You are on page 1of 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur adalah terputusnya jaringan tulang karena stres akibat tahanan yang datang lebih
besar dari daya tahan yang dimiliki oleh tulang (Black & Hawks, 2009). Fraktur lebih sering
terjadi pada orang laki-laki daripada perempuan dengan umur di bawah 45 tahun dan sering
berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau kecelakaan. Sedangkan pada usia prevalensi
cenderung lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya osteoporosis yang
terkait dengan perubahan hormone (Brunner & Suddart, 2005). Fraktur humerus adalah salah
satu jenis fraktur yang memerlukan penanganan segera, tanpa penanganan segera dapat terjadi
komplikasi kelumpuhan nervus radial, kerusakan nervus brachial, atau median (Smeltzer &
Bare, 2009).

Menurut World Health Organization (WHO), kasus fraktur terjadi di dunia kurang lebih
13 juta orang pada tahun 2008 dengan angka prevalensi sebesar 2,7%. Sementara pada tahun
2009 terdapat kurang lebih 18 juta orang mengalami fraktur dengan angka prevalensi 4,2%.
Tahun 2010 meningkat menjadi 21 juta orang dengan angka prevalensi 3,5%. Terjadinya fraktur
tersebut termasuk didalamnya insiden kecelakaan, cedera olahraga, bencana kebakaran, bencana
alam dan lain sebagainya.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh
cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam/tumpul. Dari
45.987 peristiwa terjatuh mengalami fraktur sebanyak 1,775 orang (3,8%), dari 20.829 kasus
kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur adalah sebanyak 1.770 orang (8,5%), da dari
14.127 trauma benda tajam/tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). Survey
Kesehatan Nasional mencatat bahwa kasus fraktur pada tahun 2008 menunjukkan prevalensi
fraktur secara nasional sekitar 27,7% (RI, 2008). Dari semua jenis fraktur, fraktur ekstrimitas
memiliki insiden yang cukup tinggi, dengan banyaknya kasus fraktur, peran Rumah Sakit juga
sangat diperlukan untuk menangani kasus tersebut. Pasien dengan fraktur perlu mendapatkan

1
pertolongan dan pelayanan kesehatan untuk meminimalkan resiko ataupun komplikasi lanjut dari
fraktur.

Fraktur memerlukan pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif. Asuhan


terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar klien yang terganggu dan
mencegah/mengurangi komplikasi terutama immobilisasi. Pendidikan kesehatan juga dapat
diberikan untuk mencegah cedera lebih lanjut sehingga klien secara bertahap dapat
mengoptimalkan fungsi bio-psikososiospiritualnya.

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk Mengetahui Definisi Fraktur Humerus
1.2.2 Untuk Mengetahui Penyebab Fraktur Humerus
1.2.3 Untuk Mengetahui Tanda Dan Gejala Fraktur Humerus
1.2.4 Untuk Mengetahui Komplikasi Fraktur Humerus
1.2.5 Untuk Mengetahui Pengkajian Fraktur Humerus
1.2.6 Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Fraktur Humerus
1.2.7 Untuk Mengetahui Evaluasi Fraktur Humerus

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa, trauma yang menyebabkan tulang patah,
dapat berupa trauma langsung dan dapat berupa trauma tidak langsung (Hoppenfield, 2011).

Fraktur humerus adalah fraktur pada tulang humerus yang disebabkan oleh benturan atau
trauma langsung maupun tidak langsung (Jong, 2010). Fraktur humerus adalah salah satu jenis
fraktur yang memerlukan penanganan segera, tanpa penanganan segera dapat terjadi komplikasi
kelumpuhan nervus radial, kerusakan nervus brachial, atau median (Smeltzer & Bare, 2009).

Patah tulang humerus menurut Chairudin Rasjad (1998) adalah diskontinuitas atau hilangnya
struktur tulang humerus (Muttaqin, 2008). Macam-macam patah tulang humerus adalah sebagai
beriku:

2.1.1 Fraktur suprakondilar humeri. Fraktur suprakondilar humeri (transkondilar) merupakan


fraktur yang sangat sering terjadi pada anak-anak setelah fraktur antebraki. Dua tipe
fraktur suprakondilar humeri berdasarkan pergesaran fragmen distal adalah sebagai
berikut:
1. Tipe posterior (tipe ekstensi)
2. Tipe anterior (tipe fleksi)
2.1.2 Fraktur interkondilar humerus. Bagian kondilus humerus sering juga mengalami fraktur
akibat suatu trauma. Gambaran klinisnya adalah nyeri, pembengkakan dan perdarahan
subkutan pada daerah tersebut ditemukan nyeri tekan, gangguan pergerakan dan krepitasi.
Fraktur kondilar sering bersama-bersama dengan fraktur suprakondilar
2.1.3 Fraktur batang humerus
2.1.4 Fraktur kolum humerus (Muttaqin, 2008).

