You are on page 1of 20

REFERAT NEUROEMERGENSI

Terapi Hiperosmolar Pada Peningkatan Tekanan


Intrakranial Pada Pasien Stroke

Disusun Oleh :

Daniel Chung

07120120058

Pembimbing :

Dr. dr. Rocksy Fransisca, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU NEUROEMERGENSI

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE 30 MEI 25 JUNI 2016

TANGERANG
PENDAHULUAN

Peningkatan tekanan intrakranial merupakan kondisi kegawat-daruratan yang


sering dijumpai sebagai komplikasi dari lesi neurologis di otak. Hal ini dikarakteristi-
kan dengan peningkatan tekanan intrakranial akibat dari penambahan volume baru
pada rongga intrakranial. Kondisi ini merupakan salah satu indikasi pada perawatan
ICU, karena umumnya peningkatan tekanan intrakranial selalu dihubungkan dengan
prognosis yang buruk. Dari sebuah studi tentang trauma kepala (1), angka kematian
akibat peningkatan tekanan intrakranial <20 mmHg adalah 18.4%, akan tetapi angka
kematian pada pasien dengan tekanan intrakranial >40 mmHg adalah 55.6%.
Pencegahan dari luka sekunder otak akibat peningkatan tekanan intrakranial
merupakan tujuan dari perawatan dan manajemen terapi awal. Pemberian terapi
hiperosmolar merupakan salah satu langkah pada manajemen untuk menurunkan
tekanan intrakranial secara sementara dan sifatnya sebagai life-saving terapi. Pada
kondisi gawat-darurat seperti herniasi cerebral segera, pemberian terapi hiperosmolar
dapat mencegah kondisi tersebut. Akan tetapi penerapan klinis terapi hiperosmolar
masih dirasakan kurang dan tidak tepat. Padahal denan tatalaksana yang cepat dan
tepat, serta pengawasan yang benar dapat menjadi kunci keberhasilan dalam penata-
laksanaan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Mengingat betapa gawat-daruratnya kondisi pada peningkatan tekanan
intrakranial serta peranan penting penggunaan terapi hiperosmolar sebagai salah satu
manajemen terapinya, menjadikan salah satu alasan pada penyusunan referat: Terapi
Hiperosmolar Pada Peningkatan Tekanan Intrakranial Pada Pasien Stroke. Penulis
mengharapkan melalui referat ini dapat membantu baik dokter muda serta dokter
umum dalam memberikan tatalaksana pertama serta penerapan terapi hiperosmolar
yang benar dan sigap dalam penanganan kasus peningkatan tekanan intrakranial
khususnya pada pasien stroke.
Fisiologi Cerebral

Otak merupakan struktur organ kompleks yang membutuhkan aliran oksigen


dan nutrisi secara berkala. Untuk mempertahankan fungsi kesadaran, perfusi oksigen
dan gula merupakan kebutuhan vital otak. Apabila terjadi gangguan terhadap aliran ke
otak atau cerebral blood flow dapat menyebabkan kehilangan kesadaran hingga
kerusakan permanen pada struktur otak.
Untuk menjamin kelangsungan aliran darah, otak mendapatkan aliran darah
dari internal carotid dan arteri vertebralis dan kembali melalui vena cerebral dan
dural venous sinuses ke vena internal jugularis. Otak mendapatkan 15 25% dari
total cardiac output dengan aliran darah 50 ml / 100 gram jaringan otak setiap menit.
Aliran darah ke otak dipengaruhi oleh tekanan perfusi otak (cerebral perfusion
pressure) serta tekanan resistan vaskular otak (cerebrovascular resistance) sesuai
dengan rumus Hagen-Poiseuille. Tekanan perfusi otak merupakan perbedaan tekanan
antara tekanan arteri dengan tekanan vena. Tekanan positif menyebabkan aliran darah
dan perfusi otak baik. Selain dipengaruhi oleh tekanan vena, tekanan perfusi otak
dipengaruhi oleh tekanan intrakranial. Pada keadaan patologis, peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan aliran darah ke otak berkurang akibat vasokonstriksi
pembuluh darah. Hubungan ketiga tekananan sebagai berikut:

CPP = MAP (CVP + ICP)

MAP merupakan mean arterial pressure, CVP merupakan central venous pressure,
dan ICP merupakan intracranial pressure. Umumnya, dewasa memiliki tekanan
perfusi otak yang bervariasi sekitar 70 90 mmHg dan aliran darah ke otak yang
konstan. Untuk menciptakan keadaan aliran darah ke otak yang konstan, otak
memiliki semacam mekanisme pengaturan yang disebut autoregulation. Mekanisme
ini mengatur agar aliran darah ke otak tidak terlalu banyak saat tekanan perfusi otak
tinggi dan tidak terlalu sedikit saat tekanan perfusi otak rendah. Mekanisme ini
melibatkan tekanan resistan vaskular otak (cerebrovascular resistance) yang
dipengaruhi oleh diameter vaskuler otak. Peningkatan tekanan perfusi otak akan
menyebabkan aliran darah ke otak meningkat, otak dengan mekanisme autoregulation
akan meningkatan tekanan resistan vaskular otak dengan melakukan vasokonstriksi
sehingga aliran darah ke otak dapat dibatasi. Cerebral metabolic rate merupakan laju
minimum otak dalam menggunakan substansi metabolic ataupun menghasilkan
substansi metabolik. Otak merupakan organ yang memiliki laju metabolisme yang
tinggi, hal ini dapat digambarkan dari tingginya aliran darah ke otak serta konsumsi
oksigen yang mencakup 20% dari basal oxygen consumption. Otak sangat bergantung
dengan oksigen dalam pembentukan energi dari glukosa. Pada kondisi aerobik, satu
molekul glukosa dapan meghasilkan 38 molekul ATP. 60% ATP akan digunakan untuk
fungsi otak dan sisanya digunakan untuk mempertahankan integritas dan homeostasis
sel neuron. Pada kondisi anaerobik, otak hanya mampu menghasilkan 2 ATP dari
setiap molekul glukosa dan menggunakan laktat sebagai sumber energi sementara.
Bila terjadi berkepanjangan, otak akan mengalami iskemik dan kerusakan pada
parenkim otak. Hal ini menyebabkan aliran darah ke otak harus tetap konstan.
Secara anatomi, otak dilindungi oleh selaput meninges dan rongga tengkorak.
Struktur tulang tengkorak yang kaku dan keras serta fungsi meninges sebagai shock
absorbent, melindungi otak dari trauma luar. Akan tetapi karena sifatnya yang kaku
dan keras, menyebabkan tidak adanya ruang lebih untuk penambahan volume di
dalam otak. Konsep ini yang menjadi landasan dari Monroe-Kellie hypothesis;
volume of the brain and its constituents inside the bony cranium is fixed and cannot
be compressed. Volume intrakranial secara teori dapat menjadi tiga bagian:

