Professional Documents
Culture Documents
Dekonstruksi Sastra
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia-Nya lah saya dapat menyelesaikan tugas Makalah Penerapan Strategi Pembelajaran
Bahasa ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga saya berterima kasih
kepada Bapak Mussafak, S.Pd yang membimbing saya dalam menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik.
Saya sangat berharap tugas makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat
kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kita harapkan. Untuk itu, saya berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Penulis
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN...i
KATA PENGANTAR ii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG... 1
B. PERUMUSAN MASALAH.. 2
C. TUJUAN 2
BAB II : PEMBAHASAN...4
A. HAKIKAT DEKONSTRUKSI. 4
DEKONSTRUKSI .7
C. TUJUAN DEKONSTRUKSI 8
E. SEJARAH PERKEMBANGAN 9
F. LANGKAH-LANGKAH PENDEKATAN DEKONSTRUKSI. 10
A. KESIMPULAN 11
DAFTAR PUSTAKA... 12
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk teori, metode,
maupun teknik yang digunakan dalam mengkaji objek. Sebagai sebuah metode, teori
postrukturalisme terutama dikaitkan dengan teori strukturalisme yang sudah berkembang selama
lebih kurang setengah abad. Dengan tidak melupakan kekuatan sekaligus hasil-hasil maksimal
yang telah dicapai, strukturalisme ternyata memiliki sejumlah kelemahan yang sangat perlu
untuk diperbaiki. Strukturalisme dianggap terlalu kaku karena didasarkan pada struktur dan
sistem tertentu serta memberikan perhatian yang terhadap karya sastra sebagai kualitas otonom.
Banyak teori dan pemikiran yang telah dimunculkan untuk mengkaji dan menafsirkan teks sastra
dari berbagai perspektif lain, di antaranya adalah Dekonstruksi.
Istilah dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida, seorang filusuf Perancis yang
lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode membaca
teks. Adapun yang khas dalam cara baca dekonstruktif, sehingga pada perjalanannya selanjutnya
dia sangat bermuatan filosofis adalah unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar,
pertama-tama bukanlah inkonsistensi logis, argumen yang lemah, ataupun presmis yang tidak
akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme,
melainkan unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks
tersebut menjadi filosofis (Muzir, dalam kata pengantar buku Membongkar Teori Dekonstruksi
Jacques Derrida, 2006: 12). Oleh karena itu, metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya
pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan. Setiap pemikiran filosofis tentu
disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis.
Dekonstruksi menurut Derrida merupakan sebuah metode membaca teks secara sangat
cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis yang menjadi landasan teks tersebut
tampak tidak konsisten dan paradoks dalam menggunakan konsep-konsepnya dalam teks secara
keseluruhan. Dengan kata lain, teks tersebut gagal memenuhi kriterianya sendiri; standar atau
definisi yang dibangun teks digunakan secara reflektif untuk mengguncang dan menghancurkan
pembedaan konseptual awal teks itu (Sarup, 2008: 49).
Cara baca Derrida atas teks-teks filosofis adalah cara yang hendak melacak struktur dan
strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu, antara lain dengan jalan membongkar sistem
perlawanan-perlawanan utama yang tersembunyi di dalamnya. Pembacaan dekonstruktif hendak
menunjukkan ketidaberhasilan ambisi filsafat untuk lepas dari tulisan, yaitu menunjukkan
agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks.
Oleh karena itu, Derrida meyakini bahwa di balik teks filosofis yang terdapat bukanlah
kekosongan, melainkan sebuah teks lain. Suatu jaringan keragaman kekuatan-keuatan yang pusat
referensinya tidak jelas.
Kehadiran dekonstruksi telah memungkin- kan sebuah teks memiliki multi makna. Teks
sastra dipandang sangat kompleks. Itulah sebabnya, prinsip otonomi karya sastra yang
memisahkan dengan yang lain, di tolak oleh paham ini. Karena semakin jauh pemisahan diri teks
sastra dengan unsur diakronis, hanya memperbesar difference. Bagi ilmu yang melatari
penciptaan, teks sastra tidak dapat disebut sebagai pengetahuan menulis, melainkan gramatologi.
Gramatology akan terwujud ke dalam teks dekonstruksi (Endaswara, 2003: 175). Hal ini sarat
dengan pengolahan bentuk oleh pencipta sastra. Oleh karena itu, pemaknaan teks harus diangkat
keluar, dibandingkan dengan logika berpikir maupun kemungkinan tanggapan pengarang
terhadap fenomena yang diolahnya.
Sebuah teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna,
sehingga makna teks sangat kompleks. Jaringan- jaringan makna dalam teks bisa menjadi rumit
yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melinkan bersifat
plural, makna tidak tetap, tetapi hidup dan berkembang. Oleh sebab itu, dekonstruksi
membiarkan makna bersifat ambigu dan menantang segala kemungkinan makna.
