Professional Documents
Culture Documents
ASMA BRONKIALE
DISUSUN OLEH :
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BUDHI ASIH
PERIODE 1 APR 8 JUNI 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
1
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD BUDHI ASIH
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Ny Y Jenis kelamin : Wanita
Umur : 46 tahun Suku bangsa : Betawi
Status perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SMA
Alamat : Tanah 80 Tanggal masuk RS : 24 April 2013
A. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis, Tanggal 30 April 2013 , Jam 1400 WIB
Keluhan Utama:
Sesak nafas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
2
Riwayat Penyakit Dahulu.
Riwayat penggunaan obat bisoprolol dan PTU secara rutin sejak 1 bulan SMRS.
Riwayat hipertensi sejak tahun 2004. Jarang kontrol.
Riwayat asma sejak kecil. Jarang kambuh.
Riwayat alergi dingin (+), debu rumah (-), bulu hewan (-), makanan (-).
Riwayat pengapuran di lutut sejak 1 tahun lalu.
Riwayat vertigo waktu di SMP. Selesai berobat.
Riwayat diabetes mellitus dan jantung disangkal.
Riwayat Kebiasaan.
Olahraga 3 kali seminggu.
Riwayat Keluarga
Hubungan Umur (tahun) Jenis Kelamin Keadaan Penyebab
Kesehatan Meninggal
Nenek - Perempuan Meninggal Usia tua
(Asma)
Ayah - Laki-laki Meninggal Usia tua
(Hipertensi)
Ibu 68 Perempuan Asam Urat
Abang 51 Laki-laki Sehat
Kakak 48 Perempuan Vertigo
Pasien 46 Perempuan Asma,
Hipertiroid,
Hipertensi
Adik 43 Perempuan Sehat
Adik - Laki-laki Meninggal KLL
Adik 35 Laki-laki Sehat
Adik 33 Laki-laki Sehat
3
Anak ke-1 21 Laki-laki Sehat
Anak ke-2 18 Laki-laki Sehat
Anak ke-3 - Perempuan Meninggal DBD
Anak ke-4 - Perempuan Meninggal Keguguran
Darah tinggi
ANAMNESIS SISTEM
Catatan keluhan tambahan positif disamping judul-judul yang bersangkutan
Kulit
( - ) Bisul ( - ) Rambut ( + ) Keringat
( - ) Kuku ( - ) Kuning / Ikterus ( - ) Sianosis
( - ) Lain-lain ( - ) Petekie ( - ) Purpura
Kepala
( + ) Trauma kepala tahun 1991 KLL ( - ) Sakit kepala
4
( + ) Sinkop SMA 1988 ( - ) Nyeri pada sinus
Mata
( - ) Nyeri ( - ) Radang
( - ) Sekret ( + ) Gangguan penglihatan Rabun jauh
( - ) Kuning / Ikterus ( - ) Ketajaman penglihatan
Telinga
( - ) Nyeri ( - ) Gangguan pendengaran
( - ) Sekret ( - ) Kehilangan pendengaran
( - ) Tinitus
Hidung
( - ) Trauma ( - ) Gejala penyumbatan
( - ) Nyeri ( - ) Gangguan penciuman
( - ) Sekret ( - ) Pilek
( - ) Epistaksis
Mulut
( + ) Bibir kering ( - ) Lidah kotor
( - ) Gusi sariawan ( - ) Gangguan pengecap
( - ) Selaput ( - ) Stomatitis
Tenggorokan
( - ) Nyeri tenggorokan ( - ) Perubahan suara
Leher
( - ) Benjolan ( + ) Nyeri leher
Dada (Jantung/Paru)
( + ) Nyeri dada bila berdebar ( + ) Sesak nafas
( + ) Berdebar ( - ) Batuk darah
5
( - ) Ortopnoe ( + ) Batuk dahak putih, encer, tidak berbau
Abdomen (Lambung/Usus)
( - ) Rasa kembung ( - ) Wasir
( - ) Mual ( - ) Mencret
( - ) Muntah ( - ) Tinja darah
( - ) Muntah darah ( - ) Tinja berwarna dempul
( - ) Sukar menelan ( - ) Tinja berwarna hitam
( - ) Nyeri perut ( - ) Benjolan
( - ) Perut membesar ( + ) Sulit BAB
6
Ekstremitas
( - ) Bengkak ( - ) Deformitas ( + ) Nyeri sendi lutut kiri ( - ) Sianosis
BERAT BADAN
Berat badan rata-rata (Kg) : 59 kg
Berat tertinggi (Kg) : 60 kg
Berat badan sekarang (Kg) : 58 kg
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat lahir : ( ) Di rumah ( + ) Rumah Bersalin ( ) RS Bersalin ( ) Puskesmas
Ditolong oleh : ( ) Dokter ( + ) Bidan ( ) Dukun ( ) Lain-lain
Riwayat Imunisasi
( ) Hepatitis ( ) BCG ( ) Campak ( ) DPT
( ) Polio ( ) Tetanus *Pasien tidak tahu
Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari : 1 - 2 kali sehari
Jumlah / Hari : 2 piring
Nafsu makan : Biasa.