2.2 Etiologi

3
Menurut Reksoprodjo (2010) fraktur humerus disebabkan oleh trauma di mana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang. Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur, penyebab
fraktur humerus secara umum sebagai berikut:

2.2.1 Tipe ekstensi. Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi dan lengan bawah
dalam posisi supasi
2.2.2 Tipe fleksi. Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedangkan lengan dalam posisi
pronasi fraktur batang humerus paling sering disebabkan oleh trauma langsung yang
mengakibatkan fraktur transversal, oblik, atau kominutif, atau gaya memutar tidak
langsung yang mengakibatkan fraktur spiral. Saraf dan pembuluh darah brakialis dapat
mengalami cedera pada fraktur ini (Muttaqin, 2008).

2.3 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis fraktur humerus hampir sama dengan manifestasi klnis fraktur umum
tulang panjang, seperti nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas atas karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur, krepitasi, pembengkakan dan
perubahan warna kulit local pada kulit. Hal-hal tersebut terjadi akibat trauma dan perdarahan
oada fraktur, biasanya tanda-tanda tersebut terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera
(Muttaqin, 2008). Menurut Smeltzer & Bare (2002) tanda dan gejala dari fraktur humerus
adalah:

2.3.1 Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2.3.2 Deformitas

Pergeseran fragmen pada fraktur menyebakan deformitas (terlihat maupun terasa),


deformitas dapat diketahui dengan membandingkan ekstremitas yang normal.

2.3.3 Krepitus

4
Saat ekstremitas diperiksa, terasa adanya derik tulang dinamakan krepitus yang
terasa akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.

2.3.4 Pembengkakan Dan Perubahan Warna

Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi pembengkakan dan
perubahan warna lokal yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa
jam atau hari setelah cidera

2.4 Komplikasi

Komplikasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2009) dibagi menjadi 2 yaitu:

2.4.1 Komplikasi awal


1. Syok Syok hipovolemik akibat dari perdarahan karena tulang merupakan organ yang
sangat vaskuler maka dapat terjadi perdarahan yang sangat besar sebagai akibat dari
trauma khususnya pada fraktur femur dan fraktur pelvis.
2. Emboli lemak Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler dan katekolamin yang
dilepaskan memobilisasi asam lemak kedalam aliran darah. Globula lemak ini bergabung
dengan trombosit membentuk emboli yang dapat menyumbat pembuluh darah kecil yang
memasok darah ke otak, paruparu, ginjal dan organ lainnya.
3. Compartment Syndrome Compartment syndrome merupakan masalah yang terjadi saat
perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh karena
penurunan ukuran fasia yang membungkus otot terlalu ketat, balutan yang terlalu ketat
dan peningkatan isi kompartemen karena perdarahan atau edema.
4. Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, tromboemboli dan koagulopati intravaskular.
2.4.2 Komplikasi lambat
1. Delayed union, malunion, nonunion Penyatuan terlambat (delayed union) terjadi bila
penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal berhubungan dengan infeksi dan
distraksi (tarikan) dari fragmen tulang. Tarikan fragmen tulang juga dapat menyebabkan
kesalahan bentuk dari penyatuan tulang (malunion). Tidak adanya penyatuan (nonunion)
terjadi karena kegagalan penyatuan ujungujung dari patahan tulang.

5
2. ekrosis avaskular tulang Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kekurangan asupan darah
dan mati. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan tulang
yang baru. Sinar-X menunjukkan kehilangan kalsium dan kolaps struktural.
3. Reaksi terhadap alat fiksasi interna Alat fiksasi interna diangkat setelah terjadi penyatuan
tulang namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan
gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator terjadinya masalah. Masalah
tersebut meliputi kegagalan mekanis dari pemasangan dan stabilisasi yang tidak
memadai, kegagalan material, berkaratnya alat, respon alergi terhadap logam yang
digunakan dan remodeling osteoporotik disekitar alat.

