You are on page 1of 19

BAB I

EPIDEMIOLOGI

1.1 Insidensi
Masalah overweight dan obesitas meningkat dengan cepat di berbagai belahan
dunia menuju proporsi epidemik. Hal tersebut disebabkan peningkatan diet yang
tinggi lemak dan gula, disertai penurunan aktivitas fisik. Di negara maju, obesitas
telah menjadi epidemi dengan memberikan kontribusi sebesar 35% terhadap angka
kesakitan dan memberikan kontribusi sebesar 15-20% terhadap kematian. Berbagai
laporan terkini mengindikasikan bahwa prevalensi obesitas di seluruh dunia baik di
negara berkembang maupun negara yang sedang berkembang telah meningkat dalam
jumlah yang mengkhawatirkan. Hal tersebut dapat mengakibatkan masalah kesehatan
yang serius karena obesitas dapat memacu kelainan kardiovaskuler, ginjal, metabolik,
prototombik, dan respon inflamasi.
Prevalensi obesitas sentral pada penderita PJK usia lanjut sangat tinggi.
Obesitas sentral berhubungan dengan kadar adiponektin yang merupakan faktor
kardioprotektif. Perbedaan kadar adiponektin darah dapat juga menunjukan berat
ringannya manisfestasi PJK yang didapat. Makin tinggi tingkat obesitas sentral akan
menurunkan kadar adiponektin dalam darah dan memperberat manifestasi PJK yang
muncul pada pasien tersebut.
Prevalensi obesitas sentral pada laki-laki di Amerika Serikat (AS) meningkat
dari 37% (periode 1999 - 2000) menjadi 42.2% (periode 2003-2004), sedangkan
prevalensi obesitas sentral pada perempuan AS meningkat dari 55,3% menjadi 61,3%
pada periode yang sama (Li et al., 2007). Peningkatan prevalensi obesitas sentral
berdampak pada munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti aterosklerosis (Lee
et al., 2005), penyakit kardiovaskuler (Wildman et al., 2005), diabetes tipe 2 (Wang
et al., 2005), batu empedu (Tsai et al., 2004), gangguan fungsi pulmonal (Chen et al.,
2007), hipertensi dan dislipidemia.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan prevalensi
obesitas sentral sebanyak 18,8% dari 19,1% prevalensi obesitas secara umum (SLI,
2009). Riskesdas 2007 melaporkan bahwa tiga prevalensi obesitas sentral tertinggi,
yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta berturut-turut 31.5%, 27%, dan
27.9%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Himpunan Studi Obesitas
Indonesia (HISOBI) tahun 2004 ditemukan bahwa prevalensi obesitas sentral lebih
tinggi daripada obesitas umum yaitu sebanyak 11,2% wanita dan 9,6% pria
menderita obesitas umum. Sementara prevalensi yang lebih tinggi ditemukan pada
kelompok obesitas sentral dimana pada pria 41,2% dan pada wanita 53,3%.
Kelompok dengan karakterisitik obesitas sentral tertinggi di Indonesia berada dalam
rentan umur 45 54 tahun sebanyak 27,4% (Riskesdas, 2007). Menurut jenis
pekerjaan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) menempati urutan pertama karakterisitik
penderita obesitas dengan prevalensi tertinggi sebesar 27,3%, ABRI 26,4% dan
wiraswasta sebesar 26,5% (Moehji, 2003). Arambepola (2006) dalam penelitiannya
menemukan bahwa obesitas abdominal 33% lebih banyak pada laki-laki yang
memiliki pekerjaan sedentarian (profesional, manager, tata usaha) dan hanya 6%
pada mereka yang memiliki pekerjaan aktif yang tinggi (petani, nelayan, tukang
kayu).
Prevalensi obesitas meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju
maupun negara yang sedang berkembang. Berdasarkan SUSENAS, prevalensi
obesitas (>120% median baku WHO/NCHS) pada balita mengalami peningkatan
baik di perkotaan maupun pedesaan. Di perkotaan pada tahun 1989 didapatkan 4,6%
laki-laki dan 5,9% perempuan, meningkat menjadi 6,3% laki-laki dan 8% perempuan
pada tahun 1992 dan di pedesaan pada tahun 1989 didapatkan 2,3% laki-laki dan