Pendidikan
( ) SD ( + ) SMA ( ) SLTP ( ) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan ( ) Akademi
( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah
Kesulitan
Keuangan : Tidak ada
Pekerjaan : Tidak ada
Keluarga : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
7
B. PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan : 150 cm
Berat Badan : 58 kg
Tekanan Darah : 140/100 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36.5 C
Pernafasaan : 20 x/menit (tipe thorako-abdominal)
Keadaan gizi : Baik
IMT : 25.8 kg/m2 (overweight)
Kesadaran : Compos mentis
Sianosis : Tidak ditemukan
Udema umum : (-)
Habitus : Pyknicus (pendek, gemuk)
Cara berjalan : Normal harus dibantu
Mobilitas ( aktif / pasif ) : Aktif harus dibantu
Umur menurut taksiran pemeriksa : Sesuai umur
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku : Wajar
Alam Perasaan : Wajar
Proses Pikir : Wajar
Kulit
Warna : Sawo matang Pigmentasi : Merata
Effloresensi : Tidak ditemukan Lembab/Kering : Lembab
Jaringan Parut : Tidak ditemukan Pembuluh darah : Tidak ada varises
Pertumbuhan rambut : Merata Turgor : Baik
Suhu Raba : Hangat Oedem : Tidak ada
Keringat : Banyak Ikterus : Tidak ada
Lapisan Lemak : Distribusi merata Lain-lain : Tidak ada
8
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : Tidak teraba membesar
Supraklavikula : Tidak teraba membesar
Lipat paha : Tidak teraba membesar
Leher : Tidak teraba membesar
Ketiak : Tidak teraba membesar
Kepala
Ekspresi wajah : Baik
Wajah : Simetris
Rambut : Panjang, hitam, distribusi merata
Pembuluh darah temporal : Teraba pulsasi
Mata
Exophthalamus : Tidak ada Endopthalamus : Tidak ada
Kelopak : Tidak oedem Lensa : Jernih
Konjungtiva : Tidak anemis Visus : Baik
Sklera : Tidak ikterik Gerakan Mata : Tiada hambatan
Lapangan penglihatan : Normal Tekanan bola mata : Tidak meningkat
Nistagmus : Tidak ada
Telinga
Tuli : Tidak ada Selaput pendengaran : Utuh
Lubang : Lapang Penyumbatan : Tidak ada
Serumen : Tidak ada Pendarahan : Tidak ada
Cairan : Tidak ada
Hidung
Dorsum nasi : Perubahan bentuk (-), perubahan warna (-), udema (-), krepitasi (-)
Vestibulum nasi : Sekret (-), furunkel (-), krusta (-)
9
Kavum nasi : Lapang, polip (-)
Konkha inferior : Eutrophi, udema (-)
Mulut
Bibir : Kering Tonsil : T1 T1, tenang
Langit-langit : Normal Bau pernapasan : Tidak ada
Gigi geligi : Tiada karies. Trismus : Tidak ada
Faring : Tidak hiperemis Selaput lendir : Normal
Lidah : Tidak kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5 + 2 cm H2O.
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar.
Kelenjar Getah Bening Leher : Tidak teraba membesar.
Dada
Bentuk : Datar, tidak cekung, simetris.
Pembuluh darah : Tidak melebar.
