Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imam Abu Hanifah adalah salah seorang ulama atau faqih yang cukup besar dan
luas pengaruhnya dalam pemikiran hukum Islam. Sebagaimana diceritakan oleh
Muhammad Abu Zahrah bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama yang
lebih banyak menggunakan rayu atau setidak-tidaknya lebih cenderung rasional.
Pemikiran Abu Hanifah banyak pengaruhnya dan berkembang di berbagai kawasan
negeri Islam, seperti Irak, Syam dan sekitarnya serta tersebar di Mesir dan daerah-
daerah lainnya. Di Indonesia tokoh Imam Abu Hanifah juga populer di masyarakat.
Namun, kepopuleran itu hanya sebatas ketokohannya saja.
Sedangkan pemikiran Abu Hanifah mengenai hukum Islam kurang populer. Hal
ini karena di Indonesia corak fiqhnya memang cenderung ke Syafiiyyah. Oleh
karena itu, perlu adanya pengkajian terhadap pemikiran tokoh-tokoh fiqh selain
Syafiiyyah khususnya pemikiran Abu Hanifah agar dapat memperkaya khasanah
keilmuan hukum Islam di Indonesia. Selain itu Imam Hanifah memiliki aklhaq yang
terpuji yang patut untuk kita jadikan suri tauladan dalam menjalani kehidupan di
bumi allah ini. Sehingga perlu kita melakukan sebuah pengkajian tentang kehidupan
dan aklhaq yang dimiliki Imam Abu Hanifah yang akan kami sajikan dalam makalah
agama yang berjudul Biografi Imam Hanifah
1
BAB II
PEMBAHASAN
Ia lebih populer dipanggil Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang
dinamakan Hanifah, ini menurut satu riwayat. Dan menurut riwayat yang lain, sebab
ia mendapat gelar Abu Hanifah, karena ia adalah orang yang rajin melakukan ibadah
kepada Allah dan sungguh-sungguh melakukan kewajibannya dalam beragama.
Karena perkataan Hanif dalam bahasa Arab itu artinya cenderung atau
condong kepada agama yang benar. Dan ada pula yang meriwayatkan, bahwa sebab
ia mendapat gelar dengan Abu Hanifah itu lantaran dari eratnya berteman dengan
tinta. Karena perkataan Hanifah menurut lughat Irak artinya dawat atau
tinta. Yakni ia di mana-mana senantiasa membawa dawat guna menulis atau
mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya atau lainnya. Dengan
demikian lalu ia mendapat gelar Abu Hanifah.
Sebagian besar hidup Abu Hanifah semasa dengan kekuasaan Bani Umayyah,
sisanya dalam masa Bani Abbasiyah. Ia lahir pada masa kekuasaan Bani Umayyah di
era pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan meninggal dunia pada masa
kekuasaan Bani Abbasiyah dibawah pemerintahan Abu Jafar al-Mansur.
Kehidupan Abu Hanifah tak lepas dari masyarakatnya atau di salah satu
sudutnya. Ia hidup bahkan di jantung dan pusat kota. Ia hidup di ibu kota Baghdad
tempat berkumpulnya ilmu dan para ulama, tempat bersemainya kajian dan para
pengkaji, diskusi dan ahli diskusi, tren-tren budaya yang beragam di suatu saat dan
yang bertentangan di saat yang lain.
2
Wilayah ini memiliki warisan bersejarah. Dari segi ilmiah, penduduknya
memiliki kesiapan tinggi dalam mengkaji dan menalar, ditambah lagi hijrahnya para
ulama ke wilayah ini, khususnya ke Baghdad, sesudah dijadikan oleh khilafah
Abbasiyah sebagai basis pemerintahan, tak pelak Irak bertambah kuat dan strategis.
Disamping menganut aliran rasional, Abu Hanifah dikenal sangat wara dan
takwa. Ia sering melakukan pengembaraan untuk memperoleh hadits. Ketika ia
berumur 16 tahun, yaitu pada tahun 96 H, Abu Hanifah pergi haji bersama ayahnya
dan bertemu dengan Abdullah bin Harits az-Zubaidi. Dari ulama ahli hadits ini ia
meriwayatkan sabda nabi SAW: Barang siapa mendalami agama (tafaqqahu), maka
Allah akan mencukupkan segala kebutuhannya dan memberinya rizki secara yang
tidak disangka. Karenanya, tidak benar dakwaan sementara orang yang menuduh
Abu Hanifah tidak meriwayatkan hadits, kecuali tujuh belas hadits saja. Dalam
riwayat yang mutabar disebutkan bahwa Abu Hanifah meriwayatkan sendiri
sebanyak 215
Hadits selain hadits-hadits yang juga diriwayatkan oleh para imam yang lain.