Dekonstruksi memang berpusat pada teks, tetapi paham yang dipegang lebih luas. Teks
tidak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi juga menolak struktur lama yang telah lazim.
Dekonstruksionis menganggap bahwa bahasa teks bersifat logis dan konsisiten. Misalkan, sebuah
tema besar bahwa kejahatan akan terkalahkan dengan kebaikan oleh paham dekonstruksi tidak
selalu dibenarkan. Di era sekarang, sastra boleh saja membalik atau menggembosi tema besar
(narasi besar) itu.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara kerja teori dekonstruksi ?
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
A. HAKIKAT DEKONSTRUKSI
Istilah dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida, seorang filusuf Perancis yang
lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode membaca
teks. Adapun yang khas dalam cara baca dekonstruktif, sehingga pada perjalanannya selanjutnya
dia sangat bermuatan filosofis adalah unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar,
pertama-tama bukanlah inkonsistensi logis, argumen yang lemah, ataupun presmis yang tidak
akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme,
melainkan unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks
tersebut menjadi filosofis (Muzir, dalam kata pengantar buku Membongkar Teori Dekonstruksi
Jacques Derrida, 2006: 12). Oleh karena itu, metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya
pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan. Setiap pemikiran filosofis tentu
disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis.
Bagi para dekonstruksionis, dekonstruksi bukanlah teori biasa yang mudah dipetakan ke
dalam sebuah definisi. Bahkan, dekonstruksi sendiri cenderung menghindari definisi apa pun
sehingga ia sama sekali tidak bisa didefinisikan dan terbuka untuk berbagai penafsiran. Setiap
upaya untuk mendefinisikan dekonstruksi akan terbetur, karena Derrida sendiri menolak
membatasi pengertian dekonstruksi dalam satu definisi. Dekonstruksi dipandang sebagai strategi
tekstual yang hanya bisa diterapkan langsung jika kita membaca teks lalu mempermainkannya
dalam parodi-parodi. Lebih jauh bisa dikatakan bahwa dekonstruksi bersifat antiteori atau
bahkan antimetode, karena yang menjadi dasar di dalamnya adalah permainan (play) dan parodi
(Al- Fayydl, 2006: 8).
Sarup (2008: 49) menjelaskan bahwa dekonstruksi menurut Derrida merupakan sebuah
metode membaca teks secara sangat cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis
yang menjadi landasan teks tersebut tampak tidak konsisten dan paradoks dalam menggunakan
konsep-konsepnya dalam teks secara keseluruhan. Dengan kata lain, teks tersebut gagal
memenuhi kriterianya sendiri; standar atau definisi yang dibangun teks digunakan secara
reflektif untuk mengguncang dan menghancurkan pembedaan konseptual awal teks itu.
Cara baca Derrida atas teks-teks filosofis adalah cara yang hendak melacak struktur dan
strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu, antara lain dengan jalan membongkar sistem
perlawanan-perlawanan utama yang tersembunyi di dalamnya. Pembacaan dekonstruktif lalu
hendak menunjukkan ketidakberhasilan ambisi filsafat untuk lepas dari tulisan, yaitu
menunjukkan agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di
balik teks-teks. Oleh karena itu, Derrida meyakini bahwa di balik teks filosofis yang terdapat
bukanlah kekosongan, melainkan sebuah teks lain. Suatu jaringan keragaman kekuatan- keuatan
yang pusat referensinya tidak jelas.
Tugas dekonstruksi menurut Derrida (Norris, 2006: 56) adalah untuk menghilangkan ide-
ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika Barat yaitu ide yang mengatakan rasio bisa lepas
dari bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni yang otentik dalam dirinya sendiri
tanpa bantuan yang lain. Sementara itu, Al-Fayydl (2006: 64) mengemukakan bahwa cara
strukturalisme memilah bahasa di mata Derrida telah usang dan tidak memadai. Bahasa tidak
selalu hadir dalam wajah tunggal yang koheren. Dekonstruksi Derrida ingin memerdekakan
kembali kekuatan bahasa dengan memaksimalkan permainan tanda yang kurang banyak
mendapat perhatian dari kaum strukturalis dan bahkan cenderung dihindari. Derrrida selalu
melihat bahasa sebagai medan di mana makna dan tanda berebut untuk tampil ke permukaan
teks.
