You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan kelainan neurologi umum yang dikarakteristikkan


dengan kejang berulang. Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua,
ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas.
Sekitar 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi.1-3
Diduga terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi didunia. Populasi
epilepsi aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan
pengobatan) diperkirakan antara empat hingga 10/1000 penduduk per tahun. Di
Asia, insidensi epilepsi di Cina adalah 35/100.000 orang per tahun, dan di India
49,3/100.000 orang per tahun.2
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap penyandang epilepsi
di Poliklinik Saraf RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou periode Juni 2013 Mei 2014
diperoleh data yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Pada
distribusi berdasarkan jenis kelamin didapatkan jumlah penyandang epilepsi laki
laki sebanyak 58 orang (57,4%) dan jumlah penyandang epilepsi perempuan
sebanyak 43 orang (42,6%). Hal ini menunjukkan bahwa penyandang epilepsi
lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.4
Kelompok studi epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Pokdi Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15
kota pada tahun 2013 selama enam bulan. Didapatkan 2288 pasien terdiri atas 487
kasus baru dan 1801 kasus lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06 16,9
tahun, sedangkan rerata usia pada kasus lama adalah 29,2 16,5 tahun. Sebanyak
77,9% pasien berobat pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke
dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat.2
Menurut International League Against Epilepsi (ILAE), yang disebut
epilepsi adalah kecenderungan untuk terjadinya kejang tipe apapun secara klinis.
Tiap individu yang mengalami epilepsi mempunyai risiko yang bermakna untuk
mengalami kekambuhan kejang. Waktu munculnya kejang terjadi secara
mendadak, tidak disertai demam berulang dan tidak dapat diprediksi. Kejang yang

1
menahun dan berulang dapat berakibat fatal, oleh karena itu sasaran terapi
utamanya adalah pengendalian penuh atas kejang.5
Terapi utama epilepsi yaitu dengan pemberian obat-obat antiepilepsi
(OAE) untuk mengontrol kejang. Terapi pilihan lainnya termasuk perubahan pola
makan, menghindari faktor pencetus (contohnya alkohol atau kurang tidur),
stimulasi nervus vagus dan pembedahan. Terapi dimulai saat pasien mengalami
kejang berulang dengan interval kejang yang tidak menahun.5
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan
dengan pasti diagnosis epilepsi, karena sebelum pengobatan dimulai, diagnosis
epilepsi harus ditegakkan terlebih dahulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi
tidak dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat
dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula. Diagnosis epilepsi
didapatkan berdasarkan gejala dan tanda klinis yang menjadi karakteristik.6

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, Klasifikasi, Etiologi Dan Faktor Resiko Epilepsi


1. Pengertian Epilepsi
Epilepsi adalah gangguan otak kronis yang tidak menular yang
mempengaruhi orang-orang dari segala usia. Definisi operasional epilepsi
yang terbaru (2013) menurut ILAE adalah penyakit otak yang ditandai oleh
gejala atau kondisi sebagai berikut:3,7
a. Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks
yangberselang lebih dari 24 jam.7
b. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan reflek dengan adanya
kemungkinan bangkitan ulangan yang sama dengan resiko rekurensi
setelah dua bangkitan tanpa provokasi (setidaknya 60%), yang timbul
hingga 10 tahun ke depan.7
c. Adanya diagnosis sindrom epilepsi bangkitan refleks yaitu bangkitan
yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus tertentu seperti
stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotorik.7

2. Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi bangkitan Epileptik menurut ILAE 1981:7
a. Bangkitan Umum
1) Tonik klonik
2)Absans (lena/petit mal)
3) Klonik
4)Tonik
5) Atonik
6) Mioklonik
b. Bangkitan Parsial / Fokal
1) Parsial sederhana (kesadaran baik)
a) Disertai gejala motorik
b) Disertai gejala psikis

3
c) Disertai gejala somato-sensorik
d) Disertai gejala otonom
2) Parsial kompleks (kesadaran terganggu)
a) Disertai gangguan kesadaran sejak awitan dengan atau tanpa
otomatisme
b) Parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran dengan atau tanpa
otomatisme
3) Serangan parsial sederhana yang berkembang menjadi umum
sekunder
a) Parsial sederhana menjadi umum tonik klonik
b) Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum tonik
klonik
c. Tidak terklasifikasi7

Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi:7


a. Fokal/partial (localized related)
1) Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
a) Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
b) Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital
c) Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
2) Simptomatik
a) Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak anak
(kojenikow's syndrome)
b) Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
c) Epilepsi lobus temporal
d) Epilepsi lobus frontal
e) Epilepsi lobus parietal

4
f) Epilepsi lobus oksipital
3) Kriptogenik
b. Epilepsi umum
1) Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
a) Kejang neonatus familial benigna
b) Kejang neonatus beningna
c) Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
d) Epilepsi lena pada anak
e) Epilepsi lena pada remaja
f) Epilepsi mioklonik pada remaja
g) Epilepsi dengan bangkitan umum tonik klonik pada saat terjaga
h) Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
i) Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2) Kriptogenik atau simptomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan
usia)
a) Sindrom West (spasme infantik dan spasme salam)
b) Sindrom Lennox-Gastaut
c) Epilepsi mioklonik astatik
d) Epilepsi mioklonik lena
3) Simtomatis
a)Etiologi nonspesifik, antara lain, ensefalopati mioklonik dini,
ensefalopati pada infantil dini dengan burst suppression dan
epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas.
b)Sindrom spesifik
c) Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
c. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
1) Bangkitan umum dan fokal
a) Bangkitan neonatal
b) Epilepsi miklonik berat pada bayi
c) Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
d) Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)

5
e) Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas.
2) Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
d. Sindrom khusus
1) Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
a) Kejang demam
b) Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali
/isolated
c) Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut,
atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklampsia, hiperglikemi
nonketotik.
d) Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
reflektorik)7

3. Etiologi Epilepsi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:2
a. Idiopatik: tidak terdapat les struktural di otak atau defisit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya
berhubungan dengan usia.2
b. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk di sini adalah sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan
epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.2
c. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural
pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi ssp, kelainan congenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
metabolik, kelainan neurodegeneratif.2

4. Faktor Resiko
Gangguan stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi,
dapat terjadi saat:8
a. Prenatal Natal8
1) Umur ibu saat hamil terlalu muda (35 tahun)
2) Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
3) Kehamilan primipara atau multipara
4) Pemakaian bahan toksik

6
b. Natal8
1) Asfiksia
2) Bayi dengan berat badan lahir rendah (<2500gram)
3) Kelahiran prematur atau postmatur
4) Partus lama
5) Persalinan dengan alat
c. Post Natal8
1) Kejang demam
2) Trauma kepala
3) Infeksi ssp
4) Gangguan metabolik7

B. Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2
Ada tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:2
1. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epilepsi2
2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 19812
3. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE
1989 dalam praktik klinis.2
Langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis
Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan
kejang atau bukan, dalam hal ini memastikannya biasanya dengan
melakukan anamnesis baik dengan pasien (autoanemnesis), allo-anamnesis
dari orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui saat
serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah
untuk menggambarkan kejadian sebelum, selama dan sesudah serangan
kejang itu berlangsung.6
Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut biasanya
dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada
kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang
dialami pasien.6
Adapun beberapa pertanyaan yang perlu ditanyakan adalah sebagai berikut.
a. Keluhan Utama dan Riwayat Penyakit Sekarang

7
1) Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama
ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab
kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya
penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik
dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul
pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul
serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan
patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dan sebagainya.6
2) Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak
enak pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi?
Gejala peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan
kejang muncul disebut dengan aura. Dimana suatu aura itu bila
muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus
di otak. Sebagian aura dapat membantu dimana letak lokasi serangan
kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan
adanya deja vu dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung,
gringgingen yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan
gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan
epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak
didahului dengan aura hal ini disebabkan terdapat gangguan pada
kedua hemisfer , tetapi jika aura dilaporkan oleh pasien sebelum
serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang
patologis.6

3) Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung?