Abu Muayyid Muhammad bin Mahmud al-Khawarizmi (wafat tahun 226 H),
mengumpulkan musnad Abu Hanifah setebal 800 halaman yang diterbitkan di Mesir
1326 H.31
Abu Hanifah dikenal jujur dan tidak suka banyak omong, akrab dengan
sahabat-sahabatnya dan tidak suka membicarakan keburukan orang lain. Ia bekerja
sebagai penjual kain dan hidup dari hasil kerjanya sendiri. Ia juga tidak menyukai
pembicaran duniawi. Jika ditanya soal-soal agama, dengan suka-cita ia
3
menguraikannya secara panjang lebar dan bersemangat. Ketika Sufyan ats-Tsauri
ditanya tentang ketidaksukaan Abu Hanifah menggunjing orang, ia mengatakan:
Akalnya lebih cerdik untuk dapat dipengaruhi hal-hal yang menghapuskan kebaikan-
kebaikannya.
Abu Hanifah begitu sadar bahwa masa depan fiqh harus bebas dari kekangan
penguasa. Sebab hanya dengan menghindari ikatan-ikatan kedudukan ia dapat leluasa
mengembangkan kajian-kajian fiqhiyah. Itulah sebabnya Abu Hanifah
memperjuangkan kebebasan berpendapat dengan segala kekuatan yang dimilikinya.
Demikianlah dalam diri Abu Hanifah berkumpul ilmu orang rasionalis yang paling
masyhur dan ilmu seorang wara yang paling wara.
Abu Hanifah belajar fiqh dan Hadits dari Hammad selain dari Ibrahim an-
Nakhai dan asy-Syabi. Tapi masa belajarnya dengan an-Nakhai dan asy-Syabi tidak
selama dari Hammad. Abu Hanifah belajar dari Hammad selama 22 tahun. Setelah
berumur 40 tahun, beliau pisah untuk mengakar sendiri di Masjid Kufah.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Abu Hanifah berkata kepada Abu Mansur
tentang bagaimana ia mempelajari fiqh. Ibrahim meriwayatkan dari Umar bin
Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud dan Abdullah bin Abbas, Mansur
berkata, Wah, kamu telah membekali dirimu wahai Abu Hanifah, sesuai dengan
keinginanmu, dari orang-orang yang suci, bersih dan diberkahi
Abu Hanifah dikenal memiliki banyak ilmu syariah dan bahasa Arab. Dari dia
sendiri diriwayatkan beberapa wajah bacaan al-Quran. Keahliannya dalam fiqh
mendapatkan kesaksian dan pujian-pujian dari ulama salaf terhadap Abu Hanifah,
diantaranya; Imam Syafii berkata, Semua orang dalam ilmu fiqh menginduk kepada
Abu Hanifah. Dalam riwayat lain disebutkan, Siapa yang ingin mengerti tentang
4
fiqh maka hendaklah belajar kepada Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, sebab
semua orang dalam masalah fiqh menginduk kepadanya.
Abu Yusuf, salah satu sahabat utama Abu Hanifah, mengatakan: Saya tidak
pernah melihat orang yang lebih ahli dalam menafsirkan hadits selain Abu Hanifah. Ia
sangat cermat dan kritis dalam menilai kesahihan suatu hadits.
Pertama, Abu Yusuf Yaqub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari al-Kufi yang
lahir pada tahun 113 H dan meninggal pada tahun 182 H. Untuk pertama kali, Abu
Yusuf belajar kepada ibn Abi Laila selama 9 tahun. Selanjutnya ia berguru kepada
Abu Hanifah sehingga jadilah Abu Yusuf seorang faqih, ulama dan hafiz (ahli hadits).
Ia sempat menjabat qadhi atau hakim dalam beberapa masa kekhalifahan Abbasiyah.
