You are on page 1of 17

Materialitas dan Risiko dalam Audit

Setelah tujuan audit ditetapkan dan berbagai bidang yang diaudit dianalisis
dalam prosedur analitis awal, tingkat materialitas untuk angka-angka yang diaudit
harus ditetapkan. Auditor tidak mungkin memeriksa semua hal untuk memastikan
bahwa semuanya telah diperlakukan dengan selayaknya dalam suatu sistem atau
telah dilaporkan dengan benar. Ia harus memutuskan sampai tingkatan mana
memeriksa hal-hal tersebut yang sesuai dengan tujuantujuannya, dan karena hal
inilah konsep materialitas dan risiko muncul dalam audit.

Banyak faktor yang menyebabkan auditor tidak dapat memeriksa semua hal,
seperti:

Jangka waktu audit.

Sifat audit dan kapasitas sumber daya yang ada.

Keterbatasan anggaran, dan

Suatu opini audit memiliki probabilitas untuk dikatakan benar, tidak benar
100%. Pembaca laporan audit memberikan kepercayaan pada opiniberdasarkan
probabilitas bahwa laporan itu salah. Dengan asumsi bahwa auditor memiliki
kemampuan yang layak, probabilitas laporan audit memberikan hasil yang benar
berkaitan secara langsung dengan kedalaman pemeriksaan yang dilakukan, dan hal
ini terejawantahkan dalam nilai-nilai yang diterapkan kepada materialitas dan risiko.

Materialitas
Definisi dari materialitas dalam kaitannya dengan akuntansi dan pelaporan audit
adalah suatu salah saji dalam laporan keuangan dapat dianggap material jika
pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan
keuangan yang rasional. Pernyataan FASB No. 2 mendefinisikan materialitas sebagai
jumlah atau besarnya kekeliruan atau salah saji dalam informasi akuntansi yang,
dalam kaitannya dengan kondisi yang bersangkutan, mungkin membuat
pertimbangan pengambilan keputusan pihak yang berkepentingan berubah atau
terpengaruh oleh salah saji tersebut. Materialitas juga didefinisikan dalam
International Accounting Standard. Menurut standar ini, informasi dipandang sebagai
material bila disajikan salah atau tidak disajikan dapat mempengaruhi keputusan-
keputusan ekonomis yang diambil oleh pengguna laporan yang mendasarkan
keputusan-keputusannya sebagian pada informasi dalam laporan keuangan.
Materialitas bergantung pada ukuran pos atau kesalahan dan bergantung pada situasi-
situasi tertentu yang melingkup kesalahsajian atau peniadaan informasi. Oleh karena
itu, materialitas lebih merupakan pemberian suatu batasan daripada suatu
karakteristik kualitatif primer yang harus dimiliki oleh informasi yang berguna.

Definisi ini pada kenyataannya sulit diterapkan oleh auditor dalam praktik.
Definisi ini memberikan penekanan kepada pengguna yang penuh pertimbangan
(reasonable users) dalam menggunakan laporan keuangan untuk pengambilan
keputusan. Oleh karena itu, auditor harus memiliki pemahaman tentang pengguna
laporan keuangan dan keputusan-keputusan yang mereka buat. Dalam suatu audit
keuangan, tujuan audit adalah memungkinkan auditor menyatakan opininya apakah
laporan keuangan, dalam hal-hal yang material, disajikan sesuai dengan standar
akuntansi. Dengan demikian, penilaian apakah sesuatu itu material merupakan
pertimbangan profesional.

Tujuan penetapan materialitas adalah untuk membantu auditor merencanakan


pengumpulan bahan bukti yang cukup. Jika auditor menetapkan jumlah yang rendah
berarti lebih banyak bahan bukti yang harus dikumpulkan. Tanggung jawab auditor
adalah menetapkan apakah suatu laporan keuangan salah saji dalam jumlah yang
material. Apabila auditor berpendapat adanya salah saji yang material, ia harus
memberitahukan hal tersebut pada auditan, sehingga koreksi dapat dilakukan. Jika
auditan menolak untuk mengkoreksi laporan tersebut, pendapat dengan pengecualian
atau pernyataan tidak wajar harus diberikan. Oleh karena itu, auditor harus
memahami benar penerapan materialitas.

