You are on page 1of 41

Kematian tidak wajar dengan adanya Kekerasan Tumpul dan tanda-tanda

asfiksia
Gizela Yuanita 102012008
Jonathan Rambang 102012072
Lidya Marlien Kondobua 102012080
Christina 102012287
Andrew Logan 102012289
Theresia Lolita Setiawan 102012355
Abdul Azis 102012401
Karin Lado 102012434
Nur Asmalina Binti Azizan 102012511
a6semester7@gmail.com
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No 6, Jakarta Barat 11510

Skenario 1

Sesosok mayat dikirimkan ke bagian kedokteran Forensik FKUI/RSCM oleh sebuah


Polsek di Jakarta. Ia adalah tersangka pelaku pemerkosaan terhadap seorang remaja putra
yang kebetuhan anak dari seorang pejabat kepolisian. Berita yang dituliskan di dalam surat
permintaan visum et repertum adalah bahwa laki-laki ini mati karena gantung diri di dalam
sel tahanan Polsek. Pemeriksaan yang dilakukan keesokan harinya menemukan bahwa pada
wajah mayat terdapat pembengkakan dan memar, pada punggungnya terdapat beberapa
memar berbentuk dua garis sejajar (railway hematome) dan di daerah paha disekitar
kemaluannya terdapat beberapa luka bakar yang sesuai dengan jejas listrik. Sementara itu
terdapat pula jejas jerat yang melingkari leher dengan simpul di daerah kiri belakang yang
membentu sudut ke atas.

Pemeriksaan bedah jenazah menemukan resapan darah yang luas di kulit kepala,
perdarahan yang tipis di bawah selaput keras otak, sembab otak besar, tidak terdapat resapan
darah di kulit leher tetapi sedikit resapan darah di otot leher sisi kiri dan patah ujung rawan
gondok sisi kiri, sedikit busa halus di dalam saluran nafas, dan sedikit binti-bintik perdarahan
di permukaan kedua paru dan jantung. Tidak terdapat patah tulang. Dokter mengambil
beberapa contoh jaringan untuk pemriksaan laboratorium. Keluarga korban datang ke dokter
dan menanyakan tentang sebab-sebab kematian korban karena mereka mencurigai adanya
tindakan kekerasan selama di tahanan Polsek. Mereka melihat sendiri adanya memar-memar
di tubuh korban.
BAB I

Pendahuluan

Ilmu kedokteran forensik, juga dikenal dengan nama legal medicine, adalah salah satu
cabang spesialistik dari ilmu kedokteran, yang mempelajari pemenfaatan ilmu kedokteran
untuk kepentingan penegakan hokum serta keadilan.Dalam perkembanganya lebih lanjut,
ternyata ilmu kedokteran forensik tidak semata-mata bermanfaat dalam urusan penegakan
hokum dan keadilan di lingkup pengadilan saja, tetapi juga bermanfaat dalam segi kehidupan
bermasyarakat lain, misalnya dalam membantu penyelesaian klaim asuransi yang adil, baik
bagi pihak yang diasuransi maupun pihak yang mengasuransim dalam membantu pemecahan
paternitas (penemuan ke-ayah-an), membantu upaya keselamatan kerja dalam bidang industry
maupun kecelakaan lalu-lintas dan sebagainya.2

BAB II
Pembahasan

Aspek Hukum
Hukum di bidang kedokteran dan kesehatan berkembang sangat pesat. Pada skenario 1,
didapati bahwa korban tersebut mengalami pembengkakan dan memar yang ditemukan pada
wajah mayat, marginal hemorrhage pada punggung, resapan darah pada kulit kepala,
perdarahan pada selaput lunak otak serta patahnya rawan gondok. Hal-hal tersebut
menunjukkan bahwa korban mengalami kekerasan tumpul pada bagian-bagian tubuh
tersebut. Selain itu, luka bakar pada paha sekitar kemaluan dan jejas listrik pada penis,
mengindikasikan adanya kekerasan tumpul, suhu dan listrik pada tubuh mayat. Pada KUHP,
terdapat beberapa pasal yang mengantur tentang kejahatan terhadap tubuh dan jiwa manusia.1

Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Pasal 90 KUHP
Luka berat berarti:
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut;
2) Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian;
3) Kehilangan salah satu pancaindra;
4) Mendapat cacat berat;
5) Menderita sakit lumpuh;
6) Terganggunya daya piker selama empat minggu lebih;
7) Gugur atau matinya andungan seorang perempuan.

Pasal 170 KUHP


1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan
kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun enam bulan.
2) Yang bersalah diancam:
a. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja
menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan
luka-luka;
b. Dengan pidana penjara paling lama sembulan tahun, jika kekerasan
mengakibatkan luka berat; 3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
3) Pasal 89 tidak diterapkan

Pasal 338 KUHP


Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan,
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 339 KUHP


Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang
dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau
untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap
tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan
hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling
lama dua puluh tahun.

Pasal 340 KUHP


Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh lima tahun.

Pasal 344 KUHP


Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.

Pasal 345 KUHP


Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan
itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal 351 KUHP
1) Penganiyaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak 4500 rupiah.
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama7 tahun.
4) Dengan penganiyaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352 KUHP


1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menumbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama
tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat
ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang
bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353 KUHP


1) Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama 4 tahun.
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama 9
tahun.

Pasal 354 KUHP


1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam, karena melakukan
penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling
lama sepuluh tahun.

Pasal 355 KUHP


1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama 12 tahun.
2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling
lama 15tahun.

Pasal 356 KUHP


Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga:
1) Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau
anaknya;
2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan
tugasnya yang sah;
3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa
atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

Prosedur Medikolegal
Prosedur medikoleal adalah tata cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai
aspek yang berkaitan dengan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara garis
besar, prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika
kedokteran.1,2
A. Penemuan dan pelaporan
Apabila warga masyarakat melihat, mengetahui atau mengalami suatu kejadian yang
diduga merupakan suatu tindak pidana, warga harus melaporkan ke pihak yang
berwajib. Pelaporan juga dapat dilakukan melalui instansi pemerintah terdekat seperti
RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga). hak dan kewajiban pelaporan ini
diatur dalam pasal 108 KUHAP.
1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau
pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana terhdapa ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau
terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada
penyelidik atau penyidik.
3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui
tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera
melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.
4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh
pelapor atau pengadu.
5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik
dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik ayaui penyidik harus
memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang
bersangkutan.
B. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pasal 1 UU no 2/2002 tentang Kepolisian negara RI, penyelidik adalah
setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk melakukan penyelidikan.
C. Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan mneurut cara yang
diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Berdasarkan pasal 1 UU no 2/2002 tentang Kepolisian negara RI,
penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidik pembantu adalah pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu
dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.
D. Pemberkasan perkara
Setelah menghimpun semua hasil penyidikannya termasuk hasil pemeriksaan
kedokteran forensik yang dimintakan kepada dokter, maka hasil perkara ini diteruskan
ke penuntut hukum.
E. Penuntutan
Penuntutan dilakukan oleh penuntut umum di sidang pengadilan setelah berkas
perkara yang lengkap diajukan ke pengadilan.
F. Persidangan
Persidangan pengadilan dipimpin oleh hakim atau majelis hakim dan dilakukan
pemeriksaan terhadap terdakwa, para saksi dan juga para ahli. Dokter dapat
dihadirkan di sidang pengadilan untuk bertindak selaku saksi ahli atau selaku dokter
pemeriksa. Berdasarkan pasal 160 KUHAP, saksi dipanggil ke dalam ruang sidang
seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim
ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat
hukum.
Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap,
tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
G. Putusan pengadilan
Putusan pengadilan dijatuhkan oleh hakim dengan keyakinan pada diri hakim bahwa
memang telah terjadi suatu tindak pidana dan bahwa terdakwa memang bersalah
melakukan tindak pidana tersebut; serta keyakinan hakim harus ditunjang oleh
sekurang-kurangnya 2 alat bukri yang sah.