Menurut teori bahasa Derrida, penanda (signifier) tidak berkaitan langsung dengan
petanda (signified). Petanda dan penanda tidak berkorespondesi satu-satu. Menurut pemikiran
Saussure, tanda dilihat sebagai satu kesatuan, tetapi menurut Derrida, pada kenyataannya kata
dan benda atau pemikiran tidak pernah menjadi satu. Derrrida melihat tanda sebagai struktur
perbedaan: sebagian darinya selalu tidak di sana, dan sebagian yang lain selalu bukan yang
itu. Dengan kata lain, Derrida mengatakan ketika membaca suatu penanda, makna tidak serta
merta menjadi jelas. Penanda menunjuk apa yang tidak ada, maka dalam arti tertentu makna juga
tidak ada. Makna terus menerus bergerak di sepanjang mata rantai penanda, dan tidak dapat
dipastikan posisi persisinya, karena makna tidak pernah terikat pada satu tanda tertentu. Makna
tidak pernah identik dengan dirinya sendiri karena muncul pada konteks yang berbeda-beda,
tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak sama. makna tidak akan pernah sama dari satu
konteks ke konteks yang lain. Petanda akan selalu diubah oleh berbagai macam mata rantai yang
menjeratnya. (Sarup, 2008: 47). Dengan demikian, tanda akan selalu mengarah pada tanda lain,
satu tanda akan saling menggantikan tanda yang lain sebagai petanda dan penanda.
Satu hal lagi yang penting dalam dekonstruksi menurut Derrida adalah penolakannya
terhadap pusat. Strukturalisme selalu mengutamakan adanya pusat, artinya pusat menguasai
pusat. Dekonstruksi menolak pemusatan tersebut dengan cara terus-menerus berusaha
melepaskan diri sekaligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. Menurut Derrida, dalam
usaha menemukan pusat-pusat yang baru sesungguhnya subjek juga akan selalu terlibat dengan
adanya satu pusat.
Dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan adalah, di satu sisi pusat itu adalah plural,
bukan tunggal. Di pihak lain, yanjg dimaksudkan adalah fungsi, bukan realitas. Untuk
menjelaskan maksud ini, Derrida mengemukakan konsep decentering , struktur tanpa pusat dan
tanpa hierarki. Cara yang dilakukannya, misalnya, dengan memahami dan mengkaji sesuatu yang
semula dianggap kurang penting, misalnya tokoh sekunder, tema minor, dan sebagainya, bahkan
pada ruang-ruang kosong sehingga mempengaruhi seluruh isi teks dan semesta sosial sehingga
pusat bergeser terus menerus. Dalam kaitan inilah dekonstruksi membongkar sistem hierarki,
sistem logika yang sudah dianggap baku.
Pembacaan secara dekonstruktif tidak memiliki pengandaian teleologis seperti yang biasa
diharapkan oleh banyak orang. Tidak ada makna yang ingin ditangkap. Setelah sebuah teks
didekonstruksi, yang ada hanyalah permainan dan permainan belaka, yang tidak mengarah pada
kepada satu tujuan atau referens, tetapi menyebar ke segala arah. Dengan kata lain, tidak ada satu
kekuatan pun yang dapat menghentikan menyebarnya penafsiran-penafsiran baru yang sewaktu-
waktu dapat mencuat tanpa disangka- sangka dari sebuah teks. Dalam pembacaan dekonstruktif,
makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran (Al-Fayydl, 2006: 82).
Persoalan lain dalam dekonstruksi adalah penggembosan terhadap narasi besar (grand
narative). Sesuatu yang telah berlaku lama, tertata, kemudian muncul sesuatu yang baru yang
menolak atau bahkan sama sekali bertolak belakang dengan apa yang selama ini sudah tertanam
kokoh, baik di bidang sosial, politik, agama, budaya, begitu juga dalam sastra. Hal ini dapat
dilihat dengan munculnya karya-karya sastra yang mendobrak pola-pola baku yang berlaku
dalam penulisan sebuah karya sastra selama ini, baik mengenai tokoh, tema, setting, peristiwa,
logika cerita, dan lain sebagainya. Dari susunan rapi dan tertata itu, dekonstruksi mendobrak atau
merusak konstruksi untuk menghasilakan konstruksi baru. Hal ini perlu dipahami, karena
perkembangan mutakhir juga banyak karya-karya sastra yang lari dari struktur. Tidak sedikit
pula tipografi-tipografi puisi yang sulit dimengerti, apalagi sering muncul puisi gelap, puisi mini
kata, puisi tanpa kata dan sebagainya. Karya-karya Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari,
Seno Gumira Ajidarma, Danarto dapat dikategorikan dalam kelompok tersebut.
1. Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi)
Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87)
dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-
akibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya
sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum
universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa dengan
cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.
Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968
dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-
Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan difference dan differance, bahasa kamus baik bahasa
Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui melalui
ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan dengan
ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya hadir dalam
suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang mewakili sesuatu
yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.