1. Volume otak = 85%


2. Cairan serebrospinal = 10% (150 ml)
3. Darah = 5% (50-75 ml)

Pada orang normal, tekanan intrakranial sekitar 5 15 mmHg saat posisi supine dan
merupakan posture-dependant, di mana tekanan paling rendah saat posisi berdiri.
Peningkatan pada tekanan intrakranial di atas nilai kritis dapat menyebabkan
penurunan tekanan perfusi otak dan menyebabkan kompresi lokal jaringan parenkim
terhadap tentorium, dan foramen magnum. Bila kondisi ini terus dibiarkan dapat
menyebabkan herniasi batang otak dan kematian. Pada otak, ada beberapa mekanisme
yang yang dilakukan dalam menjaga agar tekanan intrakranial dalam batas normal.
Pada kenaikan tekanan intrakranial, darah dan cairan serebrospinal merupakan
mekanisme kompensasi inisial otak. Kemampuan mekanisme otak dalam melakukan
kompensasi dapat digambarkan sebagai kurva, volume compliance curve, di mana bila
mekanisme kompensasi otak sudah tidak sanggup mengkompensasi (batas atas ICP-
volume compliance adalah 25 mmHg), dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial
yang signifikan walau hanya dengan penambahan volume yang sedikit.
Gambar 1. ICP Volume Curve
A compensation phase
B Decompesation phase

Darah merupakan kompartmen terkecil yang di dalam rongga tengkorak, akan tetapi
memiliki kompensasi tekanan intrakranial yang signifikan. Mekanisme kompensasi
volume darah di dalam otak akan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi tekanan perfusi cerebral dan volume darah di cerebral. Penurunan
volume darah di cerebral akibat peningkatan tekanan resistensi cerebrovaskular dapat
menjadi salah satu bentuk kompensasi darah saat terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Cairan serebrospinal merupakan cairan ekstraseluler yang terletak di
rongga subarachnoid dan di dalam ventrikel otak. Cairan serebrospinal di produksi
oleh choroid plexus dan diabsorbsi oleh granulasi arachnoid ke dalam sirkulasi sinus
venosus. Spatial compensation merupakan mekanisme cairan serebrospinal dalam
menanggulangi peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial
akan menyebabkan perpindahan volume cairan serebrospinal dari kranial menuju
kanal spinalis. Kompesasi spatial berlangsung perlahan-lahan, mekanisme ini
membantu pada keadaan pertumbuhan tumor yang progresif akan tetapi kurang baik
pada peningkatan tekanan intrakranial akut dan mendadak.

Mekanisme Autoregulasi
Mekanisme autoregulasi merupakan proses fisiologis otak untuk
mempertahankan aliran darah ke otak sehingga tetap konstan sekalipun ada perubahan
pada tekanan perfusi darah. Autoregulasi memiliki mekanisme myogenik di mana
peningkatan pada tekanan perfusi otak akan menyebabkan tekanan pada pembuluh
darah cerebral meningkat, hal ini akan memicu depolarisasi pada otot polos pembuluh
darah dan menyebabkan vasokonstriksi serta peningkatan resistan tekanan
serebrovaskular. Hal ini menyebabkan aliran darah ke dalam otak tidak berlebihan dan
tidak menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Mekanisme autoregulasi terjadi
dalam bentang MAP yang telah ditentukan sekitar 50 150 mmhg dan terjadi secara
instant dengan perantara faktor dari endothelium dan nitric oxide. Diluar dari bentang
autoregulasi, aliran darah ke otak akan bersifat pressure-dependent dan berubah sesuai
tekanan MAP. Pada pasien dengan hipertensi kronis, batas atas dan batas bawah dari
bentang autoregulasi akan berpindah dengan batas yang lebih tinggi.

Gambar 2. Efek dari perubahan MAP, arterial oxygen dan carbon dioxide tensions, dan
tekananan resistan cerebrovaskular pada aliran darah ke otak

Mekanisme Arterial Carbon Dioxide Tension


Kadar CO2 memiliki hubungan linear dengan aliran darah ke otak. Kadar
PaCO2 (2.7 10.5 kPa) mempengaruhi perubahan aliran darah ke otak sekitar 11-15
ml per 100 mg jaringan otak per menit setiap perubahan 1 kPA PaCO 2. Pada batas atas
kadar PaCO2 (10.5 kPA) terjadi maksimum dilatasi pada arterioles dan menyebabkan
aliran darah ke otak meningkat dua kali lipat dari sebelumnya. Pada kondisi yang
sama, batas bawah kadar PaCO2 (kPA 2.7) menyebabkan vasokonstriksi maksimum
arterioles. Hal ini menyebabkan aliran darah turun hingga setengah dari normal dan
kemungkinan resiko iskemik serebral. Respons antara perubahan tekanan resisten
vaskular otak dan aliran darah ke otak terhadap perubahan kadar PaCO 2 adalah cepat,
terjadi dalam 1 menit dan plateu selama 12 menit. Mekanisme ini penting dalam
mengontrol tekanan intracranial dalam waktu cepat. Hal ini dapat dicapai dengan
meminta pasien untuk hiperventilasi. Akan tetapi mekanisme tidak dapat diterapkan
sebagai kompensasi peningkatan tekanan intrakranial jangka panjang, karena aliran
darah akan kembali ke nilai normal setelah 6 8 H akibat dari adaptasi otak.

