You are on page 1of 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak dan
disimpan dalam hati, serta tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi
dari luar (esensial). Vitamin ini berfungsi untuk penglihatan, pertumbuhan dan
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit (Depkes RI, 2005).
Sumber vitamin A bisa didapat dari produk hewani seperti susu, kuning telur,
hati, dan ikan. Sedangkan karoten yang berfungsi sebagai prekursor vitamin A
terkandung di dalam buah-buahan dan sayur-sayuran seperti, daun singkong, daun
kacang, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning,
pepaya, mangga, nangka masak, dan jeruk. Aktivitas vitamin A dinyatakan sebagai
Retinol Equivalents (RE). Satu RE sebanding dengan 3.33 International Unit (IU)
(Almatsier, 2004).
Menurut Tan KP (2008) dalam Eledrisi (2012) kadar vitamin A yang
direkomendasikan per harinya adalah 5000 International units (IU) untuk orang
dewasa dan 8000 IU untuk wanita hamil atau menyusui.
Hasil kajian berbagai studi menyatakan bahwa vitamin A merupakan zat gizi yang
esensial bagi manusia. Karena zat gizi ini sangat penting dan konsumsi makanan kita
cenderung belum mencukupi dan masih rendah sehingga harus dipenuhi dari luar.
Pada anak balita, KVA (Kekurangan Vitamin A) akan meningkatkan kesakitan dan
kematian, serta mudah terkena penyakit infeksi seperti diare, radang paru-paru,
pneumonia, dan akhirnya kematian. Akibat lain yang berdampak sangat serius dari
KVA adalah buta senja dan manifestasi lain dari xeropthalmia termasuk kerusakan
kornea dan kebutaan (Ilyas, 2008).
Adapun alasan mengapa kekurangan vitamin A masih dianggap sebagai suatu
masalah ialah karena penyakit ini masih menjadi salah satu dari empat masalah gizi
utama yang dihadapi Indonesia saat ini. Keempat masalah gizi utama tersebut antara
lain kurang kalori protein dan obesitas (masalah gizi ganda) kurang vitamin A,
gangguan akibat kurang iodium (GAKI), dan anemia zat besi. (Departemen Gizi dan
Kesehatan Masyarakat, 2010). Di samping itu ada studi lain yang mengatakan bahwa
pengetahuan kebanyakan ibu rumah tangga masih kurang baik mengenai manfaat
vitamin A. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Helen Keller International
Nutrition Bulletin dikatakan bahwa lebih dari 90% ibu-ibu memang pernah
mendengar tentang vitamin A. Namun, masih banyak ibu-ibu yang masih kurang
akan kesadaran terhadap target dari suplementasi vitamin A. Ditambah lagi hanya
55% dari ibu-ibu mengetahui bahwa vitamin A baik untuk kesehatan mata dan 39%
dari mereka mengetahui vitamin A mampu meningkatkan derajat kesehatan. (Helen
Keller International Nutrition Bulletin, 2001).
Cakupan suplementasi vitamin A pada anak pra sekolah di Indonesia sebesar
81,70% dengan jumlah anak pra sekolah yang memperoleh vitamin A sebanyak
15.068.779 anak. Cakupan ini secara nasional sudah memenuhi standar yaitu 80%
sesuai dengan indikator Indonesia Sehat 2010. Namun pada beberapa provinsi
cakupan suplementasi vitamin A-nya masih tergolong rendah. Ditambah lagi cakupan
tahun 2010 merupakan yang paling rendah selama empat tahun terakhir untuk
pemberian vitamin A pada anak pra sekolah (Profil Kesehatan Indonesia, 2010).
Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2010, persentase pemberian
kapsul vitamin A pada anak-anak pra sekolah di Sumatera Utara masih di bawah rata-
rata persentase seluruh provinsi di Indonesia. Juga didapati bahwa persentase
pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas di Sumatera Utara merupakan persentase
paling rendah di Indonesia (Profil Kesehatan Indonesia, 2010). Berdasarkan data ini,
dapat ditarik kesimpulan bahwa status pemberian kapsul vitamin A baik pada ibu
nifas maupun anak pra sekolah di Sumatera Utara masih tergolong kurang baik.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa pemberian dosis vitamin A yang
terlalu tinggi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan keracunan pada tubuh
(Kartasapoetra, 2008). Penyebab hipervitaminosis A umumnya dikategorikan
menjadi akut dan kronis. Hipervitaminosis akut terjadi dalam beberapa jam atau hari
setelah asupan yang sangat besar akibat terapi yang tidak tepat. Dosis toksis
diperkirakan adalah sekitar 25.000 IU/kg. Hipervitaminosis A kronik muncul setelah
mengonsumsi lebih dari 25.000 IU setiap hari (Eledrisi, 2012).
Dalam penelitian ini, peneliti memilih Posyandu wilayah kerja Puskesmas
Padang Bulan sebagai lokasi penelitian. Alasan peneliti memilih lokasi ini karena
Puskesmas Padang Bulan merupakan puskesmas yang memiliki posyandu terbanyak
dibanding puskesmas lain yang ada di Dinas Kesehatan Kota Medan. Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, peneliti perlu melakukan penelitian tentang gambaran
pengetahuan ibu rumah tangga tentang manfaat vitamin A bagi kesehatan mata di
posyandu wilayah kerja Puskesmas .