Ruang lingkup medikolegal disimpulkan sebagai berikut:


1. Pengadaan visum et repertum
2. Tentang pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka
3. Pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan pemberian keterangan
ahli di dalam persidangan
4. Kaitan visum et repertum dengan rahasia kedokteran
5. Tetntang penerbitan Surat Keterangan Kematian dan Surat Keterangan Medik
6. Tentang kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik

Autopsi forensik dilakukan terhadap mayat seseorang berdasarkan peraturan


perundang-undangan. Untuk melakukan autopsi forensik ini, diperlukan suatu surat
permintaan pemeriksaan atau pembuatan Visum et Repertum (VeR) dari pihak yang
berwenang, dalam hal ini pihak penyidik. Izin keluarga tidak diperlukan, bahkan apabila ada
seseorang yang menghalang-halangi dilakukannya autopsi forensik, yang bersdangkutan
dapat dituntut berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Adapun tujuan dilakukannya autopsi forensik adalah:
1. Membantu dalam hal penentuan identitas mayat
2. Menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan cara kematian serta
memperkirakan saat kematian
3. Mengumpulkan serta mengenali benda-benda bukti untuk penentuan identitas benda
penyebab serta identitas pelaku kejahatan
4. Membuat laporan tertulis yang objektif dan berdasarkan fakta dalam bentuk visum et
repertum
5. Melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu dalam penentuan identitas serta
penuntutan terhadap orang yang bersalah.2

Aspek hukum yang terkait dengan autopsi antara lain; pihak yang berhak meminta
VeR, dasar hukum autopsi forensik, barang bukti, dan menentukan saat kematian. Visum et
Repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang
berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati,
ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di
bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan. VeR adalah salah satu alat bukti sah dalam
peradilan berdasarkan pasal 184 KUHAP.4

Pasal 184 KUHAP


1) Alat bukti yang sah ialah:1
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Dasar dari hukum VeR adalah pasal 133 KUHAP:4


1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut
dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134 KUHAP:2
1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada
keluarga korban.
2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang
maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari kelurga atau pihak
yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

Berdasarkan pasal 133, yang berhak meminta keterangan ahli (ditulis oleh ahli
kedokteran kehakiman) adalah penyidik atau penyidik pembantu yang merupakan pejabat
kepolisian negara Republik Indonesia. Menurut PP no. 58 tahun 2010, pangkat minimal
penyidik adalah inspektur dua dan pangkat minimal penyidik pembantu adalah brigadir dua.
VeR dibuat terhadap korban dan ada dugaan peristiwa pidana. Berdasarkan pasal 179
KUHAP, setiap dokter atau ali kedokteran kehakiman wajib memberikan keterangan ahli bila
diminta. Apabila menolak, maka sanksi hukum tercatat di pasal 216 KUHAP.4
VeR berbeda dengan catatan atau surat keterangan medik lainnya. Catatan medik terikat
rahasia pekerjaan dokter dan diatur dalam PP no. 10 tahun 1966, dengan sanksi hukum
tertulis pada pasal 322 KUHP. Dokter hanya boleh membuka isi catatan medik ke pihak
ketiga hanya setelah memperoleh izin dari pasien. Akan tetapi, VeR dibuat atas kehendak
undang-undang sehingga dokter tidak dapat diuntut karena membuka rahasia pekerjaan
walaupun tanpa seizin pasien (Pasal 50 KUHP: perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang tidak dipidana).4
Format Visum et Repertum adalah sebagai berikut.3,4
1. Pro Justitia. Kata Pro Justitia ditulis dipojok kiri atas untuk menjelaskan bahwa
VeR dibuat khusus untuk tujuan peradilan. Dengan adanya kata tersebut, VeR
memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti di pengadilan dan tidak membutuhkan
materai
2. Pendahuluan. Bagian ini tidak diberi judul Pendahuluan. Merupakan uraian
tentang identitas dokter pemeriksa, instansi pemeriksa, tempat dan waktu
pemeriksaan, instansi peminta visum, nomor dan tanggal saurat permintaan, serta
identitas korban yang diperiksa sesuai dengan permintaan visum et repertum
tersebut
3. Pemberitaan. Diberi judul Hasil Pemeriksaan. Memuat semua hasil pemeriksaan
terhadap barang bukti yang dituliskan secara sistematik, jelas, dan dapat
dimengerti oleh orang yang tidak berlatar belakang kedokteran. Pada pemeriksaan
korban hidup berisi keadaan sakit atau luka korban, tindakan medik yang dilakukan,
serta keadaan setelah ppengobatan/perawatan. Pada korban meninggal, diuraikan
keadaan alat dalam yang berkaitan matinya orang tersebut. Hasil yang tertulis hanya
yang terkait perkaranya, bersifat objektif, dan merupakan pengganti barang bukti.
4. Kesimpulan. Diberi judul kesimpulan. Berisi pendapat subjektif dokter mengenai
jenis luka atau cedera yang ditemukan, jenis kekerasan atau zat penyebab, dan
derajat perlukaan atau sebab kematiannya. Pada kejahatan susila juga diterangkan
apakah terjadi persetubuhan, perkiraan waktu kejadian, dan usia atau kepantasan
korban untuk dikawin.
5. Penutup. Tertulis kalimat baku Demikianlah visum et repertum ini saya buat
dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah
sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Visum et Repertum Jenazah


Jenasah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat
identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan, yang diikatkan pada ibu jari kaki atau
bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertumnya harus jelas tertulis jenis
pemeriksaan yang diminta, apakah hanya pemeriksaan luar jenasah, ataukan pemeriksaan
autopsi (bedah mayat) (pasal 133 KUHAP).4
Bila pemeriksaan autopsi yang diinginkan, maka penyidik wajib memberitahu kepada
keluarga korban dan menerangkan maksud dan tujuannya pemeriksaan. Autopsi dilakukan
setelah keluarga korban tidak keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun
dari keluarga korban (pasal 134 KUHAP). Jenasah yang diperiksa dapat juga berupa jenasah
yang didapat dari penggalian kuburan (pasal 135 KUHAP).4
Jenasah hanya boleh dibawa keluar institusi kesehatan dan diberi surat keterangan
kematian bila seluruh pemeriksaan yang diminta oleh penyidik telah dilakukan. Apabila
jenasah dibawa pulang paksa, maka bagianya tidak ada surat keterangan kematian.4
Pemeriksaan forensik terhadap jenasah meliputi pemeriksaan luar jenasah, tanpa
melakukan tindakan yang merusak keutuhan jaringan jenasah. Pemeriksaan dilakukan dengan
teliti dan sistematik, serta kemudian dicatat secara rinci, mulai dari bungkus atau tutup
jenasah, pakaian, benda-benda disekitar jenasah, perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-
tanda tanatologik, gigi-geligi, dan luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan di seluruh
bagian luar.4
Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka kesimpulan visum et
repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan dan jenis kekerasan
penyebabnya, sedangkan sebab matinya tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan
pemeriksaan bedah jenasah. Lamanya mati sebelum pemeriksaan (perkiraan saat kematian),
apabila dapat diperkirakan, dapat dicantumkan dalam kesimpulan.4
Kemudian dilakukan pemeriksaan bedah jenasah menyeluruh dengan membuka rongga
tengkorak, leher, dada, perut dan panggul. Kadang kala dilakukan pemeriksaan penunjang
yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologik, toksikologik, serologik, dsb.4
Dari pemeriksaan dapat disimpulakan sebab kematian korban, selain jenis luka atau
kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan saat kematian seperti tersebut di atas.4
Pengertian Tanatologi

Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kematian dan perubahan yang
terjadi setelah kematian serta faktor yang memengaruhi perubahan tersebut. Bisa dikatakan
juga tanatologi adalah bagian dari Ilmu kedoktran forensik yang mempelajari tentang hal-hal
yang ada hubungannya dengan kematian dan perubahan yang terjadi setelah seseorang mati
dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

Beberapa istilah dalam tanatologi:

Mati Somatis (mati klinis)


Terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan, yaitu
susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan secara menetap
(ireversibel). Secara klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak
teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerakan pernapasan dan suara
pernapasan tidak terdengar pada auskultasi.
Mati Suri
Matisuri (near-death experience (NDE), suspend animation, apparent death)
adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan yang ditentukan oleh alat
kedokteran sederhana.Dengan alat kedokteran yang canggih masih dapat dibuktikan
bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi.Mati suri sering ditemukan pada kasus
keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.
Mati Seluler
Kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian
somatis.Dan tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga
terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan.Pengertian
ini penting dalam transplantasi organ.Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa
susunan saraf pusat mengalami mati seluler dalam empat menit, otot masih dapat
dirangsang (listrik) sampai kira-kiradua jam pasca mati dan mengalami mati seluler
setelah empat jam, dilatasi pupil masih terjadi pada pemberian adrenalin 0,1persen
atau penyuntikan sulfas atropin 1 persen kedalam kamera okuli anterior, pemberian
pilokarpin 1 persen atau fisostigmin 0,5 persenakan mengakibatkan miosis hingga 20
jam pascamati.Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam pasca mati
dengan cara menyuntikkan subkutan pilokarpin 2 persen atau asetilkolin 20 persen,
spermatozoa masih dapat bertahan hidup beberapa hari dalam epididimis, kornea
masih dapat ditransplantasikan dan darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai
enam jam pasca-mati.
Mati Serebral
Kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel, kecuali batang otak dan
serebelum,sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan
kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat.