Peningkatan Tekanan Intrakranial


Peningkatan tekanan intrakranial merupakan bentuk masalah kegawat-
daruratan yang terjadi akibat komplikasi lesi neurologis. Hal ini terjadi akibat adanya
penambahan volume pada rongga intrakranial. Penyebab umum dari peningkatan
tekanan intrakranial antara lain trauma kepala, keganasan di otak, hidrosefalus,
ensefalitis, absess dan stroke. Peningkatan tekanan intrakranial terjadi saat tekanan
intrakranial di luar dari nilai normal (tabel 1). Penambahan volume intrakranial
memberikan dampak langsung terhadap penambahan pada tekanan intrakranial, sesuai
dengan doktrin Monroe-Kellie. Doktrin Monroe-Kellie menyebutkan jumlah volume

Kelompok Usia Normal Tekanan Intrakranial (mmHg)


Dewasa 10 15
Anak-anak 37
Term Infants 1.5 6

Tabel 1. Nilai Normal Tekanan Intrakranial

darah, cairan serebrospinal dan parenkim otak pada rongga intrakranial adalah
konstan. Hal ini disebabkan karena tengkorak digambarkan sebagai kontainer padat,
keras dan tidak elastis. Penambahan dari salah satu kompartmen volume pada rongga
intrakranial tanpa diimbangi pengurangan volume kompartmen volume otak lainnya,
akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Komplikasi pada peningkatan
intrakranial yang tidak terkompensasi adalah herniasi cerebral dan hypoxic-ischemic
injury. Herniasi cerebral terjadi sebagai bentuk mekanisme otak untuk beradaptasi
terhadap kehadiran volume baru di rongga intrakranial, sedangkan hypoxic-ischemic
injury terjadi akibat penurunan tekanan perfusi cerebral dan aliran darah ke otak.
Kedua hal tersebut menyebabkan kerusakan otak dan kematian. Ada beberapa jenis
herniasi yang dapat terjadi, hal ini akan dirangkum pada gambar 3.
Manifestasi pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial tidaklah spesifik.
Sakit kepala, muntah, disorientasi, dan letargi merupakan gejala utama. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan hipertensi, penurunan kesadaran, papilledema,
defisit saraf kranial VI, muntah proyektile dan Cushings Triad (hipertensi, bradikardi,
dan pola pernafasan irregular). Cushings Triad merupakan tanda khas pada kondisi
herniasi batang otak segera. Gejala klinis pada pasien juga dapat muncul akibat dari
herniasi cerebal (herniation syndrome), di antaranya; defisit saraf kranial III

Gambar 3. Tipe Herniasi Otak:


Supratentorial herniation
1. Uncal (transtentorial)
2. Central
3. Cingulate
(subfalcine/transfalcine)
4. Transcalvarial
Infratentorial herniation
5. Upward cerebellar
6. Tonsilar

motor posturing, rigid pada ekstremitas bawah, defisit saraf kranial VI, dan perubahan
laju nafas. Kecurigaan pada kenaikan tekanan intrakranial dapat juga ditemukan
dengan modalitas radiologi, di mana pada gambaran CT scan kepala ditemukan
gambaran efek massa yaitu midline shift ataupun hilangnya gambaran basal cisterna.

Tabel 2. Gambaran klinis dari herniation syndrome


Tipe Herniasi Manifestasi Klinis
Subfalcine herniation Impaired consciousness, monoparesis of the contralateral lower
extremity
Central transtentorial Impaired consciousness, abnormal respirations, symmetrical
herniation small reactive or midposition fixed reactive pupils, decorticate
evolving to decerebrate posturing
Uncal herniation Impaired consciousness, abnormal respirations, third nerve palsy
(unilateral dilated pupil, ptosis), hemiparesis
Upward Transtentorial Prominent brainstem signs, downward gaze deviation, upgaze
herniation palsy, decerebrate posturing
Transforaminal / tonsilar Impaired consciousness, neck rigidity, opisthotonus, decerebrate
herniation rigidity, vomiting, irregular respirations, apnea, bradycardia

Pengukuran tekanan intrakranial digunakan sebagai alat bantu pasti diagnosa


terhadap peningkatan tekanan intrakranial serta sebagai alat evaluasi terhadap
keberhasilan pengobatan yang sedang diberikan. Pengukuran tekanan intrakranial
dapat dilakukan dengan dua jenis alat; Invasive ICP monitoring devices dan Non-
invasice ICP monitoring device. Sesuai namanya, invasive ICP monitoring devices,
merupakan pengukuran secara langsung terhadap tekanan intrakranial. Ada 4 tempat
utama yang digunakan dalam pengukuran tekanan intrakranial, antara lain
intraventrikular, intraparenkim, subaraknoid, dan epidural. Indikasi pemasangan
invasive ICP monitoring devices harus memenuhi 3 kriteria berikut yaitu:
Pasien harus dicurigai memiliki resiko peningkatan tekanan intrakranial
Pasien harus dalam keadaan comatose (GCS 8)
Memenuhi minimal 2 kondisi dibawah:
Age >40 tahun
Unilateral atau bilateral decerebrate
Abnormal pupil

Pada pemeriksaan invasive ICP monitoring device, ada gambaran ICP waveforms.
ICP waveform normal memiliki 3 puncak, puncak pertama adalah percussion wave.
Puncak kedua adalah dicrotic wave, dan punya ketiga adalah tidal wave.

