You are on page 1of 38

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah penyakit yang penularannya terutama


melalui hubungan seksual (Daili, 2007; Djuanda, 2007). Sejak tahun 1998, istilah STD mulai
berubah menjadi STI (Sexually Transmitted Infection), agar dapat menjangkau penderita
asimtomatik (Daili, 2009). Menurut WHO (2009), terdapat kurang lebih 30 jenis mikroba
(bakteri, virus, dan parasit) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang
paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhoeae, chlamydia, syphilis, trichomoniasis,
chancroid, herpes genitalis, infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan hepatitis B.

Dalam semua masyarakat, Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan penyakit yang
paling sering dari semua infeksi (Holmes,2005; Kasper, 2005). Infeksi Menular Seksual
(IMS) merupakan salah satu dari sepuluh penyebab pertama penyakit yang tidak
menyenangkan pada dewasa muda laki- laki dan penyebab kedua terbesar pada dewasa muda
perempuan di negara berkembang. Dewasa dan remaja (15- 24 tahun) merupakan 25% dari
semua populasi yang aktif secara seksual, tetapi memberikan kontribusi hampir 50% dari
semua kasus IMS baru yang didapat. Kasus-kasus IMS yang terdeteksi hanya
menggambarkan 50%- 80% dari semua kasus IMS yang ada di Amerika. Ini mencerminkan
keterbatasan screening dan rendahnya pemberitaan akan IMS (Da Ros, 2008).

Secara epidemiologi penyakit ini tersebar di seluruh dunia, angka kejadian paling
tinggi tercatat di Asia Selatan dan Asia Tenggara, diikuti Afrika bagian Sahara, Amerika
Latin, dan Karibean. Jutaan IMS oleh virus juga terjadi setiap tahunnya, diantaranya ialah
HIV, virus herpes, human papilloma virus, dan virus hepatitis B (WHO,2007). Di Amerika,
jumlah wanita yang menderita infeksi klamidial 3 kali lebih tinggi dari laki- laki. Dari seluruh
wanita yang menderitainfeksi klamidial, golongan umur yang memberikan kontribusi yang
besar ialah umur 15-24 tahun (CDC, 2008).

Di Indonesia sendiri, telah banyak laporan mengenai prevalensi infeksi menular


seksual ini. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi antara tahun 1999 sampai 2001
menunjukkan prevalensi infeksi gonore dan klamidia yang tinggi antara 20%-35% (Jazan,
2003). Selain klamidia, sifilis maupun gonore, infeksi HIV/AIDS saat ini juga menjadi
perhatian karena peningkatan angka kejadiannya yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu.

1
Jumlah penderita HIV/AIDS dapat digambarkan sebagai fenomena gunung es, yaitu
jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah sebenarnya. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia yang sebenarnya belum
diketahui secara pasti. Diperkirakan jumlah orang dengan HIVdi Indonesia pada akhir tahun
2003 mencapai 90.000 130.000 orang. Sampai dengan Desember 2008, pengidap HIV
positif yang terdeteksi adalah sebanyak 6.015 kasus. Kematian karena AIDS hingga tahun
2008 sebanyak 3.362 kematian (Depkes, 2009). Penyakit menular seksual juga merupakan
penyebab infertilitas yang tersering, terutama pada wanita. Antara 10% dan 40% dari wanita
yang menderita infeksi klamidial yang tidak tertangani akan berkembang menjadi pelvic
inflammatory disease (WHO, 2008).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Pegertian IMS (Infeksi Menular Seksual)


Infeksi menular seksual (IMS) disebut juga Penyakit Menular Seksual (PMS) atau
dalam bahasa Inggrisnya Sexually Transmitted Disease (STDs), Sexually Transmitted
Infection (STI) or Venereal Disease (VD). Dimana pengertian dari IMS ini adalah infeksi
yang sebagian besar menular lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular.
IMS disebut juga penyakit kelamin atau penyakit kotor (Ditjen PPM & PL, 1997).
IMS atau Seksually Transmitted Disease adalah suatu gangguan atau penyakit yang
ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui kontak hubungan seksual. IMS yang sering
terjadi adalah Gonorhoe, Sifilis, Herpes, namun yang paling terbesar diantaranya adalah
AIDS, kaena mengakibatkan sepenuhnya pada kematian pada penderitanya. AIDS tidak bisa
diobati dengn antibiotik (Zohra dan Rahardjo, 1999).
Menurut Aprilianingrum (2002), Infeksi Menular Seksual (IMS) didefinisikan sebagai
penyakit yang disebabkan karena adanya invasi organisme virus, bakteri, parasit dan kutu
kelamin yang sebagian besar menular melalui hubungan seksual, baik yang berlainan jenis
ataupun sesama jenis. Penyakit menular seksual adalah penyakit yang menyerang manusia
dan binatang melalui transmisi hubungan seksual, seks oral dan seks anal. Kata penyakit
menular seksual semakin banyak digunakan, karena memiliki cakupan pada arti' orang yang
mungkin terinfeksi, dan mungkin mengeinfeksi orang lain dengan tanda-tanda kemunculan
penyakit. Penyakit menular seksual juga dapat ditularkan melalui jarum suntik dan juga
kelahiran dan menyusui. Infeksi penyakit menular seksual telah diketahui selama ratusan
tahun. PMS menjadi pembicaraan yang begitu penting setelah muncul kasus penyakit AIDS
yang menelan banyak korban meninggal dunia, dan sampai sekarang pengobatan yang paling
manjur masih belum ditemukan. Apalagi komplikasi dari PMS (termasuk AIDS) bisa dibilang
banyak dan akibatnya pun cukup fatal, antara lain :
1. kemandulan
2. kecacatan
3. gangguan kehamilan
4. kanker
5. kematian
II. Gejala Umum Penyakit Menular Seksual

Gejala Perempuan Laki-laki


Luka Luka dengan atau tanpa rasa sakit, disekitar alat kelamin, anus,

3
mulut atau bagian tubuh yang lain. Tonjolan kecil-kecil, diikuti
luka yang sangat sakit di sekitar alat kelamin
Cairan tidak normal Cairan dari vagina bisa gatal, Cairan bening atau berwarna
kekuningan, kehijauan, berbau atau berasal dari pembukaan
berlendir. Duh tubuh bisa juga kepala penis atau anus.
keluar dari anus.
Sakit pada saat buang PMS pada wanita biasanya tidak Rasa terbakar atau rasa sakit
air kecil menyebabkan sakit atau burning selama atau setelah urination
urination terkadang diikuti dengan duh
tubuh dari penis
Perubahan warna kulit terutama di bagian telapak tangan atau kaki. Perubahan bias
menyebar ke seluruh bagian tubuh
Tonjolan seperti Tumbuh tomjolan seperti jengger ayam di sekitar alat kelamin
jengger ayam
Sakit pada bagian Rasa sakit yang muncul dan hilang,
bawah perut yang tidak berkaitan dengan
menstruasi bisa menjadi tanda
infeksi saluran reproduksi (infeksi
yang telah berpindah ke bagian
dalam system reproduksi, termasuk
servik, tuba falopi, dan ovarium)
Kemerahan Kemerahan pada sekitar alat Kemerahan pada sekitar alat
kelamin, atau diantara kaki kelamin, kemerahan dan
sakit di kantong zakar

III. Jenis-Jenis Penyakit Menular Seksual


1. Gonore
a) Definisi

Gonore merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Neisseria


gonorrhoeae yang bersifat purulen dan dapat menyerang permukaan mukosa
manapun di tubuh manusia (wanita : endoserviks dan kelenjar bartholine,

4
sedangkan pada pria : pada membrane mukosa uretra ). Sinonim : kencing nanah,
urethritis spesifik

b) Epidemiologi

Istilah gonore pertama kali digunakan oleh Galen di Yunani pada abad ke dua,
yang mengandung arti "benih yang mengalir. Gonore dapat ditemukan di seluruh
dunia, mengenai pria dan wanita pada semua usia terutama kelompok dewasa
muda dengan aktifitas seksual tinggi. Gonore umunmya ditularkan melalui
hubungan seks baik secara genito-genital, oro-genital dan ano-genital. Di samping
itu penularan juga dapat terjadi secara manual melalui alat- alat pakaian, handuk,
termometer serta penularan dari ibu kepada bayi saat melalui jalan lahir yang
manifestasinya dapat benrpa infeksi pada mata yang dikenal dengan blenorrhea.
Penularan dari pria kepada wanita lebih sering karena adanya retensi ejakulat yang
terinfeksi di dalam vagina.

Pada pria umumnya menyebabkan uretritis akut sementara pada wanita


menyebabkan servisitis yang biasanya asimptomatis. Faktor risiko untuk infeksi
Neisseria gonorrhoeae antara lain: status sosial ekonomi yang rendah, aktivitas
seksual yang dini, hidup serumah tanpa ikatan perkawinan, homoseksual,
heteroseksual, biseksual, adanya riwayat infeksi Neisseria gonorrhoeaea
sebelumnya, pengobatan gonore dengan antibiotik yang tidak adekuat dan seks
bebas.

c) Etiologi dan morfologi

Gonore disebabkan oleh gonokokus yang ditemukan oleh Neisser pada tahun
1879. Kuman ini masuk dalam kelompok Neisseria sebagai N.gonorrhoeae
bersama dengan 3 spesies lainnya yaitu, N.meningitidis, N.catarrhalis dan
N.pharyngis sicca. Gonokok termasuk golongan diplokokus berbentuk biji kopi
dengan lebar 0,8 u dan pajang 1,6u. Kuman ini bersifat tahan asam, gram negatif,
dan dapat ditemui baik di dalam maupun di luar leukosit. Kuman ini tidak dapat
bertahan hidup pada suhu 39 derajat Celcius, pada keadaan kering dan tidak tahan
terhadap zat disinfektan. Gonokok terdiri atas 4 tipe yaitu tipe 1, tipe 2, tipe 3 dan
tipe 4. Namun, hanya gonokok tipe 1 dan tipe 2 yang bersifat virulen karena
memiliki pili yang membantunya untuk melekat pada mukosa epitel terutama

5
yang bertipe kuboidal atau lapis gepeng yang belum matur dan menimbulkan
peradangan.

