Professional Documents
Culture Documents
asfiksia
Gizela Yuanita 102012008
Jonathan Rambang 102012072
Lidya Marlien Kondobua 102012080
Christina 102012287
Andrew Logan 102012289
Theresia Lolita Setiawan 102012355
Abdul Azis 102012401
Karin Lado 102012434
Nur Asmalina Binti Azizan 102012511
a6semester7@gmail.com
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No 6, Jakarta Barat 11510
Skenario 1
Pemeriksaan bedah jenazah menemukan resapan darah yang luas di kulit kepala,
perdarahan yang tipis di bawah selaput keras otak, sembab otak besar, tidak terdapat resapan
darah di kulit leher tetapi sedikit resapan darah di otot leher sisi kiri dan patah ujung rawan
gondok sisi kiri, sedikit busa halus di dalam saluran nafas, dan sedikit binti-bintik perdarahan
di permukaan kedua paru dan jantung. Tidak terdapat patah tulang. Dokter mengambil
beberapa contoh jaringan untuk pemriksaan laboratorium. Keluarga korban datang ke dokter
dan menanyakan tentang sebab-sebab kematian korban karena mereka mencurigai adanya
tindakan kekerasan selama di tahanan Polsek. Mereka melihat sendiri adanya memar-memar
di tubuh korban.
BAB I
Pendahuluan
Ilmu kedokteran forensik, juga dikenal dengan nama legal medicine, adalah salah satu
cabang spesialistik dari ilmu kedokteran, yang mempelajari pemenfaatan ilmu kedokteran
untuk kepentingan penegakan hokum serta keadilan.Dalam perkembanganya lebih lanjut,
ternyata ilmu kedokteran forensik tidak semata-mata bermanfaat dalam urusan penegakan
hokum dan keadilan di lingkup pengadilan saja, tetapi juga bermanfaat dalam segi kehidupan
bermasyarakat lain, misalnya dalam membantu penyelesaian klaim asuransi yang adil, baik
bagi pihak yang diasuransi maupun pihak yang mengasuransim dalam membantu pemecahan
paternitas (penemuan ke-ayah-an), membantu upaya keselamatan kerja dalam bidang industry
maupun kecelakaan lalu-lintas dan sebagainya.2
BAB II
Pembahasan
Aspek Hukum
Hukum di bidang kedokteran dan kesehatan berkembang sangat pesat. Pada skenario 1,
didapati bahwa korban tersebut mengalami pembengkakan dan memar yang ditemukan pada
wajah mayat, marginal hemorrhage pada punggung, resapan darah pada kulit kepala,
perdarahan pada selaput lunak otak serta patahnya rawan gondok. Hal-hal tersebut
menunjukkan bahwa korban mengalami kekerasan tumpul pada bagian-bagian tubuh
tersebut. Selain itu, luka bakar pada paha sekitar kemaluan dan jejas listrik pada penis,
mengindikasikan adanya kekerasan tumpul, suhu dan listrik pada tubuh mayat. Pada KUHP,
terdapat beberapa pasal yang mengantur tentang kejahatan terhadap tubuh dan jiwa manusia.1
Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Pasal 90 KUHP
Luka berat berarti:
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut;
2) Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian;
3) Kehilangan salah satu pancaindra;
4) Mendapat cacat berat;
5) Menderita sakit lumpuh;
6) Terganggunya daya piker selama empat minggu lebih;
7) Gugur atau matinya andungan seorang perempuan.
Prosedur Medikolegal
Prosedur medikoleal adalah tata cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai
aspek yang berkaitan dengan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara garis
besar, prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika
kedokteran.1,2
A. Penemuan dan pelaporan
Apabila warga masyarakat melihat, mengetahui atau mengalami suatu kejadian yang
diduga merupakan suatu tindak pidana, warga harus melaporkan ke pihak yang
berwajib. Pelaporan juga dapat dilakukan melalui instansi pemerintah terdekat seperti
RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga). hak dan kewajiban pelaporan ini
diatur dalam pasal 108 KUHAP.