Materialitas merupakan konsep relatif, bukan absolut dalam jumlah. Salah saji
dalam jumlah tertentu dapat dianggap material pada sebuah perusahaan kecil tetapi
tidak material pada perusahaan besar. Karena sifatnya relatif, diperlukan basis untuk
menentukan tingkat materialitas suatu salah saji. Basis penetapan dapat berdasarkan
neraca atau laporan laba rugi atau suatu angka-angka kuantitas input atau output
tertentu, seperti besarnya anggaran.

Materialitas menunjukkan dua aspek dari auditing. Aspek pertama yang lebih
umum adalah penggunaan materialitas pada ukuran dan sensitivitaskesalahan yang
dapat mempengaruhi laporan audit. Aspek lainnya seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya berkenaan dengan kedalaman pemeriksaan dalam suatu audit. Kedua
konsep ini bertautan satu dengan lainnya karena kedalaman pemeriksaan akan
menentukan kemungkinan kesalahan akan ditemukan. Pada intinya, materialitas
berkaitan dengan angka-angka moneter di atas jumlah tertentu yang menurut auditor
akan mempengaruhi tujuantujuan auditnya. Oleh karenanya, materialitas merupakan
hal yang subyektif dan dapat bervariasi dari satu situasi audit ke situasi audit lainnya

Ada lima langkah audit yang terkait dengan penerapan konsep materialitas, dua
diantaranya dilakukan pada tahap perencanaan, yaitu:

1. Menetapkan penentuan awal tentang materialitas. Penentuan inidinyatakan


sebagai penentuan awal karena akan berubah sepanjang audit proses bila ada
perubahan kondisi. Alasan utama untuk menetapkan penentuan awal ini adalah
untuk membantu auditor merencanakan bukti yang cukup untuk dikumpulkan
dan dievaluasi. Jika auditor menetapkan tingkat materialitas yang rendah maka
diperlukan bukti yang lebih banyak daripada jika auditor menetapkan tingkat
materialitas yang lebih tinggi.
2. Mengalokasikan penentuan materialitas awal kepada berbagai bidang atau
segmen. Alokasi ini diperlukan karena bukti-bukti dikumpulkan untuk setiap
bidang atau segmen pemeriksaan, bukannya keseluruhan pemeriksaan. Jika
auditor memiliki penetapan materialitas awal untuk setiap bidang atau segmen,
penetapan ini akan membantunya menentukan bukti audit yang tepat untuk
dikumpulkan bagi setiap bidang atau segmen. Dalam praktik, alokasi ini sulit
dilakukan karena sulitnya menduga bidang atau segmen mana yang mungkin
mengandung salah saji atau temuan. Oleh karena itu, alokasi materialitas ini juga
memerlukan pertimbangan profesional.

Tiga langkah audit berikut juga menerapkan konsep materialitas dan


dilaksanakan dalam tahapan pelaksanaan audit, yaitu:

1. Mengestimasikan kesalahan pada setiap segmen.

2. Mengestimasikan kesalahan secara total.

3. Membandingkan estimasi kesalahan total dengan penetapan materialitas awal


atau yang sudah direvisi.

Dalam menilai tingkat materialitas suatu entitas, program, aktivitas atau layanan
pemerintah, auditor sektor publik perlu menetapkan tingkat materialitas yang lebih
rendah daripada tingkat materialitas yang ditetapkan dalam audit-audit pada sektor
swasta karena adanya akuntabilitas publik dari auditan, berbagai persyaratan
peraturan perundang-undangan dan visibilitas dan sensitivitas dari program-program
pemerintah. Auditor juga harus mempertimbangkan kenyataan bahwa laporan-
laporan pada sektor publik berkaitan erat dengan aspek legal dan kepatuhan pada
peraturan-peraturan yang berlaku.