Paru paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi Kiri - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
- Fremitus taktil simetris - Fremitus taktil simetris
Kanan - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
- Fremitus taktil simetris - Fremitus taktil simetris
Perkusi Kiri Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
10
Auskultasi Kiri - Suara vesikuler - Suara vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-) - Wheezing (-), Ronki (-)
Kanan - Suara vesikuler - Suara vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-) - Wheezing (-), Ronki ( - )
Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus cordis tidak terlihat.
Palpasi : Teraba pulsasi iktus cordis 1 jari medial midklavikula kiri.
Perkusi :
Batas kanan : sela iga V, 1cm sebelah lateral linea sternalis kanan
Batas kiri : sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula kiri.
Batas atas : sela iga II linea parasternal kiri.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, Gallop tidak ada, Murmur tidak ada.
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis : Teraba pulsasi
Arteri Karotis : Teraba pulsasi
Arteri Brakhialis : Teraba pulsasi
Arteri Radialis : Teraba pulsasi
Arteri Femoralis : Teraba pulsasi
Arteri Poplitea : Teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : Teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : Teraba pulsasi
Perut
Inspeksi : Buncit sedikit, tidak ada lesi, tidak ada bekas operasi, simetris,,
tidak ada dilatasi vena
Auskultasi : Bising usus 3x/menit.
Palpasi
Dinding perut : Supel, tidak ada nyeri tekan
Hati : Tidak teraba
11
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement -/-
Perkusi : Redup.
Ginjal : Nyeri ketuk CVA -/-
Anggota gerak
Kekuatan +5 +5
12
Sendi Normal Normal
Kekuatan +4 +4
Refleks
Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
LABORATORIUM
Hasil laboratorium saat Rawat jalan ke Poli Neurologi, tanggal 19 Mar 2013, jam 1151 WIB
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
METABOLISME
KARBOHIDRAT
Glukosa Darah Puasa 106* mg/dL 70 100
Glukosa Darah 2 Jam PP 125 mg/dL 100 - 140
LEMAK
13
Kolestrol Total 168 mg/dL <200
Trigliserida 147 mg/dL <150
Kolestrol HDL 39* mg/dL >=40
Kolestrol LDL 99 mg/dL <100
GINJAL
Ureum 25 mg/dL 13-43
Kreatinin 0.90 mg/dL <1.1
Asam Urat 6.1* mg/dL <5.7
RINGKASAN
Pasien wanita, 46 tahun, datang dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari SMRS. Pasien
mengaku ada batuk berdahak, sesak sering pada malam hari, dada terasa berat saat sesak, sering
berkeringat, tidak tahan panas, dada berdebar-debar, kedua tangan gementar dan kedua kakinya
terasa kaku. Pasien menyangkal adanya sakit kepala, berat badan berkurang dan mencret. Nafsu
makan pasien biasa, tidak ada gangguan menstruasi. Pasien mempunyai riwayat hipertiroidisme,
asma, hipertensi dan pengapuran pada lutut. Pasien juga ada riwayat mengkonsumsi obat
bisoprolol dan propylthiouracil (PTU) secara rutin. Riwayat penyakit keluarga pasien
mempunyai asma, hipertensi dan asam urat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal kecuali tekanan
darah 140/100mmHg, bibir kering, kulit berkeringat banyak, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar, thoraks dan abdomen dalam batas normal, terdapat tremor pada tangan dan
penurunan kekuatan pada kaki.
Pada pemeriksaan laboratorium sebelum dirawat, didapatkan hiperurecemia.
14
Pasien mengeluh sulit mengeluarkan nafas, batuk dahak putih encer tidak berbau dan
sulit dikeluarkan, sesak pada malam hari, dada terasa berat, ada alergi dingin dan pasien
pernah dirawat inap pada bulan November 2012 dengan asma.
2. Hipertiroidisme
Dasar
Dari anamnesis:
Pasien mengeluh sering berkeringat, tidak tahan panas, dada berdebar-debar, kedua
tangan gementar. Pasien rawat jalan ke poli dengan hipertiroidisme. Riwayat
mengkonsumsi PTU secara rutin.
Pada pemeriksaan fisik:
Didapatkan tekanan darah 140/100mmHg, bibir kering, kulit berkeringat banyak, kelenjar
tiroid tidak teraba membesar, thoraks dan abdomen dalam batas normal, terdapat tremor
pada tangan dan penurunan kekuatan pada kaki.