1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau
pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana terhdapa ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau
terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada
penyelidik atau penyidik.
3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui
tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera
melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.
4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh
pelapor atau pengadu.
5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik
dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik ayaui penyidik harus
memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang
bersangkutan.
B. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pasal 1 UU no 2/2002 tentang Kepolisian negara RI, penyelidik adalah
setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk melakukan penyelidikan.
C. Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan mneurut cara yang
diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Berdasarkan pasal 1 UU no 2/2002 tentang Kepolisian negara RI,
penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidik pembantu adalah pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu
dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.
D. Pemberkasan perkara
Setelah menghimpun semua hasil penyidikannya termasuk hasil pemeriksaan
kedokteran forensik yang dimintakan kepada dokter, maka hasil perkara ini diteruskan
ke penuntut hukum.
E. Penuntutan
Penuntutan dilakukan oleh penuntut umum di sidang pengadilan setelah berkas
perkara yang lengkap diajukan ke pengadilan.
F. Persidangan
Persidangan pengadilan dipimpin oleh hakim atau majelis hakim dan dilakukan
pemeriksaan terhadap terdakwa, para saksi dan juga para ahli. Dokter dapat
dihadirkan di sidang pengadilan untuk bertindak selaku saksi ahli atau selaku dokter
pemeriksa. Berdasarkan pasal 160 KUHAP, saksi dipanggil ke dalam ruang sidang
seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim
ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat
hukum.
Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap,
tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
G. Putusan pengadilan
Putusan pengadilan dijatuhkan oleh hakim dengan keyakinan pada diri hakim bahwa
memang telah terjadi suatu tindak pidana dan bahwa terdakwa memang bersalah
melakukan tindak pidana tersebut; serta keyakinan hakim harus ditunjang oleh
sekurang-kurangnya 2 alat bukri yang sah.
Aspek hukum yang terkait dengan autopsi antara lain; pihak yang berhak meminta
VeR, dasar hukum autopsi forensik, barang bukti, dan menentukan saat kematian. Visum et
Repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang
berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati,
ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di
bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan. VeR adalah salah satu alat bukti sah dalam
peradilan berdasarkan pasal 184 KUHAP.4
Berdasarkan pasal 133, yang berhak meminta keterangan ahli (ditulis oleh ahli
kedokteran kehakiman) adalah penyidik atau penyidik pembantu yang merupakan pejabat
kepolisian negara Republik Indonesia. Menurut PP no. 58 tahun 2010, pangkat minimal
penyidik adalah inspektur dua dan pangkat minimal penyidik pembantu adalah brigadir dua.
VeR dibuat terhadap korban dan ada dugaan peristiwa pidana. Berdasarkan pasal 179
KUHAP, setiap dokter atau ali kedokteran kehakiman wajib memberikan keterangan ahli bila
diminta. Apabila menolak, maka sanksi hukum tercatat di pasal 216 KUHAP.4
VeR berbeda dengan catatan atau surat keterangan medik lainnya. Catatan medik terikat
rahasia pekerjaan dokter dan diatur dalam PP no. 10 tahun 1966, dengan sanksi hukum
tertulis pada pasal 322 KUHP. Dokter hanya boleh membuka isi catatan medik ke pihak
ketiga hanya setelah memperoleh izin dari pasien. Akan tetapi, VeR dibuat atas kehendak
undang-undang sehingga dokter tidak dapat diuntut karena membuka rahasia pekerjaan
walaupun tanpa seizin pasien (Pasal 50 KUHP: perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang tidak dipidana).4
Format Visum et Repertum adalah sebagai berikut.3,4
1. Pro Justitia. Kata Pro Justitia ditulis dipojok kiri atas untuk menjelaskan bahwa
VeR dibuat khusus untuk tujuan peradilan. Dengan adanya kata tersebut, VeR
memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti di pengadilan dan tidak membutuhkan
materai
2. Pendahuluan. Bagian ini tidak diberi judul Pendahuluan. Merupakan uraian
tentang identitas dokter pemeriksa, instansi pemeriksa, tempat dan waktu
pemeriksaan, instansi peminta visum, nomor dan tanggal saurat permintaan, serta
identitas korban yang diperiksa sesuai dengan permintaan visum et repertum
tersebut
3. Pemberitaan. Diberi judul Hasil Pemeriksaan. Memuat semua hasil pemeriksaan
terhadap barang bukti yang dituliskan secara sistematik, jelas, dan dapat
dimengerti oleh orang yang tidak berlatar belakang kedokteran. Pada pemeriksaan
korban hidup berisi keadaan sakit atau luka korban, tindakan medik yang dilakukan,
serta keadaan setelah ppengobatan/perawatan. Pada korban meninggal, diuraikan
keadaan alat dalam yang berkaitan matinya orang tersebut. Hasil yang tertulis hanya
yang terkait perkaranya, bersifat objektif, dan merupakan pengganti barang bukti.