1.2. Rumusan Masalah


Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah pengetahuan
ibu rumah tangga tentang manfaat Vitamin A bagi kesehatan mata di posyandu
wilayah kerja Puskesmas?

1.3. Tujuan penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang
manfaat vitamin A bagi kesehatan mata di posyandu wilayah kerja Puskesmas.
1.3.2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang manfaat
vitamin A bagi kesehatan mata berdasarkan pendidikan
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang manfaat
vitamin A bagi kesehatan mata berdasarkan usia
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang manfaat
vitamin A bagi kesehatan mata berdasarkan sumber informasi

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi ibu rumah tangga
Sebagai bahan masukan bagi ibu rumah tangga agar dapat berperan sebagai
kunci utama dalam menyediakan dan mencukupkan kebutuhan vitamin A pada anak.
1.4.2. Bagi Posyandu wilayah kerja Puskesmas
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi para kader
posyandu di wilayah kerja puskesmas untuk meningkatkan edukasi mengenai
manfaat vitamin A terhadap kesehatan mata bagi ibu-ibu rumah tangga yang
berkunjung ke posyandu.
1.4.3. Bagi Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Diharapkan dapat menjadi masukan bagi Institusi sebagai data dasar untuk
melakukan penelitian selanjutnya.
1.4.4. Bagi peneliti
Sebagai masukan untuk menambah pengetahuan dalam menerapkan ilmu
penelitian yang diperoleh di bangku perkuliahan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan
2.1.1.Definisi Pengetahuan
Pengetahuan (Knowledge) merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia yakni: penglihfatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan atau Kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Menurut Rogers
(1974) dalam Notoadmodjo (2007), apabila suatu pembuatan yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perbuatan yang tidak didasari oleh
pengetahuan, dan apabila manusia mengadopsi perbuatan dalam diri seseorang
tersebut akan terjadi proses sebagai berikut :
a. Awareness (kesadaran) di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tertentu di sini sikap subjek
sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya terhadap stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, di mana subjek mulai melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.1.2.Cara Memperoleh Pengetahuan


Dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni :
a. Cara Tradisional atau Non Ilmiah
Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah. Cara-cara penemuan
pengetahuan pada periode ini antara lain meliputi :
1. Cara coba salah (trial and error). Cara coba salah ini dilakukan dengan
menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila
kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Bila
kemungkinan ketiga gagal dicoba kemungkinan ke empat dan seterusnya
sampai masalah tersebut dapat terpecahkan.
2. Cara kekuasaan atau otoritas. Pengetahuan diperoleh berdasarkan pada otoritas
atau kekuasaan baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama,
maupun ahli ilmu pengetahuan.
3. Berdasarkan pengalaman pribadi. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang
kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapi pada masa yang lalu. Apabila dengan cara yang digunakan maka
orang dapat pula menggunakan cara tersebut.
4. Melalui jalan pikiran. Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat
manusia, cara berpikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah
mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya.
b. Cara Modern Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih
sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah
(Notoatmodjo, 2010).

2.1.3.Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) pengetahuan yang dicakup di
dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu :
a. Know (tahu)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termaksud kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) suatu yang spesifik bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkatan pengetahuan yang paling
rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
b. Comprehension (memahami)
Memahami dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh menyimpulkan, meramalkan dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Application (aplikasi)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi atau telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dalam konsteks atau situasi yang lain.
d. Analysis (analisa)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
terdalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu dengan sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat
dari penggunaan kata-kata kerja : dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
e. Synthesis (sintesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru dari
formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluation (evaluasi)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian-penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini
didasarkan pada suatu kriteria-kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden (Notoatmodjo, 2007).

2.1.4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang menurut
Mubarak (2007) antara lain:
1. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain
terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Semakin tinggi pendidikan
seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi dan pada akhirnya
makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya.
2. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman
dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

3. Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik
dan psikologis (mental). Pada aspek psikologis atau mental taraf berpikir seseorang
akan semakin matang dan dewasa.
4. Minat
Merupakan suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu.
Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada
akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.
5. Pengalaman
Suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang kurang baik seseorang akan
berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap objek tersebut
menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang sangat mendalam dan
membekas dalam emosi kejiwaannya, dan akhirnya dapat pula membentuk sikap
positif dalam kehidupannya.
6. Kebudayaan lingkungan sekitar
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukkan sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya
untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya
mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan, karena lingkungan
sangat berpengaruh dalam pembentukkan sikap pribadi atau sikap seseorang.
7. Media informasi
Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat
seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.

2.2. Vitamin A
2.2.1. Pengertian
Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Secara luas,
vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan
prekursor/provitamin A/karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik sebagai
retinol (Almatsier, 2004).
Sedangkan menurut Depkes RI (2005), vitamin A merupakan salah satu zat
gizi penting yang larut dalam lemak dan disimpan dalam hati, tidak dapat dibuat oleh
tubuh, sehingga harus dipenuhi dari luar (esensial). Vitamin A berfungsi untuk
penglihatan, pertumbuhan dan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit.