15
3. Uji provokasi bronkus
4. Uji alergi
5. Foto thorax
6. Pemeriksaan sputum
7. Darah tepi
Hipertiroidsisme
1. TDH serum
2. T3, T4
3. Foto kelenjar tiroid
RENCANA PENGELOLAAN
Asma
1. Pencegahan : identifikasi dan hindari faktor pencetus.
2. Obat untuk pencegahan (pengontrol).
3. Obat untuk serangan asma (pelega).
Hipertiroidisme
1. Pengobatan jangka panjang obat antitiroid.
2. Pembedahan tiroidektomi.
3. Pengobatan dengan yodium radioaktif.
PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
FOLLOW UP (SOAP)
16
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
TD: 140/90 mmHg N: 84 x/menit Pernafasan :22 x/menit Suhu:36.5 C
Mata : konjungtiva tidak pucat
Mulut : bibir kering, tidak pucat
Jantung : bunyi jantung I dan II reguler, gallop tidak ada, murmur tidak ada
Paru : suara nafas versikuler, ronkhi tidak ada, wheezing ada.
Abdomen : datar, supel, nyeri tekan tidak ada, bising usus normal
Extremitas : akral hangat, tremor.
A:
- Asma akut
- Hipertiroidisme
P:
- IVFD Asering/8 jam + Lasal 2cc + Etaphylline 5cc
- Injeksi Dexametason 3x2 ampul
- Inhalasi combivent dan flexotide 3x/hari
- Oksigen 3L/menit
17
TD: 160/100 mmHg N: 152 x/menit Pernafasan :40 x/menit Suhu:36.5 C
Tanggal 25 April 2013, jam 1327 WIB (Lantai 5 Barat)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
ELEKTROLIT SERUM
Natrium (Na) 144 mmol/L 135-155
Kalium (K) 3.4* mmol/L 3.6-5.5
Klorida (Cl) 111* mmol/L 98-109
A:
1. Asma akut
2. Hipertiroidisme
3. Hipokalemia
P:
- IVFD Asering/8 jam + Lasal 2cc + Etaphylline 5cc
- Injeksi Dexametason 3x2 ampul
- Inhalasi combivent dan flexotide 3x/hari
- Oksigen 3L/menit
- Amlodipin 1x5mg
- BKIII 3x1
- EKG
18
19
A:
1. Asma
2. Hipertiroidisme
P:
- IVFD Asering/8 jam + Lasal 2cc + Etaphylline 5cc
- Inhalasi combivent dan flexotide 3x/hari
- Amlodipin 1x5mg
- BKIII 3x1
- Diazepam 2x2mg
20
- Diazepam 2x2mg
- PTU 3x100mg
- Trihexyphenidyl 2x1
21
Tanggal 30 April 2013, jam 1415 WIB
Os pulang
22
TINJAUAN PUSTAKA
ASMA BRONKIALE
A. Definisi Asma
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah-engah dan berarti serangan
nafas pendek (Price, 1995). Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala
wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara
episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman,
adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada
pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan (Nelson 1996).
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA)
didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini
menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada
malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang
luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap
berbagai rangsangan (GINA, 2006).
B. Epidemiologi Asma
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun,
sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum umur 4-5
tahun. Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan
sampai sedang, yang relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang
23
berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus dari pada yang musiman. Hal
tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah,
aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari (Sundaru, 2006).
Asma sudah dikenal sejak lama, tetapi prevalensi asma tinggi. Di Australia prevalensi asma
usia 8-11 tahun pada tahun 1982 sebesar 12,9% meningkat menjadi 29,7% pada tahun 1992.
Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi antara 3%-8%, penelitian di
Menado, Pelembang, Ujung Pandang, dan Yogyakarta memberikan angka berturut-turut
7,99%; 8,08%; 17% dan 4,8% (Naning, 1991).
Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, faktor risiko yang
berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor risiko yang
berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan asma yang disebut trigger faktor
atau faktor pencetus3). Adapun faktor risiko pencetus asma bronkial yaitu (PDPI, 2003):
1. Asap Rokok
2. Tungau Debu Rumah
3. Jenis Kelamin
4. Binatang Piaraan
5. Jenis Makanan
6. Perabot Rumah Tangga
7. Perubahan Cuaca
8. Riwayat Penyakit Keluarga
9. Lingkungan termasuk lingkungan kerja
10. Psikologis
Asap Rokok
Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang menghasilkan
campuran gas yang komplek dan partikel-partikel berbahaya. Lebih dari 4500 jenis
24
kontaminan telah dideteksi dalam tembakau, diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon
monoksida, karbon dioksida, nitrit oksida, nikotin, dan akrolein (GINA, 2006).
