasi,
walaupun penatalaksanaan terhadap populasi pasien yang diseleksi secara hati-hati oleh
tenaga yang berdedikasi tinggi berdasarkan protokol penelitian yang ketat, nilai INR yang
Ringkasan
Terapi antikoagulan oral pada lansia memerlukan penatalaksanaan yang baik.
Disamping antikoagulan itu sendiri mempunyai indeks terapi yang sempit, perubahan
fisiologi yang terkait dengan usia serta keterbatasan fisik maupun kondisi kesehatan lansia
akan menjadi problematika tersendiri dalam mempertahankan efek antikoagulan tetap
dalam rentang terapi. Pemahaman lansia yang rendah tentang dosis dan tujuan terapi
antikoagulan serta pengenalan terhadap komplikasi perdarahan juga harus menjadi
pertimbangan dalam memulai terapi antikoagulan pada lansia.
AF merupakan aritmia kronis yang paling sering dan prevalensinya mempunyai
korelasi yang kuat dengan peningkatan usia. AF merupakan faktor resiko kuat terjadinya
resiko iskemik. Sebagian besar pasien AF berusia antara 65 tahun hingga 85 tahun,
sehingga terapi antikoagulan pada pasien AF juga harus mempertimbangkan kondisi pasien
yang sebagian besar usia tua dimana bila kontrol terapi dibawah target INR tidak akan
Daftar Pustaka
1. Ferruci L. Demography and Epidemiology. In: Hazzard WR, Blass JP, Ouslander
JG, editors. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology, 5th . New York:
McGraw-Hill Inc. ; 2003. p. 53-76.
2. Boedhi Darmojo R. Teori Proses Menua. Dalam: Boedhi Darmojo R, Hadi Martono
H, penyunting. Buku Ajar Geriatri, edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2002. hal. 3-34.
4. Halperin JL, Lakatta EG. Normal Aging of the Cardiovascular System. In: Aronow
WS, editors. Cardiovascular Disease in the Elderly, Revised and Expanded, 3th ed.
Marcel Dekker Inc.; 2004. p. 677-694-
6. Schwartz JB, Zipes DP. Cardiovascular Disease in the Elderly. In: Eugene
Braunwald M, editors. Braunwalds Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular
Medicine, 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. p. 1923-53.
7. Fleg JL, Lakatta EG. Normal Aging of the Cardiovascular System. In: Aronow WS,
editors. Cardiovascular Disease in the Elderly, Revised and Expanded, 3 th ed.
Marcel Dekker Inc.; 2004. p. 1-42.
8. White HD, Gresh BJ, Opie LH. Antithrombotic Agents: Platelet Inhibitors,
Anticoagulants, and Fibrinolitics. In: Opie LH, Gresh BJ, editors. Drugs for the
Heart, 6th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.; 2005. p. 275-319.
12. Caffee AE, Teichman PG. Improving Anticoagulation Management at the Point of
Care. Downloaded from Family Practice Management Web Site at www.aafp.org.
2002.
13. Franke CA, Dickerson LM, Carek PJ. Improving Anticoagulation Therapy Using
Point-of-care Testing and a Standardized Protocol. Ann Fam Med. 2008; 6: 28-32.
14. Asinger RW, Taylor RD. Chronic Anticoagulation for Cardiac Condition. In:
Crawford MH, editors. Current Diagnosis and Treatment in Cardiology, 2 nd ed.
McGraw-Hill; 2003. p. 444-57.
15. Hylek EM, Skates SJ, Sheenan MA, et al. An Analysis of the Lowest Effective
Intensity of Prophylactic Anticoagulation for Patients with Nonrheumatic Atrial
Fibrillation. N Engl J Med. 1996; 335: 540-6.
19. Weinberger J. Cerebrovascular Disease in the Elderly Patient. In: Aronow WS,
editors. Cardiovascular Disease in the Elderly, Revised and Expanded, 3 th ed.
Marcel Dekker Inc.; 2004. p. 625-52.
20. Hirsh J. Guidelines for Antithrombotic Therapy, 8 th ed. Hamilton: BC Decker Inc.;
2008. p. 80-87.