Gambar 1. N.gonorrhoeae

d) Gejala Klinis

Masa tunas gonore sangat singkat yaitu sekitar 2 hingga 5 hari pada pria.
Sedangkan pada wanita, masa tunas sulit ditentukan akibat adanya kecenderungan
untuk bersifat asimptomatis pada wanita. Keluhan subjektif yang paling sering
timbul adalah rasa gatal, disuria, polakisuria, keluar duh tubuh mukopurulen dari
ujung uretra yang kadang-kadang dapat disertai darah dan rasa nyeri pada saat
ereksi. Pada pemeriksaan orifisium uretra eksternum tampak kemerahan, edema,
ekstropion dan pasien merasa panas. Pada beberapa kasus didapati pula
pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral maupun bilateral.

Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dari pria. Pada
wanita, gejala subjektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati
kelainan objektif. Adapun gejala yang mungkin dikeluhkan oleh penderita wanita
adalah rasa nyeri pada panggul bawah yang diakibatkan dari menjalarnya infeksi
ke endometrium, tuba fallopi, ovarium dan peritoneu dan dapat ditemukan serviks
yang memerah dengan erosi dan sekret mukopurulen.

6
Gambar 2. Duh Tubuh

e) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Gram dengan menggunakan sediaan langsung dari duh uretra


memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terutama pada duh uretra pria,
sedangkan duh endoserviks memiliki sensitivitas yang tidak begitu tinggi.
Pemeriksaan ini akan menunjukkan N.gonorrhoeae yang merupakan bakteri gram
negatif dan dapat ditemukan baik di dalam maupun luar sel leukosit.

1. Kultur untuk bakteri N.gonorrhoeae umumnya dilakukan pada media


pertumbuhan Thayer-Martin yang mengandung vankomisin untuk
menekan pertumbuhan kuman gram positif dan kolimestat untuk menekan
pertumbuhan bakteri negatif-gram dan nistatin untuk menekan
pertumbuhan jamur. Pemeriksaan kultur ini merupakan pemeriksaan
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga sangat dianjurkan
dilakukan terutama pada pasien wanita.
2. Tes defenitif: dimana pada tes oksidasi akan ditemukan semua Neisseria
akan mengoksidasi dan mengubah warna koloni yang semula bening
menjadi merah muda hingga merah lembayung. Sedangkan dengan tes
fermentasi dapat dibedakan N.gonorrhoeae yang hanya dapat meragikan
glukosa saja.
3. Tes beta-laktamase: tes ini menggunakan cefinase TM disc dan akan
tampak perubahan warna koloni dari kuning menjadi merah.
4. Tes Thomson: tes ini dilakukan dengan menampung urine setelah bangun
pagi ke dalam 2 gelas dan tidak boleh menahan kencing dari gelas pertama
ke gelas kedua. Hasil dinyatakan positif jika gelas pertama tampak keruh
sedangkan gelas kedua tampak jernih.

f) Komplikasi

Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal
genitalia (Daili, 2009). Komplikasi lokal pada pria dapat berupa tisonitis,
parauretritis, littritis, dan cowperitis. Selain itu dapat pula terjadi prostatitis,
vesikulitis, funikulitis, epididimitis yang dapat menimbulkan infertilitas.
Sementara pada wanita dapat terjadi servisitis gonore yang dapat menimbulkan
komplikasi salpingitis ataupun penyakit radang panggul dan radang tuba yang

7
dapat mengakibatkan infertilitas atau kehamilan ektopik. Dapat pula terjadi
komplikasi 4 diseminata seperti artritis, miokarditis, endokarditis, perikarditis,
meningitis dan dermatitis. Infeksi gonore pada mata dapat menyebabkan
konjungtivitis hingga kebutaan (Behrman, 2009).

2. Sifilis
a) Definisi

Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, yang
merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Selama perjalanan penyulit ini dapat
menyerang seluruh organ tubuh. Sifilis adalah penyakit menular seksual (PMS) yang
bersifat kronis merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyerang seluruh
organ tubuh termasuk sistem peredaran darah, syaraf dan dapat ditularkan oleh ibu hamil
kepada bayi yang dikandungnya, sehingga menyebabkan kelainan bawaan pada bayi
tersebut. Sinonim : Raja Singa.

b) Etiologi

Penyebab sifilis adalah treponema pallidium, yang ditularkan ketika hubungan seksual
dengan cara kontak langsung dari luka yang mengandung treponema. Treponema dapat
melewati selaput lendir yang normal atau luka pada kulit. 10-90 hari sesudah treponema
memasuki tubuh, terjadilah luka pada kulit primer (chancre atau ulkus durum). Chancre
ini kelihatan selama 1-5 minggu dan kemudian sembuh secara spontan. Tes serologik
untuk sifilis biasanya nonreaktif pada waktu mulai timbulnya chancre, tetapi kemudian
menjadi reaktif sesudah 1-4 minggu. 2-6 minggu sesudah tampak luka primer, maka
dengan penyebaran treponema pallidium diseluruh badan melalui jalan darah, timbulah
erupsi kulit sebagai gejala sifilis sekunder.

Erupsi pada kulit dapat terjadi spontan dalam waktu 2-6 minggu. Pada daerah
anogenital ditemukan kondilomata lata. Tes serologik hampir seluruh positif selama fase
sekunder ini, sesudah fase sekunder, dapat terjadi sifilis laten yang dapat berlangsung
seumur hidup, atau dapat menjadi sifilis tersier. Pada sepertiga kasus yang tidak diobati,
tampak manifestasi yang nyata dari sifilis tersier.

c) Gambaran Klinis
1) Sifilis primer
Chancre atau ulkus durum kelihatan pada tempat masuknya kuman, 10-90 hari
setelah terjadinya infeksi. Chancre berupa papula atau ulkus dengan pinggir-

8
pinggri yang meninggi, padat, dan tidak sakit. Luka tersebut paa alat genital
biasanya terdapat vulva dan terutama pada labia, tetapi bisa juga pada serviks.
Luka primer kadang-kadang terjadi pada selaput lendir atau kulit ditempat lain
(hidung, dada, perineum, dan lain-lain), dan pemeriksaan medan gelap (dark-field)
perlu dilakukan usaha untuk menemukan treponema pallidium disemua luka yang
dicurigai. Tes serologik harus dibuat setiap minggu selama enam minggu.
2) Sifilis sekunder
Gejala pada kulit timbul kira-kira 2 minggu 6 bulan (rata-rata 6 minggu)
setelah hilangnya luka primer. Kelainan yang khas pada kulit bersifat
makulopapiler, folikuler, atau postuler. Karakteristik adalah alopesia rambut
kepala yang tidak rata (month eaten) pada daerah oksipital. Alis mata dapat
menghilang pada sepertiga bagian lateral. Papula yang basah dapat dilihat pada
daerah anogenital dan pada mulut. Papula ini dekenal dengan nama kondilomata
lata, dan mempunyai arti diagnostik untuk penyakit ini. Kondilomata lata agak
meninggi, berbentuk budar, 6 pinggirnya basah dan ditutup oleh eksudat yang
berwarna kelabu. Treponema pallidium dapat dijumpai pada luka ini dan tes
srologik biasanya positif. Limfadeno patia adalah tanda penting, kadang-kadang
splenomegali dijumpai juga. Aspirasi dengan jarum dari kelenjer limfe yang
bengkak pada biasanya menemukan cairan yang mengandung treponema
pallidium yang dapat dilihat pada pemeriksaan lapangan gelap.
3) Sifilis laten
Tidak mempunyai tanda-tanda atau gejala klinis. Tanda positif hanya serum
yang reaktif, dan kadang-kadang cairan spinal juga reaktif. Jika fase laten
berlangsung sampai 4 tahun, maka penyakit ini tidak menular lagi, kecuali pada
janin yang dikandung wanita yang berpenyakit sifilis.
4) Sifilis tersier
Kadang pada vulva ditemukan gumma. Disini ada kecendrungan bagi gumma
untuk menjadi ulkus nekrosis dan indurasi pada pinggirnya.
5) Sifilis dan kehamilan
Paling sedikit dua sepertiga dari wanita hamil dengan sifilis berumur 20-30
tahun. Efek sifilis pada kehamilan dan janin terutama tergantung pada lamanya
infeksi terjadi, dan pada pengobatannya. Jika penderita diobati dengan baik, ia
akan melahirkan bayi yang sehat. Jika ia tidak diobati, ia akan mengalami abortus,
atau aborataus prematurus dengan meninggal atau dengan tanda-tanda kongenital.
Apabila infeksi dengan sifilis terjadi pada hamil tua, maka plasenta
memberikan perlindungan terhadap janin dan bayi dapat dilahirkan sehat. Apabila
infeksi terjadi sebelum plasenta terbentuk dan dilakukan pengobatan segera,

9
infeksi pada janin mungkin dapat dicegah. Pada tiap pemeriksaan antenatal perlu
dilakukan tes serologik terhadap sifilis.