Auditor sektor publik dalam menetapkan tingkat materialitas, baik dalam nilai
absolut rupiah maupun dalam persentase, harus memperhatikan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh lembaga audit karena audit yang dilakukannya tidak berdiri sendiri
melainkan bagian dari rencana strategis yang telah ditetapkan oleh lembaga. Pada
bidang-bidang tertentu, pertimbangan politis suatu lembaga atau pos atau
permasalahan mengharuskan auditor menetapkan tingkat materialitas khusus yang
hanya berlaku untuk pos tersebut dan hal ini umumnya telah ada dalam panduan
yang diberikan kepada auditor oleh lembaga auditnya

Risiko Audit

Risiko dalam audit berarti bahwa auditor menerima suatu tingkat ketidakpastian
tertentu dalam pelaksanaan audit. Risiko adalah penilaian auditor akan kemungkinan
terjadi kesalahan dalam simpulan-simpulannya yang dinyatakan dalam laporan audit.
Risiko audit dapat didefinisikan sebagai risiko yang dihadapi auditor dengan
menderita kerugian karena menghasilkan laporan atau memberikan opini audit yang
tidak layak. Kerugian ini dapatberupa rusaknya reputasi auditor atau dalam bentuk
kompensasi moneter atas kerugian yang diderita pihak lain (misalnya auditan atau
pihak yang memberikan penugasan) atau bahkan keduanya. Menurut Nasamiku
Liandu, laporan/opini yang tidak layak ini dapat terjadi karena:

Tidak mengumpulkan bukti audit yang layak.

Secara sengaja diarahkan pengumpulan buktinya oleh pihak-pihak yang


menyediakan bukti dengan menyembunyikan bukti yang bila diberikan kepada
auditor dapat mengarah pada simpulan/opini yang berbeda.

Salah menginterpretasikan (mengambil simpulan yang salan) dari bukti yang


dikumpulkan.

Bila audit menggunakan pendekatan non-statistik, risiko harus dipertimbangkan


bersama-sama dengan materialitas. Dalam pendekatan statistik, penilaian risiko
bukan merupakan permasalahan utama dalam proses perencanaan karena pada
umumnya materialitas yang menjadi penentu utama ukuran sampel. Auditor akan
memerlukan perencanaan berkaitan dengan risiko bila menghadapi tiga situasi
berikut:

1. Bila melakukan perencanaan pekerjaan audit yang menggunakan pendekatan


non-statistik.

2. Bila tingkat kesalahan dalam sampling diperkirakan akan tinggi. Hal iniakan
dibahas lebih lanjut dalam pembahasan sampling statistik pada bagian
berikutnya.

3. Menilai kebergantungan kepada pengendalian intern. Hal ini akan dibahas pada
bagian pemahaman dan penilaian pengendalian intern.

Auditor harus menerima tingkat risiko tertentu dalam melakukan audit dengan
alasan yang sama sebagaimana harus menentukan tingkat materialitas tertentu.
Seorang auditor yang efektif akan mengenali adanya risiko dan akan menghadapi
risiko dengan cara yang benar. Sebagian besar risiko ini sulit diukur dan memerlukan
pemikiran yang mendalam untuk menanggapinya. Audit yang berkualitas
mengharuskan auditor untuk tanggap secara kritis terhadap risiko-risiko ini. Model
risiko audit dapat digunakan terutama untuk tahap perencanaan dalam menentukan
berapa besar bahan bukti yang harus dikumpulkan dalam tiap siklus. Rumusnya
adalah sebagai berikut:

Keterangan:
PDR = Risiko deteksi yang direncanakan (Planned Detection Risk)

AAR = Risiko audit yang dapat diterima (Acceptable Audit Risk)

IR = Risiko bawaan (Inherent Risk)

CR = Risiko pengendalian (Control Risk)

Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi risiko terhadap risiko dan


hubungan antara risiko dengan bukti yang direncanakan digambarkan pada ilustrasi
berikut:
Risiko Deteksi yang Direncanakan