2.5 Pengkajian
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Penatalaksanaan Medis
Prinsip penanganan fraktur menurut Smeltzer & Bare (2009) dalam buku ajar
keperawatan medical bedah adalah sebagai berikut:
1. Closed reduction (reduksi tertutup) Dilakukan melalui manipulasi dan traksi manual
untuk menggerakkan fragmen fraktur dan mempertahankan kesejajaran tulang. Closed
reduction harus dilakukan sesegera mungkin setelah trauma guna mengurangi resiko
hilangnya fungsi tulang, untuk mencegah/menghambat degenerasi sendi (traumatic
arthritis) dan untuk meminimalkan efek kerusakan akibat trauma.
2. ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
Open reduction adalah salah satu metode reduksi pada fraktur selain closed reduction,
melalui proses pembedahan.
3. External fixation (fiksasi eksternal), merupakan peralatan mekanik yang terdiri dari pin
dan metal yang dimasukkan ke tulang dan disambungkan ke kerangka eksternal untuk
menstabilkan fraktur selama proses penyembuhan. Cara ini digunakan jika penanganan
fraktur lain sudah tidak bisa menangani fraktur.
4. Traksi, adalah sebuah aplikasi yang memberikan gaya tarik pada bagian tubuh untuk
meminimalkan spasme otot, mengurangi, meluruskan dan mengimobilisasi fraktur,
mengurangi deformitas.
2.6.2 Penatalaksanaan Keperawatan
Perawat perlu mengenal tindakan penatalaksanaan medis operatif agar mampu
melakukan kolaborasi sesuai kondisi klien. Tindakan operatif pemasangan plate dan
screw ataupun dilakukan reposisi (jepitan nervous radialis), non union, atau jika klien
segera ingin kembali bekerja secara aktif. Prinsip penatalaksanaan adalah konvensional

6
karena angulasi dapat tertutup oleh otot dan secara fungsional tidak terjadi gangguan.
Disamping itu, 1/3 kontak antarfragmen tulang yang fraktur cukup memadai untuk
terjadinya union (Muttaqin, 2008).

2.7 Evaluasi

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa, trauma yang menyebabkan tulang

7
patah, dapat berupa trauma langsung dan dapat berupa trauma tidak langsung (Hoppenfield,
2011).

Fraktur humerus adalah fraktur pada tulang humerus yang disebabkan oleh benturan
atau trauma langsung maupun tidak langsung (Jong, 2010). Fraktur humerus adalah salah
satu jenis fraktur yang memerlukan penanganan segera, tanpa penanganan segera dapat
terjadi komplikasi kelumpuhan nervus radial, kerusakan nervus brachial, atau median
(Smeltzer & Bare, 2009).

Fraktur memerlukan pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif. Asuhan


terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar klien yang terganggu dan
mencegah/mengurangi komplikasi terutama immobilisasi. Pendidikan kesehatan juga dapat
diberikan untuk mencegah cedera lebih lanjut sehingga klien secara bertahap dapat
mengoptimalkan fungsi bio-psikososiospiritualnya.

Perawat perlu mengenal tindakan penatalaksanaan medis operatif agar mampu


melakukan kolaborasi sesuai kondisi klien. Tindakan operatif pemasangan plate dan screw
ataupun dilakukan reposisi (jepitan nervous radialis), non union, atau jika klien segera ingin
kembali bekerja secara aktif. Prinsip penatalaksanaan adalah konvensional karena angulasi
dapat tertutup oleh otot dan secara fungsional tidak terjadi gangguan. Disamping itu, 1/3
kontak antarfragmen tulang yang fraktur cukup memadai untuk terjadinya union (Muttaqin,
2008)

3.2 Saran

Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Kami, menyadari makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya kami sebagai penulis mengharapkan saran dari
pembaca sebagai pembangun untuk lebih baik lagi.
Daftar Pustaka

References
Black, M. J., & Hawks, H. (2009). Medical surgical nursing: clinical management for continuity
of care, 8th ed. Philadephia: W.B. Saunders company.

8
Brunner, & Suddart. (2005). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Hoppenfield, S. (2011). Treatment and Rehabilitation of Fractures. Jakarta: EGC.

Jong, D. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta:


EGC.

Reksoprodjo, S. (2010). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Bagian Ilmu Bedah. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI.

RI, D. K. (2008). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Riskesdas. (2007). Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Depkes. Jakarta:
www.depkes.go.id.

Smeltzer, S., & Bare, B. (2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8 Vol 3. Jakarta: EGC.

You might also like