Gambar 3. Sifilis
d) Pengaruh Sifilis
Terhadap kehamilan:
a. Infeksi pada janin terjadi setelah minggu ke-16 kehamilan, dimana Treponema
telah dapat menembus barier plasenta.
b. Akibatnya: kelahiran mati dan partus Prematurus.
c. Bayi lahir dengan lues kongenital: Pemfigus sifilitus, dekskuamanasi telapak
tangan-kaki serta kelainan mulut dan gigi.
d. Bila ibu menderita baru 2 bulan terakhir tidak akan terjadi lues kongenital.
Terhadap janin dan neonates
Dahulu, sifilis merupakan penyebab dari 1/3 kasus lahir mati. Sifilis sekarang
memiliki peran yang kecil tetapi presisten dalam kematian janin. Spiroketa mudah
menembus placenta dan dapat menyebabkan infeksi congenital karna adanya
imunoinkompetensi relative sebelum 18 minggu, janin biasanya tidak
memperlihatklan gejala kllinis jika terinfeksi sebelum kurun ini. frekunsi sifilis
congenital bervariasi sesuai stadim damn durasi infeksi pada ibu.. insidensi
tertinggi adalah pada neonatus yang lahir dari ibu dengan sifilis dini ( primer,
sekunder, atau laten dini insidensi terendak pada penyakit laten lanjut ) penting di
ketahui bahwa stadim sifilis pada ibu dapat menyebabkan infeksi pada janin.
Infeksi sifilis congenital di bagi menjadi stadium dini yang bermanisvestasi pada
masa neonatus, dan penyakit stadim lanjut yang bermanivestasi pada remaja.
e) Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan


pemeriksaan laboratorium berupa :

1. Pemeriksaan lapangan gelap dengan bahan pemeriksaan dari bagian dalam


lesi, untuk melihat adanya T. Pallidum

10
a. Pemeriksaan lapangan gelap (dark field) Ruam sifilis primer,
dibersihkan dengan larutan Nacl fisiologis, serum diperoleh dari
bagian dasar lesi dengan cara menekan lesi dan serum akan keluar.
Diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak
imersi T. Pallidum berbentuk ramping, gerakan lambat dan angulasi.
b. Mikroskop fluoresensi Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas
objek, difiksasi dengan aseton. Sediaan diberi antibiotic spesifik
yang dilabel fluoresensi, kemudian diperiksa dengan mikroskop
fluoresensi. Peneliti lain melaporkan bahwa pemeriksaan ini dapat
member hasil non spesifik dan kurang dapat dipercaya dibandingkan
pemeriksaan lapangan gelap.
2. Penentuan antibody didalam serum Pada waktu terjadi infeksi treponema, baik
yang menyebabkan sifilis, frambusio atau pinta akan dihasilkan berbagai
variasi antibody. Beberapa tes yang dikenal sehari-hari yang mendeteksi
antibody non spesifik, akan tetapi dapat menunjukkan reaksi dengan IgM dan
IgG adalah :
a. Tes yang menentukan antibody nonspesifik :
Tes wasserman
Tes khan
Tes VDRL (Veneral Diseases Research Laboratory)
Tes RPR (Rapid Plasma Reagin)
Tes automated regain
b. Antibody terhadap kelompok antigen yaitu :
Tes RPCF (reiter protein complement fixation)
c. Yang menentukan antibody spesifik yaitu :
Tes TPI (Treponema Pallidum Immobilization)
Tes FTA ABS (Fluorescent Treponema Absorbed)
Tes TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay)
Tes ELisa (Enzyme Linked immune sorbent assay)
f) Cara Pencegahan

Tidak ada vaksin untuk mencegah terjangkitnya sifilis. Pencegahan dapat dilakukan
dengan: - Tidak berhubungan seksual dengan orang yang memiliki penyakit sifilis - Tidak
berganti-gantipasangan - Penyuluhan mengenai bahaya penyakit menular seksual (PMS)
pada masyarakat - Pemeriksaan darah pada ibu hamil melalui STS (Serological Test for
Syphilis) untuk menghindari terjadinya congenital sifilis Sifilis tidak menular melalui
pelukan, makan menggunakan peralatan makan yang sama, jabat tangan dan dudukan
toilet (Anonim,2007).

11
g) Penatalaksanaan
1. Wanita hamil dengan sifilis harus diobati sedini mungkin, sebaliknya sebelum
hamil atau pada trimester I untuk mencegah penularan terhadap janin.
2. Suami harus diperiksa dengan menggunakan tes ix Wasserman dan VDRL,
bila perlu diobati.
3. Terapi:
Suntikan Penisilin 6 secara intramuskular sebanyak 1 juta satuan
perhari selama 8-10 hari.
Obat-obatan per oral Penisilin dan etromisin.
Lues kongenital padaneonatus : Penisilin 6.100.000 satuan per kg berat
badn sekaligus.

Pemeriksaan penderita setelah pengobatan

1. Pemeriksa penderita sifilis harus dilakukan,bila terjadi infeksi ulang setelah


pengobatan,setelah pemberian penisilin 6, maka setiap pasien harus diperiksa
3 bulan kemudian untuk penentuan hasil pengobatan.
2. Semua penderita sifilis kardivaskuler dan neorosirilis harus diamati
bertahuntahun,trmasuk klinisserologis,dan pemeriksaan CSTG dan bila perlu
radiologis.
3. Pada semua tingkat sifilis,pengobatan ulang ulang diberikan bila:
tanda-tanda dan gejala klinis menunjukkan sifilis aktif yang perdsisten
atau berulang
terjadi kenaikan titer tes nontreponemal lebih dari dua
kalipengenceran ganda
pada mulanya tes neotreponemal dengan titer tinggi (>1/8) persisten
bertahan
4. Harus dilakukan pemeriksaan CSTG setelah diberi pengobatan,kecuali ada
infeksi ulang atau didonosis sifilis dini dapat ditegakkan.
5. Penderita harus diberi pengobatan ulang terhadap sifilis yang lebih dari 2
tahun. Pada hanya sekali pengobatan ulang dilakukan sebab pengobatan yang
cukup pada penderita akan stabil dengan titel rendah.

3. Herpes simpleks
a) Definisi

Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus
(HSV) tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas
kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan.

12
b) Epidemiologi

Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun
wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh herpes simpleks virus
(HSV) tipe I biasa pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasa terjadi pada
dekade II atau III dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual (Handoko,
2010). Infeksi genital yang berulang 6 kali lebih sering daripada infeksi berulang pada
oral-labial; infeksi HSV tipe II pada daerah genital lebih sering kambuh daripada infeksi
HSV tipe I di daerah genital; dan infeksi HSV tipe I pada oral-labial lebih sering kambuh
daripada infeksi HSV tipe II di daerah oral.Walaupun begitu infeksi dapat terjadi di mana
saja pada kulit dan infeksi pada satu area tidak menutup kemungkinan bahwa infeksi
dapat menyebar ke bagian lain (Habif, 2004).

c) Etiologi

Herpes simpleks virus (HSV) tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang
merupakan virus DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan
pada media kultur, antigenic marker dan lokasi klinis tempat predileksi (Handoko, 2010).
HSV tipe I sering dihubungkan dengan infeksi oral sedangkan HSV tipe II dihubungkan
dengan infeksi genital. Semakin seringnya infeksi HSV tipe I di daerah genital dan infeksi
HSV tipe II di daerah oral kemungkinan disebabkan oleh kontak seksual dengan cara
oral-genital (Habif, 2004).

Menurut Wolff (2007) infeksi HSV tipe I pada daerah labialis 80-90%, urogenital 10-
30%, herpetic whitlow pada usia< 20 tahun, dan neonatal 30%. Sedangkan HSV tipe II di
daerah labialis 10-20%, urogenital 70-90%, herpetic whitlow pada usia> 20 tahun, dan
neonatal 70%.

d) Patogenesis

Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa dan
bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan terus bereplikasi.
Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-saraf lainnya menginfeksi daerah yang lebih
luas. Setelah infeksi primer HSV masuk dalam masa laten di ganglia sensoris (Sterry,
2006). Infeksi rekuren: pengaktifan kembali HSV oleh berbagai macam rangsangan (sinar
UV, demam) sehingga menyebabkan gejala klinis (Sterry, 2006). Menurut Habif (2004)
infeksi HSV ada dua tahap: infeksi primer, virus menyerang ganglion saraf; dan tahap

13
kedua, dengan karakteristik kambuhnya penyakit di tempat yang sama. Pada infeksi
primer kebanyakan tanpa gejala dan hanya dapat dideteksi dengan kenanikan titer
antibody IgG. Seperti kebanyakan infeksi virus, keparahan penyakit meningkat seiring
bertambahnya usia. Virus dapat 13 menyebar melalui udara via droplets, kontak langsung
dengan lesi, atau kontak dengan cairan yang mengandung virus seperti ludah. Gejala yang
timbul 3 sampai 7 hari atau lebih setelah kontak yaitu: kulit yang lembek disertai nyeri,
parestesia ringan, atau rasa terbakar akan timbul sebelum terjadi lesi pada daerah yang
terinfeksi. Nyeri lokal, pusing, rasa gatal, dan demam adalah karakteristik gejala
prodormal.

Vesikel pada infeksi primer HSV lebih banyak dan menyebar dibandingkan infeksi
yang rekuren. Setiap vesikel tersebut berukuran sama besar, berlawanan dengan vesikel
pada herpes zoster yang beragam ukurannya. Mukosa membran pada daerah yang lesi
mengeluarkan eksudat yang dapat mengakibatkan terjadinya krusta. Lesi tersebut akan
bertahan selama 2 sampai 4 minggu kecuali terjadi infeksi sekunder dan akan sembuh
tanpa jaringan parut (Habif, 2004).

