You are on page 1of 10

BLOK PREMEDICAL SETTING 3

Belongs to:
INTAN KUSUMASARI J500160111

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2016

CAMPAK
Definisi
Campak yang dapat disebut juga sebagai rubeola, morbilli, atau measles adalah suatu
penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan oleh virus. Biasanya menyerang anak-
anak dengan derajat ringan sampai sedang. Penyakit ini dapat meninggalkan gejala sisa
berupa kerusakan neurologis akibat peradangan otak (ensefalitis) (Widoyono, 2005).
Epidemiology
Campak berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) dengan angka kematian
yang tinggi (Dinkes Jateng, 2013). Campak dinyatakan sebagai KLB apabila terdapat lima
atau lebih kasus klinis dalam waktu 4 minggu berturut-turut yang terjadi secara
mengelompok dan dibuktikan adanya hubungan epidemiologis. Jumlah KLB campak yang
terjadi di Indonesia sebanyak 173 KLB dengan jumlah kasus sebanyak 2.104 kasus pada
tahun 2014 (Depkes R.I., 2014).

Campak masih menjadi penyebab utama kematian anak di bawah umur 4 tahun, balita
umur 1-4 tahun di Indonesia. Di perkirakan lebih dari 30.000 anak per tahun meninggal
karena komplikasi campak (Depkes R.I., 2009). Sebagian besar kasus campak di Amerika
terjadi pada era eliminasi campak karena adanya kesengajaan untuk tidak imunisasi (Varun,
et al., 2016). Kematian karena campak merupakan bagian yang berarti dari kematian bayi
muda di negara berkembang (Behrman, et al., 2000).
Menurut World Health Organization (WHO), jumlah kematian anak akibat campak di
dunia telah menurun 79% dari 546.800 pada awal abad menjadi 114.900 pada tahun 2014.
Data baru yang dirilis oleh WHO untuk inisiasi campak dan rubella, memperkirakan 17,1
juta jiwa telah terselamatkan sejak tahun 2000, terutama karena cakupan imunisasi terhadap
penyakit virus yang sangat menular ini. Imunisasi campak telah memainkan peran penting
dalam mengurangi angka kematian anak (WHO, 2015).

Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus campak, dari famili Paramyxovirus, genus
Morbillivirus. Virus ini adalah virus RNA yang dikenal hanya mempunyai satu antigen.
Struktur virus ini mirip dengan virus penyebab parotitis epidemis dan parainfluenza
(Widoyono, 2005) serta dapat menyebar melalui percikan (droplet) dari satu anak ke anak
lainnya selama batuk, bersin, atau bercakap-cakap (Biddulph & Stace, 1999).
Virus tetap aktif minimal 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan
beku, minimal 4 minggu disimpan dalam temperature 35 oC, dan beberapa hari pada suhu
0oC. Virus tidak aktif pada pH rendah (Soedarmo, et al., 2008).
Patogenesis
Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat
menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara,
sejak 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis samapai 4 hari setelah timbul ruam. Penggandaan
virus sangat minimal dan jarang dapat ditemukan virusnya di tempat awal infeksi. Virus
masuk ke dalam limfatik lokal, bebas maupun berhubungan dengan sel mononuklear,
kemudian mencapai kelenjar getah bening regional. Virus memperbanyak diri dengan sangat
perlahan dan dimulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limpa. Sel
mononuklear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak (sel
Warthin), sedangkan limfosit-T (termasuk T-supressor dan T-helper) yang rentan terhadap
infeksi, turut aktif membelah.
Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahui secara lengkap,
tetapi 5-6 hari setelah infeksi awal, terbentuklah fokus infeksi yaitu ketika virus masuk ke
dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran
nafas, kulit, kandung kemih dan usus. Pada hari ke sembilan dan sepuluh, fokus infeksi yang
berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva, akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada
satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu, virus dalam jumlah banyak masuk kembali ke
pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi klinis dari sistem saluran nafas diawali
dengan keluhan batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak merah. Respon imun
yang terjadi ialah proses peradangan epitel pada sistem saluran pernafasan diikuti dengan
manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit berat dan tampak suatu ulsera
kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak Koplik sebagai tanda pasti untuk menegakkan
diagnosis.
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed hypersensitivity
terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesudah awal infeksi
dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian ini tidak tampak pada
kasus yang mengalami defisit sel-T.
Fokus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak secara mikroskopik
di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh di kulit. Penelitian dengan
immunofluorescence dan histologik menunjukkan adanya antigen campak dan diduga terjadi
suatu reaksi. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan
kesempatan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media dan lain-lain.
Dalam keadaan tertentu pneumonia juga dapat terjadi, selain itu campak dapat menyebabkan
gizi kurang (Soedarmo, et al., 2008).
Diagnosis
Diagnosis campak biasanya dapat dibuat berdasarkan kelompok gejala klinis yang sangat
berkaitan, yaitu koriza dan mata meradang disertai batuk dan demam tinggi dalam beberapa
hari, diikuti timbulnya ruam yang memiliki ciri khas, yaitu diawali dari belakang telinga
kemudian menyebar ke muka, dada, lengan dan kaki bersamaan dengan meningkatnya suhu
tubuh dan selanjutnya mengalami hiperpigmentasi dan mengelupas. Pada stadium prodromal
dapat ditemukan enantema di mukosa pipi yang merupakan tanda patognomonis campak
(bercak Koplik).
Meskipun demikian menentukan diagnosis perlu ditunjang data epidemiologi. Tidak
semua kasus manifestasinya sama dan jelas. Sebagai contoh, pasien yang mengidap gizi
kurang, ruamnya dapat sampai berdarah dan mengelupas atau bahkan pasien sudah
meninggal sebelum ruam timbul. Pada kasus gizi kurang juga dapat terjadi diare yang
berkelanjutan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa diagnosis campak dapat ditegakkan secara klinis,
sedangkan pemeriksaan penunjang sekadar membantu; seperti pada pemeriksaan sitologik
ditemukan sel raksasa pada lapisan mukosa hidung dan pipi, dan pada pemeriksaan serologi
didapatkan IgM spesifik. Campak yang bermanifestasi tidak khas disebut campak atipikal
(Soedarmo, et al., 2008).
Terapi
Imunisasi
Imunisasi merupakan reaksi antara antigen dan antibodi, yang dalam bidang
ilmu imunologi merupakan kuman atau racun (toksin disebut antigen). Secara
khusus antigen merupakan bagian dari protein kuman atau protein racunnya. Bila
antigen untuk pertama kalinya masuk ke dalam tubuh manusia, maka sebagai
reaksinya tubuh akan membentuk zat anti terhadap racun kuman yang disebut