3,8% perempuan, meningkat menjadi 3,9% laki-laki dan 4,7% perempuan pada
tahun 1992.
Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas dimasa dewasa dan
berpotensi mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif dikemudian hari.
Profil lipid darah pada anak obesitas menyerupai profil lipid pada penyakit
kardiovaskuler dan anak yang obesitas mempunyai risiko hipertensi lebih besar.4
Penelitian Syarif menemukan hipertensi pada 20 30% anak yang obesitas, terutama
obesitas tipe abdominal.5 Dengan demikian obesitas pada anak memerlukan
perhatian yang serius dan pananganan yang sedini mungkin, dengan melibatkan
peran serta orang tua.
1.2 Faktor Risiko
Obesitas dapat terjadi terutama akibat peningkatan asupan makanan dan
penurunan aktifitas fisik. Berbagai peneliti menemukan faktor risiko obesitas sentral
yang lain seperti konsumsi makanan, alkohol, riwayat merokok dan aktifitas fisik
(Lathi Koski, 2002). Selain itu kemajuan teknologi, status sosial ekonomi, sedentary
life style juga merupakan determinan faktor risiko yang penting (Rosen and Shapouri,
2008). Banyak faktor yang mempengaruhi obesitas sentral diantaranya yaitu faktor
lingkungan seperti ketersediaan akses berupa transportasi, tempat tinggal, budaya
setempat atau ras dan etnis merupakan beberapa dari sekian banyak faktor resiko
yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memicu terjadinya obesitas
sentral. Penelitian mengenai obesitas sentral secara internasional sudah cukup banyak
dilakukan, akan tetapi di Indonesia sendiri masih cukup terbatas, dan kebanyakan
dilakukan pada kalangan ibu-ibu rumah tangga dan di daerah perkotaan. Obesitas
sentral berisiko kematian yang besar, seseorang dengan indeks massa tubuh normal
tetapi dengan peningkatan lingkar perut, berisiko kematian 20% lebih besar daripada
seseorang dengan indeks massa tubuh dan lingkar perut normal.
Beberapa faktor penyebab obesitas pada anak juga antara lain asupan
makanan berlebih yang berasal dari jenis makanan olahan serba instan, minuman soft
drink, makanan jajanan seperti makanan cepat saji (burger, pizza, hot dog) dan
makanan siap saji lainnya yang tersedia di gerai makanan. Selain itu, obesitas dapat
terjadi pada anak yang ketika masih bayi tidak dibiasakan mengkonsumsi air susu ibu
(ASI), tetapi mengunakan susu formula dengan jumlah asupan yang melebihi porsi
yang dibutuhkan bayi/anak. Akibatnya, anak akan mengalami kelebihan berat badan
saat berusia 4-5 tahun. Hal ini diperparah dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan
jajanan yang kurang sehat dengan kandungan kalori tinggi tanpa disertai konsumsi
sayur dan buah yang cukup sebagai sumber serat. Anak yang berusia 5-7 tahun
merupakan kelompok yang rentan terhadap gizi lebih. Oleh karena itu, anak dalam
rentang usia ini perlu mendapat perhatian dari sudut perubahan pola makan sehari-
hari karena makanan yang biasa dikonsumsi sejak masa anak akan membentuk pola
kebiasaan makan selanjutnya. Hasil penelitian Global Youth Tobacco Survey (GYTS)
pada tahun 2006 menunjukkan bahwa lebih dari 37,3% pelajar pernah merokok,
30,9% diantaranya merokok pertama kali sebelum berusia 10 tahun. Hasil Susenas
(tahun 1995, 2001 dan 2004) menunjukkan usia remaja yang rentan untuk mulai
mencoba merokok adalah 15-19 tahun. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, kejadian
obesitas meningkat 2 (dua) kali lipat pada anak usia 2-5 tahun dan usia 12-19 tahun,
bahkan meningkat tiga (3) kali lipat pada anak usia 6-11 tahun. Di Indonesia,
prevalensi obesitas pada anak usia 6-15 tahun meningkat dari 5% tahun 1990
menjadi 16% tahun 2001. Faktor penyebab obesitas lainnya adalah kurangnya
aktivitas fisik baik kegiatan harian maupun latihan fisik terstruktur. Aktivitas fisik
