You are on page 1of 15

ANTIKOAGULAN PADA LANSIA

Penggunaan Warfarin pada Pasien dengan Atrial Fibrilasi Kronis

Rio Herdyanto, Jatno Karjono

Abstract
Oral anticoagulant drugs is most widely prescribed drugs in the elderly with atrial fibrillation (AF).
Oral anticoagulation although of proven benefit in a number of disorders can be dangerous without
careful monitoring. Managing long term oral anticoagulant therapy in elderly is a complex task
requiring carefully timed laboratory testing with appropriate dosage adjustment and prompt
diagnosis and management of thromboembolic or hemorrhagic complications. Since oral
anticoagulant drugs possess a narrow therapeutic index, therapeutic control is difficult. The
appropriate use of oral anticoagulant drugs in the elderly requires knowledge of age-related
physiological changes, the effects of concomitant diseases that alter the pharmacokinetic and
pharmacodynamic effects of cardiovascular drugs, and drugs interactions. Nevertheless,
anticoagulation treatment is still underused in elderly patients with AF. In a recent study, the use of
warfarin was 54% even amongst those patients considered to be at highest risk. Careful pre-
therapeutic assessment of patients before initiating anticoagulant therapy, establishment of a
centralized anticoagulant clinic, strict adherence to standard management guidelines and better
patient education can help greatly in optimizing treatment in the elderly on long term anticoagulant.

Key words: oral anticoagulant, warfarin, elderly, atrial fibrillation

Pendahuluan
Awal abad ke-21 terdapat lebih banyak lansia yang hidup di bumi ini, dan
peningkatannya merupakan yang terbesar yang pernah dicapai dalam sejarah. Proporsi
penduduk Amerika Serikat dengan usia 65 tahun ke atas diproyeksikan akan meningkat dari
12,4% (35 juta) populasi pada tahun 2000 menjadi 19,6% (71 juta) pada tahun 2030 serta
akan meningkat menjadi 82 juta penduduk pada tahun 2050. Menurut prediksi serta laporan
data demografi penduduk internasional yang dikeluarkan oleh Bureau of the consensus
USA 1993 menyebutkan bahwa periode tahun 1990 sampai 2025, jumlah lansia Indonesia
akan mengalami peningkatan tertinggi di seluruh dunia yaitu sebesar 414%. Sebagai
perbandingan : Kenya 347%, Brazilia 225%, India 242%, China 220%, Jepang 129%,
Jerman 66%, dan Swedia 33%.1,2
Penyakit kardiovarkuler merupakan penyebab terbesar morbiditas dan mortalitas
pada lansia, dan obat-obatan kardiovaskuler banyak sekali digunakan pada populasi ini.
Seperti telah diketahui bahwa beberapa obat kardiovaskuler mempunyai rentang terapi yang
sempit pada lansia, oleh karena itu penggunaannya memerlukan pengetahuan tentang
perubahan fisiologis terkait dengan meningkatnya usia, efek penyakit penyerta yang dapat
merubah farmakodinamik serta farmakokinetik obat kardiovaskuler serta pengetahuan
adanya interaksi obat.1,3

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 1


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
Antikoagulan oral terbukti efektif dalam mencegah tromboemboli arteri pada
pasien-pasien dimana factor kardiak berpotensi sebagai sumber tromboemboli, seperti pada
pasien dengan atrial fibrilasi, post operasi ganti katup mitral dengan mechanical prosthesis
atau infark miokard dengan aneurisma. Indikasi pemberian antikoagulan oral pada lansia
sangat sering karena peningkatan prevalensi penyakit tersebut di atas. Myasaka dkk.
memperkirakan prevalensi atrial fibrilasi adalah 13,5% pada usia di atas 75 tahun dan
meningkat 18,2% pada usia di atas 85 tahun pada tahun 2020.4,5