Mati Otak (batang otak)


Terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk
batang otak dan serebelum.Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak), maka
dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi,
sehingga alat bantu dapat dihentikan.

Tanda Kematian

Tanda kematian tidak pasti:


Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, dan
auskultasi).
Sirkulasi berhenti, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
Perubahan pada kulit (pucat)
Relaksasi otot dan tonus menghilang. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan
kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi lebih awet muda.
Kelemasan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi primer, hal ini menyebabkan
pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya daerah bokong dan belikat pada
mayat terlentang.
Segmentasi pembuluh darah retina beberapa menit sebelum kematian. Segmen-
segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina kemudian menetap
Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat
dihilangkan dengan meneteskan air.

Tanda kematian pasti:

a. Lebam mayat (Livor mortis)


Nama lain ligor mortis adalah lebam mayat, post mortem lividity, post mortem
hypostatic, post mortem sugillation, atau vibices. Setelah kematian klinis maka
eritrosit akan menempati tempat terbawah karena gaya tarik bumi (gravitasi), mengisi
vena dan venula, membentuk bercak berwarna merah ungu (livide) pada bagian
terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang terkena alas keras. Darah tetap cair
karena adanya pembuluh darah.
Livor mortis biasanya muncul antara 30 menit sampai 2 jam setelah kematian. Lebam
mayat muncul bertahap, biasanya mencapai perubahan warna yang maksimal dalam
8-12 jam. Sebelum menetap, lebam mayat akan berpindah bila tubuh mayat
dipindahkan. Lebam mayat menetap tidak lama setelah perpindahan atau turunnya
darah, atau ketika darah keluar dari pembuluh darah ke sekeliling jaringan lunak yang
dikarenakan hemolisis dan pecahnya pembuluh darah. Fiksasi dapat terjadi setelah 8-
12 jam jika dekomposisi terjadi cepat, atau pada 24-36 jam jika diperlambat dengan
suhu dingin. Untuk mengetahui bahwa lebam mayat belum menetap dapat
didemostrasikan dengan melakukan penekanan ke daerah yang mengalami perubahan
warna dan tidak ada kepucatan pada titik dimana dilakukan penekanan.
Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah
cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu kekakuan otot-otot dinding
pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut. Lebam mayat yang belum
menetap atau masih hilang pada penekanan menunjukkan saat kematian kurang dari
8-12 jam saat pemeriksaan.

Ada 3 faktor yang mempengaruhi lebam mayat, yaitu:

Volume darah yang beredar


Volume darah yang banyak menyebabkan lebam mayat lebih cepat terbentuk dan
lebih luas, sebaliknya volume darah sedikit menyebabkan lebam mayat lebih
lambat terbentuk dan terbatas.
Lamanya darah dalam keadaan cepat cair
Lamanya darah dalam keadaan cepat cair tergantung dari fibrinolisin dan
kecepatan koagulasi post-mortem.

Warna lebam

Ada 5 warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk memperkirakan penyebab
kematian, yaitu:

Merah kebiruan merupakan warna lebam normal.


Merah terang menandakan keracunan CO, keracunan CN, atau suhu dingin.
Merah gelap menunjukkan asfiksia.
Biru menunjukkan keracunan nitrit.
Coklat menandakan keracunan aniline.

Walaupun lebam mayat mungkin membingungkan dengan memar, memar sangat jarang
dibingungkan dengan lebam mayat. Penekanan pada daerah yang memar tidak akan
menyebabkan kepucatan. Insisi pada daerah yang mengalami kontusio atau memar
menunjukkan perdarahan yang menyebar ke jaringan lunak. Perbedaannya, insisi pada
daerah dengan lebam mayat menampakkan darah sebatas di pembuluh darah, tanpa darah
di jaringan lunak. Lebam mayat dapat kita temukan dalam organ tubuh dalam mayat.
Masing-masing sesuai dengan posisi mayat:

Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat terlentang dapat kita lihat
pada belakang kepala, daun telinga, ekstensor lengan, fleksor tungkai, ujung jari
di bawah kuku, dan kadang-kadang di samping leher. Tidak ada lebam yang dapat
kita lihat pada daerah skapula, gluteus dan bekas tempat dasi.
Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap dapat kita lihat
pada dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor tungkai.
Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat tergantung dapat kita lihat
pada ujung ekstremitas dan genitalia eksterna.
Lebam mayat pada organ dalam mayat dengan posisi mayat terlentang dapat kita
temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal paru-paru, dorsal
hepar, dorsal ginjal, posterior dinding lambung, dan usus bawah (dalam rongga
panggul).

Livor mortis tidak terlalu penting dalam menentukan waktu kematian.


Bagaimanapun, itu penting dalam menentukan apakah tubuh mayat telah
dipindahkan.

b. Kaku mayat (Rigor mortis)


Rigor mortis atau kekakuan dari tubuh mayat setelah kematian dikarenakan
menghilangnya adenosine trifosfat (ATP) dari otot. ATP adalah sumber utama dari
energi untuk kontraksi otot. Otot memerlukan pemasukan yang berkelanjutan dari
ATP untuk berkontraksi karena jumlah yang ada hanya cukup untuk menyokong
kontraksi otot selama beberapa detik. Pada ketiadaan dari ATP, filament aktin dan
myosin menjadi kompleks yang menetap dan terbentuk rigor mortis. Kompleks ini
menetap sampai terjadi dekomposisi.
Penggunaan yang banyak dari otot sebelum kematian akan menimbulkan penurunan
pada ATP dan mempercepat onset terjadinya rigor mortis, hingga tidak ada ATP yang
diproduksi setelah kematian. Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan yang
bermakna pada ATP menjelang kematian adalah olahraga yang keras atau berat,
konvulsi yang parah, dan suhu tubuh yang tinggi.
Kejadian yang seketika dari rigor mortis diketahui sebagai kadaverik spasme. Rigor
mortis menghilang dengan timbulnya dekomposisi.
Pendinginan atau pembekuan akan menghambat onset dari rigor mortis selama
dibutuhkan. Rigor mortis dapat broken dengan peregangan yang pasif dari otot-otot.
Setelah rigor mortis broken, itu tidak akan kembali. Jika hanya sebagian rigor
mortis yang dilakukan peregangan, maka masih akan ada sisa rigor mortis yang
unbroken.
Rigor mortis biasanya muncul 2-4 jam setelah kematian, dan muncul
keseluruhan dalam 6-12 jam. Ini dapat berubah-rubah. Ketika rigor mortis terjadi,
menyerang semua otot-otot pada saat yang bersamaan dan kecepatan yang sama.
Namun tampak lebih jelas pada otot-otot yang lebih kecil, hal ini disebabkan otot
kecil memiliki lebih sedikit cadangan glikogen. Jadi rigor mortis dikatakan muncul
pertama kali pada otot-otot yang lebih kecil seperti rahang, dan berurutan menyebar
ke kelompok otot besar. Penampakan awal dari rigor mortis adalah pada rahang,
ektremitas atas dan ekstremitas bawah. Kira-kira 0-4 jam pasca mati klinis, mayat
masih dalam keadaan lemas, ini yang disebut relaksasi primer. Kemudian terbentuk
rigor mortis. Setelah 36 jam pasca mati klinis, tubuh mayat akan lemas kembali sesuai
urutan terbentuknya kekakuan, ini disebut relaksasi sekunder. Keadaan-keadaan yang
mempercepat terjadinya rigor mortis, antara lain aktivitas fisik sebelum kematian,
suhu tubuh tinggi, suhu lingkungan tinggi, usia anak-anak dan orang tua, dan gizi
yang buruk.