2.2.2.Manfaat Vitamin A
Menurut Almatsier (2004), manfaat vitamin A antara lain:
a. Penglihatan
Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Bila kita
dari cahaya terang di luar kemudian memasuki ruangan yang remang-remang
cahayanya, maka kecepatan mata beradaptasi setelah terkena cahaya terang
berhubungan langsung dengan vitamin A yang tersedia didalam darah. Tanda
pertama kekurangan vitamin A adalah rabun senja. Suplementasi vitamin A dapat
memperbaiki penglihatan yang kurang bila itu disebabkan karena kekurangan
vitamin A.
b. Diferensiasi Sel
Diferensiasi sel terjadi bila sel-sel tubuh mengalami perubahan dalam sifat
atau fungsi semulanya. Perubahan sifat dan fungsi sel ini adalah salah satu
karakteristik dari kekurangan vitamin A yang dapat terjadi pada tiap tahap
perkembangan tubuh, seperti pada tahap pembentukan sperma dan sel telur,
pembuahan, pembentukan struktur dan organ tubuh, pertumbuhan dan
perkembangan janin, masa bayi, anak-anak, dewasa dan masa tua. Diduga vitamin A
memegang peranan aktif dalam kegiatan inti sel misalnya seperti pengaturan faktor
penentu gen terhadap sintesis protein. Pada diferensiasi sel terjadi perubahan dalam
bentuk dan fungsi sel yang dapat dikaitkan dengan perubahan perwujudan gen-gen
tertentu.
c. Fungsi Kekebalan
Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada manusia.
Mekanisme sebenarnya belum diketahui secara pasti. Namun diduga kekurangan
vitamin A dapat menurunkan respon antibody yang bergantung pada limfosit yang
berperan sebagai kekebalan pada tubuh seseorang.
d. Pertumbuhan dan Perkembangan
Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang
membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A,
pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang tidak normal. Pada anak anak
yang kekurangan vitamin A, terjadi kegagalan dalam pertumbuhannya. Dimana
vitamin A dalam hal ini berperan sebagai asam retinoat.
e. Reproduksi
Vitamin A penting untuk mempertahankan fungsi saluran kelamin pria dan
spermatogenesis. Dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa vitamin A juga
berperan dalam mekanisme awal meiosis pada pembentukan sel telur selama proses
embriogenesis dan pada sel sperma sesudah lahir. (Clagett-Dame, 2011).
f. Pencegahan kanker dan penyakit jantung
Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan
meningkatkan aktivitas sistem kekebalan diduga berpengaruh dalam pencegahan
kanker, terutama kanker kulit, tenggorokan, paru-paru, payudara dan kantung kemih.
Di samping itu beta-karoten yang bersama vitamin E dan C berperan sebagai
antioksidan dan diduga dapat pula mencegah kanker paru-paru.
g. Lain-lain
Kekurangan vitamin A juga menyebabkan berkurangnya nafsu makan. Hal ini
mungkin karena perubahan pada jonjot rasa pada lidah. Vitamin A juga berperan
dalam pembentukan sel darah merah, kemungkinan melalui interaksi dengan besi.

2.2.3. Sumber Vitamin A


Menurut Kemenkes RI, 2010, sumber vitamin A tidak hanya berasal dari
kapsul vitamin A melainkan dari sayur-sayuran, air susu ibu dan lain-lain. Berikut
dijabarkan sumber-sumber vitamin A:
1. Air susu ibu
2. Bahan makanan hewani seperti kuning telur, hati, daging, ayam, dan bebek.
3. Buah-buahan berwarna kuning dan jingga seperti pepaya, mangga masak,
alpukat, jambu biji merah dan pisang.
4. Sayuran berwarna hijau tua dan warna jingga seperti bayam, daun singkong,
kangkung, daun katuk, daun kelor, labu kuning, tomat dan wortel.
5. Bahan makanan yang difortifikasi seperti margarine, dan susu.

Tabel 2.1. Nilai vitamin A dalam berbagai bahan makanan (RE /100g)
Bahan Makanan RE Bahan Makanan RE

Hati Sapi 13170 Daun katuk 3111


. Kuning telur ayam 861 Sawi 1940
Kuning telur bebek 600 Kangkung 1890
Ayam 243 Bayam 1827
Ginjal 345 Ubi Jalar Merah 2310
Ikan Sarden (kaleng) 250 Mentega 1287
Minyak ikan 24000 Margarin 600
Minyak kelapa sawit 18000 Susu bubuk Full Cream 471
225
Minyak hati ikan hiu 2100 Keju
Wortel 3600 Susu kental manis 153
Daun singkong 3300 Susu segar 39
Daun pepaya 5475 Mangga masak pohon 1900
Daun lamtoro 5340 Pisang Raja 285
Daun tales 3118 Tomat masak 450
Daun Melinjo 3000 Semangka 177

(Daftar Analisis Bahan Makanan, FKUI dalam Almatsier, 2004)