Proses Penuaan
Proses penuaan adalah suatu proses yang progresif dari menurunnya kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya,
sehingga tidak mampu bertahan terhadap jejas atau trauma dan memperbaiki kerusakan
yang terjadi.2
Penurunan kapasitas fungsional organ-organ tubuh ini sudah dimulai sejak usia
kurang lebih 30 tahun, dan akan terjadi penurunan fungsi secara terus-menerus sebesar 1%
setiap 1 tahun pertambahan usia. Berbagai teori telah dikemukakan untuk menjelaskan
proses terjadinya proses menua, antara lain:
1. Teori Genetic clock
Proses penuaan diatur secara genetik dan terdapat perbedaan waktu pengaturan pada
setiap spesies. Menurut teori ini, di dalam inti sel terdapat suatu jam genetik yang telah
diputar menurut suatu replikasi tertentu.1
2. Teori mutasi somatik
Proses penuaan terjadi oleh karena mutasi somatik yang disebabkan karena pengaruh
lingkungan yang jelek. Kesalahan terjadi dalam proses transkripsi DNA-RNA dan
translasi RNA. Kesalahan ini terjadi terus-menerus, sehingga akan terjadi penurunan
fungsi organ atau sebaliknya justru terjadi penebalan sel menjadi sel-sel kanker.1
3. Teori sistem imun tubuh
Mutasi berulang dapat menyebabkan hilangnya pengenalan sistem imun tubuh terhadap
dirinya sendiri, jika hal ini terjadi pada membran sel, maka membran sel sendiri akan
dirusak oleh sistem imun tubuh. Menurut Goldstein, hal ini merupakan penyebab dari
meningkatnya angka kejadian penyakit autoimun pada orang tua.1
4. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas ataupun di dalam tubuh sebagai hasil
proses metabolisme ataupun pernafasan di dalam mitokondria. Radikal bebas

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 2


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
merupakan suatu molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif dengan molekul lain yang
dapat mengakibatkan kerusakan dan perubahan di dalam tubuh.1

Definisi dan Patofisiologi


Sampai saat ini belum terdapat definisi lansia yang bersifat universal, serta belum
didapatkan biomarker yang akurat terhadap proses penuaan. Walaupun perubahan fisiologi
akibat proses penuaan tidak tampak pada usia yang spesifik, serta dimulai pada waktu yang
tidak sama pada setiap individu, sebagian besar definisi lansia didasarkan atas kronologi
usia. World Health Organization (WHO) menggunakan batasan usia 60 tahun untuk
mendefinisikan lansia, sedangkan sebagian besar klasifikasi lansia di Amerika
menggunakan batasan usia 65 tahun. Para ahli gerontologi membuat subklasifikasi lansia
menjadi young old (usia 60 74 tahun), old old (usia 75 85 tahun), dan very old (usia
lebih dari 85 tahun). Para klinisi sering membagi lansia menjadi 2 sugrup, yaitu usia antara
65 tahun sampai dengan 80 tahun serta sugrup dengan usia lebih dari 80 tahun, untuk
menekankan adanya kelemahan serta penurunan kapasitas fisik dan mental, dan adanya
gangguan beberapa fungsi organ yang sering terjadi pada usia setelah 80 tahun.6
Peningkatan yang dramatik dari usia harapan hidup yang terjadi di negara-negara
maju pada abad ini telah merubah komposisi populasi lansia secara signifikan. Data di
Amerika tentang pertumbuhan populasi lansia dapat dilihat di tabel 1.

Tabel 1. Actual and Projected Growth of the Elderly American Population

Peningkatan populasi lansia tersebut disertai dengan peningkatan prevalensi


penyakit kardiovaskular. Walaupun terdapat kecenderungan yang sejajar antara proses
penuaan dengan penyakit kardiovaskuler, harus diingat bahwa proses penuaan itu sendiri
bukan berarti proses perkembangan penyakit kardiovaskular. Terdapat interaksi yang
penting antara mekanisme yang mendasari proses penuaan dengan mekanisme yang

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 3


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
mendasari penyakit kardiovaskuler.6, 7 Perubahan pada sistem kardiovaskuler yang terkait
dengan usia serta penyakit kardiovaskuler yang menyertai dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Differentiation between Age-associated Changes & Cardiovascular Disease in Older People

Pertimbangan Farmakokinetik obat Kardiovaskuler pada Lansia


Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi
pada lansia, dan obat-obat kardiovaskuler merupakan jenis obat terbanyak yang diberikan
pada lansia. Oleh karena beberapa obat kardiovaskuler mempunyai rentang terapi yang
sempit pada lansia, insiden efek samping karena penggunaan obat tersebut juga tinggi.
Penggunaan yang tepat obat-obatan kardiovaskuler pada lansia memerlukan pengetahuan
tentang perubahan fisiologi terkait dengan usia, efek penyakit penyerta terhadap
farmakokinetik obat-obat kardiovaskuler, serta interaksi obat.3

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 4


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
Absorbsi
Perubahan fisiologi terkait usia yang dapat mempengaruhi absorbsi obat antara lain:
penurunan sekresi asam lambung, penurunan kecepatan pengosongan lambung, penurunan
aliran darah splanknik, dan penurunan luas permukaan absorbsi mukosa. Perubahan
absorbsi tersebut secara umum tidak merubah absorbsi obat-obat kardiovaskuler secara
signifikan, kemungkinan disebabkan karena sebagian obat-obat kardiovaskuler diabsorbsi
secara pasif.3,6