Ada 4 kegunaan rigor mortis:

Menentukan lama kematian.


Menentukan posisi mayat setelah terjadi mortis.
Merupakan tanda pasti kematian.
Menentukan saat kematian.

Hal-hal yang perlu dibedakan dengan rigor mortis atau kaku jenazah adalah:

Cadaveric Spasmus, yaitu kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap
sesudah kematian akibat hilangnya ATP lokal saat mati karena kelelahan atau emosi
yang hebat sesaat sebelum mati.
Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein karena panas sehingga
serabut otot memendek dan terjadi flexi sendi. Misalnya pada mayat yang tersimpan
dalam ruangan dengan pemanas ruangan dalam waktu yang lama.
Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan yang dingin sehingga terjadi
pembekuan cairan tubuh dan pemadatan jaringan lemak subkutan sampai otot.

c. Penurunan Suhu Tubuh (algor mortis)


Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat terhentinya produksi panas
dan terjadinya pengeluaran panas secara terus-menerus. Pengeluaran panas tersebut
disebabkan perbedaan suhu antara mayatdengan lingkungannya. Suhu tubuh pada
orang meninggal secara bertahap akan sama dengan lingkungan atau media sekitarnya
karena metabolisme yang menghasilkan panas terhenti setelah orang meninggal. Pada
jam pertama setelah kematian, penurunan suhu berjalan lambat karena masih ada
produksi panas dari proses gilkogenolisis dan sesudah itu penurunan akan cepat
terjadi dan menjadi lambat kembali. Gambaran kurva penurunan suhu ini seperti huruf
S terbalik (sigmoid).

Penurunan suhu tubuh dipengaruhi:


Faktor lingkungan (media)
Penurunan suhu tubuh cepat bila ada perbedaan besar suhu lingkungan dengan tubuh
mayat. Semakin rendah suhu media tempat mayat terletak semakin cepat penurunan
suhu tubuh mayat. Penurunan suhu akan cepat bila intensitas aliran udara besar, udara
yang mengalir, dan udara lembab.
Keadaan fisik tubuh.
Penurunan suhu tubuh makin lambat bila jaringan lemak dan otot makin tebal. Pada
mayat dengan tubuh kurus akan lebih cepat dibanding yang gemuk.
Usia.
Penurunan suhu akan cepat pada anak dan orang tua. Pada bayi akan lebih cepat
karena luas tubuh permukaan bayi lebih besar.
Pakaian yang menutupi.
Makin berlapis pakaian menutupi tubuh, penurunan suhu makin lambat.
Suhu tubuh sebelum kematian.
Penyakit dengan suhu tubuh tinggi pada saat meninggal seperti kerusakan jaringan
otak, perdarahan otak, infeksi, asfiksia, penjeratan akan didahului peningkatan suhu
tubuh, hal ini menyebabkan penurunan suhu tubuh lebih cepat.
d. Pembusukan (dekomposisi)
Dekomposisi terbentuk oleh dua proses: autolisis dan putrefaction. Autolisis
menghancurkan sel-sel dan organ-organ melalui proses kimia aseptik yang disebabkan
oleh enzim intraselular. Proses kimia ini, dipercepat oleh panas, diperlambat oleh
dingin, dan dihentikan oleh pembekuan atau penginaktifasi enzim oleh pemanasan.
Organ-organ yang kaya dengan enzim akan mengalami autolisis lebih cepat daripada
organ-organ dengan jumlah enzim yang lebih sedikit. Jadi, pankreas mengalami
autolisis lebih dahulu daripada jantung.
Bentuk kedua dari dekomposisi, yang mana pada setiap individu berbeda-beda adalah
putrefaction. Ini disebabkan oleh bakteri dan fermentasi. Setelah kematian, bakteri
flora dari traktus gastrointestinal meluas keluar dari tubuh, menghasilkan putrefaction.
Ini mempercepat terjadinya sepsis seseorang karena bakteri telah meluas keseluruh
tubuh sebelum kematian.

Onset dari putrefaction tergantung pada dua faktor utama: lingkungan dan
tubuh. Pada iklim panas, yang lebih penting dari dua faktor tersebut adalah
lingkungan. Banyak penulis akan memberikan rangkaian dari kejadian-kejadian dari
proses dekomposisi dari tubuh mayat. Yang pertama adalah perubahan warna menjadi
hijau pada kuadran bawah abdomen, sisi kanan lebih daripada sisi kiri, biasanya pada
24-36 jam pertama. Ini diikuti oleh perubahan warna menjadi hijau pada kepala, leher,
dan pundak; pembengkakan dari wajah disebabkan oleh perubahan gas pada bakteri;
dan menjadi seperti pualam. Seperti pualam ini dihasilkan oleh hemolisis dari darah
dalam pembuluh darah dengan reaksi dari hemoglobin dan sulfida hydrogen dan
membentuk warna hijau kehitaman sepanjang pembuluh darah. Lama kelamaan tubuh
mayat akan menggembung secara keseluruhan (60-72 jam) diikuti oleh formasi
vesikel, kulit menjadi licin, dan rambut menjadi licin. Pada saat itu, tubuh mayat yang
pucat kehijauan menjadi warna hijau kehitaman.
Kegembungan pada tubuh mayat sering terlihat pertama kali pada wajah,
dimana bagian-bagian dari wajah membengkak, mata menjadi menonjol dan lidah
menjulur keluar antara gigi dan bibir. Wajah berwarna pucat kehijauan, berubah
menjadi hijau kehitaman, kemudian menjadi hitam. Cairan dekomposisi (cairan
purge) akan keluar dari mulut dan hidung. Dekomposisi berlanjut, darah yang
terhemolisis merembes keluar ke jaringan.Dekomposisi terjadi cepat pada obesitas,
pakaian yang tebal, dan sepsis, semua yang mempertahankan tubuh tetap hangat.
Dekomposisi diperlambat oleh pakaian yang tipis atau oleh tubuh yang berbaring
pada permukaan yang terbuat dari besi atau batu yang mana lebih cepat menjadi
dingin karena terjadi konduksi. Tubuh mayat yang membeku tidak akan mengalami
dekomposisi sampai di keluarkandari lemari es.
e. Mumifikasi
Pada lingkungan panas, iklim kering, tubuh mayat akan mengalami dehidrasi
secara cepat dan akan lebih mengalami mumifikasi daripada dekomposisi. Pada saat
kulit mengalami perubahan dari coklat menjadi hitam, organ-organ interna akan
berlanjut memburuk, seringkali konsistensinya menurun menjadi berwarna seperti
dempul hitam kecoklatan. Mumifikasi terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah,
aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi, dan waktu yang lama (12 14 minggu).
Mumifikasi jarang dijumpai pada cuaca yang normal.

f. Adiposera
Adakalanya, tubuh mayat yang terdekomposisi akan bertransformasi ke arah
adiposera. Adiposera adalah suatu bentuk tetap, berwarna putih keabu-abuan sampai
coklat lilin seperti bahan yang membusuk dan berminyak, asam stearat. Ini dihasilkan
oleh konversi dari lemak yang netral selama perbusukan ke asam yang tidak dapat
dijelaskan. Hal tersebut lebih nyata pada jaringan subkutan, tetapi dapat terjadi
dimana saja bila terdapat lemak. Adiposera adalah benar-benar suatu variasi dari
putrefaction.
Hal ini terlihat paling sering pada tubuh yang dibenamkan dalam air atau dalam
keadaan lembab, lingkungan yang hangat. Pada adiposera, lemak mengalami
hidrolisis untuk melepaskan asam lemak jenuh dengan peranan dari lipase endogen
dan enzim bacterial. Enzim bakterial, umumnya berasal dari Clostridium perfringens,
yang mengubah asam lemak jenuh ini menjadi asam lemak hidroksi.
Adiposera dikatakan memakan waktu beberapa bulan untuk berkembang, walaupun
perkembangannya juga dapat terjadi singkat hanya selama beberapa minggu. Hal ini
bergantung pada tingkat perlawanan dari bakteriologik dan degradasi dari kimia.