Virus akan bereplikasi di tempat infeksi primer lalu viron akan ditransportasikan oleh
saraf via retrograde axonal flow ke ganglia dorsal dan masuk masa laten di ganglion.
Trauma kulit lokal (misalnya: paparan sinar ultraviolet, abrasi) atau perubahan sistemik
(misalnya: menstruasi, kelelahan, demam) akan mengaktifasi kembali virus tersebut yang
akan berjalan turun melalui saraf perifer ke tempat yang telah terinfeksi sehingga terjadi
infeksi rekuren. Gejala berupa rasa gatal atau terbakar terjadi selama 2 sampai 24 jam dan
dalam 12 jam lesi tersebut berubah dari kulit yang eritem menjadi papula hingga
terbentuk vesikel berbentuk kubah yang kemudian akan ruptur menjadi erosi pada daerah
mulut dan vagina atau erosi yang ditutupi oleh krusta pada bibir dan kulit. Krusta tersebut
akan meluruh dalam waktu sekitar 8 hari lalu kulit tersebut akan reepitelisasi dan
berwarna merah muda (Habif, 2004).

Infeksi HSV dapat menyebar ke bagian kulit mana saja, misalnya: mengenai jari-jari
tangan (herpetic whitlow) terutama pada dokter gigi dan perawat yang melakukan kontak
kulit dengan penderita. Tenaga kesehatan yang sering terpapar dengan sekresi oral
merupakan orang yang paling sering terinfeksi (Habif, 2004). Bisa juga mengenai para
pegulat (herpes gladiatorum) maupun olahraga lain yang melakukan kontak tubuh
(misalnya rugby) yang dapat menyebar ke seluruh anggota tim (Sterry, 2006).

14
e) Gejala Klinis

Infeksi herpes simpleks virus berlangsung dalam tiga tahap: infeksi primer, fase laten
dan infeksi rekuren. Pada infeksi primer herpes simpleks tipe I tempat predileksinya pada
daerah mulut dan hidung pada usia anak-anak. Sedangkan infeksi primer herpes simpleks
virus tipe II tempat predileksinya daerah pinggang ke bawah terutama daerah genital.
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat sekitar tiga minggu dan sering
disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise dan anoreksia. Kelainan klinis yang
dijumpai berupa vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi
cairan jernih dan menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan dapat mengalami ulserasi
(Handoko, 2010).

Pada fase laten penderita tidak ditemukan kelainan klinis, tetapi herpes simpleks virus
dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis (Handoko, 2010). Pada
tahap infeksi rekuren herpes simpleks virus yang semula tidak aktif di ganglia dorsalis
menjadi aktif oleh mekanisme pacu (misalnya: demam, infeksi, hubungan 14 seksual) lalu
mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis yang lebih ringan dan berlangsung
sekitar tujuh sampai sepuluh hari disertai gejala prodormal lokal berupa rasa panas, gatal
dan nyeri. Infeksi rekuren dapat timbul pada tempat yang sama atau tempat lain di
sekitarnya (Handoko, 2010).

15
f) Pemeriksaan Penunjang

Herpes simpleks virus (HSV) dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan.Pada
keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi HSV. Dengan tes Tzanck dengan
pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi
intranuklear (Handoko, 2010).

Tes Tzanck dapat diselesaikan dalam waktu 30 menit atau kurang.Caranya dengan
membuka vesikel dan korek dengan lembut pada dasar vesikel tersebut lalu letakkan pada
gelas obyek kemudian biarkan mongering sambil difiksasi dengan alkohol atau
dipanaskan. Selanjutnya beri pewarnaan (5% methylene blue, Wright, Giemsa) selama
beberapa detik, cuci dan keringkan, beri minyak emersi dan tutupi dengan gelas penutup.
Jika positif terinfeksi hasilnya berupa keratinosit yang multinuklear dan berukuran besar
berwarna biru (Frankel, 2006).

Identifikasi virus dengan PCR, mikroskop elektron, atau kultur (Sterry, 2006). Tes
serologi menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) spesifik HSV 15
tipe II dapat membedakan siapa yang telah terinfeksi dan siapa yang berpotensi besar
menularkan infeksi (McPhee, 2007).

g) Diagnosa Banding

Herpes simpleks pada daerah sekitar mulut dan hidung harus dibedakan dengan
impetigo vesikobulosa.Pada daerah genital harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus
mole dan ulkus mikstum. Pada Barankin (2006) diagnosa banding HSV tipe I yaitu
stomatitis aftosa, penyakit tangan-kaki-mulut, dan impetigo.Sedangkan diagnosa banding
HSV tipe II yaitu chancroid, sifilis, dan erupsi oleh obat-obatan.

h) Penatalaksanaan

Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang mengandung
preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) atau preparat asiklovir
(zovirax).Pengobatan oral preparat asiklovir dengan dosis 5x200mg per hari selama 5 hari
mempersingkat kelangsungan penyakit dan memperpanjang masa rekuren.Pemberian
parenteral asiklovir atau preparat adenine arabinosid (vitarabin) dengan tujuan penyakit
yang lebih berat atau terjadi komplikasi pada organ dalam (Handoko, 2010).

16
Untuk terapi sistemik digunakan asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Jika pasien
mengalami rekuren enam kali dalam setahun, pertimbangkan untuk menggunakan
asiklovir 400 mg atau valasiklovir 1000 mg oral setiap hari selama satu tahun. Untuk obat
oles digunakan lotion zinc oxide atau calamine. Pada wanita hamil diberi vaksin HSV
sedangkan pada bayi yang terinfeksi HSV disuntikkan asiklovir intra vena (Sterry, 2006).

i) Komplikasi

Komplikasinya yaitu: pioderma, ekzema herpetikum, herpeticwhithlow, herpes


gladiatorum (pada pegulat yang menular melalui kontak), esophagitis, infeksi neonatus,
keratitis, dan ensefalitis (McPhee, 2007).

Menurut Hunter (2003) komplikasi herpes simpleks adalah herpes ensefalitis atau
meningitis tanpa ada kelainan kulit dahulu, vesikel yang menyebar luas ke seluruh tubuh,
ekzema herpeticum, jaringan parut, dan eritema multiforme.

j) Prognosis

Pengobatan dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit
berlangsung lebih singkat dan rekuren lebih jarang.Pada orang dengan gangguan
imunitas, infeksi dapat menyebar ke organ-organ dalam dan dapat berakibat fatal.

Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang
dewasa (Handoko, 2010). Penderita HSV harus menghindari kontak dengan orang lain
saat tahap akut sampai lesi sembuh sempurna. Infeksi di daerah genital pada wanita hamil
dapat menyerang 16 bayinya, dan wanita tersebut harus memberi tahu pada dokter
kandungannya jika mereka mempunyai gejala atau tanda infeksi HSV pada daerah
genitalnya (Shaw, 2006).

4. Ulkus Mole (Chancroid)


a) Definisi

Ulkus mole ialah penyakit infeksi genital akut, setempat, dapat inokulasi sendiri
(auto-inoculable), disebabkan oleh Haemophilus ducreyi atau Streptobacillus ducreyi
dengan gejala klinis khas berupa ulkus pada tempat masuk dan seringkali disertai supurasi
kelenjar getah bening regional.

17
b) Etiologi

Penyebabnya ialah H.ducreyi yang merupakan bakteri gram negative, anaerobic


fakultatif, berbentuk batang pendek dengan ujung bulat, tidak bergerak, tidak membentuk
spora dan memerlukan hemin untuk pertumbuhannya. Hanya mengenai orang dewasa
yang aktif. Lebih banyak pada pria.

c) Faktor resiko

Kulit berwarna lebih sering terkena penyakit ini. Banyak terdapat di daerah tropis dan
subtropis. Kebersihan dan hygiene berperan penting dalam penyebaran penyakit.

d) Patofisiologi

Penuakit ditularkan secara langsung melalui hubungan seksual. Predileksi pada


genital, jari, mulut, dan dada. Pada tempat masuknya mikroorganisme terbentuk ulkus
yang khas.

e) Gambaran klinis

Masa inkubasi sekitar 1-5 hari. Lesi mula-mula berbentuk macula atau papul yang
segera berubah menjadi pustule yang kemudian pecah membentuk ulkus yang khas,
antara lain: Multiple, Lunak, Nyeri tekan, Dasarnya kotor dan mudah berdarah, Tepi
ulkus menggaung, Kulit sekitar ulkus berwarna merah. Lokasi ulkus pada pria terletak di
daerah preputium, glans penis, batang penis, frenulum dan anus; sedangkan pada wanita
terletak di vulva, klitoris, serviks, dan anus. Lokasi ekstragenital pada lidah, bibir, jari
tangan, payudara, umbilicus, dan konjungtiva. Pembesaran kelenjar limfe inguinal tidak
multiple, terjadi pada 30% kasus yang disertai radang akut. Kelenjar kemudian melunak
dan pecah dengan membentuk sinus yang sangat nyeri disertai badan panas.

Variasi bentuk klinis.

18
Giant chancroid: ulkus hanya satu dan meluas dengan cepat serta bersifat
destruktif.Transient chancroid: ulkus kecil sembuh sendiri setelah 4-6 hari, disusul
perlunakan kelenjar limfe inguinal 10-20 hari kemudian.Ulkus mole serpiginosum: terjadi
inokulasi dan penyebaran dari lesi yang konfluen pada preputium, skrotum, dan paha.
Ulkus dapat berlangsung bertahun-tahun.Ulkus mole gangrenosum: suatu varian yang
disebabkan superinfeksi dengan bakteri fusosprikhetosis, sehingga menimbulkan ulkus
fagedenik. Dapat menyebabkan destruksi jaringan yang cepat dan dalam.Ulkus mole
folikularis (follicularis chancroid): timbul pada folikel rambut, terdiri atas ulkus kecil
multiple. Lesi ini dapat terjadi di vulva atau pada daerah genitalia yang berambut. Lesi ini
sangat superficial.Ulkus mole popular (ulcus molle elevatum): terdiri atas papul yang
berulserasi dan granulomatosa, dapat menyerupai donovanosis atau kondiloma lata sifilis
stadium II.

f) Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, gejala klinis yang khas dan pemeriksaan
langsung bahan ulkus yang diberi pewarnaan gram.