Gambar 4. ICP Waveform


P1 = Percussion wave
P2 = Dicrotic wave
P3 = Tidal wave

Pada keadaan adanya peningkatan tekanan intrakranial, amplitude dicrotic wave akan
sama dan melewati amplitudo percussion wave. Pada kondisi tekanan intrakranial di
antara 50 100 mmhg, akan muncul gelombang patologis (plateu waves).
Kemunculan gelombang plateu menunjukkan dekompensasi dari autoregulasi dan
butuh segera penanganan darurat. Pemeriksaan non-invasive ICP monitoring baru saja
divalidasi sehingga belum ada penerapan aplikasinya. Beberapa teknik non-invasive
ICP monitoring yang sedang diterapkan adalah computed tomography, magnetic
resonance imaging, transcranial doppler sonography, near-infrared spectroscopy, dan
visual-evoked potentials.
Pencegahan kerusakan otak akibat dari komplikasi peningkatan tekanan intra-
kranial merupakan tujuan dari manajemen terapi pada pasien dengan peningkatan
tekanan intrakranial. Manajemen terapi pada peningkatan tekanan intrakranial adalah
kritis dan harus segera dilakukukan. Prinsip dari manajemen terapi peningkatan
tekanan intrakranial adalah mengurangi dan menjaga agar tekanan intrakranial
dibawah 20 mmHg dan tekanan perfusi otak diatas dari 60 mmHg. Eliminasi
penyebab utama dari peningkatna tekanan intrakanial merupakan manajemen
definitif, akan tetapi ada beberapa maneuver yang dapat mengurangi tekanan
intrakranial sementara.
Langkah pertama dalam manajemen adalah pemberian optimal pada oksigen
(saturasi O2 >94% atau PaO2 > 80 mmHg) dan aliran darah ke otak (tekanan sistolik >
90 mmHg). Posisikan kepala pasien ditengah dan dielevasikan 30 0 dengan tujuan
membantu aliran balik vena. Elevasi diatas dari >45O menyebabkan peningkatan
tekanan ICP akibat response otak terhadap penurunan tekanan perfusi otak yang
berlebihan. Pastikan pasien dalam keadaan euvolemia dan monitor ketat cairan.
Pemberian cairan yang disarankan adalah cairan isotonik dan membatasi pemberian
cairan hipotonik (5% dextrose atau 0.45% NS). Osmolatitas darah <280 mOsm/L
harus segera diperbaiki. Keadaan hipovolemia menyebabkan tekanan perfusi otak
menurun dan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial. Jaga pasien agar tidak
demam. Demam meningkatkan metabolism otak dan aliran darah ke otak sehingga
meningkatkan tekanan intrakranial, hal ini memperburuk kondisi hypoxic-ischemic
neuronal injury. Penggunaan antipiretik seperti acetaminophen dan pendinginan
eksternal, direkomendasikan untuk mengurangi tekanan intrakranial akibat demam
diatas 38.3OC. Pembatasan pemberian dexamethasone atau steroid pada terapi
peningkatan tekanan intrakranial akibat infark serebri, pendarahan intraserebral, atau
trauma kepala. Hal ini disebabkan steroid tidak memberikan manfaat klinis pada
edema cyototoxic. Apabila peningkatan tekanan intrakranial masih dirasakan cukup
signifikan setelah diberikan manajemen awal terapi, maka dilakukan maneuver
penurunan tekanan intrakranial, antara lain; terapi hiperventilasi, terapi hyperosmolar,
pemberian sedasi, terapi hipotermia, dan kraniotomy dekompresi.

Tabel 3. Ringkasan Tatalaksana dan Maneuver Menurunkan Tekanan Intrakranial


1. Assess dan manajemen ABC (airway, breathing circulation)
2. Intubasi awal pada pasien dengan GCS <8, dengan herniasi otak, apneu atau tidak
mampu mempertahankan jalur nafas
3. Elavasi kepala 15 30O
4. Hiperventilasi: target PaCO2 25 30 mmHg
5. Mannitol: initial dosis 0.5 2.5 g/kg secara IV selama 20 30 menit
6. Hipertonik saline: baik pada pasien dengan hipotensi, hipovolemia dan serum
osmolalitas >320 mOsm/kg, dan gagal ginjal. Dosis 0,1 1 ml/kg/hr infusion NaCl 3%
dengan target Na+ 145-155 mEq/L
7. Steroid: Baik pada edema akibat intrakranial tumor, neurocysticerosis, pyomeningitis,
tuberkuloma TB atau absess. Tidak direkomendasikan untuk trauma kepala dan stroke
8. Sedasi dan analgesia yang memadai
9. Prevensi dan pengobatan kejang: lorazepam atau midazolam dengan fenitoin sebagain
terapi lanjutan
10. Kontrol demam: antipiretik dan maneuver pendinginan manual
11. Maintenance IV fluids: cairan isotonik atau hipertonik , tidak boleh cairan hipotonik
12. Pertahankan gula darah: 80 120 mg/dL
13. Pada kondisi peningkatan tekanan intrakanial refraktori (2 nd line terapi)
Sedasi berat dan pelemas otot
Terapi Barbiturates
Hipothermia maneuver
Decompressive craniectomy

Terapi Hiperosmolar
Terapi hiperosmolar merupakan terapi osmotik yang menarik air keluar dari
jaringan otak ke dalam sirkulasi sistemik, sehingga volume otak dapat berkurang. Dua
agen terapi hiperosmolar yang digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial
antara lain mannitol dan hypertonic saline. Konsep dari kedua terapi ini adalah
menciptakan osmotik gradient antara plasma dan sel otak, sehingga dapat menarik
keluar air dengan osmosi dan mengurangi edema otak. Otak memiliki mekanisme
adaptasi, di mana otak akan mengakomodasi serum hiperosmolaritas dengan
meningkatkan konsentrasi cairan .
Walaupun sebagai terapi emergensi, mannitol tidak memiliki guideline optimal
dalam pemberian dosis dan durasi pemberian obat. Pemberian mannitol disarankan
antara 0.5 2.5 g/kg secara IV selama 20 30 menit. Pemberian bolus hipertonik
saline (1.5% - 23.4%), dilakukan dengan cara menghitung target konsentrasi sodium
yang ingin dicapai terlebih dahulu. Rumus yang digunakan sebagai berikut;
Jumlah Na yang dibutuhkan:
BB X Konstata* X (Target Na Na sekarang)

* Konstata = 0.5 untuk pria dan 0.6 untuk wanita


Cairan yang diberikan selama 24 jam:
(Jumlah Na yang dibutuhkan / konsentrasi Na pada cairan) X 1000
Pemberian efektif dari terapi hypertonic saline dapat dicapai dengan pemberian 3%
NaCl dengan rate 1.0 2.0 ml/kg/h dengan sliding scale titrasi konsentrasi serum
sodium 145 155 mmol/L.
Efek samping yang dapat timbul dari pemberian mannitol adalah mannitol-
induced renal failure, maka osmolar gap (perbedaan antara perhitungan osmolar
dengan osmolar yang terukur) harus dibawah dari 55 mOsm/kg. Pemberian mannitol
juga dijaga agar tidak melebihi serum osmolaritas 320 mOsm/L. Berikut merupakan
formula untuk menghitung osmolaritas cairan.