4. Kesimpulan. Diberi judul kesimpulan. Berisi pendapat subjektif dokter mengenai
jenis luka atau cedera yang ditemukan, jenis kekerasan atau zat penyebab, dan
derajat perlukaan atau sebab kematiannya. Pada kejahatan susila juga diterangkan
apakah terjadi persetubuhan, perkiraan waktu kejadian, dan usia atau kepantasan
korban untuk dikawin.
5. Penutup. Tertulis kalimat baku Demikianlah visum et repertum ini saya buat
dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah
sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kematian dan perubahan yang
terjadi setelah kematian serta faktor yang memengaruhi perubahan tersebut. Bisa dikatakan
juga tanatologi adalah bagian dari Ilmu kedoktran forensik yang mempelajari tentang hal-hal
yang ada hubungannya dengan kematian dan perubahan yang terjadi setelah seseorang mati
dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Tanda Kematian
Warna lebam
Ada 5 warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk memperkirakan penyebab
kematian, yaitu:
Walaupun lebam mayat mungkin membingungkan dengan memar, memar sangat jarang
dibingungkan dengan lebam mayat. Penekanan pada daerah yang memar tidak akan
menyebabkan kepucatan. Insisi pada daerah yang mengalami kontusio atau memar
menunjukkan perdarahan yang menyebar ke jaringan lunak. Perbedaannya, insisi pada
daerah dengan lebam mayat menampakkan darah sebatas di pembuluh darah, tanpa darah
di jaringan lunak. Lebam mayat dapat kita temukan dalam organ tubuh dalam mayat.
Masing-masing sesuai dengan posisi mayat:
Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat terlentang dapat kita lihat
pada belakang kepala, daun telinga, ekstensor lengan, fleksor tungkai, ujung jari
di bawah kuku, dan kadang-kadang di samping leher. Tidak ada lebam yang dapat
kita lihat pada daerah skapula, gluteus dan bekas tempat dasi.
Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap dapat kita lihat
pada dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor tungkai.
Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat tergantung dapat kita lihat
pada ujung ekstremitas dan genitalia eksterna.
Lebam mayat pada organ dalam mayat dengan posisi mayat terlentang dapat kita
temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal paru-paru, dorsal
hepar, dorsal ginjal, posterior dinding lambung, dan usus bawah (dalam rongga
panggul).
Hal-hal yang perlu dibedakan dengan rigor mortis atau kaku jenazah adalah:
Cadaveric Spasmus, yaitu kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap
sesudah kematian akibat hilangnya ATP lokal saat mati karena kelelahan atau emosi
yang hebat sesaat sebelum mati.
Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein karena panas sehingga
serabut otot memendek dan terjadi flexi sendi. Misalnya pada mayat yang tersimpan
dalam ruangan dengan pemanas ruangan dalam waktu yang lama.
Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan yang dingin sehingga terjadi
pembekuan cairan tubuh dan pemadatan jaringan lemak subkutan sampai otot.