Perkiraan Saat Kematian

Selain perubahan pada mayat tersebut di atas, beberapa perubahan lain dapat
digunakan untuk memperkirakan saat mati.

Perubahan pada mata. Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-
kanan kornea akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga
dengan dasar di tepi kornea (traches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi
lapis demi lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan dengan
meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak dapat
dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak kira-kira 6
jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kornea menjadi
keruh kira-kira 10 12 jam pasca mati dan dalam beberapa jam saja fundus tidak
tampak jelas.
Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi pupil pada
penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan lamanya
mati. Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian hingga 15 jam pasca
mati.
Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan makula dan mulai memucatnya diskus
optikus. Kemudian hingga 1 jam pasca mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak
tajam lagi. Selama 2 jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus
menjadi kuning. Warna kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi lebih
gelap. Pada saat itu pola vaskular koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan
latar belakang merah dengan pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam
pasca mati menjadi kabur dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat. Pada
kira-kira 6 jam pasca mati, batas diskus kabur dan hanya pembuluh-pembuluh besar
yang mengalami segmentasi yang dapat dilihat dengan latar belakang kuning kelabu.
Dalam waktu 7 10 jam pasca mati akan mencapai tepi retina dan batas diskus akan
sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus hanya dapat dikenali dengan adanya
konvergensi beberapa segmen pembuluh darah yang tersisa. Pada 15 jam pasca mati
tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan diskus, hanya makula saja
yang tampak berwarna coklat gelap.
Perubahan dalam lambung. Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi,
sehingga tidak dapat digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan
terakhir dan saat mati. Namun keadaan lambung dan isinya mungkin membantu
dalam membuat keputusan. Ditemukannya makanan tertentu dalam isi lambung dapat
digunakan untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah makan
makanan tersebut.
Perubahan rambut. Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata
0,4 mm/hari, panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk
memperkirakan saat kematian. Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria yang
mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia
mencukur.
Pertumbuhan kuku. Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku
yang diperkirakan sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat
kematian bila dapat diketahui saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku.
Perubahan dalam cairan serebrospinal. Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14
mg% menunjukkan kematian belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang
dari 80 mg% menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg%
dan 10 mg% masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30
jam.
Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup akurat untuk
memperkirakan saat kematian antara 24 100 jam pasca mati.
Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis darah
pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa hidupnya.
Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta gangguan
permeabilitas dari sel yang telah mati. Selain itu gangguan fungsi tubuh selama proses
kematian dapat menimbulkan perubahan dalam darah bahkan sebelum kematian itu
terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan perubahan dalam darah yang dapat
digunakan untuk memperkirakan saat mati dengan lebih tepat.
Reaksi supravital, yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih
sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa uji dapat
dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misalnya rangsang listrik masih dapat
menimbulkan kontraksi otot mayat hingga 90120 menit pasca mati dan
mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai 60 90 menit pasca mati, sedangkan
trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit sampai 1 jam pasca mati.

Traumatologi Forensik
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta hubungannya
dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), sedangkan yang dimaksudkan dengan luka adalah
suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan.
Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan yang
bersifat:
Mekanik:
Kekerasan oleh benda tajam
Kekerasan oleh benda tumpul
Tembakan senjata api
Fisik:
Suhu
Listrik dan petir
Perubahan tekanan udara
Akustik
Radiasi
Kimia:
Asam atau basa kuat

Luka akibat Kekerasan Benda Tumpul


Benda-benda yang dapat mengakibatkan luka dengan sifat luka seperti ini adalah
benda yang memiliki permukaan tumpul. Luka yang terjadi dapat berupa memar (kontusio,
hematom), luka lecet (ekskoriasi, abrasi) dan luka terbuka/robek (vulnus laseratum).Memar
adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit/kutis akibat pecahnya kapiler dan vena,
yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul. Luka memar kadangkala memberi petunjuk
tentang bentuk benda penyebabnya, misalnya jejas ban yang sebenarnya adalah suatu
perdarahan tepi (marginal haemorrhage).
Letak, bentuk, dan luas luka memar dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti besarnya
kekerasan, jenis benda penyebab (karet, kayu, besi), kondisi dan jenis jaringan (jaringan ikat
longgar, jaringan lemak), usia, jenis kelamin, corak, dan warna kulit, kerapuhan pembuluh
darah, penyakit (hipertensi, penyakit kardio vaskular, diatesis hemoragik).Pada bayi,
hematom cenderung lebih mudah terjadi karena sifat kulit yang longgar dan masih tipisnya
jaringan lemak subkutan, demikian pula pada usia lanjut sehubungan dengan menipisnya
jaringan lemak subkutan dan pembuluh darah yang kurang terlindung.
Akibat gravitasi, lokasi hematom mungkin terletak jauh dari letak benturan, misalnya
kekerasan benda tumpul pada dahi menimbulkan hematom palpebra atau kekerasan benda
tumpul pada paha dengan patah tulang pada menimbulkan hematom pada sisi luar tungkai
bawah.
Umur luka memar secara kasar dapat diperkirakan melalui perubahan warnanya. Pada
saat timbul, memar berwarna merah, kemudian berubah menjadi ungu atau hitam, setelah 4
sampai 5 hari akan berwarna hijau yang kemudian akan berubah menjadi kuning dalam 7
sampai 10 hari, dan akhirnya menghilang dalam 14 sampai 15 hari. Perubahan warna tersebut
berlangsung mulai dari tepi dan waktunya dapat bervariasi tergantung derajat dan berbagai
faktor yang mempengaruhinya.Dari sudut pandang medikolegal, interpretasi luka memar
dapat merupakan hal yang penting, apalagi bila luka memar tersebut disertai luka lecet atau
laserasi. Dengan perjalanan waktu, baik pada orang hidup maupun mati, luka memar akan
memberi gambaran yang makin jelas.
Hematom ante-mortem yang timbul beberapa saat sebelum kematian biasanya akan
menunjukkan pembengkakan dan infiltrasi darah dalam jaringan sehingga dapat dibedakan
dari lebam mayat dengan cara melakukan penyayatan kulit. Pada lebam mayat (hipostasis
pascamati) darah akan mengalir keluar dari pembuluh darah yang tersayat sehingga bila
dialiri air, penampang sayatan akan tampak bersih, sedangkan pada hematom penampang
sayatantetap berwarna merah kehitaman. Tetapi harus diingat bahwa pada pembusukan juga
terjadi ekstravasasi darah yang dapat mengacaukan pemeriksaan ini.
Luka kecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda yang
memiliki permukaan kasar atau runcing, misalnya pada kejadian kecelakaan lalu lintas, tubuh
terbentur aspal jalan, atau sebaliknya benda tersebut yang bergerak dan bersentuhan dengan
kulit.
Manfaat interpretasi luka lecet ditinjau dari aspek medikolegal seringkali diremehkan,
padahal pemeriksaan luka lecet yang teliti disertai pemeriksaan di TKP dapat
mengungkapkan peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Kekerasan tumpul yang cukup kuat dapat menyebabkan patah tulang. Bila terdapat
lebih dari satu garis patah tulang yang saling bersinggungan maka garis patah yang terjadi
belakangan akan berhenti pada garis patah yang telah terjadi sebelumnya. Patah tulang jenis
impresi terjadi akibat kekerasan benda tumpul pada tulang dengan luas persinggungan yang
kecil dan dapat memberikan gambaran bentuk benda penyebabnya.
Pada cedera kepala, tulang tengkorak yang tidak terlindung oleh kulit hanya mampu
menahan benturan sampai 40 pound/inch2, tetapi bila terlindung oleh kulit maka dapat
menahan sampai 425 900 pound/inch2. Selain kelainan pada kulit kepala dan patah tulang
tengkorak, cedera kepala dapat pula mengakibatkan epidural, subdural, dan subarakhnoid,
kerusakan selaput otak dan jaringan otak.
Perdarahan epidural sering terjadi pada usia dewasa sampai usia pertengahan dan
sering dijumpai pada kekerasan benda tumpul di daerah pelipis (kurang lebih 50%) dan
belakang kepala (10-15%), akibat garis patah yang melewati sulcus arteria meningea, tetapi
perdarahan epidural tidak selalu disertai patah tulang.
Perdarahan subdural terjadi karena robeknya sinus, vena jembatan (bridging vein),
arteri basilaris atau berasal dari perdarahan subarakhnoid.
Perdarahan subarakhnoid biasanya berasal dari fokus kontusio/laserasi jaringan otak.
Perlu diingat bahwa perdarahan ini juga dapat terjadi spontan pada sengatan matahari (heat
stroke), leukimia, tumor, keracunan CO dan penyakit infeksi tertentu.
Lesi otak tidak selalu terjadi hanya pada benturan (coup) tetapi dapat terjadi di
seberang titik benturan (countre coup) atau di antara keduanya (intermediate lesion). Lesi
contre coup terjadi karena adanya liquor yang mengakibatkan terjadinya pergerakan otak saat
terjadinya benturan, sehingga pada sisi kontra lateral terjadi gaya positif akibat akselerasi,
dorongan liquor dan tekanan oleh tulang yang mengalami deformitas. Penelitian lain
menyatakan contre coup terjadi karena adanya deformitas tulang tengkorak yang dapat
menimbulkan tekanan negatif pada sisi kontralateral. Cedera kontralateral terjadi bila tekanan
negatif yang tejadi minimal 1 ata (atmosfir absolut). Kontusio biasanya terjadi bila ada
kekerasan paling tidak sebesar 250 g gaya gravitasi.
Cedera leher (whiplash injury) dapat terjadi pada penumpang kendaraan yang ditabrak
dari belakang. Penumpang akan mengalami percepatan mendadak sehingga terjadi
hiperekstensi kepala yang disusul dengan hiperefleksi. Cedera terutama terjadi pada ruas
tulang leher keempat dan lima yang membahayakan sumsum tulang belakang. Kerusakan
pada medula oblongata dapat berakibat fatal. Timbulnya cedera leher ini juga dipengaruhi
oleh bentuk sandaran tempat duduk dan kelengahan korban. Kasus kematian akibat kekerasan
tumpul terbanyak ditemukan pada kecelakaan lalu lintas, sedangkan pada pembunuhan hanya
15,6% (1984), 17,5 (1983), 17,2% (1982).
Luka akibat Trauma Listrik
Faktor yang berperan pada cedera listrik ialah tegangan (Volt), kuat arus (ampere),
tahanan kulit (ohm) luas dan lama kontak.
Tegangan rendah (<65 V) biasanya tidak berbahaya bagi manusia, tetapi tegangan
sedang (65-1000 V) dapat mematikan. Banyaknya arus listrik yang mengalir menuju tubuh
manusia menentukan juga fatalitas seseorang. Makin besar arus, makin berbahaya bagi
kelangsungan hidup.
Selain faktor faktor kuat arus, tahanan dan lama kontak, hal lain yang penting
diperhatikan adalah luas permukaan kontak. Suatu permukaan kontak seluas 50 cm persegi
(kurang lebih selebar telapak tangan) dapat mematikan tanpa menimbulkan jejas listrik,
karena pada kuat arus letal (100mA), kepadatan arus pada daerah selebar telapak tangan
tersebut hanya 2 mA/cm persegi, yang tidak cukup besar untuk menimbulkan jejas listrik.
Kuat arus yang masih memungkinkan bagi tangan yang memegangnya melepaskan
diri disebut let go current yang besarnya berbeda-beda untuk setiap individu.
Gambaran makroskopis jejas listrik pada daerah kontak berupa kerusakan lapisan
tanduk kulit sebagai luka bakar dengan tepi yang menonjol, di sekitarnya terdapat daerah
yang pucat dikelilingi oleh kulit yang hiperemi. Bentuknya sering sesuai dengan benda
penyebabnya. Metalisasi dapat juga ditemukan pada jejas listrik.
Sesuai dengan mekanisme terjadinya, gambaran sesuai jejas listrik secara
makroskopik juga bisa timbul akibat persentuhan kulit dengan benda/logam panas
(membara). Walaupun demikian keduanya dapat dibedakan dengan pemeriksaan mikroskopis.
Jejas listrik bukanlah tanda intravital karena dapat juga ditimbulkan pada kulit
mayat/pasca mati (namun tanpa daerah hiperemi). Kematian dapat terjadi karena fibrilasi
ventrikel, kelumpuhan otot pernapasan dan kelumpuhan pusat pernapasan.