Pemeriksaan langsung bahan ulkus yang diambil dengan mengorek tepi ulkus yang
diberi pewarnaan gram. Pada sediaan yang positif ditemukan kelompok basil yang
tersusun seperti barisan ikan. Kultur pada media agar coklat, agar Muller Hinton atau
media yang mengandung serum dengan vancomysin. Positif bila kuman tumbuh dalam
waktu 2-4 hari (dapat sampai 7 hari). Tes serologi ito-Reenstierna, caranya 0,1 ml antigen
disuntikkan intradermal pada kulit lengan bawah. Positif bila setelah 24 jam atau lebih
timbul indurasi yang berdiameter 5 mm. Hasil positif setelah infeksi berlangsung 2
minggu akan terus positif seumur hidup. Tes ELISA dengan menggunakan whole lysed H.
ducreyi. Tes lain yang dapat digunakan adalah tes fiksasi komplemen, presipitin, dan
agglutinin.

g) Diagnosis banding

Herpes genitalis; kelainan kulitnya berupa vesikel berkelompok dan jika memecah
menjadi erosi.Sifilis stadium I; ulkusnya bersih, indolen, terdapat indurasi, dan tandatanda
radang akut tidak ada.Limfogranuloma venerium; afek primer tidak spesifik dan ceat
hilang. Terjadi pembesaran kelenjar getah bening inguinal, perlunakannya tidak
serentak.Granuloma inguinale; ulkus dengan granuloma, tidak tampak badan Donovan.

19
h) Penatalaksanaan

Obat sistemikAzitromycin 1 gr, oral, single dose.Seftriakson 250 mg dosis tunggal,


injeksi IM.Siprofloksasin 2x500 mg selama 3 hari.Eritromisin 4x500 mg selama 7
hari.Amoksisilin + asam klavunat 3x125 mg selama 7 hari.Streptomisin 1 gr sehari
selama 10 hari.Kotrimoksasol 2x2 tablet selama 7 hari. Obat localKompres dengan
larutan normal salin (NaCl 0,9%) 2 kali sehari selama 15 menit. Aspirasi abses
transkutaneus dianjurkan untuk bubo yang berukuran 5 cm atau lebih dengan fluktuasi
ditengahnya.

5. Trikomoniasis
a) Definisi

Trikomoniasis adalah suatu penyakit menular seksual pada vagina atau uretra yang
disebabkan oleh Trichomonas vaginalis.

b) Gejala

Gejalanya, pada wanita penyakit ini biasanya dimualai dengan keluarnya cairan dari
vagina yang berbusa dan berwarna kuning kehijauan. Pada pria, mengeluarkan
cairan berbusa atau cairan seperti nanah dari uretra, mengalami nyeri saat berkemih dan
desakan berkemih yang lebih sering. Gejala ini biasanya timbul pada pagi hari.

c) Diagnosa

Diagnosa, pada wanita biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan


mikroskopik terhadap contoh cairan vagina. Pada pria dilakukan pemeriksaan
mikroskopik terhadap sekret dari ujung penis yang diambil pada pagi hari sebelum
penderita berkemih dan sebagian dibiakkan di laboratorium. Jika hasil pemeriksaan
mikroskopik belum meyakinkan, bisa dilakukan pembiakan air kemih.

d) Penatalaksanaan

Pengobatan, Metronidazole dosis tunggal per-oral bisamenyembuhkan sampai 95%


penderita. Karena efektifitas tunggalpada penderita pria masih diragukan, maka kepada
penderita priaobat ini biasanya diberikan selama 7 hari.

6. HIV
a) Definisi
Virus HIV

20
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat
menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4
sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak
dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun.
Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang
biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel
darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh
maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung.
Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia terkena pilek biasa.
Penyakit AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang
merupakan dampak atau efek dari perkembang biakan virus hiv dalam tubuh
makhluk hidup. Virus HIV membutuhkan waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS
yang mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah
atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4
pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV. Ketika kita terkena Virus
HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS dibutuhkan waktu yang
lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS yang mematikan. Seseorang
dapat menjadi HIV positif. Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat
menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS.

b) Metode / Teknik Penularan dan Penyebaran Virus HIV AIDS


1) Darah Contoh : Tranfusi darah, terkena darah hiv + pada kulit yang terluka,
terkena darah menstruasi pada kulit yang terluka, jarum suntik, dsb.
2) Cairan Semen, Air Mani, Sperma dan Peju Pria Contoh : Laki-laki berhubungan
badan tanpa kondom atau pengaman lainnya, oral seks, dsb.
3) Cairan Vagina pada Perempuan Contoh : Wanita berhubungan badan tanpa
pengaman, pinjam-meminjam alat bantu seks, oral seks, dll.
4) Air Susu Ibu/ASI Contoh : Bayi minum asi dari wanita hiv +, Laki-laki
meminum susu asi pasangannya, dan lain sebagainya.
5) Cairan Tubuh yang tidak mengandung Virus HIV pada penderita HIV+ :
- Air liur / air ludah / saliva
- Feses / kotoran / bab / tinja
- Air mata
- Air keringat
- Air seni / air kencing / air pipis / urin / urine

c) Etiologi

21
Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus famili
ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan
retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di
dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki
retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan.

Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti
sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat
terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi
target utama HIV. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel
T. secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti
p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen.

Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam
flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi
(perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi. Pada masa
ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
serta test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode
jendela (window periode). Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa
tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula
penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya
penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa
dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8- 10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai
<200 sel/L.

Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung dengan
DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap
AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10
tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan
gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan
gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang
juga bertahap.

22
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan
gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan, demam lama,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dll. Virus
HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga akan menginfeksi
berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel
hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel
Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encefalopati dan
pada sel epitel usus adalah diare kronis.

d) Diagnosis

Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan
epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization
(WHO) tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya
ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien,
karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara
berkembang, sistem WHO untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan
laboratorium, sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers for
Disease Control (CDC) Amerika Serikat.

Tes Diagnostik :

1. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)


Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA
(enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi
terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit
lain juga bisa menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan false positif,
diantaranya penyakit autoimun ataupun karena infeksi. Sensivitas ELISA antara
98,1%-100% dan dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah.
2. Western Blot
Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang
yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya cukup
sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Tes Western Blot mungkin
juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena
itu, tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test
Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western Blot harus diulangi
lagi setelah 6 bulan.

23
3. PCR (Polymerase chain reaction)
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi
HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.

7. Infeksi Genital Non-Spesifik (IGNS)


a) Definisi

IGNS merupakan infeksi traktus genital yang disebabkan oleh penyebab yang
nonspesifik yang meliputi beberapa keadaan yaitu Uretritis Non-spesifik (UNS),
proktitis nonspesifik dan Uretritis Non-Gonore (UGN) (Lumintang, 2009).

b) Epidemiologi

Di dunia, WHO memperkirakan terdapat 140 juta kasus yang terjadi akibat
infeksi C.trachomatis. Terdapat 1,1 juta kasus dilaporkan di Amerika Serikat dengan
prevalensi tertinggi terjadi pada wanita diusia 15-24 tahun pada tahun 2007 (Struble,
2010).

Sedangkan di Indonesia, dari data yang diambil dari poliklinik IMS RS


dr.Pirngadi Medan didapatkan prevalensi UNG sebesar 54% pada tahun 1990-1991.
Di RSUP Denpasar prevalensi UNG/IGNS sebesar 13,8% pada tahun 1993-1994.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan terhadap kelompok pramuwaria di Jakarta
mendapatkan data prevalensi klamidia sebesar 35,48% dari 62 orang yang diperiksa
sedangkan pada pemeriksaan terhadap WTS di Medan menunjukkan prevalensi
sebesar 45% (Hakim, 2009).

c) Etiologi dan Morfologi

Penyebab 30% hingga 50% kasus IGNS adalah Chamydia trachomatis,


sedangkan kasus selebihnya umumnya disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum.
Chlamydia trachomatis, imunotipe D sampai dengan K, ditemukan pada 35 50 %
dari kasus uretritis non gonokokus. Klamidia yang menyebabkan penyakit pada
manusia diklasifikasikan menjadi tiga spesies, yaitu: (Struble, 2010)

1. Chlamydia psittaci, penyebab psittacosis.


2. C. trachomatis, termasuk serotipe yang menyebabkan trachoma infeksi alat
kelamin, Chlamydia conjunctivitis dan pneumonia anak dan serotipe lain
yang menyebabkan Lymphogranuloma venereum.

24
3. C. pneumoniae, penyebab penyakit saluran pernapasan termasuk pneumonia
dan merupakan penyebab penyakit arteri koroner.
d) Gejala klinis

Penting untuk mengetahui adanya koitus suspektus yang biasanya terjadi 1


hingga 5 minggu sebelum timbulnya gejala. Juga penting untuk mengetahui apakah
telah melakukan hubungan seksual dengan istri pada waktu keluhan sedang
berlangsung, mengingat hal ini dapat menyebabkan fenomena penularan pingpong
(Lumintang, 2009).