Bila pasien bukan dengan serangan kejang sederhana yang
kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan
ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata yang
mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata
dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat

8
gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah
pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah
mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada
gerakan automatism pada satu sisi? Apakah ada sikap tertentu pada
anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien
mengompol? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis
mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah
kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis
sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan
mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat
menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan
penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai
dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada
serangan kejang parsial kompleks.6
4) Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung?
Periode sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal
dengan istilah post ictal period, yaitu sesudah mengalami serangan
kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan
kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah
mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau
hemiplegi sesudah serangan kejang disebut Todds Paralysis yang
menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak
disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di
hemisfer dominan. Pada absens khas tidak ada gangguan disorientasi
setelah serangan kejang.6

5) Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?


Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai
biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus
temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang
lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.6
6) Apakah ada faktor pencetus ?

9
Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya
yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur,
konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional,
panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, drug abuse,
reading & eating epilepsy. Dengan mengetahui faktor pencetus ini
dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu
dalam mencegah serangan kejang.6
7) Bagaimana frekuensi serangan kejang ?
Informasi ini dapat membantu untuk mengetahui bagaimana respon
pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti kejang.6
8) Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ?
Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien
sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan
apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat?6
9) Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam?
Dengan menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan
menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.6
10) Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan
kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka
ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan aura tetapi
tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan
luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada aura, sehingga
dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk
mengurangi bahaya terjadinya luka.6

11) Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat?


Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit
gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang
itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan
pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan
penyakit lain yang menyertai.6

10
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Dengan mengetahui riwayat penyakit atau medis yang dahulu
dapat memberikan informasi yang berguna dalam menentukan
etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang dan
pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk
pengobatan selanjutnya.6
1) Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun
proses persalinannya?
2) Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau respiratory
distress?
3) Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
4) Apakah ada riwayat kejang demam?
Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan kejang demam sederhana
sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks 13 %.
5) Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia
yang disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui
didapat adanya cysticercosis.
6) Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala,
perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
7) Apakah ada riwayat tumor otak?
8) Apakah ada riwayat stroke?6

c. Riwayat sosial
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi
pasien epilepsi dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit
dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi.6
1) Apa latar belakang pendidikan pasien?

11
Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat menggambarkan
bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga
dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap
pasien dan bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara
menghadapi penyakit yang dialaminya itu.6
2) Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya?
Pasien epilepsi yang seragan kejangnya terkendali dengan baik
dapat hidup secara normal dan produktif. Kebanyakan pasien dapat
bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya
tidak terkendali dengan baik untuk memperoleh dan menjalankan
pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien
sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau
tugas - tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang
bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang
mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang jelas untuk
memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan
dirinya.6
3) Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor?
Pasien dengan epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol
serta ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan
kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun
masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri
tentang pasien epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.6
4) Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien
merencanakan kehamilan pada waktu yang akan datang?
Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu
tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga
beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga
menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin dan
fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat
tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya
neural tube defects pada bayinya.6

12
5) Apakah pasien peminum alkohol?
Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan kejang
umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol. Selain
berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga
menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah
minum alkohol.6
d. Riwayat keluarga
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan
apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang
ada kaitannya dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah
serangan kejang. Sebagai contoh Juvenile myoclonic epilepsy (JME),
familial neonatal convulsion, benign rolandic epilepsy dan sindrom
serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus.6
e. Riwayat alergi
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti
antiepilepsi, perlu dibedakan apakah ini suatu efek samping dari
gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam rash
perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang
disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif
yang sifatnya lebih luas?6
f. Riwayat pengobatan
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi,
perlu ditanyakan:6
1) Jenis obat antiepilepsi
2) Dosis OAE
3) Jadwal minum OAE
4) Kepatuhan minum OAE
5) Kadar oae dalam plasma
6) Kombinasi terapi OAE
g. Riwayat Pemeriksaan penunjang lain
Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala
atau MRI.6