Bioavailabilitas
Bioavailabilitas obat-obat kardiovaskuler tergantung terhadap derajad absorbsi obat
serta metabolisme lintas pertama oleh hepar dan dinding saluran gastrointestinal. Pada
lansia, bioavailabilitas absolut dari obat-obatan seperti propranolol, verapramil, dan
labetolol akan meningkat, dan hal tersebut disebabkan karena penurunan ekstraksi hepar
lintas pertama.3, 6

Volume distribusi (Vd)


Proses penuaan akan terjadi penurunan lean body mass serta total body water yang
akan menyebabkan penurunan volume distribusi dari obat-obatan yang bersifat hidrofilik.
Hal tersebut akan menyebabkan konsentrasi plasma dari obat-obatan yang bersifat
hidrofilik seperti digoxin dan ACE inhibitor akan meningkat pada dosis pertama pada
lansia. Pada lansia juga terjadi kecenderungan penurunan konsentrasi plasma albumin.
Obat-obatan yang bersifat asam lemah seperti salisilat dan warfarin berikatan kuat dengan
albumin. Penurunan ikatan antara warfarin dengan albumin plasma akan meningkatkan
konsentrasi free drug yang akan menyebabkan peningkatan efek obat tersebut.3, 6

Waktu paruh (t1/2)


Waktu paruh dari suatu obat atau metabolitnya adalah waktu yang diperlukan
(dalam satuan jam) untuk mencapai penurunan konsentrasi serum dari suatu obat dari kadar
puncak menjadi setengahnya. Waktu paruh dapat didiskripsikan dengan persamaan 1.

Persamaan 1. t1/2 = 0,693.Vd/Cl


t1/2 : waktu paruh
Vd : volume distribusi
Cl : Clearance

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 5


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
Waktu paruh berkorelasi secara langsung dengan volume distribusi suatu obat, serta
berkorelasi secara terbalik dengan clearance suatu obat. Perubahan pada volume distribusi
dan clearance suatu obat pada proses penuaan dapat mempengaruhi waktu paruh obat.
Pemanjangan waktu paruh suatu obat yang pada umumnya terjadi pada lansia mungkin
akan menyebabkan penundaan efek maksimal suatu obat serta akan memperpanjang
komplikasi dan efek samping suatu obat.3, 6

Metabolisme Obat
Pada lansia terjadi penurunan aliran darah hepar, massa hepar, volume hepar serta
kapasitas metabolik hepar. Sebagian besar penelitian menunjukkan penurunan clearance
atau metabolisme oksidatif obat oleh sistem enzim sitokrom p450 (CYP) dengan
meningkatnya usia. Perubahan tersebut akan meningkatkan konsentrasi serum obat yang
dimetabolisme di hepar seperti propanolol, lidokain, labetolol, verapramil, diltiazem, nitrat,
serta warfarin. Hal tersebut menunjukkan perlunya penurunan jumlah obat yang diberikan
per unit waktu (per hari) pada lansia dibandingkan usia muda.3, 6

Ekskresi Obat
Proses penuaan disertai dengan penurunan jumlah total dari nephron yang
fungsional sebanding dengan penurunan glomerular filtration rate dan renal plasma flow.
Penurunan fungsi renal terkait dengan proses penuaan tampaknya merupakan perubahan
fisiologis terpenting yang menyebabkan perubahan farmakokinetik pada lansia. Metode
terbaik untuk menentukan fungsi renal pada lansia adalah dengan menentukan cratinie
clearance menggunakan formula Cockcroft-Gault seperti persamaan 2.

Persamaan 2.
Creatinine clearance (mL/min) = (140 age) X body weight (kg)
72 X Screat (mg/dL)

Untuk wanita, formula tersebut dikalikan dengan 0,85 karena massa otot pada wanita lebih
kecil.3, 6
Penurunan clearance beberapa obat terutama yang diekskresi melalui ginjal akan
menyebabkan waktu paruh obat tersebut akan meningkat pada lansia. Obat-obatan
kardiovaskuler yang diketahui diekskresi oleh ginjal melalui berbagai derajat filtrasi dan
sekresi tubular antara lain: digoksin, diuretik, ACE inhibitor, anti aritmia (bretilium,