Depkes RI (2003) menyusun bahan makanan berdasarkan satuan Ukuran
Rumah Tangga (URT) seperti yang dipaparkan dalam tabel berikut:
2.2.4. Kebutuhan akan Vitamin A
Pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan
kelangsungan hidup secara normal. Kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang
Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dalam Widyakarya Nasional pangan dan Gizi
(2007) dengan mempertimbangkan faktor-faktor khas dari kesehatan tubuh orang
Indonesia (Widyakaryanasional, 2007).
2.3. Kekurangan dan Kelebihan Vitamin A
2.3.1. Kekurangan Vitamin A
Kekurangan vitamin A merupakan penyakit sistemik yangg merusak sel dan
organ tubuh, dan menyebabkan metaplasia keratinisasi pada epitel saluran
pernapasan, saluran kemi, dan saluran pencernaan. Perubahan pada ketiga saluran ini
relatif lebih awal terjadi ketimbang kerusakan yang terdeteksi pada mata. Namun,
hanya karena hanya mata yang mudah diamati dan diperiksa, diagnosis klinis yang
spesifik didasarkan pada pemeriksaan mata (Arisman, 2010).
Kekurangan vitamin A dapat terjadi pada semua umur akan tetapi kekurangan
yang disertai kelain pada mata umumnya terdapat pada anak berusia 6 bulan sampai
4 tahun (Ilyas, 2008).
Kekurangan vitamin A terutama terdapat pada anak-anak balita. Tanda-tanda
kekurangan terlihat bila simpanan tubuh habis terpakai (Almatsier, 2004).
Kekurangan vitamin A dapat dibagi dua yaitu kekurangan vitamin A primer
dan sekunder. Kekurangan vitamin A primer disebabkan oleh kurangnya asupan
vitamin tersebut, sedangkan kekurangan vitamin A sekunder dikarenakan akibat
absorpsi dan utilisasinya yang terhambat (Kartasapoetra, 2008).

2.3.1.1. Epidemiologi Kekurangan Vitamin A


Hasil survei WHO dalam tahun 1995 yang lalu sekitar 2,8 juta balita
menampakkan tanda-tanda klinis xeroftalmia, sementara 251 juta anak lainnya
mengalami kekurangan vitamin A sehingga risiko kematian akibat infeksi berat
meningkat. Seperempat balita di negara sedang berkembang berisiko mengalami
kekurangan vitamin A. Dua puluh persen diantaranya berisiko lebih tinggi terjangkit
penyakit infeksi umum. Sementara 2% mengalami kebutaan, atau gangguan
penglihatan yang serius. Kemudian pada tahun 2001, WHO melaporkan bahwa
setiap 1 menit, 12 orang anak di dunia menjadi buta, dan empat di antaranya
bermukim di Asia Tenggara (Arisman, 2010).
Secara umum, prevalensi xeroftalmia di Indonesia menurun dari 1,18% pada tahun
1978 menjadi 0,14% di tahun 1991. Sementara kekurangan vitamin A juga menipis
dari 1,2% (1986) menjadi 0,3% (1992). Angka ini sudah berada di bawah kriteria
yang ditetapkan sebagai masalah kesehatan masyarakat (0,5%). Meskipun di
beberapa daerah angka prevalensi KVA masih di atas 0,5% seperti provinsi Sulteng
(0,6%), Maluku (0,8%), dan Sulsel (2,8%) (Arisman, 2010).
Menurut Survei Nasional tahun 1992, masih ada sekitar 50,2% balita
mengalami kekurangan vitamin A subklinis. Dan ini hanya dapat dibuktikan melalui
pemeriksaan darah. Dengan indikator ini, KVA masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat. (Baliwati, 2010).
Sejak Survei Nasional tahun 1992 belum ada data status vitamin A berbasis
masyarakat (population based) yang dapat digunakan sebagai dasar acuan untuk
perencanaan program gizi mikro. (Depkes RI, 2006).

2.3.1.2. Penyebab Kekurangan Vitamin A


Faktor-faktor penyebab defisiensi vitamin A ini tidak multipel, tidak saja
terletak di dalam jangkauan para profesional kesehatan, melainkan juga banyak
faktor yang merupakan kompetensi keahlian diluarnya. Interrelasi berbagai faktor
penyebab ini digambarkan pada bagan berikut (Sediaoetama, 2009).
2.3.1.3. Klasifikasi Kekurangan Vitamin A
Dikenal beberapa klasifikasi kekurangan vitamin A di Indonesia, seperti
klasifikasi Ten Doeschate, yaitu:
X0 : Hemeralopia
X1 : Hemeralopia dengan xerosis konjungtiva dan bitot
X2 : Xerosis kornea
X3 : Keratomalasia
X4 : Stafiloma, ftisis bulbi
Di mana kelainan pada: X0 sampai X2 masih reversibel, dan X3 sampai X4
ireversibel (Ilyas, 2008).
Sedangkan klasifikasi kekurangan vitamin A menurut WHO 2009, adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.4. Klasifikasi Kekurangan Vitamin A
XN Night blindness
X1A Conjunctival xerosis
X1B Bitots spot
X2 Corneal xerosis
X3A Corneal ulceration/keratomalacia (< 1/3 corneal surface)
X3B Corneal ulceration/keratomalacia ( 1/3 corneal surface)
XS Corneal scar
XF Xerophthalmic fundus
Sumber: WHO 2009
2.3.1.4. Tanda dan Gejala Kekurangan Vitamin A
Kekurangan vitamin A dapat menimbulkan beberapa gangguan terhadap
kesehatan tubuh, antara lain (Kartasapoetra, 2008):
1. Hemeralopia atau rabun ayam, rabun senja;
2. Frinoderma, pembentukan epitelium kulit tangan dan kaki terganggu, sehingga
kulit tangan dan/atau kaki telapak tampak bersisik-sisik.
3. Pendarahan pada selaput usus, ginjal, atau paru-paru.
4. Kerusakan pada kornea dengan menimbulkan bintik bitot, xeroftalmia (kornea
mengering) dan akhirnya kerotit, xeroftalmia (kornea mata rusak sama sekali).
5. Terhentinya proses pertumbuhan, dan
6. Terganggunya pertumbuhan bayi.
Mula-mula pada waktu senja orang tidak dapat melihat (hemerolopia), bila
berjalan sering menubruk sesuatu dan bila penyakitnya kian menjadi, selaput lendir
mata menjadi kering dan berlipat-lipat (xeroftalmia). Apabila timbul suatu penyakit
maka kornea mata menonjol ke depan dan timbul bercak putih. Kornea mata dapat
hancur sama sekali yang disebut keratomalasia (Irianto, 2007).
Berikut ini adalah contoh-contoh gambar kelainan mata akibat kekurangan
vitamin A yang dikutip dari sumber DepKes RI (2003).