C. TUJUAN DEKONSTRUKSI
D. TOKOH DEKONSTRUKSI
Tokoh terpenting didalam teori ini adalah Jacques Derrida (Al-Fayyadl, 2005: 2) adalah
keturuan Yahudi. Ia dilahirkan di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair pada 15 Juli 1930. Pada
tahun 1949 ia pindah ke Prancis, tempat ia tinggal sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1952, ia
belajar di Ecole normale suprieure, Prancis, dan pernah juga mangajar di sana sesaat sebelum
kematiannya. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia
meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004
Derrida muda dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap diskriminatif. Ia mundur
atau dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak, semata-mata karena
ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota 7 persen bagi
warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin tidak akan suka, jika dikatakan bahwa karyanya
diwarnai oleh latar belakang kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya berperan
besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dan yang lain,
dalam pemikirannya kemudian.
Derrida dua kali menolak posisi bergengsi di Ecole Normale Superieure, di mana Sartre,
Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi Perancis memulai karirnya.
Namun, akhirnya ia menerima posisi itu pada usia 19.Sejak tahun 1974 (Bertens, 2001: 327)
Derrida ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan dosen filsafat yang memperjuangkan tempat yang
wajar untuk filsafat pada taraf sekolah menengah.
Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi.
Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl. Inspirasi penting
lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas dan Freud.
Derrida mengakui utang budinya kepada para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya
terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai 'dekonstruksi'.
E. SEJARAH PERKEMBANGAN
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut
Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti
fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya,
psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat
problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika
dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di Amerika,
sebagai aliran yale. Model dekonstruksi dalam sejarah dikemukakan oleh Hayden White dalam
bukunya Tropics of Discourse (1987). Menurut White, sejarah tidak seratus persen objektif sebab
bagaimanapun sejarahwan menyusun cerita kedalam suatu struktur, menceritakan kembali
dalam suatu plot.
Perbedaan antara pembaca non dekonstruksi dan dekonstruksi dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pembaca non dekonstruksi atau pembaca konvensional dilakukan dengan cara
menemukan makna yang benar, makna terakhir, yang disebut sebagai makna optimal.
Sebaliknya, pembaca dekonstruksi tidak perlu menemukan makna terakhir. Yang diperlukan
adalah pembongkaran secara terus menerus, sebagai proses. Dekonstruksi dilakukan dengan cara
pemberian perhatian terhadap gejala-gelaja yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti
ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dan sebagainya. Umar Junus (1996:109-109)
memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi justru
memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh
perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa
terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku universal.
PENUTUP
B. KESIMPULAN
Dari penjabaran diatas maka penulis menyimpulkan bahwa Dekonstruksi ialah strategi
pembacaan teks secara filosofis yang menunjuk pada proses yang tak terselesaikan dan bersifat
dinamis. Dekonstruksi tidak melihat kebenaran dalam penafsiran sebagai satu kebenaran.
Dekonstruksi juga bias diartikan merupakan metode pembacaan teks.
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an.Tokoh terpenting
dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli
filsafat dan kritik sastra di Perancis. Tokoh lainnya yaitu Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis Miller,
Geoffery Hartman, Harold Bloom.
1. Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
2. Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Ar-Ruzz:
Yogyakarta.
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi, diakses pada tanggal 13 Mei 2013(19.25 wib)
4. http://rendiasyah.blogspot.com/2013/05/teori-dekonstruksi.html, diakses pada tanggal 13
Mei 2014
5. Rachmi Masie, Sitti. Maret 2010, ANALISIS TOKOH PADA NOVEL TAK PUTUS
DIRUNDUNG MALANG KARYA SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA (Melalui
Pendekatan Dekonstruksi) INOVASI, Volume 7, Nomor 1, Maret 2010 ISSN 1693-
9034, http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JIN/article/download/791/734
6. Zulfadhli. 2009. Dekonstruksi dalam Cerpen Malin Kundang, Ibunya Durhaka KArya
A.A. Navis JURNAL BAHASA DAN SENI Vol 10 No. 2 Tahun 2009 ( 132 - 137),
http://ejournal.fip.unp.ac.id/index.php/bahasaseni/article/view/62/42
Diposkan oleh Irly Bob di 11.24
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Poskan Komentar
Mengenai Saya
Irly Bob
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog
2015 (17)
o September (17)
TEORI SASTRA
TEORI SASTRA
SOSIOLOGISASTRA
SOSIOLING
PSIKOLING
SEMANTIK
PROSA FIKSI
PROSA FIKSI
MORFOLOGI
MENULIS ILMIAH
LINGUISTIK UMUM
KAJIAN PUISI
KAJIAN DRAMA
JURNALIS
GERAK ORATORI
FILOLOGI
Dasar-dasar penelitian