dengan antibodi (Riyadi & Sukarmin, 2009). Imunisasi merupakan usaha
memberkan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam
tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu
(Hidayat, 2008).
Vaksin
Vaksin merupakan suspensi mikroorganisme yang telah dilemahkan atau
dimatikan atau antigen mikroorganisme yang diberikan untuk mencegah atau
mengatasi penyakit infeksi (Schwartz, 2005). Vaksin hidup mempunyai kelebihan
dapat menghasilkan kadar antibodi lebih tinggi dan pada umumnya bertahan lama.
Namun, menimbulkan reaksi simpang yang berat, sesuai dengan infeksi alami.
Sedangkan, vaksin mati dapat berupa mikroorganisme utuh atau komponennya.
Komponen yang dipilih adalah komponen mikroorganisme (antigen) yang bersifat
imunogen, artinya yang bertanggung jawab terhadap respon antibodi yang
diinginkan. Keuntungannya, tidak menimbulkan reaksi simpang yang berat (reaksi
sistemik). Namun, menyebabkan reaksi simpang lokal (pada tempat suntikan)
(Ranuh, et al., 2014)
Tujuan Imunisasi
Imunisasi bertujuan untuk mencegah penyakit infeksi yang berbahaya sebelum
penyakit tersebut menular ke masyarakat. Imunisasi mempergunakan mekanisme
pertahanan tubuh yaitu sistem imun yang akan membentuk kekebalan spesifik
terhadap penyakit tertentu (Hadinegoro, 2015). Imunisasi juga bertujuan untuk
memberikan kekebalan kepada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian
bayi serta anak yang disebabakan oleh penyakit yang sering berjangkit (Marimbi,
2010). Seseorang akan tetap sehat dengan imunisasi karena telah dapat mencegah
penularan penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan
5
menetap di kemudian hari. Beberapa infeksi dapat dicegah dengan memberikan
imunisasi pada masa anak-anak, baik yang diberikan oleh pemerintah maupun
swasta (Hadinegoro, 2015).
Imunisasi Campak
Program imunisasi melalui Pengembangan Program Imunisasi (PPI),
mempunyai tujuan akhir (ultimate goal) sesuai dengan komitmen global, yaitu:
a. Eradikasi Polio (ERAPO),
b. Eliminasi tetanus maternal dan neonatal (maternal and neonatal tetanus
elimination-MNTE),
c. Reduksi campak (RECAM),
d. Peningkatan mutu pelayanan imunisasi,
e. Menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection practices),
f. Keamanan pengelolaan limbah tajam (safe waste disposal management) (Ranuh,
et al., 2014).
Kementrian Kesehatan RI merencanakan program eliminasi campak pada
tahun 2018. Hal tersebut dapat tercapai melalui program imunisasi yang merata dan
berkesinambungan. Pemberian imunisasi campak pada umur 9 bulan satu kali
ternyata tidak dapat mencegah penyakit campak. Diperlukan imunisasi kedua pada
umur 2 tahun dan saat masuk sekolah 5-6 tahun. Jika imunisasi saat kecil belum
lengkap pemberian imunisasi campak diberikan di sekolah dalam program BIAS.
Imunisasi campak berisi virus campak hidup yang dilemahkan. Saat ini terdapat
beberapa macam vaksin campak, yakni:
a. Monovalent
b. Kombinasi vaksin campak dengan vaksin rubella (MR)
c. Kombinasi dengan mumps dan rubella (MMR)
d. Kombinasi dengan mumps, rubella dan varisela (MMRV)
Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi
primer, pasien TB yang tidak diobati, pasien keganasan atau transplantasi organ,
mereka yang mendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak
imunokompromais yang berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bisa
mendapat imunisasi campak. Jadi, efek samping yang mungkin timbul selain
demam, kadang-kadang keluar ruam kulit. Efek samping tersebut akan terjadi sekitar
5-7 hari setelah imunisasi, sesuai dengan masa inkubasi penyakit campak alami.
Walaupun demikian, efek samping imunisasi campak jauh lebih ringan jika
dibandingkan dengan penyakitnya (Ranuh, et al., 2014).
Kesulitan untuk mencapai dan mempertahankan angka cakupan yang tinggi
bersama-sama dengan keinginan untuk menunda pemberian imunisasi sampai
antibodi maternal hilang merupakan suatu hal yang berat dalam pengendalian
campak. Pada anak-anak di negara berkembang, antibodi maternal akan hilang pada
usia 9 bulan dan pada anak-anak di negara maju setelah 15 bulan (Ranuh, et al.,
2014).
Manifestasi Klinis
Sekitar 10 hari setelah infeksi akan muncul demam yang biasanya tinggi, diikuti dengan
koriza, batuk, dan peradangan pada mata. Gejala penyakit campak dikategorikan dalam tiga
stadium, antara lain:
1. Stadium masa inkubasi, berlangsung 10-12 hari.
2. Stadium masa prodromal, yaitu munculnya demam ringan sampai sedang, bartuk yang
semakin berat, koriza, peradangan mata, dan munculnya enantema atau bercak Koplik
yang khas pada campak yaitu bercak putih pada mukosa pipi.
3. Stadium akhir, ditandai dengan demam tinggi dan timbulnya ruam-ruam kulit kemerahan
yang dimulai dari belakang telinga dan kemudian menyebar ke leher, muka, tubuh, dan
anggota gerak.
Biasanya suhu akan menurun dan gejala penyakit mereda dua hari kemudian. Ruam kulit
akan mengalami hiperpigmentasi dan mungkin mengelupas. Penderita akan tampak sehat
bila tidak disertai komplikasi (Widoyono, 2005).

Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat penyakit campak menurut Latief, et al., (2007) dan
Soedarmo, et al., (2008), antara lain:
1. Laringitis akut
Laringitis timbul karena adanya edema pada mukosa saluran nafas, yang bertambah
parah pada saat demam mencapai puncaknya. Ditandai dengan distres pernafasan sesak,
sianosis, dan stridor. Ketika demam turun keadaan akan membaik dan gejala akan
menghilang.
2. Bronkopneumonia
Dapat disebabkan oleh virus campak maupun akibat invasi bakteri. Ditandai dengan
batuk, menigkatkanya frekuensi nafas, dan adanya ronki basah halus. Pada saat suhu
turun apabila disebabkan oleh virus, gejala pneumonia akan menghilang, kecuali batuk
yang masih dapat berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun pada
saat yang diharapkan dan gejala saluran nafas maka masih terus berlangsung, dapat
diduga adanya pneunomia karena bakteri yang telah mengadakan invasi pada sel epitel
yang telah dirusak oleh virus. Gambaran infiltrat pada foto toraks dan adanya leukositosis
dapat mempertegas diagnosis. Penyulit pneumonia bakteri biasa terjadi dan dapat menjadi
fatal bila tidak diberi antibiotik di negara sedang berkembang dimana malnutrisi masih
menjadi masalah.
3. Kejang demam
Kejang dapat timbul pada periode demam, umumnya pada puncak demam saat ruam
keluar. Kejang dalam hal ini diklasifikasikan sebagai kejang demam.
4. Ensefalitis
Merupakan penyulit neurologik yang paling sering terjadi, biasanya terjadi pada hari
ke 4 7 setelah timbulnya ruam. Kejadian ensefalitis sekitar 1 dalam 1.000 kasus
campak, dengan mortalitas antara 30-40%. Terjadinya ensefalitis dapat melalui
mekanisme imunologik maupun melalui invasi langsung virus campak ke dalam otak.
Gejala ensefalitis dapat berupa kejang, letargi, koma dan iritabel. Keluahan nyeri kepala,
frekuensi nafas meningkat, twitching, disorientasi juga dapat ditemukan. Pemeriksaaan
cairan serebrospinal menunjukkan pleositosi ringan, dengan predominan sel mononuklear,
peningkatan protein ringan, sedangkan kadar glukosa dalam batas normal.
5. SSPE (Subacute Sclerosing Panencephalitis)
Subacute sclerosing panencephalitis merupakan kelainan degeneratif susunan saraf
pusat yang jarang disebabkan oleh infeksi virus campak yang persisten. Kemungkinan
untuk menderitas SSPE pada anak yang sebelumnya pernah menderita campak adalah 0,6
2,2 per 100.000 infeksi campak. Risiko terjadi SSPE lebih besar pada usia yang lebih
muda, dengan masa inkubasi rata rata 7 tahun. Gejala SSPE didahului dengan gangguan
tingkah laku dan intelektual yang progresif, diikuti oleh inkoordinasi motorik, kejang
umumnya bersifat mioklonik. Laboratorium menunjukkan peningkatan globulin dalam
cairan serebrospinal, antibodi terhadap campak dalam serum (CF dan HAI) meningkat
(1:1280). Tidak ada terapi untuk SSPE. Rata rata jangka waktu timbulnya gejala sampai
meninggal antara 6-9 bulan.
6. Otitis media
Invasi virus ke dalam telinga tengah umumnya terjadi pada campak. Gendang telinga
biasanya hiperemis pada fase prodromal dan stadium erupsi. Jika terjadi invasi bakteri
pada lapisan sel mukosa yang rusak karena invasi virus akan terjadi otitis media purulenta
dan mastoiditis.
7. Enteritis
Beberapa anak yang menderita campak mengalami muntah dan mencret pada fase
prodromal. Keadaan ini akibat invasi virus kedalam sel mukosa usus. Dapat pula timbul
enteropati yang menyebabkan kehilangan protein (protein losing enteropathy).
8. Konjungtivitis
Pada hampir semua kasus campai terjadi konjungtivitis, yang ditandai dengan adanya
mata merah, pembengkakan kelopak mata, lakrimasi dan fotofobia. Kadang kadang
terjadi infeksi sekunder, oleh bakteri. Virus campak atau antigennya dapat dideteksi pada
lesi konjungtiva pada hari pertama sakit. Konjungtivitas dapat memburuk dengan
terjadinya hipopion dan panoftalmitis hingga menyebabkan kebutaan. Dapat pula timbul
ulkus kornea.
9. Sistem kardiovaskular
Pada EKG dapat ditemukan kelainan berupa perubahan pada gelombang T, kontraksi
prematur aurikel dan perpanjangan interval A-V. Perubahan tersebut bersifat sementara
dan tidak atau hanya sedikit mempunyai arti klinis.
10. Adenitis servikal
11. Purpura trombositopenik dan non-trombositopenik
12. Aktivasi tuberculosis
13. Pneumomediastinal
14. Emfisema subkutan
15. Apendisitis
16. Gangguan gizi sampai kwashiorkor
17. Infeksi piogenik pada kulit
18. Kankrum oris (noma)