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 6


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
disopiramid, flekainid, prokainamid, tokainid) dan beta bloker (atenolol, bisoprolol,
nadolol, dan sotalol). Pada umumnya akumulasi dari bahan-bahan yang seharusnya
diekskresi melalui ginjal akan terjadi ketika nilai creatinine clearance turun di bawah 60
cc/menit.3, 6

Farmakologi Warfarin
Warfarin berperan sebagai antikoagulan dengan menginhibisi vitamin K di
mikrosom hepar sehingga mengganggu pembentukan faktor koagulan yang tergantung
vitamin K, yaitu faktor II, VII, IX dan X. Warfarin oral diabsorbsi secara lengkap dan cepat
serta hampir seluruhnya berikatan dengan albumin plasma dengan waktu paruh sekitar 37
jam. Metabolisme warfarin berlangsung di mikrosom hepar menghasilkan metabolit tidak
aktif untuk kemudian diekskresi melalui urin dan feses. Hubungan antara dosis dengan
respon antikoagulan dipengaruhi oleh faktor genetik, obat lain yang diminum, pola makan
serta berbagai penyakit penyerta yang diderita. Variabilitas respon antikoagulan dapat juga
disebabkan oleh pemeriksaan laboratorium yang tidak akurat, kepatuhan penderita yang
rendah, serta salah pengertian yang sering terjadi diantara pasien dan dokter. Berbagai obat
dapat mempengaruhi farmakokinetik warfarin, mengurangi absorbsi gastrointestinal,
mengganggu metabolic clearance atau menginduksi aktivitas enzimatik hepar.4, 8, 9
Terapi warfarin jangka panjang sangat sensitif terhadap fluktuasi pola diet yang
mengandung vitamin K. Resistensi terhadap warfarin terjadi pada pasien yang banyak
mengkonsumsi sayuran hijau atau suplemen yang berisi vitamin K. Penurunan asupan
vitamin K pada kondisi malabsorbsi dan pada pasien dengan terapi antibiotika akan
memperkuat efek warfarin. Disfungsi hepar akan memperkuat respon terhadap warfarin
karena adanya gangguan sintesa faktor koagulasi. Kondisi hipermetabolik karena febris
atau hipertiroid akan meningkatkan respon terhadap warfarin yang kemungkinan
disebabkan oleh katabolisme terhadap faktor koagulasi. Aspirin dan anti inflamasi non
steroid akan meningkatkan resiko perdarahan yang terkait dengan warfarin melalui inhibisi
terhadap agragasi platelet. Obat tersebut juga dapat menyebabkan erosi lambung dan oleh
karena itu akan meningkatkan perdarahan saluran pencernaan bagian atas.4, 8, 9

Monitor Efek Antikoagulan dan Pengaturan Dosis


Protrombin time (PT) merupakan tes laboratorium yang paling sering digunakan
untuk memonitor terapi antikoagulan oral. Protrombin time mencerminkan respon terhadap
penuruna tiga macam faktor koagulasi tergantung vitamin K (faktor II, VII, dan X).

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 7


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
Pengukuran PT dilakukan dengan menambahkan kalsium dan tromboplastin (untuk
mencetuskan aktivasi faktor X oleh faktor VII) pada plasma yang sudah dicampur dengan
asam sitrat.10, 11, 12, 13, 14
Respon tromboplastin terhadap warfarin sangat bervariasi, oleh karena itu monitor
PT yang dinyatakan sebagai rasio antara nilai PT dari plasma pasien terhadap plasma
kontrol normal tidaklah akurat. Penggunaan International Normalized Ratio (INR) sebagai
standar evaluasi terapi warfarin akan meningkatkan akurasi dan keamanan terhadap
monitor terapi antikoagulan oral. INR dihitung dengan persamaan 3.

Persamaan 3.
INR = (patiant PT / mean normal PT) ISI
or
log INR = ISI (log observed PT ratio)
ISI : International Sensitivity Index