Kematian Akibat Asfiksia Mekanik

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). dengan demikian organ tubuh mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan disebabkan oleh hal berikut :
1. penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.

2. trauma mekanik yang menyebabkab asfiksia mekanik, misalnya trauma yang


mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau
halangan pada saluran napas dan sebagainya.

3.keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan misalnya barbiturat,


narkotika.

AsfiksiaMekanik
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yabg terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran napas oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya :

1. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas :

i) Pembekapan (smothering)

ii) Penyumbatan (gagging and choking)

2. Penekanan dinding saluran pernapasan :

i) Penjeratan (strangulation)

ii) Pencekikan (manual strangulation, throttling)

iii) Gantung (hanging)

3. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik).

Saluran pernapasan terisi air (tenggelam , drowning) karena mekanisme


kematian pada kasus tenggelam bukan murni disebabkan oleh asfiksia, maka ada
sementara ahli yang tidak lagi memasukkan tenggelam ke dalam kelompok asfiksia
mekanik, tetapi dibicarakan tersendiri. Pada orang yang mengalami asfiksia akan
timbul gejala yang dapat disebabkan dalam 4 fase, yaitu:
1.Fase dipnea
Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan
merangsang pusat pernapasan di medula oblongata, sehingga amplitudo dan frekuensi
pernapasan akan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi, dan mulai tampak tanda-
tanda sianosis terutama pada muka dan tangan.

2. fase konvulsi

Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf
pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami
dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan
paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan O2.

3.fase apnea

Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan melemah dan dapat
berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan
sperma, urin dan tinja.

4.fase akhir

Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah


kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat
setelah pernapasan berhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat
bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-4
menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian
akan lebih lama dan tanda-tanda asfimsia akan lebih jelas dan lengkap.

Pemeriksaan Jenazah

Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari
dan kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan
terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas
fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. Tingginya
fibrinolisin inisangat berhubungan dengan cepatnya proses kematian.
Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase I yang disertai sekresi selaput lender saluran napas bagian atas. Keluar
masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-
kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.

Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva


bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2 akibat tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah
meningkat terutama dalan vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak
endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul
bintik-bintik perdarahan yang dinamakan Tardieus spot.

Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya
pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit
wajah.Penulis lain mengatakan bahwa Tardieus spot ini timbul karena permeabilitas kapiler
yang meningkat akibat hipoksia.

Pemeriksaan Bedah Jenazah

Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan:

1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.

2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda
klasik pada kematian akibat asfiksia.

3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam
mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam
darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar
masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang
kadangkadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah pecah
adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan
subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah. Universitas Sumatera Utara

5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi
dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah
meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak
endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul
bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot.

Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan:

1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat
paska kematian.

2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.

3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat,
berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.

4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus
bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah
otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.

5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.

6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung


atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena
submukosa dengan dinding tipis).

Pembekapan (smothering)

Smothering (pembekapan) adalah penutupan lubang hidung dan mulut yang


menghambat pemasukan udara ke paru-paru. Pembekapan menimbulkan kematian akibat
asfiksia.

Cara kematian yang berkaitan dengan pembekapan dapat berupa:

1.Bunuh diri (suicide)

Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada penderita
penyakit jiwa, orang tahanan dengan menggunakan gulungan kasur, bantal, pakaian yang
diikatkan menutupi hidung dan mulut.

2.Kecelakaan (accidental smothering)


Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya, terutama bayi premature bila hidung dan mulut tertutup bantal atau selimut.

Anak-anak dan dewasa muda yang terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan
sedikit udara, misalnya terbekap dengan atau dalam kantung plastik.

Orang-orang dewasa yang terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsy yang
mendapat serangan dan terjatuh sehingga mulut dan hidung tertutup dengan pasir, gandum,
tepung dan sebagainya.

3.Pembunuhan (homicidal smothering)

Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. pada orang dewasa hanya
terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orang tua, orang sakit berat, orang dalam
pengaruh obat atau minuman keras.