13
2. Pemeriksaan Fisik Dan Neurologi
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab-sebab terjadinya serangan kejang
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher
untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. Pemeriksaan kardiovaskular
sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh
karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi
penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan
kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti caf
au lait spots dan iris hamartoma pada neurofibromatosis, ash leaf spots ,
shahgreen patches, subungual fibromas, adenoma sebaceum pada
tuberosclerosis, port - wine stain ( capilarry hemangioma) pada sturge-
weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan di lidah yang
bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas
luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian
apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian
obat fenitoin dan apakah ada dupytrens contractures yang dapat terlihat oleh
karena pemberian fenobarbital jangka lama.6
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait , koordinasi, saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit
neurologi seperti hemiparese, distonia, disfasia, gangguan lapangan
pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau
lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus, diplopia atau
ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti
karbamasepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada
waktu serangan kejang terjadi. Dysmorphism dan gangguan belajar mungkin
ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia,
mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan
neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan
fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa
menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.6

14
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan
ensefalopati hepatikum dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang.
Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukosa, kalsium,
magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test fungsi hepar
mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan
toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai
adanya drug abuse.6
b. Pemeriksaan Elektroensefalografi
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah
pemeriksaan elektroensefalografi/ EEG (Gambar 1). Pemeriksaan EEG
rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam keadaan
istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi.
Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting
untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai
berikut:6
1) Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi
pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil
pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis,
mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali
sindrom epilepsi.6
2) Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola
epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung
diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti 3-Hz
spike-wave complexes (Gambar 2) adalah karakteristik kearah sindrom
epilepsi yang spesifik.6
3) Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG
dapat menjelaskan manifestasi klinis daripada aura maupun jenis
serangan kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi,
pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.6

15
Gambar 1. EEG
Sumber : Electroencephalogram (EEG) [serial on the internet]. Nodate
[cited 2016 June 15]. Available from:
http://www.saintlukeshealthsystem.org/health-
library/electroencephalogram-eeg

Gambar 2. Gambaran EEG 3-Hz spike-wave complexes

16
Sumber: Kouya f. Recognizing epilepsies [serial on the internet].
[published 2010 June 14; cited 2016 June 11]. Available from:
http://www.slideshare.net/Kouya71/epilepsy-4502939

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan


keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
1) Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan
kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang
epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya
meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap
memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil
wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.6
2) Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan
adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil
orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak
dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis
epilepsi.6
3) Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG
mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara
difus pada pasien epilepsi anak.6
4) Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat
dan epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran
epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat
membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang
kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.6
c. Pemeriksaan Video EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan
diagnosis epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi
atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan
kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi
dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya
pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan

17
kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman
dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari
hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi.6

Gambar 3. Video EEG


Sumber: EEG monitoring [serial on the internet]. Nodate [cited 2016 June
15]. Available from: http://monitor.elektroshop91.com/monitor-
cleaner/eeg-monitoring-387.html
d. Pemeriksaan Radiologi
CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada
atau tidaknya kelainan struktural diotak.
Indikasi CT Scan kepala adalah:6
1) Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada
kelainan struktural di otak.
2) Perubahan serangan kejang.
3) Ada defisit neurologis fokal.
4) Serangan kejang parsial.
5) Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
6) Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI terdapat kontra indikasi.
Namun demikian, pemeriksaan MRI kepala merupakan prosedur
pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih

18
spesifik dibanding dengan CT Scan, karena dapat mendeteksi lesi kecil
diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma
kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan
terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi: T1
dan T2 weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan
coronal dan irisan sagital.6

Gambar 4. Gambaran radiologi otak dengan epilepsi

19
Sumber: Epileptic brain [serial on the internet]. Nodate [cited 2016 June
15]. Available from: http://alfa-img.com/show/cat-scan-or-mri-of-
epileptic-brain.html

e. Pemeriksaan Neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi
dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini
khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif,
demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan
serangan kejang yang bukan epilepsi.6

C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :2,8
1. Tatalaksana Fase Akut (Saat Kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi
otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang
berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya
berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk
serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg
bila berat badan anak <10 kg atau 10 mg bila berat badan anak >10 kg. Jika
kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit
dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian
diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan
untuk dibawa ke rumah sakit.2,8

2. Pengobatan Epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi
terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung
mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila
kejang terjadi terus-menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin
meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.