Onset dari putrefaction tergantung pada dua faktor utama: lingkungan dan
tubuh. Pada iklim panas, yang lebih penting dari dua faktor tersebut adalah
lingkungan. Banyak penulis akan memberikan rangkaian dari kejadian-kejadian dari
proses dekomposisi dari tubuh mayat. Yang pertama adalah perubahan warna menjadi
hijau pada kuadran bawah abdomen, sisi kanan lebih daripada sisi kiri, biasanya pada
24-36 jam pertama. Ini diikuti oleh perubahan warna menjadi hijau pada kepala, leher,
dan pundak; pembengkakan dari wajah disebabkan oleh perubahan gas pada bakteri;
dan menjadi seperti pualam. Seperti pualam ini dihasilkan oleh hemolisis dari darah
dalam pembuluh darah dengan reaksi dari hemoglobin dan sulfida hydrogen dan
membentuk warna hijau kehitaman sepanjang pembuluh darah. Lama kelamaan tubuh
mayat akan menggembung secara keseluruhan (60-72 jam) diikuti oleh formasi
vesikel, kulit menjadi licin, dan rambut menjadi licin. Pada saat itu, tubuh mayat yang
pucat kehijauan menjadi warna hijau kehitaman.
Kegembungan pada tubuh mayat sering terlihat pertama kali pada wajah,
dimana bagian-bagian dari wajah membengkak, mata menjadi menonjol dan lidah
menjulur keluar antara gigi dan bibir. Wajah berwarna pucat kehijauan, berubah
menjadi hijau kehitaman, kemudian menjadi hitam. Cairan dekomposisi (cairan
purge) akan keluar dari mulut dan hidung. Dekomposisi berlanjut, darah yang
terhemolisis merembes keluar ke jaringan.Dekomposisi terjadi cepat pada obesitas,
pakaian yang tebal, dan sepsis, semua yang mempertahankan tubuh tetap hangat.
Dekomposisi diperlambat oleh pakaian yang tipis atau oleh tubuh yang berbaring
pada permukaan yang terbuat dari besi atau batu yang mana lebih cepat menjadi
dingin karena terjadi konduksi. Tubuh mayat yang membeku tidak akan mengalami
dekomposisi sampai di keluarkandari lemari es.
e. Mumifikasi
Pada lingkungan panas, iklim kering, tubuh mayat akan mengalami dehidrasi
secara cepat dan akan lebih mengalami mumifikasi daripada dekomposisi. Pada saat
kulit mengalami perubahan dari coklat menjadi hitam, organ-organ interna akan
berlanjut memburuk, seringkali konsistensinya menurun menjadi berwarna seperti
dempul hitam kecoklatan. Mumifikasi terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah,
aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi, dan waktu yang lama (12 14 minggu).
Mumifikasi jarang dijumpai pada cuaca yang normal.
f. Adiposera
Adakalanya, tubuh mayat yang terdekomposisi akan bertransformasi ke arah
adiposera. Adiposera adalah suatu bentuk tetap, berwarna putih keabu-abuan sampai
coklat lilin seperti bahan yang membusuk dan berminyak, asam stearat. Ini dihasilkan
oleh konversi dari lemak yang netral selama perbusukan ke asam yang tidak dapat
dijelaskan. Hal tersebut lebih nyata pada jaringan subkutan, tetapi dapat terjadi
dimana saja bila terdapat lemak. Adiposera adalah benar-benar suatu variasi dari
putrefaction.
Hal ini terlihat paling sering pada tubuh yang dibenamkan dalam air atau dalam
keadaan lembab, lingkungan yang hangat. Pada adiposera, lemak mengalami
hidrolisis untuk melepaskan asam lemak jenuh dengan peranan dari lipase endogen
dan enzim bacterial. Enzim bakterial, umumnya berasal dari Clostridium perfringens,
yang mengubah asam lemak jenuh ini menjadi asam lemak hidroksi.
Adiposera dikatakan memakan waktu beberapa bulan untuk berkembang, walaupun
perkembangannya juga dapat terjadi singkat hanya selama beberapa minggu. Hal ini
bergantung pada tingkat perlawanan dari bakteriologik dan degradasi dari kimia.
Selain perubahan pada mayat tersebut di atas, beberapa perubahan lain dapat
digunakan untuk memperkirakan saat mati.