Ia menulis banyak kitab tentang masalah-masalah ibadah, jual beli, hudud (hukum
pidana) dan lainnya. Kitabnya yang paling terkenal adalah al-Kharaj yang ditulis
atas permintaan khalifah ar-Rasyid. Kitab ini dianggap sebagai referensi utama
Ekonomi Islam. Kitabnya yang lain adalah al-Atsar dan al-Raad ala Sairi al-
Auzai fi ma Mahala fihi Abu Hanifah dan lainnya
Kedua, Abu Abdillah Muhammad bin Hasan asy-Syaibani yang lahir pada
tahun 132 H dan meninggal pada tahun 189 H. Ia cukup lama belajar dengan Abu
Hanifah. Ketika Abu Hanifah meninggal dunia, asy-Syaibani baru berumur 20 tahun.
Ini menunjukkan bahwa beliau menuntut ilmu dan faqih sejak usia belia. Asy-
Syaibani ahli dalam pemecahan istilah dan ilmu berhitung. Ia konsisten dengan
pekerjaan menulis dan menghasilkan banyak kitab, diantaranya, al-Mabsuth, az-
Ziyadat, al-Jami al-Kabir, al-Jami as-Shagir, as-Sair al-Kabir, as-Sair as-Shagir,
ar-Rad ala ahli al-Madinah dan lainnya.
5
Ketiga, Zufar bin Huzail yang lahir pada tahun 10 H dan meninggal pada
tahun 158 H. Zufar lebih dulu belajar kepada Abu Hanifah baru kemudian kepada
Abu Yusuf dan asy-Syaibani. Ia tergolong seorang murid yang terkenal ahli qiyas. Ia
seorang yang baik pendapat-pendapatnya dan pandai mengupas tentang soal-soal
keagamaan serta ahli ibadah. Zufar pernah menjabat hakim di Bashrah. Pada
mulanya, banyak ulama yang benci dan berburuk sangka kepada Abu Hanifah. Zufar
lalu menerangkan dan menjelaskan kepada mereka secara menakjubkan sehingga
mereka simpati kepadanya. Ia melakukan hal ini secara kontinyu. Akhirnya banyak
orang-orang yang dulu benci menjadi suka kepada Abu Hanifah.
Keempat, Hasan bin Ziyad al-Luluiy al-Kuti yang meninggal dunia pada
tahun 204 H. Ia sangat terkenal dalam meriwayatkan hadits. Ia adalah murid
sekaligus sahabat Abu Hanifah. Ia menjabat qadhi di Kufah pada tahun 194 H dan
menulis beberapa kitab antara lain, Aadab al-Qadhi, al-Khishal, Maani al-Iman, an-
Nafaqat, al-Kharraj, al-Faraidh, al-Washaya, al-Mujarraddan al-Amali.
Kedua, berpihak pada yang fakir dan lemah. Contohnya, Abu Hanifah
mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak, sehingga zakat itu dikumpulkan
untuk kemaslahatan orang-orang fakir. Abu Hanifah berpendapat, orang yang punya
utang tidak wajib membayar zakat jika utangnya itu lebih banyak dari uangnya. Ini
menunjukkan belas kasihnya kepada orang yang punya utang.
6
Keempat, menjaga kehormatan manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya.
Karena itu Abu Hanifah tidak mensyaratkan wali nikah bagi perempuan yang baligh
dan dewasa atas orang yang dicintai, baginya hak untuk menikahkan diri sendiri dan
nikahnya sah.
Kaidah-kaidah brilian dan selaras inilah yang membuat Abu Hanifah layak
mendapatkan gelar Imam Ahlu ar-Rayi. Ini tidak berlebihan, karena beliau telah
berjuang dan berusaha keras menggunakan qiyas pada hukum-hukum yang tidak ada
dasarnya dalam nash. Selain itu, Abu Hanifah juga menguasai ilmu ber-istimbath
(menggali hukum) dari hadits, sehingga dapat mengambil intisari yang bermanfaat
bagi umat, dan tidak bertentangan dengan nashnya.
Pendapat Imam Abu Hanifah yang berkaitan dengan fiqh lainnya yaitu, bahwa
benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan
kedudukan ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda
wakaf dapat dijual, diwariskan, dan di-hibah-kan wakif kepadayang lain, kecuali
wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf
wasiat dan wakaf yang diikrarkan. Secara tegas wakaf itu terus dilanjutkan meskipun
wakif telah meninggal dunia.