20
Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi
sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan
penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau
dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang.2,8
Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :

a. Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani
penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE)
baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin,
karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus
diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara
efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE
harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang
berat maupun tanda-tanda keracunan obat.2,8
Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan
dosis terendah yang dapat mengatasi kejang. OAE diberikan bila:2,8
1) Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
2) Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
3) Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang
tujuan pengobatan.
4)Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan
efeksamping yang timbul dari OAE.
5) Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah dihindari
(misalnya:alcohol, kurang tidur, stress, dll)
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.2,8
1) Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
bertahap sampaidosis efektif tercapai atau timbul efek samping.2,8
2) Kadar obat dalam plasma ditentukan bila:2,8
a) Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
b) Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh
kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi
OAE)
c) Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan

21
d) Setelah penggantian dosis/regimen OAE
e) Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.
3) Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya
bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan
bertahap (tapering off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE
pertama maka kedua OAE tetap diberikan. Bila responsyang didapat
buruk, kedua OAE hareus diganti dengan OAE yang lain.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan
OAE kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun pergunaan
kedua OAE pertama sudah maksimal.2,8
4) OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan
OAE pertama.2,8
5) Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk
dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:2,8
a) Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
b) Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang
berkorelasi dengan bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma
otak, AVM, abses otak ensafalitis herpes.
c) Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah
pada adanya kerusakan otak
d) Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang
tua)
e) Riwayat bangkitan simtomatis
f) Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi seperti
JME (Juvenile Myoclonic Epilepsi)
g) Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran
stroke, infeksi SSP
h) Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
6) Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan
profil farmakologis tiap OAE dan interaksi farmnakokinetik antar-
OAE.2,8
7) Strategi untuk menceghah efek samping:2,8
a) Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
b) Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu
pada sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang.
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE,
efek samping OAE, profil farmakologi, interaksi antara OAE.2,8

22
Tabel 1. Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan
OAE Bangkitan Bangkitan Bangkitan Bangkit Bangkitan
fokal umum tonik an lena mioklonik
sekunder klonik
Phenytoin (A) (A) (C) - -
Carbamazepine (A) (A) (C) - -
Valproic acid (B) (B) (C) (A) (D)
Phenobarbital (C) (C) (C) - ?+
Gabapentin (C) (C) (D) - ?-
Lamotrigine (C) (C) (C) (A) +-
Topiramate (C) (C) (C) ? (D)
Zonisamide (A) (A) ?+ ?+ ?+
Levetiracetam (A) (A) (D) ?+ ?+
Oxcarvamazepine (C) (C) (C) - -
Clonazepam (C) - - - -
Level of confidence: A: efektif sebagai monoterapi; B: sangat mungkin efektif
sebagai monoterapi; C: mungkin efektif sebagai monoterapi; D: berpotensi untuk
efektif sebagai monoterapi
Sumber: Setiaji A. Epilepsi. [serial on the internet]. Universitas Diponegoro.
Nodate [cited 2016 June 11]. Available from:
http://eprints.undip.ac.id/44421/3/ADRIAN_SETIAJI_22010110130154_Bab2KT
I.pdf

b. Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong
bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi
sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang
kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi
berdasarkan letak fokus infeksi :2,8
1) Lobektomi temporal
2) Eksisi korteks ekstratemporal
3) Hemisferektomi
4) Callostomi
c. Terapi nutrisi

23
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang
berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan
dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet
ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun
mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum
diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat
mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai
pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang
lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan
derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan
tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi
karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan
sebesar 75 80 kkal/kg. Untuk pengendalian 25 kejang yang optimal
tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.2,8

3. Pertolongan Pertama
Tahap tahap dalam pertolongan pertama saat kejang, antara lain:8
a. Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen,
kompor api, dan lain lain).
b. Jangan pernah meninggalkan penderita.
c. Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak
menimbulkan cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah baju
di lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika ada).
d. Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut
dapat mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau
pernapasan.
e. Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan
penderita. Biarkan gerakan penderita sampai kejang selesai.
f. Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti
memberi minum, penahan lidah.