ISI mencerminkan tingkat respon tromboplastin yang digunakan terhadap penurunan faktor
koagulasi yang tergantung vitamin K dibandingkan dengan standar internasional. 14
Pada awal pemberian warfarin, INR harus diperiksa setiap hari sampai mencapai
target rentang terapi, kemudian interval diperpanjang 2 hari setelah target tercapai. Setelah
itu frekuensi pemeriksaan menjadi 2 sampai 3 kali setiap minggu selama 1 sampai dengan 2
minggu. Selanjutnya frekuensi menjadi lebih jarang tergantung stabilitas hasil INR. Bila
INR telah stabil, frekuensi pemeriksaan dapat dikurangi dengan interval waktu paling lama
4 minggu. Keamanan dan efektifitas terapi warfarin sangat tergantung dari keberhasilan
mempertahankan INR dalam rentang terapi. Sebuah meta analisis terhadap penelitian
tentang pencegahan primer pada pasien atrial fibrilasi menyebutkan bahwa disproporsi
kejadian perdarahan dan tromboemboli terjadi ketika rasio PT berada di luar rentang
terapi.4, 8, 9, 10, 14
Analisis subgrup terhadap sebuah penelitian kohort juga menunjukkan peningkatan
resiko perdarahan ketika INR melebihi rentang terapi serta peningkatan resiko
tromboemboli ketika INR di bawah 2,0. Tantangan terbesar dalam terapi warfarin adalah
sulitnya mempertahankan intensitas antikoagulan dalam rentang terapi yang sempit. Hal
tersebut ditunjukkan pada sebuah meta analisis pencegahan primer pada atrial fibrilasi,
walaupun penatalaksanaan terhadap populasi pasien yang diseleksi secara hati-hati oleh
tenaga yang berdedikasi tinggi berdasarkan protokol penelitian yang ketat, nilai INR yang

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 8


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
berada pada rentang terapi hanya 42% sampai dengan 83% dari total waktu paparan
terhadap warfarin.8, 9, 15, 16
Pada populasi lansia, tingkat kesulitan di dalam mempertahankan nilai INR dalam
rentang terapi akan diperberat oleh beberapa faktor yaitu: pemahaman yang rendah
terhadap tujuan terapi, tingkat kewaspadaan yang rendah terhadap komplikasi perdarahan,
penyakit penyerta, mobilisasi yang rendah serta sulit menjalani tes laboratorium dengan
frekuensi yang cukup sering.8, 9, 17, 18
Di negara-negara barat, untuk menyederhanakan pelaksanaan terapi antikoagulan
jangka panjang serta pemantauannya, dikembangkan suatu sistem penatalaksanaan yang
disebut point of care (POC) self-management testing system dan telephonic consultations.
Sistem POC memungkinkan pengaturan dosis warfarin oleh dokter yang berada di pusat
pelayanan berdasarkan hasil pemeriksaan INR oleh pasien sendiri di rumah. Sistem tersebut
akan memudahkan pasien serta memberikan kebebasan terhadap pasien tertentu untuk
melakukan perjalanan jauh.9, 10, 11, 12, 13

Aplikasi Klinis Terapi Antikoagulan Oral


Antikoagulan oral efektif untuk pencegahan emboli sistemik pada pasien dengan
katup jantung prostetik atau atrial fibrilasi, pencegahan sindroma koroner akut pada pasien
dengan penyakit arteri perifer atau faktor resiko lain, serta untuk pencegahan stroke.
Sebagian besar indikasi di atas dengan intensitas antikoagulan sedang (INR 2,0 sampai
dengan 3,0) sudah cukup untuk memberikan efek proteksi terhadap tromboemboli.4

Antikoagulan pada Lansia dengan Atrial Fibrilasi (AF)


Atrial fibrilasi merupakan aritmia kardiak kronis yang paling sering, dan terdapat
korelasi yang kuat antara peningkatan usia dengan prevalensi AF. Di Amerika Serikat
prevalensi AF pada usia > 65 tahun meningkat hingga mencapai 5,9%. Tujuh puluh persen
pasien AF berusia antara 65 sampai dengan 85 tahun, dan diperkirakan hampir sepertiga
dari semua kasus AF terjadi pada pasien usia > 80 tahun. Berdasarkan estimasi tersebut di
atas, diproyeksikan bahwa pada tahun 2050 akan ada 5,6 juta orang di Amerika Serikat
terdiagnosa sebagai AF.5
Atrial fibrilasi merupakan faktor resiko yang potensial terhadap stroke iskemik dan
mortalitas. Gangguan pengosongan atrium yang terkait dengan AF menyebabkan stasis
aliran darah dan pembentukan trombus khususnya di aurikel atrium kiri. Paparan terhadap
sirkulasi dinamik didalam ruang jantung akan mencetuskan embolisasi dari trombus