Bila pembekaoan terjadi dengan benda yang lunak, maka pada pemeriksaan luar
jenazah mungkin tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Tanda kekerasan yang dapat
ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan.

Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka lecet jenis tekan atau geser, goresan
kuku dan luka memar pada ujung hidung, bibir, pipi dan dagu yang mungkin terjadi akibat
korban melawan.

Luka memar atau luka lecet pada bagian atau permukaan dalam bibir akibat bibir
yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Luka memar atau lecet pada bagian
belakang tubuh korban.

Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pada
pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku korban, adakah
darah atau epitel kulit si pelaku.

Gagging dan choking

Pada keadaan ini, terjadi sumbatan jalan napas oleh benda asing yang mengakibatkan
hambatan udara untuk masuk ke paru-paru.

Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking sumbatan
terdapat lebih dalam pada laringofaring.
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau reflex vagal akibat
rangsangan padareseptor nervus vagus di arkus laring, yang menimbulkan inhibisi kerja
jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian.

Kematian dapat terjadi sebagai akibat:

1.Bunuh diri (suicide)

Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk mmemasukkan benda asing ke dalam mulut
sendiri disebabkan adanya reflex batuk atau muntah. Umumnya korban adalah penderita sakit
mental atau tahanan.

2. Pembunuhan (homicidal choking)

Umumnya korban adalah bayi, orang dengan fisik lemah atau tidak berdaya.

3.Kecelakaan (accidental choking)

Pada bolus deathyang terjadi bila tertawa atau menangis saat makan, sehingga
makanan tersedak ke dalam saluran pernapasan. Mungkin pula terjadi akibat regurgitasi
makanan yang kemudian masuk ke dalam saluran pernapasan.

Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada


pemeriksaan luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut (orofaring atau
laringofaring) ditemukan sumbatan berupa sapu tangan, kertas Koran, gigi palsu, bahkan
pernah ditemukan arang, batu dan sebagainya. Bila benda asing tidak ditemukan, dicari
kemungkinan adanya tanda kekerasan yang diakibatkan oleh benda asing.

Pencekikan (manual strangulation)

Pencekikan adalah penekanan leher dengan tangan, yang menyebabkan dinding


saluran napas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitansaluran napas sehingga udara
pernapasan tidak dapat lewat.

Mekanisme kematian pada pencekikan adalah:

1.asfiksia
2.refleks vagal, terjadi sebagai akibat rangsangan pada reseptor vagus pada corpus caroticus
(carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna. Reflex vagal ini jarang
sekali terjadi.

Pada pemeriksaan jenazah ditemukan perbendungan pada muka dan kepala karena
turut tertekan pembuluh darah vena dan arteri yang superficial, sedangkan arteri vertebralis
tidak terganggu.Tanda-tanda kekerasan pada leher ditemukan dengan distribusi berbeda-beda,
tergantung pada cara mencekik: luka-luka lecet pada kulit, berupa luka lacet kecil, dangkal,
berbentuk bulan sabit akibat penekanan kuku jari.

Luka-luka memar pada kulit, bekas tekanan jari, merupakan petunjuk berharga untuk
menentukan bagaimana posisi tangan pada saat mencekik. Akan menyulitkan bila terdapat
memar subkutan luas, sedangkan pada permukaan kulit hanya tampak memar berbintik.

Memar atau perdarahan pada otot-otot bagian dalam leher, dapat terjadi akibat
kekerasan langsung. Perdarahan pada otot sternokleido-mastoideus dapat disebabkan oleh
kontraksi yang kuat pada otot tersebut saat korban melawan.

Fraktur pada tulang lidah (os hyoid) dan kornu superior rawan gondok yang unilateral
lebih sering terjadi pada pencekikan, namun semuanya tergantung pada besar tenaga yang
dipergunakan saat pencekikan. Patah tulang lidah kadang-kadang merupakan satu-satunya
hukti adanya kekerasan, bila mayat sudah lama dikubur sebelum diperiksa.

Pada pemeriksaan jenazah, bila mekanisme kematian adalah asfiksia, maka akan
digtemukan tanda-tanda asfiksia. Tetapi bila mekanisme adalah refleks vagal,yang
menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, sehingga tidak ada tekanan intravascular
untuk dapat mnimbulkan perbendungan, tidak ada perdarahan petekial, tidak ada edema
pulmonary dan pada otot-otot leher bagian dalam hampir tidak ditemukan perdarahan.
Diagnosis kematian akibat refleks vagal hanya dapat dibuat pereksklusionam.

Penjeratan (strangulation)
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen,
kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama
makin kuat, sehingga saluran nafas tertutup. Berbeda dengan gantung diri yang biasanya
merupakan kasus bunuh diri, maka penjeratan biasanya adalah kasus pembunuhan.
Pada peristiwa gantung, kekuatan jeratnya berasal dari berat tubuhnya, maka pada jeratan
dengan tali kekuatan jeratnya berasal dari tarikan pada kedua ujungnya. Dengan kekuatan
tersebut, pembuluh darah balik atau jalan nafas dapat tersumbat. Tali yang dipakai sering
disilangkan dan sering dijumpai adanya simpul. Jeratan pada bagian depan leher hampir
selalu melewati membran yang menghubungkan tulang rawan hyoid dan tulang rawan
thyroid.

Mekanisme kematian
Ada 3 mekanisme kematian pada jerat , yaitu :
1. Asfiksia
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab kematian
yang paling sering.
2. Iskemia Serebral
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri
(oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar dibawah
menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri dengan gantung.
3. Syok Vasovagal
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang menyebabkan henti
jantung.

Cara kematian pada kasus jerat


Cara kematian pada kasus jerat diantaranya adalah:
1. Pembunuhan (paling sering).
Pembunuhan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita jumpai pada
kejadianinfanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat,
dan hukuman mati(zaman dahulu).
2. Kecelakaan
Kecelakaan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita temukan pada
bayi yangterjerat oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal
reflex menjadi penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau
3. Bunuh diri
Bunuh diri pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mereka lakukan dengan cara
melilitkan tali secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik.
Antara jeratan dan leher mereka masukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat
tersebut
Gambaran Post Mortem Penjeratan
1. Pemeriksaan Luar Jenazah
Pada pemeriksaan luar hasil gantung diri didapatkan:
a. Tanda Penjeratan Pada Leher
- Tanda penjeratan jelas dan dalam. Semakin kecil tali maka tanda penjeratan
semakin jelas dan dalam
- Bentuk jeratan berjalan mendatar/horizontal
Alur jeratan pada leher korban berbentuk lingkaran. Alur jerat biasa disertai luka
lecet atau luka memar disekitar jejas yang terjadi karena korban berusaha
membuka jeratan tersebut.
- Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan
mengkilat
- Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah
telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telingae.Pinggiran jejas jerat
berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasif.Jumlah tanda
penjeratanTerkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan.
Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali
b. Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena dan
edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas.
c. Lebam Mayat
Lokasi timbulnya lebam mayat tergantung dari posisi tubuh korban setelah mati.
2. Pemeriksaan Dalam Jenazah
Pada pemeriksaan dalam akibat peristiwa jerat didapatkan :
a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun
ruptur.
b. Tanda-tanda Asfiksia
Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah,
Terdapat buih halus di mulut
Didapatkan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi.
c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot
a. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini
lebih sering dihubungkan dengan tindak kekerasan.
d. Pada pemeriksaan paru-paru sering ditemui edema paru.
e. Jarang terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid.

Gantung (Hanging)
Penggantungan adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat ikatan
tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Penggantungan merupakan suatu
bentuk penjeratan (strangulasi) dengan tali ikat dimana tekanan dihasilkan dari seluruh atau
sebagian berat tubuh. Seluruh atau sebagian tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh
sesuatu benda dengan permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga
daerah tersebut mengalami tekanan.

Klasifikasi Gantung
1. Berdasarkan Titik Gantung:
a. Penggantungan tipikal
Terjadi bila titik gantung terletak di atas daerah oksiput dan tekanan pada arteri
karotis paling besar.
b. Penggantungan atipikal
Bila titik penggantungan terdapat di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan.