yang dilakukan sejak masa anak sampai lansia akan mempengaruhi kesehatan
seumur hidup. Obesitas pada usia anak akan meningkatkan risiko obesitas pada saat
dewasa. Penyebab obesitas dinilai sebagai multikausal dan sangat multidimensional
karena tidak hanya terjadi pada golongan sosio-ekonomi tinggi, tetapi juga sering
terdapat pada sosio-ekonomi menengah hingga menengah ke bawah. Obesitas
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan dengan faktor genetik. Jika
obesitas terjadi pada anak sebelum usia 5-7 tahun, maka risiko obesitas dapat terjadi
pada saat tumbuh dewasa. Anak obesitas biasanya berasal dari keluarga yang juga
obesitas. Masalah gizi banyak dialami oleh golongan rawan gizi yang memerlukan
kecukupan zat gizi untuk pertumbuhan. Kelompok anak hingga remaja awal (sekitar
10-14 tahun) merupakan kelompok usia yang berisiko mengalami masalah gizi baik
masalah gizi kurang maupun gizi lebih.
1.3 Pencegahan
Adapun pencegahan yang dapat dilakukan untuk terhindar dari obesitas yaitu:
1. Olah Raga
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai pergerakan tubuh khususnya otot yang
membutuhkan energi dan olahraga adalah salah satu bentuk aktivitas fisik.
Rekomendasi dari Physical Activity and Health menyatakan bahwa aktivitas fisik
sedang sebaiknya dilakukan sekitar 30 menit atau lebih dalam seminggu.
Aktivitas fisik sedang antara lain berjalan, jogging, berenang, dan bersepeda.
Aktivitas fisik yang dilakukan setiap hari bermanfaat bukan hanya untuk
mendapatkan kondisi tubuh yang sehat tetapi juga bermanfaat untuk kesehatan
mental, hiburan dalam mencegah stres. Rendahnya aktivitas fisik merupakan
faktor utama yang mempengaruhi obesitas.
2. Kebiasaan Konsumsi Sayur dan Buah
Sayur dan buah merupakan sumber serat yang penting bagi anak dalam masa
pertumbuhan, khususnya berhubungan dengan obesitas. Anak overweight dan
obesitas membutuhkan makanan tinggi serat seperti sayur dan buah. Berdasarkan
PUGS (Pedoman Umum Gizi Seimbang), konsumsi sayur dan buah minimal 3
porsi/hari. Pola konsumsi sayur dan buah pada penduduk Indonesia memang
masih rendah daripada jumlah yang dianjurkan. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa sekitar 90% anak mengkonsumsi sayur dan buah dengan
ukuran <3 porsi/hari. Selain itu ternyata anak perempuan lebih sering
mengkonsumsi sayur dan buah dibandingkan dengan anak laki-laki. Konsumsi
serat secara linier akan mengurangi asupan lemak dan garam yang selanjutnya
akan menurunkan tekanan darah dan mencegah peningkatan berat badan. Berbagai
intervensi dalam mencegah obesitas termasuk meningkatkan konsumsi sayur dan
buah dapat menggantikan makanan dengan densitas energi tinggi yang sering
dikonsumsi anak dan remaja, sehingga secara tidak langsung dapat menurunkan
berat badan.
3. Asupan Energi dan Protein
Selain sebagai sumber energi, makanan juga diperlukan untuk menggantikan sel
tubuh yang rusak dan pertumbuhan. Persoalan akan muncul jika makanan yang
dikonsumsi melebihi kebutuhan. Kelebihan energi tersebut akan disimpan di
dalam tubuh. Jika keadaan ini terjadi terus menerus akan mengakibatkan
penimbunan lemak di dalam tubuh sehingga berisiko mengalami kegemukan.
Remaja membutuhkan sejumlah kalori untuk memenuhi kebutuhan energi sehari-
hari baik untuk keperluan aktivitas maupun pertumbuhan. Peningkatan kebutuhan
energi sejalan dengan bertambahnya usia. Dalam memenuhi kebutuhannya, usia
remaja dianjurkan untuk mengkonsumsi variasi makanan sehat antara lain sumber
protein, produk susu rendah lemak, serealia, buah dan sayuran. Pada prinsipnya,
kebutuhan gizi anak usia 10-12 tahun adalah tinggi kalori dan protein, karena pada
masa ini tubuh sedang mengalami pertumbuhan yang cukup pesat.
Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan antara asupan energi
dan protein dengan obesitas pada anak (p<0,05). Rerata asupan energi total per
kapita per hari sebesar 1636,57 Kkal. Tingginya asupan energi kemungkinan
disebabkan oleh konsumsi makanan cepat saji (makanan modern) yang menjadi
kebiasaan umum baik di kota besar maupun kecil di wilayah Indonesia. Secara
umum, komposisi makanan jenis makanan cepat saji adalah tinggi energi, lemak,
garam dan rendah serat. Protein berperan penting dalam pertumbuhan dan
kekuatan otot. Setiap harinya, seorang remaja membutuhkan 45-60 g protein yang
bersumber dari makanan seperti daging, ayam, telur, susu dan produknya, kacang,
tahu dan kedelai. Rerata asupan protein per kapita per hari responden sebesar 56,7
g. Asupan tinggi protein dapat memberikan kontribusi jumlah kalori dalam sehari.
Pada umumnya, anak usia 5-15 tahun cenderung masih tergantung dari makanan
yang disediakan oleh orang tua di rumah, walaupun akhir-akhir ini kecenderungan
anak dalam memilih makanan lebih disebabkan oleh pengaruh lingkungan di luar
rumah yang dapat menggeser kebiasaan pola makan anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas
2.1.1 Pengertian Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang
ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.
Obesitas merupakan keadaan patologis dengan terdapatnya
penimbunan lemak yang berlebihan daripada yang diperlukan untuk fungsi
tubuh (Mayer, 1973 dalam Pudjiadi, 1990). Obesitas dari segi kesehatan
merupakan salah satu penyakit salah gizi, sebagai akibat konsumsi
makanan yang jauh melebihi kebutuhannya. Perbandingan normal antara
lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 12-35% pada wanita dan
18-23% pada pria.
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko penyebab terjadinya
penyakit degeneratif seperti Diabetes Mellitus (DM), Penyakit Jantung
Koroner (PJK) dan Hipertensi (Laurentia, 2004). Obesitas umumnya
menyebabkan akumulasi lemak pada daerah subkutan dan jaringan
lainnya. Salah satu cara yang digunakan untuk mengukur lemak subkutan
di lengan atas yaitu dengan mengukur tebal lipatan kulit trisep. Pada anak
dan remaja pada usia dan jenis kelamin sama dikatakan obesitas apabila
tebal lipatan kulit trisep berada di atas persentil ke-85. Lalu apabila tebal
lipatan kulit trisep menunjukkan di atas persentil ke-95 anak atau remaja
tersebut dikatakan super-obesitas (Soetjiningsih, 2004).
Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan
pengukuran antropometri dan atau pemeriksaan laboratorik, pada
umumnya digunakan:
a. Pengukuran berat badan (BB) yang dibandingkan dengan standar dan
disebut obesitas bila BB > 120% BB standar.
b. Pengukuran berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/TB).
Dikatakan obesitas bila BB/TB > persentile ke 95 atau > 120% 6 atau
Z-score = + 2 SD.
c. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness (tebal
lipatan kulit/TLK). Sebagai indikator obesitas bila TLK Triceps >
persentil ke 85.
d. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri, hidrometri
dsb. yang tidak digunakan pada anak karena sulit dan tidak praktis.
DXA adalah metode yang paling akurat, tetapi tidak praktis untuk
dilapangan.
e. Indeks Massa Tubuh (IMT), > persentil ke 95 sebagai indikator
obesitas.
Menurut Soetjiningsih obesiatas dibagi berdasarkan gejala
klinisnya, yaitu :
1. Obesitas sederhana (simple obesity)
Terdapat gejala hanya kegemukan saja tanpa disertai dengan kelainan
hormonal/mental/fisik lainnya. Obesitas seperti ini disebabkan karena
faktor nutrisi.
2. Bentuk khusus obesitas
a. Kelainan endokrin/hormonal (Sindrom Chusing)