24
g. Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan
meninggalkan penderita sebelum kesadarannya pulih total, kemudian
biarkan penderita beristirahat atau tidur.7

Gambar 5. Pertolongan pertama saat kejang


Sumber: Pertolongan pertama saat kejang [serial on the internet]. Nodate
[cited 2016 June 15]. Available from:
https://zelvikri.wordpress.com/2013/01/14/menmbedakan-
kejang-dan-epilepso/

25
Gambar 6. Pertolongan pertama saat kejang
Sumber: Pertolongan pertama pada epilepsi [serial on the internet]. Nodate
[cited 2016 June 15]. Available from:
http://ahlinyahidrosefalus.web.id/pertolongan-pertama-pada-
epilepsi/

D. Rujuk
Apabila diagnosis epilepsi sudah ditegakkan, secara klinis maka dokter di
tingkat layanan primer harus segera merujuk pasien ke fasilitas kesehatan
tingkat lanjut yang memiliki dokter spesialis neurologi untuk mendapatkan
penanganan lanjutan guna menentukan terapi terbaik bagi pasien. Terapi OAE
dapat diberikan oleh dokter di layanan primer berdasarkan hasil konsultasi
(rujukan balik) dari spesialis neurologi kecuali pada daerah yang tidak ada
dokter spesialis neurologi, dokter FKTP (fasilitas kesehatan tingkat pertama)
boleh memberi pertolongan sebelum merujuk.7
Penyandang epilepsi sangat rentan menghadapi permasalahan psikososial
di dalam masyarakat sehingga selain terapi farmakologis, dokter di layanan
primer hendaknya mampu memberikan edukasi dan konseling yang cukup
tidak hanya kepada pasien tetapi juga keluarganya. Kurangnya informasi dapat
meningkatkan perasaan negatif pada pasien dan keluarga sehingga dapat
mempengaruhi keberhasilan terapi dan kualitas hidup pasien.7

26
Edukasi dan konseling yang harus diberikan dirangkum dalam Check list
berikut ini :

Tabel 2 Check list edukasi dan konseling pada epilepsi


No. Jenis Informasi Rincian Informasi
1. Epilepsi secara umum Definisi, tipe bangkitan, gejala penyerta,
kemungkinan penyebab, prognosis,
pilihan terapi, buku harian bangkitan
(seizure diary).
2. Pengobatan Identifikasi faktor pencetus bangkitan,
Pilihan OAE dan efek sampingnya,
pentingnya kepatuhan dan keteraturan
minum obat, interaksi obat, pencegahan
kecelakaan di rumah dan komunitas.
3. First Aid Pertolongan pertama pada bangkitan,
kapan bangkitan merupakan suatu
kegawatan
4. Gaya hidup Pilihan jenis pekerjaan, olah raga yang
tepat, diet, pola tidur, pengaruh alkohol,
aturan mengemudi, pencegahan
kecelakaan di rumah dan komunitas.
5. Kemungkinan konsekuensi Kecemasan, stigma masyarakat, rasa
psikososial rendah diri, gangguan memori.
Sumber: Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE
et al. Epilepsia . ILAE official report: a practical clinical definition of epilepsy.
2014;55(4).

Penyandang epilepsi berpotensi mengalami komplikasi akibat penyakitnya


maupun akibat efek samping pengobatan sehingga perlu dikonsultasikan
kepada dokter spesialis neurologi melalui program rujukan rutin. Penyandang
epilepsi yang kembali mengalami bangkitan epilepsi dengan pengobatan
teratur, muncul efek samping obat yang signifikan, terjadi kehamilan atau
timbul gangguan neuropsikologis harus dirujuk dengan rujukan urgent. Bila
terjadi status epileptikus atau intoksikasi OAE dapat segera dirujuk melalui

27
rujukan darurat. Pasien dapat dikirim kembali ke dokter FKTP setelah
penanganan di FKRTL (fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut) telah selesai
melalui program rujuk balik.7