Perokok pasif
Anak-anak secara bermakna terpapar asap rokok. Sisi aliran asap yang terbakar lebih panas
dan lebih toksik dari pada asap yang dihirup perokok, terutama dalam mengiritasi mukosa
jalan nafas. Paparan asap tembakau pasif berakibat lebih berbahaya gejala penyakit saluran
nafas bawah (batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan serangan asma
(Chilmonczyk, 1993).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya asma meningkat pada anak yang
terpapar sebagai perokok pasif dengan OR = 3,3 (95% CI 1,41- 5,74) (Danusaputro, 2000).
Perokok aktif
Merokok dapat menaikkan risiko berkembangnya asma karena pekerjaan pada pekerja yang
terpapar dengan beberapa sensitisasi di tempat bekerja37. Namun hanya sedikit bukti-bukti
bahwa merokok aktif merupakan faktor risik berkembangnya asma secara umum.
Jenis Kelamin
Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Perbedaan jenis kelamin pada kekerapan asma bervariasi, tergantung usia dan mungkin
disebabkan oleh perbedaan karakter biologi. Kekerapan asma anak laki-laki usia 2-5 tahun
25
ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan sedangkan pada usia 14 tahun risiko
asma anak laki- laki 4 kali lebih sering dan kunjungan ke rumah sakit 3 kali lebih sering
dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma
pada laki-laki merupakan kebalikan dari insiden ini (Amu, 2006).
Peningkatan risiko pada anak laki-laki mungkin disebabkan semakin sempitnya saluran
pernapasan, peningkatan pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki
yang cenderung membatasi respon bernapas. Didukung oleh adanya hipotesis dari observasi
yang menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran udara laki-laki dan
perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkan perubahan ukuran rongga dada
yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan. Predisposisi perempuan
yang mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki mulai ketika masa puber, sehingga
prevalensi asma pada anak yang semula laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan
mengalami perubahan dimana nilai prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-
laki. Aspirin lebih sering menyebabkan asma pada perempuan (GINA, 2006).
Binatang Peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menjadi
sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan
pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang
sangat kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan
serangan asma, terutama dari burung dan hewan menyusui (Anonim, 2005).
Untuk menghindari alergen asma dari binatang peliharaan, tindakan yang dapat dilakukan
adalah:
1. Buatkan rumah untuk binatang peliharaan di halaman rumah, jangan biarkan binatang
tersebut masuk dalam rumah,
2. Jangan biarkan binatang tersebut berada dalam rumah,
3. Mandikan anjing dan kucing setiap minggunya.
Jenis Makanan
26
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang, berbagai
buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan menjadi penyebab asma38).
Makanan produk industri dengan pewarna buatan misal: (tartazine), pengawet (metabisulfit),
vetsin (monosodum glutamat-MSG) juga bisa memicu asma. Penderita asma berisiko
mengalami reaksi anafilaksis akibat alergi makanan fatal yang dapat mengancam jiwa.
Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut adalah kacang, ikan
laut dan telor39). Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus
asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokontriksi
pada 2% - 5% anak dengan asma (Handayani, 2004).
Meskipun hubungan antara sensitivitas terhadap makanan tertentu dan perkembangan asma
masih diperdebatkan, tetapi bayi yang sensitif terhadap makanan tertentu akan mudah
menderita asma kemudian, anak-anak yang menderita enteropathy atau colitis karena alergi
makanan tertentu akan cenderung menderita asma. Alergi makanan lebih kuat hubungannya
dengan penyakit alergi secara umum dibanding asma (GINA, 2006).
Perubahan Cuaca
27
Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat
menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih parah
berhubungan dengan badai dan meningkatnya konsentrasi partikel alergenik. Dimana
partikel tersebut dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan
tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas dan pengeluaran lendir yang
berlebihan. Ini umum terjadi ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin.
Udara yang kering dan dingin menyebabkan sesak di saluran pernafasan (Anonim, 2006).
Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan
mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi
karena secara fisiologis saluran nafas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan
udara distal tempat terjadinya obtruksi terjebak tidak bisa diekspirasi, selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernafas
pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini
bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan pertukaaran gas berjalan lancar (Sundaru,
2006).
28
Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat dinilai secara obyektif dengan Volume
Ekspirasi Paksa (VEP) atau Arus Puncak Ekspirasi (APE). Sedangkan penurunan Kapasitas
Vital Paksa (KVP) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran nafas
dapat terjadi baik pada di saluran nafas yang besar, sedang maupun yang kecil. Gejala mengi
menandakan ada penyempitan di saluran nafas besar (Sundaru, 2006).
Patologi asma berat adalah bronkokontriksi, hipertrofi otot polos bronkus, hipertropi
kelenjar mukosa, edema mukosa, infiltrasi sel radang (eosinofil, neutrofil, basofil,
makrofag), dan deskuamasi. Tanda-tanda patognomosis adalah krisis kristal Charcot-leyden
(lisofosfolipase membran eosinofil), spiral Cursch-mann (silinder mukosa bronkiale), dan
benda-benda Creola (sel epitel terkelupas) (Sundaru, 2006).
Penyumbatan paling berat adalah selama ekspirasi karena jalan nafas intratoraks biasanya
menjadi lebih kecil selama ekspirasi. Penyumbatan jalan nafas difus, penyumbatan ini tidak
seragam di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi,
memperburuk ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Hiperventilasi menyebabkan
penurunan kelenturan, dengan akibat kerja pernafasan bertambah. Kenaikan tekanan
transpulmuner yang diperlukan untuk ekspirasi melalui jalan nafas yang tersumbat, dapat
menyebabkan penyempitan lebih lanjut, atau penutupan dini (prematur) beberapa jalan nafas
total selama ekspirasi, dengan demikian menaikkan risiko pneumotoraks (Sundaru, 2006).
29
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom, imunologis, infeksi,
endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada berbagai individu. Aktivitas
bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Ujung
sensoris vagus pada epitel jalan nafas, disebut reseptor batuk atau iritan, tergantung pada
lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang aferens, yang pada ujung eferens merangsang
kontraksi otot polos bronkus. Neurotransmisi peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai
relaksasi otot polos bronkus. Neurotramnisi peptida vasoaktif merupakan suatu neuropeptida
dominan yang dilibatkan pada terbukanya jalan nafas (Sundaru, 2006).
Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah pemaparan terhadap
faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan ketombe. Bentuk asma inilah yang
paling sering ditemukan pada usia 2 tahun pertama dan pada orang dewasa (asma yang
timbul lambat), disebut intrinsik (Sundaru, 2006).
Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan dan
mentruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma membaik pada beberapa anak saat
pubertas. Faktor psikologis emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan
dewasa yang berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifat-sifat perilaku yang dijumpai pada
anak asma lebih sering dari pada anak dengan penyakit kronis lainnya (Sundaru, 2006).
30
<20%
Persisten Gejala >1x/minggu >2x sebulan VEP1 80% nilai
Ringan tapi <ix/hari prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variability APE
20%-30%
Persisten Gejala setiap hari >1x seminggu VEP1 60-80%
Sedang Serangan nilai prediksi
mengganggu APE 60-80%
aktivitas dan tidur nilai terbaik
Membutuhkan Variability APE
bronkodilator tiap >30%
hari
Persisten Gejala terus Sering VEP1 <60%
Berat menerus nilai prediksi
Sering kambuh APE <60% nilai
Aktivitas fisik terbaik
terbatas Variability APE
>30%
31
jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik (PDPI, 2003).
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal.
Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi.
Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran
objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan,
kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas;
maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk
mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan
ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat
tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala
lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot
bantu napas (PDPI, 2003)..
FAAL PARU
32
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya ,
demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga
dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi
dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru
digunakan untuk menilai (PDPI, 2003):
1. obstruksi jalan napas
2. reversibiliti kelainan faal paru
3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas
(standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi
(APE) (PDPI, 2003).
a. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80%
nilai prediksi (PDPI, 2003)..
33
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih
sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat
murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat
layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter
relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya
digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver
pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan
instruksi yang jelas (PDPI, 2003).
34
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)
- Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi
sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan persentase
dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari) (PDPI, 2003).