Menurut Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual Depkes RI, infeksi


melalui hubungan seksual ini pada pria muncul sebagai uretritis dan pada wanita
sebagai servisitis mukopurulen. Manifestasi klinis dari uretritis kadang sulit
dibedakan dengan gonorrhea dan termasuk adanya discharge mukopurulen dalam
jumlah sedikit atau sedang, terutama pada pagi hari (morning drops) dan dapat pula
berupa bercak di celana dalam, gatal pada uretra dan rasa panas ketika buang air
kecil. Infeksi tanpa gejala bisa ditemukan pada 1-25% pria dengan aktivitas seksual
aktif. Pada wanita, manifestasi klinis mungkin sama dengan gonorrhea, dan
seringkali muncul sebagai discharge endoservik mukopurulen, disertai dengan
pembengkakan, eritema dan mudah mengakibatkan perdarahan endoservik
disebabkan oleh peradangan dari epitel kolumner endoservik. Namun, 70 % dari
wanita dengan aktivitas seksual aktif yang menderita klamidia, biasanya tidak
menunjukkan gejala. Infeksi kronis tanpa gejala dari endometrium dan saluran tuba
bisa memberikan hasil yang sama. Manifestasi klinis lain namun jarang terjadi seperti
bartolinitis, sindroma uretral dengan disuria dan pyuria, perihepatitis (sindroma Fitz-
Hugh-Curtis) dan proktitis. Infeksi yang terjadi selama kehamilan bisa
mengakibatkan ketuban pecah dini dan menyebabkan terjadinya kelahiran prematur,
serta dapat menyebabkan konjungtivitis dan radang paru pada bayi baru lahir. Infeksi
klamidia endoserviks meningkatkan risiko terkena infeksi HIV. Infeksi klamidia bisa
terjadi bersamaan dengan gonorrhea, dan tetap bertahan walaupun gonorrhea telah
sembuh. Oleh karena servisitis yang disebabkan oleh gonokokus dan klamidia sulit
dibedakan secara klinis maka pengobatan untuk kedua mikroorganisme ini dilakukan
pada saat diagnosa pasti telah dilakukan. Namun pengobatan terhadap gonorrhea
tidak selalu dilakukan jika diagnosa penyakit disebabkan C. trachomatis.

25
e) Diagnosis

Diagnosa Uretritis Non Gonokokus (UNG) atau diagnosa servisitis non


gonokokus ditegakkan biasanya didasarkan pada kegagalan menemukan Neisseria
gonorrhoeae melalui sediaan apus dan kultur. Klamidia sebagai penyebab dipastikan
dengan pemeriksaan preparat apus yang diambil dari uretra atau endoserviks atau
dengan tes IF langsung dengan antibodi monoklonal, EIA, Probe DNA, tes
amplifikasi asam nukleus (Nucleic Acid Amplification Test, NAAT), atau dengan
kultur sel. NAAT bisa dilakukan dengan menggunakan spesimen urin. Organisme
intraseluler sulit sekali dihilangkan dari discharge.

Pada pemeriksaan sekret uretra dengan pewarnaan Gram ditemukan leukosit


lebih dari 5 pada pemeriksaan mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Pada
pemeriksaan mikroskopik sekret serviks dengan pewarnaan Gram didapatkan
leukosit lebih dari 30 per lapangan pandang dengan pembesaran 1000 kali. Tidak
dijumpai diplokokus negatif gram, serta pada pemeriksaan sediaan basah tidak
didapati parasit Trichomonas vaginalis (Lumintang,2009).

Pembiakan C.trachomatis yang bersifat obligat intraseluler harus dilakukan pada


sel hidup. Sel hidup ini dibiakkan dalam gelas kaca yang disebut biakan monolayer
seperti Mc Coy dan BHK yang dapat dilihat hasil pertumbuhannya pada hari ketiga.

f) Komplikasi

Komplikasi dan gejala sisa berupa salpingitis dengan risiko infertilitas, kehamilan
diluar kandungan atau nyeri pelvis kronis. Komplikasi dan gejala sisa mungkin
terjadi dari infeksi uretra pada pria berupa epididimitis, infertilitas dan sindroma
Reiter. Pada pria homoseksual, hubungan seks anorektal bisa menyebabkan proktitis
klamidia (Ditjen PP&PL).

8. Bakterial Vaginosis
a) Definisi

Vaginosis bakterial (VB) adalah sindrom klinis akibat pergantian Lactobacillus sp.,
penghasil hidrogen peroksidase (H2O2), yang merupakan flora normal pada vagina
dengan bakteri anaerob konsentrasi tinggi seperti: Bacteriodes sp., Mobilluncus sp.,
Gardnerella vaginalis dan Mycoplasma hominis. Vaginosis bakterial merupakan penyebab
utama timbulnya sekret vagina yang berbau tidak sedap pada wanita usia reproduktif.
26
Lactobacillus sp,. merupakan mikroorganisme yang mendominasi pada wanita dengan
sekret vagina normal. Mikroorganisme tersebut berperan dalam membantu pertahanan
lingkungan vagina terhadap patogen dengan menjaga keasaman pH vagina dan produksi
hidrogen peroksida (H2O) sebagai antimikroba.

b) Etiologi

Penyebab VB belum diketahui dengan pasti, namun secara epidemiologi dihubungkan


dengan aktifitas seksual. Ekosistem vagina normal sangat kompleks. Lactobacillus
merupakan spesies bakteri yang dominan pada vagina wanita usia produktif, tetapi bisa
juga terdapat bakteri-bakteri lain seperti bakteri aerob dan anaerob.

Pada saat terjadi VB, terdapat pertumbuhan berlebihan dari beberapa spesies bakteri,
dimana pada keadaan normal ada dalam konsentrasi rendah. Ada beberapa bakteri vagina
yang berhubungan dengan VB.

Gardnerella vaginalis adalah bakteri batang Gram negatif, pleomorfik, nonmotil dan
tidak berkapsul, terdapat > 90% pada wanita vaginosis bakterial. Gardnerella vaginalis
dipercaya berinteraksi dengan bakteri anaerob dan Mobilluncus hominis dan
menyebabkan VB.

Bakteri anaerob, Bacteroides sp. diisolasi sebanyak 76% dan Peptostrepcoccus


sebanyak 36% pada wanita dengan VB, pada wanita normal, kedua tipe anaerob jarang
ditemukan. Penemuan spesies anaerob ini dihubungkan dengan penurunan laktat dan
peningkatan suksinat dan asetat pada cairan vagina. 2 Mobilluncus sp., merupakan bakteri
batang anaerob lengkung yang bersama bakteri lain ditemukan pada VB.1-3 Mobilluncus
hominis, merupakan agen etiologi VB bersama-sama dengan Gardnerella vaginalis dan
bakteri anaerob. Konsentrasinya meningkat pada wanita dengan VB 100-1000 kali
daripada wanita normal.

c) Gejala klinis

Gambaran klinis yang umum terdapat pada VB adalah bau vagina yang khas berupa
bau amis seperti bau ikan. Hal ini disebabkan produksi senyawa amin berupa
trimethylamin, putresin dan cadaverin oleh bakteri anaerob. Senyawa amin ini banyak
menguap bila pH lingkungan meningkat, seperti saat berhubungan seksual dan saat

27
menstruasi. Duh tampak homogen, encer, bewarna putih keabu-abuan dan menempel
pada dinding vagina atau sering kali tampak pada labia atau fourchette.

d) Diagnosis

Karena tidak terdapat etiologi tunggal pada VB, kriteria klinis-kriteria Amsel
digunakan untuk menegakkan diagnosis VB. Berdasarkan kriteria ini, dikatakan VB
positif bila terdapat 3 dari 4 kriteria berikut : duh tampak homogen, encer dan bewarna
putih keabu abuan, peningkatan pH vagina > 4,5, adanya fishy odor dari cairan vagina
yang ditetesi KOH 10% (whiff test) dan ditemukan adanya clue cells pada pemeriksaan
mikroskop.

Identifikasi clue cells dapat dilakukan dengan menggunakan Nacl 0,9% (sediaan
basah). Pemeriksaan mikroskop pada sediaan basah kurang akurat dibandingkan dengan
pewarnaan Gram.4 Pada pewarnaan Gram semua sediaan hapusan menunjukkan bakteri
lain yang melekat pada sel epitel vagina.21 Dalam mendiagnosis vaginosis bakterial
dengan menggunakan kriteria Amsel, menunjukkan lebih dari 20 % clue cells dari total
populasi sel.

Metode lain yang digunakan adalah metode diagnostik secara mikrobiologis, yaitu
pemeriksaan skor Nugent dengan pewarnaan Gram, dimana metode ini telah terbukti
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dan digunakan sebagai baku emas
diagnostik. Pewarnaan Gram adalah pemeriksaan laboratorium yang cepat yang berguna
untuk melihat polimorfonuklear dan flora mikrobial. Metode Nugent pada pewarnaan
Gram berguna untuk mendeteksi pergeseran flora normal vagina oleh mikroorganisme
lain. Sistem skoring pada pewarnaan Gram dipakai sebagai metode standar untuk
diagnosis VB. Skoring berdasarkan tiga morfotipe, yaitu : bakteri batang Gram positif
besar (Lactobacillus), bakteri batang Gram negatif kecil atau variabel (Gardnerella dan
bakteri anaerob) dan bakteri batang bengkok Gram negatif/batang Gram variabel.

Kultur dapat digunakan untuk mengetahui secara spesifik flora penyebab VB. Kultur
Gardnerella vaginalis tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis, karena
Gardnerella vaginalis dan mikroorganisme lain dapat juga ditemukan pada hampir semua
wanita dengan sekret vagina normal. Kultur Gardnerella vaginalis yang positif tanpa ada
gejala klinis tidak memerlukan terapi. Kultur tidak digunakan pada pemeriksaan rutin
VB.