1. Tujuan Rujuk dan Rujuk Balik Epilepsi


a. Melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan komplikasi epilepsi
melalui rujukan rutin.
b. Mencegah perburukan komplikasi atau kecacatan lebih lanjut pada
penyandang epilepsi melalui rujukan urgent.
c. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penyandang Epilepsi yang
mengalami penyulit akut yang mengancam jiwa bila tidak segera
diberikan perawatan yang tepat di FKRTL melalui rujukan emergency.
d. Memberikan kemudahan, efisiensi dan pelayanan berkelanjutan yang
komprehensif dalam jangka panjang serta mencegah fragmentasi
pelayanan kesehatan bagi penyandang epilepsi melalui rujuk balik.7

2. Kriteria Epilepsi yang Dirujuk dari FKTP ke FKRTL


Epilepsi merupakan penyakit otak yang dapat menyebabkan hendaya
bahkan kematian dan memerlukan pengobatan yang teratur dalam jangka
panjang. Oleh karena itu, penyandang epilepsi beresiko mengalami
penurunan fungsi organ tertentu akibat efek samping pengobatan,
komplikasi akibat terapi yang tidak adekuat, maupun keadaan gawat darurat.
Karena keterbatasan fasilitas yang ada di FKTP dan kondisi pasien yang
memang membutuhkan pelayanan pada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjut maka penyandang epilepsi dapat dirujuk ke FKTRL pada kondisi
tertentu sesuai dengan kriteria rujukan yang berlaku. Keterlambatan rujukan
dapat berakibat fatal pada kondisi kesehatan, keselamatan dan kualitas hidup
pasien. Kriteria rujukan digolongkan menjadi 3 yaitu rujukan rutin, rujukan
urgent dan rujukan darurat.7

a. Rujukan Rutin

28
Rujukan rutin diberikan pada semua penyandang epilepsi yang menerima
pengobatan OAE untuk mendeteksi efek samping pengobatan dan evaluasi
medis secara berkala dengan tujuan deteksi dini penyulit. Rujukan ini lebih
bersifat konsultasi dan pemeriksaan penunjang, seperti yang tercantum pada
tabel berikut.7

Tabel 3 Jenis Pemeriksaan Rutin pada Rujukan Rutin Epilepsi


Jenis Pemeriksaan Waktu Pemeriksaan
Konsultasi ke dokter spesialis Awal diagnosis dan berkala 6 bulan
sekali untuk Pemeriksaan
Neuropsikologis yang meliputi:
- Domain kognitif
- Domain psikologis
- Neuropsikiatri
- Darah rutin (Hemoglobin, leukosit - Awal diagnosis sebagai acuan
dan hitung jenis, hematokrit, trombosit) menyingkirkan diagnosis banding dan
dan apusan darah tepi pilihan OAE
- Elektrolit (natrium, kalium, kalsium, - Dua bulan setelah pemberian OAE
magnesium, fosfat) untuk mendeteksi efek samping OAE
- Fungsi hepar (SGOT/SGPT, albumin) - Rutin diulang setiap tahun sekali
dan Fungsi ginjal (ureum & creatinin) untuk memonitor samping OAE, atau
- Gula darah sewaktu (GDS) bila timbul gejala klinis akibat efek
- Profil lipid (kolesterol total, HDL, samping OAE
LDL, Trigliserida)
Sumber: Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE
et al. Epilepsia . ILAE official report: a practical clinical definition of epilepsy.
2014;55(4).

b. Rujukan Urgent
Rujukan urgent perlu dilakukan untuk menentukan pilihan terapi
pada pasien yang baru terdiagnosis menderita epilepsi (newly diagnosed
epilepsy) dan pasien lama yang memiliki faktor-faktor penyulit dan

29
komorbid. Kriteria rujukan urgent epilepsi dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.7