Risiko deteksi yang direncanakan adalah risiko bahwa bahan bukti yang
dikumpulkan dalam segmen gagal menemukan salah saji yang melewati jumlah yang
dapat ditoleransi, kalau salah saji semacam itu timbul. Ada dua hal penting mengenai
risiko deteksi yang direncanakan di atas: pertama, ia tergantung pada tiga unsur
risiko lain dalam model dan kedua, risiko deteksi yang direncanakan menentukan
besarnya rencana bahan bukti yang akan dikumpulkan, dalam hubungan yang
berlawanan. Risiko deteksi yang direncanakan hanya akan berubah bila auditor
mengubah faktor-faktor risiko lainnya. Risiko ini juga yang menentukan jumlah
bukti yang rencananya akan dikumpulkan, yang hubungannya berbanding terbalik
dengan risiko deteksi yang direncanakan. Bila risiko deteksinya dikurangi maka
maka auditor harus menambah bukti yang harus dikumpulkan.

Risiko Bawaan

Risiko bawaan adalah penetapan auditor akan kemungkinan adanya salah saji
dalam segmen audit yang melewati batas toleransi, sebelum memperhitungkan faktor
efektivitas pengendalian intern. Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko bawaan
adalah sifat kegiatan auditan, integritas manajemen, motivasi manajemen, hasil audit
sebelumnya, penugasan pertama atau berulang, hubungan istimewa, transaksi
nonrutin, pertimbangan yang diperlukan, kemungkinan terhadap kecurangan, dan
unsur-unsur populasi. Ketika memulai audit, tidak banyak upaya yang dapat
dilakukan untuk mengubah risiko bawaan. Auditor harus menilai faktor-faktor di atas
yang mempengaruhi risiko bawaan dan memodifikasi bukti audit untuk memastikan
bahwa faktor-faktor tersebut telah diperhitungkan. Faktor-faktor tertentu akan
mempengaruhi seluruh tujuan ruang lingkup audit, seperti movitasi atau integritas
manajemen. Sementara itu, beberapa faktor tertentu hanya akan mempengaruhi
tujuan audit tertentu dan/atau bidang-bidang tertentu yang diaudit, seperti faktor
transaksi-tansksi nonrutin.

Risiko Pengendalian

Risiko pengendalian adalah ukuran penetapan auditor akan kemungkinan adanya


kekeliruan (salah saji) dalam segmen audit yang melewati batas toleransi, yang tidak
terdeteksi atau tercegah oleh struktur pengendalian intern. Faktor yang
mempengaruhi risiko pengendalian adalahefektivitas pengendalian intern dan
keandalan yang direncanakan oleh auditor. Risiko pengendalian ditetapkan setelah
auditor memahami struktur pengendalian intern auditan.

Risiko Audit yang Dapat Diterima

Risiko audit yang dapat diterima adalah ukuran ketersediaan auditor untuk
menerima bahwa laporan audit tidak memberikan pendapat atau simpulan yang
sesuai dengan kenyataan yang ada. Faktor yang mempengaruhi risiko audit yang
dapat diterima adalah tingkat ketergantungan pemakai laporan auditan dan
kemungkinan adanya permasalahan dalam organisasi auditan, seperti masalah
keuangan.

Hubungan antara berbagai faktor risiko dengan jumlah bukti audit digambarkan
pada tabel berikut.
Pertimbangan-Pertimbangan Lain dalam Materialitas dan Risiko