Gambar 2.2. Xerosis Konjungtiva (X1A)

Gambar 2.3. Xerosis Konjungtiva dan Bercak Bitot (X1B)


Gambar 2.4. Xerosis Kornea (X2)

Gambar 2.5. Keratomalasia (X3A) dan Ulkus Kornea (X3B)

Gambar 2.6. Xerophthalmia Scar

2.3.1.5. Diagnosis Kekurangan Vitamin A


Diagnosis kekurangan vitamin A terutama berdasarkan parameter
xerophthalmia, didukung oleh hasil pemeriksaan gejala-gejala kulit dan kadar
vitamin A dan karotin di dalam plasma. Anamnesis konsumsi dapat pula menunjang
diagnosis sebagai tambahan (Sediaoetama, 2009).
Pemeriksaan yang umum dilakukan untuk mendiagnosis kekurangan vitamin A
antara lain:
Anamnesis konsumsi vitamin A
Pemeriksaan gejala-gejala kulit dan mata
Tes kadar vitamin A di dalam darah. Normalnya kadar vitamin A dalam darah di
Indonesia sekitar 20 mcg/dl. Namun kadar 10-20 mcg/dl pun masih dianggap
optimal walaupun sudah meningkatkan risiko timbulnya gejala-gejala
hipovitaminosis. Kadar kurang dari 10 mcg/dl sudah dianggap menderita
kekurangan vitamin A, besar kemungkinan sudah terlihat gejala-gejala
xerophthalmia (Sediaoetama, 2009).
2.3.1.6. Pengobatan Kekurangan Vitamin A
Pilihan pertama ialah preparat oral (misalnya tablet atau sirup vitamin A)
karena telah terbukti amat efektif, aman, dan murah (Arisman, 2010). Terapi dapat
dilakukan dengan pemberian segera vitamin A setelah diagnosis ditegakkan, yang
memberikan hasil perbaikan yang dramatis dalam 1-2 hari. Dosis 5 x 20.000 IU oral
untuk satu minggu atau suntikan depot 100.000 IU intramuskular sebagai one shot
memberikan hasil yang sama (Sediaoetama, 2009).
Namun, jika preparat oral seperti yang dijelaskan di atas tidak tersedia, dapat
diberikan preparat oral bentuk lain seperti minyak ikan. Preparat yang dibuat dengan
minyak akan sangat baik diserap jika diberikan per oral; dan jangan sekali-kali
disuntikkan karena vitamin A yang tercampur minyak biasanya susah diserap dari
lokasi tubuh yang disuntik (Arisman, 2010).
Rabun senja akan merespons terapi setelah 24-48 jam. Serosis konjungtiva
yang aktif dan bintik bitot mulai mereda dalam 2-5 hari, dan akan sembuh dalam dua
minggu. Sementara serosis kornea reda dalam 2-5 hari dan kornea kembali normal
setelah 1-2 minggu (Arisman, 2010).
Xeroftalmia sering mengakibatkan kerusakan kornea sehingga merupakan
kasus kedaruratan medik. Pada keadaan ini, vitamin A harus segera diberikan sesuai
tiga macam dosis sesuai dengan tabel berikut.