Daftar Pustaka

Behrman, R. E., Kliegman, R. M. & Arvin, A. M., 2000. Nelson Textbook of


Pediatrics. 15 ed. Jakarta: EGC.
Biddulph, J. & Stace, J., 1999. Kesehatan Anak untuk Perawat, Petugas,
Penyuluhan Kesehatan, dan Bidan di Desa. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Depkes R.I., 2009. Kampanye Imunisasi Campak di Aceh dan Maluku Utara 4
Oktober.
Depkes R.I., 2014. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Pusdatin Kementerian
Kesehatan RI.

Dinkes Jateng, 2013. Buku Saku Kesehatan. Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah.
Hadinegoro, S.R.S., 2015. Buku Saku Imunisasi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Hidayat, A. A. A., 2008. Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba Medika.

Latief, A., Napitupulu, P.M., Pudjiadi, A., Ghazali, M.V., Putra, S.T., 2007. Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
Marimbi, H., 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi & Imunisasi Dasar
Pada Balita. Yogyakarta: Nuha Offset.

Ranuh, I.G.N. Gde., Suyitno, H., Hadinegoro, S.R.S., Kartasasmita, C.B.,


Ismoedijanto & Soedjatmiko. 2014. Pedoman Imunisasi di Indonesia.
Jakarta: BadanPenerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Riyadi, S. & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Schwartz, M.W., 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.

Soedarmo, S.S.P., Garna, H., Hadinegoro, S.R.S. & Satari, H.I., 2008. Infeksi
dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Varun, K., Phadke, M.D., Robert, A., Bednarczyk, M.S., Daniel, A.S., Saad B.,
Omer., 2016. Association Between Vaccine Refusal and Vaccine-
Preventable Disease in the United States. JAMA, 315(11), pp. 1149-1158.

WHO, 2015. Measles Vaccination Has Saved an Estimated 17.1 Million Lives
Since 2000.World Health Organization.
Widoyono, 2005. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,
dan Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

You might also like