7
G. Aliran Ushul Fiqih Imam Abu Hanifa
Sebagian ulama berpendapat, bahwa yang pertama kali mempelopori aliran ini
adalah ulama madzhab Hanafi. Mereka tidak mempunyai kaidah ushul fiqh yang
tumbuh pada masa istinbath, sebagaimana dikatakan oleh Imam As Dahlawi dalam
kitabnya Al Inshaf fi Bayani Asbabil Ikhtilaf, sebagai berikut:
Meskipun metode ushul fiqh madzhab Hanafi tampaknya statis dan mandul serta
sedikit manfaatnya lantaran semata-mata untuk mempertahankan madzhab tertentu,
akan tetapi secara umum metode tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap
perkembangan pemikiran fiqh. Pengaruh tersebut antara lain berikut ini:
8
masalah-masalah furu. Dengan mengkaji universalitas kaidah-kaidah
tersebut, akan memberikan kekuatan tersendiri.
Setelah itu, muncullah seorang ulama besar yang bernama Al Bazdawi (wafat 483
H). Dia menyusun sebuah kitab yang diberi nama Ushul Al Bazdawi, sebuah kitab
ushul fiqh yang ringkas dan mudah dicerna. Kitab tersebut terbilang kitab yang paling
jelas dan mudah yang disusun menurut metode madzhab Hanafi. Kemudian muncul
9
pula Imam As Sarkhasi penyusun kitab Al Mabshuth yang menyusun sebuah kitab
yang senada dengan kitab Al Bazdawi, hanya lebih luas dan mendetail. Setelah itu
terbitlah beberapa kitab yang disusun menurut metode tersebut yang meresume dan
menjabarkan kitab-kitab terdahulu, seperti kitab Al Manar, dan lain-lain.
Adalah suatu hal yang wajar bila dikatakan bahwa para ulama yang
memperdalam ilmu ushul fiqh, baik dari madzhab Syafii, Maliki, maupun Hanbali
telah banyak yang menyusun kitab ushul fiqh menurut metode Hanafi dalam
menerapkan kaidah-kaidah kulliyah (universal) pada masalah-masalah furu yang
terdapat dalam madzhab mereka masing-masing. Seperti kitab Tanqihul Fushul fi
Ilmil Ushul, karya Al Qarafi. Kitab tersebut disusun menurut metode madzhab
Hanafi dan menjelaskan tentang kaidah-kaidah madzhab Maliki yang diterapkan
dalam masa1ah-masalah furu. Kitab At Tamhid fi Takhrijil Furu alal Ushul karya
Imam Asnawi (wafat 777 H), seorang pengikut madzhab Syafii. Dalam kitab
tersebut, dia menjelaskan penerapan kaidah-kaidah Ushul madzhab Syafii terhadap
masalah-masalah furu. Demikian juga kitab-kitab ushul fiqh yang ditulis oleh Ibnu
Taimiyah dan Ibnul Qayyim yang menjelaskan tentang madzhab Hanbali.
Dari keterangan tersebut, maka jelaslah bahwa metode madzhab Hanafi telah
dimanfaatkan oleh beberapa ulama dari empat madzhab. Bahkan madzhab Syiah
Imamiyah dan Syiah Zaidiyah juga menggunakan metode madzhab Hanafi dalam
menggali kaidah-kaidah Ushul untuk menstandardisasi masalah-masalah furu.
Meskipun terkadang kelompok Syiah juga mnempergunakan metode ahli Kalam,
karena kebanyakan ulama Syiah juga mengikuti Mutazilah yang mempergunakan
metodologi ulama ahli ilmu Kalam.
Setelah kedua metode yang berbeda-beda itu menjadi baku, maka terbitlah
kitab-kitab fiqh yang disusun berdasarkan kedua metode tersebut. Mula-mula ditulis
kaidah-kaidahnya saja, kemudian menerapkan kaidah-kaidah tersebut sesuai dengan
metode madzhab. Kitab-kitab tersebut disusun oleh para ulama yang ahli dari
madzhab Syafii dan Hanafi. Di antara kitab-kitab tersebut adalah kitab Badiun
Nizham karya Ahmad bin Ali As Saati Al Baghdadi (wafat 694 H) yang menghimpun
kitab Ushul Al Bazdawi dan kitab Al lhkam karya Al Amidi. Setelah itu kitab
Tanqihul Ushul karya Syaikh Sadrus Syariah Abdullah bin Masud Al Bukhari
(wafat 747 H) yang di beri syarah berjudul At Taudhih. Dalam kitab tersebut dia
menghimpun kitab Ushul Al Bazdawi, kitab Al Mahsul karya Ar Razi, dan kitab Al
Mukhtashar karya Ibnu Hajib.