Risiko pengendalian dan risiko bawaan biasanya ditetapkan untuk setiap bidang
atau siklus atau akun dan juga untuk setiap tujuan audit, tidak untuk keseluruhan
audit. Oleh karena itu, tingkat risikonya akan bervariasi antar setiap
bidang/siklus/akun dan antar setiap tujuan pada satu penugasan audit. Pengendalian
intern mungkin lebih efektif pada pembayaran honor daripada pada transaksi
pengadaan barang. Risiko pengendaliannya tentu saja akan berbeda bergantung pada
efektivitas pengendaliannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko bawaan,
seperti kemungkinan kecurangan dan rutinitas transaksi, juga akan berbeda dari satu
bidang audit ke bidang audit lainnya. Untuk alasan tersebut, auditor umumnya akan
menetapkan tingkat risiko bawaan yang berbeda-beda pada bidang-bidang berbeda
kecuali pada entitas auditan ada satu faktor menyeluruh yang kuat, seperti integritas
manajemen.
Risiko audit yang dapat diterima pada umumnya ditetapkan oleh auditor untuk
digunakan sepanjang pelaksanaan audit dan besarnya selalu tetap untuk setiap
bidan/siklus/akun. Misalnya, diasumsikan auditor menetapkan risiko audit yang
dapat diterima pada tingkatan menengah karena sedikitnya jumlah pengguna laporan
auditan dan program-program diselenggarakan dengan baik (tidak ada permasalahan-
permasalahan dalam organisasi). Auditor akan cenderung menggunakan risiko audit
yang dapat diterima pada tingkatan menengah untuk audit inventaris, pembangunan
gedung, penerimaan bukan pajak, pembayaran honor dan transaksi-transaksi utama
lainnya. Auditor menggunakan tingkatan risiko yang sama karena faktor-faktor yang
mempengaruhi risiko audit terkait dengan audit secara keseluruhan, bukannya
bidang/siklus/akun individual.

Pada kasus-kasus tertentu, auditor akan menggunakan tingkat risiko audit yang
dapat diterima pada tingkatan yang lebih rendah pada bidangbidang audit tertentu.
Misalnya, tingkat risiko audit pada pengeluaranpengeluaran tertentu yang berasal
dari pinjaman luar negeri umumnya ditetapkan lebih rendah daripada bidang-bidang
lain karena adanya berbagai persyaratan tambahan dan pelaporan tambahan
berkenaan dengan pengeluaran-pengeluaran tersebut.

Satu kelemahan utama dalam aplikasi model risiko audit ini adalah sulitnya
mengukur komponen-komponen dari setiap modal. Seberapa baiknya upaya auditor
dalam perencanaan audit, penilaian risiko audit yang dapat diterima, risiko bawaan
dan risiko pengendalian dan juga risiko deteksi yang direncanakan merupakan upaya
yang sangat subyektif dan kesesuaian dengan kenyataan hanya diupayakan sebaik
mungkin. Oleh karena itu, auditor hanya menggunakan ukuran-ukuran relatif dalam
menilai tingkat risiko, yaitu rendah, sedang atau tinggi. Hal yang sama juga terjadi
pada pengukuran jumlah bukti audit yang sesuai dengan tingkat risiko deteksi yang
direncanakan.

Konsep materialitas dan risiko dalam auditing berkaitan erat dan tidak dapat
dipisahkan. Risiko adalah ukuran ketidakpastian sedangkan materialitas adalah
ukuran jumlah atau magnitude. Digunakan bersama-sama, keduanya mengukur
tingkat ketidakpastian pada suatu jumlah. Tujuan utama auditor menggunakan
materialitas dan risiko adalah untuk membantu auditor dalam mengumpulkan bukti
yang kompeten secukupnya dengan cara yang paling efisien.

Gambar dan Tabel ( tolong di rapikan lagi ya rep, saya gabung dulu disini)

01 Penetapan nilai materialitas dilakukan pada tahap perencanaan

pemeriksaan, awal pelaksanaan pemeriksaan,dan akhir pelaksanaan

pemeriksaan

B. Penetapan Nilai Materialitas Pada Tahap Perencanaan Pemeriksaan


08 Pedoman umum penerapan tingkat materialitas

11 Tabel berikut merupakan beberapa alternatif pertimbangan hubungan

antara opini tahun sebelumnya, AR, persentase tingkat materialitas

awal, dan faktor-faktor kualitatif lainnya yang dapat memengaruhi

tingkat materialitas awal:


12 Berikut adalah contoh deskripsi penetapan dasar dan tingkat

materialitas pada Kementerian KFL:


13 Tahap ketiga adalah penetapan nilai materialitas awal (PM). Ilustrasi

penetapan nilai materialitas awal adalah sebagai berikut:

You might also like