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 9


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
kardiogenik dengan akibat berbagai kejadian iskemik seperti stroke iskemik serta oklusi
arteri perifer. Berdasarkan data penelitian Framingham, 15% dari seluruh kasus stroke
berhubungan dengan nonvalvular AF.4, 5, 19
Meta analisis terhadap 5 penelitian pencegahan primer terhadap stroke menyebutkan
bahwa stroke rate pasien AF usia > 75 tahun dengan 1 faktor resiko klinis adalah lebih dari
8% per tahun. Pada pasien AF usia berapapun dengan riwayat tromboemboli, stroke rate
meningkat menjadi 12% per tahun. Stroke rate selama 3 tahun pada lansia dengan AF yang
dirawat di rumah tanpa antikoagulan mencapai angka > 50% per tahun.4, 5, 19
Cukup banyak penelitian dengan disain yang baik telah membuktikan bahwa
dengan strategi pencegahan yang tepat dapat menurunkan resiko stroke kardioembolik yang
berhubungan dengan AF. Aspirin berhubungan relative risk reduction (RRR) sebesar 12%,
sedangkan adjusted-dose warfarin (INR 2,0-3,0) menunjukkan RRR sebesar 68%. Bila kita
bandingkan kedua modalitas profilaksis tersebut di atas, maka adjusted-dose warfarin lebih
efektif dibandingkan aspirin. Saat ini underuse of warfarin terutama pada lansia menjadi
problem paling serius dari efektifitas pencegahan stroke.4, 5, 19
Penelitian Stroke Prevention in Atrial Fibrilation (SPAF)-II memisahkan populasi
penelitian berdasarkan usia kurang dari 75 tahun dan lebih dari 75 tahun, kemudian
dirandomisasi untuk mendapatkan aspirin atau adjusted-dose warfarin. Setelah rata-rata
pengamatan selama 3 tahun, pasien AF usia < 75 tahun memiliki rate of primary events
1,9% per tahun pada kelompok aspirin dan 1,3% per tahun pada kelompok warfarin.
Kejadian perdarahan intrakranial selama terapi antikoagulan cukup tinggi pada kelompok
usia >75 tahun sehingga mengimbangi kejadian stoke iskemik seperti gambar di bawah ini.
Hasil dari penelitian SPAF-II (gambar 1) ini menuntun kita untuk lebih memperhatikan
stratifikasi resiko stroke pada pasien AF sebagai dasar untuk menentukan apakah pasien
tersebut benar-benar mendapatkan keuntungan dari terapi antikoagulan oral dibanding
resiko perdarahan yang didapat.4, 5, 19

Gambar 1. Rates of Disabling Stroke in SPAF-II Study.

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 10


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
Komplikasi perdarahan terutama perdarahan intrakranial dapat mempengaruhi
keputusan terapi antikoagulan untuk pencegahan stroke khususnya pada lansia. Pada sebuah
penelitian di rumah sakit pendidikan di India dilaporkan bahwa 90% pasien AF dengan
rata-rata usia 80 tahun dikategorikan sebagai resiko tinggi terhadap stroke serta tidak
didapatkan kontraindikasi pemberian warfarin. Akan tetapi hanya kurang lebih 49% pasien
yang mendapatkan adjusted-dose warfarin, 36% mendapatkan aspirin, sedangkan 15%
sisanya tidak mendapatkan pencegahan terhadap stroke. Hasil yang kurang lebih sama juga
dilaporkan Cardiovascular Health Study, dimana hanya 37% diantara pasien AF dengan
resiko tinggi yang mendapatkan adjusted-dose warfarin dan 47% mendapatkan aspirin. 4, 5, 13,
19

Guideline Terapi Antitrombotik pada AF


Guideline terapi antitrombotik tahun 2008 pada pasien AF memberikan
rekomendasi terapi berdasarkan stratifikasi resiko stroke. Resiko terjadinya stroke di masa
yang akan datang pada pasien dengan AF diklasifikasikan menjadi resiko rendah, resiko
sedang, dan resiko tinggi.20
Resiko tinggi adalah pasien AF dengan riwayat stroke iskemik sebelumnya,
transient ischemic attack atau emboli sistemik. Pasien AF juga dikategorikan resiko tinggi
bila memiliki lebih dari satu faktor resiko seperti usia > 75 tahun, riwayat hipertensi, DM,
fungsi sistolik ventrikel kiri terganggu atau dalam kondisi gagal jantung. Resiko tinggi
direkomendasikan (grade 1A) mendapatkan antikoagulan jangka panjang dengan antagonis
vitamin K oral seperti warfarin dengan target INR 2,5 (rentang terapi antara 2,0 3,0). 20
Resiko sedang adalah pasien AF dengan hanya satu faktor resiko tersebut di atas.
Resiko sedang direkomendasikan mendapatkan terapi antitrombotik jangka panjang baik
dengan warfarin dengan target INR 2,5 (grade 1A) atau aspirin dosis 75 mg sampai dengan
325 mg per hari (grade 1B). Pada kondisi ini lebih dianjurkan untuk mendapatkan antagonis
vitamin K oral dibandingkan aspirin (grade 2A). 20
Resiko rendah adalah pasien AF usia < 75 tahun tanpa faktor seperti tersebut di atas.
Resiko rendah direkomendasikan (grade 1A) mendapatkan terapi aspirin jangka panjang
dosis 75 mg sampai dengan 325 mg per hari. 20