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan
dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi,
tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi
terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu
dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat
dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat
35
uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam
diagnosis alergi/ atopi (PDPI, 2003).
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding asma antara lain sbb :
Dewasa (PDPI, 2003).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun keatas dan
biasanya dengan riwayat paparan zat alergen dalam watu yang cukup lama.
Bronkitis kronik
Keluhan sesak nafas disertai dengan batuk produktif yang terus menerus selama 3
bulan dalam 2 tahun berturut turut.
Gagal Jantung Kongestif
Sesak biasanya hilang timbul dan kumat-kumatan. Keluhan sesak biasanya terjadi
setelah melakukan aktivitas. Selain itu sesak nafas juga terjadi pada saat tidur
telentang sehingga pasien akan merasa lebih nyaman jika tidur mnggunakan 2-3
buah bantal.
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Keluhan sesak biasanya bertahan lama. Hal ini disebabkan karena adanya
penyempitan permanen dari saluran pernafasan. Bunyi mengi juga akan terdengar
setiap saat.
Laringotrakeomalasia
Laringotrakeomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh melemahnya struktur
supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas
36
yang menimbulkan gejala utama berupa stridor. Kelainan ini dapat hadir sebagai
laringomalasia atau trakeomalasia saja.
Tumor
Keluhan sesak biasanya juga bertahan lama sama seperti tumor pada dewasa. Hal
ini disebabkan karena adanya penyempitan permanen dari saluran pernafasan.
Bunyi mengi juga akan terdengar setiap saat.
Bronkiolitis
Merupakan infeksi virus pada bronkiolus dan biasanya menyerang anak dibawah
usia 2 tahun
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis b2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat (PDPI, 2003).
37
Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan
kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperesponsif
dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan
melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat,
aman dan dari segi harga terjangkau (PDPI, 2003).
Asma Intermiten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan alergen, asmanya
kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal. Demikian pula penderita
exercise induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca buruk, tetapi di luar pajanan
pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru normal (PDPI, 2003).
Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin terjadi. Bila
terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya penderita diobati sebagai asma
persisten sedang (PDPI, 2003).
Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika dibutuhkan, atau
sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan alternatif kromolin atau leukotriene
modifiers; atau setelah pajanan alergen dengan alternatif kromolin. Bila terjadi serangan,
obat pilihan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral,
38
kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau antikolinergik
inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama 3 bulan, maka
sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan (PDPI, 2003).
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan
sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila penderita membutuhkan
pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari, pertimbangkan kemungkinan beratnya asma
meningkat menjadi tahapan berikutnya (PDPI, 2003).
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan ,
tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. . Alternatif agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral teofilin
kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak
39
digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol (PDPI,
2003).
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers dapat sebagai
alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai kombinasi dengan
glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai tambahan terapi selain kombinasi
terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika
sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal
mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping.
Pemberian budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis
tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama
dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek samping
lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan untuk memberikan
glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil atau sebagai
penatalaksanaan jangka panjang (PDPI, 2003).
40
Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/ frekuensi tanda-tanda (indikator) tersebut di
atas, alasan/ kemungkinan lain, penilaian dokter; maka tetapkan langkah terapi, apakah perlu
ditingkatkan atau tidak. Alasan / kemungkinan asma tidak terkontrol :
1. Teknik inhalasi : Evaluasi teknik inhalasi penderita
2. Kepatuhan : Tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan obat-obatan
asma
3. Lingkungan : Tanyakan penderita, adakah perubahan di sekitar lingkungan penderita
atau lingkungan tidak terkontrol
4. Konkomitan penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis, bronkitis dan
lain-lain
Bila semua baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain (PDPI, 2003).