Osmolaritas cairan;
2 (Na) + Glucose / 18 + BUN /2.8

Pemberian hipertonik saline menjadi pilihan utama pada pasien dengan hipotensi,
hipovolemia dan serum osmolalitas >320 mOsm/kg, gagal ginjal. Mekanisme kerja
hipertonik saline sama dengan mannitol dan efeknya mengurangi tekanan intrakranial
dalam waktu < 72 jam. Komplikasi pada pemberian jangka panjang pada hipertonik
saline akan menyebabkan mekanisme hemostatis otak untuk menyamakan osmotic
gradient dan menyebabkan secara hipotesis rebound edema. dimana bila hipertonik
saline dihentikan secara mendadak, terjadi perburukan edema. Pemberian hipertonik
saline yang diberikan terlalu cepat juga dapat menyebabkan resiko central pontine
myelinolysis. Hal ini dapat terjadi pada pasien dengan kondisi hiponatremia dan faktor
resiko komorbid, Pemberian hipertonik saline lebih baik dibandingkan mannitol pada
pasien dengan kondisi hipovolemik dan hipotensi, hal ini disebabkan mannitol
memiliki efek diuretik sedangkan hipertonik saline meningkatkan volume
intravaskular dan tekanan darah.

Terapi Hiperventilasi
Terapi hiperventilasi digunakan untuk menyebabkan kadar PaCO2 dalam
darah turun menjadi 2630 mmHg selama 2030 menit. Hal ini menyebabkan
penurunan tekanan intrakranial akibat vasokonstriksi pada arteri serebral dan
penurunan volume darah di serebral. Target PaCO2 tidak boleh dibawah <25 mmHg,
karena resiko dari vasokontriksi yang berlebihan menyebabkan resiko iskemik serebri
lokal. Efek vasokonstriksi pada terapi hiperventilasi, hanya bertahan 6 8 jam,
sebelum otak beradaptasi dapat dengan kondisi PaCO 2 yang baru. Hal ini
menyebabkan resiko rebound phase peningkatan tekanan intrakranial. Penghentian
hiperventilasi harus dilakukan secara bertahap dan perlahan selama 4 6 jam untuk
menghindari vasodilatasi dan peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak.

Terapi Barbiturates dan Terapi Hipotermia


Pemberian barbiturate sebagai terapi adalah untuk menginduksi electro-
encephalographic burst suppression sehingga menekan kebutuhan metabolik otak.
Hal ini akan menyebabkan menurunnya kebutuhan metabolism otak, diikuti dengan
menurunnya aliran darah ke otak sehingga mengurangi tekanan intrakranial dan
memberi efek neuroprotektan. Pentobarbital umumnya digunakan dengan dosis 5 20
mg/kg bolus, dan diikuti dengan 1 - 4 mg/kg/jam. Komplikasi hipotensi, membuat
obat vasopressor juga harus dipersiapkan pada pasien yang diberikan barbiturate.
Monitor ICP dan CPP serta EEG pada pasien dengan barbiturate adalah wajib.
Terapi hipotermia menurunkan tekanan intrakranial dengan cara menekan
kebutuhan metabolism serebral dan mengurangi aliran darah ke otak. Umumnya
pasien akan dikondisikan sehingga pasien dalam kondisi hipotermia (32 35 OC).
Pemberian terapi dilakukan sedini mungkin dan dipertahankan selama 2 5 hari, baru
diikuti dengan penghangatan secara perlahan. Studi mengatakan terapi ini memberi
efek positif terhadap angka survival dan prognosis pasien.

Terapi Kraniotomy Dekompresi


Kraniotomy dekompresi merupakan prosedur pembedahan emergensi pada
pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial yang terus memburuk sekalipun
dengan pemberian terapi medika-mentosa. Pembedahan dilakukan dengan cara
melepas sebagian batok tengkorak sehingga memberi ruang tambahan untuk
penambahan tekanan intrakranial. Indikasi dilakukan prosedur kraniotomy umumnya
karena massa lokal yang terus meluas dan progresi cepat dari herniation syndrome.
Dari beberapa studi mengatakan prosedur kraniotomy dekompresi membantu
menurunkan angka fatalitas serta meningkatkan prognosis pada pasien trauma kepala,
stroke dan subarachnoid hemorrhages.

Edema Serebri dan Hiperosmolar Terapi


Pada pasien dengan stroke iskemik luas, komplikasi yang paling ditakutkan
adalah edeme serebri dan stroke transformasi. Kedua hal ini dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial berat. Umumnya space-occupying edema ini muncul
2- 5 hari setelah insidensi stroke iskemik. Progresivitas brain edema yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan perburukan neurologis akibat kompresi jaringan otak
hingga menyebabkan komplikasi herniation syndrome. Umumnya prognosis pada
pasien dengan space-occupying hemispheric infarction adalah buruk, mortalitas
sekitar 80% sekalipun telah diterapi konservatif secara maksimal.
Edema serebri dibagi menjadi 2 tipe yaitu edema intrasellular (cytotoxic) dan
edema extrasellular (vasogenic). Edema cytotoxic berkembang dalam hitungan menit
setelah terjadi stroke iskemik. Hal ini disebabkan karena gagalnya pembentukan
energi, depolarisasi membrane serta akumulasi intrasellular Na+, menyebabkan air
masuk ke dalam sel otak. Penyebab utama terjadinya vasogenik edema adalah
rusaknya blood-brain barrier, sehingga meningkatkan permeabilitas dan perpindahan
protein dan cairan dari intravaskular menuju interstitial dan intrasellular kompartmen.
Akumulasi intrasellular Na+ pada kondisi edema cyototoxic, menciptakan perbedaan
tekanan gradient antara intrasellular dan ekstrasellular, yang mungkin menjadi
tekanan pendorong perpindahan air ke parenkim otak. Efek reperfusion injury pada
edema masih dalam perdebatan, akan tetapi dari beberapa studi yang ada, ditemukan
bahwan reperfusion injury dapat menyebabkan kerusakan blood brain barrier pada
pasien dengan stroke iskemik. Hal ini diduga terjadi saat ada tindakan untuk
melepaskan sumbatan, perfusi kembali otak yang telah iskemik akan menimbulkan
cascade inflamasi pada endothelial sel (ROS, Ca2+ influx, excitatory amino acids),
yang akhirnya menyebabkan kerusakan pada blood brain barrier. Bila hal ini terjadi,
dapat memicu edema vasogenik pada pasien stroke iskemik dan perburukan edema.
Pemberian terapi hiperosmolar merupakan salah satu terapi emergensi yang
dilakukan untuk mengurangi tekanan intrakranial maligna secara cepat. Dua agen
terapi hiperosmolar yang sering digunakan adalah Mannitol dan Hipertonik Saline.