Evaluasi Pra-Terapi Antikoagulan


Penatalaksanaan terapi antikoagulan oral jangka panjang merupakan tugas yang
kompleks terutama pada lansia. Hal tersebut disebabkan karena terapi antikoagulan jangka

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 11


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
panjang memerlukan pemeriksaan laboratorium yang terjadwal ketat, pengaturan dosis
yang tepat, serta diagnosis dan penatalaksanaan kejadian tromboemboli maupun komplikasi
perdarahan. Perubahan dalam pola makan, penggunaan obat lain dan konsumsi alkohol,
penyakit penyerta lain serta berbagai kondisi yang menyebabkan resistensi terhadap terapi
antikoagulan dapat mempengaruhi penatalaksanaan pada pasien yang mendapat terapi
antikoagulan.17
Pada sebuah audit retrospektif yang dilakukan pada 82 pasien rawat jalan
denganterapi antikoagulan oral di rumah sakit pendidikan Ludhiana India didapatkan
kontrol efek antikoagulan yang rendah serta evaluasi pra terapi yang tidak adekuat. Tidak
ada satupun pasien yang didokumentasikan riwayat atau kebiasaan makannya
didokumentasikan, sedangkan riwayat pemakaian pemakaian obat lain didokumentasikan
hanya pada 4 pasien. Data dasar hematologi dan profil fungsi renal didokumentasikan pada
hampir semua pasien, akan tetapi profil fungsi hepar serta fungsi koagulasi jarang
didokumentasikan. Perubahan pola makan dan penggunaan obat lain seringkali diabaikan
sehingga akan mengganggu stabilisasi kontrol terapi antikoagulan terutama pada lansia.
Hasil audit tersebut menekankan pentingnya evaluasi pra terapi antikoagulan untuk
menunjang efektifitas dan keamanan. Evaluasi atau audit secara rutin terhadap
penatalaksanaan terapi antikoagulan jangka panjang seharusnya menjadi bagian integral
dari standar pelayanan. Penelitian tersebut juga merekomendasikan sebuah protokol yang
seharusnya diterapkan pada setiap pasien sebelum memulai terapi antikoagulan. 17

Ringkasan
Terapi antikoagulan oral pada lansia memerlukan penatalaksanaan yang baik.
Disamping antikoagulan itu sendiri mempunyai indeks terapi yang sempit, perubahan
fisiologi yang terkait dengan usia serta keterbatasan fisik maupun kondisi kesehatan lansia
akan menjadi problematika tersendiri dalam mempertahankan efek antikoagulan tetap
dalam rentang terapi. Pemahaman lansia yang rendah tentang dosis dan tujuan terapi
antikoagulan serta pengenalan terhadap komplikasi perdarahan juga harus menjadi
pertimbangan dalam memulai terapi antikoagulan pada lansia.
AF merupakan aritmia kronis yang paling sering dan prevalensinya mempunyai
korelasi yang kuat dengan peningkatan usia. AF merupakan faktor resiko kuat terjadinya
resiko iskemik. Sebagian besar pasien AF berusia antara 65 tahun hingga 85 tahun,
sehingga terapi antikoagulan pada pasien AF juga harus mempertimbangkan kondisi pasien
yang sebagian besar usia tua dimana bila kontrol terapi dibawah target INR tidak akan

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 12


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
memberikan perlindungan terhadap kejadian tromboemboli, sedangkan bila melebihi target
INR akan meningkatkan resiko perdarahan.
Terdapat beberapa upaya dalam meningkatkan kontrol terapi antikoagulan pada
lansia antara lain adalah Point of Care (POC) self-management testing system serta evaluasi
pra terapi antikoagulan dengan menggunakan sebuah protocol sheet seperti pada
lampiran 1.

Daftar Pustaka
1. Ferruci L. Demography and Epidemiology. In: Hazzard WR, Blass JP, Ouslander
JG, editors. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology, 5th . New York:
McGraw-Hill Inc. ; 2003. p. 53-76.

2. Boedhi Darmojo R. Teori Proses Menua. Dalam: Boedhi Darmojo R, Hadi Martono
H, penyunting. Buku Ajar Geriatri, edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2002. hal. 3-34.