41
dan agonis beta-2 ditambah Teofilin
kerja lama lepas lambat ,atau Ditambah
teofilin lepas
Glukokortikostero lambat
id inhalasi (400-
800 ug BD atau
ekivalennya)
ditambah agonis
beta-2 kerja lama
oral, atau
Glukokortikostero
id inhalasi dosis
tinggi (>800 ug
BD atau
ekivalennya) atau
Glukokortikostero
id inhalasi (400-
800 ug BD atau
ekivalennya)
ditambah
leukotriene
modifiers
Persisten Berat Kombinasi inhalasi Prednisolon/
glukokortikosteroid metilprednisolon
(> 800 ug BD atau oral selang sehari
ekivalennya) dan 10 mg
agonis beta-2 kerja ditambah agonis
lama, ditambah 1 di beta-2 kerja lama
bawah ini: oral, ditambah
42
- teofilin lepas teofilin lepas
lambat lambat
- leukotriene
modifiers
- glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi
asma tetap terkontrol (PDPI, 2003)
43
Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi
Initial Assesment
Riwayat, pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF,
Saturasi Oksigen
Initial Treatment
Oksigen smapai saturasi oksigen >90%, inhalasi 2-agonist kerja cepat (1jam), sistemik
glukokortikosteroid, sedatif di kontraindikasikan
44
Glukokortikosteroid inhalasi yang dapat digunakan pada penanganan Asma
Dewasa
Obat Dosis Harian Dosis Harian Dosis Harian
Rendah (g) Sedang (g) Tinggi (g)
Beclomethasone
dipropionate - 200-500 >500-1000 >1000-2000
CFC
Beclomethasone
dipropionate - 100-250 >250-500 >500-1000
HFA
Budesonide 200-400 >400-800 >8--0-1680
Ciclesonide 80-160 >160-320 >320-1280
Flunisolide 500-1000 >1000-2000 >2000
Fluticazone
100-250 >250-500 >500-1000
propionate
Mumetasone fuoat 200 400 >800
Triamcinolone
400-1000 >1000-2000 >2000
acetonide
Anak-anak
Obat Dosis Harian Dosis Harian Dosis Harian
Rendah (g) Sedang (g) Tinggi (g)
Beclomethasone
100-200 >200-400 >400
dipropionate
Budesonide 100-200 >200-400 >400
Budesenide neb 250-500 >500-1000 >1000
Ciclesonide 80-160 >160-320 >320
Flunisolide 500-750 >750-1250 >1250
Fluticazone
100-200 >200-500 >500
propionate
Mumetasone
100 >200 >400
fuoat
Triamcinolone
400-800 >800-1200 >1200
acetonide
(GINA, 2010).
45
Kriteria rawat inap dan pemulangan pasien asma
Pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada pre-treatment kurang dari 20% atau pasien dengan
nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment kurang dari 40% merupakan indikasi untuk
dilakukan rawat inap pada pasien asma. Pada pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-
treatment antara 40-60% dapat dipulangkan namun dengan syarat harus diawasi secara
adekuat. Sedangkan pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment lebih dari 60%
dapat langsung dipulangkan (GINA, 2010).
46
Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat
pengobatan
(PDPI, 2003).
47
I. Prognosis Asma Bronchial
Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang tidak disertai komplikasi. Hal ini
akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama observasi dan definisi. Prognosis
selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari kepustakaan didapatkan bahwa asma pada anak
menetap sampai dewasa sekitar 26% - 78% (Suyono, 2006).
Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih baik, kecuali kalau
mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat dermatitis atopik yang kemudian
disusul dengan rinitis alergik, akan memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk
menetapnya asma sampai usia dewasa. Asma yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya
berat dan sukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya mulai menderita
asma sewaktu anak. Karena itu asma pada anak harus diobati dan jangan ditunggu serta
diharapkan akan hilang sendiri. Komplikasi pada asma terutama infeksi dan dapat pula
mengakibatkan kematian (Suyono,2006).
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Amu FA, Yunus F. Asma Pra Mentruasi, Departemen Pulmonologi Respirasi, FKUI-
RS Persahabatan. Jakarta, Respir Indo Vol:26 No1, 1 Januari 2006 ; 28.
6. GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and
Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2006.
7. GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and
Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2010.
9. Naning R. Prevalensi Asma pada murid Sekolah Dasar di Kotamadya Yogyakarta, Bagian
Ilmu Kesehatan Anak, FK UGM, RSUP Dr. sarjito, Yogyakarta 1991.
10. Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak.Terjemahan Wahab S. Vol I: Jakarta. Penerbit EGC.
1996:775.
11. Konsensus PDPI. 2003. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta:PDPI
12. Price AS, Alih Bahasa anugrah PatofisiologiProses-proses Penyakit, EGC, 1995 ; 689.
13. Sundaru H, Sukamto, Asma Bronkial, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakulas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, juni 2006 ; 247.
14. Suyono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI
49