10
Setelah itu, muncul pula beberapa upaya yang mengkombinasikan kedua
metode yang akhirya membuahkan kitab-kitab yang tinggi nilainya. Di antaranya
ialah kitab Jamul Jawami karya Tajuddin Abdul Wahhab As Subki Asy Syafii
(wafat 771 H), kitab At Tahrir karya Kamaluddin ibnul Humam (wafat 861 H) dan
kitab Muslimus Tsubut karya Muhibbullah ibn Abdus Syakur Al Hindi.
Dengan demikian obyek pembahasan ilmu Fiqh dapat dibagi menjadi empat bagian,
yaitu :
1. Hukum Syara
4. Mahkum alaih (subyek hukum atau yang menanggung hukum), yaitu orang
mukallaf (orang yang dibebani hukum). Dalam bab ini akan dibicarakan
11
batas-batas seseorang yang disebut mukallaf, dan hal-hal yang mengha1ang-
halangi taklif.
Perlu diketahui bahwa Abu Hanifah tidak pernah menulis kitab tentang
mazhabnya. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa Abu Hanifah tidak menulis
kitab secara langsung kecuali beberapa risalah kecil yang dinisbahkan kepadanya,
seperti risalah yang dinamakan al-Fiqh al-Akbar dan al-Alim wa al-Mutaalim. Walau
demikian mazhabnya sangat populer dan tersebar luas. Ini karena hasil perjuangan
murid-murid Abu Hanifah dalam mengembangkan dan menyebarluaskan
pemikirannya terutama pada istimbath yang ia rumuskan.
Diceritakan bahwa Imam Abu Yusuf merupakan orang yang pertama menulis
beberapa buku berdasarkan mazhab Hanafi dan menyebarkannya ke berbagai daerah
untuk dipelajari. Demikian pula halnya dengan Muhammad ibn al-Hasan asy-
Syaibani banyak menimba ilmu dari Abu Hanifah dan menyebarkan pemikiran-
pemikiran beliau melalui karya-karyanya. Dari sejumlah sumber, menyebutkan
bahwa Abu Hanifah sendiri tidak meninggalkan karya atau buku yang ditulisnya
langsung, kecuali apa yang dinukil oleh para murid beliau.
12
Selain Abu Yusuf dan Zufar, Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani juga salah
seorang murid Abu Hanifah yang terkenal dan berjasa dalam mengembangkan
mazhab Hanafi. Ibn Hasan mengikuti cara-cara istimbath yang telah dirintis oleh Abu
Yusuf berdasarkan pemikiran Abu Hanifah.
(6) az-Ziyadat.
al-Kaisaniyyat,
ar-Ruqayyat,
13
al-Haruniyyat,
al-Jurjaniyyat dan
Badai ash-Shanai fi Tartib asy-Syarai.
Selain kitab fiqh dan ushul al-Fiqh, ulama Hanafiah juga membangun kaidah-
kaidah fiqh yang kemudian disusun dalam kitab tersendiri. Diantara kitab qawaid al-
Fiqhiyyah aliran Hanafi yaitu, Ushul al-Karkhi karya al-Karkhi (260-340 H), Taziz
an-Nazhar karya Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H), Al-Asybah wa an-Nazhair karya ibn
Nujaim (w. 970 H), Majami al-Haqaiq karya Abu Said al-Khadimi (w. 1176 H),
Majallah al-Ahkam al-Adhiyyah (Turki Usmani, w. 1292 H), Al-Fawaid al-Bahiyyah
fi Qawaid wa al-Fawaid karya ibn Hamzah (w. 1305 H) dan Qawaid al-Fiqh karya
Mujaddidi.
Menurut riwayat yang telah banyak diriwayatkan oleh sebagian ulama ahli
hadits bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda; Jika sekiranya ilmu
pengetahuan itu tergantung di bintang tsuraya niscaya akan dicapai oleh beberapa
orang dari keturunan bagsa Persia. Berhubung dengan adanya hadits ini, diantara
para ulama ada yang memberi keterangan bahwa hadits ini mengandung basyirah
(berita gembira) dari Nabi SAW. Yang dimaksud dengan kata-kata beberapa orang
14
dari keturunan bangsa Persia itu antara lain ialah yang mulia Imam Abu Hanifah.