Mannitol
Mannitol merupakan sugar alcohol (C6H14O6) dengan ukuran molekular 182
kDA, berfungsi sebagai agen osmotik dengan cara menarik air keluar dari ruang
interstitial dan intrasellular otak menuju intravaskular kompartmen melalui blood
brain barrier. Mannitol dieksreskan oleh ginjal, dimana difiltrasi di glomerulus dan
direabsorpsi di nefron. Jam paruh dari mannitol dengan GFR yang normal adalah
antara 40 menit hingga 105 menit (pada dosis 0.5 dan 0.71/kg). Mannitol digunakan
sebagai terapi pada akut, oliguria gagal ginjal, penurunan peningkatan tekanan
intraocular yang refractory, serta penurunan pada intrakranial hipertensi. Sebuah studi
meneliti, efek mannitol pada penurunan tekanan intrakranil mulai dalam hitungan
menit, dengan puncak 15 hingga 120 menit dan bertahan 1 hingga 5 jam.
Mekanisme kerja mannitol dalam menurunkan tekanan intrakranial adalah
dengan menaikkan osmotic gradient antara intravaskular dengan interstitial dan
intrasellular kompartmen melalui blood brain barrier. Hal ini akan menyebabkan
osmosis air dari parenkim otak, menurunkan volume otak serta mengurangi perifokal
edema. Selain itu mannitol, dengan mekanisme sekundernya, menaikkan plasma
volume, menurunkan viskositas hematocrit dan deformitas darah merah dan
memperlancar aliran darah ke otak. Hal ini menyebabkan meningkatnya aliran darah
serta oxygen ke otak yang menyebabkan mekanisme vasokonstriksi cerebral dan
menurunkan tekanan intrakranial.
Pemberian mannitol diberikan pada pasien dengan kegawat-daruratan tekanan
intrakranial hipertensi, akan tetapi belum ada indikasi mutlak kapan mannitol harus
segera diberikan. Pada sebuah studi, pemberian mannitol pada pasien dengan tekanan
intrakranial > 30 mmHg atau dengan tekanan perfusi otak < 70 mmHg, memberikan
dampak klinis yang positif dibandingkan kepada pasien dengan tekanan intrakranial
<30 mmHg atau dengan tekanan perfusi otak > 70 mmHg. Akan tetapi, pada praktek
klinis, pemberian mannitol diberikan berdasarkan tingkat keparahan klinis pasien.
Mannitol dapat diberikan pada dosis 0.25 2.0 g/kg/dose pada keadaan akut,
umumnya diberikan dalam bentuk 25% mannitol solution selama 2 20 menit. Dari
penelitian yang ada, pemberian mannitol dibawah dosis 0.5 g/kg tidak memberikan
efek penurunan tekanan intreakranial yang signifikan. Mekanisme penurunan tekanan
intrakranial oleh mannitol bersifat dose-dependant, hal ini dibuktikan dari sebuah
studi bahwa pemberian ada penurunan tekanan intrakranial yang signifikan pada
pemberian mannitol 100 mg dibandingkan 50 mg.
Pengawasan pada pasien dengan pemberian mannitol dapat dilakukan dengan
mengawasi nilai serum osmolaritas. Pemberian mannitol tidak boleh melewati 320
mOsm pada serum osmolalitas. Bila melewati, mannitol harus segera dihentikan
ataupun dititrasi. Hal ini digunakan sebagai langkah antisipasi mannitol-induced
acute renal failure. Akan tetapi beberapa studi, menjelaskan bahwa serum osmolaritas
tidak ada hubungan antara serum osmolaritas dengan resiko terjadinya mannitol-
induced renal failure. Osmolar gap merupakan perbedaan antara osmolaritas yang
dihitung dengan osmolaritas yang terukur. Osmolar gap memiliki nilai yang stabil,
baik pada populasi normal maupun pasien ICU, dan peningkatan osmolar gap
berkaitan dengan akumulasi mannitol. Pada osmolar gap <55 mOsm, angka insidensi
terjadinya mannitol-induced renal failure sangat jarang, akan tetapi pada osmolar gap
> 60 75 mOsm terdapat peningkatan insidensi dari mannitol-induced renal failure.
Dengan demikian Osmolar gap <55 mOSm dijadikan monitor pada pemberian
mannitol.
Pemberian mannitol yang berlebih dapat menimbulkan efek samping antara
lain; gagal ginjal akut (mulai ditemukan dengan dosis terendah 200g/hari),
abnormalitas elektrolit, acidosis, hipotensi dan gagal jantung dengan edema paru.
Mannitol-induced acute renal failure merupakan komplikasi pemberian mannitol,
yang dapat diperbaiki dengan penghentian mannitol serta atau inisiasi dialysis.
Indikator pasien dikatakan Mannitol-induced acute renal failure adalah adanya
peningkatan serum creatinine > 0.5 mg/dl pada nilai creatinine awalnya <2.0 mg/dl
atau naik >1.0 mg/dl pada creatinine awal >2.0 mg/dl. Dari studi dijelaskan bahwa,
pemberian mannitol selama 2- 5 hari dengan dosis >200 g/hari dengan total akumulasi
>419 gram, kira-kira baru dapat menyebabkan Mannitol-induced acute renal failure.
Faktor predisposes yang membantu terjadi Mannitol-induced acute renal failure
adalah hipotensi, sepsis, atau adanya penggunaan nephrotoxic agent atau keadaaan
patologi ginjal sebelumnya.