Obesitas ini terjadi pada anak yang sensitif terhadap pengobatan
dengan hormon steroid
b. Kelainan somatodismorfik (Sindrom Prader-Willi, Sindrom Summit
dan Carpenter, Sindrom Laurence-Moon-Biedl dan Sindrom Cohen)
Obesits dengan kelainan ini hampir selalu disertai mental retardasi
dan kelainan ortopedi.
c. Kelainan Hipotalamus
Kelainan pada hipotalamus yang mempengaruhi nafsu makan dan
berakibat terjadinya obesitas, sebagai akibat dari kraniofaringioma,
leukemia serebral, trauma kepala dan lain-lain
Obesitas dapat dibedakan berdasarkan kondisi sel dalam tubuhnya,
yaitu :
1. Tipe Hiperplastik : jumlah sel dalam tubuh lebih banyak dibanding
kondisi normal, tetapi ukuran selnya sesuai dengan ukuran sel normal.
Obesitas ini biasanya terjadi pada masa anak-anak dan sulit diturunkan.
2. Tipe Hipertropik : jumlah sel yang normal, tetapi ukuran selnya lebih
besar dibanding dengan sel normal, dan biasanya terjadi setelah dewasa.
3. Tipe Hiperplastik-Hipertopik : baik jumlah maupun ukuran selnya
melebihi batas normal. Biasanya keadaan obesitas ini sudah dimulai
sejak masa anak-anak dan berlangsung terus hingga dewasa. Orang
yang mengalami tipe ini sulit untuk menurunkan BB. Selain perbedaan
kondisi sel yang ada dalam tubuh seseorang yang mengalami obesitas,
obesitas juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya dan
tipenya terutama pada anak-anak (Soetjiningsih, 2004) ;
a. Berdasarkan keparahannya :
1. moderate obesity : bila berat badan antara 120%-170% dari berat
badan idealnya
2. severe obesity : bila berat badan lebih dai 170% dari berat badan
ideal.
b. Berdasarkan tipenya ;
1. inappropiate eating habits : karena adanya kelebihan masukan
makanan, biasanya terjadi pada masa bayi dan masa remaja.
2. high set point for fat store : kecenderungan terjadinya
peningkatan deposit lemak, biasanya dimulai pada masa anak-
anak dan selalu ada faktor keturunan.
2.1.2 Perjalanan Perkembangan Obesitas
Menurut Dietz terdapat 3 periode kritis dalam masa tumbuh
kembang anak dalam kaitannya dengan terjadinya obesitas, yaitu: periode
pranatal, terutama trimester 3 kehamilan, periode adiposity rebound pada
usia 6 - 7 tahun dan periode adolescence. Pada bayi dan anak yang
obesitas, sekitar 26,5% akan tetap obesitas untuk 2 dekade berikutnya dan
80% remaja yang obesitas akan menjadi dewasa yang obesitas. Menurut
Taitz, 50% remaja yang obesitas sudah mengalami obesitas sejak bayi.
Sedang penelitian di Jepang menunjukkan 1/3 dari anak obesitas tumbuh
menjadi obesitas dimasa dewasa dan risiko obesitas ini diperkirakan sangat
tinggi, dengan OR 2,0 6,7. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa
obesitas pada usia 1-2 tahun dengan orang tua normal, sekitar 8% menjadi
obesitas dewasa, sedang obesitas pada usia 10-14 tahun dengan salah satu
orang tuanya obesitas, 79% akan menjadi obesitas dewasa.
2.1.3 Faktor-faktor Penyebab Obesitas
Berdasarkan hukum termodinamik, obesitas disebabkan adanya
keseimbangan energi positif, sebagai akibat ketidak seimbangan antara
asupan energi dengan keluaran energi, sehingga terjadi kelebihan energi
yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar gangguan
keseimbangan energi ini disebabkan oleh faktor eksogen/nutrisional
(obesitas primer) sedang faktor endogen (obesitas sekunder) akibat
kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik hanya sekitar 10%.
Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah
suatu penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar obesitas
disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor
lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, sosial ekonomi dan
nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini
pada bayi.
1. Faktor Genetik
Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar. Bila
kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu
orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang
tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14%. Hipotesis Barker
menyatakan bahwa perubahan lingkungan nutrisi intrauterin
menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama
kerentanan terhadap pemrograman janin yang dikemudian hari
bersama-sama dengan pengaruh diet dan stress lingkungan merupakan
predisposisi timbulnya berbagai penyakit dikemudian hari. Mekanisme
kerentanan genetik terhadap obesitas melalui efek pada resting
metabolic rate, thermogenesis non exercise, kecepatan oksidasi lipid
dan kontrol nafsu makan yang jelek. Dengan demikian kerentanan
terhadap obesitas ditentukan secara genetik sedang lingkungan
menentukan ekspresi fenotipe.
2. Faktor lingkungan
a. Aktifitas fisik
Aktifitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure,
yaitu sekitar 20-50% dari total energy expenditure. Penelitian di
negara maju mendapatkan hubungan antara aktifitas fisik yang
rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik
yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar = 5
kg.10 Penelitian di Jepang menunjukkan risiko obesitas yang rendah
(OR:0,48) pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga,
sedang penelitian di Amerika menunjukkan penurunan berat badan
dengan jogging (OR: 0,57), aerobik (OR: 0,59), tetapi untuk olah
raga tim dan tenis tidak menunjukkan penurunan berat badan yang
signifikan.
Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi
yang sama menunjukkan bahwa mereka yang nonton TV = 5 jam
perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar
dibanding mereka yang nonton TV = 2 jam setiap harinya.
b. Faktor nutrisional
Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan dimana
jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan
ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh : waktu
pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari
karbohidrat dan lemak5 serta kebiasaan mengkonsumsi makanan
yang mengandung energi tinggi.
Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok
dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat
badan lebih besar dibanding kelompok dengan asupan rendah lemak
dengan OR 1.7. Penelitian lain menunjukkan peningkatan konsumsi
daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan
ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai energy density
lebih besar dan lebih tidak mengenyangkan serta mempunyai efek
termogenesis yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak
mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juga
mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera
makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Selain itu
kapasitas penyimpanan makronutrien juga menentukan
keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan
sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam
amino di regulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein
berlebihan dapat dipastikan akan di oksidasi; sedang karbohidrat
mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya
dalam jumlah kecil. Asupan dan oksidasi karbohidrat di regulasi
sangat ketat dan cepat, sehingga perubahan oksidasi karbohidrat
mengakibatkan perubahan asupan karbohidrat. Bila cadangan lemak
tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan
energi dari karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak
tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak
terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi
lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan
lemak.
c. Faktor sosial ekonomi.

Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan,


serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan
jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu data menunjukkan bahwa
beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang
menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti: ke sekolah dengan
naik kendaraan dan kurangnya aktifitas bermain dengan teman serta
lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain
diluar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer / games,
nonton TV atau video dibanding melakukan aktifitas fisik. Selain itu
juga ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau
akan berisiko menimbulkan obesitas.
2.1.4 Diagnosis
Secara klinis obesitas dapat dikenali dengan mudah karena
mempunyai tanda dan gejala yang khas antara lain (Juanita, 2008) :
1. Wajah membulat
2. Pipi tembem
3. Dagu rangkap
4. Leher relatif pendek
5. Dada yang menggembung dengan payudara yang membesar
mengandung jaringan lemak
6. Perut membuncit dan dinding perut berlipat-lipat serta kedua tungkai
umumnya berbentuk x dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling
menempel dan menyebabkan lecet.
7. Pada anak laki penis tampak kecil karena terkubur dalam jaringan
lemak.
2.2 Kerangka Teori
Faktor-faktor yang berperan dalam menentukan status gizi pada dasarnya
terdiri dari dua bagian. Pertama, faktor yang berpengaruh di luar diri seseorang
(faktor eksternal). Kedua, faktor yang menjadi dasar pemenuhan tingkat kebutuhan
gizi seseorang (faktor internal).
Faktor-faktor yang menyebabkan obesitas

Sumber : Modifikasi dari Brodbenner. C., B dalam Wardlaw & Hampl (2007).
Perspsective in Nutrition, Seventh Edition & Diet in Obesity. Therapeutic
Nutrition and Dietetics.

Dapat dilihat dari bagan di atas terlihat banyak sekali variabel yang
berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Variabel yang berpengaruh adalah pola
makan seseorang yang tidak dapat menahan rasa nafsu makannya. Kemudian status
ekonomi, dimana seseorang yang memiliki pendapatan yang lebih cenderung daya
belinya pun tinggi sehinga konsumsi makanannya ikut meningkat yang menyebabkan
status gizinya mejadi berlebihan. Variabel lain yang ikut mempengaruhi status gizi
seseorang adalah aktivitas fisik, genetik, pengobatan, hormon, ketergantungan
terhadap makanan cepat saji (fastfood) dan media yang mempromosikan makanan
dengan tinggi lemak dan tinggi kalori.
2.3 Kerangka Konsep
Masalah obesitas pada anak sekolah bukan hanya menjadi masalah di negara
maju saja dimana dari segi ekonomi sudah makmur, namun masalah obesitas telah
menjadi masalah global yang telah menimpa masyarakat di negara berkembang.
Dari kerangka konsep di atas variabel independent yang akan diteliti terdiri
dari dua faktor yaitu karakteristik responden (umur dan jenis kelamin), karakteristik
orang tua responden (pendidikan orang tua dan status pekerjaan ibu), frekuensi
konsumsi makanan (frekuensi konsumsi makanan jajanan dan frekuensi konsumsi
makanan cepat saji), aktivitas fisik (waktu tidur, waktu menonton TV dan main
games serta kebiasaan olahraga), dan keterpaparan media. Sedangkan yang menjadi
variabel dependen adalah kejadian obesitas.
Faktor hormon dan pengobatan yang turut berperan menimbulkan kejadian
obesitas tidak diteliti pada penelitian ini, karena dibutuhkan waktu yang relatif lama
dalam pengumpulan data dan pemeriksaan yang rumit.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

Apriadji, W.H. 1986. Gizi Keluarga. PT. Penebar Swadaya Anggota IKAPI. Jakarta

Brodbenner. C., B dalam Wardlaw & Hampl (2007). Perspsective in Nutrition, Seventh
Edition & Diet in Obesity. Therapeutic Nutrition and Dietetics.