Karena beliau itu adalah seorang dari keturunan bangsa Persia dan beliaupun di kala
hayatnya tidak ada seorangpun yang dapat membandingi tentang ilmu
pengetahuannya, kecerdasan fikirannya, keluhuran budinya dan keteguhan jiwanya.
Dengan terpilihnya Imam Abu Yusuf menjadi qadli, maka segenap qadli dan
hakim di segenap daerah dan kota di kala itu pada umumnya yang terdiri dari para
ulama yang bermazhab Hanafi menjadi gemar mempelajari kitab-kitab yang
beraliran Hanafi, karena ingin mendapat kedudukan atau pangkat. Demikianlah
permulaan tersiarnya aliran mazhab Imam Abu Hanifah.
Selanjutnya mazhab Imam Hanafi baru dikenal orang Mesir sesudah tahun
164 H. Karena di kala itu telah diangkat oleh kepala negara al-Mahdi seorang qadli
yang bermazhab Hanafi yang mula-mula menyiarkan mazhab Hanafi di Mesir.
Terutama selama pemerintahan Islam ada di tangan para kepala negara dari keturunan
Abbasiyah, makin berkembanglah mazhab ini di Mesir sampai tahun 358 M.
15
untuk berkembang di tengah-tengah Mesir. Pada tahun 641 H Sultan Saleh
Najmuddin mendirikan madrasah yang dinamakan madrasah as-Shalihiyyah. Dalam
madrasah ini diberikan pengajaran-pengajaran mazhab empat yang masyhur, yaitu
mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali sebagai tindakan pembalasan untuk
membasmi aliran-aliran mazhab yang lain.
16
Beliau pernah dipukul pemerintah karena menolak permintaan Gubernur untuk
menjadi hakim. Beliau meninggal di Baghdad, tahun 150 H, dalam usia 70 tahun.
Semoga Allah merahmati Imam Abu Hanifah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama lengkap Imam Abu Hanifah adalah al-Numan ibn Tsabit ibn al-Zutha
al-Farisi, dilahirkan di Kufah pada 80 Hijriah. Beliau salah satu dari keempat tokoh
Madzahibul al-Arbaah termasyhur dan berkembang di dunia islam. Masa kecil Abu
Hanifah berbeda dengan ketiga Imam fikih lainnya yaitu Imam Malik, Imam Syafii,
dan Imam Ahmad. Pasalnya ketiganya memulai menimba ilmu sejak usia dini,
sedangkan Abu Hanifah tidak demikian. Ketika kecil beliau berprofesi sebagai
pedagang dan sering berlalu lalang, pulang pergi kepasar untuk membiayai kehidupan
keluarga.
Beliau memiliki konsep yang jelas dalam pengambilan hukum agama dari
sumber-sumbernya. Dalam Tarikh Baghdad disebutkan sebuah pernyataan dari Abu
Hanifah mengenai konsep yang digunakannya, yakni Aku merujuk kitab Allah. Bila
aku tidak menemukan (dasar hukum) didalamnya, aku akan merujuk sunnah. Bila di
dalam keduanya aku juga tidak menemukan, aku akan merujuk perkataan para
sahabat; aku akan memilih pendapat siapa saja dari mereka yang ku kehendaki, aku
tidak akan pindah dari satu pendapat ke pendapat sahabat yang lain. Apabia
didapatkan pendapat Ibrahim, al-Syabi, ibnu Sirrin, al-Hasan, al-Atha, Said ibnu
17
Musayyab, dan sejumlah seorang yang lainnya, dan mereka semua sudah berijtihad,
maka aku akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang melakukan shalat Shubuh dengan
wudhu shalat 'Isya selama empat puluh tahun, tidak pernah sekal pun ia
meninggalkan kebiasaan itu. Demikian juga, ia dikenal sebagai orang yang
menghatamkan al-Qur'an di satu tempat di mana ia meninggal sebanyak 7000 kali.
Imam Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 150H/ 767M ketika
berusia 70 tahun.
18
DAFTAR PUSTAKA
Hery Sucipto. 2003. Ensiklopedi Tokoh Islam (Dari Abu Bakar sampai Nashr dan
Qardhawi). Jakarta: PT Mizan Pustaka/
19