Perubahan pada mata. Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-
kanan kornea akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga
dengan dasar di tepi kornea (traches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi
lapis demi lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan dengan
meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak dapat
dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak kira-kira 6
jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kornea menjadi
keruh kira-kira 10 12 jam pasca mati dan dalam beberapa jam saja fundus tidak
tampak jelas.
Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi pupil pada
penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan lamanya
mati. Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian hingga 15 jam pasca
mati.
Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan makula dan mulai memucatnya diskus
optikus. Kemudian hingga 1 jam pasca mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak
tajam lagi. Selama 2 jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus
menjadi kuning. Warna kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi lebih
gelap. Pada saat itu pola vaskular koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan
latar belakang merah dengan pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam
pasca mati menjadi kabur dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat. Pada
kira-kira 6 jam pasca mati, batas diskus kabur dan hanya pembuluh-pembuluh besar
yang mengalami segmentasi yang dapat dilihat dengan latar belakang kuning kelabu.
Dalam waktu 7 10 jam pasca mati akan mencapai tepi retina dan batas diskus akan
sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus hanya dapat dikenali dengan adanya
konvergensi beberapa segmen pembuluh darah yang tersisa. Pada 15 jam pasca mati
tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan diskus, hanya makula saja
yang tampak berwarna coklat gelap.
Perubahan dalam lambung. Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi,
sehingga tidak dapat digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan
terakhir dan saat mati. Namun keadaan lambung dan isinya mungkin membantu
dalam membuat keputusan. Ditemukannya makanan tertentu dalam isi lambung dapat
digunakan untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah makan
makanan tersebut.
Perubahan rambut. Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata
0,4 mm/hari, panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk
memperkirakan saat kematian. Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria yang
mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia
mencukur.
Pertumbuhan kuku. Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku
yang diperkirakan sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat
kematian bila dapat diketahui saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku.
Perubahan dalam cairan serebrospinal. Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14
mg% menunjukkan kematian belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang
dari 80 mg% menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg%
dan 10 mg% masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30
jam.
Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup akurat untuk
memperkirakan saat kematian antara 24 100 jam pasca mati.
Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis darah
pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa hidupnya.
Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta gangguan
permeabilitas dari sel yang telah mati. Selain itu gangguan fungsi tubuh selama proses
kematian dapat menimbulkan perubahan dalam darah bahkan sebelum kematian itu
terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan perubahan dalam darah yang dapat
digunakan untuk memperkirakan saat mati dengan lebih tepat.
Reaksi supravital, yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih
sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa uji dapat
dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misalnya rangsang listrik masih dapat
menimbulkan kontraksi otot mayat hingga 90120 menit pasca mati dan
mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai 60 90 menit pasca mati, sedangkan
trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit sampai 1 jam pasca mati.
Traumatologi Forensik
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta hubungannya
dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), sedangkan yang dimaksudkan dengan luka adalah
suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan.
Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan yang
bersifat:
Mekanik:
Kekerasan oleh benda tajam
Kekerasan oleh benda tumpul
Tembakan senjata api
Fisik:
Suhu
Listrik dan petir
Perubahan tekanan udara
Akustik
Radiasi
Kimia:
Asam atau basa kuat
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). dengan demikian organ tubuh mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan disebabkan oleh hal berikut :
1. penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
AsfiksiaMekanik
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yabg terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran napas oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya :
i) Pembekapan (smothering)
i) Penjeratan (strangulation)
2. fase konvulsi
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf
pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami
dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan
paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan O2.
3.fase apnea
Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan melemah dan dapat
berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan
sperma, urin dan tinja.
4.fase akhir
Pemeriksaan Jenazah
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari
dan kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan
terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas
fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. Tingginya
fibrinolisin inisangat berhubungan dengan cepatnya proses kematian.
Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase I yang disertai sekresi selaput lender saluran napas bagian atas. Keluar
masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-
kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya
pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit
wajah.Penulis lain mengatakan bahwa Tardieus spot ini timbul karena permeabilitas kapiler
yang meningkat akibat hipoksia.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda
klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam
mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam
darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar
masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang
kadangkadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah pecah
adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan
subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah. Universitas Sumatera Utara
5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi
dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah
meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak
endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul
bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot.
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat
paska kematian.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat,
berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus
bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah
otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
Pembekapan (smothering)
Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada penderita
penyakit jiwa, orang tahanan dengan menggunakan gulungan kasur, bantal, pakaian yang
diikatkan menutupi hidung dan mulut.
Anak-anak dan dewasa muda yang terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan
sedikit udara, misalnya terbekap dengan atau dalam kantung plastik.
Orang-orang dewasa yang terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsy yang
mendapat serangan dan terjatuh sehingga mulut dan hidung tertutup dengan pasir, gandum,
tepung dan sebagainya.
Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. pada orang dewasa hanya
terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orang tua, orang sakit berat, orang dalam
pengaruh obat atau minuman keras.
Bila pembekaoan terjadi dengan benda yang lunak, maka pada pemeriksaan luar
jenazah mungkin tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Tanda kekerasan yang dapat
ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan.
Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka lecet jenis tekan atau geser, goresan
kuku dan luka memar pada ujung hidung, bibir, pipi dan dagu yang mungkin terjadi akibat
korban melawan.
Luka memar atau luka lecet pada bagian atau permukaan dalam bibir akibat bibir
yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Luka memar atau lecet pada bagian
belakang tubuh korban.
Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pada
pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku korban, adakah
darah atau epitel kulit si pelaku.
Pada keadaan ini, terjadi sumbatan jalan napas oleh benda asing yang mengakibatkan
hambatan udara untuk masuk ke paru-paru.
Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking sumbatan
terdapat lebih dalam pada laringofaring.
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau reflex vagal akibat
rangsangan padareseptor nervus vagus di arkus laring, yang menimbulkan inhibisi kerja
jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian.
Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk mmemasukkan benda asing ke dalam mulut
sendiri disebabkan adanya reflex batuk atau muntah. Umumnya korban adalah penderita sakit
mental atau tahanan.
Umumnya korban adalah bayi, orang dengan fisik lemah atau tidak berdaya.
Pada bolus deathyang terjadi bila tertawa atau menangis saat makan, sehingga
makanan tersedak ke dalam saluran pernapasan. Mungkin pula terjadi akibat regurgitasi
makanan yang kemudian masuk ke dalam saluran pernapasan.
1.asfiksia
2.refleks vagal, terjadi sebagai akibat rangsangan pada reseptor vagus pada corpus caroticus
(carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna. Reflex vagal ini jarang
sekali terjadi.
Pada pemeriksaan jenazah ditemukan perbendungan pada muka dan kepala karena
turut tertekan pembuluh darah vena dan arteri yang superficial, sedangkan arteri vertebralis
tidak terganggu.Tanda-tanda kekerasan pada leher ditemukan dengan distribusi berbeda-beda,
tergantung pada cara mencekik: luka-luka lecet pada kulit, berupa luka lacet kecil, dangkal,
berbentuk bulan sabit akibat penekanan kuku jari.
Luka-luka memar pada kulit, bekas tekanan jari, merupakan petunjuk berharga untuk
menentukan bagaimana posisi tangan pada saat mencekik. Akan menyulitkan bila terdapat
memar subkutan luas, sedangkan pada permukaan kulit hanya tampak memar berbintik.
Memar atau perdarahan pada otot-otot bagian dalam leher, dapat terjadi akibat
kekerasan langsung. Perdarahan pada otot sternokleido-mastoideus dapat disebabkan oleh
kontraksi yang kuat pada otot tersebut saat korban melawan.
Fraktur pada tulang lidah (os hyoid) dan kornu superior rawan gondok yang unilateral
lebih sering terjadi pada pencekikan, namun semuanya tergantung pada besar tenaga yang
dipergunakan saat pencekikan. Patah tulang lidah kadang-kadang merupakan satu-satunya
hukti adanya kekerasan, bila mayat sudah lama dikubur sebelum diperiksa.