Pemberian vitamin A akan memberikan perubahan atau perbaikan yang nyata


pada penderita kekurangan vitamin A dalam waktu 1 2 minggu, berupa:
Mikrovili kornea akan timbul kembali sesudah 1 7 hari
Keratinisasi yang terjadi menghilang
Sel goblet konjungtiva kembali normal dalam 2 4 minggu
Tukak kornea memperlihatkan perbaikan, sehingga dapat direncanakan
keratoplasti (Ilyas, 2008).
2.3.1.7. Pencegahan Kekurangan Vitamin A
Pada awal kehidupan, kebutuhan vitamin A pada bayi akan tercukupi melalui
air susu ibu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan apabila seorang bayi yang tidak
disusui ASI berisiko kekurangan vitamin A. Status vitamin A yang baik di dalam
kehidupan akan mempengaruhi status dan cadangan vitamin A pada tahap kehidupan
lebih lanjut (Arisman, 2010).
Langkah pertama perlu dilaksanakan terutama di daerah yang berpotensi
mengalami defisiensi. Kepada kelompok ibu di daerah tersebut harus diberikan
suplementasi vitamin A sebanyak 200.000 IU segera setelah melahirkan.
Suplementasi ini terbukti bukan hanya memperbaiki status vitamin A ibu, tetapi juga
bayi. Wanita yang tidak menyusui pun harus diberi suplementasi. Manfaat
pemberian ini terutama diarahkan pada anak yang lahir selanjutnya.
Program pencegahan kekurangan vitamin A dengan pemberian vitamin A yang
disertakan upaya perbaikan keadaan sosial dan ekonomi di negara endemis telah
berhasil menurunkan angka prevalensi KVA yang parah dan buta akibat kurang gizi.
Kebersihan lingkungan dan perbaikan sarana perumahan, misalnya, telah berhasil
menekan angka prevalensi dan keparahan infeksi saluran pernapasan, tuberkulosis,
diare dan infestasi cacing yang berarti meningkatkan serta menurunkan kebutuhan
metabolik akan vitamin A. Imunisasi campak secara efektif sekaligus melenyapkan
salah satu pemicu xeroftalmia dan kematian yang berkaitan dengan vitamin A
(Arisman, 2010).
Tiga macam intervensi pencegahan utama yang dilaksanakan kini ialah:
1. Peningkatan asupan pangan kaya vitamin A dan provitamin A
Pemberian suplementasi vitamin A dosis tinggi telah terbukti mampu
mengawasi xeroftalmia, mencegah kebutaan (nutritional blindness), dan mengurangi
angka kematian anak akibat infeksi tertentu pada masyarakat yang mengalami KVA.
2. Penyebaran vitamin dosis tinggi secara berkala
Penyebaran vitamin A ini dilakukan dengan menggabungkan vitamin A dengan
program imunisasi polio dan campak sejak tahun 2000. Penyebaran vitamin ini
mencakup pemberian suplementasi vitamin A secara berkala kepada seluruh anak
prasekolah, terutama kelompok usia 6 bulan sampai 3 tahun, atau wilayah yang
berisiko paling tinggi serta semua ibu yang berisiko tinggi melahirkan anak
kekurangan vitamin A.
3. Fortifikasi makanan yang lazim disantap.
Fortifikasi makanan terbukti lebih efektif terutama pada keadaan khusus
seperti pembagian makanan yang terfortifikasi pada kamp pengungsian atau pada
daerah-daerah dengan latar sosial-ekonomi kurang baik. Setiap penduduk mendapat
kemudahan untuk memperoleh bahan pangan yang kaya akan vitamin A dengan
harga terjangkau.
Di samping itu, masyarakat juga harus memperoleh pendidikan gizi terutama
mengenai cara menggunakan bahan pangan ini sebagai makanan sapihan, dan
kudapan anak usia prasekolah. Tujuan pendidikan gizi ini ialah menyadarkan
masyarat tentang nilai gizi yang terkandung dalam bahan pangan, merangsang dan
mendorong mereka agar bahan pangan tersebut menjadi kebutuhan, serta mau
mengonsumsinya (Arisman, 2010).

2.3.2. Kelebihan Vitamin A


2.3.2.1.Pengertian Kelebihan Vitamin A
Hipervitaminosis A (toksisitas vitamin A) merupakan berlebihnya asupan
vitamin A di atas batas yang dianjurkan. Kemampuan tubuh untuk memetabolisme
vitamin A terbatas, jadi apabila terjadi kelebihan asupan vitamin A dapat
menyebabkan penimbunan yang melebihi kapasitas protein pengikat, sehingga
vitamin A dalam bentuk tidak-terikat merusak jaringan (Murray, 2009).
Paul Lips (2003) menuliskan dalam jurnalnya ada dua jenis kelebihan vitamin
A, yaitu hipervitaminosis A akut dan hipervitaminosis A kronik. Keduanya memiliki
gejala yang berbeda dan dibedakan berdasarkan lama waktu mengonsumsi vitamin A
dalam jumlah banyak. Hipervitaminosis A akut bila penderita mengonsumsi sekitar
300.000 IU per hari sementara dikatakan hipervitaminosis A kronik bila
mengonsumsi sekitar 25.000 sampai 50.000 IU per hari.
Pada umumnya, suplemen vitamin A tidak dianjurkan jika tidak dibawah
tuntunan profesional kesehatan. Kelebihan vitamin A umumnya diakibatkan
suplemen vitamin A dalam jumlah yang besar (megadosis), sehingga mengakibatkan
kondisi yang dikenal dengan hipervitaminosis A. Gejala-gejala yang dapat terjadi
seperti lemah, sakit kepala, kurang nafsu makan, mual, nyeri pada sendi, dan kulit
terkelupas (Budianto, 2004). Gejala-gejala ini dapat menghilang ketika konsumsi
suplemen vitamin A dihentikan (Williams, 2007).
Binkley dan Krueger dalam Williams (2007) menyatakan bahwa kelebihan
vitamin A dapat melemahkan tulang. Hipervitaminosis menstimulasi resorpsi tulang
dan menghambat pembentukan tulang, sehingga tulang cenderung keropos.
Dalam studi terbaru, Feskanich dalam Williams (2007) menyatakan bahwa
wanita dengan asupan vitamin A yang tinggi, yang mengonsumsi lebih dari 3000
mikrogram per harinya, memiliki risiko dua kali lipat fraktur panggul dibandingkan
dengan wanita yang hanya mengonsumsi sekitar 1250 mikrogram per hari.