28
Pap smear tidak dapat digunakan untuk diagnosis VB karena sensitivitas rendah. Tes
diagnostik lain yang dapat digunakan adalah sistem deteksi yang cepat (rapid test) seperti
rapid card for detection pH amine, detection of proline aminopeptidase pada cairan
vagina, rapid colometric test for sialidae, BV Blue test, dan pemeriksaan oligonucleotida
probe berdasarkan konsentrasi G. vaginalis yang tinggi.

e) Penatalaksanaan

Pengobatan direkomendasikan pada wanita dengan gejala VB. Tujuan terapi pada
wanita tidak hamil adalah untuk menghilangkan tanda dan gejala infeksi vagina dan
mengurangi kemungkinan mendapatkan C. trachomatis, N. gonorrhoea, HIV dan penyakit
IMS lainnya.

Pengobatan VB yang direkomendasikan pada Sexual Transmitted Disease Treatment


Guideline 2010 oleh Centre for Disease Control and Prevention (CDC) berupa
metronidazol oral 2 x 500 mg selama 7 hari atau metronidazol gel 0,75% 1 aplikator
penuh (5 gram), intra vagina sekali sehari selama 5 hari atau klindamisin krim 2% 1
aplikator penuh (5 gram) saat mau tidur, selama 7 hari. Selain metronidazol dapat juga
diberikan terapi berupa klindamisin oral dengan dosis 2 x 300 mg selama 7 hari.
Pengobatan alternatif yang dianjurkan berupa tinidazol oral 1 x 2 gram selama 2 hari,
klindamisin ovules 100 mg intravagina saat mau tidur selama 3 hari.

Pria pasangan seksual wanita dengan VB tidak perlu diterapi. Beberapa penelitian
memperlihatkan tidak ada efek yang bermakna dari pengobatan terhadap pria pasangan
seksual dalam hal keluhan dan gejala klinis.

Pada masa kehamilan, pengobatan VB yang direkomendasikan pada Sexual


Transmitted Disease Treatment Guidelines 2010 oleh Centre for Disease Control and
Prevention (CDC) dapat diberikan metronidazol oral 2 x 500 mg selama 7 hari,
metronidazol 3 x 250 mg selama 7 hari, dan klindamisin oral 2 x 300 mg selama 7 hari.
Keuntungan terapi VB pada wanita hamil adalah dapat menurunkan gejala dan tanda-
tanda infeksi pada vagina dan menurunkan risiko infeksi komplikasi yang berhubungan
VB pada wanita hamil.

f) Komplikasi

29
Vaginosis bakterial paling banyak dihubungkan dengan komplikasi pada obstetri dan
ginekologi yaitu dalam kaitan kesehatan reproduksi.35,36 VB merupakan faktor resiko
gangguan pada kehamilan, resiko kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah.38
Selain itu VB juga merupakan faktor resiko mempermudah mendapat penyakit infeksi
menular seksual lain, yaitu gonore, klamidia, trikomoniasis, herpes genital dan Human
Imunodeficiency Virus (HIV). 33 VB meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HIV
melalui mekanisme diantaranya karena pH vagina yang meningkat, berkurangnya jumlah
Lactobacillus sp. Penghasil H2O2 dan produksi enzim oleh flora VB yang menghambat
imunitas terhadap HIV.

9. Limfogranuloma venereum
a) Definisi

Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksualyang disebabkan


oleh Chlamydia trachomatis serotype L1, L2, L3. Afek primer biasanya cepat hilang,
bersifat sistemik, mengenai sistem saluran pembuluh limfe dan kelenjar limfe, terutama
pada daerah genital, inguinal,anus dan rektum, dengan perjalanan klinis, akut, sub-akut,
atau kronis tergantung pada imunitas penderita dan biasanya berbentuk sindrom inguinal.
Sindrom tersebut berupa limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar getah bening
inguinal medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, kemudian
akan mengalami perlunakkan yang tak serentak.

b) Etiologi

Penyebab Limfogranuloma venereum (LGV) adalah Chlamydiatrachomatis, yang


merupakan salah satu organisme dari 4 spesies darigenus Chlamydia, yang memiliki
siklus pertumbuhan yang unik. Chlamydiatrachomatis memiliki sifat sebagian seperti
bakteri dalam hal pembelahansel, metabolisme, struktur, maupun kepekaan terhadap
antibiotika dankemoterapi, dan sebagian bersifat seperti virus yaitu memerlukan sel
hidupuntuk berkembang biaknya (parasit obligat intrasel). Spesies Chlamydia
trachomatis terdiri dari dua biovars yaitu trachomaatau organisme TRIC dan organisme
LGV. Organisme LGV sendiri terdiriatas 3 serovars yaitu L1, L2, L3. Chlamydia
berukuran lebih kecil dari bakteri, berdiameter 250-550 mm, namun lebih besar dari
ukuran virus pada ummunya. Di dalam jaringan pejamu, membentuk sitoplasma inklusi
yang merupakan patognomoni infeksi Chlamydia. Penyakit yang segolongan dengan
Limfogranuloma venereum ialahpsitakosis, trakoma, dan Inclusion conjunctivitis.

30
c) Gejala klinis

LGV adalah penyakit sistematik primer menyerang system limfatik,


dengan manisfestasi klinis dapat akut, subakut atau kronik, dengan komplikasi pada
stadium lanjut. Masa tunas penyakit ini adalah 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul
sebelum penyakitnya mulai dan biasanya menetap selama sindrom inguinal. Gejala
tersebut berupa malese, nyeri kepala, artralgia, anoreksia, nausea dan demam. Terdapat
perbedaan gambaran klinis pada pria dan dan wanita. Pada wanita jarang didapatkan lesi
primer genital dan bubo inguinal. Gambaran klinis LGV secara umum dapat dibagi
dalam 2 stadium, yaitu :

1. Stadium dini, yang terdiri atas : Lesi primer genital dan Sindrom inguinal
2. Stadium lanjut, dapat berupa: Sindrom ano-rektal dan Elefantiasis/Sindrom genital
(esthiomene)

Waktu terjadinya lesi primer hingga sindrom inguinal 3-6 minggu,sedangkan dari
bentuk dini hingga bentuk lanjut yaitu selam satu tahunhingga beberapa tahun.

d) Diagnosis
1. Tes Frei
Merupakan metode diagnosis pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis LGV (1930-1970).
Tes ini berdasarkan pada imunitas seluler terhadap virus LGV.
Bahandiambil dari aspirasi bubo yang belum pecah atau antigen yang
dibuat dari hasil pembiakan dalam selaput kuning telur embrio ayam,
nama dagang lygnanum.
Cara kerja.
- Caranya dengan menyuntikkan 0,1 ml antigen intradermal padalengan
bawah dengan kontrol pada lengan lainnya.
- Reaksi dibaca setelah 48-72 jam, hasil positif bila tampak
papuleritematosa dikelilingi daerah infaltrat dengan diameter >6 mm
dandaerah control negative.
- Hasil positif dalam waktu 2 sampai beberapa minggu (bahkansampai 6
bulan) setelah infeksi dan akan tetap positif untuk jangkawaktu lama
bahkan seumur hidup. Reaksi ini merupakan delayed intradermal yang
spesifik terhadap golongan Chlamydia Sehingga dapat member hasil
positif semu pada penderita dengan infeksi Chlamydia yang lain.
2. Tes Serologi
Tes serologi yang digunakan dalam pemeriksaan ini meliputi:

31
complement fixation tes (CFT)
radio isotop presipitation (RIP)
micro imunofluorescence (micro-IF) typing
3. Kultur Jaringan
Dilakukan dalam yolk sac embrio ayam atau dalam biakan sel dengan
bahanpemeriksaan dari aspirasi pus bubo yang belum pecah dapat member
konfirmasi diagnosis.
4. Sitologi
Dipaki untuk menemukan badan inklusi Chlamydia yang khas dari
kolonivirus, baik intraseluler maupun ekstraseluler. Specimen diambil dari
jaringanyang terinfeksi kemudian diwarnai dengan menggunakan metode
giemsa,iodine, dan antibodi fluoresen. Ssitologi tidak terlalu baik sebagai
metodeuntuk diagnosis pasti LGV karena spesimen sering kali
terkontaminasidengan bakteri dan artefak lain.
5. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk melihat asam nukleat spesifik Chlamydia trachomatis pada
kasus-kasus yang disebabkan organisme ini. Primer DNA yang digunakan
untuk mengetahui adanaya sekuens DNA di dalam plasmid atau membran
protein bagian luar Chlamydia trachomatis.
6. Biopsi histopatologi
Biopsy digunakan untuk menyingkirkan diagnose banding yang terseringyaitu
infeksi atipik dan neoplasia. Gambaran histopatologi berupa hyperplasia
folikuler dan abses dari kelenjar limfe yang tidak spesifik.
7. Test GPR
Tes GPR ini berdasarkan peningkatan globulin dalam darah. Dilakukan
dengan memberiakan beberapa tetes (1-2 tetes) formalin 40% pada 2 cc
serum penderita dan dibiarkan 24 jam. Hasil positif bila terjadi
penggumpalan (serum jadi beku). Tes ini tidak spesifik oleh karena dapat
positif pada penyakit lain.

Diagnosis LGV umumnya berdasarkan atas anamnesis adanya koitussuspektus


disertai gambaran klinis yang khas, dan hasil pemeriksaanpenunjang antara lain:

1. T es Frei positif
2. Tes fiksasi komplemen atau tes serologi lain untuk LGV positif
3. Isolasi Chlamydia dari jaringan yan terinfeksi pada kultur jaringan
4. Pemeriksaan PCR untuk Chlamydia
5. Pemeriksaan histology ditemukan Chlamydia dalam jaringan yang terinfeksi.

e) Penatalaksanaan

32
Penderita LGV akut dianjurkan untuk istirahat total dan diberikan terapi untukgejala
sistemik yang timbul yaitu meliputi terapi berikut.