Hipertonik Saline
Hipertonik saline merupakan terapi penurunan tekanan intrakranial yang baik
pada pasien dengan lesi massa, trauma kepala, SAH, dan stroke. Pada beberapa studi,
mengatakan hipertonik saline lebih unggul dibandingkan mannitol dalam menurunkan
tekanan intrakranial. Mekanism kerja hipertonik saline sama dengan mannitol yaitu
dengan konsep osmosis, akan tetapi hipertonik saline juga bekerja dengan
meningkatkan kerja hemodinamik jantung dengan hasil akhir meningkatkan aliran
darah dan oksigen ke otak. Selain itu, hipertonik saline juga bekerja sebagai anti-
inflamatori agent dengan mengurangi adhesi leukosit dan insidensi terjadinya bocor
pada blood brain barrier.
Indikasi pemberian terapi hipertonik saline masih belum ada guideline yang
menentukan. Tanpa ada rekomendasi yang jelas, penggunaan hipertonik saline sangat
beragam sesuai dengan institusi kesehatan masing-masing. Pemberian hipertonik
saline dilakukan dapat dilakukan secara bolus menggunakan konsentrasi cairan yang
beragam (3 - 23.4% normal saline) ataupun dengan cara infusion rate. Umumnya
pemberian hipertonik saline dialkukan secara infusion rate yaitu menggunakan 3%
normal saline dengan dosis 1.0 2.0 ml /kg (infusion rate 75-150 ml/jam) dengan
sliding scale titrating konsetrasi serum sodium 145 155 mEq/L. Pemberian bolus
hipertonik saline pun dapat dilakukan dengan pemberian 300 ml 3% NaCl, atau 75 ml
7.5% HTS atau 30 ml NaCl 23.4% selama 20-30 menit.
Pemberian bolus hipertonik saline dapat digunakan sebagai terapi tunggal
ataupun terapi adjuvant untuk terapi infus hipertonik saline lanjutan. Bolus dose 3%
hipertonik saline (300 ml; 308 mosm/dose) mampu menaikkan serum sodium 141
146 mEq/l dalam waktu 20 menit. Pada studi yang berbeda pemberian 4 ml/kg bolus
7.5%HTS (14 mOsm/kg) mampu meningkatkan serum Na sebanyak 11 mEq. Pada
pemberian infusion rate hipertonik saline, seperti 3% NS, memberikan penurunan
tekanan intrakranial bila diberikan selama 3 hari. Akan tetapi penurunan tekanan
intrakranial akibat infusion hipertonik saline tidak mampu bertahan pada pemberian
terapi yang berkelanjutan (>3 7 hari).
Pemberian hipertonik saline yang berkepanjangan dapat menyebabkan
komplikasi gagal ginjal, elektrolit imbalance, central pontine myelinolysis, phelibitis,
dan phenomena rebound ICP. Untuk mencegah komplikasi gangguan ginjal pada
pasien dalam terapi hiperosmolar, pastikan serum osmolaritas pasien tidak diatas
>320-330 mOsm/l dan serum Na >155-165 mEq/l. Pemberian terapi hipertonik saline
menyebabkan hypernatremia dan hal ini menyebabkan elektrolit imbalance. Transien
hypokalemia merupakan efek samping paling umum setelah diberikan infusin
hipertonik saline. Hipertonik saline juga menyebabkan gangguan pH akibat menurun-
nya serum bicarbonate. Bila dibandingkan mannitol juga menyebabkan gangguan pH,
tetapi hipertonik saline menyebabkan gangguan yang lebih dibandingkan mannitol.
Pemberian hipertonik saline seharusnya dilakukan dengan central venous access, hal
ini disebabkan karena komplikasi yang dapat terjadi pada vaskularisasi perifer akibat
pemberian hipertonik saline jangka lama. Pemberian infus hipertonik saline melalui
vena perifer dapat menyebabkan komplikasi phlebitis, septic thrombophelebitis
hingga regional necrosis. Hal ini dibuktikan dari sebuah studi, pemberian infusan
hipertonik saline meningkatkan resiko phlebitis sebanyak 4% untuk 24 jam pertama,
4% pada 48 jam pertama, 14% pada 1 minggu pertama dan seterusnya. Hal ini
merupakan kontraindikasi pemberian terapi hiperosmolar jangka panjang melalui
vena perifer. Central pontine myelinolysis merupakan komplikasi yang paling
ditakutkan pada pemberian hipertonik saline yang terlalu cepat pada pasien dengan
hiponatremia, pasien dengan kondisi malnutrisi kronis, atau pasien alkoholik. Hal ini
disebabkan karena pergerakan air begitu cepat akibat hiperosmolar gradient
mendadak, menyebabkan iritasi pada myelin pons sehingga menyebabkan gambaran
defisit neurologis, kelemahan, hingga koma dan kematian. Peningkatan serum sodium
harus dibatasi tidak boleh melebihi 8 -12 mEq/L/24 hr pada pasien dengan resiko
pembentukan CPM. Akan tetapi pada pasien dengan normonatremi yang diberi
hipertonik saline dengan cepat, angka kejadian terjadinya central pontine myelenolisis
sangatlah jarang. Data pada model hewan menyatakan pemberian 20 ml/kg of 11.68%
NaCl via intraperitoneal menyebabkan kenaikan yang dratis konsentrasi NaCl dari
139 menjadi 167 mEq/l dalam waktu 6 jam, dan kenaikan tersebut diikuti dengan
munculnya gejala muscle twitching dan spasme, yang berprogresi ke koma dan
kematian dalam waktu 12 jam. Akan tetapi bila dilihat dari pemberian NaCl yang 10x
lipat lebih banyak dibandingkan yang digunakan secara klinis, serta penyebab
kematian yang belum pasti karena central pontine myelinolysis, menyebabkan
komplikasi ini masih diperdebatkan. Fenomena rebound ICP merupakan komplikasi
di mana terjadinya peningkatan tekanan intrakranial setelah penghentian hiperosmolar
terapi secara mendadak. Hipotesis yang muncul berkaitan dengan rebound ICP adalah
adanya mekanisme kompensasi otak untuk menyamakan gradient antara intravaskular
dan intrasellular, dengan meningkatkan konsentrasi protein di sel otak. Dengan
demikian penghentian terapi hiperosmolar secara mendadak akan menyebabkan
turunnya gradient osmosi di intravaskular tapi tanpa diikuti dengan penurunan
langsung dari gradient osmosis pada intrasellular, hal ini akan menyebabkan rebound
edema dan peningkatan tekanan intrakranial. Akan tetapi studi berkaitan dengan
fenomena rebound ICP masih sedikit dan butuh studi lebih lanjut.