2.3.2.2. Tanda dan Gejala Kelebihan Vitamin A


Menurut Kartasapoetra (2008) manifestasi klinis kelebihan vitamin A
(hipervitaminosis A) adalah sebagai berikut:
1. Pada anak-anak dapat menjadikan anak-anak tersebut cengeng, pada sekitar
tulang-tulang yang panjang membengkak, kulit kering dan gatal-gatal.
2. Pada orang-orang dewasa menimbulkan sakit kepala, mual-mual, dan diare.
Sementara menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI 2010
menyatakan beberapa tanda kelebihan vitamin A, antara lain: sakit kepala, pusing,
rambut rontok, kulit kering, anoreksia, dan sakit pada tulang. Pada wanita dewasa
menstruasi dapat berhenti dan bayi dapat mengalami pembesaran kepala.
Gejala hipervitaminosis A ini pun dapat dibedakan berdasarkan akut atau
kroniknya. Pada hipervitaminosis A akut ditandai dengan nyeri kepala, mudah
ngantuk, dan muntah. Sedangkan pada hipervitaminosis A kronik biasanya ditandai
dengan nyeri sendi dan tulang, kurang nafsu makan, mual, muntah dan penurunan
berat badan (Lips, 2003).

2.3.2.3. Diagnosis dan Pengobatan Kelebihan Vitamin A


Penegakan diagnosis pada hipervitaminosis A ini dapat melalui pemeriksaan
gejala klinis serta tingginya kadar vitamin A dalam darah. Gejala akan menghilang
selama empat minggu setelah penghentian pemakaian vitamin A tambahan
(Williams, 2007).
Sayuran yang memiliki kandungan beta-karoten dapat dikonsumsi dalam
jumlah besar tanpa mengakibatkan hipervitaminosis A. (Almatsier, 2004).

2.4. Kesehatan Mata


2.4.1.Pengertian Kesehatan Mata
Kesehatan adalah keadaan atau hal sehat. Sedangkan mata adalah indera
penglihatan. Jadi kesehatan mata merupakan keadaan atau hal-hal sehat yang
menyangkut indera penglihat (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

2.4.2. Tanda-tanda Mata Sehat


Mata sehat pada umumnya dapat diketahui dari luar, dimana mata terlihatcerah
dan bersinar. Untuk mengetahui apabila ada kelainan pada mata perlu pemeriksaan
mata dari dekat yang memerlukan bantuan senter atau lampu. Mata yang sehat dapat
diketahui, apabila dari pemeriksaan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
1. Kornea benar-benar jernih dan letaknya ditengah (simetris) antar kedua mata
2. Bagian yang putih benar-benar putih
3. Pupil benar-benar terlihat hitam, jernih dan ada reflek cahaya, mengecil bila ada
sinar
4. Kelopak mata dapat membuka dan menutup dengan baik
5. Bulu mata teratur dan mengarah keluar
6. Tidak ada sekret atau kotoran pada mata
7. Tidak ada benjolan pada kelopak mata (Depkes RI 2003).

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep


Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara
konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan
dilakukan (Notoatmodjo, 2007).
Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah pengetahuan ibu
rumah tangga. Variabel independen ini memiliki sub variabel seperti pendidikan,
usia, pengalaman, lingkungan dan sumber informasi. Karena keterbatasan waktu dan
kemampuan peneliti, maka peneliti memutuskan untuk meneliti tiga sub variabel
yaitu pendidikan, usia, dan sumber informasi. Sedangkan variabel dependen (terikat)
dalam penelitian ini adalah manfaat vitamin A bagi kesehatan mata.
Variabel Independen: Variabel Dependen:
Pengetahuan ibu rumah tangga :
- Pendidikan Manfaat vitamin A bagi
- Usia kesehatan mata
- Media informasi