2. Berdasarkan Posisi Tubuh


a. Penggantungan Lengkap
Istilah penggantungan lengkap digunakan jika beban aktif adalah seluruh
berat badan tubuh, yaitu terjadi pada orang yang menggantungkan diri dengan kaki
mengambang dari lantai
b. Penggantungan Parsial
Istilah penggantungan parsial digunakan jika beban berat badan tubuh
tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban yang
tergantung dengan posisi berlutut atau berbaring. Pada kasus tersebut, berat badan
tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan parsial.
Cara Kematian Pada Kasus Gantung:
Cara kematian pada kasus gantung diantaranya adalah:
1. Bunuh diri
2. Pembunuhan
3. Kecelakaan
Mekanisme Kematian
Mekanisme kematian yang disebabkan oleh gantung akibat penumpuan beban sebagian
atau seluruh beban tubuh di leher diantaranya adalah
1. Asfiksia
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab kematian
yang paling sering.
2. Apopleksia
Tekanan pada pembuluh darah vena menyebabkan kongesti pada pembuluh darahotak
dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi
3. Iskemia Serebral
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri
(oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar
dibawah menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri
dengan gantung.
4. Syok Vasovagal
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang menyebabkan
henti jantung.
5. Fraktur atau Dislokasi vertebra servikalis.
Fraktur vertebra servikalis sering terjadi pada hukuman gantung. Fraktur atau
dislokasi terjadi pada keadaan dimana tali yang menjerat leher cukup panjang,
kemudian korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,5-2 meter maka
akan mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang akan menekan
medulla oblongata dan mengakibatkan tehentinya pernafasan. Yang biasa terkena
fraktur adalah vertebra servikalis ke-2 dan ke-3.

Gambaran Post Mortem Kasus Gantung


1. Pemeriksaan Luar Pada Jenazah
a. Tanda Penjeratan Pada Leher
Tanda penjeratan jelas dan dalam. Semakin kecil tali maka tanda penjeratan
semakin jelas dan dalam
Bentuk jeratan berjalan miring.
Bentuk jeratan pada kasus gantung diri cenderung berjalan miring (oblique)
pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas antara kartilago tiroid
dengandagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju
belakang telinga Alur jeratan pada leher korban penggantungan (hanging)
berbentuk lingkaran (V shape). Ciri-ciri jejas sebagai berikut :
Alur jeratan pucat.
Tepi alur jerat coklat kemerahan.
Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.
Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan
mengkilat
Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah
telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telingae.Pinggiran jejas jerat
berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasif.Jumlah tanda
penjeratanTerkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan.
Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali
b. Kedalaman Bekas Jeratan
Kedalaman bekas jeratan menunjukan lamanya tubuh tergantung.
c. Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena dan
edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. Pada kasus
penggantungan tanda-tanda asfiksia berupa mata menonjol keluar, perdarahan berupa
petekia pada bagian wajah dan subkonjungtiva. Jika didapatkan lidah terjulur maka
menunjukan adanya penekanan pada bagian bawah leher yaitu bagian bawah kartilago
thyroida.

Tardieu spot pada Gantung diri.


Tardieu spot diakibatkan pecahnya
kapiler-kapiler pada kaki
d. Lebam Mayat
Jika penggantungan setelah kematian berlangsung lama maka lebam mayat
terlihat pada bagian tubuh bawah, anggota badan distal serta alat genitalia distal.

e. Sekresi Urin dan Feses


Sekresi urin dan feses terjadi pada fase apneu pada kejadian asfiksia. Pada
stadium apneu pusat pernapasan mengalami depresi sehingga gerak napas menjadi
sangat lemah dan berhenti. Penderita menjadi tidak sadar dan karena kontrol spingter
fungsieksresi hilang akibat kerusakan otak maka terjadi pengeluaran urin dan feses.

2. Pemeriksaan Dalam Pada Jenazah


a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun
ruptur.
b. Tanda-tanda Asfiksia
Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah
Kongesti pada bagian atas yaitu daerah kepala, leher dan otak
Ditemukan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi.
c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot
d. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih
banyak terjadi pada kasus pengantungan yang disertai dengan tindak kekerasan.
e. Pada pemeriksaan paru-paru serig ditemui edema paru.
f. Mungkin terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid.
g. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas
Fraktur ini seringkali terjadi pada korban hukum gantung dimana korban tergantung
secara penuh dan tertitis jauh dari lantai.
Tabel 1. Perbedaan hasil pemeriksaan TKP pembunuhan dan bunuh diri

BAB III
PENUTUP

A. Interpretasi Temuan

Sesosok mayat laki-laki yang dikirimkan ke Bagian Kedokteran Forensik


FKUI/RSCM oleh sebuah Polsek di Jakarta. Pada pemeriksaan dilakukan keesokan harinya
ditemukan pembengkakan dan memar pada wajah mayat. Terdapat railway hematome pada
punggung. resapan darah pada kulit kepala, perdarahan di bawah selaput lunak otak serta
patahnya rawan rawan gondok, luka bakar pada paha sekitar kemaluannya dan jejas listrik di
ujung penisnya menunjukkan terjadinya kekerasan tumpul,suhu dan listrik pada bagian tubuh
tersebut. Tidak ditemukan resapan darah pada kulit leher tetapi sedikit resapan darah di otot
leher bisa menunjukkan pada saat korban hidup tidak terjadi kekerasaan atau perkelahian .
Busa halus pada saluran nafas,dan sedikit bintik-bintikperdarahan di permukaan kedua paru
dan jantung serta sembab otak dapat disebabkan kematian akibat asfiksia.
B. Kesimpulan
Pada banyak kasus asfiksia yang disebabkan oleh kekerasan terdapat tanda-tanda
khusus yang dapat mengarahkan pada solusi yang tepat. Beberapa permasalahan ada/terjadi
walau bagaimanapun akan tetap ada. Sebagai contoh tingkatan dari tekanan pada leher tidak
dapat dibuktikan secara jelas. Situasi semacam ini dapat timbul karena melakukan aktititas
seksual yang terlalu bersemangat dimana kematian mungkin terjadi karena tekanan pada
leher yang relatif ringan. Kesulitan lain timbul karena dari pembekapan dengan benda
lembut. Sedikit bukti untuk membuktikan asfiksia atau cedera mungkin timbul bila
pembekapan dilakukan dengan bantal. Satu-satunya indikasi utama yang menuntun pada
kecurigaan kekerasan dapat di lihat pada tanda tekanan oleh gigi pada bagian dalam bibir dan
sedikit paetikie haemoragi pada konjungtiva. Pada semua bentuk pekerjaan forensik, kondisi-
kondisi patologi yang terlihat tidak selalu dapat menghasilkan suatu solusi. Jawaban dari
permasalahan tersebut umumnya akan diperoleh saat tanda-tanda patologi dipertimbangkan
dalam hubungannya dengan bukti-bukti penting dan hasilnya diperoleh oleh ahli forensik
lain.

Daftar Pustaka
1. Safitry O. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran. Jakarta:
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2014.
2. Sadelman HC. The autopsy dalam Kobilinsky L: editor: Forensic Medicine. New York:
Chelsea House Publisher;2007
3. Safitry O. Mudah membuat visum et repertum kasus luka. Jakarta: Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
4. Budianto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Munim A, Sidhi, et al. Ilmu
kedokteran forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Indonesia; 1997.
5. Budyanto A, Wibisana W, dan Sudiono S dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Cetakan
kedua. Jakarta: Bagian ilmu kedokteran forensik FKUI. 1997.
6. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan. Cetakan Pertama Edisi Revisi. Jakarta : Sagung Seto, 2008.
7. Staf pengajar ilmu kedokteran forensik FKUI. peraturan perundang-undangan bidang
kedokteran. Cetakan kedua. Jakarta:bagian kedokteran ferensik FKUI. 1994.
8. Staf pengajar ilmu kedokteran forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik. Cetakan ke-4.
Jakarta : bagian kedokteran Forensik FKUI, 2000.
9. Sampurna, B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Cetakan kedua.
Jakarta. 2007.
10. Pathology Of Trauma. Diunduh dari http://forensik-upnxx.webs.com/chapterviii.htm
11. Shepherd R. Changes After Death in Simpsons Forensic Medicine. 12 th ed. London:
Arnold; 2003.p.37-48.
th
12. Saukko P, Knight B. The Pathophysiology of Death in Knights Forensic Pathology. 3
ed. London: Arnold;2004.h.52-90.

You might also like