3. Frishman WH, Aronow WS, Cheng-Lai A. Cardiovascular Drug Therapy in the


Elderly. In: Aronow WS, editors. Cardiovascular Disease in the Elderly, Revised and
Expanded, 3th ed. Marcel Dekker Inc.; 2004. p. 95-130.

4. Halperin JL, Lakatta EG. Normal Aging of the Cardiovascular System. In: Aronow
WS, editors. Cardiovascular Disease in the Elderly, Revised and Expanded, 3th ed.
Marcel Dekker Inc.; 2004. p. 677-694-

5. Aronow WS, Sabera C. Supraventricular Tachyarrhythmias in the Elderly. In:


Aronow WS, editors. Cardiovascular Disease in the Elderly, Revised and Expanded,
3th ed. Marcel Dekker Inc.; 2004. p. 559-584.

6. Schwartz JB, Zipes DP. Cardiovascular Disease in the Elderly. In: Eugene
Braunwald M, editors. Braunwalds Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular
Medicine, 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. p. 1923-53.

7. Fleg JL, Lakatta EG. Normal Aging of the Cardiovascular System. In: Aronow WS,
editors. Cardiovascular Disease in the Elderly, Revised and Expanded, 3 th ed.
Marcel Dekker Inc.; 2004. p. 1-42.

8. White HD, Gresh BJ, Opie LH. Antithrombotic Agents: Platelet Inhibitors,
Anticoagulants, and Fibrinolitics. In: Opie LH, Gresh BJ, editors. Drugs for the
Heart, 6th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.; 2005. p. 275-319.

9. Badimon L, Fernandez-Ortiz A, Vilahur G. Fundamentals of the Thrombosis


Cascade: Interaction between Platelets and the Coagulation Cascade. In: Angiolillo
DJ, Kastrati A, Simon DI, editors. Clinical Guide to the Use of Antithrombotic
Drugs in Coronary Artery Disease. UK: Informa Healthcare; 2008. p. 3-10.

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 13


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
10. Michelson AD, Ill ALF, Weitz JI. Laboratory Assessment of Platelet Function and
Coagulation. In: Angiolillo DJ, Kastrati A, Simon DI, editors. Clinical Guide to the
Use of Antithrombotic Drugs in Coronary Artery Disease. UK: Informa Healthcare;
2008. p. 19-31.

11. Braun S, Spannagl M, Voller H. Patient Self-testing and Self-management of Oral


anticoagulation. Anal Bioanal Chem. 2008.

12. Caffee AE, Teichman PG. Improving Anticoagulation Management at the Point of
Care. Downloaded from Family Practice Management Web Site at www.aafp.org.
2002.

13. Franke CA, Dickerson LM, Carek PJ. Improving Anticoagulation Therapy Using
Point-of-care Testing and a Standardized Protocol. Ann Fam Med. 2008; 6: 28-32.

14. Asinger RW, Taylor RD. Chronic Anticoagulation for Cardiac Condition. In:
Crawford MH, editors. Current Diagnosis and Treatment in Cardiology, 2 nd ed.
McGraw-Hill; 2003. p. 444-57.

15. Hylek EM, Skates SJ, Sheenan MA, et al. An Analysis of the Lowest Effective
Intensity of Prophylactic Anticoagulation for Patients with Nonrheumatic Atrial
Fibrillation. N Engl J Med. 1996; 335: 540-6.

16. Rothschild S, Conen D. Characteristics of Bleeding Complications in Patients with


Anticoagulant Treatment. Swiss Med Wkly. 2008; 138: 719-24.

17. Kakkar N, Kaur R, John M. Outpatient Oral Anticoagulant Management. An Audit


of 82 Patients. JAPI. 2005; 53: 847-52.

18. Chan TY, Miu KY. Hemorrhagic Complications of Anticoagulant Therapy in


Chinese Patients. J Chin Med Assoc. 2004; 67: 55-62.

19. Weinberger J. Cerebrovascular Disease in the Elderly Patient. In: Aronow WS,
editors. Cardiovascular Disease in the Elderly, Revised and Expanded, 3 th ed.
Marcel Dekker Inc.; 2004. p. 625-52.

20. Hirsh J. Guidelines for Antithrombotic Therapy, 8 th ed. Hamilton: BC Decker Inc.;
2008. p. 80-87.

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 14


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya
Lampiran I: Protocol Sheet for Patients Who are Prescribed Oral Anticoagulants

Tinjauan Kepustakaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 15


Fakultas Kedokteran-RSU Dr. Soetomo Surabaya

You might also like