Mannitol Vs Hipertonik Saline


Dari beberapa studi yang telah dilakukan, ditemukan antara lain: Schwarz et al
membandingkan penggunaaan mannitol dengan hipertonik saline (7.5%) pada pasien
dengan stroke iskemik(4). Pada 16 epsiode stroke iskemik dengan peningkatan tekanan
intrakranial >25 mmHg, 16 episode dikatakan responsif dengan pemberian hipertonik
saline, sedangkan hanya 10 dari 14 episode yang responsive dengan pemberian
mannitol. Kamel et al melakukan meta-analisi pada tahun 2011 tentang perbandingan
antara hipertonik saline dengan mannitol(7); hasilnya ditemukan 78% episode tekanan
intrakranial berhasil diturunkan dengan mannitol, sedangkan hipertonik saline
berhasil menurunkan 93% episode tekanan intrakranial. Dari studi menunjukkan
keunggulan hipertonik saline dibandingkan mannitol dalam menurunkan tekanan
intrakranial yang tinggi.

Kesimpulan
Secara klinis, kedua agen hiperosmolar terapi memberikan efikasi yang sama
pada penurunan tekanan intrakranial pada pasien dengan trauma kepala, edema tumor,
dan stroke. Mekanisme kerja kedua agen tersebut berkaitan dengan penyerapan cairan
melalui mekanisme osmosis, pengurangan viskositas darah dan deformitas sel darah
merah, dan meningkatkan cardiac ouput serta mikrovaskularisasi. Inisiasi pemberian
terapi hiperosmolar menunjukkan efektif bila diberikan pada pasien dengan tekanan
intrakranial > 30 mmHg, dan tekanan perfusi otak <70 mmHg. Hal ini diberikan
dengan tujuan menghindari akumulasi penggunaan mannitol yang tidak seharusnya.
Dosis rekomendasi mannitol adalah 0.252.0 g/kg tetapi pemberian dibawah <0.5
g/kg dinilai tidak efektif dan bertahan lama. Pada pemberian bolus hipertonik saline
pemberian dapat diberikan dari bentang 240 mOsm/dose (30 ml of 23.4%) hingga 650
mOsm/ dose (250 ml of 7.5%). Pada pasien dengan berat 70 kg, konsentrasi osmolar
bisa disamakan dengan 3.5 9 mOsm/kg/dose. Secara umum, efek samping yang
terjadi akibat pemberian terapi hiperosmolar adalah elektrolit imbalance, volume
overload, dan hipotensi akut. Komplikasi ginjal juga merupakan komplikasi dose-
dependent dari pemberian terapi hiperosmolar, di mana pemberian dengan mannitol
dengan dosis >200 mg/hari dapat menyebabkan mannitol-induced acute renal failure.
Hal ini dapat dicegah dengan mengawasi nilai osmolar gap pasien, di mana pemberian
mannitol hanya tidak boleh menyebabkan osmolar gap > 55 mOsm/kg. Dari beberapa
studi, telah direkomendasikan bahwa hipertonik saline lebih unggul dibandingkan
mannitol dalam menurunkan tekanan intrakranial. Kedua terapi memiliki keunggulan
dan kelemahan masing-masing, dan keduanya dapat saling melengkapi satu dengan
yang lain. Hal ini menunjukkan kedua terapi hiperosmolar masih memiliki peranan
penting dalam menurunkan tekanan intrakranial.
Daftar Pustaka

1. Treggiari MM, Schutz N, Yanez ND, Romand J-A. Role of intracranial


pressure values and patterns in predicting outcome of traumatic brain injury: a
systematic review. Neurocrit Care 2007; 6: 104-12.

2. Sadoughi, A. (2013). Measurement and Management of Increased Intracranial


Pressure [Abstract]. TOCCMJ The Open Critical Care Medicine Journal, 6(1),
56-65. doi:10.2174/1874828701306010056

3. Sankhyan,N.,Raju,K.N.,Sharma,S.,&Gulati,S.(2010).Managementof
Raised Intracranial Pressure. Indian J Pediatr The Indian Journal of
Pediatrics,77(12),14091416.doi:10.1007/s1209801001902

4. Singh, V., & Edwards, N. J. (2013). Advances in the Critical Care


Management of Ischemic Stroke. Stroke Research and Treatment, 2013, 1-
7.doi:10.1155/2013/510481

5. Tameem, A., & Krovvidi, H. (2013). Cerebral physiology. Contin Educ


AnaesthCritCarePainContinuingEducationinAnaesthesia,CriticalCare
&Pain,13(4),113118.doi:10.1093/bjaceaccp/mkt001

6. TorreHealy,A.,Marko,N.F.,&Weil,R.J.(2011).HyperosmolarTherapy
forIntracranialHypertension.NeurocriticalCareNeurocritCare,17(1),117
130.doi:10.1007/s120280119649x

7. H. Kamel, B. B. Navi, K. Nakagawa, J. C. Hemphill, and N. U. Ko,


Hypertonic saline versus mannitol for the treatment of elevated intracranial
pressure: a meta-analysis of randomized clinical trials, Critical Care
Medicine, vol. 39, no. 3, pp. 554559, 2011

8. Bardutzky, J., & Schwab, S. (2007). Antiedema Therapy in Ischemic Stroke.


Stroke, 38(11), 3084-3094. doi:10.1161/strokeaha.107.490193

You might also like