Pada pemeriksaan jenazah, bila mekanisme kematian adalah asfiksia, maka akan
digtemukan tanda-tanda asfiksia. Tetapi bila mekanisme adalah refleks vagal,yang
menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, sehingga tidak ada tekanan intravascular
untuk dapat mnimbulkan perbendungan, tidak ada perdarahan petekial, tidak ada edema
pulmonary dan pada otot-otot leher bagian dalam hampir tidak ditemukan perdarahan.
Diagnosis kematian akibat refleks vagal hanya dapat dibuat pereksklusionam.
Penjeratan (strangulation)
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen,
kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama
makin kuat, sehingga saluran nafas tertutup. Berbeda dengan gantung diri yang biasanya
merupakan kasus bunuh diri, maka penjeratan biasanya adalah kasus pembunuhan.
Pada peristiwa gantung, kekuatan jeratnya berasal dari berat tubuhnya, maka pada jeratan
dengan tali kekuatan jeratnya berasal dari tarikan pada kedua ujungnya. Dengan kekuatan
tersebut, pembuluh darah balik atau jalan nafas dapat tersumbat. Tali yang dipakai sering
disilangkan dan sering dijumpai adanya simpul. Jeratan pada bagian depan leher hampir
selalu melewati membran yang menghubungkan tulang rawan hyoid dan tulang rawan
thyroid.
Mekanisme kematian
Ada 3 mekanisme kematian pada jerat , yaitu :
1. Asfiksia
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab kematian
yang paling sering.
2. Iskemia Serebral
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri
(oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar dibawah
menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri dengan gantung.
3. Syok Vasovagal
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang menyebabkan henti
jantung.
Gantung (Hanging)
Penggantungan adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat ikatan
tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Penggantungan merupakan suatu
bentuk penjeratan (strangulasi) dengan tali ikat dimana tekanan dihasilkan dari seluruh atau
sebagian berat tubuh. Seluruh atau sebagian tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh
sesuatu benda dengan permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga
daerah tersebut mengalami tekanan.
Klasifikasi Gantung
1. Berdasarkan Titik Gantung:
a. Penggantungan tipikal
Terjadi bila titik gantung terletak di atas daerah oksiput dan tekanan pada arteri
karotis paling besar.
b. Penggantungan atipikal
Bila titik penggantungan terdapat di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan.
BAB III
PENUTUP
A. Interpretasi Temuan
Daftar Pustaka
1. Safitry O. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran. Jakarta:
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2014.
2. Sadelman HC. The autopsy dalam Kobilinsky L: editor: Forensic Medicine. New York:
Chelsea House Publisher;2007
3. Safitry O. Mudah membuat visum et repertum kasus luka. Jakarta: Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
4. Budianto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Munim A, Sidhi, et al. Ilmu
kedokteran forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Indonesia; 1997.
5. Budyanto A, Wibisana W, dan Sudiono S dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Cetakan
kedua. Jakarta: Bagian ilmu kedokteran forensik FKUI. 1997.
6. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan. Cetakan Pertama Edisi Revisi. Jakarta : Sagung Seto, 2008.
7. Staf pengajar ilmu kedokteran forensik FKUI. peraturan perundang-undangan bidang
kedokteran. Cetakan kedua. Jakarta:bagian kedokteran ferensik FKUI. 1994.
8. Staf pengajar ilmu kedokteran forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik. Cetakan ke-4.
Jakarta : bagian kedokteran Forensik FKUI, 2000.
9. Sampurna, B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Cetakan kedua.
Jakarta. 2007.
10. Pathology Of Trauma. Diunduh dari http://forensik-upnxx.webs.com/chapterviii.htm
11. Shepherd R. Changes After Death in Simpsons Forensic Medicine. 12 th ed. London:
Arnold; 2003.p.37-48.
th
12. Saukko P, Knight B. The Pathophysiology of Death in Knights Forensic Pathology. 3
ed. London: Arnold;2004.h.52-90.