Pengobatan

Rejimen yang direkomendasikan oleh National Guideline for themanagement


of Lymphogranuloma Venereum dan U.S Departement of health and Human
Services, Public Health Service Center for disease control and Prevention
adalah doksiklin yang merupakanpilihan pertama pengobatan LGV dosis 2 X
100 mg/hari selama 14-21hari atau tetrasiklin 2 gr/ hari atau minosiklin 300
mg diikuti 200 mg2X/hari.
Sulfonamid: dosis 3-5 gr/hari selama 7 hari.
Eritromisin: pilihan kedua, dosis 4 X 500 mg/hari selama 21 hari,terutama
pada kasus-kasus alergi obat golongan tetrasiklin padawanita hamil dan
menyusui.
Eritrhomycin ethylsuccinate 800 mg 4 X / hari selama 7 hari.
Kotrimoksasol (Trimetropin 400 mg dan sulfametoksasol 80 mg) 3 X 2tablet
selama 7 hari.
Ofloxacin 400 mg 2 X / hari selama 7 hari.
Levof loxacin 500 mg 4 X / hari selama 7 hari.
Azithromycin 1 gr dosis tunggal.

Pembedahan

Tindakan pembedahan dilakukan pada stadium lanjut di samping


pemberianantibiotika. Pada abses multipel yang berfluktuasi dilakukan aspirasi
berulangkarena insisi dapat memperlambat penyembuhan. Tindakan bedah antaralain
vulvektomi lokal atau labiektomi pada elefantiasis labia. Dilatasi denganbougie pada
struktur rekti atau kolostomi bila terjadi obstruksi total, abses perianal dan perirektal.
Proses ini mempunyai risiko untuk terjadinya perforasi usus, harus dibatasi pada yang
lunak, struktur yang pendek tidak berada dibawah peritoneum, dan jangan dilakukan
striktur muda terlepas (licin) atau jika terjadi perdarahan.Operasi plastik dilakukan
untuk elefantiasis penis, skrotum dan esthiomene.

Tidak ada satu prosedurpun yan diberikan tanpa didahului dengan


pemberianantibiotik, bahkan antibiotika harus diberikan beberapa bulan
sebelumdiputuskan untuk dilakukan tindakan bedah. Resolusi spontan dari

33
fibrosisLGV belum pernah tejadi, tetapi proses inflamasi dan diameter striktur
mungkin mengalami kemajuan yang dramatis dengan pengobatan antibiotika.

f) Komplikasi
Dapat terjadi ruptur bubonuli sehingga terbentuk sinus dan fistel.
Pada komplikasi jangka panjang dapat terjadi fibrosis dan jaringanparut pada
penis.
Pada wanita dapat terjadi servitis, perimetritis, dan salpingitis.
Pada komplikasi sistemik dapat menyebabkan infeksi pulmo,perikarditis,
arthritis, konjungtivitis dan meningitis.

10. Granuloma Inguinale


a) Definisi

Granuloma inguinale merupakan penyakit yang mengenai daerah genitalia, perianal,


dan inguinal dengan gambaran klinis berupa ulkus yang granulomatosa, progresif, tidak
nyeri, disebabkan oleh Calymmatobacterium Granulomatis.

b) Epidemiologi

Granuloma inguinale termaksuk salah satu dari lima penyakit kelamin klasik (bersama
dengan sifilis, gonore, limfogranuloma venerum, dan ulkus mole). Saat ini granuloma
inguinale sudah sangat jarang ditemukan, termaksuk di daerah yang sebelumnya endemis,
yaitu Papua New Guinea, Australia Tengah, Brazilia, Karibia, dan beberapa bagian India.

c) Etiopatogenesis

Organisme penyebab granuloma inguinale, yaitu Calymmatobacterium Granulomatis


atau disebut juga Klebsiella Granulomatis, merupakan batang, kadang-kadang berupa
kokobasil, Gram negatif. Penularan terjadi melalui kontak seksual, namun sebagian besar
pasangan seksual tidak terinfeksi. Kemungkinan penularan melalui jalur non-seksual
dikemukakan karena ditemukan penyakit pada anak yang tidak aktif seksual, serta jarang
timbul infeksi pada kelompok penjaja seks di daerah endemis. Beberapa kasus dapat
tertular melalui kontak feses dengan kulit tidak utuh.

d) Gambaran klinis

34
Masa inkubasi sulit ditentukan, berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan, dapat pula
sampai 1 tahun. Umumnya tidak dijumpai demam atau gejala sistemis lainnya. Penyakit
diawali dengan nodus subkutan tunggal atau multiple, kemudian mengalami erosi,
menimbulkan ulkus berbatas tegas, berkembang lambat, dan mudah berdarah. Ulkus
dapat dijumpai di daerah penis, vulva, labia mayor, serviks, mons pubis, kadang-kadang
perianal, jarang dapat mengenai di daerah luar genitalia.

Ulkus di daerah mukokutan yang progresif lambat dan dapat meluas. Ulkus tanpa rasa
nyeri, tunggal, kadang-kadang multiple. Tepi ulkus dapat meninggi, tidak teratur, batas
tegas, dan berindurasi. Dasar ulkus yang masih baru dipenuhi oleh cairan bewarna merah
darah. Pada ulkus yang sudah lama, dasar ulkus berupa jaringan granulasi, bewarna
merah daging, mudah berdarah, dengan cairan seropurulen yang berbau busuk, sedikit
atau tidak ada eksudat purulen; pus menandakan terjadi infeksi sekunder. Ulkus yang luas
dapat menetap dan bertambah luas selama beberapa tahun, meyerupai kanker.

Tidak terdapat limfadenopat. Kadang-kadang pembengkakan subkutan terlihat


didaerah inguinal membentuk massa yang disebut pseudobubo, akibat perluasan inflamasi
subkutan. Dapat terjadi penyebaran sistemik meskipun jarang, berupa lesi-lesi di hepar
dan tulang.

Terdapat empat varians klinis :

Ulsero granulomatosa atau nodular. Jaringan granulasi merah dan hipertropik yang
mudah berdarah.
Hipertropik: lesi-lesi eksofitik menyerupai veruka (verruciformis) dalam jumlah
banyak.
Nekrotik: ulkus dalam dengan destruksi jaringan yang luas.
Sklerotik: terutama fibrosis, kadang-kadang disertai dengan striktur uretra.
e) Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis. Pada apusan jaringan atau biopsi
menunjukkan gambaran badan donovan yang khas.

Pemeriksaan penunjang :

1. Apusan jaringan (tissue smear) yang diperoleh dari kerokan tepi jaringan ulkus
dan diwarnai dengan Giemsa,Wright, atau pewarnaan Leishman. Identifikasi

35
organisme secara histologis dlam vakuol di dalam sitoplasma makrofag (badan
donovan). Organisme berbentuk peniti (safety pin) atau pegangan telfon.
2. Kadang-kadang diperlukan biopsi (biopsi plong) bila terdapat kasus dugaan kuat
granuloma inguinale secara klinis, namun sediaan apusan jaringan secara berulang
selalu negatif; atau menyingkirkan kemungkinan keganasan.
f) Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan :

1. Lama pengobatan 3 minggu sampai 3 bulan, hingga sembuh


2. Bila bersamaan dengan infeksi HIV, diperlukan waktu pengobatan yang lebih
panjang.

Pengobatan spesifik berupa :

1. Doksisiklin 2 x 100 mg/hari, per oral


2. Azitromisin 1 gram per oral setiap minggu
3. Eritromisin base 4 x 500 mg/hari per oral
g) Komplikasi
Terjadi ulkus yang sangat besar
Destruksi dan deformitas genitalia
Jarang terjadi perubahan menjadi ganas.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, A.J. & Shoff, W.H., 2009. Gonorrhea, University of Pennsylvania.


Available from: http://emedicine.medscape.com/article/782913-overview [accessed
13 April 2010].
2. Daili, S.F., 2007. Tinjauan penyakit menular seksual (PMS). In: Djuanda, A,.
Hamzah, M., and Aisah, S., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 th ed. Jakarta : Balai
Penerbitan FKUI, 363-365.
3. Fahmi, Sjaiful D. 2003. Penyakit Menular Seksual. FK UI: Jakarta
4. Barankin, Benjamin, Freiman, Anatoli, 2006. Derm Notes Dermatology Clinical
5. Pocket Guide. Philadelphia: F. A. Davis Company. 98-100.
6. Berger, Timothy G., 2007. Skin, Hair, & Nails. In: McPhee, Stephen J., Papadaxis,
Maxine A., Tierney, Lawrence M. CURRENT Medical Diagnosis & Treatment.46th
Edition. San Francisco, California: McGraw- Hills.109- 111.
7. Graham-Brown, R., Burns, T., 2005.Infeksi Bakteri dan Virus. Dalam: Lecture Notes
Dermatologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga. 28-29.
8. Habif, Thomas P., 2004. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infections. In:
Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th Edition.
Philadelphia, Pennsylvania: Mosby.381-389
9. Judanarso, Jubianto. 2002. Ulkus Mole. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
edisi ketiga hal. 396-400. FK UI, Jakarta.
10. Martodiharjo, Sunarko. dkk. 2004. Ulkus Mole (chancroid). Dalam: Pedoman
Diagnosis dan Terapi Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. RSU dr.Soetomo
hal. 203-207. Surabaya.

37
38

You might also like