BPS. Integrasi Indikator Gizi Dalam Susenas. Jakarta, 2005.

Dietz, W.,H. Childhood Obesity. Dalam Textbook of Pediatric Nutrition, IInd ed, Suskind,
R.,M., Suskind, L.,L. (Eds). New York: Raven Press,1993; 279-84.

Fukuda, S., Takeshita, T., Morimoto,K. Obesity and Lifestyle. Asian Med.J., 2001; 44:
97- 102.

Haines J, Sztainer DM, Wall M, Story M. Personal, Behavioral, and Environmental Risk
and Protective Factors for Adolescent Overweight. Int. J. Obes. 2007; 15:2748-
2760.

Heird, W.C. Parental Feeding Behavior and Childrens Fat Mass. Am J Clin Nutr, 2002;
75: 451 452.

Kiess W., et al. Multidisciplinary Management of Obesity in Children and Adolescents-


Why and How Should It Be Achieved?. Dalam Obesity in Childhood and
Adolescence, Kiess W., Marcus C., Wabitsch M.,(Eds). Basel: Karger AG, 2004;
194-206.

Kopelman,G.D. Obesity as a Medical Problem, NATURE, 2000; 404: 635-43.

Maffeis CG, Talamini G, Tato L. Influence of diet, physical activity and parents obesity
on childrens adiposity: a four year longitudinal study. Int. J. Obes. Relat. Metab.
Disord. 1998; 22(8):758-764.

Newnham,J.,P. Nutrition and the early origins of adult disease, Asia Pacific J Clin Nutr,
2002;11(Suppl): S537-42.

Pi-Sunver, F.X. Obesity, Dalam Modern Nutrition In Health and Disease, VIIIth ed, Shils,
M.E., Olson, J.A., Shike, M. (Eds). Tokyo: Lea & Febiger,1994; 984 1006.

Satoto, Karjati, S., Darmojo, B., Tjokroprawiro, A., Kodyat, BA. Kegemukan, Obesitas
dan Penyakit Degeneratif: Epidemiologi dan Strategi Penanggulangannya, Dalam:
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI tahun 1998. Jakarta: LIPI, hal. 787
808.
Soegondo, Sidartawan. Berbagai Penyakit dan Dampaknya terhadap Kesehatan dan
Ekonomi. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) IX. Jakarta, 2008.
Stettler N, Zemel BS, Kumanyika S, Stallings VA. Infant weight gain and childhood
overweight status in a multicenter, cohort study. Pediatrics. 2002; 109(2):1949.

Strauss RS, Mir HM. Smoking and weight loss attempts in overweight and normal-weight
adolescents. Int. J. Obes. 2001; 25(9):1381-1385.

Syarif, D.R. Childhood Obesity: Evaluation and Management, Dalam Naskah Lengkap
National Obesity Symposium II, Editor: Adi S., dkk. Surabaya, 2003; 123 139.

Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. CV.


Sagung Seto. Jakarta.

Taitz, L.S. Obesity, Dalam Textbook Of Pediatric Nutrition, IIIrd ed, McLaren, D.S.,
Burman, D., Belton, N.R., Williams A.F. (Eds). London: Churchill Livingstone,
1991; 485 509.

Toschke AM, Grote V, Koletzko B, von Kries R. Identifying children at high risk for
overweight at school entry by weight gain during the first 2 years. Arch. Pediatr.
Adolesc. Med. 2004; 158(5):449452.

Whitaker,R.C.,et al. Predicting Obesity in Young Adulthood from Childhood and Parental
Obesity, N Engl J Med, 1997; 337: 869-73

WHO. Obesity: Preventing and Managing The Global Epidemic, WHO Technical Report
Series 2000; 894, Geneva.

World Health Organization. Obesity: Preventing and managing the global epidemic.
WHO Obesity Technical Report series 894. World Health Organization. Geneva,
2000.

You might also like