Tabel 4 Rujukan Urgent Epilepsi


Epilepsi dengan penyulit/ Kriteria Rujukan
komorbid
Penyandang epilepsi baru/ diduga Pasien epilepsi baru / diduga epilepsi yang
epilepsi memenuhi minimal 1 dari kriteria di bawah
ini :
- Telah terjadi 2 bangkitan epileptik tanpa
provokasi berselang lebih dari 24 jam
- Terjadi 1 bangkitan epileptik tanpa
provokasi dengan usia diatas 25 tahun
- Pasien dengan 1 bangkitan epilepsi dengan
riwayat penyakit / kelainan otak
- Terjadi 1 bangkitan epileptik tanpa
provokasi pada pasien dengan defisit
neurologis fokal
- Terjadi 1 bangkitan epileptik tanpa
provokasi pada pasien anak dengan retardasi
mental
Epilepsi berulang/ relaps - Bila pasien sudah minum obat secara
teratur namun kembali mengalami bangkitan
epilepsi
- Perubahan bentuk bangkitan
Penyandang epilepsi dengan efek Terapi telah dilakukan sesuai standar muncul
samping OAE yang tidak efek samping obat yang signifikan namun
mengancam jiwa tidak mengancam jiwa
Penyandang epilepsi dengan - Penyandang epilepsi yang ingin
kehamilan merencanakan kehamilan minimal 6 bulan
sebelumnya atau telah terdeteksi hamil
- Selama kehamilan (bila lokasi FKRTL
jauh, maka terapi bisa diserahkan pada

30
FKTP dengan perhatian khusus)
- Hendak terjadi persalinan
Penyandang epilepsi dengan - Jika ada tanda dan gejala penurunan fungsi
kelainan atau perburukan fungsi kognitif tertentu yang signifikan dievaluasi
neurologis dan atau psikiatri dengan mengunnakan MMSE setiap 6 bulan
sekali dan terjadi penurunan >2 poin
- Terdapat tanda dan gejala kelainan
psikologis meliputi perubahan kepribadian,
mood dan perilaku
Sumber: Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE
et al. Epilepsia . ILAE official report: a practical clinical definition of epilepsy.
2014;55(4).

c. Rujukan Darurat
Rujukan darurat diberikan pada penyandang epilepsi yang
mengalami komplikasi akut yang mengancam jiwa sehingga memerlukan
perawatan intensif di FKRTL guna mendapatkan penatalaksanaan yang
memadai untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Kriteria rujukan emergency epilepsi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.7

Tabel 5 Kriteria Rujukan Darurat Epilepsi


Kondisi Epilepsi Kriteria Rujukan
Status epileptikus (SE) konvulsivus Bangkitan dengan durasi lebih dari 5
menit atau adanya dua bangkitan atau
lebih tanpa disertai pemulihan
kesadaran diantara bangkitan
Status epileptikus non konvulsivus Bila ada kecurigaan status epileptikus
berupa: perubahan perilaku dan
kesadaran berkepanjangan pada
penderita epilepsi
Munculnya efek samping obat yang - Munculnya gejala dan tanda Steven

31
mengancam nyawa Johnson Syndrome setelah pemakaian
OAE khususnya Carbamazepine,
Phenitoin, Phenobarbital, dan
Lamotrigine
- Munculnya gejala intoksikasi OAE
Sumber: Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE
et al. Epilepsia . ILAE official report: a practical clinical definition of epilepsy.
2014;55(4).

BAB III
KESIMPULAN

Epilepsi merupakan kelainan neurologi umum yang dikarakteristikkan


dengan kejang berulang, yang diagnosisnya ditegakkan berdasarkan anamnesis,
yang didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis
dan pengobatan epilepsi tidak dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan
tepat hanya dapat dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula.
Tatalaksana epilepsi terdiri atas tatalaksana untuk fase akut dan pengobatan
epilepsi.

32
Epilepsi merupakan penyakit otak yang dapat menyebabkan hendaya
bahkan kematian dan memerlukan pengobatan yang teratur dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, penyandang epilepsi beresiko mengalami penurunan fungsi organ
tertentu akibat efek samping pengobatan, komplikasi akibat terapi yang tidak
adekuat, maupun keadaan gawat darurat. Oleh karena keterbatasan fasilitas yang
ada di FKTP dan kondisi pasien yang memang membutuhkan pelayanan pada
FKRTL, penyandang epilepsi dapat dirujuk dengan kondisi tertentu yang sesuai
dengan kriteria rujukan yang berlaku. Kriteria rujukan digolongkan menjadi 3
yaitu rujukan rutin, rujukan urgent dan rujukan emergency. Keterlambatan rujukan
dapat berakibat fatal pada kondisi kesehatan, keselamatan dan kualitas hidup
pasien.

33

You might also like