Gambar 3.1. Bagan Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional


1. Pengetahuan
Segala sesuatu yang diketahui oleh ibu rumah tangga mengenai manfaat
vitamin A bagi kesehatan mata.
Cara ukur : wawancara
Alat ukur : kuesioner, pertanyaan yang diajukan sebanyak 12 pertanyaan
dengan tiga pilihan jawaban
Jawaban yang benar diberi skor 1
Jawaban yang salah diberi skor 0
Kategori : Pengukuran tingkat pengetahuan responden dilakukan dengan
menggunakan sistem skoring (Arikunto, 2007), yakni sebagai berikut:
Tingkat pengetahuan baik, apabila jawaban responden > 75%
dari nilai tertinggi
Tingkat pengetahuan cukup, apabila jawaban responden 56-
75% dari nilai tertinggi
Tingkat pengetahuan kurang, apabila jawaban responden 40-
55% dari nilai tertinggi
Tingkat pengetahuan buruk, apabila jawaban responden
<40% dari nilai tertinggi
Skala ukur : ordinal
2.Pendidikan
Tingkat atau jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh dan berhasil
diselesaikan oleh ibu rumah tangga yang diteliti dalam penelitian ini.
Cara ukur : wawancara
Alat ukur : kuesioner
Kategori : Rendah : bila responden tidak sekolah sampai tamat SD
sederajat
Menengah : bila responden tamat SMP atau SMA sederajat
Tinggi : bila responden telah tamat perguruan tinggi
Skala ukur : ordinal
3. Usia
Usia ibu rumah tangga yang datang ke puskesmas.
Cara ukur : wawancara
Alat ukur : kuesioner
Skala ukur : ordinal
4. Media informasi
Informasi yang dimiliki ibu rumah tangga tentang manfaat vitamin A bagi
kesehatan mata yang diperoleh dari berbagai macam informasi.
Cara ukur : wawancara
Alat ukur : kuesioner dengan skala Guttman, yaitu dengan dua pilihan
jawaban.
Kategori : Cukup : bila responden menjawab jawaban Pernah lebih dari
50% dari jumlah seluruh pertanyaan.
Kurang : bila responden menjawab jawaban Pernah kurang
dari 50% dari jumlah seluruh pertanyaan.
Skala ukur : ordinal

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan tujuan untuk
memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan secara objektif dari variabel yang
diteliti (Notoatmodjo, 2010) yaitu untuk mendapatkan gambaran pengetahuan ibu
rumah tangga tentang manfaat Vitamin A bagi kesehatan mata di posyandu wilayah
kerja puskesmas.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di posyandu wilayah kerja puskesmas pada bulan
Agustus 2016.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Machfoedz, 2008). Populasi
dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki anak yang datang berkunjung
ke posyandu di wilayah kerja Puskesmas .

4.3.2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang merupakan wakil dari populasi itu
(Machfoedz, 2008). Jumlah / besar sampel dalam penelitian ini diambil dengan
menggunakan rumus (Sudigdo, 2008)
Z 2 PQ
n=
d2

n : Besar Sampel
Z : Tingkat kemaknaan yang ditetapkan peneliti (peneliti menetapkan = 0,05 dan
Z penelitian ini sebesar 1,96)
P : Proporsi kategori (0.5)
Q : 1- P = 1 - 0.5 = 0,5
d : Tingkat ketepatan absolute yang dikehendaki 10% atau 0,1
1,962 .(0,5).(10,5)
n= = 96,04 96
0,102
Menurut Sastroasmoro (2008), nilai proporsi kategori (P) harus diperoleh dari
pustaka. Akan tetapi, bila nilai proporsi ini tidak diketahui maka digunakan P = 0,5.
Sehingga hasil penghitungan jumlah sampel adalah minimal 96 orang.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik consecutive
sampling, semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan
dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi


Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah Ibu-ibu rumah tangga yang
memiliki anak yang bersedia menjadi responden.Sedangkan kriteria eksklusi adalah
tidak bersedia menjadi responden.

4.4. Pengumpulan Data


Data menurut jenisnya dibagi atas dua, yaitu data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data primer yaitu data yang didapat langsung dari responden melalui pengisian
kuesioner oleh peneliti. Responden pada penelitian ini adalah ibu- ibu yang memiliki
anak yang ada di posyandu-posyandu wilayah kerja Puskesmas Padang Bulan.
Kuesioner diisi langsung oleh responden untuk mengetahui pengetahuan ibu.
Kuesioner ini terdiri dari 12 pertanyaan. Skor tertinggi adalah 12 dan terendah
adalah 0 dengan teknik penentuan skor dalam
pernyataan positif.
Jawaban benar : mendapat nilai 1
Jawaban salah : mendapat nilai 0
2. Data Sekunder
Alat perolehan data sekunder adalah diperoleh melalui catatan atau laporan
data yang ada di Dinas Kesehatan Kota Medan dan puskesmas Padang Bulan
meliputi data jumlah ibu rumah tangga, suplementasi vitamin A, serta data
kecamatan meliputi data demografi dan data geografis lokasi penelitian.

4.5 Metode Analisis Data


Data dari setiap responden dimasukkan ke dalam komputer oleh peneliti.
Analisis data yang diperoleh dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan
software statistik komputer.

Tabel 4.2. Hasil Uji Validitas dan Realibilitas Kuesioner


Nomor Total Pearson
Variabel Status Alpha Status
Pertanyaan correlation
Pengetahuan 1 0,486 Valid 0,729 Reliabel
2 0,465 Valid Reliabel
3 0,588 Valid Reliabel
4 0,626 Valid Reliabel
5 0,664 Valid Reliabel
6 0,522 Valid Reliabel
7 0,560 Valid Reliabel
8 0,530 Valid Reliabel
9 0,536 Valid Reliabel
10 0,611 Valid Reliabel
11 0,688 Valid Reliabel
12 0,604 Valid Reliabel
25

You might also like